Anda di halaman 1dari 46

TERMODINAMIKA DAN KINETIKA

SENYAWA KOMPLEKS

Oleh : Kelompok 6
David Pardamean Sihombing
Salwa Syafirah
Weny Widianty
Yayang Fabella
Yopita Sari Sihombing
LATAR BELAKANG
Senyawa kompleks merupakan senyawa yang terbentuk dari ion
logam dan ligan. Dalam proses pembentukannya ion logam
merupakan penerima pasangan elektron (asam lewis) yang diberikan
ligan yang berperan sebagai donor pasangan elektron (basa lewis).
Ion logam yang terlibat dalam pembentukan senyawa kompleks
umumnya merupakan logam transisi. Sedangkan ligannya bisa
merupakan ion tunggal diantaranya Cl‾ dan F‾; ion poliatomik seperti
: NO3‾, NH4 + serta dapat berupa senyawa netral seperti NH3 dan
H2O. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa ligan berperan
untuk memberikan pasangan elektron kepada atom pusat.
RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari kestabilan termodinamik dan kestabilan kinetik


2. Apa pengertian dari reaksi substitusi ligan
3. Apa saja faktor – faktor faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan termodinamik suatu
senyawa kompleks
TUJUAN

1. Untuk mengetahui pengertian dari kestabilan termodinamik dan


kestabilan kinetik
2. Untuk mengetahui pengertian dari substitusi ligan
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan
termodinamik suatu senyawa kompleks
 
Kestabilan dan Kelabilan Senyawa Kompleks

Semua ion logam mempunyai kemampuan membentuk ion


kompleks. Ion dengan jari-jari pendek dan muatan besar khususnya
ion-ion logam golongan transisi yang mempunyai orbital d kosong,
benar-benar sangat mudah membentuk senyawa kompleks,
Sesungguhnya, bahkan ion Na+ yang mempunyai jari-jari relatif
panjang dan muatan kecil juga membentuk senyawa kompleks:
tetapi, kompleks natrium ini segera terurai oleh air, dan mungkin
membentuk spesies yang lebih stabil [Na(H2O)n]+.
Pembahasan sifat kestabilan relatif dibedakan dalam dua hal yaitu kestabilan fermodinamik dan
kestabilan kinetik. Kestabilan termodinamik berkaitan dengan energi ikatan metal-ligan, tetapan
kestabilan dan variabel-variabel turunannya atau potensial redoks yang mengukur kestabilan tingkat
valensi metal. Kestabilan kinetik berkaitan dengan sifat senyawa kompleks dalam larutan yang
menyangkut laju dan mekanisme reaksi kimiawi, misalnya substitusi dan transfer elektron atau
transfer gugus, termasuk juga pembertukan senyawa kompleks “antara” atau kompleks “teraktivasi”.
Jadi, suatu semyawa kompleks yang bersifat stabil (termodinamik) mungkin bersifat labil atau
mungkin bersifat inert demikian juga senyawa kompleks tak-stabil mungkin juga bersifat inert
walaupun biasanya bersifat labil.
Suatu senyawa kompleks labil mengalami pertukaran ligan-ligan secara cepat dengan ukuran
waktu paroh reaksi misalnya kira-kira 1 merit sebagai contoh adalah senyawa kompleks
tetrasianidonikelat(II).
Sebaliknya, senyawa kompleks yang inert mengalami pertukaran ligan secara lambat,
misalnya:
Satu contoh ion kompleks inert yang tak-stabil secara termodinamik dalam larutan asam
adalah [Co(NH3)6]3+. Sifat takstabil ion ini ditunjukkan oleh sifat transformasi spontan menjadi
spesies yang lebih stabil yaitu [Co(H2O)6]3+ dengan harga tetapan keseimbangan yang sangat
besar, Kkes ~1025, menurut persamaan reaksi berikut:
Termodinamika Senyawa
Kompleks

Suatu senyawa kompleks dikatakan stabil (secara termodinamik), jika dapat dinyatakan
dengan nilai tetapan disosiasi, Kd, yang relatif kecil dalam bentuk hubungan AG = -2,303 RT
log Kd. Semakin kecil nilai Kd suatu senyawa kompleks semakin kecil kecenderungan
kompleks yang bersangkutan terdisosiasi dan oleh karena itu dikatakan kestabilan senyawa
kompleks semakin besar. Nilai Kd beberapa senyawa kompleks ditunjukkan dalam Tabel 4.1.
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan
termodinamik suatu senyawa kompleks sebagai berikut:
1. Potensial ionik atom pusat. Potensial ionik didefinisikan sebagai rasio antara muatan kationik
efektif dengan jari-jari kationik efektif. Oleh karena itu, hal ini sangat esensial dalam kaitannya
dengan kemampuan menerima (pasangan) elektron dari ligan. Untuk ligan dengan ukuran kecil,
ligan ionik dengan muatan tinggi, dan ligan-ligan multidentat, kestabilan senyawa kompleksnya
naik dengan kenaikan potensial ionik atom pusatnya. Untuk atom pusat divalen seri transisi
pertama dalam senyawa kompleks dengan berbagai ligan, urutan stabilitas termodinamik secara
umum adalah: Mn2+ < Fe2+ < Co2+ < Ni2+ < Cu2+ > Zn2+. Kenaikan kestabilan senyawa kompleks
Mn2+ - Cu2+ adalah paralel dengan kenaikan potensial ionik, tetapi hal ini tidak demikian bagi
Zn2+(yang mempunyai konfigurasi penuh, d10). Oleh karena potensial ionik atom pusat ada
hubungannyadengan bilangan oksidasi, maka semakin tinggi bilangan oksidasi semakin stabil
senyawa kompleksnya dengan ligan-ligan tertentu: kekuatan ikatan M-L semakin besar bagi M
dengan bilangan oksidasi tinggi.
2. Konfigurasi elektronik dx yang berkaitan dengan harga CFSE. Konfigurasi elektronik yang
memberikan kemungkinan CFSE lebih besar akan menghasilkan senyawa kompleks yang lebih
stabil.
3. Sifat basa Lewis dan ikatan II ligan. Kestabilan senyawa kompleks
naik dengan makin kuatnya sifat basa Lewis dan dengan makin
kuatnya kemampuan ikatan II ligan.

4. Efek Kelat. Sifat umum suatu senyawa kompleks yang membentuk


kelat dengan cincin anggota lima atau enam adalah lebih stabil, dalam
arti mempunyai nilai tetapan pembentukan yang lebih besar dari pada
senyawa kompleks sejenis tetapi tidak memiliki cincin-kelat.
Efek kelat dapat dilihat dengan membandingkan reaksi ligan berkelat dan ion logam dengan reaksi
koresponden yang terlibat dapat dibandingkan ligan-ligan monodentat. Sebagai contoh, perbandingan
terikatnya 2,2’-bipyridin dengan pyridin atau 1,2-diaminoethane (ethylenediamine=en) dengan
ammonia.
 
Hal ini sudah bertahun-tahun diketahui bahwa perbandingan tipe ini selalu menunjukkan bahwa
kompleks hasil koordinasi dari ligan berkelat jauh lebih stabil secara termodinamika. Hal ini dapat
dilihat pada harga penambahan dua monodentat dibanding dengan penambahan Satu monodentat, atau
penambahan empat monodentat dibandingkan dua bidentat atau penambahan 6 monodentat dibanding
3 bidentat.
Beberapa Tabel Data Termodinamika
 

Reaksi amonia dan 1,2-diamonoethana dengan cd2+


Reaksi dari pyridin dan 2,2 -bipyridin dengan Ni2+
Reaksi dari Amonia dan 1,2 -diaminoethana dengan Ni2+
Bagaimana kita dapat menjelaskan peningkatan kontribusi ini dari entropi? Satu
eksplanasi untuk menghitung jumlah spesi sisi kanan dan kiri dari persamaan diatas, Hal ini
akan terlihat bahwa pada sisi kiri terdapat 4 spesies, sedangkan pada sisi tangan kanan
terdapat 7 specics, sehingga perolehan bersih 3 spccics terjadi pada hasil rcaksi. Hal ini
dapat diperhitungkan untuk peningkatan entropi karena hal ini menghadirkan peningkatari
Ketidak teraturan sistem, suatu gambaran alternatif datang dari pemahaman bagaimana
reaksi-reaksi dihasilkan. Untuk membentuk suatu kompleks dengan 6 monodentat
mempersyaratkan 6 tumbukan terpisah yang favourable antara ion logam dan molekul-
mokul ligan. Untuk membentuk kompleks logam tris-bidentat mempersyaratkan suatu
tumbukan awal untuk ligan pertama untuk diikat oleh satu tangan tctapi ingat bahwa tangan
lain selalu mendampingi dan hanya memerlukan suatu rotasi untuk memungkinkan ligan
membentuk cincin kelat.
Tetapan keseimbangan senyawa kompleks dalam larutan

Pemahaman pembentukan senyawa kompleks dalam larutan (air) sangat penting. Menurut
Bjerrum, pembentukan suatu senyawa kompleks dalam larutan berlangsung secara bertahap
(step-wise) terhadap pengikat ligan pada atom pusat. Jadi, apabila sebuah ligan netral L
membentuk senyawa kompleks dengan ion metal Mx+, maka dapat dibentuk sejumlah tetapan
keseimbangan yang berurutan, K1, K2,……, dan Kn (n= jumlah maksimum ligan yang terikat
pada ion metal dalam kondisi eksperimental khusus).
Kinetika Senyawa Kompleks

Kelabilan ada hubungannya dengan laju disosiasi senyawa kompleks yang


bersangkutan. Senyawa kompleks labil cepat mencapai keseimbangan antara kation dan
ligannya, sedangkan senyawa kompleks inert membutuhkan waktu yang lebih lama.
Pengertian kelebihan harus melibatkan perbandingan antara garam-garam kompleks dengan
tipe formula sejenis, misalnya jenis ligan, metal dan bilangan koordinasinya. Untuk
keperluan perhitungan-perhitungan yang menyangkut keseimbangan, senyawa kompleks
labil lebih bermakna karena kondisi keseimbangan lebih mudah dicapai.
Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi
dalam senyawa kompleks adalah :

1. Kejenuhan ikatan koordinasi 2. Kekuatan ikatan


Senyawa kompleks dengan Bila pemecahan ikatan mempengaruhi laju
bilangan koordinasi rendah reaksi, maka ikatan-ikatan yang kuat
lebih cepat dijenuhkan, dan memperlambat laju reaksi. Hal ini sangat nyata
oleh karena itu laju reaksinya bagi atom pusat dengan muatan tinggi atau jari-
relative lebih cepat dari pada jari ionik pendek. Laju pertukaran ligan F- pada
senyawa kompleks dengan seri senyawa non-transisi berikut adalah :
bilangan kordinasi lebih tinggi.

[AlF6]3- > [SiF6] 2- > [PF6]- >> [SF6] (inert)


3. Konfigurasi elektronik

CrIII (d3) dan CoIII (d6) bereaksi cepat sedangkan FeIII (d5) bereaksi lambat. Hal ini dapat
diasosiasikan dengan jari-jari ionik oleh karena konfigurasi elektroniknya, yaitu bahwa r(CrIII) <
r(FeIII) > r(CoIII); jadi, laju reaksi lambat bagi atom pusat yang berukuran kecil. Penyelidikan
lebih lanjut diperoleh klasifikasi bahwa laju reaksi sangat cepat terjadi pada konfigurasi
elektronik d1, d2, d7, d9, dan spin tinggi d4 – d6, sedangkan laju reaksi sangat lambat terjafi pada
konfigurasi d3 dan spin rendah d4 – d6, dan laju moderat pada konfigurasi d8. Jadi, secara umum
dapat dinyatakan bahwa laju reaksi relatife lambat terjadi pada konfigurasi elektronik yang
menghasilkan CFSE besar, karena hal ini menaikkan energy aktivasi, dan demikian sebaliknya.
Mekanisme Reaksi Senyawa Kompleks

Laju reaksi dan konfigurasi elektronik

Profesor Henry Taube (Universitas Stanford) adalah orang pertama yang menghubungkan
secara eksperimental antara sifat labil-inert suatu ion atau molekul dengan distribusi elektron dalam
senyawa kompleks sebagaimana dilukiskan oleh teori ikatan valensi Ion-ion logam transisi dengan
bilangan koordinasi enam dalam senyawa kompleks yang bersangkutan, menurut teori ikatan
valensi terbagi dalam dua kategori yaitu ion logam dengan hibridisasi (1) inner d orbitals (orbital d
“dalam”) dan (2) outer d orbitals (orbital d “luar”). Pasangan-pasangan elektron ligan diakomodasi
dalam orbital hibrida (n-1)d2 ns np3 untuk tipe pertama dan dalam orbital hibrida ns np3 nd2 untuk
tipe kedua.
Pada tipe pertama (inner d orbitals), pemisahan antara spesies inert dengan labil sangat
tajam. Spesies dengan orbital d-kosong bersifat labil, dan spesies dengan semua orbital d-isi
bersifat inert. Ion logam yang mempunyai konfigurasi elektronik d 4- d6, dengan ligan
medan kuat membentuk senyawa kompleks inner-orbital yang bersifat inert, tetapi dengan
ligan medan lemah membentuk senyawa kompleks outer-orbital yang bersifat labil.
• Ikatan-ikatan dan pembentukan kembali dalam species baru. Energi ini disebut energy
aktivasi, dan unit kompleks reaktan disebut keadaan transisi dengan dengan tingkat
energi masing-masing komponen yang terlibat secara kualitatif ditunjukkan pada
diagram. Reaksi lambat diartikan mempunyai energi aktivasi tinggi, dan reaksi cepat
mempunyai energi aktivasi rendah.
• Jika hanya didasarkan pada energy stabilisasi medan Kristal saja, CFSE, sementara
faktor-faktor yang lain berpengaruh sama, untuk sistem konfigurasi d 4-d7, senyawa
kompleks medan kuat (inner-orbital) diramalkan bersifat lebih inert dibandingkan
dengan senyawa kompleks medan lemah (outer-orbital). Tetapi, untuk sistem konfigurasi
selain d4-d7, faktor selain energi stabilisasi medan Kristal harus dipertimbangkan dalam
menjelaskan sifat inert-labil spesies yang bersangkutan.
• Perbedaan sifat labil dan inert suatu senyawa kompleks dan faktor-faktor yang
mempengaruhi laju transfer elektron membawa pemikiran kea rah reaktivitas yang
diinterpretasikan kepada mekanisme reaksi.
Reaksi Substiusi Ligan

Bilangan koordinasi enam


Reaksi substitusi ligan adalah reaksi yang melibatkan suatu basa Lewis menggantikan posisi ligan lain
yang relative lebih lemah sifat kebasaannya. Secara umum reaksi ini dapat dituliskan sebagai :
Y+M–x→M–Y+X
Substitusi ini mencakup reaksi-reaksi pembentukan senyawa kompleks dengan gugus tersingkir (leaving
group) atau basa X tersingkir adalah molekul pelarut, dan gugus penyingkir (entering group) atau basa Y
pengganti adalah beberapa ligan lain. Sebagai contoh adalah :
⌠Co(H2O)]2+ + Cl- → ⌠CoCl(H2O)]+ + H2O
Oleh karena hamper semua reaksi yang dibahas dalam kinetika ini berlangsung dalam larutan air, maka
kehadiran molekul air tidak perlu ditulis secara eskplisit didalam persamaan reaksinya.
• Mekanisme SN1. Mekanisme ini disebut juga sebagai mekanisme disosiatif karena
senyawa kompleks pada awalnya terdisosiasi dengan melepaskan salah satu ligan
sehingga terjadi koodinasi kosong atau terjadi senyawa kompleks “antara” dengan
bilangan koordinasi lebih rendah; koordinasi yang kosong ini kemudian ditempati oleh
ligan pengganti (baru).
Diagram mekanisme reaksi SN1 untuk kompleks octahedron
• Mekanisme SN2. Mekanisme ini disebut juga sebagai mekanisme asosiatif karena dalam
mekanisme ini senyawa kompleks pada awalnya bukannya melepaskan (salah) satu
ligannya, melainkan justru mendapat serangan langsung dari ligan baru sehingga
diperoleh senyawa kompleks “ antara “ dengan bilangan koordinasi lebih tinggi.
Diagram mekanisme reaksi SN2 untuk kompleks
octahedron
Proses serangan pembentukan senyawa kompleks antara ini tentu relative lambat dan oleh karena itu
merupakanpenentu laju reaksi, sehingga dipenuhi dipenuhi hubungan laju reaks i : n+
Terdapat beberapa istilah yang berkenaan dengan reaksi substitusi ini yaitu :
• Apabila Y adalah H2O, maka substitusi ini disebut reaksi akuasi (aquation) atau hidrolisis asam
• Sedangkan jika Y adalah OH- substitusi ini disebut reaksi hidrolisis basa, dan
• Jika Y adalah anion substitusi ini disebut reaksi anasi (anation)
Salah satu contoh reaksi substitusi hidrolisis asam atau akuasi (yang melibatkan ikatan koordinasi air) adalah :
⌠CoCl(NH3)5⌡2+ + H2O → ⌠CoH2O(NH3)5⌡3+ + Cl-
Namun demikian, mekanisme SN1 dalam hal ini lebih diuntungkan karena :
• Laju reaksi naik dengan naiknya ukuran ligan pengganti,
• Laju reaksi naik dengan naiknya ukuran ligan tersingkir, dan
• Laju reaksi naik dengan naiknya muatan negative pada ligan yang tertinggal.
Substitusi tipe mana yang dipilih (SN1 atau SN2) dapat pula dikaitkan dengan (perubahan) harga
energy kestabilan medan Kristal (CFSE) bagi senyawa kompleks “antara” yang bersangkutan. Secara
umum, pemilihan perubahan streokimia yang disebabkan oleh perubahan bilangan koordinasi
tentunya dimaksudkan untuk menghasilkan harga CFSE yang lebih besar.
Basolo dan Pearson telah berhasil menghitung harga ΔEa untuk proses perubahan dari struktur
octahedron menjadi struktur piramida bujursangkar (bilangan koordinasi 5) dan menjadi struktur
pentagon bipiramida (bilangan koordinasi 7).
Dengan demikian, semakin besar numeric negative ΔEa semakin inert senyawa
kompleks yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam medan liguat spesies d 3,d4, d5, d6,
dan d8 diharapkan bersifat lebih inert dibandingkan dengan spesies lainnya, dan tingkatan
inert bervariasi, d5 < d4 < d8 ˜ d3 < d6.
Senyawa kompleks-antara dengan bilangan koordinasi tunjuh menggunakan orbital
d kosong ion pusat dalam hal sifat kelabilannya. Sebaliknya, ion pusat dengan orbital d
penuh perlu mempromosikan elektronnya untuk mengosongkan orbital d atau melibatkan
orbital dengan energy lebih tinggi untuk membentuk senyawa kompleks-antara.
Bilangan koordinasi empat
• Senyawa kompleks tetrahedron umumnya bersifat labil. Senyawa kompleks
bujursangkar sistem 5d – platina, bersifat sangat inert. Ini berarti bahwa energy aktivasi
untuk proses substitusi tinggi. Seperti halnya pada senyawa kompleks koordinasi enam,
terdapat dua kemungkinan mekanisme substitusi pada senyawa kompleks koordinasi
empat. Dua molekul solvent (pelarut) mungkin menempati posisi tegak lurus bidang
empat ligan (posisi trans), sehingga sesungguhnya mekanisme reaksi substitusi
melibatkan senyawa kompleks octahedron terdistorsi.
Efek Trans

Pada tahun 1893, Alfred Werner berhasil mensintesis dua senyawa kompleks dengan
komposisi yang sama yaitu PtCl2(NH3)2. Keduanya adalah molekul Netral, tetapi berbeda
dalam hal warna dan kelarutannya. Pertama α berwarna orange – kuning, dipreparasi dari
reaksi ion tetrakloridoplatinat (П) dengan amonia, dan yang kedua β berwarna kuning
belerang, dipreparasi dari reaksi ion klorida dengan kation diaminaplatina (П), menurut
persamaan reaksi :
• [ PtCl4]2- + 2 NH3 [PtCl2(NH3)2] + 2 Cl-
α, orange - kuning
• [Pt(NH3)4]2+ + 2 Cl- [PtCl2(NH3)2] + 2 NH3
β, kuning - belerang
Mekanisme substitusi pada senyawa  kompleks  bujur sangkar yang kemudian terkenal dengan
istilah  efek Trans,   dipelajari secara lebih mendalam oleh Chernuyaev (1926). Efek trans
menunjukkan pada efek yang sangat signifikan dari ligan  nonlabil pada kelabilan ligan  - ligan
trans terhadap dirinya sendiri.  Dari contoh tersebut tak lain merupakan substitusi menurut diagram
mekanisme Gambar 4.6 yaitu (1). Substitusi ligan Cl- dalam [ PtCl4]2- oleh ligan NH3 dan (2).
Substitusi ligan NH3 dalam [Pt(NH3)4]2+ oleh ligan Cl- .
Seri urutan kekuatan ligan pengarah trans yang tentu sangat bermanfaat dalam sintesis senyawa- senyawa kompleks
yang diinginkan adalah :
CN- ̴ CO ̴ NO ̴ H- ˃ CH3- ̴ SR2 ̴ PR3 ˃SO3H- ˃ NO2- ̴ I- ̴ SCN- ˃ Br- - ˃ Cl- ˃ py ˃ NH2R ̴ NH3 ˃ OH- ˃ H2O .

Pemilihan  bentuk  trans tersebut sesungguhnya dikaitkan dengan waktu laju reaksi substitusi dan menurut Langford
dan Grey, untuk reaksi umum :
[PtCl3L]n- + Y [PtCl3YL]m- + Cl-

Pengamatan gejala efek Trans dipelajari melalui dua macam teori, yang paling utama adalah teori polarisasi
elektrostatik yang dikembangkan oleh A.A. Grinberg (1927)  teori ikatan- π yang  dikembangkan oleh J. Chatt
(1955) dan L.E. Orgel (1956).  Menurut teori polarisasi, jika T adalah gugus pengarah trans, maka dalam kompleks
[MX3T] gugus T  bersifat  lebih negatif atau lebih mudah   terpolarisasi daripada Ligan lain sehingga ikatan Trans
M - X  menjadi lemah .
Bukti yang menyokong teori polarisasi diperoleh data spectrum IR senyawa trans-[PtH(PC 2H5)2T]n+
, energy frekuensi vibrasi v (pt-H) untuk berbagai gugus T adalah sebagai berikut:

Semakin kuat efek trans T ( yang berarti semakin kuat ikatan pt-T) ternyata
mengakibatkan semakin melemahnya ikatan trans pt-H yang teridentifikasi
semakin menurunnya energi vibrasinya.
Dalam isomer trans- tidak terdapat efek trans, tetapi dalam isomer cis- justru terdapat
efek trans ligan NH3 yang bersifat sebagai pengarah trans yang lebih kuat karena ligan NH 3
mempunyai sifat polirisasi yang lebih kuat dibandingkan dengan ligan H 2O. oleh karena itu, ikatan
pt-OH2 dalam isomer cis- relatif lebih lemah daripada ikatan yang sama yaitu Pt-OH 2 dalam
isomer trans. Akibat lanjut adalah bahwa dalam isomer trans-, ligan OH 2 lebih bersifat polar
( daripada ligan OH2 dalam ismomer cis-), sehingga lebih mudah terion menghasilkan H 3O+,
artinya bersifat asam lebih kuat sebagaimana ditunjukkan reaksi kesetimbangan berikut :
Reaksi Redoks

Reaksi redoks bagi senyawa-senyawa kompleks dari berbagai macam ion pusat berlangsung dengan laju dan mekanisme
yang berbeda-beda. Secara garis besar reaksi redoks dapat berlangsung dalam dua cara yaitu:
a) Berlangsung dengan transfer elektron secara langsung dan alternatif lain
b) Berlangsung dengan transfer atom atau ion

Mekanisme reaksi redoks dalam senyawa kompleks bergantung pada:


c) Apaka atom pusat bereaksi dengan tanpa adanya modifikasi “bola koordinasi’ (coordination sphere)
d) Apakah substitusi ligan harus terlibat
Mekanisme pertama melibatkan transfer atom atau ion, dengan bola koordinasi bersekutu dengan ligan “jembata”
sebagai hasil antara; sebagai contoh adalah [CoX(NH3)5]2+ / [Cr(H2O)6]2+. Mekanisme kedua melibatkan transfer
elektron dengan tanpa pembentukan ligan jembata; sebagai contoh adalah [Fe(CN)6]3- / [Fe(CN)6]4-.
Mekanisme tipe dalam-bola (inner-sphere)

Dalam reaksi redoks tipe ini terjadi perubahan didalam bola koordinasi senyawa kompleks yang
bersangkutan, misalnya reduksi senyawa kompleks inert seperti reaksi berikut:
[CoCl(NH3)5]2+ + [Cr(H2O)6]2+ +5H2 [Co(H2O)6]2+
-5NH
3 + [CrCl(H2O)5]2+
Dalam proses tresebut tidak hanya terjadi perubahan tingkat oksidasi Co(III) menjadi Co(II) dan Cr
(II) menjadi Cr (III), tetapi juga terjadi perubahan bola koordinasi pada kedua atom pusat, kobalt maupun
kromium. Perubahan tingkat oksidasi ini mengindikasikan adanya perpindahan elektron dari pusat atom
Cr(II) ke atom pusat Co(III), dan untuk mempelajari mekanisme transfer elektron tersebut berlangsung,
Taube dan Kawan-kawannya berhasil mendemonstrasikan hasil percobaanya sebagai berikut.
Reaksi redoks tersebut menghasilkan ion kompleks Cr(III) yang selalu mengandung satu ion Cl -.
Tambahan pula, jika dalam reaksi redoks ini dipakai isotop radioaktif 36Cl- (ion klorida berlangsung)
dalam reaktan [Cr(H2O)6]Cl2 dan tidak berlabel isotop radioaktif 36Cl- dalam reaktan [CoCl(NH3)5]2+.
Ternyata sama sekali tidak dihasilkan senyawa kompleks Cr(III) yang mengikat isotopc 36Cl- sebagai ligan.
Mekanisme tipe luar-bola (outer-sphere)
Apabila diperhatikan (dua) contoh tipe redoks berikut, maka akan Nampak bahwa tidak ada perubahan didalam-
bola koordinasi masing-masing atom pusat dalam senyawa kompleks yang bersangkutan.
[Fe(CN6]4- +[Mo(CN)6]3- [Fe(CN)6]3- + [Mo(CN)6]4-
[Fe(phen)3]3+ + [Fe(CN)6]4- [Fe(phen)3]2++ [Fe(CN)6]3-
Proses reaksi seperti ini seolah-olah berlangsung hanya oleh karena benturan Bersama antara dua atom pusat saja,
atau berlangsung menurut model tumbukan, sehingga proses transfer elektron berlangsung secara sederhana dari
kompleks inert yang satu kompleks yang lain. Oleh karena tidak ada susbstitusi ligan dalam waktu yang relative
pendek.
Penjelasan mekanisme redoks luar-bola diusulkan dengan pertimbangan dua prinsip berikut:
1) Prinsip Franck-Condon menyatakan bahwa penataan-ulang elektron berlangsung begitu cepatnya sehingga inti
atom dapat dipertimbangkan tetap dalam keadaan stasioner sampai dengan berakhirnya penataan-ulang tersebut.
2) Prinsip kedua yaitu bahwa transfer elektron dari satu sisi ke sisi yang lain hanya terjadi apabila kedua inti atom
pusat dari kedua komplkes mempunyai posisi-posisi yang menempatkan elektron pada energi yang sama pada tiap
sisi tersebut.
Dari kedua prinsip tersebut secara sederhana dapat dikatakan bahwa energi aktivasi dikendalikan oleh
penataan-ulang inti atom pusat yang diperlukan untuk mencapai energi yang sesuai. Contoh yang
sangat baik adalah terjadinya reaksi pertukaran (benturan) antara isotop atom pusat, Fe-normal dengan
Fe-berlabel (isotop 57Fe) seperti dalam redoks berikut:
Reaksi Asam-Basa Ion Kompleks

Pembentukan ion kompleks dapat dilukiskan sebagai reaksi asam-basa lewis, yaitu ligan
bertindak sebagai basa lewis (donor pasangan elektron) dan atom pusat sebagai asam lewis
(akseptor pasangan elektron). Ion kompleks juga menujukkan sifat asam-basa Bronsted-lowry
yakni sebagai donor-akseptor proton. Sebagai contoh adalah ionisasi [Fe(H 2O)6]3+. Ion kompleks
ini bertindak sebagai asam dalam larutan air; proton H + dari ligan air dalam ion kompleks
mengalami perpindahan kedalam molekul pelarut air dan ligan air ini berubah menajdi ligan OH -,
menurut persamaan reaksi berikut:
[Fe(H2O)6]3+ (aq) + H2O (pelarut) [Fe(OH)(H2O)5]2+ (aq) + H3O+ (aq)
(Ka(1) = 9x10-4)
[Fe(OH)(H2O)5]2+(aq) + H2O (pelarut) [Fe(OH)2(H2O)4]1+(aq) + H3O+(aq)
(Ka(2)= 5x 10-4)
Dari harga kedua Ka tersebut dapat diketahui bahwa ion kompleks [Fe(aq)n]3+ bersifat asam.
Untuk menahan kesetimbangan reaksi agar bergeser ke kanan atau menahan agar tidak terjadi
hidrolisis ion kompleks heksaakuabesi (III), perlu dipertahankan suasana asam dengan harga pH
yang rendah, misalnya dengan penambahan asam-asam seperti HNO 3 dan HClO4.
Ion [Fe(H2O)6]3+ sesungguhnya bewarna violet, tetapi dalam larutan air bewarna kuning
kecoklatan karena hadirnya ligan hidroksido, penambahan basa(alkali) ajan mengakibatkan
keseimbangan bergeser lebih lanjut kekanan dan menghasilkan endapan [Fe(OH) 3(H2O)3+.
Kesimpulan
1. Kestabilan termodinamik berkaitan dengan energi ikatan metal-ligan, tetapan kestabilan dan
variabel-variabel turunannya atau potensial redoks yang mengukur kestabilan tingkat valensi metal.
Kestabilan kinetik berkaitan dengan sifat senyawa kompleks dalam larutan yang menyangkut laju dan
mekanisme reaksi kimiawi, misalnya substitusi dan transfer elektron atau transfer gugus, termasuk
juga pembertukan senyawa kompleks “antara” atau kompleks “teraktivasi”.
2. Reaksi substitusi ligan adalah reaksi yang melibatkan suatu basa lewis menggantikan posisi ligan
lain yang relative lebih lemah sifat kebasaannya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan termodinamik suatu senyawa kompleks sebagai
berikut :
• Potensial ionik atom pusat.
• Konfigurasi elektronik dx
• Sifat basa Lewis dan ikatan II ligan.
TERIMAKASIH 

Anda mungkin juga menyukai