Anda di halaman 1dari 9

Nama Anggota Kelompok 10 :

1. Visca Isnaeni 1913023001


2. Resti Meldatia 1913023005
Kelas : 5 A
MK : Senyawa Kompleks

LKM 10
LABILITAS SENYAWA KOMPLEKS DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA

1. Uraikan tentang kestabilan kinetik (labilitas) dalam senyawa kompleks lengkap dengan
contohnya.
Jawaban :
Kestabilan kinetik berkaitan dengan sifat senyawa kompleks dalam larutan baik yang
menyangkut laju dan mekanisme reaksi kimiawi, misalnya subtitusi dan transfer elektron
atau transfer gugus, termasuk juga pembentukan senyawa kompleks “antara” atau
kompleks “teraktivasi”. Dengan kata lain kestabilan kinetik sangat berkaitan erat dengan
mekanisme laju terhadap perubahan. Kestabilan kinetik dinyatakan dengan istilah inert
(Lembam) dam labil.

Kelabilan suatu senyawa kompleks memiliki hubungan dengan laju disosiasi atau
penguraian senyawa kompleks itu sendiri. Senyawa kompleks labil akan mengalami
keseimbangan antara kation logam dan ligannya yang cepat, sebaliknya pada senyawa
kompleks yang inert membutuhkan waktu yang lebih lama.

Dalam pembahasan sifat kelabilan suatu kompleks akan melibatkan perbandingan antara
garam-garam kompleks dengan tipe formula sejenis, misalnya jenis ligan, logam, dan
bilangan koordinasinya. Contohnya senyawa kompleks tetraaminatembaga (II) dan
heksaaminakobalt (II). Kedua senyawa kompleks tersebut secara termodinamik dalam
larutan asam kuat menurut persamaan reaksi berikut:
[Cu(NH3)4]2+ (aq) + 4 H3O + (aq ⇄ Cu2+ (aq) + 4 NH4 + (aq) + 4

H2O [Co(NH3)6]2+ (aq) + 6 H3O + (aq) ⇄ Co2+ (aq) + 6 NH4 + (aq) +

6 H2O

Gambar 1. Struktur ion kompleks segi empat planar

[Cu(NH3)4]2+ dan oktahedral [Co(NH3)6]2+

Kedua senyawa kompleks di atas memiliki harga Kf yang sangat besar. Ketika
ditambahkan dengan asam kuat, senyawa kompleks tembaga dapat bereaksi dengan
segera, namun hal ini tidak terjadi dengan senyawa kompleks kobalt sehingga dapat
dikatakan bahwa senyawa kompleks tembaga-amin relatif bersifat labil sedangkan
kompleks kobalt- amin bersifat inert dalam suasana lingkungan asam kuat

Suatu senyawa kompleks yang bersifat stabil dalam termodinamik mungkin dapat bersifat
labil atau mungkin juga dapat bersifat inert. Demikian pula senyawa kompleks tak stabil
dalam termodinamik, Mungkin juga dapat bersifat inert walaupun biasanya labil secara
kinetik.Adapun contohnya sebagai berikut :

 Contoh Kompleks yang Stabil ( termodinamik) namun Labil (Kinetik)


Senyawa kompleks [Ni(CN)4]2- merupakan kompleks yang stabil, tetapi zat ini dengan
cepat dapat diubah menjadi kompleks lain, Sehingga [Ni(CN)4]2- stabil tetapi labil :
[(Ni(OH)2)6 ]2+ + 4CN- [Ni(CN)4]2- + 6H2O
Stabil

[Ni(CN)4]2- + 4C14N- [Ni(C14N-)]2- + 4 CN


( Cepat )
 Contoh Kompleks yang tidak stabil ( termodinamik ) namun bersifat inert (Kinetik
) Sebaliknya [Co(NH3)6]3+ tidak stabil dalam larutan asam, tetapi perubahnnya sangat
lambat. Jadi kompleks ini tidak stabil tetapi inert.
4[Co(NH3)6]3+ + 2OH+ + 2H2O 24NH4+ + O2 + 4 [Co(OH2)6]2+
Lambat

2. Jelaskan kriteria labil dan lembam (inert) pada senyawa kompleks.


Jawaban :
Kriterian suatu senyawa kompleks disebut labil bila ligannya dapat diganti dengan ligan
lain secara cepat, Sedangkan disebut inert bila pergantian ini berjalan lambat. Batas ini
menurut Henry Taube untuk larutan 0,1 molar pada 25 0 C ialah satu menit. Artinya
kompleks dikategorikan labil apabila ligannya dapat diganti ligand lain dalam waktu
kurang dari semenit.
Contohnya :

Laju pertukaran ligan sianido dalam kompleks [Ni(CN) 4]2- cepat dengan waktu
paruh (t1/2 ~ 30 detik ) Digolongkan kompleks labil karena ligannya dapat diganti
oleh ligan lain dalam waktu < 1 menit.

Laju pertukaran dalam kompleks [Fe(CN)6]4- (t1/2 ~ 53 jam).Digolongan
Kompleks lembam (Inert )

3. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi labilitas senyawa kompleks lengkap dengan


contoh-contohnya (datanya).
Jawaban :
Sepertinya yang sudah dijelaskan pada no.2, Bahwa senyawa kompleks disebut labil bila
ligannya dapat diganti dengan ligan lain secara cepat, Sedangkan disebut inert bila
pergantian ini berjalan lambat. Sehingga hal ini berkaitan dengan laju reaksi dalam
senyawa kompleks tersebut. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju reaksi (labilitas)
dalam senyawa kompleks adalah sebagai berikut:
1) Kejenuhanan ikatan koordinasi.
Senyawa kompleks dengan bilangan koordinasi rendah lebih cepat dijenuhkan sehingga
laju reaksinya relatif lebih cepat dibandingkan dengan senyawa kompleks yang memiliki
bilangan koordinasi yang tinggi. Contohnya, laju pertukaran ligan sianido dalam
kompleks
[Ni(CN)4]2- lebih cepat dengan waktu paruh (t 1/2 ~ 30 detik ) dibandingkan dengan laju
pertukaran dalam kompleks [Fe(CN)6]4- (t1/2 ~ 53 jam).

2) Kekuatan Ikatan
Bila pemecahan ikatan mempengaruhi laju reaksi, Maka Ikatan-ikatan suatu senyawa
kompleks diantara atom pusat dengan ligannya yang kuat akan memperlambat laju reaksi.
Kekuatan ikatan berkaitan dengan Muatan atom pusat dan Ukuran (Jari-jari) Atom pusat.
Hal ini dapat terjadi pada atom-atom pusat dengan muatan tinggi atau jari-jari ionik yang
pendek. Contohnya pada pertukaran ligan F- suatu seri senyawa non-trasisi berikut:
[AlF6]3- > [SiF6]2- > [PF6]- >> [SF6]
(inert) 3+ 4+ 5+ +6

(Makin Inert )

Gambar 2. Struktur kompleks octahedral ( AlF6]3-, [SiF6]2-, [PF6]-, [SF6])

Dalam hal ini, Semakin besar muatan atom pusat maka akan semakin lambat laju
pertukaran ligannya atau dengan kata lain Semakin besar muatan atom pusat maka
semakin inert kompleks yang bersangkutan. Hal ini karena ligan-ligan yang mengelilingi
atom pusat terikat dengan kuat.

Adapun dalam pertukaran ligan H2O dalam kompleks [M(H2O)n]2+ dijelaskan sebagai
berikut :
Untuk Reaksi :

[M(H2O)n]2+ + 6 H2O ⇄ [ M(OH2)6]2+ M = Atom Pusat (Ba,Sr,Ca,Mg,Be)

Diperoleh Urutan :

Ba2+ > Sr2+ > Ca2+ > Mg2+ >> Be2+

Makin Inert

( Semakin kecil jari jari Atom(ukuran atom) , Maka makin inert kompleks tersebut)

Berdasarkan urutan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin kecil ukuran
atom pusat dimana jarak diantara logam dengan ligan-ligannya yang semakin dekat atau
terikat kuat maka akan semakin lambat laju pertukran ligannya (Semakin Inert ).

3) Konfigurasi elektronik .
Profesor Henry Taube ( Universitas Stanford ) mengembangkan teori sifat labil dan inert
suatu senyawa kompleks yang dihubungkan dengan distribusi elektron dalam senyawa
kompleks sebagaimana dilukiskan oleh teori ikatan valensi atau Valence Band Theory
(VBT). Ion-ion logam transisi dengan bilangan koordinasi enam dalam senyawa
kompleks menurut VBT terbagi kedalam dua kategori yakni ion logam dengan hibridisasi
: Inner d orbital atau orbital d dalam dan Outer d orbital atau orbital d luar. Kedua jenis
hibridisasi ini dapat dirumuskan kedalam orbital hibrida (n-1) d 2 ns np3 untuk jenis inner
orbital dan ns np3 nd2 untuk outer orbital.

Pada Tipe pertama yakni inner d orbital, pemisahan antara spesis inert dengan labil
sangat tajam. Jenis orbital d-kosong bersifat labil dan sebaliknya orbital d-isi bersifat
inert. Bebarapa Contohnya adalah seperti yang ditunjukkan pada Tabel berikut :
Tabel Sifat kestabilan kinetik ion kompleks dengan inner-orbital terisi oleh ligan L

Ion logam yang memiliki konfigurasi elektronik d4 -d6 dengan ligan medan kuat ( Low
spin/ Ligan Lemah ) membentuk senyawa kompleks inner orbital yang bersifat inert.
Sebaliknya, jika pembentukan senyawa kompleks terjadi dengan ligan medan lemah
(High spin/Ligan Kuat) maka akan membentuk senyawa kompleks outer orbital yang
bersifat labil.

Sebagai contoh ion kompleks [Fe(CN)6]3- yang merupakan ion kompleks tipe inner
orbital dan bersifat inert menurut model VBT(Valence Band Theory, dan [FeF 6]3- adalah
ion kompleks tipe outer orbital dan bersifat labil. Hal ini dapat dijelaskan dalam konsep
medan ligan kuat dimana elektron d 5 Fe(III) dalam ion kompleks [Fe(CN) 6]3-
menempati ketiga orbital t2g atau σd non ikatan menurut model MOT. Tidak adanya
orbital molekul yang menempati orbital molekul anti ikat maka ikatan diantara logam
dengan ligan-ligannya bersifat kuat dan ion kompleks bersifat inert. Berbanding terbalik
dengan ion kompleks [Fe(CN)6]3- , pada ion kompleks [FeF6]3-, elektron d5 Fe(III)
dalam [FeF6]3- menempati dua orbital d anti ikat dalam medan ligan lemah seperti yang
ditunjukkan dalam Gambar 4, sehingga melemahkan ikatan-ikatan logam dan ligannya
dan akhirnya mengakibatkan ion kompleks bersifat labil.
Gambar 3. Struktur ion kompleks octahedral [Fe(CN)6]3- dan [FeF6]3-

Gambar 4. Distribusi elektron d 5 dalam ion (kiri) [FeF6]3-dan [Fe(CN)6]3-


(kanan) menurut model VBT-CFT-MOT.

Meskipun begitu, tidak selamanya senyawa kompleks tipe outer-orbital adalah bersifat
labil. Melainkan dapat menjadi bersifat inert saat muatan formal ion pusat dan tingkat
kovalen ikatan mengalami kenaikan. Contohnya golongan ini adalah elektron p yang
ditunjukkan oleh seri senyawa koordinasi [AlF6]3- , [SiF6]2- , [PF6]- , dan [SF6] yang
secara berurutan berubah sifat dari labil ke inert dengan kenaikan tingkat oksidasi III ke
VI.
Gambar 5. Struktur kompleks octahedral [AlF6]3- , [SiF6]2- , [PF6]- , dan [SF6

Dalam konsep dasar labil dan inert suatu senyawa kompleks adalah laju reaksi dan akan
berkaitan dengan energi yang diperlukan untuk pembentukan unit kompleks reaktan
dengan pemecahan ikatan-ikatan serta energi pembentukan kembali suatu senyawa baru.
Energi ini disebut dengan energi aktivasi dan unit kompleks reaktan disebut keadaan
transisi dengan tingkat energi masing-masing komponen yang terlibat secara kualitatif
ditunjukkan pada diagram Gambar 7. Suatu reaksi yang berjalan lambat akan mempunyai
energi aktivasi yang tinggi, dan sebaliknya reaksi yang cepat mempunyai energi aktivasi
yang rendah.

Gambar 7. Energi aktivasi dalam klasifikasi labil-inert.

Perbedaan konsep sifat labil dan inert suatu senyawa kompleks dan faktor-faktor yang
mempengaruhi laju transfer elektron dijabarkan setidaknya kedalam dua mekanisme
reaksi yakni reaksi subtitusi dan reaksi redoks. Penjabaran ketiga mekanisme reaksi ini
berguna
dalam memahami sifat inert dan labil yang berkaitan dengan mekanisme reaksi,
perbedaan antara tahapan terjadinya reaksi dan pembentukan senyawa kompleks
teraktivasi.

DAFTAR PUSTAKA
Sukardjo. 1985. Kimia Koordinasi. Jakarta. Bina Aksara
Sugiyarto, K.H. 2009. Dasar-dasar Kimia Anorganik Transisi. Yogyakarta. Jurdik Kimia
FMIPA UNY.

Anda mungkin juga menyukai