Disusun Oleh :
Achmad Korizky W
Andre Priajun N
Alda Araminta A
Kiki Putri S
Ravilia Choirun N
TAHUN 2022
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sirosis hepatis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur
hepar dan pembentukan nodulus degeneratif. Lebih dari 40% pasien sirosis hepatis
asimptomatik dan sering ditemukan pada waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau autopsi
(Nurdjanah, 2014).
Penelitian epidemiologis di negara maju, sirosis hepatis merupakan penyebab
kematian terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45- 46 tahun (setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker). Angka kejadian sirosis hepatis dari hasil otopsi sekitar 2,4%
di negara Barat, sedangkan di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk dan
menimbulkan sekitar 35.000 kematian pertahun (Nurdjanah, 2009).
Sirosis hepatis termasuk dalam 14 penyebab kematian terbanyak di dunia, mencakup
1,3% dari seluruh penyebab kematian di dunia dan masuk ke dalam 5 besar penyebab
kematian di Indonesia (WHO, 2010). Kematian yang disebabkan oleh sirosis hepatis pada
tahun 2008 di South East Asia Region B (Indonesia, SriLanka, Thailand) adalah sejumlah
51.715 kasus dengan 38.187 kasus pada pria dan 13.528 kasus pada wanita (WHO, 2008).
Berdasarkan penelitian pada tahun 2015 di bangsal penyakit dalam RSUP Dr. M
Djamil Padang ditemukan penderita sirosis hepatis sebanyak 140 pasien. Pasien di
dapatkan pada dekade ke 5 dengan perbandingan laki-laki lebih banyak dari wanita
(Dilla, 2015), sedangkan di Medan dijumpai pasien sirosis hepatis di bagian penyakit
dalam sebanyak 819 (4%) pasien dalam kurun waktu 4 tahun (Nurdjanah, 2009).
Beberapa faktor penyebab sirosis hepatis di Indonesia terutama akibat infeksi virus
hepatitis B dan C, Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan bahwa virus hepatitis B
menyebabkan sirosis sebesar 40%-50% dan virus hepatitis C 30%- 40%, sedangkan 10%-
20% penyebabnya tidak diketahui, alkohol sebagai penyebab sirosis hepatis di Indonesia
mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada data penelitian yang pasti. Skor
Child Turcotte Pugh digunakan untuk menilai tingkat keparahan (Child A, Child B, Child
C) dari sirosis hepatis. Sistem ini juga sebagai penentu prognosis dan lebih sering
digunakan pada pasien dengan transplantasi hati (Nurdjannah, 2009). Skor Child Turcotte
Pugh merupakan modifikasi dari Skor Child Turcotte Pugh, dapat menilai kondisi umum
pasien sirosis hepatis dan menilai perubahan multiorgan yang disebabkan oleh sirosis
hepatis (Kurniawan, 2014).
Diagnosis sirosis hepatis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis utama dan lanjut dari sirosis hepatis ini terjadi
akibat dua tipe gangguan fisiologis, yaitu gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi
gagal sel hati mencakup ikterus, gangguan endokrin, gangguan hematologik, edema
perifer, fetor hepatikum, dan ensefalopati hepatik, sedangkan manifestasi yang berkaitan
dengan hipertensi portal yaitu splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta
manifestasi sirkulasi kolateral lain (Lindseth, 2013).
Berdasarkan uraian data diatas, penulis tertarik untuk mengangkat sebuah makalah
dengan judul “Asuhan Keperawatan pada Klien Sirosis Hepatis di Ruang Wijaya Kusuma
B RSUD Dr. Soedono Madiun”.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, rumusan masalah pada penelitian ini adalah
“Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien sirosis hepatis dengan perawatan 14 hari
di ruang Wijaya Kusuma B RSUD Dr. Soedono Madiun?”
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Kasus Sirosis Hepatis
2.1.1 Definisi
Sirosis hepatis adalah penyakit kronis pada hati dengan inflamasi dan fibrosis
yang mengakibatkan distorsi struktur dan hilangnya sebagian besar hepar. Perubahan
besar yang terjadi karena sirosis adalah kematian sel-sel hepar, terbentuknya sel-sel
fibrotik (sel mast), regenerasi sel dan jaringan parut yang menggantikan sel-sel
normal. (Baradero, 2008). Sirosis Hepatis merupakan penyakit hati menahun
ditandai adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan
proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul, sehingga menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro sel
hepar tidak teratur (Nugroho, 2011).
Sirosis adalah penyakit kronis yang dicirikan dengan penggantian jaringan hati
normal dengan fibrosis yang menyebar, yang mengganggu struktur dan fungsi hati.
Sirosis, atau jaringan parut pada hati, dibagi menjadi tiga jenis: alkoholik, paling
sering disebabkan oleh alkoholisme kronis, dan jenis sirosis yang paling umum,;
paskanekrotik, akibat hepatitis virus akut sebelumnya; dan bilierm akibat obstruksi
bilier kronis dan infeksi (jenis sirosis yang paling jarang terjadi) (Brunnerd &
Suddart, 2013).
Menurut Black & Hawks tahun 2009, Sirosis hepatis adalah penyakit kronis
progresif dicirikan dengan fibrosis luas (jaringan parut) dan pembentukan nodul.
Sirosis terjadi ketika aliran normal darah, empedu dan metabolism hepatic diubah
oleh fibrosis dan perubahan di dalam hepatosit, duktus empedu, jalur vaskuler dan
sel retikuler.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sirosis hepatis adalah penyakit kronis pada hepar
yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat dan pembentukan nodul.
4
2.1.3 Patofisiologi Sirosis Hepatis
Menurut Black & Hawks tahun 2009 sirosis adalah tahap akhir pada banyak tipe
cedera hati. Sirosis hati biasanya memiliki konsistensi noduler, dengan berkas
fibrosis (jaringan parut) dan daerah kecil jaringan regenerasi. Terdapat kerusakan
luas hepatosit. Perubahan bentuk hati merubah aliran sistem vaskuler dan limfatik
serta jalur duktus empedu. Periode eksaserbasi ditandai dengan stasis empedu,
endapan jauundis.
Menurut Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, (2012), gangguan hematologik
yang sering terjadi pada sirosis adalah kecendrungan perdarahan, anemia,
leukopenia, dan trombositopenia. Penderita sering mengalami perdarahan hidung,
gusi, menstruasi berat, dan mudah memar. Masa protrombin dapat memanjang.
Manifestasi ini terjadi akibat berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan
oleh hati. Anemia, leukopenia, dan trombositopenia diduga terjadi akibat
hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar (spelenomegali) tetapi juga lebih aktif
menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi. Mekanisme lain yang menimbulkan
anemia adalah defisiensi folat, vitamin B12, dan besi yang terjadi sekunder akibat
kehilangan darah dan peningkatan hemolisis eritrosit. Penderita juga lebih mudah
terserang infeksi.
Kerusakan hepatoseluler mengurangi kemampuan hati mensintesis normal
sejumlah albumin. Penurunan sintesis albumin mengarah pada hipoalbuminemia,
yang dieksaserbasi oleh kebocoran protein ke dalam ruang peritonium. Volume
darah sirkulasi menurun dari kehilangan tekanan osmotik koloid. Sekresi aldosteron
meningkat lalu merangsang ginjal untuk menahan natrium dan air. Sebagai akibat
kerusakan hepatoseluler, hati tidak mampu menginaktifkan aldosteron. Sehingga
retensi natrium dan air berlanjut. Lebih banyak cairan tertahan, volume cairan asites
meningkat.
Hipertensi vena porta berkembang pada sirosis berat. Vena porta menerima darah
dari usus limpa. Jadi peningkatan di dalam tekanan vena porta menyebabkan: (1)
aliran balik meningkat pada tekanan reistan dan pelebaran vena esofagus, umbilikus,
dan vena rektus superior, yang mengakibatkan perdarahan varises (2) asites (akibat
pergesaran hidrostastik atau osmotik mengarah pada akumulasi cairan di dalam
peritoneum) dan (3) bersihan sampah metabolik protein tidak tuntas dengan akibat
meningkat amonia, selanjutnya mengarah kepada esefalopati hepatikum.
Kelanjutan proses sebagai akibat penyebab tidak diketahui atau penyalahgunaan
alkohol biasanya mengakibatkan kematian dari ensefalopati hepatikum, infeksi
bakteri (gram negatif) peritonitis (bakteri), hepatoma (tumor hati), atau komplikasi
hipertensi porta.
Gangguan endokrin sering terjadi pada sirosis. Hormon korteks adrenal, testis dan
ovarium, dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati normal. Atrofi testis,
ginekomastia, alopesia, pada dada dan aksila, serta eritema palmaris (telapak tangan
merah), semuanya diduga disebabkan oleh kelebihan esterogen, dalam sirkulasi.
Peningkatan pigmentasi kulit diduga aktivitas hormon perangsang melanosit yang
bekerja secara berlebihan.
5
2.1.4 Manifestasi Klinis
a) Sirosis terkompensasi: biasanya ditemukan secara sekunder dari pemeriksaan
fisik rutin, gejala samar.
b) Sirosis terdekompensasi: gejala penurunan protein, faktor pembekuan dan zat lain
serta manifestasi hipertensi porta.
c) Pembesaran hati di awal penyakit (hati berlemak) pada penyakit lanjut, ukuran
hati berkurang akibat jaringan parut.
d) Obstruksi asites portal: organ menjadi tempat bagi kongesti pasif kronis terjadi
dyspepsia dan perubahan fungsi usus.
e) Infeksi dan peritonit: tanda klinis mungkin tidak ada, diperlukan tindakan
parasentesis untuk menegakkan diagnosis.
f) Varises Gastrointestinal: pembuluh darah abdomen terdistensi dan menonjol
pembuluh darah disepanjang saluran GI terdistensi varises hemoroid hemoragi
dari lambung.
g) Edema.
h) Defisiensi vitamin (A, C dan K) dan anemia
i) Perburukan mental diikuti dengan ensefalopati hepatic dan koma hepatik
(Brunner & Suddart, 2013).
j) Eritema Palmaris
k) Spider Angioma
l) Jaundis (Black & Hawks 2009).
2.1.5 Komplikasi
Menurut Black & Hawks tahun 2009, komplikasi dari serosis hepatis adalah
sebagai berikut:
1) Hipertensi Porta Hipertensi porta terjadi ketika tekanan darah meningkat menetap
pada sistem vena porta hal tersebut sebagai akibat peningkatan resistansi dan
obstruksi aliran darah melalui sistem vena porta ke dalam hati.
a) Etiologi dan faktor risiko
Vena porta kemungkinan tersumbat oleh thrombus tumor adalah penyebab
paling sering berikutnya. Faktor yang mungkin menyebabkan hipertensi
porta peningkatan resistensi terhadap aliran, sirosis, hepatitis alkoholik, dll.
b) Patofisiologi
Aliran darah normal untuk dan dari hati bergantung pada fungsi vena
porta yang baik (70 % aliran masuk), arteri hepatik (30 % aliran masuk), dan
vena hepatik (aliran keluar) proses penyakit yang merusak hati atau
pembuluh darah utamanya atau perubahan aliran darah melalui struktur ini
bertanggung jawab bagi perkembangan hipertensi porta. Hipertensi porta
akibat dari peningkatan aliran darah pada vena porta maupun peningkatan
resistansi terhadap aliran di dalam sistem vena porta.
c) Manifestasi Klinis
Pada klien dengan hipertensi porta, ketika pengkajian di dapatkan jaringan
pembuluh darah epigastrik sedikit berliku-liku yang bercabang akhir pada
daerah umbilikus serta kearah kedepan sternum dan tulang rusuk, pelebaran,
dan asites yang tipikal tampak ketika penyakit ahati bersamaan.
2) Asites
6
a) Etiologi dan Faktor Resiko
Asites adalah akumulasi cairan di dalam ruang peritoneum akibat interaksi
beberapa perubahan patofisiologi. Hipertensi porta, penurunan tekanan
plasma osmotik koloid dan retensi natrium semua berkontribusi terhadap
kondisi ini.
b) Patofisiologi
Sebuah proses yang mengeblok aliran darah melalui sinusoid hati ke vena
hepatik dan vena cava menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di
dalam sistem vena porta. Sebagaimana tekanan porta meningkat, plasma
bocor langsung dari kapsul hati dan vena porta kongesti ke dalam ruang
peritoneum. Kongesti saluran limfa terjadi, mengarah pada kebocoran lebih
plasma ke dalam ruang peritoneum. Kehilangan protein plasma ke dalam
cairan asites dari sistem vena porta mengurangi tekanan onkotik di dalam
kompratemen pembuluh darah. Penurunan tekanan onkotik membatasi
kemampuan sistem pembuluh darah menahan atau mengumpulkan air.
c) Manifestasi Klinis
Cairan asites secara tipikal menyebabkan distensi perut, panggul
menonjol, serta umbilikus yang menonjol keluar dan ke bawah. Meskipun
akumulasi cairan asites banyak dan nyata, namun jika jumlah kecil atau
sedang lebih sulit untuk mendeteksi.
3) Ensefalopati Hepatikum
Ensefalopati Hepatikum merupakan gangguan SSP. Gangguan mungkin
tampak bersamaan dengan cedera hati berat atau gagal hati atau setelah
pembedahan puntasan portosistemik. Penyebab gangguan ini adalah
ketidakmampuan untuk memetabolisme ammonia untuk membentuk ureum
sehingga ini dapat diekresikan.
a) Patofisiologi
Penyebabab spesifik ensefalopati hepatikum tidak diketahui, tapi hal ini
dirincikan oleh peningkatan kadar amonia dalam darah dan cairan
serebrospinal. Amonia dihasilkan dalam usus ketika protein dipecah oleh
bakteri, oleh hai dan dalam jumlah yang lebih kecil, oleh getah lambung dan
metabolisme jaringan perifer. Ginjal adalah sumber amona lain di dalam
adanya hipokalemia. Implikasi lebih terkini penyebab ensefalopati adalah
neurotransmiter palsu, naiknya kadar mercaptan (kimia organik yang
mengandung radikal sulfhidril, terbentuk ketika molekul oksigen dan alkohol
diganti oleh sulfur ), fenol dan rantai pendek asam lemak.
Secara normal, hati amonia ke dalam glutamin, yang disimpan dalam hati
dan kemudian diubah menjadi ureum dan diekresikan melalui ginjal. Kadar
amonia darah meningkat ketika sel hati tidak mampu membentuk fungsi ini
mungkin dikarenakan sel hati rusak dan nekrosis. Ini juga mungkin akibat dari
pintasan darah dari sistem vena porta secara langsung kedalam sirkulasi vena
sistemik (pintasan hati). Pada kasus lain, sebagaimana kadar amonia darah
naik, banyak bahan tidak biasanya mulai terbentuk. Beberapa bahan ini (misal
oktopamn) tampak bertindak sebagai neurotransmiter palsu di dalam SSP.
Amonia juga adalah toksin SSP, memengaruhi sel glia dan saraf, ini mengarah
kepada perubahan metabolisme dan fungsi SSP.
7
Sebuah proses yang meningkatkan protein di dalam intestinal, seperti
meningkatkan diet protein atau perdarahan GI, menyebabkan peningkatan
kadar amonia darah dan kemungkinan gejala ensefalopati hepatikum pada
klien dengan gagal hepatoseluler atau yang telah menjalani pembedahan
pintasan portosistemik.
b) Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis ensefalopati hepatikum adalah secara primer neurologis
dan rentang dari kebingungan mental ringan sampai koma dalam. Perubhan
neurologis terjadi dengan akumulasi amonia serebral atau perdarahan GI.
Ensefalopati hepatikum mengganggu memori, perhatian, konsentrasi, dan
kecepatan respons.
Pola terbalik sering terjadi, klien terbangun malam hari dan mengantuk
pada siang hari. Menulis dan ucapan menunjukkan perubahansignifikan
seperti terjadi penyimpangan intelektual. Asteriksis mungkin ada. Pada
beberapa klien dengan ensefalopati hepatikum, hiperventilasi dengan alkalosis
respiratorik berkembang karena kadar amnia tinggi merangsang pusat
pernafasan. Adanya methylmercaptan menyebabkan bau karakteristik pada
pernafan yang disebut fetorhepaticus.
Sebagaimana perkembangan sindrom, tingkat kesadaran klien perlahan
berkurang, dan kebingungan menjadi lebih berat, namun, tingkat depresi SSP
umunya fluktasi. Koma akhirnya terjadi, yang mendalam sampai tidak ada
respons nyeri dan refleks kornea, benar-benar tidak ada. Berikut stadium
ensefalopati hepatikum:
(a) Stadium 1
- Letih
- Gelisah
- Iritabel
- Penurunan tampilan intelektual
- Penurunan rentang perhatian
- Berkurangnya ingatan jangka pendek
- Perubahan kepribadian
- Pola tidur terbalik
(b) Stadium 2
- Penyimpangan dalam menulis
- Asteriksis
- Gangguan status mental
- Bingung
- Lemah
- Fetor hepaticus
(c) Stadium 3
- Bingung berat
- Ketidakmampuan mengikuti perintah
- Samnolen dalam, tapi dapat bangun
(d) Stadium 4
- Koma
- Tidak respons terhadap rangsangan nyeri
8
- Kemungkinan sikap tubuh dekortikasi atau deserebasi
Hasil laboratorium menunjukkan naiknya amonia darah dan kadag
glutamin cairan serebrospinal. Meskipun temuan ini membantu
mengomfirmasi diagnosis ensefalopati, tapi tidak spesifik. Memantau
kadar serum amonia, kadar elektrolit, gas darah, hasil tes fungsi hati
(bilirubin, albumin, protrombin, dan enzim) keseluruhan perjalanan
penyakit. Temuan ini membantu menentukan tingkat ketidakseimbangan
dan tingkat cedera hepatic.
c) Prognosis
Meskipun intervensi biasanya mengurangi ensefalopati hepatikum, klien
mungkin meninggal karena komplikasi sirkulasi atau respirasi, infeksi, atau
delirium dan kejang. Kematian terjadi pada klien yang berkembang kerah
koma dengan gagal hati. Langkah-langkah dramatis mungkin dibutuhkan
untuk mengurangi kadar toksik amonia dalam darah. Cara tersebut termasuk
hemodialisis dan transfusi tukar, yang melibatkan pembuangan pergantian
sekitar 80% darah klien. Transplatasi hati dilakukan pada kasus gagal hati
fulminan.
2.1.6 Penatalaksanaan
a) Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada sirosis hepatis yaitu:
1) Terapi mencakup antasid, Suplemen vitamin dan nutrisi, diet seimbang;
diuretik penghemat kalium (untuk asites) hindari alkohol Brunner & Suddart,
(2013).
2) Dokter biasanya meresepkan multivitamin untuk menjaga kesehtan. Sering
kali vitamin K diberikan untuk memperbaik faktor pembekuan (Black &
Hawks, 2009).
3) Dokter mungkin juga meresepkan pemberian albumin IV untuk menjaga
volume plasma (Black & Hawks, 2009).
Sedangkan menurut Lyndon Saputra (2014), penatalaksanaan medis pada sirosis
hepatis yaitu sebagai berikut:
B1 (breathing) : tidak sesak,keterbatasan ekspansi dada karena hydro thorax dan
asites.
B2 (blood) : pendarahan,anemia,menstruasi menghilang,obstruksi pengeluaran
empedu mengakibatkan absorsi lemak menurun
B3 (brain) : kesadaran dan keadaan umum pasien perlu di kaji tingkat kesadaran
pasien dari sadar sampai tidak sadar untuk mengetahui berat ringan nya diagnosa
B4 (blader) : urin berwarna kuning tua dan berbuih
B5 (bowel) : anoreksia,mual,mutah,nyeri abdomen,terjadi inflamasi hepar
B6 (bone) : keletihan,metabolisme tubuh meningkat produksi energi berkurang
b) Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Black & Hawks (2009), penatalaksaan keperawatan sebagai berikut:
1) Mencegah dan memantau perdarahan
Pantau klien untuk perdarahan gusu, purpura, melena, hematuria, dan
hematemesis.Periksa tanda vital sebagai pemeriksa tanda syok. Selain itu
9
untuk menceah perdarahan, lindungi klien dari cedera fisik jatuh atau abrasi,
dan diberikan suntikan hanya ketika benarbenar diperlukan, menggunakan
jarum sintik yang kecil. Instruksikan klien untuk menghindari nafas hidung
dengan kuat dan mengejan saat BAB. Terkadang pelunak fases diresepkan
untuk mencegah mengejan dan pecahnya varises.
2) Meningkatkan status nutrisi
Modifikasi diet: diet tinggi proten untuk membangun kembali jaringan
dan juga cukup karbohidrat untuk menjaga BB dan menghemat protein.
Berikan suplemen vitamin biasanya pasien diberikan multivitamin untuk
menjaga kesehatan dan diberikan injeksi Vit K untuk memperbaiki faktor
bekuan.
3) Meningkatkan pola pernapasan efektif
Edema dalam bentuk asites, disamping menekan hati dan memengaruhi
fungsinya, mungki juga menyebabkan nafas dangkal dan kegagalan
pertukaran gas, berakibat dalam bahaya pernafasan. Oksigen diperlukan dan
pemeriksaan AGD arteri. Posisi semi fowler, juga pengkuran lingkar perut
setiap hari perlu dilakukan oleh perawat.
4) Menjaga keseimbangan volume cairan
Dengan adanya asites dan edema pembatasan asupan cairan klien harus
dipantau ketat. Memantau asupan dan keluaran, juga mengukur lingkar
perut.
5) Menjaga integritas kulit
Ketika tedapat edema, mempunyai resiko untuk berkembang
kemungkinan lesi kulit terinfeksi. Jika jaundis terlihat, mandi hangat-hangat
kuku dengan pemakai sabun non-alkalin dan penggunaan lotion.
6) Mencegah Infeksi
Pencegahan infeksi diikuti dengan istirahat adekuat, diet tepat, memonitor
gejala infeksi dan memberikan antibiotik sesuai resep.
10
2.1.7 WOC
penyakit
Virus metabolik
Hepatitis Alkohol (Diabetes
B&C Toksin Malnutrisi
Melitus)
SIROSIS
HEPATIS
Gangguan
Gangguan Gangguan Gangguan Gangguan
Metabolisme
kronis Metabolisme Metabolisme Metabolisme Metabolisme Zat Nyeri
Pembentukan
Bilirubin Protein Vitamin Besi
Empedu
Sintesis
Pola Nafas Tidak kerusakan
ProsumberTergang Kelemahan diare
Efektif integritas kulit
gu
gangguan
perdarahan Intoleransi Aktifitas keseimbangan
cairan dan elektrolit
11
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Sirosis Hepatis
A. Pengkajian
a) Identitas :
b) Status kesehatan saat ini :
1. Keluhan Utama:
Pada awal sirosis hepatis biasaya orang dengan sirosis sering
terungkap kondisinya secara tidak sengaja ketika mencari pelayanan kesehatan
untuk masalah lain. Beberapa kondisi menjadi alasan masuk pasien yaitu
dengan keluhan Nyeri abdomen bagian atas sebelah kanan ( right hypochondriac
region ), abdomen tengah ( epigastric region ), (left hypodric region ), right
lumber region, umbilical region, left lumbar region, right eliac tregion,
hypogastric region, left iliac region dan ada mual, muntah, dan
demam. Sedangkan pada tahap lanjut dengan keluhan adanya ikterus, melena,
muntah berdarah. (Black & Hawks, 2009)
2. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Pada saat perawat melakukan pengkajian biasanya akandiperoleh komplikasi
berat dengan dasar fisiologis; asites disebabkan malnutrisi, GI
muncul dari varises esofagus (pembesaran vena), sehingga pasienmengeluhkan
bengkak pada tungkai, keletihan, anoreksia. (Black &Hawks, 2009)
3. Riwayat Kesehatan Dahulu:
Biasanya adanya riwayat Hepatitis, pasca intoksikasi dengan kimia industri,
sirosis bilier dan yang paling sering ditemukan dengan riwayat mengonsumsi
alkohol.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Sirosis Hepatis merupakan penyakit yang menular, jadi jika ada keluarga yang
menderita hepatitis maka akan menjadi faktor resiko.
5. Pola aktivitas sehari-hari:
a) Nutrisi:
biasanya nafsu makan pasien berkurang, karna ada mual, muntah.
b) Eliminasi :
BAB : biasanya berwarna hitam (melena)
BAK : biasanya urine berwarna gelap
c) Personal Hygiene:
Biasanya pasien mengalami defisit perawatan diri karena kelelahan
d) Pola Istirahat dan tidur:
Biasanya pada ensefalopati pola tidur terbalik, malam hari terbangun dan
siang hari tertidur
e) Pola aktivitas:
Biasanya aktivitas dibantu keluarga dan perawatkarena adanya kelelahan
12
c) B3 (brain) : kesadaran dan keadaan umum pasien perlu di kaji tingkat kesadaran
pasien dari sadar sampai tidak sadar untuk mengetahui berat ringan nya diagnose
d) B4 (blader) : urin berwarna kuning tua dan berbuih
e) B5 (bowel) : anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, terjadi inflamasi hepar
f) B6 (bone) : keletihan, metabolisme tubuh meningkat produksi energi berkurang
C. Diagnosa Keperawatan
Menurut (PPNI,2018) diagnose yang muncul antara lain:
a) Nyeri akut
Definisi : pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat da
n berinsensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab :
1. Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)
2. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan)
3. Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong, dll)
Gejala dan tanda mayor
Subjektif : mengeluh nyeri
Objektif : tampak meringis, bersikap protektif, gelisah,frekuensi nadi meningkat
sulit tidur.
Gejala dan tanda minor
Subjektif : (tidak ada)
Objektif : tekanan darah meningkat, pola nafas berubah, nafsu makan berubah, pro
ses berpikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri,diaphoresise)
Kondisi klinis terkait :
Kondisi Pembedahan
Cedera Traumatis
Infeksi
Sindrom Koroner
Glaucoma
b) Pola nafas tidak efektif
Definisi : inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat
Penyebab :
Depresi pusat pernapasan
Hambatan upaya napas
13
Deformitas dinding dada
Deformitas tulang dada
Gangguan neuromuskula
Gejala dan tanda mayor
Subjektif : dyspepsia
Objektif : penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memanjang, polanafas
abnormal (mis.takipnea, bradipnea, dll)
Gejala dan tanda minor
Subjektif : ortopnea
Objektif : pernapasan cuping hidung, tekanan insporasi menurun, ekskursidada
berubah, diameter thorax anterior posterior meningkate)
Kondisi klinis terkait
Depresi sistem saraf pusat
Cedera kepala
Trauma thorax
Intoksikasi alkohol
Stroke
c) Risiko ketidakseimbangan cairan
Definisi : berisiko mengalami penuruan, peningkatan atau percepatan
perpindahan cairan dari intravascular, interstisial atau intraselular.
Faktor risiko :
Prosedur pembedahan mayor
Trauma/pendarahan
Luka bakar
Aferesis
Asites
Obstruksi intestinal
Peradangan pankreas
Peradangan penyakit ginjal&kelenjar
Disfungsi intestinal
Kondisi klinis terkait
Prosedur pembedahan mayor
Trauma/pendarahan
Luka bakar
14
Penyakit ginjal&kelenjar
D. Intervensi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
a. Tujuan dan kriteria hasil (SLKI, 2018)
b. Intervensi (SIKI, 2018)
Manajemen Nyeri
Observasi :
1) Indentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respon nyeri non verbal
4) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6) Idenfikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
7) Monitor efek samping penggunaan analgetik
Terapeutik
1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3) Fasilitasi istirahat dan tidur
4) Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategimeredakan
nyeri
Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2) Jelaskan strategi meredakan nyeri
3) Anjurkan monitor nyeri secara mandiri
4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas
a) Tujuan dan kriteria hasil (SIKI, 2018)
b) Intervensi (SIKI, 2018)
Manajemen Jalan Napas
Observasi
1) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
2) Monitor bunyi napas tambahan
3) Monitor sputum
Terapeutik
1) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-ti lt dan chin-lift
2) Posisikan semi fowler atau flower
3) L a k u k a n f i s i o t e r a p i d a d a
4) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
5) B e r i k a n o k s i g e n , j i k a p e r l u
Edukasi
1) Anjurkan asupan cairan 200ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2) A j a r k a n t e k n i k b a t u k e f e k t i f
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik,
jika perlu
15
E. Implementasi
Implementasi yang akan diberikan kepada klien harus disamakan dengan intervensi
yang sudah direncanakan. Implementasi juga harus menyesuaikan dengan keadaan
dan kebutuhan sesuai yang diperlukan oleh pasien.
F. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap terakhir dari asuhan keperawatan. Pada tahap ini ada istilah
SOAP yaitu :
S (subjectif ) : berhubungan dengan masalh dan keluhan klien
O (objectif ) : pendokumentasian dan hasil observasi, hasil lab, dan pemeriksaan
A (analisa ) : kesimpulan dari subjectif dan objectif
P (planning) : membuat rencana asuhan saat ini dan yang akan datang yang
disusun berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data
16
BAB 3
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Sirosis Hepatis merupakan penyakit hati menahun ditandai adanya
pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan proses
peradangan, nekrosis sel hatiyang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha
regenerasi nodul, sehingga menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro sel
hepar tidak teratur (Nugroho, 2011). Sirosis Hepatis adalah penyakit
yang ditandai oleh adanya peradangan difus danmenahun pada hati, diikuti
dengan poliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel
sel hati sehingga timbul kekacuan dalam susunan parenkim hati (Mansjoer, Triyati,
savitri, dan Wardhani, 1999). Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatic
dan pada kasus yang lebih lanjut dapat menyebabkan kegagalan fungsi hati secara
bertingkat(Corwin, 2007).
1.2 Saran
Pokok bahasan tulisan ini sudah dipaparkan di depan. Besar harapan penulis
semogatulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan dan
referensi, penulis manyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, saran dankritik yang membangun sangat diharapkan agar tulisan ini dapat disusun
menjadi lebih baik dan sempurna.
17
DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, A. H. (2015).
Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC,Jilid 2.
Yogyakarta: Mediaction.PPNI. (2018).
Standar Diagnosis Asuhan Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI;.PPNI. (2018).
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.P P N I . ( 2 0 1 8 ) .
Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria
H a s i l Keperawatan,Edisi 1 .
Jakarta: DPP PPNI.Susanto, T. (2013).
Asam Urat Deteksi, Pencegahan, Pengobatan .
Yogyakarta: Buku Pintar.Zairin, N. H. (2013).
Buu Ajar Gangguan Muskuluskeletal.
Jakarta: Medika Salemba.
18
ASUHAN KEPERAWATAN TN. S DENGAN SIROSIS HEPATIS
DI RUANG WIJAYA KUSUMA B
RS SOEDONO MADIUN
I. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
NoRM : 6-87-83-65
Tanggal Lahir : 01-07-1974
Umur : 49 Tahun
Pendidikan : SD
Perkerjaan : Wiraswasta
Tanggal MRS : 11-10-2023
Tanggal Pengkajian : 16-10-2023
Diagnosa Medis : Sirosis Hepatis
II. Pengkajian
Keluhan Utama : Pasien berkata perutnya nyeri
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengatakan mengeluh sakit pada area dada
dan perut, kemudian dibawa ke RS M, hasilnya di
diagnose oleh dokter memiliki penyakit paru-paru dan
Magh. Setelah itu pasien segera dirujuk ke poli
penyakit dalam RSSM. Dari poli penyakit dalam
langsung dirawat ke rawat inap Wijaya Kusuma B
pukul 17.00, pada saat pengkajian pasien mengeluh
bahwa perutnya nyeri.
III. Pemeriksaan
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4,V5,M6
TD : 122/78 mmHg
Suhu : 36,3 C
Nadi : 74 x/mnt
RR : 20 x/mnt
SpO2 : 100%
Pemeriksaan Persistem
a. Respirasi/pernafasan
Subyektif : pasien berkata tidak ada sesak, tidak punya asma dan tidak punya
TBC serta batuk kering
Obyektif : irama nafas regular, tarikan dada simetris
b. Sirkulasi/Kardiovaskuar
19
Subyektif : pasien berkata tidak punya penyakit hipertensi
Obyektif : tidak ada edema, bentuk dada simetris, CRT > 2 dtk
c. Nutrisi
Subyektif : pola makan 3x1 sehari dan tidak mual
Obyektif : BB:68 TB:169
d. Eliminasi
Subyektif : Pasien berkata BAB lancar, BAK 750 cc
Obyektif : tidak ada nyeri abdomen
e. Cairan
Subyektif : pasien berkata minum sehari 1500 cc
Obyektif : tugor normal, mukosa kering, tidak terdapat odema
f. Aktivitas dan Istirahat
Subyektif : pasien berkata tidak bisa tidur saat malam hari karena nyeri pada
perutnya
Obyektif : kekutatan otot normal
g. Integritas Ego
Subyektif : tidak stress
Obyektif : tidak ada
h. Kebersihan
Subyektif : pasien berkata toileting dibantu keluarga
Obyektif : pasien tampak bersih
i. Neurosensori
Subyektif : tidak ada sakit mata, mata normal, penciuman normal
Obyektif : tidak ada
j. Nyeri Ketidaknyamanan
Subyektif :P : nyeri saat bergerak
Q : nyeri seperti ditusuk
R : pada perut
S : skala 5
T : setiap waktu
k. Keamanan
Subyektif : pasien tidak menggunakan alat bantu
Obyektif : suhu badan 36,2 C
l. Seksualitas (tidak terkaji)
m. Interaksi Sosial
Subyektif : sudah menikah dan hidup dengan anak istrinya
Obyektif : tampak tidak menarik diri
Pemeriksaan fisik :
- B1 (breathing) : Dada simetris, hidung simetris, pasien tidak sesak, tidak
ada batuk, tidak ada sekret
- B2 (blood) : Nyeri tekan abdomen, auskultasi bunyi jantung lupdup, akral
teraba dingin
20
- B3 (brain) : GCS (15) E4V5M6, ekspresi wajah tampak meringis, skala
nyeri 5, sklera putih, kunjungtiva anemis
- B4 (bladder) : Frekuensi BAK 4-5x sehari, warna urine kuning dan berbau
khas
- B5 (bowel) : Nafsu makan baik, makan 3x sehari, frekuensi BAB 2x sehari,
konsistensi feses lembek, nyeri perut pada bagian kuadran1 dan 2
- B6 (bone) : Terpasang infus pada pergelangan tangan kanan jenis infus :
comafusin hepar 500 ml/24 jam
Hemoglobin
Hitung leukosit 8,7 g/dL 13,4-17,7
Trombosit 7,29 10^3/NL 4,3-10,3
Hematokrit 206 10^3/NL 142-424
Hitung eritrosit 29,5 % 40-47
MCU 3,66 10^3/NL 4,0-5,5
MCH 80,6 fL 80-93
MCHC 23,7 Pg 27-31
-Eosinofil 29,4 g/dL 32-36
-Basofil 7,9 % 0-3
-Neutrofil 1,2 % 0-1
-Limfosit 63,8 % 50-62
-Monosit 19,1 % 25-40
NLR 8,1 % 3-7
ALC 3,3
1392
V. Terapi
16-10-2023
- Inj Omeprazole 2x40 mg
- Inj Metoclopramide 3x10 mg
- Inj Furosemide 3x20 mg
- Propanolol 2x10 mg
- Spirolactone 2mg-0-0
- Lactusa syr 3x15 ml
- Sucralfat syr 3x15 cc
- Rebamipid 2x100 mg
- Curcuma 3x1
22
- Infus comafusin hepar 500 m/24 jam
17-10-2023
18-10-2023
Data Tambahan :
23
VI. Analisa Data
2.
Kurangnya
Ds : pasien mengeluh sulit tidur kontrol tiidur Gangguan pola tidur
pasien tidak puas tidur
Do : -
24
VII. Intervensi Keperawatan
Observasi :
1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat
dan
meringankan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik :
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
25
hipnosis,akupresur, dll)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
26
sakit
2.Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
3.Anjurkan menghindari makanan/minuman
yang mengganggu tidur
4.Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak
mengandung supresor terhadap tidur REM
27
VIII. Implementasi Keperawatan
28
control tidur b.d penganggu tidur perut
sulit tidur 3. Mengidentifikasi obat tidur 3. Metamizole
yg dikonsumsi
4. Memodifikasi lingkungan
29
IX. Evaluasi
P : 1,2,3,4,5,6,7,8,9
P : 1,2,3,4,5,6
P : 1,2,3,4,5,6
P : 1,2,3,4
P : 1,2,3,4,5
P : 1,2,3
31