Anda di halaman 1dari 30

PROPOSAL KERTAS KERJA PERORANGAN

ANALISA YURIDIS TENTANG PERBUATAN BERSAMA-


SAMA DAN BERLANJUT SESUAI PASAL 55 AYAT (1) Ke-1
DAN PASAL 64 AYAT (1) KUHP DALAM PERKARA
PENIPUAN ATAS NAMA TERDAKWA NIKOLAS KAREL
PAUL TAMBUNAN MELANGGAR PASAL 378 Jo. PASAL 55
AYAT (1) Ke-1 Jo. PASAL 64 AYAT (1) KUHP
(STUDI KASUS PADA KEJAKSAAN NEGERI PASURUAN)

PENULISAN KERTAS KERJA PERORANGAN


OLEH :

NAMA : HANDINI RIFMAWATI, S.H.


NOMOR PESERTA : 08
KELAS : PPPJ II

PPPJ ANGKATAN LXXIX GELOMBANG 1 TAHUN 2022


BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

atas segala limpahan rahmat dan kasih-Nya, sehingga Penulis dapat

menyelesaikan Kertas Kerja Perorangan ini dalam rangka memenuhi

persyaratan untuk lulus dalam Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan

Jaksa tahun 2022 di Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik

Indonesia dengan judul “ANALISA YURIDIS TENTANG PERBUATAN

BERSAMA-SAMA DAN BERLANJUT SESUAI PASAL 55 AYAT (1) Ke-

1 DAN PASAL 64 AYAT (1) KUHP DALAM PERKARA PENIPUAN

ATAS NAMA TERDAKWA NIKOLAS KAREL PAUL TAMBUNAN

MELANGGAR PASAL 378 Jo. PASAL 55 AYAT (1) Ke-1 Jo. PASAL 64

AYAT (1) KUHP (STUDI KASUS PADA KEJAKSAAN NEGERI

PASURUAN)”.

Dengan segala kerendahan hati, Penulis sadar bahwa dalam

penulisan Kertas Kerja Perorangan ini tidak akan terwujud tanpa bantuan,

bimbingan dan nasihat dari pengajar dan pihak-pihak terkait lainnya. Pada

kesempatan ini Penulis menghaturkan terima kasih kepada :

1. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik

Indonesia, Kepala Pusat Diklat Teknis Fungsional, Sekretaris

Badan Diklat, para Widya Iswara, Penyelenggara, Matgaklin, dan

para Pelatih dari Marinir yang telah membentuk dan membina serta

memotivasi Penulis dalam hal keilmuan dan kedisiplinan;

2
2. Bapak BAMBANG SUBIYANTO, S.H. selaku Widya Iswara

pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan kepada

Penulis dalam penyusunan Kertas Kerja Perorangan ini;

3. Bapak BAMBANG SUBIYANTO, S.H. dan Ibu ANI FITRIA, S.H

sebagai penguji kertas kerja penulis.

4. Kepada Bapak dan Ibu tercinta serta seluruh keluarga yang selalu

memberi dukungan moral dan spiritual sehingga penulis dapat

menyelesaikan Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa di

Badan Diklat Kejaksaan Republik Indonesia mengikuti PPPJ tahun

2022;

5. Bapak ADNAN SULISTIYONO, S.H. selaku Kasi Pidsus pada

Kejaksaan Negeri Blora yang telah membimbing Penulis dalam

menyusun kertas kerja ini.

6. Kepada teman-teman seperjuangan khususnya PPPJ II yang telah

banyak membantu Penulis dalam menyusun kertas kerja ini,

semoga sukses ditempat tugas.

Dalam penulisan kertas kerja ini mungkin banyak yang kurang

sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan koreksi serta saran dari

pembaca dengan harapan kertas kerja ini dapat bermanfaat untuk Penulis

sendiri maupun pihak lain yang berkepentingan. Akhir kata semoga Kertas

Kerja Jaksa ini dapat berguna dan menjadi sumbangan pikiran bagi

semua pihak.

3
Jakarta, September 2022

Penulis

HANDINI RIFMAWATI, S.H.

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perbuatan berlanjut yang dirumuskan dalam pasal 64 KUHP,

merupakan beberapa perbuatan yang harus dianggap satu perbuatan,

karena antara satu perbuatan dengan perbuatan lainnya ada hubungan

yang erat. Sehingga terhadap perbuatan yang demikian itu hanya

diancam dengan satu hukuman saja, dan kalau ancaman hukuman

terhadap perbuatan-perbuatan itu adalah berbeda- beda, maka yang

dapat dikenakan adalah hukuman yang terberat. Sebab, sistem

hukuman yang dianut dalam perbuatan berlanjut ini adalah sistem

absorsi (penyerapan), dimana dengan dikenakan satu hukuman saja,

maka hukuman yang dijatuhkan itu sudah menyerap ancaman

hukuman terhadap perbuatan lainnya. Dengan demikian, perbuatan

yang dimaksud pada pasal 64 KUHP ini yaitu mempunyai kesamaan

dengan perbuatan yang dimaksud pada pasal 65 KUHP yang disebut

dengan perbarengan beberapa perbuatan atau gabungan beberapa

perbuatan (Concursus Realis).

Kesamaan yang ada adalah baik perbuatan berlanjut maupun

perbarengan beberapa perbuatan, bahwa kedua-duanya pelaku

melakukan beberapa (lebih dari satu) tindak pidana. Sedangkan,

perbedaannya adalah dalam hal perbuatan berlanjut, beberapa

1
perbuatan yang dilakukan itu haruslah dipandang satu perbuatan saja

karena adanya hubungan antara satu dengan lainnya, sedangkan

dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang dilakukan itu

haruslah dipandang masing-masing berdiri sendiri.

Ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP menyatakan ‘jika antara

beberapa perbuatan yang dilakukan, meskipun masing-masing

merupakan kejahatan atau pelanggaran, terdapat hubungannya

sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan

berlanjut, maka hanya dikenakan satu aturan pidana saja, jika berbeda-

beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang

paling berat.

Hal pertama yang harus dibuktikan adalah adanya beberapa

perbuatan berupa kejahatan atau pelanggaran, dimana dalam hukum

mensyaratkan perbuatan-perbuatan tersebut harus sejenis. Perbuatan-

perbuatannya itu harus sama atau sama macamnya, misalnya

perbuatan pencurian dengan pencurian, termasuk pula dalam segala

macam pencurian dari yang teringan sampai dengan yang terberat,

penipuan dengan penipuan mulai dari yang teringan sampai dengan

yang terberat, penggelapan dengan penggelapan mulai dari yang

teringan sampai dengan yang terberat, penganiayaan dengan

penganiayaan meliputi semua bentuk penganiayaan, dan lain

sebagainya. Selanjutnya beberapa tindak pidana yang sejenis bisa

disebut juga sebagai perbuatan berlanjut apabila dipenuhi syarat

2
lanjutannya yaitu berasal dari satu keputusan kehendak dan dilakukan

dalam tenggang waktu yang tidak terlalu lama.

Dengan demikian perbuatan berlanjut dapat dirumuskan dalam

ayat (1) adalah perbuatan baik berupa kejahatan umum yang satu

dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga

haru dipandang sebagai salah satu perbuatan yang ada. Unsur-

unsurnya adalah yang pertama perbuatan, meskipun merupakan

perbuatan pelanggaran atau kejahatan, yang kedua, antara perbuatan

yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa

sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang terus berlanjut.

Rumusan Pasal 64 KUHP bisa diuraikan sebagai berikut: a. jika

beberapa perbuatan, meskipun masing-masing kejahatan atau

kejahatan, ada rupa-rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu

perbuatan yang berlanjut (Voortgezette Handeling), yang diterapkan

yang memuat pidana pokok yang paling berat. b. demikian juga hanya

dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah

melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan

barang yang dipalsu atau dirusak. c. akan tetapi, jika orang yang

melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam Pasal 364, 373, 379

dan 407 ayat (1) sebagai perbuatan yang berlanjut dan nilai kerugian

yang diberikan hukuman melebihi tiga ratus tujuh puluh lima rupiah,

maka ia dikenakan aturan terpidana tersebut dalam Pasal 362, 372 dan

378 serta 406 KUHP.

3
Dengan melihat konstruksi yuridis perbuatan berlanjut maka

terlihat bahwa perbuatan berlanjut bukan merupakan hal yang

sederhana dan mudah untuk dibuktikan. Dengan kata lain perbuatan

berlanjut merupakan hal yang kompleks dan membutuhkan pembuktian

yang cermat untuk tiga (3) unsurnya sebagaimana sudah disebut dan

dijelaskan di atas. Dimana hampir semua unsur dari perbuatan

berlanjut secara teoritis tidak memiliki pengaturan yang jelas. Tetapi

disisi lain, yakni jika memperhatikan kalimat penutup dari Pasal 64 ayat

(1) KUHP, yakni hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-

beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang

paling berat, (penjatuhan pidana dengan sistem absorpsi), maka dari

hal tersebut terlihat pada pada pokoknya, terbukti adanya perbuatan

berlanjut tidak dapat dijadikan dasar untuk memperberat dalam

penjatuhan pidana. Perbuatan berlanjut dapat dijadikan dasra untuk

memperberat penjatuhan pidana, hanya khusus yang diatur dalam

Pasal 63 ayat (3) KUHP yakni dalam hal kejahatn-kejahatan ringan

yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373

(penggelapan ringan), Pasal 407 ayat (1) (perusakan barang ringan)

yang dilakukn sebagai perbuatan berlanjut dikenakan aturan pidana

untuk kejahatan biasa, berarti yang dikenakan adalah Pasal 362

(pencurian), Pasal 378 (penggelapan) atau Pasal 406 (perusakan

barang).

4
Dari uraian di atas, salah satu perbuatan berlanjut adalah

penipuan, dimana dalam penipuan terdiri dari unsur – unsur obyektif

yang meliputi barang siapa (orang), menggerakkan orang lain agar

orang lain tersebut (menyerahkan suatu benda, mengadakan suatu

perikatan utang, dan meniadakan suatu piutang), dengan memakai

(sebuah nama palsu, suatu sifat palsu, tipu muslihat, dan rangkaian

kata – kata bohong). Selanjutnya adalah unsur – unsur subyektif yang

meliputi dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum.

Penipuan tersebut merupakan salah satu tindakan melanggar

hukum yang dilakukan oleh masyarakat adalah tindak pidana penipuan.

Hal ini disebabkan karena, tindak pidana penipuan sangatlah mudah

untuk dilakukan hanya dengan bermodalkan kemampuan untuk

menyakinkan seseorang dengan kebohongan. Biasanya seseorang

yang melakukan penipuan adalah menerangkan sesuatu yang seolah-

olah betul terjadi, tetapi sesungguhnya perkataanya itu adalah tidak

sesuai dengan kenyataannya, karena tujuannya hanya untuk

menyakinkan orang yang menjadi sasaran agar diikuti keinginannya.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang sebagaimana tersebut di atas,

maka yang menjadi permasalahan antara lain :

5
1. Bagaimanakah pemenuhan unsur perbuatan berlanjut dalam tindak

pidana penipuan?

2. Bagaimana penerapan perbuatan berlanjut oleh Penuntut Umum

maupun Majelis Hakim dalam perkara Tindak pidana penipuan

Nomor : 201/Pid.B/2011/PN.Psr tanggal.. an. NIKOLAS KAREL

PAUL TAMBUNAN bin YANSEN MARINUS TAMBUNAN?

3. Bagaimanakah akibat hukum dari tidak terpenuhinya unsur

perbuatan berlanjut dalam perkara tersebut

C. MAKSUD DAN TUJUAN

Adapun maksud dan tujuan penulisan kertas kerja ini antara lain :

1. Maksud

Penulisan diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk dinyatakan

lulus sebagai Jaksa pada Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan

Jaksa tahun 2022 di Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat)

Kejaksaan Republik Indonesia serta dapat meningkatkan

keterampilan menulis dan kemampuan untuk mengungkapkan

gagasan, pendapat, pikiran dan kemauan kepada orang lain.

2. Tujuan

a. Meningkatkan keterampilan dalam penulisan secara efektif

peserta Pendidikam dan Pelatihan (Diklat).

b. Meningkatkan kemampuan untuk mengungkapkan gagasan,

pendapat pikiran terkait dengan kajian yuridis terhadap penerapan

6
pasal dalam perbuatan berlanjut terhadap perkara tindak pidana

penipuan dan penggelapan (Studi kasus berkas perkara Penipuan

dan Penggelapan atas nama terdakwa Nikolas Karel Paul

Tambunan melanggar Pasal 378 KUHP Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1

KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP atau Pasal 372 KUHP Jo.

Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM

1. TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti “strafbaar feit”.

tindak pidana biasanya juga disebut sebagai delik. Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, delik didefinisikan sebagai perbuatan yang dapat

dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap Undan-

Undang. Jadi, istilah strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana

atau perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa

asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan hukuman (pidana).1

Simons yang merumuskan tindak pidana sebagai berikut: “Tindak

pidana adalah suatu perbuatan manusia yang bertentangan dengan

hukum, diancam dengan pidana oleh Undang-undang perbuatan mana

dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan dan dapat

dipersalahkan pada si pembuat”.2

Sedangkan Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah

perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar

1
Mulyati Pawennei dan Rahmanuddin Tomalili, Hukum Pidana (Jakarta : Mitra Wacana
Media, 2015), halaman 5-6
2
Andi Muhammad Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, (Makasar: Pustaka Pena, 2016), hlm
68

8
larangan tersebut. Dengan penjelasan tersebut, maka untuk terjadinya

perbuatan/tindak pidana harus terpenuhi unsur:

a. Adanya perbuatan manusia,

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang,

c. Bersifat melawan hukum.3

Dari berbagai pengertian tentang definisi tindak pidana oleh

beberapa ahli, maka penulis menyimpulkan tindak pidana merupakan

perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab

yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yang

akibat perbuatannya diancam dengan hukuman sesuai ketentuan yang

berlaku.

Tindak pidana itu terdiri dari unsur-unsur yang dapat dibedakan

atas:

1. Unsur Obyektif

Unsur obyektif adalah unsur yang bersumber dari luar diri pelaku,

yang terdiri dari :

a. Perbuatan Manusia.

“Perbuatan biasanya” bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat

negatif, yaitu terjadi apabila orang tidak melakukan suatu

perbuatan tertentu yang ia wajib melakukan sehingga, suatu

peristiwa terjadi dan tidak akan terjadi apabila perbuatan tertentu

ia lakukan.4 Perbuatan positif misalnya penipuan (Pasal 378

3
Ibid, hlm 107
4
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung, 2014) hlm. 36

9
KUHP), mencuri (Pasal 362 KUHP), dan sebagainya, sedangkan

dari perbuatan negatif misalnya tidak melaporkan yang berwajib,

sedangkan ia mengetahui ada komplotan untuk merobohkan

Negara (Pasal 165 KUHP), membiarkan orang lain sengsara,

sedangkan ia berkewajiban memberikan pemeliharaan kepadanya

(Pasal 304 KUHP) dan sebagainya.

b. Akibat perbuatan manusia

Akibat perbuatan manusia, yaitu: akibat yang terdiri atas

merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan

hukum yang menurut norma hukum pidana itu perlu ada supaya

dapat dipidana. Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan-

perbuatan terdiri atas kelakuan dan akibat; karenanya tempat

perbuatan adalah tempat kelakuan dan akibat. Jadi boleh dipilih

tempat dari dimulainya kelakuan hingga berakhirnya akibat. 5

c. Keadaan-keadaannya

Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:

1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan;

2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan

d. Sifat Melawan Hukum

Perbuatan melawan hukum, jika bertentangan dengan Undang-

Undang. Unsur biasanya terdapat sendiri dalam perumusan KUHP

misalnya dalam Pasal 362 KUHP disebutkan: “memiliki barang itu

5
Rusli Effendi dan Poppy Andi Lolo, Azas-Azas Hukum Pidana, (Ujung Pandang: Leppe-UMI,
1989), hlm. 74

10
dengan melawan hukum.

2. Unsur Subyektif

Unsur ini terdiri atas suatu kehendak atau tujuan, yang terdapat di

dalam jiwa pelaku, unsur dirumuskan dengan istilah sengaja, niat

dan maksud.

a. Kesengajaan

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan

atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang

pantas mendapat hukum pidana adalah orang yang melakukan

sesuatu dengan sengaja.

Dalam teorinya bentuk sengaja “opzet” itu ada tiga macam,

adalah:

1) Sengaja dengan maksud;

2) Sengaja dengan kesadaran pasti akan terjadi;

3) Sengaja dengan kesadaran mungkin akan terjadi;.

b. Kealpaan

Yaitu, suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak

seberat seperti kesengajaan yaitu, kurang berhati-hati sehingga

akibat yang tidak disengaja terjadi. Untuk penilaian itu dapat

dikemukakan disini, bahwa sifat kurang berhati-hati yang dapat

digolongkan sebagai kulva lata misalnya adalah sebagai berikut :

11
1) Pembuat tidak berkelakuan secara hati-hati menurut

semestinya dalam pandangan orang secara normal harus

dilakukan.

2) Pembuat memang sudah berkelakuan sangat hati-hati, akan

tetapi pembuatannya itu menurut aturan yang ada tidak boleh

dijalankan.

2. TINJAUAN UMUM TERHADAP PERBUATAN BERLANJUT

Perbuatan berlanjut merupakan gabungan dari beberapa

perbuatan yang dilakukan seseorang, dimana antara perbuatan yang

satu dengan perbuatan yang lain belum pernah ada putusan hakim

yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sehingga terhadap

pelaku yang melakukan perbuatan dikenakan cara penghukuman

tertentu, sebagaimana ditentukan pada Pasal 64 KUHP.

Bentuk gabungan perbuatan ini dalam Bahasa Belanda dikenal

dengan sebutan “Voortgezette Handeling”, yang mana diatur dalam

Pasal 64 ayat (1) KUHP disebutkan sebagai berikut :

“Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing


merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya
sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana;
jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman
pidana pokok yang paling berat ”6

Sesungguhnya apa yang dimaksudkan dengan hal perbuatan

berlanjut atau yang disebut dengan Voortgezette Handeling tidak begitu


6
Reda Manthovani, Dkk, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : PT. Tangguh Media
Nusantara, 2019), hlm. 145

12
jelas maksudnya dari perumusan atau pengaturan dalam Undang-

Undang. Hal ini dikemukakan pula dalam beberapa tulisan para penulis

Hukum Pidana. Salah satunya yaitu yang dikemukakan oleh Drs. P.A.F.

Lamintang, S.H., dan C. Djisman Samosir, S.H. dengan uraian sebagai

berikut :

“Undang-undang tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai


perkataan beberapa perbuatan itu harus mempunyai hubungan yang
demikian rupa. Hubungan ini dapat ditafsirkan secara macam-macam,
misalnya, karena adanya persamaan waktu, persamaan tempat dari
terjadinya beberapa perbuatan itu dan sebagainya. Hoge Raad
mengartikan Voortgezette Handeling atau tindakan yang dilanjutkan itu
sebagai perbuatan-perbuatan yang se-jenis dan sekaligus merupakan
pelaksanaan dari satu maksud yang sama. Demikian itu pendapat
Hoge Raad antara lain di dalam arrestnya tanggal 19 Oktober 1932,
N.J. 1932".7

Jadi, ketidakjelasan dari pengertian perbuatan berlanjut adalah

karena menurut rumusan pada Pasal 64 KUHP disebutkan bahwa

perbuatan berlanjut adalah beberapa perbuatan yang mempunyai

hubungan sedemikian rupa tanpa penjelasan dan penegasan mengenai

hubungan bagaimana yang dimaksud. Dengan demikian, oleh penulis

diatas, hubungan tersebut dapat ditafsirkan macam-macam, karena

keterhubungan maupun keterkaitannya dapat dilihat dari banyak

kemungkinan, antara lain dapat dikatakan ada hubungan karena waktu,

tempat maupun karena hubungan dengan yan lainnya.

Menurut rumusan Pasal 64 ayat (1) KUHP karena adanya

keterhubungan maupun keterkaitan antara satu perbuatan dengan

perbuatan yang lain, maka perbuatan-perbuatan itu harus dianggap


7
P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,
1983), hlm. 48- 49

13
satu perbuatan. Jadi, beberapa perbuatan yang dilakukan tetapi harus

dianggap sebagai satu perbuatan. Beberapa perbuatan tersebut

biarpun merupakan perbuatan atau pelanggaran yang masing-masing

berdiri sendiri.

Sehubungan dengan beberapa perbuatan yang harus dianggap

satu perbuatan ini, terdapat penjelasan lain yang dikemukakan oleh

Profesor Simons sebagaimana yang telah dikutip oleh P.A. Lamintang,

S.H. sebagai berikut :

“Pemberlakuan Pasal 64 KUHP itu hanya berkenaan dengan


masalah penjatuhan hukuman dan bukan dengan masalah
pembentukan satu tindak pidana, dengan segala akibatnya yakni
berkenaan dengan tempat terjadinya tindak pidana, dengan
keturut sertaan dengan masalah kadaluarsa dan lain-lain".8

Sedangkan menurut pandangan Prof. Simons terhadap rumusan

Pasal 64 ayat (1) KUHP di atas, terutama mengenai beberapa

perbuatan yang harus dianggap satu perbuatan, dikemukakan bahwa

pasal 64 ayat (1) KUHP bukanlah mengatur dalam hal bagaimana

beberapa perbuatan pidana, tetapi hanya dapat dikenakan satu

hukuman saja, jadi bukan menjumlahkan ancaman hukuman dari

masing-masing perbuatan.

Pendapat serupa dengan di atas, dikemukakan oleh Prof. Van

Hattum sebagai berikut :

"Bahwa pasal 64 KUHP hanya memuat suatu peraturan mengenai


penjatuhan hukuman dan bukan mengatur tentang masalah
pembentukan sejumlah tindak pidana menjadi satu keseluruhan
menurut Undang-Undang, dan hal mana mem-punyai arti yang
8
P.A.F. Lamintang., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), hlm.
697

14
sangat penting bagi lembaga-lembaga locus delicti, kadaluarsa
dan keturut-sertaan".9

Dengan demikian, bagaimana atau ukuran-ukuran apa yang

digunakan untuk menentukan beberapa perbuatan itu hanya

diancaman satu hukuman saja, karena haruslah dipandang sebagai

satu perbuatan tidaklah dijelaskan dalam rumusan undang-undang. Hal

ini merupakan kelemahan pengaturan dari pada perbuatan berlanjut

dalam KUHP, sehingga nampaknya pembuat undang-undang

cenderung menyerahkan pemecahannya pada praktik.

3. TINJAUAN UMUM TENTANG CIRI-CIRI PERBUATAN

BERLANJUT

Dalam ilmu hukum pidana, untuk menentukan beberapa dari

perbuatan berlanjut diperlukan 3 (tiga) ukuran atau ciri. E.Y. Kanter,

S.H., dan S.R. Sianturi, S.H. menguraikan bahwa ciri-ciri dari

perbarengan Tindakan berlanjut adalah :

1. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu

kehendak jahat (one criminal intention);

2. Delik-delik yang terjadi itu sejenis;

3. Dan tenggang waktu antara terjadinya tindakan- tindakan tersebut

tidak terlampau lama.10

Jadi, ciri-ciri atau ukuran-ukuran yang diuraikan tersebut

sesungguhnya tidak memberikan pemecahan masalah dari pada suatu

9
Ibid, hlm. 679 - 680
10
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hal. 396.

15
perbuatan berlanjut. Sebab, masalah ini dapat tersimpulkan dari

masing-masing ukuran itu sendiri, terlebih dahulu dapat dilihat pada

ukuran kesatu yaitu Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai

perwujudan dari satu kehendak jahat.

Dalam hubungan dengan ukuran ini adalah untuk menentukan

dan menerapkan beberapa perbuatan yang dilakukan sebagai

perwujudan dari satu kejahatan jahat. Hal ini jelas tidak selamanya,

bahkan pada umumnya sukar untuk ditentukan. Bagaimana yang

dimaksud dengan satu kehendak jahat dan bagaimana dapat dikatakan

lebih dari satu kehendak jahat. Misalnya pada mulanya A hanya

bermaksud sekali saja mencuri uang di tempat dimana ia bekerja,

karena kebetulan ia ada kebutuhan yang sangat mendesak, sedangkan

waktu itu ia tidak mempunyai uang. Dan setelah beberapa waktu lewat,

dan ia mengetahui apa yang dilakukannya tidak ada yang mengetahui,

maka timbul lagi keinginannya untuk mencuri uang. Dari dua pencurian

itu, sebenarnya tidak didasarkan pada satu keputusan kehendak,

melainkan didasarkan pada dua keentingan kehendak yang terpisah.

Dari contoh tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa betapa

sukarnya menentukan apakah beberapa perbuatan telah dilakukan

berdasarkan satu keputusan kehendak atau tidak. Oleh karena itu,

penulis sangat meragukan apakah ada manfaat ukuran ini digunakan

dalam menentukan adanya perbuatan berlanjut.

16
Dapatlah dikatakan bahwa dalam perbuatan yang berlanjut

terdapat pengulangan perbuatan secara teratur, yang jarak antara satu

sama lainnya tidaklah terlampau lama, biarpun pengulangan itu

berlangsung bertahun-tahun. Mengenai batas waktu ini adalah antara

satu dengan perbuatan lain tidak terlampau lama, tetapi dapat saja

berlangsung bertahun-tahun jelas adalah sangat membingungkan,

karena tidak ada batasan berapa lama antara satu perbuatan dengan

perbuatan lain untuk dapat dikatakan tidak terlampau lama.

B. LANDASAN TEORI

Menurut Barda Nawawi Arief, sebenarnya didalam KUHP tidak ada

definisi mengenai concursus, namun demikian dari rumusan pasal-

pasalnya diperoleh pengertian sebagai berikut :

Di dalam KUHP diatur dalam pasal 63 s/d 71 yang terdiri dari :

1. Concursus Idealis

Perbarengan Peraturan (Concursus Idealis) yang diatur dalam

pasal 63 yang disebutkan :

(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana,

maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan

itu; jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman

pidana pokok yang paling berat.

17
(2) Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana

yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka

hanya yang khusus itulah yang diterapkan.11

Menurut ayat 1 digunakan sistem absorpsi, yaitu hanya

dikenakan satu pidana pokok yang terberat, misalnya perkosaan

dijalan umum, melanggar pasal 285 (12 tahun penjara) dan pasal

281 (2 tahun 8 bulan penjara). Maksimum pidana penjara yang dapat

dikenakan ialah 12 tahun. Apabila hakim menghadapi pilihan antara

dua pidana pokok sejenis yang maksimumnya sama, maka

ditetapkan pidana pokok dengan pidana tambahan paling berat.

Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang

tidak sejenis, maka penentuan pidana yang terberat didasarkan pada

urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10 (lihat pasal

69 ayat 1 jo. Pasal 10). Jadi, misalnya memilih antara 1 minggu

penjara, 1 tahun kurungan dan denda 5 juta rupiah, maka pidana

yang terberat adalah 1 minggu penjara.

Dalam pasal 63 ayat 2 diatur ketentuan khusus yang

menyimpang dari prinsip umum dalam ayat 1 dalam hal ini berlaku

adagium “lex specialis derogat legi generali”. Misalnya seorang ibu

membunuh anaknya sendiri pada saat anaknya dilahirkan.

Perbuatan ibu ini dapat masuk dalam pasal 338 (15 tahun penjara)

dan pasal 341 (7 tahun penjara). Maksimum pidana penjara yang

11
Maramis Frans, Hukum Pidana umum dan Tertulis di Indonesia Cet. II, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), hlm. 227-229

18
dikenakan ialah terdapat dalam pasal 341 (lex specialis) yaitu 7

tahun penjara.

2. Concursus Realis

Concursus Realis diatur di dalam Pasal 65 sampai dengan

Pasal 71 KUHP. Pasal 65 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa:

”Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing

harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga

merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana

pokok yang sejenis hanya dijatuhkan satu pidana”. Selanjutnya,

Pasal 66 ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa :

Dalam perbarengan beberapa perbuatan yang masing-masing


harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri,
sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam
dengan pidana pokok yang tidak sejnis, maka dijatuhkan
masing-masing pidana tersebut namun jumlahnya tidak boleh
melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.

Kemudian ketentuan Pasal 70 KUHP menyebutkan bahwa:

”Jika ada perbarengan seperti tersebut Pasal 65 dan 66, baik

perbarengan pelanggaran dengan kejahatan ataupun perbarengan

dengan pelanggaran, maka tiap-tiap pelanggaran diancam masing-

masing pidana tanpa dikurangi”. Berdasarkan rumusan pasal-pasal

tersebut di atas, maka concursus realis dibagi atas:

a. Concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok

sejenis (Pasal 65 KUHP);

19
b. Concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok

yang tidak sejenis (Pasal 66 KUHP);

c. Concursus realis berupa perbarengan antara pelanggaran

dengan kejahatan atau pelanggaran dengan pelangaran (Pasal

70

KUHP).

Concursus Realis dengan demikian terjadi apabila seseorang

melakukan beberapa perbuatan, masing-masing perbuatan itu

berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (kejahatan/pelanggaran)

dan akan diadili sekaligus. Jadi dalam hal ini tidak perlu perbuatan

itu sejenis atau berhubungan satu sama lain sebagaimana halnya

pada perbuatan berlanjut. Sistem pemidanaan pada jenis

Concursus Realis ini adalah sebagai berikut :

Pertama, pemidanaan Concursus Realis berupa kejahatan

yang diancam pidana pokok sejenis berlaku Pasal 65 KUHP, yakni

hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah

maksimum pidana tidak boleh lebih dari maksimum terberat

ditambah sepertiga.

Kedua, pemidanaan Concursus Realis berupa kejahatan yang

diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku Pasal 66 KUHP, yakni

semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan,

tetapi jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum pidana yang

terberat ditambah sepertiga. Sistem ini disebut kumulasi diperlunak.

20
Ketiga, pemidanaan Concursus Realis berupa perbarengan antara

pelanggaran dengan kejahatan atau pelanggaran dengan

pelanggaran (Pasal 70 KUHP), yakni dijatuhkan semua hukuman

yang diancamkan. Dengan demikian menggunakan sistem

kumulasi. Namun menurut Pasal 70 ayat 2 KUHP, sistem kumulasi

dibatasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.

Selanjutnya untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan

khusus untuk Pasal 302 ayat (1), 352, 364, 373, 379 dan 482

pemidanaannya berlaku Pasal 70 bis KUHP yang menggunakan

sistem kumulasi tetapi dengan pembatasan maksimum untuk

penjara 8 bulan. Sementara itu untuk Concursus Realis baik

kejahatan maupun pelanggaran yang diadili pada saat yang

berlainan berlaku Pasal 71 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:

Jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan


bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran
lain sebelum ada putusan pidana itu maka pidana yang
terdahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan
dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai
hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama.

(3)

21
BAB III

PEMBAHASAN

A. KASUS POSISI

B. FAKTA DAN ANALISA YURIDIS

C. ANALISA PEMBAHASAN

22
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

B. SARAN

23
DAFTAR PUSTAKA

24
BIODATA PESERTA

25
LAMPIRAN

26

Anda mungkin juga menyukai