Anda di halaman 1dari 5

MENILIK PERAN A.

A MARAMIS: PUTRA MINAHASA DALAM


LINGKUP PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK INDONESIA

Siti Fathonatul Ula


Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Raden Mas Said Surakarta, INDONESIA.
(E-mail: sfu.0641@gmail.com)

Dewasa ini, sejarah bagaikan terkikis, tertinggal, bahkan terlupakan oleh zaman. Jika
bukan peran mereka tokoh-tokoh nasional dalam mempertahankan dan membela Negara
Indonesia, tiada kata ‘merdeka’ untuk sekarang. Dapat kita lihat salah satu sejarah yang
hampir terlupakan atau bahkan hanya sebagian kecil warga Indonesia yang mengetahui
adalah sejarah mengenai pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, yang
terjadi 74 tahun silam tepatnya pada tanggal 19 Desember 1948. Sudah selayaknya
tanggal tersebut menjadi hari bersejarah dan diperingati sebagaimana hari bersejarah
lainnya. Benar saja pada tahun 2006 lalu, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) telah menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara
yang mana ketetapan itu sejalan dengan terbitnya Keppres No. 28 Tahun 2006. Namun
sayangnya peringatan ini tidak dikenal luas dan tidak se-gaung Hari Nasional lainnya.
Oleh karena itu, peringatan ini harus lebih di’syiar’kan pada masyarakat luas sehingga
sama menggemanya dengan peringatan hari bersejarah lainnya.

Tentunys dalam sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia terdapat banyak


tokoh yang ikut berperan, salah satu tokoh Nasional yang sangat berkontribusi besar
sebagai Menteri Luar Negeri PDRI dan sosok yang sangat familiar tak lain adalah A.A
Maramis. Siapa sih yang tidak mengenalnya, minimal pernah mendengar nama beliau?
Ya, beliau mempunyai nama lengkap Alexander Andries Maramis. Lahir di Manado,
Sulawesi Utara, Hindia Belanda pada 20 Juni 1897. Ia menyelesaikan pendidikan
hukumnya di Universitas Leiden, Belanda pada tahun 1924. Putra Minahasa yang
namanya kerap disingkat A.A Maramis ini merupakan Menteri Keuangan pertama
Republik Indonesia, dan termasuk salah satu orang yang merumuskan dan
menandatangani Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Tak hanya itu beliau juga
berperan dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia diketuai oleh Syafruddin
Prawiranegara.

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ini berdiri tak lama setelah Agresi
Militer Belanda II. Tepatnya pada 19 Desember 1948, dimana Belanda berhasil
menguasai ibu kota, Yogyakarta dan menahan para pemimpin Pemerintahan Republik
Indonesia yaitu Soekarno, Hatta dan Syahrir.

Setelah mendengar berita tersebut Syafruddin Prawiranegara berinisiatif mengadakan


perundingan bersama Kol. Hidayat selaku Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra,
dan Teuku Mohammad Hasan selaku Gubernur Sumatra/Ketua Komisaris Pemerintah
Pusat di Halaban, perkebunan teh yang berjarak 15 Km di selatan kota Payakumbuh.
Pada malam harinya mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban.

Perundingan tersebut baru dimulai pada 22 Desember 1948 setelah beberapa tokoh
pimpinan republik yang berada di Sumatra Barat seperti Mr. Lukman Hakim,
Ir. Indratjahja, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A.
Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif berkumpul di Halaban. Perundingan ini
menghasilkan keputusan untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI).

Pada awal pembentukan PDRI, A.A Maramis tidaklah termasuk dalam susunan
kepengurusan dikarenakan kepengurusan dipegang oleh para tokoh pimpinan republik
yang berada di Sumatra Barat, dilain sisi A.A Maramis juga sedang berada di New
Delhi, India mencoba membuka hubungan perdagangan untuk membiayai kehidupan
republik.

Saat itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan Republik Indonesia di tengah-tengah


kondisi ekonomi yang miris dan kacau dimana produksi pangan Indonesia berada 10
persen di bawah rata-rata tahun 1937. Menurut laporan US Department of Agriculture
dalam World Food Situation 1949, terbit 12 Januari 1949, kemungkinan karena jumlah
penduduk Indonesia yang meningkat 3 juta sejak peperangan dari 70 menjadi 73 Juta.
Setelah PDRI berjalan sebulan, terjadi penyempurnaan susunan pimpinan pada 31
Maret 1949. Barulah Syafruddin menghubungi A.A Maramis dan mengangkatnya
sebagai Menteri Luar Negeri PDRI. Dilansir melalui harian Belanda, Het Dagblad edisi
24 Januari 1949 “Mr Maramis, Menteri Keuangan di Kabinet Hatta, yang saat ini di
New Delhi, telah diangkat menteri luar negeri oleh Mr Sjafrudin Prawiranegara dari
pemerintah darurat Republik”

Jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri PDRI dimanfaatkan dan dioptimalkan A.A
Maramis untuk mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari berbagai negara. Ia sempat
berkunjung ke Turki, Perancis dan Pakistan serta kepada negara-negara Muslim.

Di India A.A Maramis dkk terus berhubungan dengan Jahrawal Nehru Perdana Menteri
India agar India membantu perjuangan Indonesia. Nehru merespon dengan mengadakan
Konferensi Asia (Inter Asian Relation Conference/IARC) yang kedua pada 20-25
Januari 1949 di Delhi. Sebenarnya hubungan Indonesia dengan India memang sudah
akrab sejak pengakuan India atas Indonesia pada 2 September 1946. Konferensi ini
diikuti oleh 19 negara Asia, Afrika, dan Pasifik Selatan. Serta utusan PDRI yang terdiri
dari A.A Maramis, Sumitro, Sudarsono, Utoyo—Dubes Singapura, dan H.M. Rasjidi—
Dubes Mesir. Dalam konferensi ini A.A Maramis dkk membuat sebuah memorandum
yang dibacakan pada 20 Januari. Memorandum tersebut berisikan antara lain; agar
Belanda mengembalikan wilayah RI secara utuh, menuntut terselenggaranya
perundingan, dan dibuatnya lembaga khusus untuk melaksanakan keputusan Dewan
Keamanan PBB.

A.A Maramis yang terkenal berkepribadian kuat, pendiam, pintar, dan keras kepala ini
membuat Belanda menaruh hormat padanya. Belanda menyebutnya sebagai ’een
daadkrachtige Minister van Buitenlandse Zaken en Financiën in New Delhi’ (Seorang
Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan yang bertindak tegas di New Delhi).

Berkat usaha dan perjuangan A.A Maramis dkk membela Negara Indonesia, akhirnya
pada 22 Januari Konferensi menghasilkan delapan ayat resolusi untuk Dewan
Keamanan PBB yang berisi pemulihan pemerintahan Indonesia, pembentukan
pemerintahan peralihan, penarikan mundur pasukan Belanda, dan pengembalian
kedaulatan Indonesia pada 1 Januari 1950 serta pembebasan pemimpin Republik.
Mendengar kabar tersebut dari Sumatera Barat, Syafruddin segera mengirim telegram
kepada A.A Maramis di Delhi yang berisi penerimaannya terhadap resolusi dengan
penuh rasa tanggung jawab.

Di tengah-tengah perjuangannya di Konferensi Asia Kedua A.A Maramis tidak


melupakan tugas utamanya sebagai Menteri Keuangan, ia masih menghadiri sidang
Dewan Keamanan PBB di Paris bersama L.N. Palar. Dan di New York bersama Palar
dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo membicarakan soal kontrak kerja sama ekonomi
dengan Matthew Fox Concern.

Tentunya, usaha dan perjuangan A.A Maramis selama menjabat sebagai Menteri Luar
Negeri PDRI amat sangat dihargai oleh pemerintah. Karena itu, ia menerima Bintang
Mahaputera dan Bintang Gerilya dari pemerintah Republik Indonesia.

Sekitar tujuh bulan lamanya Pemerintah Darurat Republik Indonesia berjalan hingga
pada 13 Juli 1949, setelah Persetujuan Roem-Royen ditandatangani diadakan sidang
antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan
beberapa menteri kedua kabinet. Dalam sidang tersebut, Pemerintah Hatta
mempertanggungjawabkan peristiwa 19 Desember 1948. Wakil Presiden Hatta
menjelaskan terkait tiga hal yaitu hal tidak menggabungkan diri kepada kaum gerilya,
hal hubungan Bangka dengan luar negeri dan terjadinya Persetujuan Roem-Royem.
Pada sidang ini, Syafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya secara
formal kepada Mohammad Hatta, sehingga selain beliau menjabat sebagai Wakil
Presiden, beliau juga kembali menjabat sebagai Perdana Menteri.

Demikian lika liku perjalanan dan perjuangan serta peran A.A Maramis dalam
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), sebagai Duta Besar PDRI sekaligus
Menteri Keuangan RI.
Tentunya perjalanan A.A Maramis dalam memperjuangkan Negara Indonesia tidak
sampai di sini, masih banyak peran-peran lain seperti perannya sebagai Duta Besar
Istimewa (1 Agustus 1949) melalui Keppres No. 9/A/49, Duta Besar untuk Filipina (25
Januari 1950) melalui Keppres RIS No. 39, Duta Besar RI untuk Jerman Barat (10 April
1953) melalui Keppres RI No. 56/M tahun 1953, terakhir Duta Besar untuk Uni Soviet
dan Finlandia yang berkedudukan di Moskow.

Sudah seharusnya kita sebagai warga Indonesia mengetahui sejarah Negara kita sendiri
melalui wawasan dan pengetahuan kita terhadap tokoh-tokoh Nasional yang berperan
dalam mempertahankan dan membela Negara Indonesia. Hal yang dapat kita lakukan
sekarang adalah bagaimana kita tetap mempertahankan dan membela Negara Indonesia
diantaranya dapat dilakukan dengan membaca buku sejarah Indonesia, biografi tokoh-
tokoh Nasional, dan mengunjungi monument, museum, atau tempat-tempat bersejarah.
Selain itu kita dapat mengaplikasikan rasa bela Negara kita dengan hidup saling
membantu, bergotong-royong sesama, saling menghargai pendapat, dan tak lupa
mengirimkan do’a untuk para pahlawan Nasional kita ketika peringatan Hari Bela
Negara 19 Desember maupun peringatan Hari Nasional lainnya.

Anda mungkin juga menyukai