Anda di halaman 1dari 8

Identifikasi Pelayanan Telepon Universal dan Solusi ke Depan

Tomi Oktavianor

Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Indonesia

Latar Belakang

Makalah ini sebagai bahan diskusi dalam acara Seminar Nasional Kolaborasi
Pemerintah Daerah dengan Penyedia Swasta dan Akademisi, dengan tema
Mengawal Pelayanan dan Manfaat KPU/USO di Daerah. Hal ini penting,
mengingat Indonesia tertinggal dalam pembangunan ICT dan ini mempengaruhi
daya saing bangsa. 1 Salah satu ketertinggalan tersebut karena masih banyak
wilayah terpencil yang belum memperoleh pelayanan ICT. Upaya mengejar
ketertinggalan dapat dilakukan dengan kebijakan KPU/USO, salah satunya
menyediakan pelayanan telepon universal di wilayah non-komersial. Berdasarkan
pengalaman implementasi KPU/USO di Indonesia, berbagai tantangan berat telah
dihadapi oleh pemerintah dan pihak penyedia swasta. Ke depan, identifikasi
hambatan pelayanan telepon universal menjadi penting agar mudah menemukan
solusi kreatif.2

Pemerintah perlu melakukan ekspansi di wilayah pelayanan universal dalam


rangka menyediakan akses bagi masyarakat (Xavier, 1997). Dalam menjalankan
kewajiban tersebut, pemerintah perlu melibatkan penyedia swasta sebagai mitra.
Kemitraan merupakan solusi menyediakan pelayanan universal (Williams, Adjin,
& Tsivor, 2013; Williams, 2012; Williams & Falch, 2012; Feijoo, Gomez-
Barroso, & Bohlin, 2011; Gomez-Barroso & Feijoo, 2010; Falch & Henten,
2010), termasuk pelayanan telepon dengan cara subsidi, sehingga dapat
menyediakan pelayanan universal dengan harga terjangkau (Williams, 2012).
Lebih jauh dikatakan oleh van Eijk & Poort (2012) bahwa kemitraan tidak
sekedar menyediakan pelayanan telepon, tetapi yang penting harus menjamin
aksesibilitas. Esensi ketersediaan pelayanan telepon universal adalah kemudahan
akses bagi semua orang di desa (Col & Sagbansua, 2014; van Eijk & Poort, 2012;
Srinuan, 2014; Mueller, 2013).

Di Indonesia, telah berlangsung penyediaan pelayanan telepon universal.


Pemerintah Indonesia telah menerapkan dua model kemitraan menyediakan
pelayanan telepon di desa. Pertama, pada tahun 2009 Pemerintah Indonesia
menyediakan pelayanan telepon dengan menargetkan sebanyak 33.184 desa
(Laporan Tahunan POSTEL, 2010). Model ini menyediakan fasilitas telepon
publik berbayar yang diletakkan pada satu titik layanan untuk melayani seluruh

1
Berdasarkan laporan ITU 2017, Indonesia ranking (111) dari 176 negara, dan berada di bawah
Vietnam (108), Thailand (78), Malaysia (63).
2
Menurut Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 66 Tahun 2016 tentang Kode dan
Wilayah Kerja Statistik Tahun 2016 disebutkan bahwa jumlah desa/kelurahan di Indonesia
sebanyak 82.030, dan menurut PERMENDAGRI Nomor 56 Tahun 2015 tentang Kode dan Data
Wilayah Administrasi Pemerintahan sebanyak 83.184 desa/kelurahan (74.754 desa dan 8.430
kelurahan).
penduduk di desa tersebut. Model ini hanya berlangsung lebih kurang empat
tahun dan dianggap gagal, berakhir satu tahun sebelum masa kontrak berakhir.
Kedua, pada tahun 2016 hingga sekarang, Pemerintah Indonesia menyediakan
konektivitas berupa pembangunan cell tower (BTS), dan tidak lagi menyediakan
fasilitas telepon. Dua model ini memiliki kesamaan dimana menjadikan wilayah
desa sebagai target pelayanan universal, dan memiliki perbedaan terkait dengan
teknologi yang disediakan.

Model Pelayanan Generasi Pertama

Pemerintah bermitra dengan provider menyediakan pelayanan telepon universal


dengan kontrak sewa jasa (T1). Provider menyediakan koneksi dan telepon publik
berupa fixed wireless telephone (FWT) (T3). FWT dan koneksi harus memenuhi
service level agreement (SLA) selama delapan jam per hari. Di titik pelayanan,
provider merekrut operator (T2) untuk mengoperasikan FWT (T6) dan merekrut
teknisi (T4) untuk memelihara koneksi dan perangkat FWT (T7). SLA menjadi
patokan pemerintah membayar sewa kepada provider, dan apabila tidak terpenuhi
maka provider membayar denda kepada pemerintah (T1).

Gambar 1. Model Kemitraan Menyediakan Pelayanan FWT

Berbagai hambatan terjadi pada model ini seperti hambatan koneksi, hambatan
FWT, operator di desa yang kebanyakan kepala desa. Keberadaan FWT sebagai
telepon publik yang ditempatkan di dalam rumah operator sangat rentan
menghambat akses dan penggunaan. Dengan ini SLA dipengaruhi oleh unjuk
kerja dari empat aktor terdiri dari provider, operator, FWT dan teknisi. Akses
dipengaruhi oleh hambatan koneksi dari provider, operator, kesiapan perangkat
FWT, dan teknisi. Akses tidak terjadi ketika ada hambatan terhadap unjuk kerja
aktor-aktor itu. Sebaliknya, akses kepada telepon publik terjadi apabila koneksi
bagus, teknisi memelihara peralatan FWT agar siap pakai, dan operator melayani
dengan baik. Hambatan ini menyebabkan SLA tidak terpenuhi, atau tidak sesuai
dengan perjanjian kontrak antara pihak pemerintah dengan penyedia swasta,
sehingga terjadi sengketa dan diselesaikan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI). Kegagalan model kemitraan ini ditunjukkan oleh pelayanan berhenti satu
tahun sebelum masa kontrak berakhir. Akhirnya pemerintah menunda USO
selama dua tahun, dengan kata lain pemerintah tidak menyediakan pelayanan
telepon pada Tahun 2014 dan 2015.

2
Model Pelayanan Generasi Kedua dan Perbaikan

Mulai Tahun 2016 Pemerintah Indonesia melakukan kewajiban kembali dengan


model yang berbeda. Model kemitraan ini menyediakan infrastruktur
telekomunikasi berupa cell tower. Cell tower dibangun dan disediakan oleh
provider di wilayah desa yang belum terjangkau koneksi (T3). Cell tower
disediakan satu untuk setiap wilayah desa, dimana satu titik layanan akan
melayani penduduk desa yang memiliki mobile-cellular telephone (MCT) (T4).
Service level agreement (SLA) disepakati selama dua puluh empat jam per hari
atau disediakan terus-menerus sepanjang waktu. SLA sebagai patokan
pembayaran oleh pemerintah (T1).

Gambar 2. Model Kemitraan Menyediakan Konektivitas Cell Tower

SLA yang disediakan oleh provider hanya sampai kepada operasional cell tower
yang menghasilkan koneksi. Kemitraan tidak menyediakan perangkat telepon
seperti pada model kemitraan sebelumnya. Oleh sebab itu, kemampuan akses
penduduk masih memerlukan kepemilikan MCT. Kepemilikan MCT merupakan
hambatan akses bagi penduduk yang tidak mampu membeli perangkat tersebut.
Model pelayanan generasi kedua ini merupakan perbaikan dari model generasi
pertama, namun demikian model generasi kedua ini masih memiliki kelemahan
terkait dengan kesamaan akses. Pada tabel di bawah ini ditunjukkan perbaikan
tersebut, dan ditunjukkan pula kelemahan model generasi kedua.

Tabel. Perbaikan Model Kemitraan dan Pelayanan Telepon Universal

No Hambatan Akses Solusi


1. Model kemitraan menyediakan FWT rentan Diganti dengan model kemitraan cell tower
gagal memenuhi SLA yang tidak menyediakan perangkat telepon
2. Model kemitraan menyediakan FWT dengan Diganti dengan model kemitraan cell tower
SLA hanya delapan jam per hari, karena selama 24 jam per hari.
berbagai keterbatasan (perangkat dan operator).
3. Model kemitraan menyediakan FWT hanya Diganti dengan model kemitraan menyediakan
pada satu titik pelayanan untuk melayani koneksi di wilayah desa, sehingga penduduk
seluruh penduduk desa, sehingga ada hambatan dimanapun berada dapat mengakses pelayanan
jarak tempuh ke titik layanan. telepon.
4. Model kemitraan cell tower membutuhkan Solusi belum ada terkait hambatan bagi mereka
kemampuan daya beli penduduk desa untuk yang tidak mampu membeli telepon pribadi
memiliki telepon pribadi (MCT). (MCT).

3
Identifikasi pertama: Ketidaksamaan akses dan Solusi

Model kemitraan cell tower membutuhkan kemampuan daya beli penduduk desa
untuk memiliki telepon pribadi (MCT). Lalu, bagaimana dengan sebagian
penduduk yang tidak punya kemampuan daya beli. KPU/USO tidak berhenti
kepada ketersediaan dan akses, tetapi juga kesamaan akses. Konsep kewajiban
pelayanan universal adalah konektivitas universal (Alleman, Rappoport, &
Banerjee, 2010), bertujuan memperluas akses layanan telekomunikasi (Peha,
1999). Pelayanan universal mewujudkan ketersediaan layanan telekomunikasi
kepada setiap warga negara (Col & Sagbansua, 2014), menjangkau wilayah dan
orang tanpa diskriminasi (van Eijk & Poort, 2012). Pelayanan telepon universal
harus memberi implikasi kepada akses (Barros & Seabra, 1999) atau menjamin
ketersediaan dan akses layanan bagi semua orang (Srinuan, 2014; Mueller, 2013).

Model kemitraan menyediakan cell tower telah memperbaiki model sebelumnya.


Model kemitraan ini lebih berorientasi kepada area coverage. Namun, esensi
pelayanan telepon universal juga harus berorientasi kepada people coverage untuk
menuju kesamaan akses. Orientasi kepada orang, terutama kepada penduduk yang
tidak mampu membeli MCT. Oleh karena itu, perlu solusi menyediakan telepon
publik seperti FWT.

Gambar 3. Model Kemitraan Berbasis Kombinasi Telepon Pribadi


dan Telepon Publik

Belajar dari pengalaman model kemitraan menyediakan FWT dimana kesulitan


pengendalian terhadap SLA, maka perlu perbaikan model kemitraan. Model
kemitraan tidak lagi disediakan oleh kemitraan, namun lebih kepada inisiatif
pemerintah kabupaten/desa. Pengadaan, operasional, dan pemeliharaan menjadi
kewajiban pemerintah kabupaten/desa dengan anggaran yang dimiliki. Telepon
publik berbayar dapat didukung dengan uang pemerintah (Sugaya, 1997). Pilihan
kepada penggunaan APBD kabupaten apabila inisiatif dari pemerintah kabupaten,
atau pilihan kepada APBDesa (dana desa) apabila inisiatif dari pemerintah desa.

Identifikasi Kedua: Bentuk Kesenjangan Baru dan Solusi

Pelayanan publik pada sektor telekomunikasi seperti pelayanan telepon di desa


berhasil mengurangi kesenjangan digital. Perdebatan terjadi ketika kehadiran
telepon dikaitkan dengan apa manfaat yang diperoleh masyarakat desa, terutama
manfaat ekonomi. Menurut Huang & Cox (2016) teknologi telekomunikasi dapat

4
mengurangi kemiskinan, karena ia berperan dalam kegiatan dan kesejahteraan
ekonomi (Casanueva-Reguart, 2013; Hudson, 2011; Madden, 2010).

Teknologi telekomunikasi dapat langsung memanfaatkan peluang pasar desa


(Bedia & Gupta, 2013; Verma, 2013). Persoalannya selama ini menurut
Richmond, Rader, & Lanier (2017) pelayanan telekomunikasi kurang
dimanfaatkan. Kondisi lain, pasar desa potensial juga belum dimanfaatkan (Bedia
& Gupta, 2013). Padahal menurut Verma (2013) akan terjadi peluang
pertumbuhan pasar desa apabila kehadiran teknologi telekomunikasi dapat
menghubungkan dengan daerah perkotaan. Merujuk kepada beberapa pendapat
itu, maka teknologi telekomunikasi akan berperan dalam kegiatan dan
kesejahteraan ekonomi ketika teknologi telekomunikasi dapat memanfaatkan
peluang pasar desa.

Studi Savas (2000) telah membuka wacana dimana pengguna berelasi dengan
produk pelayanan. Akses kepada teknologi tidak hanya terbatas masalah
keterjangkauan saja, tetapi juga fokus pada orang dan bagaimana mereka
menggunakannya (Soeftestad & Sein, 2003). Pelayanan universal merujuk kepada
kemampuan orang untuk melakukan komunikasi atau cara orang berkomunikasi
(Alleman, Rappoport, & Banerjee, 2010). Madden (2010) menegaskan bahwa
pelayanan telekomunikasi mengandung network effects, dan ini membawa kepada
kesejahteraan ekonomi. Kehadiran teknologi telepon di desa berelasi dengan
pengguna sebagai pelaku pasar desa. Apabila pengguna telepon di desa sebagai
penjual produk mereka maka peluang pasar desa akan terbuka, dan terjadi
interaksi yang intensif dengan pembeli. Penjual, telepon dan pembeli merupakan
jaringan pasar desa.

Dengan ini, jaringan perlu diperluas dengan cara merekayasa aktor-jaringan atau
enroll aktor-aktor lain seperti pembeli, dan media teknologi yang dapat membuka
peluang pasar desa (lihat Verma, 2013). “Web-based applications as a means of
announcing information managed by the administrator. SMS gateway as a means
of receiving feedback and information requests from the public” (Salim, 2013).
Adopsi teknologi atau menghadirkan media teknologi seperti website dan SMS
Gateway menghubungkan penjual dengan pembeli atau pembentukan jaringan
pasar desa dalam membuka peluang interaksi pembeli dan penjual (lihat
Richmond, Rader, & Lanier, 2017).

Gambar 4. Jaringan Pasar Desa

Website ini sebagai “outlet” penjualan produk unggulan kabupaten atau seluruh
kabupaten di Indonesia. “A website also enables a business to start taking

5
advantage of online advertising. A website is one of the most basic customer-
facing internet technologies a business can adopt” (Richmond, Rader, & Lanier,
2017). Website dapat dijadikan jendela informasi, dan beragam media dapat
memberikan informasi berbagai budaya, sumberdaya, dan isu-isu penting
(Hudson, 2011). Salim (2013) mencontohkan solusi alternatif menghadirkan web-
based applications and SMS gateway dalam diseminasi informasi program desa
dapat memudahkan penyampaian informasi bagi penduduk desa (Salim, 2013).

Dimana pun mereka dan bisnis apapun, ada masalah dalam mengadopsi teknologi
terutama usaha kecil pedesaan cenderung tidak mengadopsi teknologi pemasaran
kontemporer seperti websites dan media sosial (Richmond, Rader, & Lanier,
2017). Oleh karena itu, perlu rekayasa jaringan pasar desa ini dengan inisiatif
pemerintah kabupaten, mengingat media teknologi seperti website dan SMS
gateway sangat dimungkinkan berada di wilayah ibu kota kabupaten yang telah
memperoleh fasilitas infrastruktur broadband.

Kesimpulan

Kondisi pembangunan ICT di Indonesia perlu mendapat perhatian lebih lanjut,


terutama terkait dengan masalah kesamaan akses dan kemanfaatan ekonomi.
KPU/USO tidak hanya sekedar ketersediaan akses saja tetapi juga kesamaan akses
(people coverage), termasuk di wilayah komersial seperti perkotaan. Oleh itu,
konsep KPU/USO perlu diperluas, tidak hanya desa sebagai target wilayah
pelayanan universal. Kehadiran pelayanan telepon di desa memerlukan media
teknologi lain, agar kemanfaatan telepon dimaksud dapat memberikan dampak
bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat desa.

Hambatan KPU/USO ke depan menjadi kewajiban kolaborasi. Solusi dalam ranah


kebijakan dan dan ranah tata-kelola KPU/USO berada dalam konstelasi tindakan
dan interaksi aktor-aktor yang berada di berbagai level (multi-centric), termasuk
aktor non-manusia seperti teknologi. Solusi menuju kesamaan akses perlu
menghadirkan (enroll) teknologi seperti FWT, dan solusi menuju promosi pasar
desa perlu menghadirkan aplikasi website dan SMS gateway.

Referensi

Alleman, J., Rappoport, P., & Banerjee, A. (2010). Universal service: A new
definition?. Telecommunications Policy, 34(1-2), 86-91.
Barros, P. P., & Seabra, M. C. (1999). Universal service: does competition help or
hurt?. Information Economics and Policy, 11(1), 45-60.
Bedia, D. D., & Gupta, R. (2013). A Study on Opportunities and Problems in
Rural Market. International Journal of Management Prudence, 5(2), 63.
Casanueva-Reguart, C. (2013). Mexico's Universal Telecommunications Service
Policies and Regulatory Environment in an International Perspective, 1990–
2010. Journal of Information Policy, 3, 267-303.

6
Col, M., & Sagbansua, L. (2014). A new model for rural mobile coverage through
universal service. Journal of Asian Business Strategy, 4(2), 32-40.
Falch, M., & Henten, A. (2010). Public private partnerships as a tool for
stimulating investments in broadband. Telecommunications Policy, 34(9),
496-504.
Feijoo Gonzalez, C. A., Gómez Barroso, J. L., & Bohlin, E. (2011). Public
support for the deployment of next generation access networks-Common
themes, methodological caveats and further research. Telecommunications
Policy, 35(9-10), 791-793.
Gómez-Barroso, J. L., & Feijóo, C. (2010). A conceptual framework for public-
private interplay in the telecommunications sector. Telecommunications
Policy, 34(9), 487-495.
Huang, S. C., & Cox, J. L. (2016). Establishing a social entrepreneurial system to
bridge the digital divide for the poor: a case study for Taiwan. Universal
Access in the Information Society, 15(2), 219-236.
Hudson, H. E. (2011). Digital diversity: broadband and indigenous populations in
Alaska. Journal of Information Policy, 1, 378-393.
Laporan ITU, 2017. Measuring the Information Society.
Laporan Tahunan POSTEL, 2010. KEMENKOMINFO.
Madden, G. (2010). Economic welfare and universal service. Telecommunications
Policy, 34(1-2), 110-116.
Mueller, M. (2013). Universal service: Competition, interconnection and
monopoly in the making of the American telephone system.
Peha, J. M. (1999). Tradable universal service obligations. Telecommunications
Policy, 23(5), 363-374.
Richmond, W., Rader, S., & Lanier, C. (2017). The “digital divide” for rural small
businesses. Journal of Research in Marketing and Entrepreneurship, 19(2),
94-104.
Salim, A. (2013). Management Information in Rural Area: A Case Study of
Rancasalak Village in Garut, Indonesia. Procedia Technology, 11, 243-249.
Savas, E. S., & Savas, E. S. (2000). Privatization and public-private partnerships.
Soeftestad, L. I., & Sein, M. K. (2003). ICT and national development: East is
East and West is West, and the twain may meet. S. Krishna & S. Madon, the
Digital Challenge: Information technology in the development Context.
Aldershot, UK: Ashgate.
Srinuan, C. (2014). Uncertainty of public pay phone in Thailand: Implications for
the universal service obligation. Telecommunications Policy, 38(8-9), 730-
740.
Sugaya, M. (1997). Advanced universal service in Japan. Telecommunications
Policy, 21(2), 177-184.

7
van Eijk, N., & Poort, J. (2012). Universal service and disabled
people. Telecommunications Policy, 36(2), 85-95.
Verma, S. K. (2013). Rural marketing in India. Anusandhanika, 5(1/2), 16-22.
Williams, I. (2012). Infrastructure Development: Public Private Partnership Path
for Developing Rural Telecommunications in Africa. Journal of technology
management & innovation, 7(2), 63-72.
Williams, I., & Falch, M. (2012). Public private partnerships and next generation
networks. In Telecommunication Economics (pp. 100-107). Springer,
Berlin, Heidelberg.
Williams, I., Adjin, D., & Tsivor, K. (2013). The Impact of PPIs in the
Development of Broadband and the way Forward: Ghana's case.
Xavier, P. (1997). Universal service and public access in the networked
society. Telecommunications Policy, 21(9-10), 829-843.

Anda mungkin juga menyukai