Anda di halaman 1dari 8

Organisasi Pergerakan Nasional Masa

Bertahan (Tahun 1930-1942)


Sejak tahun 1930 organisasi-organisasi pergerakan Indonesia mengubah taktik perjuangannya,
mereka menggunakan taktik kooperatif (bersedia bekerja sama) dengan pemerintah Hindia
Belanda. Pada tahap ini kaum pergerakan berusaha mencari jalan baru untuk melanjutkan
perjuangan. Hal itu dilakukan karena adanya tindakan keras dari pemerintah. Mereka
menggunakan taktik baru, yaitu dengan bekerja sama dengan pemerintah melalui parlemen.
Partai politik mengirimkan wakil-wakilnya dalam Dewan Rakyat. Mereka mengambil jalan
kooperatif, tetapi sifatnya sementara dan lebih sebagai taktik perjuangan saja.Perjuangan
moderat dan parlementer ini berlangsung dari tahun 1935 – 1942, pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936–1942). Hingga saat pemerintah
Hindia Belanda ditaklukkan oleh Jepang, pemberian hak parlementer penuh oleh pemerintah
Belanda kepada wakil-wakil rakyat Indonesia tidak pernah menjadi kenyataan

Sebab-sebab perubahan taktik ini antara lain disebabkan:

1. Terjadinya krisis malaise yang melanda dunia. Krisis malaise adalah sebuah peristiwa
menurunnya tingkat ekonomi secara dramatis di seluruh dunia yang mulai terjadi pada
tahun 1929. Depresi dimulai dengan peristiwa Selasa Kelam, yaitu peristiwa jatuhnya
bursa saham New York pada tanggal 24 Oktober dan mencapai puncak terparahnya pada
29 Oktober 1929. Depresi ini menghancurkan ekonomi baik negara industri maupun
negara berkembang.
2. Sikap pemerintah kolonial makin tegas dan keras terhadap partai-partai yang ada sebagai
dampak PKI yang gagal memberontak. Pada tahun 1926 dibeberapa daerah terjadi
gejolak yang dilakukan oleh PKI dalam rangka menentang pemerintah kolonial Belanda.
pemberontakan PKI  Banten  berhasil dipadamkan  oleh  pemerintah  kolonial  dan 
sampai  bulan Desember 1926, pemerintah  kolonial  masih  melakukan penangkapan
kepada para pelaku pemberontakan. Para pemberontak yang berhasil ditangkap kemudian
dibuang ke Boven Digul, dipenjaran dan atau dihukum mati. Semenjak ada gerakan
tersebut, maka pemerintah colonial Belanda lebih reaksioner dalam menghadapi
organisasi-organisasi yang ada. Gubernur  Jenderal  de  Jonge (1931-1936) secara 
konsekuen  menjalankan  politik  “purifikasi”  atau “pemurnian” artinya menumpas segaa
kecenderungan ke arah ra dikalisasi dengan agitasi massa dan semua bentuk
nonkooperasi.
3. Penahan terhadap para tokoh nasional seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir oleh pemeritah
kolonial Belanda.(1930)

Corak perjuangan yang radikal, kemudian berganti lebih moderat, sedikit melunak oleh karena
itu sering disebut sebagai masa bertahan. Organisasi-organisasi yang berhaluan moderat pada
masa bertahan antara lain:

Perjuangan melalui Volksraad


Salah satu tindak lanjut dari kebijakan Politik Etis, yang diucapkan oleh
Ratu Wilhemina saat berpidato di pembukaan parlemen Belanda pada 17 September 1901, di
bidang pendidikan adalah dengan dibentuknya Volksraad (dewan rakyat) pada 1916.
Menariknya, rancangan peraturan mengenai Volksraad ini telah disiapkan dan diajukan oleh
Menteri Jajahan Willem K.B. van Dedum pada 1893. Setelah mengalami beberapa perubahan,
rancangan peraturan tersebut kemudian disetujui oleh parlemen Belanda pada 16 Desember 1916
dan menjadi Staatsblad 1916 No 14 (Catatan: kalo merujuk ke situs Pemprov DKI, Staatsblad
1916 No 14). Berdasarkan Dekrit Kerajaan tanggal 30 Maret 1917, disebutkan bahwa UU
mengenai Volksraad mulai berlaku sejak 1 Agustus 1917 sedangkan lembaganya baru
diresmikan oleh Gubernur Jenderal Graaf van Limburg Stirum pada 18 Mei 1918.

Volksraad mempunyai hak yang tidak sama dengan parlemen, karena volksraad tidak
mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara. Lembaga Dewan Rakyat
ini hanya memiliki kewenangan sebagai penasihat penguasa koloni.

Volksraad pertama (1918 – 1921) memiliki 38 anggota tidak termasuk ketuanya yang orang
Eropa. 19 orang anggota (10 orang Indonesia, 9 Eropa dan Timur Asing) dipilih oleh pemilih
setempat sedangkan 19 anggota lainnya (5 Indonesia, 14 Eropa dan timur Asing) diangkat oleh
Gubernur Jenderal, sesuai Staatsblad 1917 No 547. Sidang pertama Volksraad pada 21 Mei 1918
yang dibuka oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum. Karena konstelasi politik, terjadi
penambahan anggota pada Volksraad masa berikutnya (1921 – 1924), yaitu menjadi 48 orang
(20 Indonesia dan 28 Eropa dan Timur Asing).

Komposisi Volksraad ke-4 (1927 – 1931) terjadi penambahan anggota orang pribumi menjadi
hampir 2x lipat. Berdasarkan salah satu pasal dalam Inlandsche Reglement 1925 disebutkan
anggota Volksraad dapat berjumlah sampai dengan 60 orang tidak termasuk ketuanya. Volksraad
ketiga (1924 – 1927) masih beranggotakan 48 orang.

Orang pribumi yang pernah menjadi anggota Volksraad antara lain R.A.A. Wiranatakusuma
(Bupati Bandung), R.D. Wiriadiatmaja (Patih Majalengka), Pangeran Ario Gondosubroto
(Bupati Banyumas), Prawoto Sumodilogo (Patih Banjarnegara), R.A.A. Cakraningrat (Bupati
Bangkalan), P.A. Hadiwijoyo (Swapraja Surakarta), Said Abdulah Alatas (Wakil Peranakan
Arab), Mr. Ko Kwat Tjiong (wakil peranakan Cina), Tuanku Mahmud (Wakil Aceh), Jubhar
(Perwakilan Sumatra Barat), De Quelyu (Wakil Maluku), Dr. G.S.S.J. Ratulangie (Wakil
Minahasa), Soetardjo Kartohadikoesoemo (Patih Gresik), R.A.A. Suriakartalegawa (Bupati
Garut), R.A.A. Danusugondo (Bupati Magelang), R.A.A. Sosrodiprojo (Bupati Wonosobo), Drs.
Herman Kartowisastro (Wedono, Wakil VAIB), Mohammad Husni Thamrin, H.O.S.
Tjokroaminoto, Djajadiningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo, Otto Iskandar Dinata, Mr.
Mohammad Yamin, Suroso, Sokarjo Wiryopranoto, Wiwoho, Piet Kerstens, I.J. Kasimo, Datuk
Tumenggung dan A.S. Alatas

Partai Indonesia (Partindo)

Partai Indonesia (Partindo) didirikan oleh Sartono. Partindo mempunyai


tujuan perjuangan sama dengan PNI, yaitu mencapai Indonesia merdeka. Dasar perjuangan
Partindo adalah nonkooperatif, tidak menggantungkan diri pada orang lain, serta aktif menentang
penjajahan. Tujuan itu akan tercapai dengan cara memperluas hak-hak politik menuju
pemerintahan yang demokratis dan perbaikan ekonomi rakyat. Partindo dalam hal agama
bersikap netral. Partindo memperjuangkan kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan pers,
mengusahakan perkumpulan-perkumpulan tani, dan pemberantasan buta huruf. Kedudukan
Partindo makin kuat setelah Ir. Sukarno membantu memimpin Partindo.

Karena Partindo bersifat radikal, pemerintah Belanda melakukan tindakan pengawasan serupa
dengan PNI. Mulai tahun 1931 pemerintah kolonial Belanda memperketat pengawasannya
terhadap Partindo. Pemerintah kolonial Belanda melarang persidangan Partindo di seluruh Tanah
Air dan melarang para pegawai negeri masuk menjadi anggotanya.

Pemerintah Belanda kembali menangkap Ir. Sukarno dan mengasingkannya ke Flores pada tahun
1934. Pada tahun 1938 Ir. Sukarno dipindahkan ke Bengkulu dan pada bulan Februari
dipindahkan ke Padang. Ir. Sukarno baru bebas pada zaman Jepang (tahun 1942). Partindo tidak
dapat berkembang karena mendapat tekanan keras dari pemerintah Belanda dan para
pemimpinnya ditangkap. Pada tahun 1936 Partindo dibubarkan oleh Sartono

PNI Baru 1931

Dengan dibubarkannya PNI dan berdirinya Partindo menimbulkan


penafsiran yang berbeda-beda di kalangan tokoh PNI sendiri. Pendukung PNI yang menyebut
dirinya Gerakan Merdeka dan tidak menyetujui politik Sartono, mendirikan organisasi baru yang
disebut Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). PNI Baru lahir pada tahun 1931. PNI Baru
berhaluan nasionalis dan demokrasi. Dari PNI Baru muncul tokoh Sutan Syahrir (20 tahun) yang
pada waktu itu masih menjadi mahasiswa di Amsterdam. Ia pulang ke Tanah Air atas permintaan
Moh. Hatta untuk menjadi ketua partai. Walaupun cita-cita dan haluan kedua partai itu sama,
yaitu kemerdekaan dan nonkooperatif, strategi perjuangannya berbeda. PNI Baru lebih
menekankan pada pentingnya pendidikan kader, sedangkan Partindo lebih menekankan aksi
massa untuk mencapai kemerdekaan.

Sifat perjuangan PNI Baru adalah nonkooperatif. Oleh karena itu, pemerintah Belanda pun
melakukan tindakan serupa dengan Partindo. Drs. Moh. Hatta dan Sutan Syahrir ditahan selama
11 bulan. Pada awalnya, kedua tokoh tersebut diasingkan ke Boven, Digul, kemudian
dipindahkan ke Sukabumi. Mereka dibebaskan pada saat pendudukan Jepang.Karena pemerintah
Belanda mengadakan penekanan dan menangkap para pemimpinnya, perjuangan PNI Baru tidak
banyak membawa hasil. Akibat tindakan keras Gubernur Jenderal de Jonge, PNI Baru pada
tahun 1936 tidak berdaya dan mengalami kelumpuhan

Partai Indonesia Raya (Parindra)

Partai ini didirikan oleh dr. Sutomo tahun 1935. Parindra adalah partai
peleburan antara Budi Utomo dan PBI. Tujuan Parindra adalah mencapai Indonesia Raya yang
mulia dan sempurna, karena bersifat kooperatif, maka Parindra mempunyai wakil-wakil di
Dewan Perwakilan Rakyat (Volksraad). Tokoh Parindra yang duduk di Volkstraad ialah Moh.
Husni Tamrin, R. Sukardjo Pranoto, R.P. Suroso, Wiryoningrat, dan Mr. Susanto Tirtoprodjo.

Tujuan Parindra ialah Indonesia Raya. Untuk mencapai tujuan tersebutdilakukan usaha-usaha
sebagai berikut.

1. Memperkokoh semangat persatuan kebangsaan.


2. Terus berjuang untuk memperoleh suatu pemerintahan yang berdasarkan demokratis dan
nasionalisme.
3. Berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat baik bidang ekonomi maupun sosial.

Usaha-usaha yang dilakukan Parindra antara lain:

1. Membentuk usaha rukun tani.


2. Mendirikan organisasi rukun tani.
3. Membentuk serikat pekerja.
4. Menganjurkan rakyat agar menggunakan barang-barang produk sendiri dan lain-lain.
Akibat kegagalan Petisi Sutardjo, Parindra kemudian mengambil prakarsa untuk menggalang
persatuan politik menunj pembentukan badan konsentrasi nasional, yang disebut Gabungan
Politik Indonesia (GAPI).

Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo)

Gerindo berdiri di Jakarta pada tanggal 24 Mei 1937 sebagai akibat


bubarnya Partindo. Adapun yang menjabat sebagai ketuanya adalah Adnan Kapau Ghani (A. K.
Ghani). Adapun anggota Gerindo di antaranya adalah anggota-anggota Partindo, yaitu Mr. Moh
Yamin, Mr. Amir Syarifudin, Mr. Sartono, S. Mangunsarkoro, Mr.Wilopo, dan Nyonopranoto.

Sesuai dengan situasi pada saat itu, Gerindo melakukan taktik perjuangan kooperatif dengan
pemerintah kolonial. Dengan demikian, Gerindo mengizinkan anggotanya duduk dalam
Volksraad.Tujuannya adalah mencapai pemerintahan negara yang berdasarkan kemerdekaan
politik, ekonomi, dan sosial. Dalam kongres keduanya di Palembang, Gerindo memutuskan
bahwa peranakan Eropa, Tionghoa, dan Arab dapat diterima menjadi anggota partai

Petisi Soetardjo 15 Juli 1936

Gagasan dari petisi  ini dicetuskan oleh  Sutardjo Kartohadikusumo,


Ketua  Persatuan Pegawai Bestuur/ Pamongpraja Bumiputera dan wakil dari organisasi ini di
dalam sidang Volksraad  pada  bulan  Juli  1936.  Isi  petisi  itu secara garis besar adalah tentang
permohonan supaya diadakan suatu  musyawarah antara wakil -wakil  Indonesia dan Negeri
Belanda di mana anggota-anggotanya mempunyai hak yang sama. Tujuannya adalah  untuk 
menyusun  suatu  rencana  yang isinya adalah pemberian kepada Indonesia suatu  pemerintahan 
yang  berdiri  sendiri  dalam  batas  pasal  1  Undang-undang  Dasar Kerajaan Belanda.

Petisi itu ada yang menyetujui dan ada yang tidak. Kalau dari pihak Indonesia ada yang tidak
setuju, maka alasannya bukanlah soal isi petisi itu tetapi seperti yang diajukan oleh Gesti Noer
ialah caranya mengajukan seperti menengadahkan tangan. Antara tokoh-tokoh Indonesia terjadi
pro-kontra tentang petisi itu. Tetapi akhirnya petisi Soetardjo ditolak oleh Ratu Belanda pada
bulan November 1938
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI)

Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) merupakan organisasi yang berdiri


pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada tahun 1937 di Surabaya. Pendirinya adalah K. H.
Mas Mansyur dan kawan-kawan. MIAI mengoordinasikan berbagai kegiatan dan menyatukan
umat Islam menghadapi politik Belanda seperti menolak undang-undang perkawinan dan wajib
militer bagi umat Islam. KH Hasyim Asy’ari menjadi ketua badan legislatif dengan 13 organisasi
tergabung dalam MIAI. MIAI dapat berkembang menjadi organisasi besar yang mendapat
simpati dari seluruh umat islam Indonesia sehingga Jepang mulai mengawasi kegiatannya.

MIAI merupakan badan federasi organisasi-organisasi Islam, antara lain Muhammadiyah, NU,
PSII, PII, Persatuan Ulama Indonesia, Al Washiliyah, Al Islam dan Wasmusi (Wartawan
Muslimin Indonsia) dengan K.H. Wachid Hasyim sebagai ketua. Tujuan MIAI adalah untuk
mempererat hubungan antarorganisasi Islam Indonesia dan kaum Islam di luar Indonesia serta
menyatukan suara-suara untuk membela keluhuran Islam.

MIAI pada awalnya merupakan organisasi yang tidak berjuang dalam bidang politik. Dalam
upaya mewujudkan tujuannya, MIAI menyelenggarakan beberapa kali kongres. Salah satu
kongres yang terpenting ialah kongres ke-12 pada bulan Mei 1939 di Solo, yang melahirkan
keputusan-keputusan sebagai berikut :

1. propaganda ke daerah-daerah diserahkan kepada Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama


(NU).
2. Jong Islamiten Bond tetap diwajibkan berhubungan dengan organisasi Islam lainnya guna
membentuk satu badan persatuan bersama.
3. pembentukan sekretariat MIAI.
4. pembentukan Departemen Urusan LuarNegeri.

Pada masa pendudukan Jepang, MIAI merupakan satu-satunya organisasi yang boleh berdiri.
MIAI memanfaatkan kondisi ini untuk lebih mengembangkan organisasi keagamaan yang ada.
Tetapi setelah jepang mencurugai bahwa MIAI dimanfaatkan untuk perjuangan bangsa
Indonesia, akhirnya MIAI dibubarkan seperti halnya organisai-organisaai lainnya. Sebagai
gantinya, Jepang membentuk Majelis Syuro Musolim Indonesia (masyumi).

Gabungan Politik Indonesia (Gapi)


Berdirinya Gabungan Politik Indonesia (Gapi) dilatarbelakangi adanya
penolakan petisi Sutarjo dan gentingnya situasi internasional menjelang pecahnya Perang Dunia
II. Gapi bukanlah sebuah partai, melainkan hanya sebuah wadah kerja sama partai-partai. Gapi
berdiri tanggal 21 Mei 1939. Partai-partai yang tergabung dalam Gapi antara lain Gerindo,
Parindra, Pasundan, Persatuan Minahasa, PSII dan Persatuan Partai Katholik (PPK).

Berikut ini ada beberapa alasan yang mendorong terbentuknya Gapi.

1. Kegagalan petisi Sutarjo. Petisi ini berisi permohonan agar diadakan musyawarah antara
wakil-wakil Indonesia dan Belanda. Tujuannya adalah agar bangsa Indonesia diberi
pemerintahan yang berdiri sendiri.
2. Kepentingan internasional akibat timbulnya fasisme.
3. Sikap pemerintah yang kurang memerhatikan kepentingan bangsa Indonesia

Gapi menuntut hak untuk menentukan nasib dan pemerintahan sendiri. Pada kongres yang
pertama tanggal 4 Juli 1939 Gapi menuntut Indonesia berparlemen. Tuntutan GAPI dijawab
Pemerintah dengan pembentukan Komisi Visman pada bulan Maret 1941. Komisi yang diketuai
Visman ini bertugas mengetahui keinginan kelompok masyarakat Indonesia dan perubahan
pemerintahan yang diharapkan. Namun Komisi ini hanya menampung hasrat masayarakat
Indonesia yang pro pemerintah dan masih menginginkan Indonesia tetapi dalam ikatan Kerajaan
Belanda. Hasil penyelidikan Komisi Visman tidak memuaskan. Komisi hanya sekedar memberi
angin atau berbasa-basi kepada kaum nasionalis Indonesia dan tidak sungguh-sungguh
menanggapi perubahan ketatanegaraan Indonesia.

Sebelum hasil Komisi Visman diwujudkan, Jepang sudah tiba di Indonesia. Meskipun demikian
pihak Indonesia telah sempat mengusulkan 3 hal, yaitu :

1. pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri;


2. penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang Dewan Rakyat;
3. pergantian kata Inlander (pribumi) menjadi Indonesier.

Untuk menguatkan dan mensukseskan perjuangan GAPI yaitu “Mencapai Indonesia


Berparlemen”, maka kaum pergerakan mengadakan kongres. Kongres Rakyat Indonesia (KRI)
yang sebelumnya hanyalah kata kerja/kegiatan (verb) kemudian dirubah menjadi seolah-olah
sebuah badan perwakilan (parlemen) bagi bangsa Indonesia.

Anggota KRI di antaranya: 1. Partai Indonesia Raya (Parindra), 2. Gerakan Rakyat Indonesia
(Gerindo), 3. Paguyuban Pasundan, 4. Persatuan Minahasa, 5. Persatuan Perkumpulan Pemuda
Indonesia (PPPI), 6. Kongres Perempuan Indonesia (KPI), 7. Istri Indonesia (II), 8. Persatuan
Djurnalis Indonesia (Perdi), 9. Persatuan Politik Katolik Indonesia (PPKI), 10. Persatuan
Hindustan Indonesia (PHI), 11. Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), 12. Partai Islam Indonesia
(PII), 13. Partai Arab Indonesia (PAI), 14. Muhammadiyah, 15. Persatuan Muslimin Indonesia
(Permi), 16. Persatuan Islam (Persis), 17. Nahdhatul Ulama (NU), 18. Gabungan Serikat Pekerja
Indonesia (Gaspi), 19. PBMTS, 20. Partai Persatuan Indonesia (Parpindo), 21. Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI), kemudian yang berasal dari organisasi Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri
(PVPN)

Anda mungkin juga menyukai