SENYAWA KOMPLEKS
Oleh : Kelompok 6
David Pardamean Sihombing
Salwa Syafirah
Weny Widianty
Yayang Fabella
Yopita Sari Sihombing
LATAR BELAKANG
Senyawa kompleks merupakan senyawa yang terbentuk dari ion
logam dan ligan. Dalam proses pembentukannya ion logam
merupakan penerima pasangan elektron (asam lewis) yang diberikan
ligan yang berperan sebagai donor pasangan elektron (basa lewis).
Ion logam yang terlibat dalam pembentukan senyawa kompleks
umumnya merupakan logam transisi. Sedangkan ligannya bisa
merupakan ion tunggal diantaranya Cl‾ dan F‾; ion poliatomik seperti
: NO3‾, NH4 + serta dapat berupa senyawa netral seperti NH3 dan
H2O. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa ligan berperan
untuk memberikan pasangan elektron kepada atom pusat.
RUMUSAN MASALAH
Suatu senyawa kompleks dikatakan stabil (secara termodinamik), jika dapat dinyatakan
dengan nilai tetapan disosiasi, Kd, yang relatif kecil dalam bentuk hubungan AG = -2,303 RT
log Kd. Semakin kecil nilai Kd suatu senyawa kompleks semakin kecil kecenderungan
kompleks yang bersangkutan terdisosiasi dan oleh karena itu dikatakan kestabilan senyawa
kompleks semakin besar. Nilai Kd beberapa senyawa kompleks ditunjukkan dalam Tabel 4.1.
Dari tabel tersebut dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan
termodinamik suatu senyawa kompleks sebagai berikut:
1. Potensial ionik atom pusat. Potensial ionik didefinisikan sebagai rasio antara muatan kationik
efektif dengan jari-jari kationik efektif. Oleh karena itu, hal ini sangat esensial dalam kaitannya
dengan kemampuan menerima (pasangan) elektron dari ligan. Untuk ligan dengan ukuran kecil,
ligan ionik dengan muatan tinggi, dan ligan-ligan multidentat, kestabilan senyawa kompleksnya
naik dengan kenaikan potensial ionik atom pusatnya. Untuk atom pusat divalen seri transisi
pertama dalam senyawa kompleks dengan berbagai ligan, urutan stabilitas termodinamik secara
umum adalah: Mn2+ < Fe2+ < Co2+ < Ni2+ < Cu2+ > Zn2+. Kenaikan kestabilan senyawa kompleks
Mn2+ - Cu2+ adalah paralel dengan kenaikan potensial ionik, tetapi hal ini tidak demikian bagi
Zn2+(yang mempunyai konfigurasi penuh, d10). Oleh karena potensial ionik atom pusat ada
hubungannyadengan bilangan oksidasi, maka semakin tinggi bilangan oksidasi semakin stabil
senyawa kompleksnya dengan ligan-ligan tertentu: kekuatan ikatan M-L semakin besar bagi M
dengan bilangan oksidasi tinggi.
2. Konfigurasi elektronik dx yang berkaitan dengan harga CFSE. Konfigurasi elektronik yang
memberikan kemungkinan CFSE lebih besar akan menghasilkan senyawa kompleks yang lebih
stabil.
3. Sifat basa Lewis dan ikatan II ligan. Kestabilan senyawa kompleks
naik dengan makin kuatnya sifat basa Lewis dan dengan makin
kuatnya kemampuan ikatan II ligan.
Pemahaman pembentukan senyawa kompleks dalam larutan (air) sangat penting. Menurut
Bjerrum, pembentukan suatu senyawa kompleks dalam larutan berlangsung secara bertahap
(step-wise) terhadap pengikat ligan pada atom pusat. Jadi, apabila sebuah ligan netral L
membentuk senyawa kompleks dengan ion metal Mx+, maka dapat dibentuk sejumlah tetapan
keseimbangan yang berurutan, K1, K2,……, dan Kn (n= jumlah maksimum ligan yang terikat
pada ion metal dalam kondisi eksperimental khusus).
Kinetika Senyawa Kompleks
CrIII (d3) dan CoIII (d6) bereaksi cepat sedangkan FeIII (d5) bereaksi lambat. Hal ini dapat
diasosiasikan dengan jari-jari ionik oleh karena konfigurasi elektroniknya, yaitu bahwa r(CrIII) <
r(FeIII) > r(CoIII); jadi, laju reaksi lambat bagi atom pusat yang berukuran kecil. Penyelidikan
lebih lanjut diperoleh klasifikasi bahwa laju reaksi sangat cepat terjadi pada konfigurasi
elektronik d1, d2, d7, d9, dan spin tinggi d4 – d6, sedangkan laju reaksi sangat lambat terjafi pada
konfigurasi d3 dan spin rendah d4 – d6, dan laju moderat pada konfigurasi d8. Jadi, secara umum
dapat dinyatakan bahwa laju reaksi relatife lambat terjadi pada konfigurasi elektronik yang
menghasilkan CFSE besar, karena hal ini menaikkan energy aktivasi, dan demikian sebaliknya.
Mekanisme Reaksi Senyawa Kompleks
Profesor Henry Taube (Universitas Stanford) adalah orang pertama yang menghubungkan
secara eksperimental antara sifat labil-inert suatu ion atau molekul dengan distribusi elektron dalam
senyawa kompleks sebagaimana dilukiskan oleh teori ikatan valensi Ion-ion logam transisi dengan
bilangan koordinasi enam dalam senyawa kompleks yang bersangkutan, menurut teori ikatan
valensi terbagi dalam dua kategori yaitu ion logam dengan hibridisasi (1) inner d orbitals (orbital d
“dalam”) dan (2) outer d orbitals (orbital d “luar”). Pasangan-pasangan elektron ligan diakomodasi
dalam orbital hibrida (n-1)d2 ns np3 untuk tipe pertama dan dalam orbital hibrida ns np3 nd2 untuk
tipe kedua.
Pada tipe pertama (inner d orbitals), pemisahan antara spesies inert dengan labil sangat
tajam. Spesies dengan orbital d-kosong bersifat labil, dan spesies dengan semua orbital d-isi
bersifat inert. Ion logam yang mempunyai konfigurasi elektronik d 4- d6, dengan ligan
medan kuat membentuk senyawa kompleks inner-orbital yang bersifat inert, tetapi dengan
ligan medan lemah membentuk senyawa kompleks outer-orbital yang bersifat labil.
• Ikatan-ikatan dan pembentukan kembali dalam species baru. Energi ini disebut energy
aktivasi, dan unit kompleks reaktan disebut keadaan transisi dengan dengan tingkat
energi masing-masing komponen yang terlibat secara kualitatif ditunjukkan pada
diagram. Reaksi lambat diartikan mempunyai energi aktivasi tinggi, dan reaksi cepat
mempunyai energi aktivasi rendah.
• Jika hanya didasarkan pada energy stabilisasi medan Kristal saja, CFSE, sementara
faktor-faktor yang lain berpengaruh sama, untuk sistem konfigurasi d 4-d7, senyawa
kompleks medan kuat (inner-orbital) diramalkan bersifat lebih inert dibandingkan
dengan senyawa kompleks medan lemah (outer-orbital). Tetapi, untuk sistem konfigurasi
selain d4-d7, faktor selain energi stabilisasi medan Kristal harus dipertimbangkan dalam
menjelaskan sifat inert-labil spesies yang bersangkutan.
• Perbedaan sifat labil dan inert suatu senyawa kompleks dan faktor-faktor yang
mempengaruhi laju transfer elektron membawa pemikiran kea rah reaktivitas yang
diinterpretasikan kepada mekanisme reaksi.
Reaksi Substiusi Ligan
Pada tahun 1893, Alfred Werner berhasil mensintesis dua senyawa kompleks dengan
komposisi yang sama yaitu PtCl2(NH3)2. Keduanya adalah molekul Netral, tetapi berbeda
dalam hal warna dan kelarutannya. Pertama α berwarna orange – kuning, dipreparasi dari
reaksi ion tetrakloridoplatinat (П) dengan amonia, dan yang kedua β berwarna kuning
belerang, dipreparasi dari reaksi ion klorida dengan kation diaminaplatina (П), menurut
persamaan reaksi :
• [ PtCl4]2- + 2 NH3 [PtCl2(NH3)2] + 2 Cl-
α, orange - kuning
• [Pt(NH3)4]2+ + 2 Cl- [PtCl2(NH3)2] + 2 NH3
β, kuning - belerang
Mekanisme substitusi pada senyawa kompleks bujur sangkar yang kemudian terkenal dengan
istilah efek Trans, dipelajari secara lebih mendalam oleh Chernuyaev (1926). Efek trans
menunjukkan pada efek yang sangat signifikan dari ligan nonlabil pada kelabilan ligan - ligan
trans terhadap dirinya sendiri. Dari contoh tersebut tak lain merupakan substitusi menurut diagram
mekanisme Gambar 4.6 yaitu (1). Substitusi ligan Cl- dalam [ PtCl4]2- oleh ligan NH3 dan (2).
Substitusi ligan NH3 dalam [Pt(NH3)4]2+ oleh ligan Cl- .
Seri urutan kekuatan ligan pengarah trans yang tentu sangat bermanfaat dalam sintesis senyawa- senyawa kompleks
yang diinginkan adalah :
CN- ̴ CO ̴ NO ̴ H- ˃ CH3- ̴ SR2 ̴ PR3 ˃SO3H- ˃ NO2- ̴ I- ̴ SCN- ˃ Br- - ˃ Cl- ˃ py ˃ NH2R ̴ NH3 ˃ OH- ˃ H2O .
Pemilihan bentuk trans tersebut sesungguhnya dikaitkan dengan waktu laju reaksi substitusi dan menurut Langford
dan Grey, untuk reaksi umum :
[PtCl3L]n- + Y [PtCl3YL]m- + Cl-
Pengamatan gejala efek Trans dipelajari melalui dua macam teori, yang paling utama adalah teori polarisasi
elektrostatik yang dikembangkan oleh A.A. Grinberg (1927) teori ikatan- π yang dikembangkan oleh J. Chatt
(1955) dan L.E. Orgel (1956). Menurut teori polarisasi, jika T adalah gugus pengarah trans, maka dalam kompleks
[MX3T] gugus T bersifat lebih negatif atau lebih mudah terpolarisasi daripada Ligan lain sehingga ikatan Trans
M - X menjadi lemah .
Bukti yang menyokong teori polarisasi diperoleh data spectrum IR senyawa trans-[PtH(PC 2H5)2T]n+
, energy frekuensi vibrasi v (pt-H) untuk berbagai gugus T adalah sebagai berikut:
Semakin kuat efek trans T ( yang berarti semakin kuat ikatan pt-T) ternyata
mengakibatkan semakin melemahnya ikatan trans pt-H yang teridentifikasi
semakin menurunnya energi vibrasinya.
Dalam isomer trans- tidak terdapat efek trans, tetapi dalam isomer cis- justru terdapat
efek trans ligan NH3 yang bersifat sebagai pengarah trans yang lebih kuat karena ligan NH 3
mempunyai sifat polirisasi yang lebih kuat dibandingkan dengan ligan H 2O. oleh karena itu, ikatan
pt-OH2 dalam isomer cis- relatif lebih lemah daripada ikatan yang sama yaitu Pt-OH 2 dalam
isomer trans. Akibat lanjut adalah bahwa dalam isomer trans-, ligan OH 2 lebih bersifat polar
( daripada ligan OH2 dalam ismomer cis-), sehingga lebih mudah terion menghasilkan H 3O+,
artinya bersifat asam lebih kuat sebagaimana ditunjukkan reaksi kesetimbangan berikut :
Reaksi Redoks
Reaksi redoks bagi senyawa-senyawa kompleks dari berbagai macam ion pusat berlangsung dengan laju dan mekanisme
yang berbeda-beda. Secara garis besar reaksi redoks dapat berlangsung dalam dua cara yaitu:
a) Berlangsung dengan transfer elektron secara langsung dan alternatif lain
b) Berlangsung dengan transfer atom atau ion
Dalam reaksi redoks tipe ini terjadi perubahan didalam bola koordinasi senyawa kompleks yang
bersangkutan, misalnya reduksi senyawa kompleks inert seperti reaksi berikut:
[CoCl(NH3)5]2+ + [Cr(H2O)6]2+ +5H2 [Co(H2O)6]2+
-5NH
3 + [CrCl(H2O)5]2+
Dalam proses tresebut tidak hanya terjadi perubahan tingkat oksidasi Co(III) menjadi Co(II) dan Cr
(II) menjadi Cr (III), tetapi juga terjadi perubahan bola koordinasi pada kedua atom pusat, kobalt maupun
kromium. Perubahan tingkat oksidasi ini mengindikasikan adanya perpindahan elektron dari pusat atom
Cr(II) ke atom pusat Co(III), dan untuk mempelajari mekanisme transfer elektron tersebut berlangsung,
Taube dan Kawan-kawannya berhasil mendemonstrasikan hasil percobaanya sebagai berikut.
Reaksi redoks tersebut menghasilkan ion kompleks Cr(III) yang selalu mengandung satu ion Cl -.
Tambahan pula, jika dalam reaksi redoks ini dipakai isotop radioaktif 36Cl- (ion klorida berlangsung)
dalam reaktan [Cr(H2O)6]Cl2 dan tidak berlabel isotop radioaktif 36Cl- dalam reaktan [CoCl(NH3)5]2+.
Ternyata sama sekali tidak dihasilkan senyawa kompleks Cr(III) yang mengikat isotopc 36Cl- sebagai ligan.
Mekanisme tipe luar-bola (outer-sphere)
Apabila diperhatikan (dua) contoh tipe redoks berikut, maka akan Nampak bahwa tidak ada perubahan didalam-
bola koordinasi masing-masing atom pusat dalam senyawa kompleks yang bersangkutan.
[Fe(CN6]4- +[Mo(CN)6]3- [Fe(CN)6]3- + [Mo(CN)6]4-
[Fe(phen)3]3+ + [Fe(CN)6]4- [Fe(phen)3]2++ [Fe(CN)6]3-
Proses reaksi seperti ini seolah-olah berlangsung hanya oleh karena benturan Bersama antara dua atom pusat saja,
atau berlangsung menurut model tumbukan, sehingga proses transfer elektron berlangsung secara sederhana dari
kompleks inert yang satu kompleks yang lain. Oleh karena tidak ada susbstitusi ligan dalam waktu yang relative
pendek.
Penjelasan mekanisme redoks luar-bola diusulkan dengan pertimbangan dua prinsip berikut:
1) Prinsip Franck-Condon menyatakan bahwa penataan-ulang elektron berlangsung begitu cepatnya sehingga inti
atom dapat dipertimbangkan tetap dalam keadaan stasioner sampai dengan berakhirnya penataan-ulang tersebut.
2) Prinsip kedua yaitu bahwa transfer elektron dari satu sisi ke sisi yang lain hanya terjadi apabila kedua inti atom
pusat dari kedua komplkes mempunyai posisi-posisi yang menempatkan elektron pada energi yang sama pada tiap
sisi tersebut.
Dari kedua prinsip tersebut secara sederhana dapat dikatakan bahwa energi aktivasi dikendalikan oleh
penataan-ulang inti atom pusat yang diperlukan untuk mencapai energi yang sesuai. Contoh yang
sangat baik adalah terjadinya reaksi pertukaran (benturan) antara isotop atom pusat, Fe-normal dengan
Fe-berlabel (isotop 57Fe) seperti dalam redoks berikut:
Reaksi Asam-Basa Ion Kompleks
Pembentukan ion kompleks dapat dilukiskan sebagai reaksi asam-basa lewis, yaitu ligan
bertindak sebagai basa lewis (donor pasangan elektron) dan atom pusat sebagai asam lewis
(akseptor pasangan elektron). Ion kompleks juga menujukkan sifat asam-basa Bronsted-lowry
yakni sebagai donor-akseptor proton. Sebagai contoh adalah ionisasi [Fe(H 2O)6]3+. Ion kompleks
ini bertindak sebagai asam dalam larutan air; proton H + dari ligan air dalam ion kompleks
mengalami perpindahan kedalam molekul pelarut air dan ligan air ini berubah menajdi ligan OH -,
menurut persamaan reaksi berikut:
[Fe(H2O)6]3+ (aq) + H2O (pelarut) [Fe(OH)(H2O)5]2+ (aq) + H3O+ (aq)
(Ka(1) = 9x10-4)
[Fe(OH)(H2O)5]2+(aq) + H2O (pelarut) [Fe(OH)2(H2O)4]1+(aq) + H3O+(aq)
(Ka(2)= 5x 10-4)
Dari harga kedua Ka tersebut dapat diketahui bahwa ion kompleks [Fe(aq)n]3+ bersifat asam.
Untuk menahan kesetimbangan reaksi agar bergeser ke kanan atau menahan agar tidak terjadi
hidrolisis ion kompleks heksaakuabesi (III), perlu dipertahankan suasana asam dengan harga pH
yang rendah, misalnya dengan penambahan asam-asam seperti HNO 3 dan HClO4.
Ion [Fe(H2O)6]3+ sesungguhnya bewarna violet, tetapi dalam larutan air bewarna kuning
kecoklatan karena hadirnya ligan hidroksido, penambahan basa(alkali) ajan mengakibatkan
keseimbangan bergeser lebih lanjut kekanan dan menghasilkan endapan [Fe(OH) 3(H2O)3+.
Kesimpulan
1. Kestabilan termodinamik berkaitan dengan energi ikatan metal-ligan, tetapan kestabilan dan
variabel-variabel turunannya atau potensial redoks yang mengukur kestabilan tingkat valensi metal.
Kestabilan kinetik berkaitan dengan sifat senyawa kompleks dalam larutan yang menyangkut laju dan
mekanisme reaksi kimiawi, misalnya substitusi dan transfer elektron atau transfer gugus, termasuk
juga pembertukan senyawa kompleks “antara” atau kompleks “teraktivasi”.
2. Reaksi substitusi ligan adalah reaksi yang melibatkan suatu basa lewis menggantikan posisi ligan
lain yang relative lebih lemah sifat kebasaannya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan termodinamik suatu senyawa kompleks sebagai
berikut :
• Potensial ionik atom pusat.
• Konfigurasi elektronik dx
• Sifat basa Lewis dan ikatan II ligan.
TERIMAKASIH