Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HUKUM PIDANA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

Disusun oleh :

Ishak Samuel Adiryan Paraibabo

3331121101

YAYASAN PERGURUAN TINGGI MANOKWARI

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-nYa
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah permasalahan hukum perkawinan
dalam kompilasi hukum islam.

Selama proses penulisan laporan ini banyak mendapatkan bantuan dari pihak-pihak
lain sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan optimal. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
tugas ini yaitu:

1. Dosen yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini serta
memberikan ilmu dan saran yang sangat bermanfaat.

Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih.

Surabaya, 23 Juni 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 5
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
2. 1 Pengertian Perkawinan 6
2.2 Arti dan Tujuan Perkawinan 7
2.3 Undang - Undang Perkawinan di Indonesia 8
2.4 Sistem Hukum adat biak 9
2.5 Perkawinan Campur 12
BAB III 14
PENUTUP 14
3.1 Kesimpulan 14
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan
terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman
yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan 1 . Untuk tegaknya hukum
pidana maka diberilah kewenangan kepada Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
dimana para pelaku kejahatan atau penjahat yang umumnya berasal dari kalangan ekonomi
lemah brutal, dan marginal. Karena itu tidak berlebihan jika kejahatan dianggap sebagai
masalah sosial yang pada umumnya bersumber dari masalah kemiskinan. Hukum Pidana
dengan sanksi yang keras dikatakan mempunyai fungsi yang subsider artinya apabila fungsi
hukum lainnya kuranga maka baru dipergunakan Hukum Pidana, sering juga dikatakan
bahwa Hukum Pidana itu merupakan ultimum remedium. Ultimum remedium merupakan
istilah hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana yang
merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo 2
mengatakan bahwa ultimum remedium sebagai alat terakhir. Hukum pidana langsung
berhadapan dengan hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang tertinggi ialah hak untuk
hidup dan hukuman pidana mengenai pidana mati, ada hak asasi untuk bebas bergerak,
hukum pidana mengenai pidana penjara dan sistem penahanan yang merampas hak bergerak,
ada hak untuk memiliki ada pidana perampasan dan seterusnya. Untuk menghilangkan pidana
yang semena-mena karena langsung menyentuh HAM, diperkenalkan beberapa asas akibat
revolusi prancis yang meletus karena pengenaan pidana yang semena-mena dan tidak adil3 ,
maka muncul asas legalitas yang diperkenalkan oleh sarjana Anselmus von Feuerbach yang
bahasa latinnya “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” (tidak ada delik
tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya)4 . Hukum pidana tentang pencurian yang
diatur dan dijelaskan dalam Undang-Undang Kitab Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat
dengan KUHP, pada BAB XXII tentang Pencurian pada Pasal 362 KUHP yang berbunyi

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian


kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak Sembilan ratus rupiah.” 5 . Pasal 364 KUHP mengatur tentang :

“perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 butir 4, begitupun
perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah
rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak
lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah”.

Pencurian Ringan adalah pencurian yang memiliki unsur unsur dari pencurian
didalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan unsur-unsur lain yang
meringankan, ancaman pidananya menjadi diperingan6 . Perkara yang termasuk tindak
pidana ringan yang kemudian disingkat dengan tipiring pada Pasal 205 Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang kemudian disingkat KUHAP yaitunya perkara
yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan penjara dan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan termasuk
wewenang dalam acara pemeriksaan cepat (SEMA No. 18 Tahun 1983)

Selanjutnya pasal ini dihubungkan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2


Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam
KUHP yang selanjutnya disebut Perma No.2/2012, dalam Pasal 1 dimana kata-kata dua ratus
lima puluh rupiah didalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp.
2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah), serta pada Pasal 3 nya mengatakan bahwa tiap
jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat 1
dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali.

Pada Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2012 ayat (1) berbunyi :

“dalam penerimaan pelimpahan perkara Pencurian, Penipuan,


Penggelapan, Penadahan, dari Penuntut Umum Ketua Pengadilan wajib
memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara dan
memperhatikan Pasal 1 diatas”.

Sebagaimana diketahui, Perma Nomor 2 tahun 2012 terbit didasari banyaknya kasus
kasus pencurian ringan yang masuk ke pengadilan. Seperti kasus nenek minah, kasus sendal
jepit, hingga kasus segenggam merica. Ketua MA Harifin Tumpa lalu mengeluarkan langkah
revolusioner dengan mengeluarkan Perma No.2/2012 sehingga kasus serupa bisa disidang
tampa terdakwa harus ditahan.

Untuk mengefektifkan kembali pidana denda serta mengurangi beban


Lembaga Permasyarakatan yang saat ini telah banyak yang melampaui
kapasitasnya yang telah menimbulkan persoalan baru, sejauh mungkin para
hakim mempertimbangkan sanksi denda sebagai pilihan pemidanaan yang 4
akan dijatuhkannya, dengan tetap mempertimbangkan berat ringannya
perbuatan serta rasa keadilan di masyarakat.7

Namun saat Peraturan Mahkamah Agung tersebut telah sah dan


diberlakukan semenjak tahun 2012 sampai saat ini masih banyak kasus-kasus
pencurian ringan yang diadili dengan kasus tindak pencurian biasa yaitu
dengan ancaman pidana diatas tiga bulan serta dalam penanganannya dari
kepolisian sampai kepada ranah pengadilan tidak sesuai dengan ketentuan
yang telah diatur dalam Perma No.2/2012 yang juga menekankan tentang
penyelesaian perkara tindak pencurian ringan dengan sistem restorative
justice. Menurut data statistik Kriminal 20148 banyaknya kejahatan menurut
kelompok jenis kejahatan pada tahun 2013 yaitu kejahatan terhadap hak milik
berupa pencurian yang dikategorikan pencurian biasa sebanyak 25.593
kejadian diantaranya yang terjadi dalam Wilayah Kepolisian Daerah Jawa
Barat sebanyak 1.031 kasus, namun diantara kejahatan pencurian tersebut
tidak ditemukannya data statistik tindak pencurian yang dapat dikategorikan
ringan.

Perkara tindak pencurian ringan yang diatur dlam Pasal 364 KUHP
yang diancam dengan pidana penjara maksimal selama 3 (tiga) bulan penjara
tentunya berdasarkan ketentuan Pasal 205 ayat (1) KUHAP menyatakan
bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa
yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, maka terhadap
pelaku tipiring yang ancaman pidananya “paling lama 3 bulan” penjara atau
kurungan tidak seharusnya dilakukan penahanan. Serta dalam beracara dalam
penyelesaian tindak pidana pencurian ringan harus dengan acara peradilan
cepat.

Namun pada kenyataannya masih banyak kasus yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana pencurian ringan namun diproses sama dengan tindak pencurian biasa yang
juga nantinya berdampak pada tindakan kepolisian yang menahan tersangka, serta dakwaan
jaksa yang menuntut dengan Pasal tindak pidana biasa dan juga sistem beracara di pengadilan
dengan acara biasa maka akan timbul masalah masalah baru baik ketidak konsistennya sistem
peradilan di Indonesia sampai ketidakadilan yang tercipta terutama bagi pelaku yang buta
hukum.

Diantara kasusnya ialah pada Putusan Nomor. 635/Pid.B/2016/PN BDG, dengan


terpidana Deri Mustopa bin Asep Dede Rohendi, Mohammad Irvan Syah bin Sucihartono
dalam perkara yang didakwakan melakukan Tindak Pidana “Pencurian dalam keadaan
memberatkan” (Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP) mengambil barang sesuatu berupa 1 (satu)
unit Handphone merk Samsung Type J1 ACE warna Putih yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum ditaksir harga
barang yang dicuri tersebut tidak lebih dari Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah)9 ,
Pengadilan Negeri Bandung telah menjatuhkan putusan pada tanggal 19 Juli 2016,
Menyatakan terdakwa tersebut telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “pencurian dengan pemberatan yang diatur dalam Pasal 363 Ayat
(1) ke-4 ”, serta menjatuhkan pidana masing-masing selama 5 (lima) bulan penjara dengan
status dilakukan penahanan sebelumnya.

Selanjutnya pada kasus yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Bandung pada
Putusan Nomor. 649/Pid.B/2016/PN BDG, dengan terpidana Deri Ridwansyah bin Alex
dalam perkara yang didakwakan melakukan Tindak Pidana “Pencurian” sebagaimana diatur
dalam pasal 362 KUHP mengambil barang sesuatu berupa 1 (satu) buah HP merk Samsung
Galaxy

Grand warna putih berikut Sim Card nya yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum ditaksir harga barang yang
dicuri tersebut tidak lebih dari Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) 10, Pengadilan
Negeri Bandung telah menjatuhkan putusan pada tanggal 19 Juli 2016, Menyatakan Deri
Ridwansyah bin Alex telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “pencurian”, serta menjatuhkan pidana selama 6 (enam) bulan penjara, dengan status
terdakwa telah ditahan sebelumnya

Beberapa kasus tersebut bahwasannya saat penyelidikan, penyidikan dan tuntutan ke


pengadilan tingkat pertama dilakukan bukan dengan acara tindak pidana ringan, tapi dengan
acara tindak pidana biasa, sehingga tersangka dilakukan penahanan, lalu di dakwa dan
dituntut dengan ancaman tindak pencurian biasa yang didakwa oleh jaksa dengan dakwaan
pencurian biasa dengan ancaman maksimal 5 (lima) tahun penjara serta penyelesaian
perkaranya menjadi lama dari penyelesaian tindak pidana cepat. Padahal dapat diketahui
kasus tersebut seharusnya dikategorikan dengan kasus tindak pidana pencurian ringan dengan
proses peradilan cepat.

Masalah lain muncul ketika pencuri dipidana penjara dengan membatasi ruang gerak
mereka, setelah mereka keluar dari penjara mereka akan melakukan kejahatan yang sama
karena pidana penjara tidak tepat pada pelaku kejahatan pencurian seperti kasus Residifis
Mario Makaleo als IO yang pada awalmulanya melakukan kejahatan pencurian bersama
teman temannya dan diadili di Pengadilan Negeri Bandung dengan pidana penjara pada tahun
2014, selanjutnya Residifis Mario Makaleo melakukan kejahatan serupa yang di adili
Pengadilan Negeri bandung pada tanggal 31 maret 2016 dengan pidana penjara selama 1
(satu) tahun 8 (delapan) bulan dalam kasus “Pencurian” dengan taksiran kerugian tidak
melebihi satu juta rupiah.

Banyak permasalahan dapat muncul ketika tidak adanya kesepahaman antara lembaga
terkait dalam memperhatikan Perma No.2/2012 baik perlakuan yang tidak seharusnya terjadi
sampai pada pelanggaran Hak terpidana yang mengekang kebebasannya dengan penjara yang
lebih lama dari ketentuan perundang undangan.

Bahwa banyaknya perkara perkara pencurian ringan sangatlah tidak tepat didakwa
dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 5 (lima) tahun.
Perkara perkara pencurian ringan seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan
(lichte misdrijven) yang mana seharusnya lebih tepat didakwa dengan Pasal 364 KUHP yang
ancaman pidananya paling lama 3 (tiga) bulan penjara atau denda paling banyak Rp. 250,00
(dua ratus lima puluh rupiah) yang telah diperbaharui jumlahnya melalui Perma No.2/2012
menjadi Rp. 2.500.000 ( dua juta lima ratus ribu rupiah) jika perkara perkara tersebut
didakwa dengan Pasal 364 KUHP tersebut maka tentunya berdasarkan Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana para tersangka atau terdakwa perkara tersebut tidak dapat dikenakan
penahanan (Pasal 21 KUHAP) serta cara pemeriksaan di pengadilan yang digunakan haruslah
acara pemeriksaan cepat yang cakupan pemeriksaan oleh Hakim Tunggal sebagaimana diatur
dalam pasal 205-210 KUHAP. Selain itu berdasarkan pasal 45A undang undang Mahkamah
Agung Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan undang
undang Nomor 3 tahun 2009 perkara perkara tersebut tidak dapat diajukan kasasi karena
ancaman hukumannya dibawah 1 (satu) tahun penjara.
Maka dari latar belakang permasalahan ini muncul penulis akan memberi judul skripsi
ini dengan nama “Implementasi Pasal 364 KUHP Jo Perma No. 2 Tahun 2012 Dalam
Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Pencurian Ringan”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang penelitian, maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Implementasi Pasal 364 KUHP jo Perma No. 2 Tahun 2012 Tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP dalam
Penyelesaian Kasus Tindak Pencurian Ringan pada Wilayah Hukum Bandung?
2. Bagaimana akibat hukum dari tidak dipakai dan tidak diterapkannya Pasal 364 KUHP
jo Perma No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda dalam KUHP dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pencurian Ringan
pada Wilayah Hukum Bandung?

1.3 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Pasal 364 KUHP jo Perma No. 2 Tahun
2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam
KUHP dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pencurian Ringan pada Wilayah Hukum
Bandung.
2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari tidak dipakainya dan tidak
diterapkannya Pasal 364 KUHP jo Perma No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP dalam Penyelesaian
Kasus Tindak Pencurian Ringan pada Wilayah Hukum Bandung
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Tindak Pidana Korupsi

Tindak Pidana Korupsi Korupsi berasal dari bahasa latin ―corruptio‖ atau
―corruptus‖, yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa, Inggris, Prancis
―corruption‖ bahasa Belanda ―corruptie‖ yang kemudian muncul pula dalam bahasa
Indonesia ―korupsi‖. 15 Di Indonesia, kita menyebut korupsi dalam satu tarikan nafas
sebagai ―KKN‖ (korupsi, kolusi, nepotisme). ―Korupsi‖ selama ini mengacu kepada
berbagai ―tindakan gelap dan tidak sah‖ (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan
keuntungan pribadi atau kelompok. Definisi ini kemudian berkembang sehingga pengertian
korupsi menekankan pada ―penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk
keuntungan pribadi‖.

Philip mengidentifikasi tiga pengertian luas yang paling sering digunakan dalam
berbagai pembahasan tentang korupsi: 17

a. Korupsi yang berpusat pada kantor publik (public Office centered corruption).
Philip mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku dan tindakan pejabat
publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal. Tujuannya untuk
mendapatkan keuntungan pribadi, atau orang-orang tertentu yang berkaitan
erat dengannya seperti keluarga, kerabat dan teman. Pengertian ini juga
mencakup kolusi dan nepotisme: pemberian patronase karena alasan hubungan
kekeluargaan (ascriptive), bukan merit.
b. Korupsi yang berpusat pada dampaknya terhadap kepentingan umum (public
interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi sudah terjadi ketika pemegang
kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik, melakukan
tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang dengan imbalan (apakah uang atau
materi lain). Akibatnya, tindakan itu merusak kedudukannya dan kepentingan
publik.
c. Korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) yang berdasarkan analisa
korupsi menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi
dalam kerangka analisa politik. Menurut pengertian ini, individu atau
kelompok menggunakan korupsi sebagai ―lembaga‖ ekstra legal untuk
mempengaruhi kebijakan dan tindakan birokrasi. Hanya individu dan
kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih
mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.

Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of


interest), suap (bribery), pemberian ilegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic
extortion). Pengertian korupsi ini tentu saja berbeda dengan pengertian korupsi yang
terkandung dalam UU Tipikor. Dalam bahasa hukum positif tersebut, pengertian korupsi
secara umum, adalah perbuatan yang diancam dengan ketentuan pasal-pasal UU Tipikor.
Misalnya salah satu pasal, korupsi terjadi apabila memenuhi tiga kriteria yang merupakan
syarat bahwa seseorang bisa dijerat dengan undang-undang korupsi, ketiga syarat tersebut
adalah: 1) melawan hukum; 2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; 3)
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Dengan kriteria tersebut maka
orang yang dapat dijerat dengan undang-undang korupsi, bukan hanya pejabat Negara saja
melainkan pihak swasta yang ikut terlibat dan badan usaha/korporasi pun dapat dijerat
dengan ketentuan UU Tipikor.

Pengertian korupsi dapat diperluas dengan perbuatan pegawai negeri atau


penyelenggara Negara yang karena jabatannya menerima sesuatu (gratifikasi) dari pihak
ketiga, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf B ayat (1) UU Tipikor dan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Definisi secara lengkap, telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam UU Tipikor.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk atau jenis
tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai
perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ketiga puluh bentuk/jenis
tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi: Kerugian
keuangan Negara; Suap menyuap; Penggelapan dalam jabatan; Pemerasan; Perbuatan curang;
Benturan kepentingan dalam pengadaan; dan Gratifikasi.19

2.2 Aset Hasil Tindakan Pidana Korupsi

Kata ―aset‖ berasal dari bahasa Inggris, yaitu asset, yang berarti 1) mutable person or
quality, 2) thing owned, esp property, that can be sold to pay I debt. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, aset adalah, 1) sesuatu yang mempunyai nilai tukar modal. Kata ―aset‖
dalam bahasa Indonesia sinonim dengan kata ―modal, kekayaan‖. Menurut Black‘s Law
Dictionary, ―asset‖ berarti ―1) An item that is owned and has value. 2. (pl.) The entries of
property owned, including cash, inventory, real estate, accounts receivable, and goodwill. 3.
(pl.). All the property of a person (esp. A bankrupt or defeased person) available for paying
debts‖.

Pada dasarnya lingkup pengertian aset diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap
hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik Kebendaan menurut bentuknya, dibedakan menjadi
benda bertubuh dan tak bertubuh. Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi
benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak.
Hal ini sesuai dengan pengertian harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu
―Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak
langsung.‖ 21

Aset hasil kejahatan biasanya diartikan sebagai setiap harta kekayaan, baik yang
berwujud atau tidak berwujud, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, yang merupakan
hasil tindak pidana, atau diperoleh dari hasil tindak pidana, atau sebagai bentuk keuntungan
dari suatu tindak pidana. Lebih jauh dari itu, harta kekayaan yang dapat dirampas tidak hanya
terbatas pada sesuatu yang diperoleh atau suatu bentuk keuntungan yang diperoleh dari suatu
tindak pidana. Harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai (sebagai ―modal‖), atau
sebagai alat, sarana, atau prasarana, bahkan setiap harta kekayaan yang terkait dengan tindak
pidana atau seluruh harta kekayaan milik pelaku tindak pidana juga dapat dirampas, sesuai
dengan jenis tindak pidana yang terkait dengan harta kekayaan tersebut. Dengan demikian,
pelaku tindak pidana atau setiap orang yang terlibat atau yang ingin melibatkan diri dalam
suatu kejahatan atau organisasi kejahatan akan menyadari bahwa selain kemungkinan
keuntungan yang akan mereka peroleh, ternyata mereka juga berhadapan dengan besarnya
resiko kehilangan harta kekayaan mereka.22

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan


Tindak Pidana Pencucian Uang menggunakan istilah ―hasil tindak pidana‖ untuk
mendeskripsikan aset yang diperoleh dari tindak pidana maupun aset yang terkait dengan
tindak pidana, meskipun istilah yang lebih tepat adalah ―aset tindak pidana‖. Penggunaan
istilah ―hasil tindak pidana‖ sebenarnya terkesan membatasi ruang lingkup dari ―aset yang
terkait dengan tindak pidana‖, karena sebenarnya asset yang terkait dengan tindak pidana itu
mempunyai makna yang lebih luas dari sekedar hasil tindak pidana.23 Dalam konteks yang
sama, juga dapat diberlakukan pengertian yang demikian terhadap aset hasil tindak pidana
korupsi.

2.3 Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi

Pengembalian aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi menurut Purwaning juga
dilandaskan atas prinsip-prinsip keadilan sosial sehingga institusi negara dan institusi hukum
mendapat tugas dan tanggung jawab menjamin terwujudnya kesejahteraan bagi setiap
individu individu atau masyarakat. Atas dasar itu, dalam konteks tindak pidana korupsi yang
menghilangkan kemampuan negara untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya maka
negara wajib menuntut pemulihan atas kekayaan yang diambil secara melawan hak.

Fleming dalam bukunya Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An
Economic Taxonomy: Draft for Comments, melihat pengembalian aset sebagai: pertama,
pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua, yang
dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; ketiga, salah
satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak
dapat menggunakan hasil serta keuntungan keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau
sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.

Pengembalian aset menurut Paku Utama adalah sistem penegakan hukum yang
dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut,
merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana
korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset
yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas,
disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat
mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk
memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi.

Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER013/A/JA/06/2014 menggunakan nomenklatur


istilah Pemulihan Aset yang berarti yaitu proses yang meliputi penelusuran, pengamanan,
pemeliharaan, perampasan, pengembalian, dan pelepasan aset tindak pidana atau barang
milik Negara yang dikuasai pihak lain kepada korban atau yang berhak pada setiap tahap
penegakan hukum. Pemulihan aset yang dimaksudkan dalam Peraturan Jaksa Agung ini
dilakukan terhadap:

1. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana
termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan
pribadi, orang lain, atau korporasi baik berupa modal, pendapatan maupun
keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut atau aset
yang diduga kuat digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
2. Barang temuan;
3. Aset Negara yang dikuasai pihak yang tidak berhak;
4. Aset-Aset lain sesuai ketentuan peraturan perundang undangan termasuk yang
pada hakikatnya merupakan kompensasi kepada korban dan/atau kepada yang
berhak.

Sangat disadari bahwa dalam strategi pemberantasan korupsi, upaya pemidanaan


bukan merupakan satu-satunya jalan efektif, tetapi perlu disusun strategi yang lebih progresif.
Pidana penjara yang merupakan jenis pidana pokok yang paling populer di antara pidana
pokok lainnya (berdasarkan Pasal 10 KUHP) memang dapat memberi pembalasan kepada
para terpidana atas tindak pidana korupsi yang terbukti dilakukannya. Akan tetapi, pidana
penjara tidak selalu menyelesaikan masalah, malah dapat menimbulkan masalah seperti over
capacity, ketidakwarasan koruptor, dan kerugian negara tidak kunjung terselesaikan. Konsep
tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap memiliki berbagai kelemahan
terutama karena dianggap sama sekali tidak memberikan keuntungan apapun bagi korban dan
masyarakat.

Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah menempati posisi penting dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.

Artinya, keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi tidak hanya diukur


berdasarkan keberhasilan memidana pelaku tindak pidana korupsi, namun juga ditentukan
oleh tingkat keberhasilan mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi. Tindakan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya meminimalisasi kerugian negara
yang disebabkan oleh tindak pidana korupsi merupakan upaya yang tidak kalah penting
dibanding pemberantasan tindak pidana korupsi dengan vonis seberat-beratnya bagi pelaku.
Langkah untuk meminimalkan kerugian negara tersebut di samping harus dilakukan sejak
awal penanganan perkara juga mutlak dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai
lembaga negara.28
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengaturan Mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam
Hukum Positif
Penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana, menemukan pelaku, serta
memasukkan pelakunya ke dalam penjara (follow the suspect) semata belum efektif dalam
menekan terjadinya kejahatan jika tidak dibarengi dengan upaya menyita dan merampas hasil
dan instrumen tindak pidana.65 Keadaan tersebut semakin menemukan kebenarannya jika
dihubungkan dengan kejahatan yang bermodus ekonomi seperti korupsi. Dalam tindak pidana
korupsi keuntungan materiil merupakan salah satu karakteristik tindak pidananya. Hal itu
secara gamblang terlihat dari rumusan-rumusan pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi seperti memperkaya, menguntungkan, menerima pemberian,
menggelapkan uang atau surat berharga serta beberapa terminologi lain yang menunjukkan
karakteristik modus ekonominya.66 Oleh karenanya, penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi juga harus berfokus pada sisi keuntungan ekonomi sehingga dapat
memulihkan kerugian yang dialami negara akibat korupsi.
Upaya menyita dan merampas hasil serta instrumen tindak pidana yang khususnya
dalam tindak pidana korupsi sebelumnya sudah diinisiasi dalam beberapa peraturan
perundang-undangan. Antara lain dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor:
PRT.PEPERPU/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan
Korupsi dan Pemilikan Harta Benda yang mengatur bahwa terdapat kekuasaan bagi pemilik
harta benda untuk menyita harta benda seseorang atau suatu badan apabila setelah
mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan tertentu dan bukti-bukti
lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk dalam harta yang
dapat disita dan dirampas.67
Selain itu, pengaturan yang mendasarinya juga termuat dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perpu tersebut mengatur bahwa segala harta
benda yang diperoleh dari korupsi dirampas, dan terdakwa dapat juga diwajibkan membayar
uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga
menjadi salah satu dasar untuk melakukan perampasan aset atas seseorang yang meninggal
dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi telah melakukan
tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan Penuntut Umum memutus perampasan atas
barang-barang yang telah disita melalui putusan pengadilan.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan hukum positif sebagai landasan dalam
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Undang-Undang ini telah
mencakup pula ketentuan-ketentuan terkait upaya pemulihan aset atas kerugian negara akibat
tindak pidana korupsi. Diantara upaya yang termuat dalam pengaturan tersebut selain melalui
penyitaan dan perampasan juga terdapat ketentuan pembalikan beban pembuktian terhadap
kekayaan pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam hukum positif adalah sistem
penegakan hukum yang dilakukan oleh negara sebagai korban tindak pidana korupsi untuk
mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi melalui
rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan perdata, aset hasil tindak pidana
korupsi, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri dilacak, dibekukan, dirampas, disita,
diserahkan dan dikembalikan kepada negara sebagai korban tindak pidana korupsi, sehingga
dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana
korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan aset hasil tindak
pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya dan
memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi.70
Pengembalian aset-aset atau dapat dikatakan dengan pengembalian keuangan negara dari
hasil tindak pidana korupsi menarik untuk dicermati.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dijelaskan bahwa pengembalian
kerugian negara atau perekonomian negara tidak akan menghapuskan pidana pelaku tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Meskipun begitu dalam Penjelasan
Pasal 4 disebutkan bahwa pengembalian keuangan atau perekonomian negara merupakan
salah satu faktor yang meringankan pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak
pidana korupsi. Namun pertanyaan yang timbul adalah bagaimana proses pelaksanaan atau
penegakan hukum terhadap asset recovery tersebut. Terdapat beberapa bentuk langkah
penegakan hukum pidana yang bisa diarahkan untuk tujuan dan dalam rangka
mengembalikan aset atau harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana korupsi. Di antara
langkah tersebut yaitu melalui perampasan, pembuktian terbalik, gugatan perdata, dan
penerapan pidana pembayaran uang pengganti. Langkah-langkah tersebut dapat diuraikan
secara rinci sebagai berikut:
1. Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Ketentuan mengenai Perampasan Aset
sudah lama dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di
Indonesia. Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan
Harta Benda, yang merupakan ketentuan yang pertama kali menggunakan istilah
korupsi, terdapat pengaturan yang memberikan kekuasaan kepada pemilik harta benda
untuk menyita harta benda seseorang atau suatu badan apabila setelah mengadakan
penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan tertentu dan buktibukti lainnya
memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk dalam harta yang
dapat disita dan dirampas.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang


Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi mengatur segala harta
benda yang diperoleh dari korupsi dirampas, dan terdakwa dapat juga diwajibkan membayar
uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
memberikan kewenangan kepada Hakim untuk melakukan perampasan aset atas seorang
yang meninggal dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi,
telah melakukan suatu tindak pidana korupsi, maka Hakim atas tuntutan Penuntut Umum,
dengan putusan Pengadilan dapat memutuskan perampasan barang-barang yang telah disita.
Pada dasarnya mengenai penyitaan telah diatur dalam KUHAP. Penyitaan adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah
penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (Pasal 1 angka 16).
Selain dalam rangka dijadikan alat operasionalisasi penyidikan dan penuntutan serta
peradilan, penyitaan dalam konteks pengembalian aset tindak pidana merupakan bagian
terpenting di awal proses penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebagaimana diketahui begitu lihainya modus operandi korupsi yang dengan mudah
menyembunyikan aset asetnya dari tindak pidana korupsi. Jika penegak hukum tidak secara
cepat menyita maka ada kemungkinan aset tersebut dilarikan ke suatu tempat atau bahkan
dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
Tindakan penyitaan ini merupakan salah satu upaya paksa (dwang middelen) yang
dimiliki oleh Penyidik. Sebagai bagian dari upaya paksa, maka keberadaannya sangat sensitif
dan berpotensi disalahgunakan atau berlebihan dalam penggunaannya sehingga menyebabkan
terganggunya hak asasi dari Tersangka atau Terdakwa. Oleh karenanya KUHAP menentukan
bahwa penyitaan hanya dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat (Pasal 38 ayat (1). Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana
Penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih
dahulu maka Penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu
wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya (Pasal 38 ayat (2)).
KUHAP merinci benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan diantaranya yaitu:
Pertama, benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagai diduga
diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana; Kedua, benda yang telah
dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya; Ketiga, benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana; Keempat, benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana; dan Kelima, benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan. Adapun benda-benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau
karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili
perkara pidana sepanjang memenuhi kelima prasyarat yang ada tersebut (Pasal 39)
Benda-benda yang dikenakan penyitaan tersebut, dikembalikan kepada orang atau
kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling
berhak apabila: Pertama, kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
Kedua, perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana; dan Ketiga, perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan
umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari
suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
selanjutnya apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali
jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk
dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan
sebagai barang bukti dalam perkara lain (Pasal 46 KUHAP). Namun, jika putusan pengadilan
juga menetapkan bahwa barang bukti yang dirampas untuk negara (selain pengecualian
sebagaimana diatur dalam Pasal 46), Jaksa mengajukan benda tersebut kepada kantor lelang
negara untuk dijual lelang, hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama Jaksa.
(Pasal 273 ayat (3) KUHAP).
penuntutan dan mengadili perkara pidana sepanjang memenuhi kelima prasyarat yang
ada tersebut (Pasal 39) Benda-benda yang dikenakan penyitaan tersebut, dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada
mereka yang paling berhak apabila: Pertama, kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak
memerlukan lagi; Kedua, perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau
ternyata tidak merupakan tindak pidana; dan Ketiga, perkara tersebut dikesampingkan untuk
kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu
diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak
pidana. selanjutnya apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan
dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali
jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk
dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan
sebagai barang bukti dalam perkara lain (Pasal 46 KUHAP). Namun, jika putusan pengadilan
juga menetapkan bahwa barang bukti yang dirampas untuk negara (selain pengecualian
sebagaimana diatur dalam Pasal 46), Jaksa mengajukan benda tersebut kepada kantor lelang
negara untuk dijual lelang, hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama Jaksa.
(Pasal 273 ayat (3) KUHAP).
mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38 ayat (5),
(6), (7) UU Tipikor). Peran dari penyitaan aset sangat penting dalam proses pembayaran uang
pengganti, yaitu untuk mengunci harta kekayaan pelaku agar tidak dipindahtangankan sampai
dengan putusan inkracht. Melalui penerapan pidana tambahan berupa pembayaran uang
pengganti dengan diperkuat penyitaan tersebut maka diharapkan mampu memberikan
deterrent effect secara konkret, karena tidak akan ada lagi terpidana yang masih dapat berfoya
foya menggunakan hasil korupsinya di dalam penjara.
Dalam konteks ini UU Tipikor mengatur secara relatif lebih melengkapi aturan
mengenai penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana korupsi.

2. Pembuktian Terbalik Dalam Rangka Optimalisasi Pengembalian Aset Hasil Tindak

Pidana Korupsi Dihubungkan dengan upaya optimalisasi pengembalian aset hasil


tindak pidana korupsi, UU Tipikor memiliki instrumen pembuktian terbalik. Pada dasarnya
UU Tipikor telah mengatur ketentuan mengenai pembalikan beban pembuktian terhadap
perolehan harta kekayaan. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka
keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 37 (4)). Ketentuan pembebanan bukti
terbalik dalam UU Tipikor ini dilakukan dalam proses perkara pidana dan dikaitkan dengan
proses pidana itu sendiri. Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala
tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda harus ditolak
oleh hakim (Pasal 37 B). Adapun terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan
tetapi diduga berasal dari tindak pidana korupsi maka juga harus pula dibuktikan sebaliknya.
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan
karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana
korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut
dirampas untuk negara (Pasal 38 B ayat (1) dan (2) UU Tipikor). Apabila terdakwa
dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka
tuntutan perampasan harta benda tersebut harus ditolak oleh hakim (Pasal 38 B ayat (6) UU
Tipikor).
Pada dasarnya pembuktian terbalik merupakan bentuk penyimpangan dari pembuktian
dalam KUHAP. Namun demikian, pembuktian terbalik tersebut masih memiliki sifat terbatas
dimana Jaksa Penuntut Umum masih diwajibkan untuk melakukan pembuktian atas dakwaan
yang diajukannya (vide Pasal 37 A ayat (3) UU Tipikor). Jadi undang-undang tidak
semata-mata memberikan Terdakwa kesempatan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah.
Perumusan pembuktian terbalik dalam pembuktian tindak pidana korupsi ini sendiri telah
mengalami penyempurnaan dari rumusan semula, sehingga menunjukkan sifat berimbang
antara pembuktian yang dilakukan dengan akibat hukum dari pembuktian bagi si Terdakwa
itu sendiri.
Pada asasnya, ditinjau dari dimensi filosofis mengapa kebijakan legislasi menerapkan
adanya eksistensi pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi disebabkan ada
kesulitan dalam sistem hukum pidana Indonesia untuk melakukan pembuktian terhadap
perampasan harta kekayaan pelaku (offender) apabila dilakukan dengan menggunakan teori
pembuktian negatif. Akibatnya, diperlukan ada aspek yuridis luar biasa dan perangkat hukum
luar biasa pula berupa sistem pembalikan beban pembuktian sehingga tetap menjunjung
tinggi asas praduga tidak bersalah dengan tetap memperhatikan hak asasi manusia.

3. Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata

Pada dasarnya, penegakan tindak pidana korupsi melalui hukum keperdataan lazim
dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat melalui penyitaan (confiscation) terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dimensi ini secara tegas dikatakan Oliver Stolpe
bahwa: ―Countries such as Italy, Ireland and the United States provide, under varying
contitions, for the possibility of civil or preventive confiscation of assets suspected to be
derived from certain criminal activity. Unlike confiscation in criminal proceedings, such
forfeiture laws do not require proof of illicit origin “beyond reasonable doublt”. Instead, the
consider proof on a balance of pribabilities or demand a high probability of illicit origin
combined the inability of the owner to prove the contrary‖.
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, UU Tipikor menentukan bahwa dalam hal
penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi
tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka
penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan (Pasal 32 ayat (1)). Konstruksi ketentuan pasal ini
banyak menimbulkan problematika. Salah satu yang esensial adalah tidak jelasnya status dari
orang yang digugat perdata tersebut apakah sebagai pelaku, tersangka atau terdakwa.
Apabila mengikuti alur polarisasi pemikiran pembentuk Undang-Undang maka berkas
hasil penyidikan yang diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk digugat perdata
adalah selain bagian inti delik telah adanya kerugian keuangan negara yang telah terbukti
maka walaupun bagian inti delik lainnya ataupun putusan bebas walaupun tidak terbukti tetap
dapat dilakukan gugatan perdata. Selintas ketentuan pasal tersebut mudah dilakukan akan
tetapi pada prakteknya banyak mengandung kompleksitas. Tegasnya, yang paling elementer
apabila dilakukan gugatan perdata tentu berdasarkan adanya perbuatan melawan hukum dari
tergugat, akan tetapi kompleksitasnya dapatkah negara melalui Jaksa Pengacara Negara
membuktikan tentang adanya kerugian negara tersebut berdasarkan alat-alat bukti
sebagaimana ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg dan Pasal 1866 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHP).77
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan
terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman
yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan 1 . Untuk tegaknya hukum
pidana maka diberilah kewenangan kepada Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
dimana para pelaku kejahatan atau penjahat yang umumnya berasal dari kalangan ekonomi
lemah brutal, dan marginal. Karena itu tidak berlebihan jika kejahatan dianggap sebagai
masalah sosial yang pada umumnya bersumber dari masalah kemiskinan.

Hukum pidana langsung berhadapan dengan hak asasi manusia. Hak asasi manusia
yang tertinggi ialah hak untuk hidup dan hukuman pidana mengenai pidana mati, ada hak
asasi untuk bebas bergerak, hukum pidana mengenai pidana penjara dan sistem penahanan
yang merampas hak bergerak, ada hak untuk memiliki ada pidana perampasan dan
seterusnya.

Anda mungkin juga menyukai