HUKUM PIDANA
Disusun oleh :
3331121101
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-nYa
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah permasalahan hukum perkawinan
dalam kompilasi hukum islam.
Selama proses penulisan laporan ini banyak mendapatkan bantuan dari pihak-pihak
lain sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan optimal. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
tugas ini yaitu:
1. Dosen yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan makalah ini serta
memberikan ilmu dan saran yang sangat bermanfaat.
Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan pembaca.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata kami ucapkan
terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 4
PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Rumusan Masalah 5
BAB II 6
PEMBAHASAN 6
2. 1 Pengertian Perkawinan 6
2.2 Arti dan Tujuan Perkawinan 7
2.3 Undang - Undang Perkawinan di Indonesia 8
2.4 Sistem Hukum adat biak 9
2.5 Perkawinan Campur 12
BAB III 14
PENUTUP 14
3.1 Kesimpulan 14
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan
terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman
yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan 1 . Untuk tegaknya hukum
pidana maka diberilah kewenangan kepada Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
dimana para pelaku kejahatan atau penjahat yang umumnya berasal dari kalangan ekonomi
lemah brutal, dan marginal. Karena itu tidak berlebihan jika kejahatan dianggap sebagai
masalah sosial yang pada umumnya bersumber dari masalah kemiskinan. Hukum Pidana
dengan sanksi yang keras dikatakan mempunyai fungsi yang subsider artinya apabila fungsi
hukum lainnya kuranga maka baru dipergunakan Hukum Pidana, sering juga dikatakan
bahwa Hukum Pidana itu merupakan ultimum remedium. Ultimum remedium merupakan
istilah hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana yang
merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo 2
mengatakan bahwa ultimum remedium sebagai alat terakhir. Hukum pidana langsung
berhadapan dengan hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang tertinggi ialah hak untuk
hidup dan hukuman pidana mengenai pidana mati, ada hak asasi untuk bebas bergerak,
hukum pidana mengenai pidana penjara dan sistem penahanan yang merampas hak bergerak,
ada hak untuk memiliki ada pidana perampasan dan seterusnya. Untuk menghilangkan pidana
yang semena-mena karena langsung menyentuh HAM, diperkenalkan beberapa asas akibat
revolusi prancis yang meletus karena pengenaan pidana yang semena-mena dan tidak adil3 ,
maka muncul asas legalitas yang diperkenalkan oleh sarjana Anselmus von Feuerbach yang
bahasa latinnya “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” (tidak ada delik
tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya)4 . Hukum pidana tentang pencurian yang
diatur dan dijelaskan dalam Undang-Undang Kitab Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat
dengan KUHP, pada BAB XXII tentang Pencurian pada Pasal 362 KUHP yang berbunyi
“perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal 363 butir 4, begitupun
perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah
rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak
lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah”.
Pencurian Ringan adalah pencurian yang memiliki unsur unsur dari pencurian
didalam bentuknya yang pokok, yang karena ditambah dengan unsur-unsur lain yang
meringankan, ancaman pidananya menjadi diperingan6 . Perkara yang termasuk tindak
pidana ringan yang kemudian disingkat dengan tipiring pada Pasal 205 Ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang kemudian disingkat KUHAP yaitunya perkara
yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan penjara dan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan termasuk
wewenang dalam acara pemeriksaan cepat (SEMA No. 18 Tahun 1983)
Pada Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2012 ayat (1) berbunyi :
Sebagaimana diketahui, Perma Nomor 2 tahun 2012 terbit didasari banyaknya kasus
kasus pencurian ringan yang masuk ke pengadilan. Seperti kasus nenek minah, kasus sendal
jepit, hingga kasus segenggam merica. Ketua MA Harifin Tumpa lalu mengeluarkan langkah
revolusioner dengan mengeluarkan Perma No.2/2012 sehingga kasus serupa bisa disidang
tampa terdakwa harus ditahan.
Perkara tindak pencurian ringan yang diatur dlam Pasal 364 KUHP
yang diancam dengan pidana penjara maksimal selama 3 (tiga) bulan penjara
tentunya berdasarkan ketentuan Pasal 205 ayat (1) KUHAP menyatakan
bahwa penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa
yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, maka terhadap
pelaku tipiring yang ancaman pidananya “paling lama 3 bulan” penjara atau
kurungan tidak seharusnya dilakukan penahanan. Serta dalam beracara dalam
penyelesaian tindak pidana pencurian ringan harus dengan acara peradilan
cepat.
Namun pada kenyataannya masih banyak kasus yang dapat dikategorikan sebagai
tindak pidana pencurian ringan namun diproses sama dengan tindak pencurian biasa yang
juga nantinya berdampak pada tindakan kepolisian yang menahan tersangka, serta dakwaan
jaksa yang menuntut dengan Pasal tindak pidana biasa dan juga sistem beracara di pengadilan
dengan acara biasa maka akan timbul masalah masalah baru baik ketidak konsistennya sistem
peradilan di Indonesia sampai ketidakadilan yang tercipta terutama bagi pelaku yang buta
hukum.
Selanjutnya pada kasus yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Bandung pada
Putusan Nomor. 649/Pid.B/2016/PN BDG, dengan terpidana Deri Ridwansyah bin Alex
dalam perkara yang didakwakan melakukan Tindak Pidana “Pencurian” sebagaimana diatur
dalam pasal 362 KUHP mengambil barang sesuatu berupa 1 (satu) buah HP merk Samsung
Galaxy
Grand warna putih berikut Sim Card nya yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan
orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum ditaksir harga barang yang
dicuri tersebut tidak lebih dari Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) 10, Pengadilan
Negeri Bandung telah menjatuhkan putusan pada tanggal 19 Juli 2016, Menyatakan Deri
Ridwansyah bin Alex telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “pencurian”, serta menjatuhkan pidana selama 6 (enam) bulan penjara, dengan status
terdakwa telah ditahan sebelumnya
Masalah lain muncul ketika pencuri dipidana penjara dengan membatasi ruang gerak
mereka, setelah mereka keluar dari penjara mereka akan melakukan kejahatan yang sama
karena pidana penjara tidak tepat pada pelaku kejahatan pencurian seperti kasus Residifis
Mario Makaleo als IO yang pada awalmulanya melakukan kejahatan pencurian bersama
teman temannya dan diadili di Pengadilan Negeri Bandung dengan pidana penjara pada tahun
2014, selanjutnya Residifis Mario Makaleo melakukan kejahatan serupa yang di adili
Pengadilan Negeri bandung pada tanggal 31 maret 2016 dengan pidana penjara selama 1
(satu) tahun 8 (delapan) bulan dalam kasus “Pencurian” dengan taksiran kerugian tidak
melebihi satu juta rupiah.
Banyak permasalahan dapat muncul ketika tidak adanya kesepahaman antara lembaga
terkait dalam memperhatikan Perma No.2/2012 baik perlakuan yang tidak seharusnya terjadi
sampai pada pelanggaran Hak terpidana yang mengekang kebebasannya dengan penjara yang
lebih lama dari ketentuan perundang undangan.
Bahwa banyaknya perkara perkara pencurian ringan sangatlah tidak tepat didakwa
dengan menggunakan Pasal 362 KUHP yang ancaman pidananya paling lama 5 (lima) tahun.
Perkara perkara pencurian ringan seharusnya masuk dalam kategori tindak pidana ringan
(lichte misdrijven) yang mana seharusnya lebih tepat didakwa dengan Pasal 364 KUHP yang
ancaman pidananya paling lama 3 (tiga) bulan penjara atau denda paling banyak Rp. 250,00
(dua ratus lima puluh rupiah) yang telah diperbaharui jumlahnya melalui Perma No.2/2012
menjadi Rp. 2.500.000 ( dua juta lima ratus ribu rupiah) jika perkara perkara tersebut
didakwa dengan Pasal 364 KUHP tersebut maka tentunya berdasarkan Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana para tersangka atau terdakwa perkara tersebut tidak dapat dikenakan
penahanan (Pasal 21 KUHAP) serta cara pemeriksaan di pengadilan yang digunakan haruslah
acara pemeriksaan cepat yang cakupan pemeriksaan oleh Hakim Tunggal sebagaimana diatur
dalam pasal 205-210 KUHAP. Selain itu berdasarkan pasal 45A undang undang Mahkamah
Agung Nomor 14 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dua kali terakhir dengan undang
undang Nomor 3 tahun 2009 perkara perkara tersebut tidak dapat diajukan kasasi karena
ancaman hukumannya dibawah 1 (satu) tahun penjara.
Maka dari latar belakang permasalahan ini muncul penulis akan memberi judul skripsi
ini dengan nama “Implementasi Pasal 364 KUHP Jo Perma No. 2 Tahun 2012 Dalam
Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Pencurian Ringan”
Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang penelitian, maka yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Implementasi Pasal 364 KUHP jo Perma No. 2 Tahun 2012 Tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP dalam
Penyelesaian Kasus Tindak Pencurian Ringan pada Wilayah Hukum Bandung?
2. Bagaimana akibat hukum dari tidak dipakai dan tidak diterapkannya Pasal 364 KUHP
jo Perma No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda dalam KUHP dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pencurian Ringan
pada Wilayah Hukum Bandung?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimana Implementasi Pasal 364 KUHP jo Perma No. 2 Tahun
2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam
KUHP dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pencurian Ringan pada Wilayah Hukum
Bandung.
2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari tidak dipakainya dan tidak
diterapkannya Pasal 364 KUHP jo Perma No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP dalam Penyelesaian
Kasus Tindak Pencurian Ringan pada Wilayah Hukum Bandung
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tindak Pidana Korupsi Korupsi berasal dari bahasa latin ―corruptio‖ atau
―corruptus‖, yang kemudian muncul dalam banyak bahasa Eropa, Inggris, Prancis
―corruption‖ bahasa Belanda ―corruptie‖ yang kemudian muncul pula dalam bahasa
Indonesia ―korupsi‖. 15 Di Indonesia, kita menyebut korupsi dalam satu tarikan nafas
sebagai ―KKN‖ (korupsi, kolusi, nepotisme). ―Korupsi‖ selama ini mengacu kepada
berbagai ―tindakan gelap dan tidak sah‖ (illicit or illegal activities) untuk mendapatkan
keuntungan pribadi atau kelompok. Definisi ini kemudian berkembang sehingga pengertian
korupsi menekankan pada ―penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan publik untuk
keuntungan pribadi‖.
Philip mengidentifikasi tiga pengertian luas yang paling sering digunakan dalam
berbagai pembahasan tentang korupsi: 17
a. Korupsi yang berpusat pada kantor publik (public Office centered corruption).
Philip mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku dan tindakan pejabat
publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal. Tujuannya untuk
mendapatkan keuntungan pribadi, atau orang-orang tertentu yang berkaitan
erat dengannya seperti keluarga, kerabat dan teman. Pengertian ini juga
mencakup kolusi dan nepotisme: pemberian patronase karena alasan hubungan
kekeluargaan (ascriptive), bukan merit.
b. Korupsi yang berpusat pada dampaknya terhadap kepentingan umum (public
interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi sudah terjadi ketika pemegang
kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik, melakukan
tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang dengan imbalan (apakah uang atau
materi lain). Akibatnya, tindakan itu merusak kedudukannya dan kepentingan
publik.
c. Korupsi yang berpusat pada pasar (market-centered) yang berdasarkan analisa
korupsi menggunakan teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi
dalam kerangka analisa politik. Menurut pengertian ini, individu atau
kelompok menggunakan korupsi sebagai ―lembaga‖ ekstra legal untuk
mempengaruhi kebijakan dan tindakan birokrasi. Hanya individu dan
kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih
mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain.
Kata ―aset‖ berasal dari bahasa Inggris, yaitu asset, yang berarti 1) mutable person or
quality, 2) thing owned, esp property, that can be sold to pay I debt. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, aset adalah, 1) sesuatu yang mempunyai nilai tukar modal. Kata ―aset‖
dalam bahasa Indonesia sinonim dengan kata ―modal, kekayaan‖. Menurut Black‘s Law
Dictionary, ―asset‖ berarti ―1) An item that is owned and has value. 2. (pl.) The entries of
property owned, including cash, inventory, real estate, accounts receivable, and goodwill. 3.
(pl.). All the property of a person (esp. A bankrupt or defeased person) available for paying
debts‖.
Pada dasarnya lingkup pengertian aset diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) pasal 499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap
hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik Kebendaan menurut bentuknya, dibedakan menjadi
benda bertubuh dan tak bertubuh. Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan menjadi
benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta benda tidak bergerak.
Hal ini sesuai dengan pengertian harta kekayaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu
―Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak
langsung.‖ 21
Aset hasil kejahatan biasanya diartikan sebagai setiap harta kekayaan, baik yang
berwujud atau tidak berwujud, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, yang merupakan
hasil tindak pidana, atau diperoleh dari hasil tindak pidana, atau sebagai bentuk keuntungan
dari suatu tindak pidana. Lebih jauh dari itu, harta kekayaan yang dapat dirampas tidak hanya
terbatas pada sesuatu yang diperoleh atau suatu bentuk keuntungan yang diperoleh dari suatu
tindak pidana. Harta kekayaan yang digunakan untuk membiayai (sebagai ―modal‖), atau
sebagai alat, sarana, atau prasarana, bahkan setiap harta kekayaan yang terkait dengan tindak
pidana atau seluruh harta kekayaan milik pelaku tindak pidana juga dapat dirampas, sesuai
dengan jenis tindak pidana yang terkait dengan harta kekayaan tersebut. Dengan demikian,
pelaku tindak pidana atau setiap orang yang terlibat atau yang ingin melibatkan diri dalam
suatu kejahatan atau organisasi kejahatan akan menyadari bahwa selain kemungkinan
keuntungan yang akan mereka peroleh, ternyata mereka juga berhadapan dengan besarnya
resiko kehilangan harta kekayaan mereka.22
Pengembalian aset yang diperoleh dari tindak pidana korupsi menurut Purwaning juga
dilandaskan atas prinsip-prinsip keadilan sosial sehingga institusi negara dan institusi hukum
mendapat tugas dan tanggung jawab menjamin terwujudnya kesejahteraan bagi setiap
individu individu atau masyarakat. Atas dasar itu, dalam konteks tindak pidana korupsi yang
menghilangkan kemampuan negara untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya maka
negara wajib menuntut pemulihan atas kekayaan yang diambil secara melawan hak.
Fleming dalam bukunya Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An
Economic Taxonomy: Draft for Comments, melihat pengembalian aset sebagai: pertama,
pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua, yang
dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; ketiga, salah
satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak
dapat menggunakan hasil serta keuntungan keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau
sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.
Pengembalian aset menurut Paku Utama adalah sistem penegakan hukum yang
dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut,
merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana
korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset
yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas,
disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat
mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk
memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi.
1. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana
termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan
pribadi, orang lain, atau korporasi baik berupa modal, pendapatan maupun
keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut atau aset
yang diduga kuat digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak
pidana;
2. Barang temuan;
3. Aset Negara yang dikuasai pihak yang tidak berhak;
4. Aset-Aset lain sesuai ketentuan peraturan perundang undangan termasuk yang
pada hakikatnya merupakan kompensasi kepada korban dan/atau kepada yang
berhak.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi telah menempati posisi penting dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
PEMBAHASAN
3.1 Pengaturan Mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Dalam
Hukum Positif
Penegakan hukum melalui pengungkapan tindak pidana, menemukan pelaku, serta
memasukkan pelakunya ke dalam penjara (follow the suspect) semata belum efektif dalam
menekan terjadinya kejahatan jika tidak dibarengi dengan upaya menyita dan merampas hasil
dan instrumen tindak pidana.65 Keadaan tersebut semakin menemukan kebenarannya jika
dihubungkan dengan kejahatan yang bermodus ekonomi seperti korupsi. Dalam tindak pidana
korupsi keuntungan materiil merupakan salah satu karakteristik tindak pidananya. Hal itu
secara gamblang terlihat dari rumusan-rumusan pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi seperti memperkaya, menguntungkan, menerima pemberian,
menggelapkan uang atau surat berharga serta beberapa terminologi lain yang menunjukkan
karakteristik modus ekonominya.66 Oleh karenanya, penegakan hukum terhadap tindak
pidana korupsi juga harus berfokus pada sisi keuntungan ekonomi sehingga dapat
memulihkan kerugian yang dialami negara akibat korupsi.
Upaya menyita dan merampas hasil serta instrumen tindak pidana yang khususnya
dalam tindak pidana korupsi sebelumnya sudah diinisiasi dalam beberapa peraturan
perundang-undangan. Antara lain dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor:
PRT.PEPERPU/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan
Korupsi dan Pemilikan Harta Benda yang mengatur bahwa terdapat kekuasaan bagi pemilik
harta benda untuk menyita harta benda seseorang atau suatu badan apabila setelah
mengadakan penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan tertentu dan bukti-bukti
lainnya memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk dalam harta yang
dapat disita dan dirampas.67
Selain itu, pengaturan yang mendasarinya juga termuat dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perpu tersebut mengatur bahwa segala harta
benda yang diperoleh dari korupsi dirampas, dan terdakwa dapat juga diwajibkan membayar
uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga
menjadi salah satu dasar untuk melakukan perampasan aset atas seseorang yang meninggal
dunia, sebelum atas perkaranya ada putusan yang tidak dapat diubah lagi telah melakukan
tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan Penuntut Umum memutus perampasan atas
barang-barang yang telah disita melalui putusan pengadilan.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan hukum positif sebagai landasan dalam
upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Undang-Undang ini telah
mencakup pula ketentuan-ketentuan terkait upaya pemulihan aset atas kerugian negara akibat
tindak pidana korupsi. Diantara upaya yang termuat dalam pengaturan tersebut selain melalui
penyitaan dan perampasan juga terdapat ketentuan pembalikan beban pembuktian terhadap
kekayaan pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dalam hukum positif adalah sistem
penegakan hukum yang dilakukan oleh negara sebagai korban tindak pidana korupsi untuk
mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi melalui
rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana dan perdata, aset hasil tindak pidana
korupsi, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri dilacak, dibekukan, dirampas, disita,
diserahkan dan dikembalikan kepada negara sebagai korban tindak pidana korupsi, sehingga
dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana
korupsi, dan untuk mencegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan aset hasil tindak
pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya dan
memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku tindak pidana korupsi.70
Pengembalian aset-aset atau dapat dikatakan dengan pengembalian keuangan negara dari
hasil tindak pidana korupsi menarik untuk dicermati.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dijelaskan bahwa pengembalian
kerugian negara atau perekonomian negara tidak akan menghapuskan pidana pelaku tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Meskipun begitu dalam Penjelasan
Pasal 4 disebutkan bahwa pengembalian keuangan atau perekonomian negara merupakan
salah satu faktor yang meringankan pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak
pidana korupsi. Namun pertanyaan yang timbul adalah bagaimana proses pelaksanaan atau
penegakan hukum terhadap asset recovery tersebut. Terdapat beberapa bentuk langkah
penegakan hukum pidana yang bisa diarahkan untuk tujuan dan dalam rangka
mengembalikan aset atau harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana korupsi. Di antara
langkah tersebut yaitu melalui perampasan, pembuktian terbalik, gugatan perdata, dan
penerapan pidana pembayaran uang pengganti. Langkah-langkah tersebut dapat diuraikan
secara rinci sebagai berikut:
1. Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Ketentuan mengenai Perampasan Aset
sudah lama dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di
Indonesia. Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor: PRT/PEPERPU/013/1958
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan
Harta Benda, yang merupakan ketentuan yang pertama kali menggunakan istilah
korupsi, terdapat pengaturan yang memberikan kekuasaan kepada pemilik harta benda
untuk menyita harta benda seseorang atau suatu badan apabila setelah mengadakan
penyelidikan yang seksama berdasarkan keadaan tertentu dan buktibukti lainnya
memperoleh dugaan yang kuat, bahwa harta benda itu termasuk dalam harta yang
dapat disita dan dirampas.
Pada dasarnya, penegakan tindak pidana korupsi melalui hukum keperdataan lazim
dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat melalui penyitaan (confiscation) terhadap
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dimensi ini secara tegas dikatakan Oliver Stolpe
bahwa: ―Countries such as Italy, Ireland and the United States provide, under varying
contitions, for the possibility of civil or preventive confiscation of assets suspected to be
derived from certain criminal activity. Unlike confiscation in criminal proceedings, such
forfeiture laws do not require proof of illicit origin “beyond reasonable doublt”. Instead, the
consider proof on a balance of pribabilities or demand a high probability of illicit origin
combined the inability of the owner to prove the contrary‖.
Berkaitan dengan tindak pidana korupsi, UU Tipikor menentukan bahwa dalam hal
penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi
tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka
penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk mengajukan gugatan (Pasal 32 ayat (1)). Konstruksi ketentuan pasal ini
banyak menimbulkan problematika. Salah satu yang esensial adalah tidak jelasnya status dari
orang yang digugat perdata tersebut apakah sebagai pelaku, tersangka atau terdakwa.
Apabila mengikuti alur polarisasi pemikiran pembentuk Undang-Undang maka berkas
hasil penyidikan yang diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk digugat perdata
adalah selain bagian inti delik telah adanya kerugian keuangan negara yang telah terbukti
maka walaupun bagian inti delik lainnya ataupun putusan bebas walaupun tidak terbukti tetap
dapat dilakukan gugatan perdata. Selintas ketentuan pasal tersebut mudah dilakukan akan
tetapi pada prakteknya banyak mengandung kompleksitas. Tegasnya, yang paling elementer
apabila dilakukan gugatan perdata tentu berdasarkan adanya perbuatan melawan hukum dari
tergugat, akan tetapi kompleksitasnya dapatkah negara melalui Jaksa Pengacara Negara
membuktikan tentang adanya kerugian negara tersebut berdasarkan alat-alat bukti
sebagaimana ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg dan Pasal 1866 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHP).77
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran dan kejahatan
terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman
yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan 1 . Untuk tegaknya hukum
pidana maka diberilah kewenangan kepada Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.
dimana para pelaku kejahatan atau penjahat yang umumnya berasal dari kalangan ekonomi
lemah brutal, dan marginal. Karena itu tidak berlebihan jika kejahatan dianggap sebagai
masalah sosial yang pada umumnya bersumber dari masalah kemiskinan.
Hukum pidana langsung berhadapan dengan hak asasi manusia. Hak asasi manusia
yang tertinggi ialah hak untuk hidup dan hukuman pidana mengenai pidana mati, ada hak
asasi untuk bebas bergerak, hukum pidana mengenai pidana penjara dan sistem penahanan
yang merampas hak bergerak, ada hak untuk memiliki ada pidana perampasan dan
seterusnya.