Anda di halaman 1dari 46

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Restoratif Justice Terhadap Kasus Pencurian Modul Kulkas Di

Wilayah Hukum Polres Kudus.

Tindak pidana pencurian merupakan suatu kejahatan yang terjadi

hampir dalam setiap daerah Indonesia, dan merupakan tindak pidana paling

banyak terjadi dibandingkan dengan jenis tindak pidana terhadap harta

kekayaan yang lain.1 Dasar hukum tindak pidana pencurian diatur dalam

Pasal 362-367 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan

Hukum Pidana (selanjutnya dalam penelitian ini disebut sebagai KUHP).

Berdasarkan hal tersebut jenis pencurian terdiri dari pencurian biasa,

pencurian dengan kekerasan, pencurian pertenakan, dan pencurian di dalam

keluarga.2 Pasal pokok dari tindak pidana pencurian diatur dalam Pasal 362

KUHP yang menyatakan sebagai berikut:

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau


sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Berdasarkan ketentuan di atas maka penyelesaian tindak-pidana

pencurian melalui proses peradilan pidana atau sistem peradilan pidana

dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun. Namun kelemahan

penyelesaian perkara melalui sistem peradilan pidana yaitu kegagalan untuk


1
Yoga Ari Permana, “Analisis Yuridis Tindak Pidana Pencurian Terhadap Pelaku Yang Menghidap
Kleptomania”, Jurnal Ilmu Hukum Kertha Wicara, Vol. 8, No. 5, 2019, hlm. 3.
2
Rusmiati Dkk, “Konsep Pencurian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum
Pidana Islam”, Law Jurnal, vol. 1, No. 1, 2017, hlm 344.

43
melakukan ganti rugi yang memadai terhadap korban kejahatan. Berdasarkan

hal tersebut dalam perkembangan muncul alternaltif proses penyelesaian

perkara pidana yang memaksimalkan partsipasi korban kejahatan dan pelaku

kejahatan serta pihak-pihak yang terlibat, untuk mencari penyelesaian perkara

yang menekankan pada pemulihan, proses tersebut dinamakan dengan

restorative justice.3 Restoratif justice adalah pemikiran yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan kepada

kebutuhan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme

yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.4

Konsep pendekatan Restoratif Justice merupakan suatu pendekatan

yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan

antara pelaku tindak pidana dan juga korban. Pada pendekatan restoratif

justice mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada

pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan

kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana lebih adil bagi kedua belah

pihak. Restoratif Justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang

didapatkan dari restorasi, restorasi yang dimaksud memiliki makna yang

lebih luas dari apa yang dikenal dalam proses peradilan pidana konvensional

adanya restitusi atau ganti kerugian terhadap korban.5

3
Eddy Oemar Syarif Hiariej, “Prinsip-prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi”, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2016, hlm. 47.
4
Sugiharto, “Sistem Peradilan Pidana Inonesia”, Unnisula Press, Semarang, 2012, hlm. 24.
5
Septa candra, “Restoratif Justice : Suatu Tinjauan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Di
Indonesia”, Jurnal Rechtvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 No.2, Fakultas Hukum
Universitas Jakarta, 2013, hlm.264.

44
Tindak Pidana pencurian dengan penerapan penyelesaian restorative

justice yang menarik untuk diteliti terjadi di wilayah hokum Polres Kudus,

yang dilakukan oleh tersangka PB. Berdasarkan Perkara Nomor laporan :

LP/B73/VII/2022/SPKT/POLRES KUDUS/POLDA JATENG, kronologi

tindak pidana pencurian yang dilakukan tersangka yaitu berawal. PB

merupakan salah satu teknisi dibagian service klaim garansi di PT.HIT. Pada

bulan juni tahun 2020 sampai tahun 2022 ada pelanggan yang mengajukan

klaim garanasi atas kulkas yang rusak kemudian PB melakukan pengecekan,

yang hasilnya modul kulkas mengalami kerusakan total dan tidak dapat

diperbaiki lagi. PB memberikan solusi kepada pelanggan tersebut untuk

menganti modul yang baru. Kenyataannya modul kulkas tersebut masih bisa

diperbaiki dan masih bisa berfungsi. Pelanggan yang setuju untuk melakukan

penggantian modul kulkas yang baru, maka PB menjual modul-modul yang

berasal dari berbagai costumer-nya dan dari PT.HIT ke marketplace berkisar

harga Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) – Rp.250.000,00 (dua

ratus lima puluh ribu rupiah) per modul.6

Pimpinan PT.HIT sekitar pada bulan April 2022 melakukan survey

terkait suku cadang kulkas karena mengalami kerugian yang disebabkan

banyak modul kulkas hilang. Diperkirakan sebanyak 161 modul atau senilai

Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Berdasarkan hal tersebut

pihak PT.HIT menelusuri penjual-penjual di media online dan menemukan

salah satu penjual di marketplace yang menjual modul kulkas yang sama

dengan suku cadang yang ada di PT. HIT. Setelah mengetahui hal tersebut
6

45
kemudian YA selaku pihak dari PT. HIT mencoba untuk membeli dan

memeriksa ternyata modul kulkas tersebut sesuai dengan modul kulkas milik

P.T HIT yang hilang. Setelah mengetahui toko tersebut akhirnya YA

melaporkan kepada pihak kepolisian.7

Berdasarkan hasil wawancara bahwa penyelesaian tindak pidana

pencurian yang dilakukan oleh tersangka PB, oleh Polres Kudus tidak

diselesaikan melalui penerapan sistem peradilan pidana karena perbuatanya

PB tersebut melanggar ketentuan Pasal 362 KUHP, namun diselesaikan

melalui penerapan restoratif justice.8 Bahwa pelaksanaan restorative justice

di Polres Kudus yaitu disesuaikan dengan Peraturan Nomor 8 Tahun 2021

Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,

dengan meperhatikan syarat umum dan syarat khusus dalam suatu perkara

yang tergolong dalam penyelesaian perkara melalui restorative justice.9

Berdasarkan hasil wawancara menurut Jajang Wiwoko menyatakan

bahwa proses mekanisme penyelesaian perkara melalui pendekatan

restoratif justice yaitu pihak korban melaporkan kejadian tersebut pada

tanggal 21 Juli 2022 dengan laporan Polisi Nomor:

LP/B/73/VII/2022/SPKT/POLRESKUDUS/POLDAJATENG. Lalu pihak

kepolisian melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dari pihak PT.HIT,

dilanjutkan dengan penerbitan surat perintah penyidikan nomor:

Sp.Sidik/38/VII/2022/Reskrim sekaligus menerbitkan Surat Pemberitahuan

8
Ryan Maulana, “Hasil Wawancara Pribadi” Penyidik Pembantu Polres Kudus, 27 September
2022, Kudus.
9

46
Dimulainya Penyidikan (yang selanjutnya disebut SPDP) nomor:

B/38/VII/2022/Reskrim pada tanggal 21 Juli 2022, ketika semuanya terbukti

lalu dilakukan penangkapan pelaku dan menerbitkan surat perintah

penahanan nomor : Sp.Han/65/VII/2022/Reskrim pada tanggal 22 Juli

dengan dilakukan penahanan selama 20 hari atas nama Paing Budiyono. 3

(tiga) hari kemudian tepatnya tanggal 25 Juli 2022 penyidik mengirim

SPDP yang ditujukan kepada kejaksaan yang bertujuan untuk

memberitahukan dimulainya dilakukan penyidikan terhadap suatu perkara.10

Hasil pemeriksaan penyidik menjelaskan fakta bahwa benar tersangka

PB melakukan pencurian modul kulkas milik PT HIT Kudus. Bahwa pelaku

dalam melakukan perbuatannya dengan cara mengambil modul retur/repair

yang seharusnya diperbaiki oleh pelaku namun oleh pelaku modul tersebut

diambil dan dibawa pulang tanpa izin dengan pihak PT HIT dengan tujuan

untuk dijual kembali secara online di market place Tokopedia dan Shopee

dengan nama akun toko “Fast Part 14”.Penyidik mengungkapkan bahwa

pelaku sudah melakukan perbuatan tersebut selama 2 (dua) tahun, tepatnya

bulan Juni 2020 hingga Juli 2022.11

Modul kulkas yang sudah diambil sebanyak 161 (serratus enam puluh

satu) modul dengan rincian 147 (serratus empat puluh tujuh) sudah dijual

secara online dan 14 (empat belas) lainnya berhasil diamankan sebagai

barang bukti. Pelaku menjual modul kulkas secara online dengan harga

sekitar Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu) modul, pelaku mengaku

10

11

47
uang hasil penjualan modul kulkas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Penyidik mengkalkulasi kerugian yang dialami PT.HIT Kudus sebesar

Rp.24.000.000 (dua puluh empat juta ribu). Berjalanya proses pemeriksaan

penyidikan pihak pelapor menghubungi penyidik yang menangani perkara

tersebut, untuk mengkonfirmasi agar kasus ini diselesaikan secara mediasi

dengan mempertemukan kedua belah pihak antara korban dan pelaku. 12

Alasan yang melatarbelakangi pihak Polres Kudus menerapkan

penyelesaian restorative justice terhadap perkara Nomor laporan:

LP/B73/VII/2022/SPKT/POLRES KUDUS/POLDA JATENG, yaitu

sebagai berikut:13

1. Pihak korban yakni pimpinan PT. HIT karena merasa ibah dengan

kondisi keluarga tersangka PB, akhirnya memaafkan perbuatan

yang dilakukan oleh PB;

2. Tersangka PB bukan merupakan pelaku penggulangan tindak

pidana (residivis);

3. Perbuatan yang dilakukan oleh tersangka PB bukan tindak pidana

tertentu (korupsi, terorisme, radikalisme, atau tindak pidana yang

menimbulkan konflik sosial, memecah belah bangsa, dan

perampasan terhadap nyawa orang), yang tidak dapat diberlakukan

restorative justice;

12

13

48
4. Tersangka bersedia membuat surat peryataan bahwa tidak

menggulangi perbuatan yang sama lagi, dan perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang.

Hasil dari mediasi tersebut adalah pihak pelapor YA hanya memafkaan

begitu saja dan pelaku tidak mengganti kerugian sedikitpun atas apa yang

telah dilakukan. Penyidik mengungkapkan bahwa baru kali ini beliau

menangani kasus seperti ini, pihak pelaku PB sangat beruntung sekali

dengan tidak mengganti kerugian sedikitpun dan dibebaskan begitu saja.

Lalu setelah dilakukan kesepakatan tersebut kepolisian memfasilitasi

formulir kesepakatan antara kedua belah pihak, dan pada tanggal 28 Juli

2022 YA sekalu pelapor mencabut laporannya yang selanjutnya penyidik

menerbitkan SP3.14

Penulis menganalisis bahwa perbuatan yang dilakukan oleh PB

merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, karena PB

mengambil barang orang lain secara malawan hukum dan dengan maksud

memiliki barang tersebut, sehingga melanggar ketentuan dalam Pasal 362

KUHP. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Moeljatno yang menyatakan

bahwa tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang undang-

undang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut.15 Ketentuan Pasal 362 KUHP menyatakan sebagai berikut:

“Barangsiapa mengambil seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang


lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
denda paling banyak enam puluh rupiah.”
14

15
Moeljatno, “Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi”, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 59.

49
Berdasarkan ketentuan di atas maka unsur-unsur tindak pidana

pencurian apabila dikaitkan dengan hasil penelitian, yaitu terdiri sebagai

berikut:

1. Unsur barangsiapa;

Barangsiapa sama artinya dengan frasa setiap orang yang

ditemukan dalam rumusan tindak pidana dalam peraturan

perundang-undangan.16 Berdasarkan hal tersebut apabila dikaitkan

dengan hasil penelitian, maka subyek hokum yang melakukan

tindak pidana pencurian adalah PB, sehingga unsur barangsiapa

telah terpenuhi.

2. Unsur mengambil barang/benda;

Mengambil artinya memindahkan barang dengan bermacam-

macam cara, atau setiap perbuatan yang membawa atau

mengalihkan suatu barang berwujud ke tempat lain.17 Berdasarkan

hal tersebut apabila dikaitkan dengan hasil penelitian, maka PB

selaku teknisi PT. HIT memindahkan barang modul kulkas milik

PT. HIT ke rumahnya supaya modul kulkas tersebut dapat

diperbaiki dan berfungsi secara normal kembali agar dapat dijual

ke marketplace/took online dengan harga berkisar harga

Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) – Rp.250.000,00

(dua ratus lima puluh ribu rupiah) per modul.

16
Andi Sofyan Dan Nur Azisa, Op.Cit, hlm. 72.
17
Tongat, “Hukum Pidana Meteriil”, UMM Press, Malang, 2003, hlm 16.

50
Bahwa barang modul kulkas milik PT. HIT yang dibawa PB

pulang, didapatkan dari pergantian suku cadang

pelanggan/customer yang setuju melakukan pergantian modul

kulkas karena mengalami kerusakan total. Penyebab customer

menyetujui adanya pergantian suku cadang modul kulkas adalah,

karena PB memberikan informasi tidak benar terkait kondisi modul

kulkas yang rusak. PB menyampaikan informasi kepada pelanggan

bahwa modul kulkas tersebut sudah rusak total dan tidak dapat

diperbaiki, namun kenyataanya modul kulkas tersebut masih bias

diperbaiki dan berfungsi normal kembali. Berdasarkan hal tersebut

maka unsur mengambil barang/benda telah terpenuhi.

3. Unsur seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;

Unsur benda atau barang yang diambil haruslah merupakan

benda/barang yang dimiliki baik sebagian atau seluruhnya oleh

orang lain. Maksudnya adalah benda/barang yang tidak ada

pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian. 18 Berdasarkan hal

tersebut apabila dikaitkan dengan hasil penelitian, maka PB

mengambil modul kulkas milik PT. HIT yang berasal dari hasil

pergantian dari pelanggan yang melakukan claim garansi dari

bulan Juni tahun 2020 sampai bulan Juli tahun 2022 (2 tahun 1

bulan).

Modul kulkas yang sudah diambil PB dalam kurun waktu 2

(dua) tahun 1 (satu) bulan, sebanyak 161 modul dengan rincian 147
18
Ibid, hlm. 20

51
sudah dijual secara online dan 14 lainnya berhasil diamankan

sebagai barang bukti. Pelaku menjual modul kulkas secara online

dengan harga sekitar Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu)

sampai Rp.250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu). Hasil penjulan

modul kulkas tersebut PB untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berdasarkan hal tersebut maka unsur seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang lain telah terpenuhi.

4. Unsur dengan maksud memiliki;

Frasa “dengan maksud” artinya kesengajaan dengan maksud

yang merupakan pelaku menghendaki perbuatan, dan mengerti

akibat dari perbuatannya. 19 Definisi kata “memiliki” yaitu

mengambil suatu barang agar dapat dikuasai, dan pengertian

“secara melawan hukum” merupakan perbuatan yang

bertentangan dengan undang-undang. Artinya bahwa seseorang

ingin menguasai suatu barang tanpa izin dari pemiliknya. 20

Berdasarkan hal tersebut apabila dikaitkan dengan hasil

penelitian, maka PB melakukan perbuatan mengambil/membawa

modul kulkas milik PT. HIT kerumahnya sebanyak 161 (saratus

enam puluh satu) tersebut tanpa sepengetahuan atau izin

pemiliknya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pihak PT. HIT sekitar

pada bulan April 2022 melakukan survey terkait suku cadang

kulkas karena mengalami kerugian yang disebabkan banyak modul

19
Tongat, Op.Cit, hlm.19.
20
Ibid, hlm 20.

52
kulkas hilang. Pihak PT.HIT menelusuri penjual-penjual di media

online dan menemukan salah satu penjual di marketplace yang

menjual modul kulkas yang sama dengan suku cadang yang ada di

PT.HIT, lalu mencoba untuk membeli dan memeriksa ternyata

modul kulkas tersebut sesuai dengan modul kulkas milik P.T HIT

yang hilang. PB mengambil modul kulkas tersebut ingin

memilikinya karena dapat dijual kembali dan memenuhi

kebutuhan sehari-harinya.

PB dalam melakukan perbuatan mengambil modul kulkas

tersebut menghendaki dan mengetahui akibat perbuatanya, karena

pertama, PB memberikan informasi yang tidak benar terkait

dengan kondisi modul kulkas terhadap pelanggan yang

mengajukan claim garansi, agar modul kulkasnya dapat dilakukan

pergantian dengan modul kulkas yang baru. Kedua, PB mengambil

modul kulkas yang rusak dari hasil pergantian suku cadang tanpa

sepengatuan pihak PT. HIT, yang dilakukan berulang kali dalam

jangka waktu yang lama yakni 2 (dua) tahun 1 (satu) tahun,

sehingga PB menghendaki akibat dari perbuatanya tersebut. Ketiga

dalam keterangan PB dalam berita acara penyidikan (BAP) PB

menghendaki perbuatanya.

5. Unsur malawan hukum

Menurut Zainal Abidin unsur melawan hukum tindak pidana

pencurian yaitu adanya perpindahan suatu barang, benda yang

53
diambil telah diamankan oleh pelaku dan benda tersebut berada di

bawah pengusaanya.21 Berdasarkan uraian tersebut apabila

dikaitkan dengan hasil penelitian, maka perbuatan PB yang

memindahkan barang modul kulkas dari PT. HIT ke rumahnya

tanpa izin dan sepengatahuan pihak PT. HIT. Modul kulkas

tersebut telah diamankan PB dan berada di bawah penguasaanya

PB secara nyata, yang bertujuan untuk diperbaiki dan dijual

kembali, sehingga unsur melawan hokum telah terpenuhi.

Berdasarkan uraian di atas maka unsur-unsur dalam Pasal 362 KUHP

telah terpenuhi, sehingga tersangka PB terbukti melakukan perbuatan

pencurian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 362 KUHP. Dalam

konteks hukum pidana bentuk pencurian yang dilakukan oleh PB merupakan

pencurian biasa, hal ini selaras dengan pendapat Tongat yang menyatakan

“pencurian biasa merupakan perbuatan yang diatur dalam Pasal 362

KUHP”.22 Tindak pidana pencurian yang dilakukan PB apabila dihubungkan

dengan pembagian jenis delik, maka termasuk dalam delik sederhana karena

merupakan suatu delik yang berbentuk biasa tanpa ada unsur serta keadaan

yang memberatkan maupun meringankan. 23

Perbuatan PB yang merupakan tindak pidana pencurian diancam

dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara. Penjatuhan ancaman

sanksi pidana tersebut melalui proses sistem peradilan pidana, yang

merupakan proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum meliputi


21
Zainal Abidin, “Hukum Pidana I”, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hlm, 347.
22

23

54
(Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, dan Lembaga

Permasyarakatan). Lembaga kepolisian sebagai input tindak pidana dalam

sistem peradilan pidana terdapat proses penyelidikan dan penyidikan.

Pengertian penyelidikan yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga

merupakan peristiwa pidana, sedangkan penyidikan yaitu serangkaian cara

yang dilakukan oleh penyidik untuk mengumpulkan bukti dengan bukti

tersebut menerangkan tindak pidana dan menemukan tersangkanya. 24 Tujuan

dilakukan proses penyidikan yaitu untuk mencari kebenaran materill,

mencari bukti, dan menemukan tersangkanya. Selain itu juga penyidikan

merupakan tahap awal pengelolaan data yang kemudian dituangkan dalam

berita acara penyidikan (BAP) yang selanjutnya dibuat oleh prnuntut umum

untuk membuat dakwaan.25

Penyelesaian tindak pidana melalui sistem peradilan pidana hakikatnya

berorientasi pada destrubitif justice (keadilan pembalasan), sehingga

penyelesaian melalui sistem peradilan pidana memiliki kelemahan yaitu

kegagalan untuk melakukan ganti rugi yang memadai terhadap korban

kejahatan. Berdasarkan hal tersebut dalam perkembangan muncul alternaltif

proses penyelesaian perkara pidana yang memaksimalkan partsipasi korban

kejahatan dan pelaku kejahatan serta pihak-pihak yang terlibat, untuk

24

25
Eddy O.S Hiariej, , “Hukum Acara Pidana”, Universitas Terbuka, Jakarta.2017, h. 2.12

55
mencari penyelesaian perkara yang menekankan pada pemulihan, proses

tersebut dinamakan dengan restorative justice.26

Berdasarkan uraian di atas apabila dikaitkan dengan hasil penelitian,

maka penyelesaian tindak pidana pencurian modul kulkas yang dilakukan

oleh PB di PT. HIT, diselesaikan melalui restorative justice oleh Polres

Kudus. Menurut Bagir Manan Restorative Justice merupakan konsep

pemidanaan yang bermaksud menemukan jalan yang lebih adil dan

berimbang, antara kepentingan pelaku dan korban. 27 Berdasarkan pendapat

Bagir Manan tersebut apabila dikaitkan dengan hasil penelitian, maka

penyelesaian tindak pidana melalui restorative justice merupakan konsep

alternatif penyelesaian yang bertujuan untuk terciptanya keadilan dan

berimbang antara kepentingan pelaku tersangka PB mendapatkan

rehabilitasi atas prilaku pencurian modul kulkas di PT. HIT. Bagi korban

korban mendapatkan restorasi atau ganti rugi yang mewadai, karena korban

yang menderita secara langsung akibat perbuatan tersangka PB.

Penerapan penyelesaian restorative justice pada tahapan di lembaga

Kepolisian, merupakan suatu diskresi yang dimiliki oleh Kepolisian diatur

dalam Pasal 13 Jo Pasal 16 UU Kepolisian yang menyatakan sebagai

berikut:

Pasal 13 UU Kepolisian:

“Tugas pokok kepolisian negara Republik Indonesia, yaitu meliputi:


a. Memelihara keaman dan ketertiban masyarakat;
26
Eddy Oemar Syarif Hiariej, “Prinsip-prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi”, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2016, hlm. 47.
27
Glery Lzuardi, “Pendekatan Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Penyebabaran Hoaks”,
Jurnal Kertha Semaya, Vol. 8, No. 9, 2020, hlm. 1305.

56
b. Penegakan hukum;
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.”

Pasal 16 UU Kepolisian

(1) “Dalam rangka menyelenggaraka tugas sebagai dimaksud dalam


Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang proses pidana, Kepolisian
berwenang untuk:
a. Melakukan penenagakan, penahanan, penggeledahan, dan
penyiataan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam
rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang divurigian dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan
dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentikan penyidikan;
i. menyerahakan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat
imigrasi berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam
keadaan mendesak atau mendadakan untuk mencegah atau
menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik
pegawai sipil serta meneruma hasil penyidikan penyidik
pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum;
l. mengadakan Tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.
(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah
Tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Tindak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selarasa dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
Tindakan tersebut dilakukan
c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatanya;
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
e. Menghormati hak asasi manusia.”

57
Berdasarkan kententuan di atas maka kepolisian dalam menjalankan

tugas menegakan hukum memiliki kewenangan mengadakan tindakan lain.

Bahwa pada konteks teori hukum pidana tindakan lain yang dimiliki suatu

pejabat pemerintah merupakan bentuk dari diskresi. Pengertian diskresi

yaitu keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan/dilakukan oleh pejabat

pemerintahan untuk mengatasi persolan-persoalan konkret yang dihadapi

oleh penyelenggara pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan

yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak jelas. 28 Berdasarkan hal

tersebut maka ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf l UU kepolisian, memberikan

ruang/ pilihan bagi kepolisian dalam rangka penegakan hukum untuk

mengatasi persoalan hukum demi terciptanya tujuan hukum (kepastian,

keadilan, dan kemanfaatan). Diskresi yang diterapkan/dilakukan oleh

kepolisian harus meperhatikan batasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal

16 ayat (2) UU Kepolisian. Hal ini sesuai dengan pertimbangan dalam

Perpol Keadilan Restoratif, yang menyatakan sebagai berikut:

“Bahwa kepolisian dalam menjawab perkembangan hukum yang


memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, sesuai dengan Pasal 16 dan
Pasal 18 UU Kepolisian, merumuskan konsep penegakan hukum
pidana yang memuat norma dan nilai-nilai berlaku masyarakat yang
sebagai solusi untuk mewujudkan keadilan hukum, kemanaatan hukum
dan kepastian hukum”.

Pengaturan lain tentang diskresi yang dimiliki oleh kepolisian dalam

penegakan hukum pidana, diatur juga dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP dan

Pasal 7 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 5 ayat (1) KUHAP:

28

58
“Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4:
a. Karena kewajibanya mempuyai wewenang;
1. Menerima laporan atau pengaduan dan seorang tentang
adanya tindak pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksan tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.

Pasal 7 ayat (1) KUHAP:

“Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a


karena kewajibanya mempuyai kewenangan:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
h. Mendatangakan orang ahli yang diperlukan dalam hubunganya
dengan pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut yang menjadi dasar hukum

bagi kepolisian Polres Kudus dalam penyelesaian tindak pidana pencurian

yang dilakukan PB melalui pendekatan restorative justice. Pelaksanaan

restorative justice di Polres Kudus dengan meperhatikan syarat umum dan

syarat khusus dalam suatu perkara yang tergolong dalam penyelesaian

restorative justice.29 Berdasarkan hasil wawancara tersebut, apabila

dikaitkan dengan Perpol Restorative Justice syarat umum terdiri dari syarat

29

59
materill dan syarat formil, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 dan

Pasal 6 Perpol Restorative Justice, yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 5 Perpol keadilan restoratif

“Peryaratan materill sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a yang


meliputi, sebagai berikut:
a. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat
b. tidak berdampak konflik social;
c. tidak bersifat radikalisme dan separtisme;
d. pelaku bukan penggulangan tindak pidana berdasarkan putusan
pengadilan;
e. bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamaman
negara, tindak pidana korupsi, dan tindak terhadap nyawa orang.”

Pasal 6 Perpol keadilan restoratif


(1) “persyaratan formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b,
yaitu meliputi:
a. Perdaiaman dari kedua belah pihak, kecuali untuk tindak pidana
narkoba;
b. Pemenuhan hak-hak korban dan tanggungjawab pelaku, kecuali
untuk tindak pidana narkoba.
(2) Perdaiaman sebagaimana dimaksud pada yata (1) huruf a,
dibuktikan dengan surat kesepakatan perdamaian dan ditandangani
oleh para pihak;
(3) Pemenuhan hak korban dan tanggungjawab pelaku sebagaimana
dimaksud pada yata (1) huruf b, dapat berupa:
a. Menggembalikan barang;
b. Mengganti kerugian
c. Menggantikan biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana
d. Mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana.”

Persyaratan khusus penerapan penyelesaian restorative justice diatur

dalam Pasal 7 Perpol Keadilan Restoratif, yang menyatakan sebagai berikut:

“Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1)


huruf b, merupakan persyaratan tambahan untuk Tindak Pidana:
a. Informasi dan transaksi elektronik;
b. Narkoba; dan
c. lalu lintas.”

60
Berdasarkan ketentuan di atas syarat materil dan syarat formil

restorative justice, apabila dikaitkan dengan hasil penelitian, maka sebagai

berikut:

1. alasiil

a. Keputusan diadakannya restorative justice pada kasus pencurian

modul kulkas PT.HIT tidak menimbulkan keresahan dan/atau

penolakan dari masyarakat;

b. Kasus pencurian modul kulkas PT.HIT tidak berdampak konflik

sosial;

c. Kasus pencurian modul kulkas PT.HIT tidak berpotensi

memecah belah bangsa;

d. Kasus pencurian modul kulkas PT.HIT tidak bersifat

radikalisme dan separatisme;

e. Pelaku pencurian modul kulkas PT.HIT yaitu PB bukanlah

pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan

pengadilan;

f. Kasus pencurian modul kulkas PT.HIT bukanlah tindak pidana

terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak

pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang.

2. Syarat formil

a. Terdapat perdamaian dari kedua belah pihak yaitu PB selaku

pelaku pencurian dan pihak HRD PT HIT selaku korban yang

61
telah ditandatangani oleh kedua belah pihak

disaksikan/mengetahui pihak penyidik Polres Kudus;

b. Tidak terpenuhinya hak-hak korban karena pelaku yaitu PB

dimaafkan secara penuh oleh pihak Korban (pimpinan PT.

HIT), termasuk tidak dituntut sama sekali untuk memberikan

restorasi dalam bentuk ganti kerugian kepada PT. HIT. Total

kerugian yang dialami oleh PT. HIT tersebut sangat besar

karena nilainya kurang lebih Rp. 25.000.000,00 (dua puluh

lima juta rupiah). Bentuk ganti kerugian yang seharusnya PB

hak korban penuhi, yaitu sebagai berikut:

1) Mengembalikan barang

Barang yang telah diambil oleh PB berupa modul kulkas

sebanyak 161 (seratus enam puluh satu). Namun modul

kulkas telah dijual oleh PB sebanyak 141 (seratus empat

puluh satu), dan sisanya 14 (empat belas) modul kulkas

dijadikan barang bukti oleh Polres Kudus, sehingga PB

tidak dapat mengembalikan barang sepenuhnya.

2) Mengganti kerugian;

Total kerugian yang dialami oleh PT. HIT dampak dari

perbuatan PB yaitu sebesar Rp. 24.000.000 (dua puluh

empat juta). Hasil penjualan modul kulkas yang telah dijual

oleh PB dibuat memenuhi kebetuhan sehari-hari.

62
Berdasarkan uraian di atas maka pada perkara BAP Nomor:

LP/B73/VII/2022/SPKT/POLRES KUDUS/POLDA JATENG, tidak

terpenuhinya salah satu unsur formil yaitu korban tidak mendapatkan hak

resparasi atau ganti kerugian atas dampak dari perbuatan PB. Hal ini

dikarenakan pihak korban (pimpinan PT. HIT) telah memaafkan secara

penuh termasuk tidak menuntut ganti kerugian sama sekali atas dampak

perbuatan yang telah dilakukan oleh PB. Alasan yang melatarbelakangi

pihak korban memaafkan secara penuh terhadap perbuatan PB, yaitu pihak

korban merasa ibah/kasian terhadap istri PB yang sudah tua dan mondar-

mandir menenggok PB yang telah ditahan.

Bahwa menurut penyidik yang menangani perkara tersebut menilai

tidak terpenuhi Syarat Formil sebagaimana yang diatur Pasal 6 ayat (3)

Perpol Restorative Justice, tidak membatalkan penyelesaian perkara ini. Hal

ini dikarenakan adanya sifat keperdataan dalam pendekatan Keadilan

Restorative/restorative justice, yaitu adanya kesepakatan antara Korban/

Pelapor dengan Pelaku. Berdasarkan hal tersebut apabila dikaitkan dengan

konsep restorative justice, maka penilian penyidik tersebut tidak sesuai

dengan konsep restorative justice. Hal ini dikarenakan tidak terpenuhinya

kepentingan korban, yang harus diutamakan karena merekalah yang secara

langsung terkena dampak kejahatan tersebut. Kepentingan korban yaitu

mendapatkan pemulihan, restorasi, pengertian, empati,

pertanggungjawaban.30
30
Eddy Oemar Syarif Hiariej, “Prinsip-prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi”, Op.Cit, hlm. 45-46.

63
Penerapan restorative justice terhadap tindak pidana pencurian modul

kulkas di PT. HIT yang dilakukan oleh PB, tidak perlu memenuhi syarat

khusus sebagaimana dalam ketentuan Pasal 7 Perpol Restorative Justice. Hal

ini dikarenakan tindak pidana pencurian tidak termasuk atau terkualifikasi

dalam ketentuan Pasal 7 Perpol Restorative Justice. Berdasarkan hasil

penelitian di atas bahwa alasan yang melatarbelakangi penyidik menerapkan

restorative justice terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh PB,

didasarkan pada syarat materill dan syarat formil sebagaimana diatur dalam

Pasal 5 dan Pasal 6 Perpol Restorative Justice. Namun terhadap syarat

formil terdapat salah satu unsur tidak terpenuhinya yaitu pada unsur

pemenuhan hak korban.

Pelaksanaan restorative justice yang diterapkan oleh pihak Polres

Kudus terhadap tindak pidana pencurian oleh PB, apabila dikaitkan dengan

bentuk restorative justice, maka termasuk bentuk program mediasi antara

korban dan pelaku (Victim And Offender Meditation Programmers). Hal ini

dikarenakan ada kesepakatan antara pihak korban dan pihak pelaku tindak

pidana untuk menyelesaikan melalui kekeluargaan. Namun tujuan dari

bentuk pendekatan restoratif justice Victim And Offender Meditation

Programmers dalam tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh PB, tidak

terpenuhi hal ini dikarenakan apabila ditinjau dari pendapat Eddy O.S

Hiariej, yaitu sebagai berikut:

1. Mendukung proses pemulihan antara korban dan pelaku,

64
Artinya korban yang terkena dampak atas tindak pidana

mendapatkan restitusi dalam bentuk ganti kerugian oleh pelaku,

sedangkan pelaku yang telah melakukan ganti kerugian tersebut

mendapatkan rehabilitasi. Berdasarkan hal tersebut apabila

dikaitkan dengan hasil penelitian di atas, maka unsur mendukung

proses pemulihan antara korban dan pelaku tidak terpenuhi,

dikarenakan pihak korban telah memaafkan secara penuh dan

tidak menuntut ganti rugi atas tindak pidana pencurian yang

dilakukan oleh PB, sehingga PB tidak melakukan ganti keurgian

terhadap korban (Pihak PT. HIT).

2. Menbantu pelaku bertanggung jawab langsung kepada korban

tindak pidana;

Artinya bentuk pelaku bertanggung jawab secara langsung adalah

menemui korban dan mendengarkan penderitaan yang dialami

oleh korban, dan mendiskusikan jalan terbaik/alternatif

penyelesaian perkara yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut

apabila dikaitkan dengan hasil penelitian di atas, maka perbuatan

menbantu pelaku bertanggung jawab langsung kepada korban

tindak pidana tidak terpenuhi, hal ini karena pelaku tidak

mendiskusikan atau mencari

alternatif penyelesaian perkara yang terjadi, melainkan karena

pihak korban merasa iba/kasihan kepada keluarga pelaku

65
sehingga membuat pihak korban memaafkan secara penuh atas

tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh PB.

3. Memfasilitasi dan mendorong sebuah proses untuk mencapai

solusi terbaik;

Artinya pihak ketiga/mediator memberikan fasilitas dan

mendorong proses yang mengendepankan win win solution.

Berdasarkan hal tersebut apabila dikaitkan dengan hasil penelitian

di atas, maka unsur memfasilitasi dan mendorong sebuah proses

untuk mencapai solusi terbaik telah terpenuhi, hal ini karena

Polres Kudus menfasilitasi dan mendorong berjalanya mediasi

antara korban (pihak PT. HIT) dan pelaku (PB) dalam perkara

tindak pidana pencurian sampai selesai sehingga menerbitkan SP3

dalam perkara tersebut.

4. Mengimbangkan kepentingan publik dengan kepentingan

individu;

Artinya proses mediasi tersebut harus seimbang antara

kepentingan publik yaitu perbuatan yang melanggar undang-

undang. Kepentingan individu yaitu merupakan kepetingan

korban tindak pidana yang telah dirugikan atas perbuatan oleh

pelaku. Berdasarkan hal tersebut apabila dikaitkan dengan hasil

penelitian, maka unsur mengimbangkan kepentingan publik

dengan kepentingan individu tidak terpenuhi. Hal ini karena pihak

Polres Kudus telah meperhatikan kepentingan publik dan

66
kepentingan individu, serta sejauh mana pelaku merugikan

korban. Namun pihak korban atas kemauanya sendiri memaafkan

tindak pidana yang telah dilakukan oleh PB dan tidak menuntut

ganti kerugian, sehingga kepentingan korban/kepentingan

individu tidak terpenuhi.

B. Landasan hukum Polres Kudus dalam penyelesaian tindak pidana

pencurian modul kulkas melalui pendekatan restoratif justice

Istilah keadilan restoratif berasal dari Albert Eglash pada tahun 1977

yang mencoba untuk membedakan 3 (tiga) bentuk peradilan pidana yaitu,

pertama restributive justice, kedua distributive justice, ketiga, restorative

justice.31 Restorative justice adalah pemikiran yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan kepada

kebutuhan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada

saat ini.32 Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif

atau restorative justice memberikan pandangan dan pendekatan berbeda dari

keadilan biasa, karena keadilan restoratif merupakan penyelesaian yang

melibatkan pelaku dan korban, dan pihak terkait yang menekankan pada

pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.33

Penyelesaian restorative justice yang berlaku di lembaga kepolisian

diatur dalam SE Polri No. 8/VII/2018 dan Perpol Keadilan Restoratif.


31
Ahmad Syaufi, “Kontruksi Model Penyelesaian Perkara Pidana Yang Berorientasi Pada Keadilan
Restoratif”, Samudra Biru, Bantul Yogyakarta, 2020, hlm. 2.
32
Sugiharto, “Sistem Peradilan Pidana Inonesia”, Unnisula Press, Semarang, 2012, hlm. 24.
33
Henny Saida Flora, “Pendekatan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Pidana Dalam
Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”, Jurnal Law Pro Justitia, Vol. 2, No. 2, 2017, hlm. 45.

67
Restoratif Justice sendiri memiliki maksud dan tujuan untuk melakukan

pemulihan kembali pada keadaan semula, keseimbangan perlindungan

antara kepentingan korban dan kepentingan pelaku tindak pidana yang tidak

berorientasi pada pemidanaan.34

Berdasarkan hasil penelitian bahwa pada kasus tindak pidana

pencurian yang dilakukan oleh PB alasan Polres Kudus menggunakan dasar

hukum Perpol kedilan Restoratif dalam menyelesaikan perkara tersebut,

karena dianggap telah memenuhi syarat materil dan formil dalam

pendekatan restoratif justice sebagaimana dalam ketentuan Pasal 5 dan

Pasal 6 Perpol Keadilan Restoratif.35 Mekanisme atau prosedur pihak Polres

Kudus dalam menerapkan restorative justice terhadap perkara Nomor

laporan: LP/B73/VII/2022/SPKT/POLRES KUDUS/POLDA JATENG,

yaitu sebagai berikut:36

1. Para pihak (pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban atau

pihak lain yang terkait), mengajukan surat permohonan secara

tertulis tentang mediasi kepada kepala Polres Kudus;

2. Penyidik dan penyidik pembantu melakukan pemanggilan

terhadap pihak-pihak yang berkonflik, dan memfasilitasi atau

memediasi antar pihak (pelaku, keluarga pelaku, korban, keluarga

korban);

34
Nyoman Ayu Polasari dkk, “Implementasi Prinsip Restorative Justice Pada Perkara Tindak
Pidana Penganiyaan Biasa Di Polres Buleleng”,Jurnal Komunitas Yustisia, Vol. 5, No. 1, 2022, hlm.
246.
35

36

68
3. Penyidik membuat laporan hasil pelaksanaan mediasi dan

mencatatnya ke dalam buku register Keadilan Restoratif

pemecahan masalah dan penghentian penyidikan;

4. Apabila pelaksanaan mediasi tersebut berhasil maka penyidik

menfasilitasi membuat surat pernyataan perdamaian dan bukti

telah dilakukan pemulihan kepada hak korban, seperti ganti rugi,

restitusi, atau dalam bentuk lainya sebagai upaya pemulihan

kepada korban;

5. Terhadap penghentian penyidikan tindak pidana di Polres Kudus,

penyidik melakukan pemeriksaan tambahan dan klarifikasi kepada

para pihak yang dituangkan dalam berita acara.

6. Apabila keduanya sepakat untuk berdamai dan pelaku/tersangka

bersedia memberikan ganti rugi kepada korban, maka penyidik

melakukan gelar perkara khusus yang selanjutnya akan dilakukan

penyusunan laporan hasil gelar perkara khusus;

7. Setelah penyidik melakukan gelar perkara khusus dengan

mepertimbangkan pendapat ahli, yang kemudian penyidik menilai

bahwa perkara tersebut dapat dihentikan proses penyidikannya,

maka penyidik menerbitkan surat perintah penghentian

penyidikan;

8. Penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) disertai

dengan surat ketetapan penghentian penyidikan dengan alasan

demi hukum, yang kemudian dicatat dalam buku register keadilan

69
restoratif penghentian penyidikan dan dihitung sebagai

penyelesaian perkara;

9. Pengiriman surat pemberitahuan penghentian penyidikan dengan

melampirkan surat ketetapan penghentian penyidikan terhadap

perkara yang sudah dikirim surat pemberitahuan dimulai

penyidikan kepada jaksa penuntut umum dan memasukkan data ke

dalam sistem elektronik manajemen penyidikan.

Berdasarkan uraian di atas penulis menganalisis bahwa pihak Polres

Kudus, dalam penyelesaian tindak pidana pencurian modul kulkas

berlandaskan pada Perpol Keadilan Restorative. Bahwa pihak Polres Kudus

dalam menerapkan Perpol Keadilan Restorative tersebut bertujuan agar

Kepolisian Negara Indonesia menjawab perkembangan terkait kebutuhan

hukum masyarakat yang memenuhi rasa keadilan semua pihak, yang

diberikan kewenangan diskresi sesuai dengan ketentuan Pasal 16 dan Pasal

18 UU Kepolisian, yang perlu merumuskan konsep baru dalam penegakan

hukum pidana yang mengakomodir norma dan nilai, yang berlaku dalam

masyarakat sebagai solusi sekaligus memberikan kepastian hukum terutama

kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian di atas bahwa mekanisme restorative

justice yang dilakukan oleh pihak Polres Kudus telah sesuai dengan

ketentuan Pasal 13-16 Perpol restorative juctice, yang menyatakan sebagai

berikut:

Pasal 13 :

70
(1) Penyelasaian tindak pidana ringan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat dilakukan dengan mengajukan surat permohonan
secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Resor dan Kepala
Kepolisian Sektor;
(2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuat
oeh pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, atau pihak
lain yang terkait;
(3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilengkapi dengan domkumen :
a) Surat pernyataan perdamaian; dan
b) Bukti telah dilakukan pemulihan hak korban.
(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan
huruf b, dikecualikan apabila tidak ada korban.

Pasal 14 :
1) Berdasarkan Surat Permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1), petugas fungsi Pembinaan Masyarakat dan
fungsi Samapta Polri:
a. Mengundang pihak-pihak yang berkonflik;
b. Memfasilitasi atau memediasi antar pihak;
c. Membuat laporan hasil pelaksanaan mediasi; dan
d. Mencatat dalam buku register Keadilan Restoratif pemecahan
masalah dan penghentian penyidikan tipiring.
Pasal 15 :
(1) Penghentian Penyelidikan atau Penyidikan Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dilakukan dengan
mengajukan surat permohonan secara tertulis kepada :
a. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, untuk tingkat Markas
Besar Polri;
b. Kepala Kepolisian Daerah, untuk tingkat Kepolisian Daerah;
atau
c. Kepala Kepolisian Resor, untuk tingkat Kepolisian Resor dan
Kepolisian Sektor.
Pasal 16 :
(1) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1), penyidik pada kegiatan Penyelidikan
melakukan:
a. Penelitian kelengkapan dokumen;
b. Klarifikasi terhadap para pihak dan dituangkan dalam berita
acara;
c. Pengajuan permohonan persutujuan untuk dilaksanakan
gelar perkara khusus, bila hasil penelitian sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan hasil klarifikasi sebagaimana
dimaksud pada huruf b, terpenuhi;
d. Penyusunan laporan hasil gelar perkara khusus;

71
e. Penerbitan surat pemerintah penghentian penyelidikan
dengan alasan demi hukum;
f. Pencatatan pada buku register Keadilan Restoratif
Penghentian Penyelidikan dan dihitung sebagai
penyelesaian perkara; dan
g. Memasukkan data ke dalam sistem elektronik manajemen
Penyidikan;
(2) Berdasarkan surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1), penyidik pada kegiatan Penyidikan
melakukan:
a. Pemeriksaan tambahan yang dituangkan dalam berita acara;
b. Klarifikasi terhadap para pihak dan dituangkan dalam berita
acara;
c. Pengajuan permohonan persetujuan untuk dilaksanakan
gelar perkara khusus, bila hasil pemeriksaan tambahan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan hasil klarifikasi
sebagaimana dimaksud pada huruf b, terpenuhi;
d. Penyusunan laporan hasil gelar perkara khusus;
e. Penerbitan surat perintah penghentian Penyidikan dan surat
ketetapan penghentian Penyidikan dengan alasan demi
hukum;
f. Pencatatan pada buku register Keadilan Restoratif
penghentian Penyidikan dan dihitung sebagai penyelesaian
perkara;
g. Pengiriman surat pemberitahunan penghentian Penyidikan
dengan melampirkan surat ketetapan penghentian
Penyidikan terhadap perkara yang sudah dikirim surat
pemberitahuan dimuli Penyidikan kepada jaksa penuntut
umum; dan
h. Memasukkan data ke dalam sistem elektronik manajemen
Penyidikan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (2) huruf e Perpol Keadilan

Restorative, di atas bahwa output dari pelaksanaan restorative justice di

Lembaga Kepolisian adalah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

Ketentuan pasal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP

yang menyatakan sebagai berikut:

“dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat

cukup bukti atau eristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana

72
atau peyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan

hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP di atas

menyebutkan hanya ada tiga alasan suatu perkara dapat dihentikan

penyidikan :

1. Tidak cukup bukti

Artinya untuk bisa memproses suatu perkara pidana penyidik harus

memiliki atau mempuyai minimal 2 alat bukti yang sah, hal ini

sebagaimana amanat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan

sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali


apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

2. Bukan merupakan suatu tindak pidana;

Artinya penyidik setelah melakukan gelar perkara menimpulkan

bahwa kasus yang sedang diproses tersebut ternyata bukan tindak

pidana, melainkan masalah perdata atau administrasi, sehingga

perkara dihentikan. 37

3. Dihentikan demi hukum.

37
Boris Tampubolon, “3 Alasan Penghentian Penyidikan di Kepolisian (SP3)”,
https://konsultashukum.web.id/3-alasan-penghentian-penyidikan-di-kepolisia-sp3/”, diakses
pada 17 Maret 2022.

73
Artinya secara formil perkara tersebut tidak memenuhi ketentuan

hukum seperti nebis in idem, tersangkanya meninggal dunia, dan

daluwarsa. 38

Berdasarkan hal di atas maka apabila dikaitkan dengan hasil

penelitian, maka tindak pidana pencurian modul kulkas yang dilakukan oleh

PB tidak terdapat alasan penghentian suatu perkara sebagaimana dalam

ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Dalam konteks teori hukum

berlakunya Pasal 16 ayat (2) huruf e Perpol Keadilan Restorative, yang

bertentangan dengan Pasal 109 KUHAP tersebut sesuai dengan asas lex

specialis derogat legi generalis artinya ketentuan hukum khusus

mengesampingkan ketentuan hukum yang bersifat umum.39

Penyelesaian tindak pidana pencurian modul kulkas yang dilakukan

oleh PB berdasarkan Perpol Keadilan Restorative tersebut, bertentangan

dengan ketentuan Pasal 1 Peraturan Makamah Agung Nomor 2 Tahun 2012

Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda

Dalam KUHP (selanjutnya dalam penelitian ini disebut PERMA No. 1

Tahun 2012), yang menyatakan bahwa “kata-kata dua ratus lima puluh ribu

dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 402 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi

Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)”. Artinya pada kasus

tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh PB tersebut bukan merupakan

tindak pidana pencurian ringan yang kerugiannya tidak lebih dari

38
Boris Tampubolon, “3 Alasan Penghentian Penyidikan di Kepolisian (SP3)”,
https://konsultashukum.web.id/3-alasan-penghentian-penyidikan-di-kepolisia-sp3/”, diakses
pada 17 Maret 2022.
39

74
Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus), melainkan pencurian biasa sesuai

dengan pasal 362 KUHP dikarenakan kerugian yang ditaksir mencapai

Rp.24.000.000,00. (dua puluh empat juta).

Kedudukan PERMA dalam Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

di Indonesia jelas diuraikan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dari

pasal tersebut dapat diketahui bahwa PERMA memiliki kedudukan di luar

hierarki peraturan perundang-undangan yang ada. Lebih lanjut dipertegas

pada Pasal 8 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan :

Pasal 8 ayat (1) :

“Jenis Peraturan Perundang-Undangan selain sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau

komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah

atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Provinsi,

Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”

Pasal 8 ayat (2) :

“Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

75
diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau

dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Jadi, jelas kedudukan PERMA dalam hierarki Peraturan Perundang-

Undangan jelas diuraikan pada Undang-Undang No.12 Tahun 2011

menyatakan bahwa PERMA memiliki kedudukan di luar hierarki peraturan

perundang-undangan yang ada, namun kembali dipertegas dalam Pasal 8 Ayat

(1) dan (2) bahwa PERMA termasuk dalam jenis peraturan perundang-

undangan yang diakui keberadaannya dan memiliki kekuatan hukum

mengikat.40

Prinsip PERMA yang mengikat lembaga peradilan secara internal dan

berisi ketentuan hukum acara, namun dalam pelaksanaannya PERMA banyak

berhubungan dengan subjek lembaga lain yang terkait bila hendak melakukan

perbuatan hukum tertentu yang berkaitan dengan lembaga tersebut. Subjek-

subjek yang memiliki keterkaitan ketika dikeluarkannya PERMA adalah

kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, kejaksaan dalam

melakukan penyidikan dan penuntutan, pengadilan dalam memeriksa,

memutus, mengadili suatu perkara, dan juga lembaga pemasyarakatan. Hal

tersebut tergabung dalam sistem peradilan yang ada di Indonesia atau

Integrated Justice System.41

Menurut perspektif asas hierarkhi, setiap peraturan perundang-undangan

memiliki kedudukan dalam hierarkhi peraturan agar peraturan menjadi tertata

40
Budianto Eldist Daud Tamin, “Tinjauan Yudiris Terhadap Kedudukan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) Dalam Hirerarki Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia”, Jurnal Hukum,
Vol.VI.No.3.2018, hlm.119.
41
Ibid, hlm.118.

76
rapi dan jika terjadi ketimpangan antara peraturan yang satu dengan yang lain,

maka dapat dilakukan uji material di pengadilan. Kedudukan Perma tidak

diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 sehingga jika bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi akan menimbulkan masalah jika diuji secara

material. Terdapat dua pandangan menurut doktrin terkait wewenang legislatif

yaitu wewenang legislatif asli dan wewenang legislatif derivatif (wewenang

delegasi). Organ Negara yang mendapat limpahan wewenng legislatif

derivative atau delegasi untuk mengisi kekosongan hukum yaitu Presiden dan

Mahkamah Agung.42

Presiden diberikan wewenang untuk membentuk Peraturan Pemerintah

(PP) guna mengisi kekosongan hukum dalam artian menjalankan undang-

undang, sedangkan Mahkamah Agung diberikan wewenang untuk membentuk

Peraturan Mahkamah Agung guna mengisi kekosongan hukum dalam artian

mengatur hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang.43 PERMA

dibentuk untuk mencegah adanya kekosongan hukum dan kebutuhan dalam

konteks praktik Peradilan.

Materi yang termuat dalam PERMA bukan dianggap sebagai fungsi

menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya Peraturan Pemerintah.

Hal tersebut menjadikan fungsi PERMA berbeda dengan fungsi Peraturan

Pemerintah, namun dengan fungsi yang berbeda kedua peraturan perundang-

undangan tersebut tetap memiliki tujuan yang sama yakni untuk membuat

undang-undang berjalan atau dapat diterapkan dalam realitas praktik


42
Jurnal PROBLEMATIKA KEDUDUKAN DAN PENGUJIAN PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG SECARA MATERIIL SEBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
43
Ibid.

77
penyelenggaraan negara maupun dalam praktik peradilan. Oleh sebab itu,

berdasarkan persamaan fungsinya sebagai peraturan perundang-undangan,

PERMA sebagai produk wewenang legislatif MA selaku badan judisial

memiliki kedudukan di bawah undang-undang namun sederajat dengan

Peraturan Pemerintah.

Dalam penelitian ini penyidik Polres Kudus menggunakan Perpol

Keadilan Restoratif sebagai dasar penerapan restorative justice di lingkungan

Polres Kudus. Perpol Keadilan Restoratif tidak disebutkan secara formal

dalam struktur hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011, hal tersebut

lantas tidak mengakibatkan Peraturan Kepolisian menjadi bukan temasuk

peraturan perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena di dalam Pasal 8

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengakui berlakunya peraturan

perundang- undangan di luar hierarki peraturan perundang-undangan asalkan

dibentuk dengan didasarkan atas perintah peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Peraturan Kepolisian diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Hal ini berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 2 Tahun

2018, yang menentukan: “Peraturan Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a merupakan peraturan perundang-undangan dan diundangkan dalam Berita

Negara Republik Indonesia”.Berkaitan dengan pengundangan dalam perspektif

ilmu perundang-undangan, maka Peraturan Kepolisian (Perpol) dikategorikan

sebagai peraturan perundang-undangan.

78
Setelah mengetahui bahwa Peraturan Kepolisian merupakan salah satu jenis

peraturan perundang-undangan, maka selanjutnya adalah menentukan kedudukan

Peraturan Kepolisian dalam struktur peraturan perundang-undangan Indonesia.

Untuk menentukan kedudukan suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal

ini digunakan struktur pemerintahan sebagai acuan. Tetapi sebelum itu akan

dijabarkan terlebih dahulu mengenai konstruksi pemerintahan di Indonesia.

Jika hierarki pemerintahan dijadikan dasar, maka secara struktural semua

produk peraturan perundang-undangan tingkat pusat harus dianggap mempunyai

kedudukan formal lebih tinggi daripada semua produk peraturan tingkat provinsi,

dan semua produk kabupaten/kota. Selain itu, berdasarkan logika hukum, maka

peraturan perundang-undangan tingkat Pusat yang berlaku di seluruh wilayah

Republik Indonesia tentunya lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan

peraturan perundang-undangan tingkat Daerah yang hanya bersifat lokal/regional.

Dengan demikian, kecuali Perda dari pemerintahan daerah provinsi mendapatkan

status sebagai daerah otonomi khusus atau daerah istimewa sebagaimana yang

dimaksudkan oleh ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, maka semua produk

Peraturan Daerah (Perda) dari semua pemerintahan daerah provinsi di seluruh

Indonesia tidak boleh bertentangan dengan produk peraturan perundang-

undangan tingkat pusat, termasuk jenis peraturan yang terendah di tingkat pusat,

yaitu Peraturan Menteri. kabupaten/kota Selain itu, berdasarkan logika hukum,

maka peraturan perundang-undangan tingkat Pusat yang berlaku di seluruh

wilayah Republik Indonesia tentunya lebih tinggi kedudukannya dibandingkan

dengan peraturan perundang-undangan tingkat Daerah yang hanya bersifat

lokal/regional. Dengan demikian, kecuali Perda dari pemerintahan daerah provinsi

79
mendapatkan status sebagai daerah otonomi khusus atau daerah istimewa

sebagaimana yang dimaksudkan oleh ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945,

maka semua produk Peraturan Daerah (Perda) dari semua pemerintahan daerah

provinsi di seluruh Indonesia tidak boleh bertentangan dengan produk peraturan

perundang-undangan tingkat pusat, termasuk jenis peraturan yang terendah di

tingkat pusat, yaitu Peraturan Menteri.16

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan tindak pidana

pencurian dengan pemberatan (perkara pidana nomor

153/Pid.B/2020/PN.Kds), yaitu apabila dikaitkan dalam konteks teori ratio

decindendi adalah pertimbangan yuridis yaitu pertimbangan hukum

berdasarkan fakta-fakta yang terungkap selama persidangan, dan

pertimbangan sosiologis yaitu pertimbangan yang berdasarkan pada fakta-

fakta diluar persidangan dan fakta-fakta dari keadaan diri terdakwa.

Pertimbangan yuridis terdiri dari:

80
a. pertimbangan yuridis, yaitu pertimbangan hakim berdasarkan

fakta-fakta yuridis yang terungkap selama persidangan

berlangsung.

1) Pertimbangan memenuhi rumusan delik pencurian dengan

pemberatan;

2) Pertimbangan alat bukti;

3) Pertimbangan barang bukti;

4) Pertimbangan terdakwa tidak mengajukan saksi yang

meringankan

a. Pertimbangan sosiologis, yaitu pertimbangan hakim secara non

yuridis seperti melihat dari kondisi diri terdakwa.

1) Akibat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa

2) Terdakwa belum pernah dihukum/tidak residivis

Pertimbangan keadaan memberatkan dan meringankan yang paling

utama

berpengaruh dalam proporsionalitas penjatuhan pidana, baik

proporsionalitas antara tindak pidana yang dijatuhkan dengan tingkat

kesalahan yang dilakukan terdakwa, proporsionalitas terkait disparitas

putusan, maupun proporsionalitas antara pemidanaan dengan keuntungan

yang diperoleh dari tindak pidana.

2. Putusan hakim terhadap perkara nomor 153/Pid.B/2020/PN.Kds sudah

mencerminkan rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, yaitu

sebagai berikut:

81
a. Segi kepastian telah terpenuhi, karena perbuatan pelaku S telah

memenuhi rumusan delik pencurian dengan pemberatan sesuai Pasal

363 ayat (1) Ke-5 KUHP.

b. Segi keadilan, apabila ditunjau dari pendapat Aristetoles tidak

memenuhi keadilan distributif, dimana salah satu hak terdakwa

mendapatkan bantuan hukum, namun dalam proses pemeriksaan di

depan pengadilan terdakwa tidak didampingi oleh penasehat hukum.

Pada perkara Nomor 153/Pid.B/2020/PN.Kds juga tidak memenuhi

keadilan korektif karena penentuan berat ringanya pemidanaan yang

dijatuhkan oleh hakim, tidak setimpal atau tidak sebanding dengan

perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa atau pelaku S, sehingga

kerugian bagi korban dan keadilan korektif tidak terpenuhi.

c. Segi kemanafaatan, tidak terpenuhi karena penjatuhan pidana yang

dijatuhkan oleh majelis hakim kepada pelaku S tidak mendekati

ancaman pidana maksimal atau setengah dari ancaman pidana

maksimal, sehingga bagi korban yang merupakan bagian dari

masyarakat penjatuhan pidana yang ringan tersebut tidak bermanfaat

Tegasnya penjatuhan pidana pada perkara nomor

153/Pid.B/2020/PN.Kds, tidak sebanding dengan kerugian yang

dialami oleh korban.

82
B. Saran

1. Kepada hakim agar lebih meperhatikan semua unsur keadaan

memberatkan dan keadaan yang meringankan terdakwa, dan agar lebih

memprioritas tujuan utama hukum yaitu keadilan, kemudian untuk

memenuhi kemanfaatan masyarakat, serta kepastian hukum.

2. Masyarakat diharapkan lebih memiliki sikap kehati-hatian dalam

melakukan setiap aktifitasnya, agar tidak terjadi korban berikutnya

dalam tindak pidana pencurian dengan pemberatan.

83
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku:

Abdul Gafur Ansori, 2006, “Filsafat Hukum Sejarah Aliran Dan


Pemaknaan”,Gajah Mada , Universisty Press, Yogyakarta.

Abdul Rokhim dkk, 2022, “Sosiologi Hukum”, Media Sains Indonesia, Bandung.

Achmad Ali, 2009, “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Intepretasi Undang-Undang
(Legisprudence)”, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Ali Imron dan Muhamad Iqbal, 2019, “Hukum Pembuktian”, Unpam Press,
Banten.

Amirudin dan H.Zainal Asikin, 2006, “Pengantar Metode Penelitian Hukum”, PT


Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Andi Hamzah, 2008, “Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi”, Rineka Cipta,
Jakarta.
___________, 2018, “Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua”, Sinar
Grafika, Jakarta.
Dyah Ochtorina Susanti dan A’an Efendi, 2014, Penelitian Hukum (Legal
Research) ,Sinar Grafika, Jakarta.

Eddy O.S Hiariej, 2015, “ Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi”, Cahaya,
Atma Pustaka, Yogyakarta.

______________, 2012, “Teori Dan Hukum Pembuktian”, Erlangga, Jakarta.

Fitri Wahyuni, 2017, “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia”, Nusantara


Persada Utama, Tanggerang Selatan.

H. Ishaq, 2017, Metode Penelitian Hukum Dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta
Disertasi, Alfabeta, Bandung.

H. Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

H.B. Sutopo, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Gramedia Pustaka Utama,


Surakarta.

J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik,Rineka Cipta, Jakarta.


Jujun S. Suriasumantri, 2005, ”Filsafat Ilmu”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Lilik Mulyadi, 2007, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis Dan
Prakter Pradilan, Mandar Maju, Bandung.

M. Agus Santoso, 2014, “Hukum Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat
Hukum”, Kencana, Jakarta.
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan dan Peenrapan KUHAP, Sinar Grafika,
Jakarta.

Moeljatno, 2008, “Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi”, Rineka Cipta, Jakarta.

Muhammad Erwin, 2012, “Filsafat Hukum”, Raja Grafindo, Jakarta.

Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet. Ke-5,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, 2015, “Hukum Pidana”, Mitra


Wacana Media, Jakarta.
P.A.F Lamintang, 2014, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Cet, ke-1,
Sinar Grafika, Jakarta.

P.A.F. Lumintang dan Theo Lumintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan


Terhadap Harta Kekayaan, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2008, “Pengantar Ilmu Hukum”, Kencana, Jakarta.

Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2015, Hukum Pidana, Setara Press, Malang.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta.

Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana kontemporer, Citra Aditya,


Jakarta
Soejonno, H. Abdurrahman, 2005, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan
Penerapan, Cet. Ke-2, Rineka Cipta, Jakarta.

Sukarno Aburaera, 2013, “Filsafat Hukum Teori dan Praktik”, Kencana, Jakarta.

Soerjono soekanto, 2007, ”Pengantar Penelitian Hukum”, UI Press, Jakarta.

Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Cet, ke-5, Rineka Cipta, Jakarta

Sutiyoso Bambang, 2012, “Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan


Hukum Yang Pasti Dan Berkadilan”, UII Pres, Yogyakarta.
Syarif Mappiasse, 2017, “Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim”,
Prenadamedia Group, Jakarta.

Tongat, 2003, “Hukum Pidana Meteriil”, UMM Press, Malang.


Wirjono Prodjodikoro, 2006, “Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia”,
Eresco, Bandung

Jurnal;

Ahmad Handoko, 2021, “Pertimbangan Hakim Dalam Penegakan Hukum Tindak


Pidana Pencurian Berdasarkan Pasal 363 Ayat (1) Ke-5 KUHP
yang Menjujung Tinggi keadilan”, Jurnal Muhammadiyah Law
Review, Vol. 5, No. 1.

Andri Sinaga dan Ainal Hadi, “Tindak Pidana Pencurian”, Jurnal Ilmu
Mahasiswa, Vol. 2, No. 1, 2018.

Anugriaty Indah Asmarany,” Bias Gender Sebagai Prediktor Kekerasan Dalam


Rumah Tangga”, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Vol. 35, No. 1, 2015.

Berry Balen Saputra dkk, 2021, “Ratio Decindende Hakim Dalam Perkara
Tindak Pidana Asal Penipuan Dengan Tindak Pidana Lanjutan
Pencucian Uang (perbarengan Tindak Pidana Analisis
Putusan:784 K/PID.SUS/2019), jurnal Ikamakum, Vol. 1, No. 2.
Cahya Palsari, 2021, “Kajian Pengantar Ilmu Hukum: Tinjuan Dan Fungsi Ilmu
Hukum Sebagai Dasar Fundamental Dalam Penjatuhan Putusan
Pengadilan”, Jurnal Komunitas Yustisia Vol. 4, No. 2.
Dwi Hananta, 2018, “Pertimbangan Keadaan Meringan Dan Memberatkan
Dalam Penjatuhan Pidana”, Jurnal Hukum Dan Preadilan, Vol. 7,
No. 1.
Eky Chaimansyah, 2016, “Hak Tersangka/Terdakwa Untuk Mengajuka Saksi A
De Charge (Saksi Meringankan) Dalam Proses Perkara Pidana”,
Jurnal Lex Crimen, Vol. 5, No. 2.

Firman A. Mulingka, 2015, “Fungsi Dan Kedudukan Hakim Dalam Sistem


Peradilan Pidana Kaitanya Dengan Kemandirian Hakim”, Lex
Administratum, Vol. 3, No. 6.
Firman Floranta Adonara, 2015, “PrinsipKebebasan Hakum Dalam Memutus
Perkara Amanat Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, No. 2.
Lukman Hakim, “Implementasi Teori Dualistis Hukum Pidana Di Dalam
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Rkuhp)”, urnal
Krtha Bhayangkara, Vol. 13 No. 1, 2019.

Muh. Irfansyah Hasan, “Kejahatan Tranasional dan Implementasi Hukum Pidana


di Indonesia”, Jurnal Lex Crimen, Vol. 7, No. 7, 2018.

Nurhafifah Dan Rahmiati, 2015, “Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan


Pidana Terkait Hal Yang Memberatkan Dan Meringankan
Putusan”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 13, No. 66.

Reza Nur Ihsan dan Ifrani, 2017, “Sanksi Pidana Minimun Khusus Tindak Pidana
Korupsi Ditinjau Dari Sudut Pandang Keadilan”, Jurnal Al’Adl,
Vol. 9, No. 3.
Rommy Haryono Djojorahardjo, 2019, “Mewujudkan Aspek Keadilan Dalam
Putusan Hakim Di Peradilan Perdata”, Jurnal Media Hukum Dan
Peradilan, Vol. 5, No. 1.

Sri Wahyuningsih, dkk. “Persepsi dan Sikap Penegak Hukum Terhadap


Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT) Sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan KDRT
Nomor 23 Tahun 2004 di Jawa Timur”. Jurnal Ilimu-Ilmu Sosial
(Social Sciences), Vol. 18, Malang, Lembaga Penelitian
Universitas Brawijaya, 2006.

Sulardi Dan Yohana Puspitasari Wardoyo, 2015, “Kepastian Hukum,


Kemanfaatan, Dan Keadilan Terhadap Perkara Pidana Anak”,
Jurnal Yudisial, Vol. 8, No. 3.
Suwardi Sagama, 2016, “Analisis Konsep Keadila, Kepastian, Kemanfaatan,
Dalam Pengelolaan Lingkungan”, Jurnal Pemikiran Hukum Islam,
Vol. 15, No. 1.
Toto Hartono dkk, 2021, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Pencurian Dengan Kekerasan (Studi Pada Kepolisian Resor Kota
Besar Medan)”, Jurnal Retentum, Vol. 2, No. 1.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Kitap Undang-Undang Hukum Pidana
Putusan Pengadilan Negeri Kudus Nomor 153/Pid.B/2020/PN.Kds.
Internet:
Achmad Fauzi, “Hakim, Putusan, Dam Tuah Buku”, https://www.pa-
penajam.go.id/informasi-pengadilan/412-hakim-putusan-dan-tuah-
buku-i-oleh-achmad-fauzi, diakses pada 24 Juni 2022.
Agustis L. Hutabarat, “Seluk Beluk Residivis”,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/seluk-beluk-residivis-
lt5291e21f1ae59, diakses pada 24 Juni 2022.
Alfina Fajrin, “Indonesia Sebagai Negara Hukum”,
https://www.kompasiana.com/amp/alfinafajrin/59b80b71941c2020
12739722/indonesia-sebagai-negara-hukum, yang diakses pada 28
Januari 2022.
Erizka Permatasari, https://www.hukumonline.com/klinik/a/terdakwa-sopan-
bisakah-jadi-alasan-peringan-pidana-lt61baf87211bd2, diakses
pada 24 Juni 2022.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, diakses melalui
http://kbbi.web.id/sopan, 20 Juni 2022.
M. Agus Yozami, “Perbedaan Alat Bukti Dengan Barang bukti Dalam Hukum
Acara Pidana”,
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5b99096a283j5/perbedaan
-alat-bukti-dengan-barang-bukti-dalam-hukum-acara-pidanapage?
=3, diakses 12 Desember 2022.
Nafiatul Munawaroh, “8 Teori Keadilan Dalam Filsafat Hukum”,
https://www.hukumonlime.com/klinik/a/8-teori-keadilan-dalam-filsafat-
hukum, diakses pada 10 Desember 2022.

Anda mungkin juga menyukai