Anda di halaman 1dari 110

Konsep Dasar Silabus

Pengertian Silabus

Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata


pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi
pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk
penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar (Kunandar, 2011: 244). Silabus
menurut Yulaelawati adalah seperangkat rencana serta pengaturan pelaksanaan
pembelajaran dan penilaian yang disusun secara sistematis, memuat tentang komponen-
komponen yang saling berkaitan dalam mencapai penguasaan kompetensi dasar.

Silabus merupakan rencana pembelajaran pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran
atau tema tertentu yang mencakup Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, materi
pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, pencapaian kompetensi untuk
penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar (Trianto, 2010:96). Silabus merupakan
seperangkat rencana serta pengaturan pelaksanaan pembelajaran dan penilaian yang
disusun secara sistematis yang memuat komponen-komponen yang saling berkaitan
untuk mencapai penguasaan kompetensi dasar.

Sementara itu, pengertian silabus menurut kurikulum 2013 adalah rencana


pembelajaran pada suatu kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup
standar kompetensi , kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Silabus
merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi
pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi
untuk penilaian. Silabus merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang
kegiatan pembelajaran, pengelolaan kelas, dan penilaian hasil belajar. Silabus berisikan
komponen pokok yang dapat menjawab pertanyaan berikut: Kompetensi yang akan
ditanamkan kepada peserta didik melalui suatu kegiatan pembelajaran kegiatan yang
harus dilakukan untuk menanamkan / membentuk kompetensi tersebut upaya yang
harus dilakukan untuk mengetahui bahwa kompetensi tersebut sudah dimiliki peserta
didik Silabus bermanfaat sebagai pedoman sumber pokok dalam pengembangan
pembelajaran lebih lanjut, mulai dari pembuatan rencana pembelajaran, pengelolaan
kegiatan pembelajaran, dan pengembangan sistem penilaian.

2. Manfaat Silabus

Silabus merupakan produk utama dari pengembangan kurikulum sebagai suatu rencana
tertulis pada suatu satuan pendidikan yang harus memiliki keterkaitan dengan produk
pengembangan kurikulum lainnya, yaitu proses pembelajaran. Silabus dapat dikatakan
sebagai kurikulum ideal (ideal/potential curriculum), sedangkan proses pembelajaran
merupakan kurikulum actual (actual/real curriculum).
Dengan memperhatikan beberapa pengertian di atas, pada dasarnya silabus merupakan
acuan utama dalam suatu kegiatan pembelajaran. Beberapa manfaat dari silabus ini, di
antaranya:

1. Sebagai pedoman/acuan bagi pengembangan pembelajaran lebih lanjut, yaitu


dalam penyusunan RPP, pengelolaan kegiatan pembelajaran, penyediaan sumber
belajar, dan pengembangan sistem penilaian.
2. Memberikan gambaran mengenai pokok-pokok program yang akan dicapai
dalam suatu mata pelajaran.
3. Sebagai ukuran dalam melakukan penilaian keberhasilan suatu program
pembelajaran.
4. Dokumentasi tertulis (witten document) sebagai akuntabilitas suatu program
pembelajaran.

3. Fungsi Silabus

Silabus dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar isi untuk
satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan pola pembelajaran pada setiap
tahun tertentu.

Berikut ini adalah beberapa fungsi umum dari silabus.

1. Silabus dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan buku siswa. Buku siswa
memuat tentang materi pelajaran, aktivitas peserta didik, dan evaluasi pembelajaran.

2. Silabus menjadi acuan dalam penyusunan rencana pembelajaran, untuk semua


kajian mata pelajaran, atau pun pengelolaan kegiatan pembelajaran dan pengembangan
penilaian hasil pembelajaran.

3. Hasil pengembangan Silabus dalam bentuk perangkat pembelajaran berfungsi


sebagai alat untuk aktualisasi kurikulum secara operasional pada tingkat satuan
pendidikan, sehingga memudahkan guru melakukan pembelajaran.

4. Komponen Silabus

Secara garis besar, silabus mencakup kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator,
materi pembelajaran, dan kegiatan pembelajaran. Hubungan logis antar berbagai
komponen dalam silabus dari setiap mata pelajaran merupakan langkah yang harus
dipersiapkan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.

Beberapa komponen yang harus ada dalam silabus adalah sebagai berikut.

1. Identitas Mata Pelajaran


2. Identitas Sekolah, memuat nama satuan pendidikan dan kelas.

3. Kompetensi Inti (KI), merupakan gambaran mengenai kompetensi dalam aspek


sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dipelajari oleh peserta didik untuk
jenjang sekolah, kelas, dan mata pelajaran.

4. Kompetensi Dasar (KD), merupakan kemampuan spesifik yang mencakup sikap,


pengetahuan, dan keterampilan yang terkait muatan atau mata pelajaran.

5. Indikator pencapaian kompetensi, adalah perilaku yang dapat diukur atau


diamati untuk menunjukkan ketercapaian kompetensi dasar tertentu yang menjadi acuan
penilaian mata pelajaran.

6. Materi Pokok, memuat fakta, konsep, prinsip, dan prosedut yang relevan, dan
ditulis dalam bentuk butir-butir sesuai dengan rumusan indicator pencapaian
kompetensi.

7. Pembelajaran, adalah kegiatan yang dilakukan oleh pendidik dan peserta didik
untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.

8. Penilaian, merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk


menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik.

9. Alokasi Waktu, sesuai dengan jumlah jam pelajaran dalam struktur kurikulum
untuk satu semester atau satu tahun.

10. Sumber belajar, dapat berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar atau
sumber belajar lain yang relevan.

Berikut penjelasan masing-masing komponen silabus tersebut.

1. Kompetensi Inti

Kompetensi Inti (KI) adalah tingkat kemampuan untuk mencapai Standar Kompetensi
Lulusan yang harus dimiliki peserta didik pada setiap tingkat kelas atau program yang
menjadi landasan Pengembangan Kompetensi Dasar.

Kompetensi inti merupakan terjemahan atau operasionalisasi SKL dalam bentuk kualitas
yang harus dimiliki oleh peserta didik yang dinyatakan telah menyelesaikan pendidikan
pada satuan pendidikan tertentu.

Kompetensi Inti mencakup empat dimensi yang mencerminkan : (1) sikap spiritual; (2)
sikap sosial; (3) pengetahuan; (4) dan keterampilan.
Keempat dimensi tersebut dirancang sebagai pengintegrasi muatan pembelajaran, mata
pelajaran, atau program dalam mencapai Standar Kompetensi Lulusan.

2. Kompetensi Dasar

Kompetensi Dasar (KD) adalah kemampuan untuk mencapai Kompetensi Inti yang
harus diperoleh peserta didik melalui pembelajaran.

Kompetensi dasar berisi sejumlah kemampuan yang harus dikuasai peserta didik dalam
mata pelajaran tertentu, sebagai rujukan penyusunan indikator kompetensi dalam suatu
pelajaran.

Di dalam setiap rumusan Kompetensi Dasar, terdapat unsur kemampuan berpikir yang
dinyatakan dalam kata kerja dan materi.

Kompetensi Dasar berisi sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang bersumber pada
kompetensi inti yang harus dikuasai peserta didik.

3. Indikator Pencapaian Kompetensi

Indikator pencapaian kompetensi merupakan ukuran, karakteristik, ciri-ciri, proses


yang menggambarkan ketercapaian suatu Kompetensi Dasar.

Indikator dirumuskan dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur,
misalnya : mengidentifikasi, menghitung, membedakan, menceritakan, menyimpulkan,
mempraktikkan, mendeskripsikan, dan mendemonstrasikan.

Guru dapat mengembangkan setiap kompetensi dasar menjadi dua atau lebih indikator
pencapaian hasil belajar sesuai keluasan dan kedalaman kompetensi dasar tersebut.

Indikator merupakan penanda pencapaian Kompetensi Dasar yang ditandai oleh


perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan
keterampilan

4. Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan pembelajaran dalam mengembangkan Silabus Kurikulum 2013 dapat


dilakukan dengan pendekatan saintifik. Selain itu juga melalui berbagai model
pembelajaran dan strateginya, disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran dan
kompetensi yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut.

4. Prinsip Pengembangan Silabus

Silabus dapat dikembangkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip berikut.


1. Ilmiah

Keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam silabus harus benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

2. Relevan

Cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan penyajian materi dalam silabus
sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual, sosial, emosional, dan spritual
peserta didik.

3. Sistematis

Komponen-komponen silabus harus saling berhubungan secara fungsional dalam


mencapai kompetensi.

4. Konsisten

Silabus harus memperlihatkan adanya hubungan yang konsisten (ajeg, taat asas) antara
kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan
sistem penilaian.

5. Memadai

Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem
penilaian pada silabus cukup untuk menunjang pencapaian kompetensi dasar.

6. Aktual dan Kontekstual

Cakupan indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar, dan sistem
penilaian dalam silabus memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, dan seni
mutakhir dalam kehidupan nyata, dan peristiwa yang terjadi.

7. Fleksibel

Keseluruhan komponen silabus dapat mengakomodasi keragaman peserta didik,


pendidik, serta dinamika perubahan yang terjadi di sekolah dan tuntutan masyarakat.

8. Menyeluruh

Komponen silabus mencakup keseluruhan ranah kompetensi, yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik.

Konsep Dasar RPP


Prinsip, Komponen dan Langkah Mudah Penyusunan RPP Satu Lembar Sesuai SE
Kemendikbud Nomor 14 Tahun 2019

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) harus dimiliki oleh guru sebagai bagian dari
perangkat mengajar. Karena menjadi sebuah panduan guru dalam melaksanakan
pembelajaran sesuai dengan rambu-rambu yang telah direncanakan sebelumnya

SE Mendikbud Nomor 14 Tahun 2019

Terkait dengan program Merdeka Belajar, khususnya dalam hal penyusunan RPP,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 14 Tahun
2019 tentang Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2019 ini diterbitkan untuk menindaklanjuti Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengenai pelaksanaan Kurikulum 2013 dan
perubahan pada Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) yang terdiri atas 13 (tiga belas) komponen.

Dasar Pertimbangan Penyederhanaan RPP Satu Lembar

Pertimbangan penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)adalah guru


yang sering diarahkan untuk menulis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
dengan sangat rinci. Mempersiapkan dokumen RPP yang jumlahnya ribuan halaman
tentu bukan pekerjaan mudah. Akibatnya, kegiatan menulis Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dengan sangat rinci tersebut menghabiskan waktu lebih lama.
Belum lagi jika guru harus mengerjakan tugas-tugas lain dari sekolah. Waktu yang
semestinya bisa digunakan untuk proses pembelajaran dan evaluasi, terkuras untuk
menyusun RPP. Alokasi waktu tersebut yang mana seharusnya bisa difokuskan untuk
mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Untuk efisiensi
tenaga dan waktu guru, akhirnya Kemendikbud RI merampingkan substansi RPP melalui
kebijakan Merdeka Belajar. Dalam kebijakan tersebut dijelaskan bahwa RPP hanya terdiri
atas tiga komponen inti, yaitu

(1) tujuan pembelajaran,

(2) kegiatan pembelajaran, dan

(3) asesmen pembelajaran.

Dengan catatan bahwa komponen RPP lainnya bersifat pelengkap dan dapat dipilih
secara mandiri, artinya boleh disertakan, boleh tidak, bergantung kebutuhan. Dengan
komponen inti yang hanya 3 aspek ini, semestinya RPP tersebut berjumlah 1 halaman
saja. Berdasarkan jumlah ini, tentunya guru SD kelas rendah hanya perlu menyediakan 96
halaman RPP untuk pembelajaran selama 1 semester atau 192 halaman RPP untuk
pembelajaran 1 tahun. Kuantitas yang jauh lebih rendah dan lebih efisien dibanding RPP
sebelum kebijakan Merdeka Belajar. Menurut surat edaran tersebut, dengan
dilakukannya efisiensi RPP, guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersipakan dan
mengevalusi proses pembelajaran itu sendiri.

Di dalam Surat Edaran tersebut, disampaikan beberapa hal sebagai berikut.

1. Penyusunan Rencana Pelaksanan Pembelajaran (RPP) dilakukan dengan prinsip


efisien, efektif, dan berorientasi pada peserta didik.
2. Bahwa dari 13 (tiga belas) komponen RPP yang telah diatur dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar
Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menjadi komponen inti adalah :
tujuan pembelajaran, langkah-langkah (kegiatan) pembelajaran, dan penilaian
pembelajaran (assesment), sedangkan komponen lainnya bersifat sebagai
pelengkap.
3. Sekolah, kelompok guru mata pelajaran sejenis dalam sekolah, Kelompok Kerja
Guru/Musyawarah Guru Mata Pelajaran (KKG/MGMP), dan individu guru secara
bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format
RPP secara mandiri untuk sebesar-besarnya keberhasilan belajar peserta didik.
4. RPP yang telah dibuat tetap dapat didigunakan dan dapat pula disesuaikan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, 2, dan 3.

Komponen- Komponen RPP Satu Lembar

Di dalam penyederhanaan RPP, hanya ada 3 (tiga) komponen inti, yaitu tujuan
pembelajaran, langkah-langkah (kegiatan) pembelajaran, dan penilaian pembelajaran
(assesment), sedangkan komponen lainnya bersifat sebagai pelengkap.

1. Tujuan Pembelajaran

Tujuan pembelajaran ditulis dengan merujuk pada Kurikulum 2013 dan kebutuhan
belajar peserta didik.

Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai
oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar.

Penyusunan tujuan pembelajaran pada RPP yang disederhanakan dirumuskan


berdasarkan kompetensi dasar dengan menggunakan kata kerja operasional yang dapat
diamati dan diukur yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.

2. Langkah-langkah Pembelajaran

Langkah-langkah pembelajaran biasanya memuat mengenai sintak pembelajaran atau


alur kegiatan pembelajaran dari pembukaan, kegiatan inti dan penutup.
Dan, dalam bagian langkah-langkah kegiatan pembelajaran tetap memuat komponen
keterampilan abad 21 seperti Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), 4C (Literasi, Critical
Thinking, Creative Thinking, Collaboration, dan Communication), serta Keterampilan
Berpikir Tingkat Tinggi (HOTS).

Langkah-langkah pembelajaran ditulis secara efektif berupa kegiatan yang dapat secara
langsung mencapai Kompetensi Dasar.

Meskipun begitu, kegiatan pembelajaran tetap harus dilakukan secara interaktif,


inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik.

Di dalam kegiatan pembelajaran, peserta didik diajak untuk berpartisipasi aktif,


memberikan ruang yang cukup bagi kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologisnya.

3. Penilaian Pembelajaran (Assesmen)

Prosedur penilaian pembelajaran juga dibuat secara sederhana dengan tetap


memperhatikan indikator pencapaian kompetensi dan mengacu kepada standar
penilaian. Penilaian pembelajaran dapat dilakukan dengan memperhatikan tiga bentuk
penilaian abad 21, seperti assessment for learning, assessment as learning dan
assessment of learning. Mudanya, terdapat penilaian diagnostic, penilaian formatif dan
penilaian sumatif.

Prinsip RPP Satu Lembar


Penyusunan RPP satu lembar harus memperhatikan 3 (tiga) prinsip utama, yaitu efisien,
efektif, dan berorientasi pada peserta didik.

1. Efisien

Efisien berarti penulisan RPP dilakukan dengan tepat dan tidak banyak menghabiskan
banyak waktu dan tenaga dalam penyusunannya.

2. Efektif

Efektif adalah dalam penulisan RPP dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran
secara optimal dan maksimal.

3. Berorientasi Pada Peserta Didik

Penulisan RPP dilakukan harus berorientasi pada Peserta Didik. Ini berarti penyusunan
RPP dengan mempertimbangkan kesiapan, ketertarikan, dan kebutuhan belajar peserta
didik di kelas.

3 Langkah Mudah Membuat Perencanaan Pembelajaran


Agar pembuatan RPP sesuai dengan prinsip penyerdehanaan RPP yang sudah dijelaskan
sebelumnya. Guru dapat menggunakan Backward Design. Backward Design ini sesuai
dengan prinsip dan juga komponen dari penyerdehanaan RPP. Backward Design sendiri
adalah perancangan pembelajaran dengan prosesnya berjalan mundur. Dimulai dari
identifikasi result atau berorientasi pada assessment.

Langkah-langkah disain mundur: ada tiga tahapan dalam menyusun desian mundur
diantaranya;

1. Identify Desired Result (identifikasi hasil yang diinginkan)

Menetapkan tujuan yang mengacu kepada standar kompetensi. Kompetensi dasar,


indikator dan tujuan pembelajaran atau outcomes learning. Tahap menentukan tujuan
pembelajaran. sebaiknya benar – benar berdampak secara nyata bagi siswa.

2. Determine Acceptable Evidence (tentukan bukti yang dapat diterima)

Bukti disini maksudnya indikator atau tolok ukur keberhasilan yang dapat dillihat dan
diukur. Di tahapan ini silakan tentukan apa buktinya jika siswa telah memiliki
pemahaman yang diharapkan. Dalam pembelajaran ini, bagaimana para guru akan
mengetahui bahwa para siswa telah memenuhi tujuan-tujuan tersebut? Ini adalah
sebuah asesmen.

3. Plan Learning Experiences and Instruction (rencanakan pengalaman


belajar dan instruksinya)

Kemudian langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah merencanakan kegiatan


pembelajaran. Dengan merencanakan strategi, metode, dan aktivitas pembelajaran apa
yang tepat untuk mencapai tujuan dan sasaran pembelajaran tersebut.

MT'NTERI PENDIDII{AN DAN I(EBUDAYAAN }ITiPUISLII( IN DONDSIA SURAT EDARAN NOMOR 14


TAHUN 2019 TtrNTANG PENYED ERHANAAN RBN CANA PELAKSANAAN PBM B ELAJARA N Yrh. 1.
Kepala Dinas Pendidikan Pro'u,insi; 2. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/l(ota; di seluruh Indonesia
Menindaklanjuti Peraturan Menteri Pcndidikan dan Kebudayaan te rkait dengan pelaksaaaan
l(urikulum 2013, dengan hormat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut. 1. Penyusunan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dilakukan dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada
murid. 2. Bahwa dari 13 (tiga belas) komponen RPP yang telah diatur dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan l(ebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proscs Pendidikan Dasar dan
Menengah, yang menjadi komponen inti adalah tujuan pcmbelajaran, langkah-langkah (kegiatarr)
pembelajaran, dan penilaian pembelajaran (assessmenf) yang u,ajib dilaksanakan oleh guru,
sednngkan komponen lainnya bersifat pelengkap. 3. Sekolah, kelompok guru mata pelajaran sejenis
dalam sekolah, l(elompok Kerja Guru/Musyau,arah Guru Matar Pelajaran (KI(G/MGMP), dan individu
guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format IIPP
secara mandiri untuk sebesar-sebesarnya keberhasilan belajar murid. 4. Adapun RPP yang rclah
dibuat tetap dapat digunakan dan dapat puln disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada angka l, 2, dan 3. Demikian Surat Bdaran ini kami disan-rpaikan untuk menjadi perhatian dan
dilaksanakan sebagaimana mestinya. Atas perhatian dan kcrja sama Saudara, kami sampaikan [erima
kasih Jakarta, 10 Desember 2019 -2- Tembusan: 1. Gubernur di seluruh Indonesia; dan 2.
Bupati/Walikota cli seluruh Indonesia

Latar Belakang dan Dasar hukum Standar Kompetensi


Lulusan
1. Latar Belakang

Pertimbangan Permendikbudristek 5 tahun 2022 tentang Standar Kompetensi Lulusan


pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah adalah untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang
Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun
2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Standar Kompetensi Lulusan pada
Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan
Menengah.

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 5 tahun 2022
tentang Standar Kompetensi Lulusan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang
Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah ini mencabut ketentuan mengenai
Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak dalam Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak
Usia Dini (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1668), Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Pendidikan Dasar dan Menengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
953), dan ketentuan mengenai Standar Kompetensi Lulusan dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 34 Tahun 2018 tentang Standar Nasional
Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1689).

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 5 tahun 2022
tentang Standar Kompetensi Lulusan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang
Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah ditetapkan Mendikbudristek
Nadiem Anwar Makarim pada tanggal 4 Februari 2022. Diundangkan pada 8 Februari
2022 di Jakarta. Ditempatkan pada Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor
161. Agar setiap orang mengetahuinya.

2. Dasar Hukum

Dasar hukum Permendikbudristek 5 tahun 2022 tentang Standar Kompetensi Lulusan


pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah adalah:
1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4916);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional
Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6676) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar
Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor
14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6762);
5. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2021 tentang Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2021 Nomor 156);
6. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 28
Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 963);

Ruang Lingkup Permendkbudristek No 5 tahun 2022


3. Ruang Lingkup

Permendikbudristek 5 tahun 2022 tentang Standar Kompetensi Lulusan pada PAUD,


Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah ini pada pokoknya
mengatur tentang:

1. Standar kompetensi lulusan dirumuskan berdasarkan: tujuan pendidikan nasional;


tingkat perkembangan peserta didik; kerangka kualifikasi nasional Indonesia; dan
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
2. Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai acuan dalam pengembangan
standar isi, standar proses, standar penilaian pendidikan, standar tenaga
kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, dan standar
pembiayaan.
3. Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman dalam penentuan
kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
4. Penggunaan standar kompetensi lulusan sebagai pedoman dalam penentuan
kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, dikecualikan bagi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini.
5. Dalam hal peserta didik berkebutuhan khusus dengan hambatan intelektual,
penggunaan standar kompetensi lulusan sebagai pedoman dalam penentuan
kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dengan mempertimbangkan
kondisi dan kebutuhan peserta didik.

6. Standar kompetensi lulusan terdiri atas: standar kompetensi lulusan pada


pendidikan anak usia dini; standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar;
dan standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah.

7. Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud dalam angka 6 termasuk


untuk program pendidikan kesetaraan.

8. Standar kompetensi lulusan pada pendidikan anak usia dini merupakan standar
tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini yang memuat profil peserta didik
sebagai kesatuan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang menjadi deskripsi capaian
perkembangan peserta didik dari hasil partisipasinya pada akhir pendidikan anak usia
dini.

9. Standar tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini difokuskan pada aspek
perkembangan anak yang mencakup: nilai agama dan moral; nilai Pancasila; fisik
motorik; kognitif; bahasa; dan sosial emosional.

10. Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar terdiri atas: standar
kompetensi lulusan pada sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar luar
biasa/paket A/bentuk lain yang sederajat; dan standar kompetensi lulusan pada sekolah
menengah pertama/ madrasah tsanawiyah/sekolah menengah pertama luar biasa/paket
B/bentuk lain yang sederajat.

11. Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar difokuskan pada:
persiapan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia; penanaman karakter yang sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila; dan penumbuhan kompetensi literasi dan numerasi peserta
didik untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut.

12. Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah terdiri atas: standar
kompetensi lulusan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah umum; dan
standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah
kejuruan.

13. Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah
umum difokuskan pada: persiapan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak muiia; penanaman
karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan pengetahuan untuk meningkatkan
kompetensi peserta didik agar dapat hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut.
14. Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum meliputi
standar kompetensi lulusan pada sekolah menengah atas/ madrasah aliyah/sekolah
menengah atas luar biasa/paket C/ bentuk lain yang sederajat.

15. Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah
kejuruan difokuskan pada: persiapan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia; penanaman
karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan keterampilan untuk meningkatkan
kompetensi peserta didik agar dapat hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih
lanjut sesuai dengan kejuruannya.

16. Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah
kejuruan meliputi standar kompetensi lulusan pada sekolah menengah
kejuruan/madrasah aliyah kejuruan/bentuk lain yang sederajat.

Pengertian, Lingkup dan Fungsi Standar Kompetensi


Lulusan
Pengertian dan Lingkup Standar Kompetensi Lulusan

Menurut Permendikbudristek No 5 tahun 2022, Standar Kompetensi Lulusan adalah


kriteria minimal tentang kesatuan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
menunjukkan capaian kemampuan Peserta Didik dari hasil pembelajarannya pada akhir
Jenjang Pendidikan.

1. Standar Kompetensi Lulusan dirumuskan berdasarkan:

a. tujuan pendidikan nasional;

b. tingkat perkembangan Peserta Didik;

c. kerangka kualifikasi nasional Indonesia; dan

d. jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

2. Standar Kompetensi Lulusan terdiri atas:

a. Standar Kompetensi Lulusan pada pendidikan anak usia dini;

b. Standar Kompetensi Lulusan pada Jenjang Pendidikan dasar; dan

c. Standar Kompetensi Lulusan pada Jenjang Pendidikan menengah.

3. Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf c termasuk untuk program pendidikan kesetaraan.
4. Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
sebagai acuan dalam pengembangan standar isi, standar proses, standar penilaian
pendidikan, standar tenaga kependidikan, standar sarana prasarana, standar
pengelolaan, dan standar pembiayaan.

Fungsi Standar Kompetensi Lulusan, terdapat pada pasal 3, yaitu:

1. Standar Kompetensi Lulusan digunakan sebagai pedoman dalam penentuan


kelulusan Peserta Didik dari satuan pendidikan.

2. Penggunaan Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dikecualikan bagi Peserta Didik pada pendidikan anak usia dini.

3. Dalam hal Peserta Didik berkebutuhan khusus dengan hambatan intelektual,


penggunaan Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan Peserta Didik.

4. Kondisi dan kebutuhan Peserta Didik sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditentukan melalui asesmen yang dilakukan oleh ahli sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Standar Kompetensi Lulusan Sekolah Menengah


Pertama
Standar Kompetensi Lulusan pada Sekolah Menengah Pertama, pasal 7
Standar Kompetensi Lulusan pada sekolah menengah pertama/madrasah
tsanawiyah/sekolah menengah pertama luar biasa/paket B/bentuk lain yang sederajat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dirumuskan secara terpadu dalam
bentuk deskripsi kompetensi yang terdiri atas:

a. mencintai Tuhan Yang Maha Esa dan memahami kehadiran Tuhan Yang Maha Esa
dalam kehidupan sehari- hari, memahami ajaran agama, melaksanakan ibadah secara
rutin dan mandiri sesuai dengan tuntunan agama/kepercayaan, berani menyatakan
kebenaran, menyayangi dirinya, menyadari pentingnya keseimbangan kesehatan
jasmani, mental dan rohani, menghargai sesama manusia, berinisiatif menjaga alam,
serta memahami kewajiban dan hak sebagai warga negara;

b. mengekspresikan dan bangga terhadap identitas diri dan budayanya, menghargai


keragaman masyarakat dan budaya nasional, terbiasa melakukan interaksi antar budaya,
menolak stereotip dan diskriminasi, serta berpartisipasi aktif untuk menjaga Negara
Kesatuan Republik Indonesia;

c. menunjukkan perilaku terbiasa peduli dan berbagi, serta kemampuan


berkolaborasi lintas kalangan di lingkungan terdekat dan lingkungan sekitar;
d. terbiasa bertanggung jawab, melakukan refleksi, berinisiatif dan merancang
strategi untuk pembelajaran dan pengembangan diri, serta mampu beradaptasi dan
menjaga komitmen untuk meraih tujuan;

e. menunjukkan kemampuan menyampaikan gagasan orisinal, membuat tindakan


atau karya kreatif sesuai kapasitasnya, dan terbiasa mencari alternatif tindakan dalam
menghadapi tantangan;

f. menunjukkan kemampuan mengidentifikasi informasi yang relevan atau masalah


yang dihadapi, menganalisis, memprioritaskan informasi yang paling relevan atau
alternatif solusi yang paling tepat;

g. menunjukkan kemampuan dan kegemaran berliterasi berupa menginterpretasikan


dan mengintegrasikan teks, untuk menghasilkan inferensi sederhana, menyampaikan
tanggapan atas informasi, dan mampu menulis pengalaman dan pemikiran dengan
konsep sederhana; dan

h. menunjukkan kemampuan numerasi dalam bernalar menggunakan konsep,


prosedur, fakta dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan diri, lingkungan terdekat, dan masyarakat sekitar.

Standar Kompetensi Lulusan Sekolah Menengah Umum


Standar Kompetensi Lulusan pada Jenjang Pendidikan Menengah Umum, pasal 9
1. Standar Kompetensi Lulusan pada satuan pendidikan Jenjang Pendidikan
menengah umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a difokuskan pada:

a. persiapan Peserta Didik menjadi anggota masyarakat yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia;

b. penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan

c. pengetahuan untuk meningkatkan kompetensi Peserta Didik agar dapat hidup


mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

2. Standar Kompetensi Lulusan pada Jenjang Pendidikan menengah umum


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Standar Kompetensi Lulusan pada
sekolah menengah atas/madrasah aliyah/sekolah menengah atas luar biasa/paket
C/bentuk lain yang sederajat.

3. Standar Kompetensi Lulusan pada sekolah menengah atas/madrasah


aliyah/sekolah menengah atas luar biasa/ paket C/bentuk lain yang sederajat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirumuskan secara terpadu dalam bentuk deskripsi
kompetensi yang terdiri atas:
a. menyayangi dirinya, menghargai sesama dan melestarikan alam semesta sebagai
wujud cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan sikap religius dan spiritualitas
sesuai ajaran agama/kepercayaan yang dianut, memahami sepenuhnya ajaran agama
secara utuh, rutin melaksanakan ibadah dengan penghayatan, menegakkan
(mengedepankan) integritas dan kejujuran, pembelaan pada kebenaran, pelestarian
alam, menyeimbangkan kesehatan jasmani, mental, dan rohani, serta pemenuhan
kewajiban dan hak sebagai warga negara;

b. mengekspresikan dan bangga terhadap identitas diri dan budayanya, menghargai


dan menempatkan keragaman masyarakat dan budaya nasional dan global secara setara
dan adil, aktif melakukan interaksi antarbudaya, menolak stereotip dan diskriminasi, serta
berinisiatif untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. menunjukkan sikap aktif mendorong perilaku peduli dan berbagi, serta


kemampuan berkolaborasi lintas kalangan di lingkungan terdekat, lingkungan sekitar,
dan masyarakat luas;

d. menunjukkan perilaku bertanggung jawab, melakukan refleksi, berinisiatif dan


merancang strategi untuk pembelajaran dan pengembangan diri, serta terbiasa
beradaptasi dan menjaga komitmen untuk meraih tujuan;

e. menunjukkan perilaku berbudaya dengan menyampaikan gagasan orisinal,


membuat tindakan dan karya kreatif yang terdokumentasikan, serta senantiasa mencari
alternatif solusi masalah di lingkungannya;

f. menunjukkan kemampuan menganalisis permasalahan dan gagasan yang


kompleks, menyimpulkan hasilnya dan menyampaikan argumen yang mendukung
pemikirannya berdasarkan data yang akurat;

g. menunjukkan kemampuan dan kegemaran berliterasi berupa mengevaluasi dan


merefleksikan teks untuk menghasilkan inferensi kompleks, menyampaikan tanggapan
atas informasi, serta menulis ekspositori maupun naratif dengan berbagai sudut
pandang; dan

h. menunjukkan kemampuan numerasi dalam bernalar menggunakan konsep,


prosedur, fakta dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan
dengan diri, lingkungan terdekat, masyarakat sekitar, dan masyarakat global.

Standar Kompetensi Lulusan Sekolah Menengah


Kejuruan
Standar Kompetensi Lulusan pada Jenjang Pendidikan Menengah Kejuruan, pasal 10
1. Standar Kompetensi Lulusan pada satuan pendidikan Jenjang Pendidikan
menengah kejuruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b difokuskan pada:
a. persiapan Peserta Didik menjadi anggota masyarakat yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia;

b. penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan

c. keterampilan untuk meningkatkan kompetensi Peserta Didik agar dapat hidup


mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

2. Standar Kompetensi Lulusan pada satuan pendidikan Jenjang Pendidikan


menengah kejuruan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Standar
Kompetensi Lulusan pada sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan/bentuk
lain yang sederajat.

3. Standar Kompetensi Lulusan pada sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah


kejuruan/bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirumuskan
secara terpadu dalam bentuk deskripsi kompetensi yang terdiri atas:

a. menyayangi dirinya, menghargai sesama dan melestarikan alam semesta sebagai


wujud cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan sikap religius dan spiritualitas
sesuai ajaran agama/kepercayaan yang dianut, memahami sepenuhnya ajaran agama
secara utuh, rutin melaksanakan ibadah dengan penghayatan, menegakkan
(mengedepankan) integritas dan kejujuran, pembelaan pada kebenaran, pelestarian
alam, menyeimbangkan kesehatan jasmani, mental, dan rohani, serta pemenuhan
kewajiban dan hak sebagai warga negara;

b. mengekspresikan dan bangga terhadap identitas diri dan budayanya, menghargai


dan menempatkan keragaman masyarakat dan budaya nasional dan global secara setara
dan adil, aktif melakukan interaksi antarbudaya, menolak stereotip dan diskriminasi, serta
berinisiatif untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. menunjukkan sikap aktif mendorong perilaku peduli dan berbagi, serta


kemampuan berkolaborasi lintas kalangan di lingkungan terdekat, lingkungan sekitar,
dan masyarakat luas;

d. menunjukkan perilaku bertanggung jawab, melakukan refleksi, berinisiatif dan


merancang strategi untuk pembelajaran dan pengembangan diri, serta terbiasa
beradaptasi dan menjaga komitmen untuk meraih tujuan;

e. menunjukkan perilaku berbudaya dengan menyampaikan gagasan orisinal,


membuat tindakan dan karya kreatif yang terdokumentasikan, serta senantiasa mencari
alternatif solusi masalah di lingkungannya;

f. menunjukkan kemampuan menganalisis permasalahan dan gagasan yang


kompleks, menyimpulkan hasilnya dan menyampaikan argumen yang mendukung
pemikirannya berdasarkan data yang akurat;
g. menunjukkan kemampuan dan kegemaran berliterasi berupa menganalisis teks
untuk menghasilkan inferensi, menyampaikan tanggapan atas informasi, serta menulis
ekspositori maupun naratif yang relevan dengan bidang kejuruannya;

h. menggunakan konsep, prosedur, fakta dan alat matematika untuk menyelesaikan


masalah praktis yang relevan dengan bidang kejuruannya; dan

i. menunjukkan kemampuan keahlian sesuai dengan kejuruannya untuk


menguatkan kemandirian serta kesiapan memasuki dunia kerja.

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2022 TENTANG STANDAR
KOMPETENSI LULUSAN PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, JENJANG
PENDIDIKAN DASAR, DAN JENJANG PENDIDIKAN MENENGAH DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,
RISET, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang
Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang
Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi tentang Standar Kompetensi Lulusan pada Pendidikan Anak Usia Dini,
Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah; Mengingat : 1. Pasal 17 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4301); - 2 - jdih.kemdikbud.go.id 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 4. Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2021 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6676) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional
Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 14, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6762); 5. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun
2021 tentang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 156); 6. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi Nomor 28 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2021 Nomor 963); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI
PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI TENTANG STANDAR
KOMPETENSI LULUSAN PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, JENJANG
PENDIDIKAN DASAR, DAN JENJANG PENDIDIKAN MENENGAH. - 3 -
jdih.kemdikbud.go.id BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini
yang dimaksud dengan: 1. Standar Kompetensi Lulusan adalah kriteria minimal tentang
kesatuan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang menunjukkan capaian kemampuan
Peserta Didik dari hasil pembelajarannya pada akhir Jenjang Pendidikan. 2. Peserta Didik
adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. 3. Jenjang
Pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan
Peserta Didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan. 4.
Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendidikan. 5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pendidikan. BAB II LINGKUP STANDAR KOMPETENSI LULUSAN Pasal 2 (1)
Standar Kompetensi Lulusan dirumuskan berdasarkan: a. tujuan pendidikan nasional; b.
tingkat perkembangan Peserta Didik; c. kerangka kualifikasi nasional Indonesia; dan d. jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan. (2) Standar Kompetensi Lulusan terdiri atas: a. Standar
Kompetensi Lulusan pada pendidikan anak usia dini; b. Standar Kompetensi Lulusan pada
Jenjang Pendidikan dasar; dan - 4 - jdih.kemdikbud.go.id c. Standar Kompetensi Lulusan
pada Jenjang Pendidikan menengah. (3) Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b dan huruf c termasuk untuk program pendidikan kesetaraan. (4) Standar
Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai acuan dalam
pengembangan standar isi, standar proses, standar penilaian pendidikan, standar tenaga
kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan. Pasal
3 (1) Standar Kompetensi Lulusan digunakan sebagai pedoman dalam penentuan kelulusan
Peserta Didik dari satuan pendidikan. (2) Penggunaan Standar Kompetensi Lulusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Peserta Didik pada pendidikan anak
usia dini. (3) Dalam hal Peserta Didik berkebutuhan khusus dengan hambatan intelektual,
penggunaan Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan Peserta Didik. (4) Kondisi dan kebutuhan Peserta
Didik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan melalui asesmen yang dilakukan oleh
ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB III STANDAR
KOMPETENSI LULUSAN PADA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Pasal 4 (1) Standar
Kompetensi Lulusan pada pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf a merupakan standar tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini. - 5 -
jdih.kemdikbud.go.id (2) Standar tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat profil Peserta Didik sebagai kesatuan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang menjadi deskripsi capaian perkembangan Peserta Didik
dari hasil partisipasinya pada akhir pendidikan anak usia dini. (3) Standar tingkat pencapaian
perkembangan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (2) difokuskan pada aspek
perkembangan anak yang mencakup: a. nilai agama dan moral; b. nilai Pancasila; c. fisik
motorik; d. kognitif; e. bahasa; dan f. sosial emosional. (4) Aspek perkembangan anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirumuskan secara terpadu dalam bentuk deskripsi
capaian perkembangan yang terdiri atas: a. mengenal dan percaya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, mengenal ajaran pokok agama, dan menunjukkan sikap menyayangi dirinya, sesama
manusia serta alam sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa melalui partisipasi aktif dalam
merawat diri dan lingkungannya; b. mengenali identitas diri, mengetahui kebiasaan di
keluarga, sekolah, dan masyarakat, mengetahui dirinya merupakan bagian dari warga
Indonesia, serta mengetahui keberadaan negara lain di dunia; c. mengenali emosi, mampu
mengendalikan keinginannya sebagai sikap menghargai keinginan orang lain, dan mampu
berinteraksi dengan teman sebaya; d. mengenali serta menghargai kebiasaan dan aturan yang
berlaku, serta memiliki rasa senang terhadap belajar, menghargai usahanya sendiri untuk
menjadi lebih baik, dan memiliki keinginan untuk berusaha kembali ketika belum berhasil; -
6 - jdih.kemdikbud.go.id e. memiliki daya imajinasi dan kreativitas melalui eksplorasi dan
ekspresi pikiran dan/atau perasaannya dalam bentuk tindakan sederhana dan/atau karya yang
dapat dihasilkan melalui kemampuan kognitif, afektif, rasa seni serta keterampilan motorik
halus dan kasarnya; f. mampu menyebutkan alasan, pilihan atau keputusannya, mampu
memecahkan masalah sederhana, serta mengetahui hubungan sebab akibat dari suatu kondisi
atau situasi yang dipengaruhi oleh hukum alam; g. mampu menyimak, memiliki kesadaran
akan pesan teks, alfabet dan fonemik, memiliki kemampuan dasar yang diperlukan untuk
menulis, memahami instruksi sederhana, mampu mengutarakan pertanyaan dan gagasannya
serta mampu menggunakan kemampuan bahasanya untuk bekerja sama; dan h. memiliki
kesadaran bilangan, mampu melakukan pengukuran dengan satuan tidak baku, menyadari
adanya persamaan dan perbedaan karakteristik antarobjek, serta memiliki kesadaran ruang
dan waktu. BAB IV STANDAR KOMPETENSI LULUSAN PADA JENJANG
PENDIDIKAN DASAR Pasal 5 (1) Standar Kompetensi Lulusan pada Jenjang Pendidikan
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b terdiri atas: a. Standar
Kompetensi Lulusan pada sekolah dasar/ madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar luar biasa/ paket
A/bentuk lain yang sederajat; dan - 7 - jdih.kemdikbud.go.id b. Standar Kompetensi Lulusan
pada sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah/sekolah menengah pertama luar
biasa/paket B/bentuk lain yang sederajat. (2) Standar Kompetensi Lulusan pada Jenjang
Pendidikan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difokuskan pada: a. persiapan Peserta
Didik menjadi anggota masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta berakhlak mulia; b. penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;
dan c. penumbuhan kompetensi literasi dan numerasi Peserta Didik untuk mengikuti
pendidikan lebih lanjut. Pasal 6 Standar Kompetensi Lulusan pada sekolah dasar/madrasah
ibtidaiyah/sekolah dasar luar biasa/paket A/bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dirumuskan secara terpadu dalam bentuk deskripsi kompetensi
yang terdiri atas: a. mengenal Tuhan Yang Maha Esa melalui sifat-sifatNya, memahami
ajaran pokok agama/kepercayaan, melaksanakan ibadah dengan bimbingan, bersikap jujur,
menunjukkan perilaku hidup sehat dan bersih, menyayangi dirinya, sesama manusia serta
alam sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, serta taat pada aturan; b. mengenal dan
mengekspresikan identitas diri dan budayanya, mengenal dan menghargai keragaman budaya
di lingkungannya, melakukan interaksi antarbudaya, dan mengklarifikasi prasangka dan
stereotip, serta berpartisipasi untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia; c.
menunjukkan sikap peduli dan perilaku berbagi serta berkolaborasi antarsesama dengan
bimbingan di lingkungan sekitar; - 8 - jdih.kemdikbud.go.id d. menunjukkan sikap
bertanggung jawab sederhana, kemampuan mengelola pikiran dan perasaan, serta tak
bergantung pada orang lain dalam pembelajaran dan pengembangan diri; e. menunjukkan
kemampuan menyampaikan gagasan, membuat tindakan atau karya kreatif sederhana, dan
mencari alternatif tindakan untuk menghadapi tantangan, termasuk melalui kearifan lokal; f.
menunjukkan kemampuan menanya, menjelaskan dan menyampaikan kembali informasi
yang didapat atau masalah yang dihadapi; g. menunjukkan kemampuan dan kegemaran
berliterasi berupa mencari dan menemukan teks, menyampaikan tanggapan atas bacaannya,
dan mampu menulis pengalaman dan perasaan sendiri; dan h. menunjukkan kemampuan
numerasi dalam bernalar menggunakan konsep, prosedur, fakta dan alat matematika untuk
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan diri dan lingkungan terdekat. Pasal 7 Standar
Kompetensi Lulusan pada sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah/sekolah
menengah pertama luar biasa/paket B/bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dirumuskan secara terpadu dalam bentuk deskripsi kompetensi
yang terdiri atas: a. mencintai Tuhan Yang Maha Esa dan memahami kehadiran Tuhan Yang
Maha Esa dalam kehidupan seharihari, memahami ajaran agama, melaksanakan ibadah secara
rutin dan mandiri sesuai dengan tuntunan agama/kepercayaan, berani menyatakan kebenaran,
menyayangi dirinya, menyadari pentingnya keseimbangan kesehatan jasmani, mental dan
rohani, menghargai sesama manusia, berinisiatif menjaga alam, serta memahami kewajiban
dan hak sebagai warga negara; - 9 - jdih.kemdikbud.go.id b. mengekspresikan dan bangga
terhadap identitas diri dan budayanya, menghargai keragaman masyarakat dan budaya
nasional, terbiasa melakukan interaksi antar budaya, menolak stereotip dan diskriminasi, serta
berpartisipasi aktif untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. menunjukkan
perilaku terbiasa peduli dan berbagi, serta kemampuan berkolaborasi lintas kalangan di
lingkungan terdekat dan lingkungan sekitar; d. terbiasa bertanggung jawab, melakukan
refleksi, berinisiatif dan merancang strategi untuk pembelajaran dan pengembangan diri, serta
mampu beradaptasi dan menjaga komitmen untuk meraih tujuan; e. menunjukkan
kemampuan menyampaikan gagasan orisinal, membuat tindakan atau karya kreatif sesuai
kapasitasnya, dan terbiasa mencari alternatif tindakan dalam menghadapi tantangan; f.
menunjukkan kemampuan mengidentifikasi informasi yang relevan atau masalah yang
dihadapi, menganalisis, memprioritaskan informasi yang paling relevan atau alternatif solusi
yang paling tepat; g. menunjukkan kemampuan dan kegemaran berliterasi berupa
menginterpretasikan dan mengintegrasikan teks, untuk menghasilkan inferensi sederhana,
menyampaikan tanggapan atas informasi, dan mampu menulis pengalaman dan pemikiran
dengan konsep sederhana; dan h. menunjukkan kemampuan numerasi dalam bernalar
menggunakan konsep, prosedur, fakta dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah
yang berkaitan dengan diri, lingkungan terdekat, dan masyarakat sekitar. - 10 -
jdih.kemdikbud.go.id BAB V STANDAR KOMPETENSI LULUSAN PADA JENJANG
PENDIDIKAN MENENGAH Pasal 8 Standar Kompetensi Lulusan pada Jenjang Pendidikan
menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c terdiri atas: a. Standar
Kompetensi Lulusan pada satuan pendidikan Jenjang Pendidikan menengah umum; dan b.
Standar Kompetensi Lulusan pada satuan pendidikan Jenjang Pendidikan menengah
kejuruan. Pasal 9 (1) Standar Kompetensi Lulusan pada satuan pendidikan Jenjang
Pendidikan menengah umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a difokuskan pada:
a. persiapan Peserta Didik menjadi anggota masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia; b. penanaman karakter yang sesuai dengan
nilai-nilai Pancasila; dan c. pengetahuan untuk meningkatkan kompetensi Peserta Didik agar
dapat hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. (2) Standar Kompetensi Lulusan
pada Jenjang Pendidikan menengah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
Standar Kompetensi Lulusan pada sekolah menengah atas/madrasah aliyah/sekolah
menengah atas luar biasa/paket C/bentuk lain yang sederajat. (3) Standar Kompetensi
Lulusan pada sekolah menengah atas/madrasah aliyah/sekolah menengah atas luar biasa/
paket C/bentuk lain yang sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirumuskan secara
terpadu dalam bentuk deskripsi kompetensi yang terdiri atas: - 11 - jdih.kemdikbud.go.id a.
menyayangi dirinya, menghargai sesama dan melestarikan alam semesta sebagai wujud cinta
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan sikap religius dan spiritualitas sesuai ajaran
agama/kepercayaan yang dianut, memahami sepenuhnya ajaran agama secara utuh, rutin
melaksanakan ibadah dengan penghayatan, menegakkan (mengedepankan) integritas dan
kejujuran, pembelaan pada kebenaran, pelestarian alam, menyeimbangkan kesehatan jasmani,
mental, dan rohani, serta pemenuhan kewajiban dan hak sebagai warga negara; b.
mengekspresikan dan bangga terhadap identitas diri dan budayanya, menghargai dan
menempatkan keragaman masyarakat dan budaya nasional dan global secara setara dan adil,
aktif melakukan interaksi antarbudaya, menolak stereotip dan diskriminasi, serta berinisiatif
untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. menunjukkan sikap aktif mendorong
perilaku peduli dan berbagi, serta kemampuan berkolaborasi lintas kalangan di lingkungan
terdekat, lingkungan sekitar, dan masyarakat luas; d. menunjukkan perilaku bertanggung
jawab, melakukan refleksi, berinisiatif dan merancang strategi untuk pembelajaran dan
pengembangan diri, serta terbiasa beradaptasi dan menjaga komitmen untuk meraih tujuan; e.
menunjukkan perilaku berbudaya dengan menyampaikan gagasan orisinal, membuat tindakan
dan karya kreatif yang terdokumentasikan, serta senantiasa mencari alternatif solusi masalah
di lingkungannya; - 12 - jdih.kemdikbud.go.id f. menunjukkan kemampuan menganalisis
permasalahan dan gagasan yang kompleks, menyimpulkan hasilnya dan menyampaikan
argumen yang mendukung pemikirannya berdasarkan data yang akurat; g. menunjukkan
kemampuan dan kegemaran berliterasi berupa mengevaluasi dan merefleksikan teks untuk
menghasilkan inferensi kompleks, menyampaikan tanggapan atas informasi, serta menulis
ekspositori maupun naratif dengan berbagai sudut pandang; dan h. menunjukkan kemampuan
numerasi dalam bernalar menggunakan konsep, prosedur, fakta dan alat matematika untuk
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan diri, lingkungan terdekat, masyarakat sekitar,
dan masyarakat global. Pasal 10 (1) Standar Kompetensi Lulusan pada satuan pendidikan
Jenjang Pendidikan menengah kejuruan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
difokuskan pada: a. persiapan Peserta Didik menjadi anggota masyarakat yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia; b. penanaman karakter yang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan c. keterampilan untuk meningkatkan kompetensi
Peserta Didik agar dapat hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
kejuruannya. (2) Standar Kompetensi Lulusan pada satuan pendidikan Jenjang Pendidikan
menengah kejuruan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Standar Kompetensi
Lulusan pada sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan/bentuk lain yang
sederajat. - 13 - jdih.kemdikbud.go.id (3) Standar Kompetensi Lulusan pada sekolah
menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan/bentuk lain yang sederajat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dirumuskan secara terpadu dalam bentuk deskripsi kompetensi yang
terdiri atas: a. menyayangi dirinya, menghargai sesama dan melestarikan alam semesta
sebagai wujud cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan sikap religius dan
spiritualitas sesuai ajaran agama/kepercayaan yang dianut, memahami sepenuhnya ajaran
agama secara utuh, rutin melaksanakan ibadah dengan penghayatan, menegakkan
(mengedepankan) integritas dan kejujuran, pembelaan pada kebenaran, pelestarian alam,
menyeimbangkan kesehatan jasmani, mental, dan rohani, serta pemenuhan kewajiban dan
hak sebagai warga negara; b. mengekspresikan dan bangga terhadap identitas diri dan
budayanya, menghargai dan menempatkan keragaman masyarakat dan budaya nasional dan
global secara setara dan adil, aktif melakukan interaksi antarbudaya, menolak stereotip dan
diskriminasi, serta berinisiatif untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia; c.
menunjukkan sikap aktif mendorong perilaku peduli dan berbagi, serta kemampuan
berkolaborasi lintas kalangan di lingkungan terdekat, lingkungan sekitar, dan masyarakat
luas; d. menunjukkan perilaku bertanggung jawab, melakukan refleksi, berinisiatif dan
merancang strategi untuk pembelajaran dan pengembangan diri, serta terbiasa beradaptasi
dan menjaga komitmen untuk meraih tujuan; - 14 - jdih.kemdikbud.go.id e. menunjukkan
perilaku berbudaya dengan menyampaikan gagasan orisinal, membuat tindakan dan karya
kreatif yang terdokumentasikan, serta senantiasa mencari alternatif solusi masalah di
lingkungannya; f. menunjukkan kemampuan menganalisis permasalahan dan gagasan yang
kompleks, menyimpulkan hasilnya dan menyampaikan argumen yang mendukung
pemikirannya berdasarkan data yang akurat; g. menunjukkan kemampuan dan kegemaran
berliterasi berupa menganalisis teks untuk menghasilkan inferensi, menyampaikan tanggapan
atas informasi, serta menulis ekspositori maupun naratif yang relevan dengan bidang
kejuruannya; h. menggunakan konsep, prosedur, fakta dan alat matematika untuk
menyelesaikan masalah praktis yang relevan dengan bidang kejuruannya; dan i. menunjukkan
kemampuan keahlian sesuai dengan kejuruannya untuk menguatkan kemandirian serta
kesiapan memasuki dunia kerja. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 11 Pada saat
Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. ketentuan mengenai Standar Tingkat Pencapaian
Perkembangan Anak dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137
Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1668); b. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan
Menengah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 953); dan - 15 -
jdih.kemdikbud.go.id c. ketentuan mengenai Standar Kompetensi Lulusan dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 34 Tahun 2018 tentang Standar Nasional
Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1689), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal
12 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan

Dasar Hukum dan Pengertian Standar Isi


DASAR HUKUM

1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4916);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 87, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6676) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2022 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6762);

5. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2021 tentang Kementerian Pendidikan,


Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 156);

6. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 28 Tahun


2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 963);

PENGERTIAN STANDAR ISI

Menurut Permendikbudristek No 7 tahun 2022, Standar Isi adalah kriteria minimal yang
mencakup ruang lingkup materi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan tertentu.

Standar Isi dikembangkan melalui perumusan ruang lingkup materi yang sesuai dengan
kompetensi lulusan. Ruang lingkup materi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
merupakan bahan kajian dalam muatan pembelajaran.

Ruang lingkup materi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan berdasarkan:
· muatan wajib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

· konsep keilmuan; dan

· jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Muatan wajib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan muatan wajib yang dimuat dalam kurikulum
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang meliputi:

a. pendidikan agama;

b. pendidikan Pancasila;

c. pendidikan kewarganegaraan;

d. bahasa;

e. matematika

f. ilmu pengetahuan alam;

g. ilmu pengetahuan sosial;

h. seni dan budaya;

i. pendidikan jasmani dan olahraga;

j. keterampilan/kejuruan; dan

k. muatan lokal.

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: ketentuan mengenai Standar Isi dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar
Nasional Pendidikan Anak Usia Dini (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 1668); Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016
tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 954); dan ketentuan mengenai Standar Isi dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 34 Tahun 2018 tentang Standar Nasional
Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1689), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Ruang Lingkup Materi Bahasa Indonesia pada


Pendidikan Dasar (Menengah Pertama)
RUANG LINGKUP MATERI JENJANG PENDIDIKAN DASAR

Latar Belakang

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional
Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang
Standar Nasional Pendidikan, Standar Isi dikembangkan untuk menentukan kriteria
ruang lingkup materi yang sesuai dengan kompetensi lulusan yang telah dirumuskan
pada standar kompetensi lulusan.

Penyusunan Standar Isi dilakukan dengan merumuskan ruang lingkup materi


pembelajaran yang sesuai untuk mengembangkan kompetensi Peserta Didik sesuai
standar kompetensi lulusan, melakukan penyesuaian dengan kemajuan pembelajaran
(learning progression) Peserta Didik pada setiap jenjang, merumuskan ruang lingkup
materi pembelajaran yang memberikan fleksibilitas kepada pendidik untuk memfasilitasi
Peserta Didik mengembangkan kompetensinya, serta mengadopsi prinsip diferensiasi
dalam mengembangkan ruang lingkup materi pembelajaran.

Pengembangan Standar Isi mengacu pada standar kompetensi lulusan pada satuan
pendidikan jenjang Pendidikan Dasar yang difokuskan pada:

1. persiapan Peserta Didik menjadi anggota masyarakat yang beriman dan


bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia;

2. penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan

3. penumbuhan kompetensi literasi dan numerasi Peserta Didik untuk mengikuti


pendidikan lebih lanjut.

Standar Isi ini mencakup ruang lingkup materi Pendidikan Dasar pada jalur pendidikan
formal dan nonformal. Standar Isi sekolah dasar luar biasa/paket A/bentuk lain yang
sederajat sama dengan Standar Isi sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dan Standar Isi
sekolah menengah pertama luar biasa/paket B/bentuk lain yang sederajat sama dengan
Standar Isi sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah.

Standar Isi pada program Pendidikan Kesetaraan selain berisi muatan wajib sesuai
jenjangnya, juga diperkaya dengan ruang lingkup materi pemberdayaan dan
keterampilan. Ruang lingkup materi pemberdayaan diarahkan untuk menumbuhkan
kesadaran, harga diri, kepercayaan diri, partisipasi aktif, dan akses terhadap pengambilan
keputusan sehingga Peserta Didik mampu berkreasi, berkarya, serta mengembangkan
kemandirian dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat. Ruang lingkup materi
pada Standar Isi dikemas untuk memperkuat pengembangan diri, pengembangan
kapasitas, dan penguatan sosial ekonomi. Ruang lingkup materi keterampilan
dikembangkan dengan memperhatikan ragam potensi sumber daya alam dan sosial
budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau kesempatan bekerja
dan berusaha.

Standar Isi pada pendidikan khusus, selain berisi muatan wajib sesuai jenjangnya, juga
ditambah dengan ruang lingkup materi program kebutuhan khusus dan keterampilan.
Peserta Didik berkebutuhan khusus dapat mengikuti Standar Isi, dengan memperhatikan
profil Peserta Didik berkebutuhan khusus.

Ruang Lingkup Materi Pada Sekolah Menengah Pertama

4. Bahasa

a. Bahasa Indonesia

1) strategi menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan


serta menulis tingkat sedang/semenjana;

2) strategi berbahasa secara santun untuk menghormati orang lain dan/atau


menghindari konflik sesuai konteks sosial budaya;

3) bentuk, ciri, dan akurasi informasi dalam teks informasi yang netral, ramah
gender, dan/atau ramah keberagaman;

4) bentuk, ciri, dan elemen estetika dalam teks fiksi yang netral, ramah gender,
dan/atau ramah keberagaman;

5) kaidah bahasa Indonesia yang membentuk teks;

6) struktur sastra dalam teks sastra;

7) penanda kebahasaan dalam teks;

8) aspek nonverbal dalam teks; dan

9) struktur dan kohesi teks dalam wujud lisan, tulis, visual, dan multimodal yang
disajikan melalui media cetak, elektronik, dan/atau digital.

Ruang Lingkup Standar Isi Bahasa Indonesia pada


Pendidikan Menengah Umum dan Kejuruan
RUANG LINGKUP MATERI JENJANG PENDIDIKAN MENENGAH

A. Latar Belakang
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional
Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang
Standar Nasional Pendidikan, Standar Isi dikembangkan untuk menentukan kriteria
ruang lingkup materi yang sesuai dengan kompetensi lulusan yang telah dirumuskan
pada standar kompetensi lulusan.

Penyusunan Standar Isi dilakukan dengan merumuskan ruang lingkup materi


pembelajaran yang sesuai untuk mengembangkan kompetensi Peserta Didik sesuai
standar kompetensi lulusan, melakukan penyesuaian dengan kemajuan pembelajaran
(learning progression) Peserta Didik pada setiap jenjang, merumuskan ruang lingkup
materi pembelajaran yang memberikan fleksibilitas kepada pendidik untuk memfasilitasi
Peserta Didik mengembangkan kompetensinya, serta mengadopsi prinsip diferensiasi
dalam mengembangkan ruang lingkup materi pembelajaran.

Pengembangan Standar Isi mengacu pada standar kompetensi lulusan pada satuan
Jenjang Pendidikan Menengah umum difokuskan pada:

1. persiapan Peserta Didik menjadi anggota masyarakat yang beriman dan


bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia;

2. penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan

3. pengetahuan untuk meningkatkan kompetensi Peserta Didik agar dapat hidup


mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

Standar Isi mencakup ruang lingkup materi Pendidikan Menengah pada jalur pendidikan
formal dan nonformal. Standar Isi sekolah menengah atas luar biasa/paket C/bentuk lain
yang sederajat sama dengan Standar Isi sekolah menengah atas/madrasah aliyah.

Standar Isi pada program Pendidikan Kesetaraan selain berisi muatan wajib sesuai
jenjangnya, juga diperkaya dengan ruang lingkup materi pemberdayaan dan
keterampilan. Ruang lingkup materi pemberdayaan diarahkan untuk menumbuhkan
kesadaran, harga diri, kepercayaan diri, partisipasi aktif, dan akses terhadap pengambilan
keputusan sehingga Peserta Didik mampu berkreasi, berkarya, serta mengembangkan
kemandirian dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat. Ruang lingkup materi
pada Standar Isi dikemas untuk memperkuat pengembangan diri, pengembangan
kapasitas, dan penguatan sosial ekonomi. Ruang lingkup materi keterampilan
dikembangkan dengan memperhatikan ragam potensi sumber daya alam dan sosial
budaya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau kesempatan bekerja
dan berusaha.

Standar Isi pada pendidikan khusus, selain berisi muatan wajib sesuai jenjangnya, juga
ditambah dengan ruang lingkup materi program kebutuhan khusus dan keterampilan.
Peserta Didik berkebutuhan khusus dapat mengikuti Standar Isi, dengan memperhatikan
profil Peserta Didik berkebutuhan khusus.
Adapun standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan Jenjang Pendidikan
Menengah kejuruan difokuskan pada:

1. persiapan Peserta Didik menjadi anggota masyarakat yang beriman dan


bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia;

2. penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila; dan

3. keterampilan untuk meningkatkan kompetensi Peserta Didik agar dapat hidup


mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

Standar Isi dikembangkan pada satuan pendidikan Jenjang Pendidikan Menengah


kejuruan berdasarkan analisis kebutuhan materi yang dibutuhkan untuk mewujudkan
kompetensi yang tertuang dalam standar kompetensi lulusan. Standar Isi ini
diorganisasikan berdasarkan bidang keahlian dan program keahlian. Secara umum,
Standar Isi ini terdiri atas bagian umum dan bagian kejuruan. Muatan umum untuk
semua bidang keahlian adalah sama dan dikembangkan setara dengan sekolah
menengah atas, sedangkan muatan kejuruan secara umum bersifat spesifik untuk
masing-masing program keahlian pada bidang keahlian tertentu. Kompetensi kejuruan
terdiri dari kemampuan teknis (hard skills), keterampilan nonteknis (soft skills) dan
kewirausahaan. Kemampuan teknis terdiri kemampuan teknik dasar dan kemampuan
spesifik. Khusus untuk kelompok muatan kejuruan dicapai melalui satuan kompetensi
yang mengacu pada skema sertifikasi kompetensi dan/atau peta okupasi nasional dalam
Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).

Ruang lingkup materi muatan kejuruan dianalisis berdasarkan kebutuhan kompetensi


pada setiap program keahlian, dan diorganisir berdasarkan kesamaan jenis materi.
Materi-materi yang dibutuhkan oleh semua konsentrasi keahlian dalam program
keahlian tertentu dikelompokkan dalam materi umum, sedangkan materi yang hanya
dibutuhkan oleh konsentrasi keahlian tertentu dikelompokkan dalam materi khusus.
Cakupan muatan Standar Isi disajikan memuat 10 (sepuluh) bidang keahlian, yang terdiri
50 (lima puluh) program keahlian.

Ruang Lingkup Materi untuk Jenjang Pendidikan Menengah

a. Bahasa Indonesia

1) strategi menyimak, membaca dan memirsa, berbicara dan mempresentasikan,


serta menulis tingkat madya;

2) strategi berbahasa secara santun untuk menghormati orang lain dan/atau


menghindari konflik dalam teks kompleks sesuai konteks sosial budaya;

3) bentuk, ciri, akurasi informasi, dan bias informasi dalam teks-informasi


kompleks yang netral, ramah gender, dan/atau ramah keberagaman;
4) bentuk, ciri, dan elemen estetika dalam teks-fiksi kompleks yang netral, ramah
gender, dan/atau ramah keberagaman;

5) kaidah bahasa Indonesia yang membentuk teks kompleks;

6) struktur sastra dalam teks-sastra kompleks;

7) penanda kebahasaan dalam teks kompleks;

8) aspek nonverbal dalam teks kompleks; dan

9) struktur dan kohesi teks kompleks dalam wujud lisan, tulis, visual, dan
multimodal yang disajikan melalui media cetak, elektronik, dan/atau digital.

Dasar Hukum dan Pengertian Standar Proses Pendidikan


DASAR HUKUM

1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4916);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 87, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6676) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2022 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6762);

5. Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2021 tentang Kementerian Pendidikan,


Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 156);

6. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 28 Tahun


2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 963);

Pengertian Standar Proses


Menurut Permendikbudristek No 16 tahun 2022, Standar Proses adalah kriteria minimal
proses pembelajaran berdasarkan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan untuk mencapai
standar kompetensi lulusan. Standar Proses digunakan sebagai pedoman dalam
melaksanakan proses pembelajaran yang efektif dan efisien untuk mengembangkan
potensi, prakarsa, kemampuan, dan kemandirian Peserta Didik secara optimal. Standar
Proses sebagaimana dimaksud meliputi:

a) perencanaan pembelajaran;

b) pelaksanaan pembelajaran;

c) penilaian proses pembelajaran.

A. Perencanaan Pembelajaran
Perencanaan pembelajaran merupakan aktivitas untuk merumuskan:

a) capaian pembelajaran yang menjadi tujuan belajar dari suatu unit pembelajaran;

b) cara untuk mencapai tujuan belajar; dan

c) cara menilai ketercapaian tujuan belajar.

Perencanaan pembelajaran dilakukan oleh Pendidik. Perencanaan pembelajaran disusun


dalam bentuk dokumen perencanaan pembelajaran yang: a. fleksibel; b. jelas; dan c.
sederhana.

Dokumen perencanaan pembelajaran yang fleksibel merupakan dokumen yang tidak


terikat pada bentuk tertentu dan dapat disesuaikan dengan konteks pembelajaran.
Dokumen perencanaan pembelajaran yang jelas merupakan dokumen yang mudah
dipahami. Dokumen perencanaan pembelajaran yang sederhana merupakan dokumen
yang berisi hal pokok dan penting sebagai acuan pelaksanaan pembelajaran.

Dokumen perencanaan pembelajaran paling sedikit memuat: a. tujuan pembelajaran; b.


langkah atau kegiatan pembelajaran; dan c. penilaian atau asesmen pembelajaran.

Capaian pembelajaran yang menjadi tujuan belajar dari suatu unit


pembelajaran merupakan sekumpulan kompetensi dan lingkup materi pembelajaran
yang sesuai dengan kurikulum Satuan Pendidikan. Kurikulum Satuan Pendidikan disusun
berdasarkan: a. kerangka dasar dan struktur kurikulum yang ditetapkan secara nasional;
dan b. visi, misi, dan karakteristik Satuan Pendidikan. Kurikulum Satuan Pendidikan
disusun dengan melibatkan Peserta Didik dan/atau orang tua/wali Peserta Didik. Selain
melibatkan Peserta Didik dan/atau orang tua/wali Peserta Didik), penyusunan kurikulum
Satuan Pendidikan pada: a. pendidikan menengah kejuruan, juga melibatkan dunia kerja;
dan b. pendidikan khusus, juga melibatkan ahli yang relevan.
Capaian pembelajaran yang menjadi tujuan belajar dari suatu unit pembelajaran,
dirumuskan dengan mempertimbangkan karakteristik Peserta Didik dan sumber daya
Satuan Pendidikan. Selain mempertimbangkan karakteristik Peserta Didik dan sumber
daya Satuan Pendidikan, perumusan capaian pembelajaran pada pendidikan menengah
kejuruan juga mempertimbangkan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Perumusan capaian pembelajaran yang menjadi tujuan belajar pada pendidikan
menengah kejuruan dituangkan dalam bentuk kompetensi yang mengacu pada jenjang
kualifikasi keahlian tertentu atau sesuai kebutuhan hidup mandiri. Perumusan capaian
pembelajaran yang menjadi tujuan belajar pada pendidikan khusus ditujukan untuk: a.
optimalisasi potensi, bakat, minat, dan kesiapan kerja; b. pembentukan kemandirian;
dan/atau c. penguasaan keterampilan hidup, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
Peserta Didik.

Cara untuk mencapai tujuan belajar dilakukan melalui strategi pembelajaran yang
dirancang untuk memberi pengalaman belajar yang berkualitas. Strategi pembelajaran
yang dirancang untuk memberi pengalaman belajar yang berkualitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan: a. memberi kesempatan untuk
menerapkan materi pada problem atau konteks nyata; b. mendorong interaksi dan
partisipasi aktif Peserta Didik; c. mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang
tersedia di lingkungan Satuan Pendidikan dan/atau di lingkungan masyarakat; dan/atau
d. menggunakan perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Strategi pembelajaran
yang dirancang untuk memberi pengalaman belajar yang berkualitas dilaksanakan
dengan memperhatikan karakteristik Peserta Didik, yang mencakup: a. usia dan tingkat
perkembangan; b. tingkat kemampuan sebelumnya; c. kondisi fisik dan psikologis; dan d.
latar belakang keluarga Peserta Didik. Pelaksanaan strategi pembelajaran dapat bersifat
lintas mata pelajaran dan/atau lintas tingkatan kelas.

Cara menilai ketercapaian tujuan belajar dilakukan oleh Pendidik dengan


menggunakan beragam teknik dan/atau instrumen penilaian yang sesuai dengan tujuan
belajar. Cara menilai ketercapaian tujuan belajar mengacu pada standar penilaian
pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran diselenggarakan dalam suasana belajar yang:

a. interaktif;

b. inspiratif;

c. menyenangkan;

d. menantang;

e. memotivasi Peserta Didik untuk berpartisipasi aktif; dan


f. memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik.

Pelaksanaan pembelajaran dilakukan oleh Pendidik dengan memberikan: a. keteladanan;


b. pendampingan; dan c. fasilitasi.

Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang dirancang untuk memfasilitasi


interaksi yang sistematis dan produktif antara Pendidik dengan Peserta Didik, sesama
Peserta Didik, dan antara Peserta Didik dengan materi belajar.

Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang interaktif paling sedikit


dilakukan dengan cara: a. berinteraksi secara dialogis antara Pendidik dengan Peserta
Didik, serta sesama Peserta Didik; b. berinteraksi secara aktif dengan lingkungan belajar;
dan c. berkolaborasi untuk menumbuhkan jiwa gotong royong. Dalam melaksanakan
pembelajaran, Pendidik berperan sebagai fasilitator proses pembelajaran dan tidak
menjadi satusatunya sumber pembelajaran.

Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang inspiratif dirancang untuk


memberi keteladanan dan menjadi sumber inspirasi positif bagi Peserta Didik.
Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang inspiratif paling sedikit dilakukan
dengan cara: a. menciptakan suasana belajar yang dapat memantik ide, mendorong daya
imajinasi, dan mengeksplorasi hal baru; dan b. memfasilitasi Peserta Didik dengan
berbagai sumber belajar untuk memperkaya wawasan dan pengalaman belajar.

Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang menyenangkan dirancang


agar Peserta Didik mengalami proses belajar sebagai pengalaman yang menimbulkan
emosi positif. Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang menyenangkan
paling sedikit dilakukan dengan cara: a. menciptakan suasana belajar yang gembira,
menarik, aman, dan bebas dari perundungan; b. menggunakan berbagai variasi metode
dengan mempertimbangkan aspirasi dari Peserta Didik, serta tidak terbatas hanya di
dalam kelas; dan c. mengakomodasi keberagaman gender, budaya, bahasa daerah
setempat, agama atau kepercayaan, karakteristik, dan kebutuhan setiap Peserta Didik.

Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang menantang dirancang untuk


mendorong Peserta Didik terus meningkatkan kompetensinya melalui tugas dan aktivitas
dengan tingkat kesulitan yang tepat. Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar
yang menantang paling sedikit dilakukan dengan cara: a. menggunakan materi dan
kegiatan belajar sesuai dengan kemampuan dan tahapan perkembangan Peserta Didik;
dan b. memfasilitasi Peserta Didik untuk percaya potensi yang dimilikinya dapat
ditingkatkan.

Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang memotivasi Peserta


Didik untuk berpartisipasi aktif paling sedikit dilakukan dengan cara: a. membangun
suasana belajar yang memberikan kesempatan kepada Peserta Didik untuk berani
mengemukakan pendapat dan bereksperimen; dan b. melibatkan Peserta Didik dalam
menyusun rencana belajar, menetapkan target individu dan/atau kelompok, dan turut
memonitor pencapaian hasil belajar.

Pelaksanaan pembelajaran dalam suasana belajar yang memberikan ruang yang


cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik paling sedikit dilakukan dengan
cara: a. memberi kesempatan bagi Peserta Didik untuk mengembangkan dan
mengomunikasikan gagasan baru; b. membiasakan Peserta Didik untuk mampu
mengatur dirinya dalam proses belajar; c. menciptakan suasana pembelajaran yang
memberikan kesempatan bagi Peserta Didik untuk mengaktualisasikan diri; dan d.
mengapresiasi bakat, minat, dan kemampuan yang dimiliki oleh Peserta Didik.

Pelaksanaan pembelajaran dengan memberikan keteladanan dilakukan dengan


berperilaku luhur pada kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan pembelajaran dengan
memberikan pendampingan dilakukan dengan memberi tantangan, dukungan, dan
bimbingan bagi Peserta Didik dalam proses belajar. Pelaksanaan pembelajaran dengan
memberikan fasilitasi dilakukan dengan memberikan akses dan kesempatan belajar bagi
Peserta Didik sesuai dengan kebutuhan. Pelaksanaan pembelajaran pada: a. pendidikan
menengah kejuruan dilakukan dengan memberi pengalaman nyata melalui praktik kerja
lapangan; dan b. pendidikan khusus untuk jenjang pendidikan menengah dilakukan
dengan memberi pengalaman nyata melalui program magang.

C. Penilaian Proses Pembelajaran


Penilaian proses merupakan asesmen terhadap perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran. Penilaian proses pembelajaran dilakukan oleh Pendidik yang
bersangkutan. Asesmen terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran)
dilakukan setelah pelaksanaan pembelajaran paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
semester. Asesmen terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran dilakukan
dengan cara: a. refleksi diri terhadap pelaksanaan perencanaan dan proses
pembelajaran; dan b. refleksi diri terhadap hasil asesmen yang dilakukan oleh sesama
Pendidik, kepala Satuan Pendidikan, dan/atau Peserta Didik.

Selain dilaksanakan oleh Pendidik yang bersangkutan, penilaian proses pembelajaran


dapat dilaksanakan oleh: a. sesama Pendidik; b. kepala Satuan Pendidikan; dan/atau c.
Peserta Didik.

Penilaian oleh sesama Pendidik merupakan asesmen oleh sesama pendidik atas
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh Pendidik yang
bersangkutan. Penilaian bertujuan membangun budaya saling belajar, kerja sama, dan
saling mendukung. Asesmen oleh sesama pendidik atas perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) semester. Asesmen
oleh sesama pendidik atas perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran paling sedikit
dilakukan dengan cara: a. berdiskusi mengenai proses perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran; b. mengamati proses pelaksanaan pembelajaran; dan/atau c. melakukan
refleksi terhadap perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran.

Penilaian oleh kepala Satuan Pendidikan merupakan asesmen oleh kepala Satuan
Pendidikan atas perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh
Pendidik. Penilaian bertujuan untuk: a. membangun budaya reflektif; dan b. memberi
umpan balik yang konstruktif. Membangun budaya reflektif merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh kepala Satuan Pendidikan untuk mendorong terjadinya refleksi atas
proses pembelajaran secara terus-menerus dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari proses pembelajaran itu sendiri. Memberi umpan balik yang konstruktif merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh kepala Satuan Pendidikan untuk memberikan masukan,
saran, dan keteladanan kepada Pendidik untuk peningkatan kualitas pembelajaran.

Penilaian oleh Peserta Didik merupakan asesmen oleh Peserta Didik yang diajar langsung
oleh Pendidik yang bersangkutan atas pelaksanaan pembelajaran yang dilakukannya.
Penilaian oleh Peserta Didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a.
membangun kemandirian dan tanggung jawab dalam proses pembelajaran dan
kehidupan sehari-hari; b. membangun budaya transparansi, objektivitas, saling
menghargai, dan mengapresiasi keragaman pendapat dalam menilai proses
pembelajaran; c. membangun suasana pembelajaran yang partisipatif dan untuk
memberi umpan balik kepada Pendidik dan Peserta Didik; dan d. melatih Peserta Didik
untuk mampu berpikir kritis. Asesmen oleh peserta didik atas pelaksanaan pembelajaran
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) semester. Asesmen oleh peserta didik atas
pelaksanaan pembelajaran paling sedikit dilakukan dengan cara melakukan refleksi
terhadap pelaksanaan pembelajaran.

Standar Penilaian Menurut Permendikbud No 21 Tahun


2022
Standar Penilaian Pendidikan adalah kriteria minimal mengenai mekanisme penilaian
hasil belajar peserta didik. Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan
informasi untuk mengetahui kebutuhan belajar dan capaian perkembangan atau hasil
belajar peserta didik. Penilaian hasil belajar Peserta Didik dilakukan sesuai dengan tujuan
Penilaian secara berkeadilan, objektif, dan edukatif. Penilaian hasil belajar secara
berkeadilan merupakan Penilaian yang tidak bias oleh latar belakang, identitas, atau
kebutuhan khusus Peserta Didik. Penilaian hasil belajar secara objektif merupakan
Penilaian yang didasarkan pada informasi faktual atas pencapaian perkembangan atau
hasil belajar Peserta Didik. Penilaian hasil belajar secara edukatif merupakan Penilaian
yang hasilnya digunakan sebagai umpan balik bagi Pendidik, Peserta Didik, dan orang
tua untuk meningkatkan proses pembelajaran dan hasil belajar.

Prosedur Penilaian hasil belajar Peserta Didik meliputi:

a. perumusan tujuan Penilaian;


b. pemilihan dan/atau pengembangan instrumen Penilaian;

c. pelaksanaan Penilaian;

d. pengolahan hasil Penilaian; dan

e. pelaporan hasil Penilaian.

Prosedur Penilaian hasil belajar disesuaikan dengan karakteristik jalur, jenjang, dan jenis
Satuan Pendidikan. Perumusan tujuan Penilaian memperhatikan keselarasan dengan
tujuan pembelajaran yang merujuk pada kurikulum yang digunakan Satuan Pendidikan.
Hasil perumusan tujuan Penilaian dimuat dalam perencanaan pembelajaran. Pemilihan
dan/atau pengembangan instrumen Penilaian dilaksanakan oleh Pendidik dengan:

a. mempertimbangkan karakteristik kebutuhan Peserta Didik; dan

b. berdasarkan rencana Penilaian yang termuat dalam perencanaan pembelajaran.

Pelaksanaan Penilaian dapat dilakukan sebelum, pada saat, dan/atau setelah


pembelajaran. Pengolahan hasil Penilaian dilakukan dengan menganalisis secara
kuantitatif dan/atau kualitatif terhadap data hasil pelaksanaan Penilaian yang berupa
angka dan/atau deskripsi. Pelaporan hasil Penilaian dituangkan dalam bentuk laporan
kemajuan belajar. Laporan kemajuan belajar berupa laporan hasil belajar yang disusun
berdasarkan pengolahan hasil Penilaian. laporan hasil belajar untuk pendidikan anak usia
dini juga memuat informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain
memuat informasi laporan hasil belajar untuk pendidikan anak usia dini juga memuat
informasi mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak. Laporan hasil belajar
tertuang dalam rapor atau bentuk laporan hasil Penilaian lainnya.

Penilaian hasil belajar Peserta Didik dengan prosedur, berbentuk:

a. Penilaian formatif; dan

b. Penilaian sumatif

Penilaian formatif dilaksanakan pada pendidikan anak usia dini, jenjang pendidikan
dasar, dan jenjang pendidikan menengah. Penilaian sumatif dilaksanakan pada jenjang
pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah. Penilaian formatif bertujuan untuk
memantau dan memperbaiki proses pembelajaran serta mengevaluasi pencapaian
tujuan pembelajaran. Penilaian formatif dilakukan dengan mengumpulkan informasi
mengenai:

a. Peserta Didik yang mengalami hambatan atau kesulitan belajar; dan

b. perkembangan belajar Peserta Didik.


Informasi digunakan sebagai umpan balik bagi:

a. Peserta Didik untuk mengembangkan kemampuan dalam memonitor proses dan


kemajuan belajar sebagai bagian dari keterampilan belajar sepanjang hayat; dan

b. kelulusan dari Satuan Pendidikan.

Penilaian pencapaian hasil belajar Peserta Didik dilakukan dengan membandingkan


pencapaian hasil belajar Peserta Didik dengan kriteria ketercapaian tujuan
pembelajaran. Penentuan kenaikan kelas dilakukan dengan mempertimbangkan laporan
kemajuan belajar yang mencerminkan pencapaian Peserta Didik pada semua mata
pelajaran dan ekstrakurikuler serta prestasi lain selama 1 (satu) tahun ajaran. Penentuan
kelulusan dari Satuan Pendidikan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan
mempertimbangkan laporan kemajuan belajar yang mencerminkan pencapaian Peserta
Didik pada semua mata pelajaran dan ekstrakurikuler serta prestasi lain pada:

a. kelas V dan kelas VI untuk sekolah dasar atau bentuk lain yang sederajat; dan

b. setiap tingkatan kelas untuk sekolah menengah pertama atau bentuk lain yang
sederajat dan sekolah menengah atas atau bentuk lain yang sederajat.

Satuan Pendidikan menetapkan mekanisme penentuan kenaikan kelas dan kelulusan dari
Satuan Pendidikan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh kepala unit utama yang
membidangi kurikulum dan asesmen.

Standar Penilaian Menurut Permendikbud No 23 Tahun


2016
Pengertian Standar Penilaian

Standar penilaian adalah kriteria mengenai lingkup, tujuan, manfaat, prinsip, mekanisme,
prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik yang digunakan sebagai
dasar dalam penilaian hasil belajar peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah.
Artinya, standar penilaian yang dilakukan para guru harus berdasarkan Permendikbud
tersebut.

Ada beberapa macam definisi terkait dengan standar penilaian pendidikan, antara lain:

 Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk


mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
 Pembelajaran adalah proses interaksi antar peserta didik, antara peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
 Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian Kompetensi
Peserta Didik secara berkelanjutan dalam proses Pembelajaran untuk memantau
kemajuan dan perbaikan hasil belajar Peserta Didik.
 Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur
pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar
dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
 Kriteria Ketuntasan Minimal yang selanjutnya disebut KKM adalah kriteria
ketuntasan belajar yang ditentukan oleh satuan pendidikan yang mengacu pada
standar kompetensi kelulusan, dengan mempertimbangkan karakteristik peserta
didik, karakteristik mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan

Tujuan Standar Penilaian

Tujuan standar penilaian ini adalah menciptakan proses penilaian yang mengarah pada
tercapainya standar kompetensi lulusan.

· Penilaian hasil belajar oleh pendidik bertujuan untuk memantau dan mengevaluasi
proses, kemajuan belajar, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan.

· Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan bertujuan untuk menilai pencapaian
Standar Kompetensi Lulusan untuk semua mata pelajaran.

· Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian


kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu.

Fungsi Standar Penilaian

Adapun fungsi standar penilaian adalah sebagai berikut.

1. Sebagai acuan atau pedoman untuk tenaga pendidik dalam menjalankan


penilaian pembelajaran peserta didik.
2. Menciptakan penilaian yang transparan, sistematis, dan komprehensif.
3. Menjadi acuan dalam menjalankan prinsip-prinsip penilaian.

Manfaat Standar Penilaian


Manfaat adanya standar penilaian adalah pendidik bisa memantau perkembangan
peserta didik, baik dari aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Ruang Lingkup Standar Penilaian
Ruang lingkup standar pendidikan dasar dan menengah meliputi penilaian hasil belajar
oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan penilaian hasil belajar
oleh pemerintah.

Isi Standar Penilaian


Isi standar penilaian yang termuat di dalam rumusan Permendikbud Nomor 23 Tahun
2016 meliputi hal-hal berikut.

1. Aspek Penilaian

Aspek yang menjadi objek penilaian pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
meliputi aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

a. Aspek sikap
Penilaian aspek sikap bertujuan untuk mendapatkan informasi deskriptif tentang
sikap/perilaku peserta didik.

b. Aspek pengetahuan
Penilaian aspek pengetahuan bertujuan untuk mengukur tingkat penguasaan peserta
didik terhadap pengetahuan yang diberikan.

c. Aspek keterampilan
Penilaian aspek keterampilan bertujuan untuk mengukur kemampuan peserta didik
dalam mengimplementasikan pengetahuan yang diperolehnya dalam memecahkan
suatu permasalahan.

2. Prinsip Penilaian

Dalam melakukan penilaian, seorang tenaga pendidik dan unit satuan pendidikan harus
berpegang pada prinsip penilaian yang telah dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, yaitu sebagai berikut.

 Sahih, artinya data penilaian sesuai dengan kemampuan peserta didik.


 Objektif, artinya kriteria penilaian jelas dan sesuai prosedur, bukan karena faktor
subjektivitas.
 Adil, artinya penilaian tidak menguntungkan salah satu pihak karena berlaku
sama sesuai jenjang pendidikannya.
 Terpadu, artinya penilaian dan proses pembelajaran berjalan simultan dan tidak
terpisahkan.
 Terbuka, artinya prosedur, kriteria, dan dasar penilaian bisa diketahui oleh pihak
berkepentingan.
 Menyeluruh dan berkesinambungan, artinya penilaian dilakukan dengan
berbagai teknik dan mencakup seluruh kompetensi.
 Sistematis, artinya pelaksanaan penilaian dilakukan secara terencana dan sesuai
langkah-langkah baku.
 Baracuan kriteria, artinya penilaian berdasarkan pencapaian kompetensi yang
telah ditetapkan.
 Akuntabel, artinya seluruh hasil penilaian bisa dipertanggungjawabkan baik dari
segi mekanisme, prosedur, teknik, maupun hasilnya..

3. Bentuk Penilaian

Jika ditinjau dari penyelenggara penilaian, ada tiga macam bentuk penilaian, yaitu
penilaian oleh tenaga pendidik, penilaian oleh unit satuan pendidikan, atau penilaian
oleh pemerintah.

a. Bentuk penilaian oleh pendidik


Pendidik bisa melakukan penilaian dalam bentuk ulangan, kuis, pengamatan, penugasan,
dan/atau bentuk lain yang diperlukan. Penilaian hasil belajar oleh pendidik digunakan
untuk: a. mengukur dan mengetahui pencapaian kompetensi Peserta Didik;

b. memperbaiki proses pembelajaran; dan

c. menyusun laporan kemajuan hasil belajar harian, tengah semester, akhir semester,
akhir tahun. dan/atau kenaikan kelas.

b. Bentuk penilaian oleh unit satuan pendidikan

Unit satuan pendidikan juga harus ikut serta dalam menjalankan program penilaian.
Bentuk penilaian oleh unit satuan pendidikan bisa berupa ujian sekolah/madrasah dan
ujian praktik. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan sebagaimana digunakan
untuk penentuan kelulusan dari satuan pendidikan. Satuan pendidikan menggunakan
hasil penilaian oleh satuan pendidikan dan hasil penilaian oleh pendidik untuk
melakukan perbaikan dan/atau penjaminan mutu pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan. Dalam rangka perbaikan dan/atau penjaminan mutu pendidikan, satuan
pendidikan menetapkan kriteria ketuntasan minimal serta kriteria dan/atau kenaikan
kelas peserta didik.
c. Bentuk penilaian oleh pemerintah
Sebagai pemegang regulasi pendidikan, pemerintah juga berhak mengadakan penilaian
terhadap peserta didik. Penilaian itu bisa berupa Ujian Nasional yang kini sudah
ditiadakan atau AKM (asesmen ketuntasan minimal).

4. Mekanisme Penilaian

Mekanisme penilaian adalah cara yang digunakan untuk melakukan penilaian secara
terintegrasi guna mencapai standar kompetensi lulusan. Adapun mekanisme penilaian
yang dilakukan oleh masing-masing pelaksana penilaian adalah sebagai berikut.

a. Mekanisme penilaian oleh tenaga pendidik

 Rancangan penilaian oleh pendidik dimulai sejak pembuatan RPP yang


didasarkan pada silabus.
 Penilaian aspek sikap dilakukan melalui pengamatan dan hasilnya menjadi
tanggung jawab wali kelas.
 Penilaian aspek pengetahuan dilakukan melalui tes tulis, lisan, dan tugas yang
lain.
 Penilaian aspek keterampilan dilakukan melalui praktik, portofolio, proyek
berdasarkan kompetensi yang dinilai.

b. Mekanisme penilaian oleh unit satuan pendidikan

 Penetapan KKM dilakukan melalui rapat dewan pendidik.


 Penilaian harus mencakup aspek sikap, aspek pengetahuan, dan aspek
keterampilan.
 Penilaian diambil setelah ujian sekolah/madrasah.
 Hasil penilaian disampaikan dalam bentuk laporan yang didahului dengan rapat
kelulusan/kenaikan kelas oleh dewan pendidik.

c. Mekanisme penilaian oleh pemerintah

 Penilaian oleh pemerintah dilakukan melalui Ujian Nasional atau bentuk lain.
 Apabila ada penilaian lain akan dirumuskan melalui Peraturan Menteri
lanjutan/perbaikan.

5. Prosedur Penilaian

Prosedur penilaian meliputi penilaian aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.


a. Prosedur penilaian aspek sikap
Tahapan untuk memberikan penilaian aspek sikap adalah sebagai berikut.

 Pendidik mengamati perilaku peserta didik pada saat berlangsungnya


pembelajaran.
 Setiap perilaku peserta didik dicatat pada lembar observasi.
 Mengadakan tindak lanjut hasil pengamatan perilaku.
 Menulis deskripsi perilaku peserta didik di laporan akhir pembelajaran.

b. Prosedur penilaian aspek pengetahuan


Tahapan untuk memberikan penilaian aspek pengetahuan adalah sebagai berikut.

 Menyusun rencana penilaian secara sistematis.


 Mengembangkan instrumen penilaian.
 Mengadakan penilaian.
 Menyampaikan hasil penilaian dalam bentuk laporan berupa angka, mulai 0 –
100 dan disertai deskripsi.

c. Prosedur penilaian aspek keterampilan


Tahapan untuk memberikan penilaian aspek keterampilan adalah sebagai berikut.

 Menyusun rancangan penilaian secara sistematis.


 Mengembangkan instrumen penilaian.
 Mengadakan penilaian.
 Menyampaikan hasil penilaian dalam bentuk laporan berupa angka 0 – 100 dan
disertai deskripsi.

6. Instrumen Penilaian

Instrumen penilaian dipisahkan menjadi tiga, yaitu instrumen penilaian oleh pendidik,
instrumen penilaian oleh unit satuan pendidikan, dan instrumen penilaian oleh
pemerintah.

a. Instrumen penilaian oleh pendidik


Instrumen penilaian oleh pendidik bisa berupa tes, pengamatan, penugasan
perseorangan/kelompok, dan bentuk lain yang disesuaikan dengan kompetensi peserta
didik.

b. Instrumen penilaian oleh unit satuan pendidikan


Instrumen penilaian oleh satuan pendidikan bisa berupa penilaian akhir dan/atau ujian
sekolah/madrasah, dengan syarat sudah memenuhi persyaratan substansi, konstruksi,
bahasa, dan validitas empirik.
c. Instrumen penilaian oleh pemerintah
Instrumen penilaian oleh pemerintah bisa berupa Ujian Nasional dengan syarat sudah
memenuhi substansi, konstruksi, bahasa, validitas empirik, dan memiliki skor sebagai
pembanding antarsekolah.

Latar Belakang dan Pengertian Kurikulum Merdeka


Berbagai studi nasional maupun internasional menunjukkan bahwa Indonesia telah
mengalami krisis pembelajaran (learning crisis) yang cukup lama. Studi-studi tersebut
menunjukkan bahwa banyak dari anak-anak Indonesia yang tidak mampu memahami
bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar. Temuan itu juga juga
memperlihatkan kesenjangan pendidikan yang curam di antarwilayah dan kelompok
sosial di Indonesia. Keadaan ini kemudian semakin parah akibat merebaknya pandemi
Covid-19. Untuk mengatasi krisis dan berbagai tantangan tersebut, maka kita
memerlukan perubahan yang sistemik, salah satunya melalui kurikulum. Kurikulum
menentukan materi yang diajarkan di kelas. Kurikulum juga mempengaruhi kecepatan
dan metode mengajar yang digunakan guru untuk memenuhi kebutuhan peserta didik.
Untuk itulah Kemendikbudristek mengembangkan Kurikulum Merdeka sebagai bagian
penting dalam upaya memulihkan pembelajaran dari krisis yang sudah lama kita alami.

Ada dua tujuan utama yang mendasari kebijakan ini. Pertama, pemerintah, dalam hal ini
Kemendikbudristek, ingin menegaskan bahwa sekolah memiliki kewenangan dan
tanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai kebutuhan dan konteks
masing-masing sekolah. Kedua, dengan kebijakan opsi kurikulum ini, proses perubahan
kurikulum nasional harapannya dapat terjadi secara lancar dan bertahap. Pemerintah
mengemban tugas untuk menyusun kerangka kurikulum. Sedangkan,
operasionalisasinya, bagaimana kurikulum tersebut diterapkan, merupakan tugas sekolah
dan otonomi bagi guru. Guru sebagai pekerja profesional yang memiliki kewenangan
untuk bekerja secara otonom, berlandaskan ilmu pendidikan. Sehingga, kurikulum antar
sekolah bisa dan seharusnya berbeda, sesuai dengan karakteristik murid dan kondisi
sekolah, dengan tetap mengacu pada kerangka kurikulum yang sama. Perubahan
kerangka kurikulum tentu menuntut adaptasi oleh semua elemen sistem pendidikan.
Proses tersebut membutuhkan pengelolaan yang cermat sehingga menghasilkan
dampak yang kita inginkan, yaitu perbaikan kualitas pembelajaran dan pendidikan di
Indonesia. Oleh karena itu, Kemendikbudristek memberikan opsi kurikulum sebagai salah
satu upaya manajemen perubahan.

Perubahan kurikulum secara nasional baru akan terjadi pada 2024. Ketika itu, Kurikulum
Merdeka sudah melalui iterasi perbaikan selama 3 tahun di beragam sekolah/madrasah
dan daerah. Pada tahun 2024 akan ada cukup banyak sekolah/madrasah di tiap daerah
yang sudah mempelajari Kurikulum Merdeka dan nantinya bisa menjadi mitra belajar
bagi sekolah/madrasah lain. Pendekatan bertahap ini memberi waktu bagi guru, kepala
sekolah, dan dinas pendidikan untuk belajar. Proses belajar para aktor kunci ini penting
karena proses belajar ini menjadi fondasi transformasi pendidikan yang kita cita-citakan.
Mari kita ingat, tujuan perubahan kurikulum adalah untuk mengatasi krisis belajar
(learning crisis). Kita ingin menjadikan sekolah sebagai tempat belajar yang aman,
inklusif, dan menyenangkan. Oleh karena itulah, Kemendikbudristek melakukan
perubahan yang sistemik, tidak hanya kurikulum semata. Kita melakukan reformasi
sistem evaluasi pendidikan, menata sistem rekrutmen dan pelatihan guru, menyelaraskan
pendidikan vokasi dengan dunia kerja, mendampingi dinas-dinas pendidikan, dan
melakukan penguatan anggaran dan kelembagaan. Perubahan sistemik tersebut tentu
tidak bisa terjadi dalam sekejap. Tahap demi tahap perubahan kurikulum harapannya
dapat memberi waktu yang memadai bagi seluruh elemen kunci sehingga fondasi untuk
transformasi pendidikan kita dapat tertanam kukuh dan teguh.

Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang


beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu
untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Guru memiliki keleluasaan untuk
memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan
kebutuhan belajar dan minat peserta didik.

Projek untuk menguatkan pencapaian profil pelajar Pancasila dikembangkan


berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Projek tersebut tidak
diarahkan untuk mencapai target capaian pembelajaran tertentu, sehingga tidak terikat
pada konten mata pelajaran.

Kurikulum terdiri dari kegiatan intrakurikuler, projek penguatan profil pelajar Pancasila,
dan ekstrakurikuler. Alokasi jam pelajaran pada struktur kurikulum dituliskan secara total
dalam satu tahun dan dilengkapi dengan saran alokasi jam pelajaran jika disampaikan
secara reguler/mingguan. Selain itu, terdapat penyesuaian dalam pengaturan mata
pelajaran yang secara terperinci dijelaskan dalam daftar tanya jawab per jenjang.

Tidak ada perubahan total jam pelajaran, hanya saja JP (jam pelajaran) untuk setiap mata
pelajaran dialokasikan untuk 2 kegiatan pembelajaran: (1) pembelajaran intrakurikuler
dan (2) projek penguatan profil pelajar Pancasila. Jadi, jika dihitung JP kegiatan belajar
rutin di kelas (intrakurikuler) saja, memang seolaholah JP-nya berkurang dibandingkan
dengan Kurikulum 2013. Namun, selisih jam pelajaran tersebut dialokasikan untuk projek
penguatan profil Pelajar Pancasila.

Struktur Kurikulum Merdeka


II. Struktur Kurikulum pada Pendidikan Dasar dan Menengah

Struktur Kurikulum pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah dibagi menjadi 2
(dua) kegiatan utama, yaitu:

1. pembelajaran intrakurikuler; dan


2. projek penguatan profil pelajar Pancasila.

Kegiatan pembelajaran intrakurikuler untuk setiap mata pelajaran mengacu pada capaian
pembelajaran. Kegiatan projek penguatan profil pelajar Pancasila ditujukan untuk
memperkuat upaya pencapaian profil pelajar Pancasila yang mengacu pada Standar
Kompetensi Lulusan.

Pemerintah mengatur beban belajar untuk setiap muatan atau mata pelajaran dalam Jam
Pelajaran (JP) pertahun. Satuan pendidikan mengatur alokasi waktu setiap minggunya
secara fleksibel dalam 1 (satu) tahun ajaran. Satuan pendidikan menambahkan muatan
lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan karakteristik daerah.
Satuan pendidikan dapat menambahkan muatan tambahan sesuai karakteristik satuan
pendidikan secara fleksibel, melalui 3 (tiga) pilihan sebagai berikut:

1. mengintegrasikan ke dalam mata pelajaran lain;

2. mengintegrasikan ke dalam tema projek penguatan profil pelajar Pancasila; dan/atau

3. mengembangkan mata pelajaran yang berdiri sendiri.

1. Struktur Kurikulum SMP/MTs/bentuk lain yang sederajat

Struktur kurikulum SMP/MTs/bentuk lain yang sederajat terdiri atas 1 (satu) fase yaitu

Fase D. Fase D yaitu untuk kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX.

Struktur kurikulum SMP/MTs terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:

a. pembelajaran intrakurikuler; dan

b. projek penguatan profil pelajar Pancasila dialokasikan sekitar 25% (dua puluh lima
persen) total JP per tahun. Pelaksanaan projek penguatan profil pelajar
Pancasila dilakukan secara fleksibel, baik secara muatan maupun secara waktu
pelaksanaan. Secara muatan, projek profil harus mengacu pada capaian profil pelajar
Pancasila sesuai dengan fase peserta didik, dan tidak harus dikaitkan dengan capaian
pembelajaran pada mata pelajaran. Secara pengelolaan waktu pelaksanaan, projek dapat
dilaksanakan dengan menjumlah alokasi jam pelajaran projek dari semua mata pelajaran
dan jumlah total waktu pelaksanaan masing-masing projek tidak harus sama.

Berikut merupakan penjelasan dari struktur kurikulum SMP/MTs/bentuk lain yang


sederajat secara umum:

a. Muatan pelajaran kepercayaan untuk penghayat kepercayaan terhadap Tuhan


Yang Maha Esa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.

b. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif di SMP/MTs/bentuk lain


yang sederajat menyediakan layanan program kebutuhan khusus sesuai kondisi peserta
didik.

c. Beban belajar bagi penyelenggara pendidikan dengan Sistem Kredit Semester


(SKS) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai SKS.

d. Proses mengidentifikasi dan menumbuhkembangkan minat, bakat, dan


kemampuan peserta didik dilakukan oleh guru yang dikoordinasikan oleh guru BK. Jika
ketersediaan guru BK belum mencukupi, maka koordinasi dilakukan oleh guru lain.

2. Struktur Kurikulum SMA/MA/bentuk lain yang sederajat

Struktur kurikulum SMA/MA/bentuk lain yang sederajat terdiri atas 2 (dua) Fase yaitu:

a. Fase E untuk kelas X; dan

b. Fase F untuk kelas XI dan kelas XII.

Struktur kurikulum untuk SMA/MA/bentuk lain yang sederajat terbagi menjadi 2 (dua),
yaitu:

a. pembelajaran intrakurikuler; dan

b. projek penguatan profil pelajar Pancasila dialokasikan sekitar 30% (tiga puluh
persen) total JP per tahun. Pelaksanaan projek penguatan profil pelajar
Pancasila dilakukan secara fleksibel, baik secara muatan maupun secara waktu
pelaksanaan. Secara muatan, projek profil harus mengacu pada capaian profil pelajar
Pancasila sesuai dengan fase peserta didik, dan tidak harus dikaitkan dengan capaian
pembelajaran pada mata pelajaran. Secara pengelolaan waktu pelaksanaan, projek dapat
dilaksanakan dengan menjumlah alokasi jam pelajaran projek dari semua mata pelajaran
dan jumlah total waktu pelaksanaan masing-masing projek tidak harus sama.

Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial di kelas X
SMA/MA/bentuk lain yang sederajat tidak dipisahkan menjadi mata pelajaran yang lebih
spesifik. Namun demikian, satuan pendidikan dapat menentukan bagaimana muatan
pelajaran diorganisasi. Pengorganisasian pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu
Pengetahuan Sosial dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan sebagai berikut:

a. mengajarkan muatan Ilmu Pengetahuan Alam atau Ilmu Pengetahuan Sosial secara
terintegrasi;
b. mengajarkan muatan Ilmu Pengetahuan Alam atau Ilmu Pengetahuan Sosial secara
bergantian dalam blok waktu yang terpisah; atau

c. mengajarkan muatan Ilmu Pengetahuan Alam atau Ilmu Pengetahuan Sosial secara
paralel, dengan JP terpisah seperti mata pelajaran yang berbeda-beda, diikuti dengan
unit pembelajaran inkuiri yang mengintegrasikan muatan-muatan pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam atau Ilmu Pengetahuan Sosial tersebut.

Fase F untuk kelas XI dan kelas XII, struktur mata pelajaran dibagi menjadi 2 (dua)
kelompok utama, yaitu:

a. Kelompok mata pelajaran umum. Setiap SMA/MA/bentuk lain yang sederajat wajib
membuka atau mengajarkan seluruh mata pelajaran dalam kelompok ini dan wajib
diikuti oleh semua peserta didik SMA/MA/bentuk lain yang sederajat.

b. Kelompok mata pelajaran pilihan. Setiap SMA/MA/bentuk lain yang sederajat wajib
menyediakan paling sedikit 7 (tujuh) mata pelajaran. Khusus untuk sekolah yang
ditetapkan pemerintah sebagai sekolah keolahragaan atau seni, dapat dibuka mata
pelajaran Olahraga atau Seni, sesuai dengan sumber daya yang tersedia di
SMA/MA/bentuk lain yang sederajat.

3. Struktur Kurikulum SMK/MAK

Perubahan kurikulum SMK/MAK diawali dengan penataan ulang Spektrum Keahlian


SMK/MAK. Spektrum Keahlian adalah daftar bidang dan program keahlian SMK yang
disusun berdasarkan kebutuhan dunia kerja yang meliputi: dunia usaha, dunia industri,
badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, instansi pemerintah atau lembaga
lainnya serta perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Spektrum
Keahlian SMK/MAK merupakan acuan penyusunan struktur kurikulum serta pembukaan
dan penyelenggaraan bidang dan program keahlian pada SMK/MAK. Setiap program
keahlian terdiri atas minimum 1 (satu) konsentrasi keahlian. Konsentrasi keahlian
diselenggarakan dalam program 3 (tiga) tahun atau program 4 (empat) tahun diatur
lebih lanjut dalam keputusan pemimpin unit utama yang membidangi kurikulum,
asesmen, dan perbukuan.

Struktur kurikulum mengatur beban belajar untuk setiap muatan atau mata pelajaran
dalam jam pelajaran (JP) tahunan dan/atau per 3 (tiga) tahun atau per 4 (empat) tahun
atau dikenal dengan sistem blok. Oleh karena itu, satuan pendidikan dapat mengatur
pembelajaran secara fleksibel di mana alokasi waktu setiap minggunya tidak selalu sama
dalam 1 (satu) tahun. Struktur kurikulum SMK/MAK terbagi menjadi 2 (dua), yaitu:

a. pembelajaran intrakurikuler; dan

b. projek penguatan profil pelajar Pancasila yang dialokasikan sekitar 30% (tiga puluh
persen) total JP per tahun. Pelaksanaan projek penguatan profil pelajar
Pancasila dilakukan secara fleksibel, baik secara muatan maupun secara waktu
pelaksanaan. Secara muatan, projek profil harus mengacu pada capaian profil pelajar
Pancasila sesuai dengan fase peserta didik, dan tidak harus dikaitkan dengan capaian
pembelajaran pada mata pelajaran. Secara pengelolaan waktu pelaksanaan, projek dapat
dilaksanakan dengan menjumlah alokasi jam pelajaran projek dari semua mata pelajaran
dan jumlah total waktu pelaksanaan masing-masing projek tidak harus sama.

Berikut merupakan penjelasan dari struktur kurikulum merdeka SMK/MAK secara umum.

a. Struktur kurikulum dibagi menjadi 2 (dua) bagian utama yaitu Kelompok Mata
Pelajaran Umum (A) dan Kelompok Mata Pelajaran Kejuruan (B).

b. Kelompok Mata Pelajaran Umum (A) merupakan kelompok mata pelajaran yang
berfungsi membentuk peserta didik menjadi pribadi utuh, sesuai dengan fase
perkembangan, berkaitan dengan normanorma kehidupan baik sebagai makhluk yang
Berketuhanan Yang Maha Esa, individu, sosial, warga negara Kesatuan Republik
Indonesia maupun sebagai warga dunia.

c. Kelompok Mata Pelajaran Kejuruan (B) merupakan kelompok mata pelajaran yang
berfungsi membentuk peserta didik sebagai individu agar memiliki kompetensi sesuai
kebutuhan dunia kerja serta ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya.

d. Mata Pelajaran Informatika berisi berbagai kompetensi untuk menunjang


keterampilan berpikir kritis dan sistematis guna menyelesaikan beragam permasalahan
umum.

e. Mata Pelajaran Projek Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial berisi muatan tentang
literasi ilmu pengetahuan alam dan sosial yang diformulasikan dalam tema-tema
kehidupan yang kontekstual dan aktual.

f. Mata Pelajaran Kejuruan yang dipelajari di kelas X merupakan mata pelajaran


dasar-dasar Program Keahlian.

g. Pada program 3 (tiga) tahun, Mata Pelajaran Kejuruan yang dipelajari di kelas XI
sampai dengan kelas XII merupakan mata pelajaran dalam konsentrasi keahlian tertentu.

h. Pada program 4 (empat) tahun, Mata Pelajaran Kejuruan yang dipelajari di kelas XI
sampai dengan kelas XIII merupakan mata pelajaran dalam konsentrasi keahlian tertentu.

i. Mata pelajaran kejuruan berisi elemen-elemen pembelajaran minimum dan dapat


ditambah oleh satuan pendidikan bersama mitra dunia kerja sesuai kebutuhan dunia
kerja.

j. Mata Pelajaran Projek Kreatif dan Kewirausahaan merupakan wahana


pembelajaran bagi peserta didik melalui pendekatan pembelajaran berbasis projek untuk
mengaktualisasikan dan mengekspresikan kompetensi yang dikuasai pada kegiatan
pembuatan produk/pekerjaan layanan jasa secara kreatif dan bernilai ekonomis.
k. Pada program 3 (tiga) tahun, Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan mata
pelajaran yang dilaksanakan secara blok dan direncanakan pelaksanaannya di kelas XII
selama 6 (enam) bulan atau 18 (delapan belas) minggu dengan asumsi 46 (empat puluh
enam) JP per minggu.

l. Pada program 4 (empat) tahun, PKL merupakan mata pelajaran yang dilaksanakan
secara blok dan direncanakan pelaksanaannya di kelas XIII selama 10 (sepuluh) bulan
atau 27 (dua puluh tujuh) – 28 (dua puluh delapan) minggu dengan asumsi 46 (empat
puluh enam) JP per minggu.

m. Mata Pelajaran ini merupakan wahana pembelajaran di dunia kerja untuk


memberikan kesempatan kepada peserta didik meningkatkan penguasaan kompetensi
teknis (technical skills) sesuai dengan konsentrasi keahliannya serta menginternalisasi
karakter dan budaya kerja (soft skills).

n. Pelaksanaan mata pelajaran PKL mengacu pada panduan yang ditetapkan oleh
pemimpin unit utama yang membidangi pendidikan vokasi.

o. Mata Pelajaran Pilihan merupakan mata pelajaran yang dipilih oleh peserta didik
berdasarkan renjana (passion) untuk pengembangan diri, baik untuk berwirausaha,
bekerja pada bidangnya, maupun melanjutkan pendidikan. Contohnya: Mata pelajaran
Bahasa Asing selain Bahasa Inggris, Matematika, IPA, IPS, atau mata pelajaran kejuruan
lain di luar konsentrasi keahliannya.

p. Pelaksanaan mata pelajaran pilihan diatur lebih lanjut oleh pemimpin unit utama
yang membidangi kurikulum, asesmen, dan perbukuan.

q. Satuan pendidikan dan/atau pemerintah daerah dapat menambahkan muatan


tambahan sesuai kebutuhan peserta didik, dunia kerja dan karakteristik satuan
pendidikan dan/atau daerah secara fleksibel

r. Muatan pelajaran kepercayaan untuk penganut Keundangan yang mengatur


mengenai layanan pendidikan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dilaksanakan
sesuai peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai layanan pendidikan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

s. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif di SMK/MAK menyediakan


layanan program kebutuhan khusus sesuai kondisi peserta didik.

t. Proses mengidentifikasi dan menumbuhkembangkan minat, bakat, dan


kemampuan peserta didik dilakukan oleh guru yang dikoordinasikan oleh guru BK. Jika
ketersediaan guru BK belum mencukupi, maka koordinasi dilakukan oleh guru lain.

Capaian Pembelajaran
Capaian Pembelajaran (CP) merupakan kompetensi pembelajaran yang harus dicapai
peserta didik pada setiap fase, dimulai dari Fase Fondasi pada PAUD. Untuk Pendidikan
dasar dan menengah, CP disusun untuk setiap mata pelajaran. Bagi peserta didik
berkebutuhan khusus dengan hambatan intelektual dapat menggunakan CP pendidikan
khusus. Peserta didik berkebutuhan khusus tanpa hambatan intelektual menggunakan
CP reguler dengan menerapkan prinsip modifikasi kurikulum. CP untuk PAUD, SD/MI,
SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, SDLB, SMPLB, SMALB, Pendidikan Kesetaraan (Program
Paket A, Program Paket B, dan Program Paket C) ditetapkan oleh pemimpin unit utama
yang membidangi kurikulum, asesmen, dan perbukuan.

Pembelajaran dan Asesmen


A. Prinsip Pembelajaran dan Asesmen

1. Prinsip Pembelajaran Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dengan


pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Prinsip pembelajaran
sebagai berikut:

a. pembelajaran dirancang dengan mempertimbangkan tahap perkembangan dan


tingkat pencapaian peserta didik saat ini, sesuai dengan kebutuhan belajar, serta
mencerminkan karakteristik dan perkembangan peserta didik yang beragam sehingga
pembelajaran menjadi bermakna dan menyenangkan;

b. pembelajaran dirancang dan dilaksanakan untuk membangun kapasitas untuk


menjadi pembelajar sepanjang hayat;

c. proses pembelajaran mendukung perkembangan kompetensi dan karakter peserta


didik secara holistik;

d. pembelajaran yang relevan, yaitu pembelajaran yang dirancang sesuai konteks,


lingkungan, dan budaya peserta didik, serta melibatkan orang tua dan komunitas
sebagai mitra; dan

e. pembelajaran berorientasi pada masa depan yang berkelanjutan.

2. Prinsip Asesmen Asesmen atau penilaian merupakan proses pengumpulan dan


pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Prinsip
asesmen sebagai berikut:

a. asesmen merupakan bagian terpadu dari proses pembelajaran, fasilitasi


pembelajaran, dan penyediaan informasi yang holistik, sebagai umpan balik untuk
pendidik, peserta didik, dan orang tua/wali agar dapat memandu mereka dalam
menentukan strategi pembelajaran selanjutnya;
b. asesmen dirancang dan dilakukan sesuai dengan fungsi asesmen tersebut, dengan
keleluasaan untuk menentukan teknik dan waktu pelaksanaan asesmen agar efektif
mencapai tujuan pembelajaran;

c. asesmen dirancang secara adil, proporsional, valid, dan dapat dipercaya (reliable)
untuk menjelaskan kemajuan belajar, menentukan keputusan tentang langkah dan
sebagai dasar untuk menyusun program pembelajaran yang sesuai selanjutnya;

d. laporan kemajuan belajar dan pencapaian peserta didik bersifat sederhana dan
informatif, memberikan informasi yang bermanfaat tentang karakter dan kompetensi
yang dicapai, serta strategi tindak lanjut; dan

e. hasil asesmen digunakan oleh peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, dan
orang tua/wali sebagai bahan refleksi untuk meningkatkan mutu pembelajaran.

B. Perencanaan serta Pelaksanaan Pembelajaran dan Asesmen

1. Asesmen di awal pembelajaran dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan


belajar peserta didik, dan hasilnya digunakan untuk merancang pembelajaran yang
sesuai dengan tahap capaian peserta didik. Pada pendidikan khusus, asesmen diagnostik
dilaksanakan sebelum perencanaan pembelajaran sebagai rujukan untuk menyusun
Program Pembelajaran Individual (PPI).

2. Satuan pendidikan dan pendidik memiliki keleluasaan untuk menentukan kegiatan


pembelajaran dan perangkat ajar sesuai dengan tujuan pembelajaran, konteks satuan
pendidikan, dan karakteristik peserta didik.

3. Satuan pendidikan dan pendidik memiliki keleluasaan untuk menentukan jenis,


teknik, bentuk instrumen, dan waktu pelaksanaan asesmen berdasarkan karakteristik
tujuan pembelajaran.

4. Apabila pendidik menggunakan modul ajar yang disediakan pemerintah dan/atau


membuat modul ajar merujuk pada modul ajar yang disediakan pemerintah, maka
pendidik tersebut dapat menggunakan modul ajar sebagai dokumen perencanaan
pembelajaran, dengan komponen sekurang-kurangnya terdiri dari tujuan pembelajaran,
langkah-langkah pembelajaran, dan asesmen yang digunakan untuk memantau
ketercapaian tujuan pembelajaran.

5. Untuk SMK/MAK, mitra dunia kerja dapat mendukung pembelajaran, asesmen, dan
uji kompetensi yang selaras dengan prinsip-prinsip asesmen.

6. Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran dan asesmen pada mata pelajaran


Praktik Kerja Lapangan (PKL) di SMK/MAK dilaksanakan secara kolaboratif oleh satuan
pendidikan dan mitra dunia kerja.
C. Pengolahan Hasil Asesmen

1. Satuan pendidikan dan pendidik memiliki keleluasaan untuk menentukan strategi


pengolahan hasil asesmen sesuai kebutuhan.

2. Satuan pendidikan dan pendidik menentukan kriteria ketercapaian tujuan


pembelajaran.

3. Untuk SMK/MAK, satuan pendidikan dan pendidik memilih Kriteria Unjuk Kerja
(KUK) yang sesuai dengan konsentrasi keahlian. KUK menjadi kriteria minimum yang
harus dicapai peserta didik pada setiap unit kompetensi.

D. Pelaporan Kemajuan Belajar

1. Satuan pendidikan menyiapkan pelaporan hasil belajar (rapor) peserta didik.

2. Rapor peserta didik PAUD meliputi komponen identitas peserta didik, nama satuan
pendidikan, kelompok usia, semester, informasi pertumbuhan dan perkembangan anak,
deskripsi perkembangan capaian pembelajaran, dan refleksi orang tua. Rapor PAUD juga
berisikan informasi tentang hasil capaian anak saat melakukan projek penguatan profil
pelajar Pancasila.

3. Rapor peserta didik SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK atau bentuk lain
yang sederajat meliputi komponen identitas peserta didik, nama satuan pendidikan,
kelas, semester, mata pelajaran, nilai, deskripsi, catatan guru, presensi, dan kegiatan
ekstrakurikuler.

4. Satuan pendidikan memiliki keleluasaan untuk menentukan mekanisme dan format


pelaporan hasil belajar kepada orang tua/wali.

5. Pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat,
satuan pendidikan dan pendidik memiliki keleluasaan untuk menentukan deskripsi
dalam menjelaskan makna nilai yang diperoleh peserta didik.

6. Pelaporan hasil belajar disampaikan sekurang-kurangnya pada setiap akhir


semester.

7. Satuan pendidikan menyampaikan rapor peserta didik secara berkala melalui e


rapor/dapodik

8. Pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat,
satuan pendidikan memiliki keleluasaan untuk menentukan kriteria kenaikan kelas
dengan mempertimbangkan:
a. laporan kemajuan belajar;

b. laporan pencapaian projek penguatan profil pelajar Pancasila;

c. portofolio peserta didik;

d. paspor keterampilan (skill passport) dan rekognisi pembelajaran lampau peserta didik
untuk SMK/MAK;

e. prestasi akademik dan non-akademik;

f. ekstrakurikuler;

g. penghargaan peserta didik; dan

h. tingkat kehadiran.

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelajaran dan asesmen diatur dalam panduan yang
ditetapkan oleh pemimpin unit utama yang membidangi kurikulum, asesmen, dan
perbukuan. Untuk panduan asesmen terkait unit kompetensi disusun setelah
berkoordinasi dengan pemimpin unit utama yang membidangi pendidikan vokasi.

Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila


Projek penguatan profil pelajar Pancasila merupakan kegiatan kokurikuler berbasis
projek yang dirancang untuk menguatkan upaya pencapaian kompetensi dan karakter
sesuai dengan profil pelajar Pancasila yang disusun berdasarkan Standar Kompetensi
Lulusan. Pelaksanaan projek penguatan profil pelajar Pancasila dilakukan secara fleksibel,
dari segi muatan, kegiatan, dan waktu pelaksanaan. Projek penguatan profil pelajar
Pancasila dirancang terpisah dari intrakurikuler. Tujuan, muatan, dan kegiatan
pembelajaran projek tidak harus dikaitkan dengan tujuan dan materi pelajaran
intrakurikuler. Satuan pendidikan dapat melibatkan masyarakat dan/atau dunia kerja
untuk merancang dan menyelenggarakan projek penguatan profil pelajar Pancasila.

Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila di Pendidikan Dasar dan Pendidikan


Menengah

Pada SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, projek
penguatan profil pelajar Pancasila mengambil alokasi waktu 20-30% (dua puluh sampai
dengan tiga puluh persen) dari total jam pelajaran selama 1 (satu) tahun. Alokasi waktu
untuk setiap projek penguatan profil pelajar Pancasila tidak harus sama. Satu projek
dapat dilakukan dengan durasi waktu yang lebih panjang daripada projek yang lain.
Secara pengelolaan waktu pelaksanaan, projek dapat dilaksanakan dengan menjumlah
alokasi jam pelajaran projek dari semua mata pelajaran dan jumlah total waktu
pelaksanaan masing-masing projek tidak harus sama.
Pemerintah menetapkan tema-tema utama untuk dirumuskan menjadi topik oleh satuan
pendidikan sesuai dengan konteks wilayah serta karakteristik peserta didik. Tema-tema
utama projek penguatan profil pelajar Pancasila yang dapat dipilih oleh satuan
pendidikan sebagai berikut.

1. Gaya Hidup Berkelanjutan.

Peserta didik memahami dampak aktivitas manusia, baik jangka pendek maupun
panjang, terhadap kelangsungan kehidupan di dunia maupun lingkungan sekitarnya.
Peserta didik juga membangun kesadaran untuk bersikap dan berperilaku ramah
lingkungan, mempelajari potensi krisis keberlanjutan yang terjadi di lingkungan
sekitarnya serta mengembangkan kesiapan untuk menghadapi dan memitigasinya. Tema
ini ditujukan untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau bentuk lain yang
sederajat.

2. Kearifan Lokal.

Peserta didik membangun rasa ingin tahu dan kemampuan inkuiri melalui eksplorasi
budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar atau daerah tersebut, serta
perkembangannya. Peserta didik mempelajari bagaimana dan mengapa masyarakat
lokal/ daerah berkembang seperti yang ada, konsep dan nilai-nilai dibalik kesenian dan
tradisi lokal, serta merefleksikan nilai-nilai apa yang dapat diambil dan diterapkan dalam
kehidupan mereka. Tema ini ditujukan untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat.

3. Bhinneka Tunggal Ika.

Peserta didik mengenal dan mempromosikan budaya perdamaian dan anti kekerasan,
belajar membangun dialog penuh hormat tentang keberagaman serta nilai-nilai ajaran
yang dianutnya. Peserta didik juga mempelajari perspektif berbagai agama dan
kepercayaan, secara kritis dan reflektif menelaah berbagai stereotip negatif dan
dampaknya terhadap terjadinya konflik dan kekerasan. Tema ini ditujukan untuk SD/MI,
SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat.

4. Bangunlah Jiwa dan Raganya.

Peserta didik membangun kesadaran dan keterampilan memelihara kesehatan fisik dan
mental, baik untuk dirinya maupun orang sekitarnya. Peserta didik melakukan penelitian
dan mendiskusikan masalah-masalah terkait kesejahteraan diri (wellbeing), perundungan
(bullying), serta berupaya mencari jalan keluarnya. Mereka juga menelaah masalah-
masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan kesejahteraan fisik dan mental, termasuk
isu narkoba, pornografi, dan kesehatan reproduksi. Tema ini ditujukan untuk jenjang
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat.

5. Suara Demokrasi.
Peserta didik menggunakan kemampuan berpikir sistem, menjelaskan keterkaitan antara
peran individu terhadap kelangsungan demokrasi Pancasila. Melalui pembelajaran ini
peserta didik merefleksikan makna demokrasi dan memahami implementasi demokrasi
serta tantangannya dalam konteks yang berbeda, termasuk dalam organisasi sekolah
dan/atau dalam dunia kerja. Tema ini ditujukan untuk jenjang SMP/MTS, SMA/MA,
SMK/MAK atau SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat.

6. Rekayasa dan Teknologi.

Peserta didik melatih daya pikir kritis, kreatif, inovatif, sekaligus kemampuan berempati
untuk berekayasa membangun produk berteknologi yang memudahkan kegiatan diri
dan sekitarnya. Peserta didik dapat membangun budaya smart society dengan
menyelesaikan persoalan-persoalan di masyarakat sekitarnya melalui inovasi dan
penerapan teknologi, mensinergikan aspek sosial dan aspek teknologi. Tema ini
ditujukan untuk jenjang SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, SMK/MKA SMP/MTs, SMA/MA,
SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat.

7. Kewirausahaan.

Peserta didik mengidentifikasi potensi ekonomi di tingkat lokal dan masalah yang ada
dalam pengembangan potensi tersebut, serta kaitannya dengan aspek lingkungan, sosial
dan kesejahteraan masyarakat. Melalui kegiatan ini, kreativitas dan budaya
kewirausahaan akan ditumbuhkembangkan. Peserta didik juga membuka wawasan
tentang peluang masa depan, peka akan kebutuhan masyarakat, menjadi problem solver
yang terampil, serta siap untuk menjadi tenaga kerja profesional penuh integritas. Tema
ini ditujukan untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK
atau bentuk lain yang sederajat. Karena jenjang SMK/MAK sudah memiliki mata
pelajaran Projek Kreatif dan Kewirausahaan, maka tema ini tidak menjadi pilihan untuk
jenjang SMK/MAK.

8. Kebekerjaan.

Peserta didik menghubungkan berbagai pengetahuan yang telah dipahami dengan


pengalaman nyata di keseharian dan dunia kerja. Peserta didik membangun pemahaman
terhadap ketenagakerjaan, peluang kerja, serta kesiapan kerja untuk meningkatkan
kapabilitas yang sesuai dengan keahliannya, mengacu pada kebutuhan dunia kerja
terkini. Dalam projeknya, peserta didik juga akan mengasah kesadaran sikap dan perilaku
sesuai dengan standar yang dibutuhkan di dunia kerja. Tema ini ditujukan sebagai tema
wajib khusus jenjang SMK/MAK.

Dalam 1 (satu) tahun ajaran, peserta didik mengikuti projek penguatan profil pelajar
Pancasila yang dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) projek dengan tema berbeda di PAUD;


2. 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) projek dengan tema berbeda di SD/MI/SDLB/Paket
A/ bentuk lain yang sederajat ;

3. 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) projek dengan tema berbeda di SMP/MTs/


SMPLB/Paket B/bentuk lain yang sederajat dan SMA/MA/SMALB/Paket C kelas X/bentuk
lain yang sederajat;

4. 2 (dua) sampai dengan 3 (tiga) projek dengan tema berbeda di kelas XI dan XII
SMA/MA/SMALB/Paket C/bentuk lain yang sederajat;

5. 3 (tiga) projek dengan 2 (dua) tema pilihan dan 1 (satu) tema Kebekerjaan di kelas
X, 2 (dua) projek dengan 1 (satu) tema pilihan dan 1 (satu) tema Kebekerjaan di kelas XI,
dan 1 (satu) projek dengan tema Kebekerjaan di kelas XII SMK/MAK. Kelas XIII pada SMK
program 4 (empat) tahun tidak mengambil projek penguatan profil pelajar Pancasila.
Untuk SMK/MAK, projek penguatan profil pelajar Pancasila dapat dilaksanakan secara
terpadu berkolaborasi dengan mitra dunia kerja, atau dengan komunitas/organisasi serta
masyarakat; dan

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan projek penguatan profil pelajar Pancasila
diatur dalam panduan yang ditetapkan oleh pemimpin unit utama yang membidangi
kurikulum, asesmen, dan perbukuan.

Perangkat Ajar
Perangkat Ajar

Perangkat ajar merupakan berbagai bahan ajar yang digunakan oleh pendidik dalam
upaya mencapai profil pelajar Pancasila dan Capaian Pembelajaran. Perangkat
ajar meliputi buku teks pelajaran, modul ajar, modul projek penguatan profil pelajar
Pancasila, contoh-contoh kurikulum operasional satuan pendidikan, video pembelajaran,
serta bentuk lainnya. Pendidik dapat menggunakan beragam perangkat ajar dari
berbagai sumber.

Perangkat ajar dapat langsung digunakan pendidik untuk mengajar ataupun sebagai
referensi atau inspirasi dalam merancang pembelajaran. Contoh perangkat ajar yang
disediakan oleh Pemerintah, sebagai berikut.

A. Modul Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

Modul projek penguatan profil pelajar Pancasila merupakan dokumen yang berisi tujuan,
langkah, media pembelajaran, dan asesmen yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu
projek penguatan profil pelajar Pancasila. Pendidik memiliki keleluasaan untuk membuat
sendiri, memilih, dan memodifikasi modul projek yang tersedia sesuai dengan konteks,
karakteristik, serta kebutuhan peserta didik. Pemerintah menyediakan contoh-contoh
modul projek penguatan profil pelajar Pancasila yang dapat dijadikan inspirasi untuk
satuan pendidikan. Satuan pendidikan dan pendidik dapat mengembangkan modul
projek sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik, memodifikasi, dan/atau
menggunakan modul projek yang disediakan Pemerintah sesuai dengan karakteristik
daerah, satuan pendidik, dan peserta didik. Oleh karena itu pendidik yang menggunakan
modul projek yang disediakan Pemerintah tidak perlu lagi menyusun modul projek.

B. Modul Ajar

Modul ajar merupakan dokumen yang berisi tujuan, langkah, dan media pembelajaran,
serta asesmen yang dibutuhkan dalam satu unit/topik berdasarkan alur tujuan
pembelajaran. Pendidik memiliki keleluasaan untuk membuat sendiri, memilih, dan
memodifikasi modul ajar yang tersedia sesuai dengan konteks, karakteristik, serta
kebutuhan peserta didik. Pemerintah menyediakan contoh-contoh modul ajar yang
dapat dijadikan inspirasi untuk satuan pendidikan. Satuan pendidikan dan pendidik
dapat mengembangkan modul ajar sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik,
memodifikasi, dan/atau menggunakan modul ajar yang disediakan Pemerintah sesuai
dengan karakteristik daerah, satuan pendidik, dan peserta didik. Oleh karena itu pendidik
yang menggunakan modul ajar yang disediakan Pemerintah tidak perlu lagi menyusun
perencanaan pembelajaran/RPP/modul ajar.

Ketentuan lebih lanjut mengenai alur dan tujuan pembelajaran serta pengembangan
modul ajar diatur dalam panduan yang ditetapkan oleh pemimpin unit utama yang
membidangi kurikulum, asesmen, dan perbukuan.

C. Buku Teks

Buku teks terdiri atas buku teks utama dan buku teks pendamping. Buku teks utama
merupakan buku pelajaran yang digunakan dalam pembelajaran berdasarkan kurikulum
yang berlaku. Dalam konteks pembelajaran, buku teks utama terdiri atas buku siswa dan
buku panduan guru. Buku siswa merupakan buku pegangan bagi peserta didik,
sedangkan buku panduan guru merupakan panduan atau acuan bagi pendidik untuk
melaksanakan pembelajaran berdasarkan buku siswa tersebut. Berdasarkan kebutuhan
dan karakteristik mata pelajaran, beberapa mata pelajaran hanya terdapat buku panduan
guru, antara lain Pendidikan Pancasila pada SD/MI, Seni dan Prakarya, dan PJOK. Buku
teks untuk PAUD hanya ada buku panduan guru. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017
tentang Sistem Perbukuan menyebutkan bahwa pemerolehan naskah buku dilakukan
melalui penulisan, penerjemahan, atau penyaduran. Buku teks utama yang fleksibel dan
kontekstual dapat berbentuk cetak dan digital, serta dapat disajikan dalam bentuk
modular. Buku teks utama diimplementasikan secara terbatas di satuan pendidikan
pelaksana Kurikulum Merdeka, dalam rangka pemulihan pembelajaran. Judul buku teks
utama yang digunakan di satuan pendidikan pelaksana Kurikulum Merdeka ditetapkan
oleh pemimpin unit utama yang membidangi kurikulum, asesmen, dan perbukuan atas
nama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Prinsip Perancangan Kurikulum Merdeka


Prinsip perancangan (design principles) kurikulum perlu ditetapkan sebagai pegangan
dalam proses perancangan kurikulum. Prinsip ini digunakan untuk mengambil keputusan
terkait dua hal, yaitu rancangan/desain kurikulum yang akan dipilih dan proses kerja atau
metode perancangan kurikulum. Dengan demikian, baik hasil (rancangan kurikulum)
maupun prosesnya perlu memenuhi prinsip-prinsip perancangan Kurikulum Merdeka.
Prinsip-prinsip ini dikembangkan berdasarkan visi pendidikan Indonesia, teori dan hasil
penelitian terkait perancangan kurikulum, serta berbagai praktik baik yang diperoleh
melalui kajian literatur dan diskusi terpumpun bersama pakar kurikulum.

OECD (2020a) melakukan kajian terhadap proses perubahan rancangan (redesigning)


kurikulum di beberapa negara dan mensintesiskan prinsip-prinsip perancangan
kurikulum yang dinilai efektif dan mendorong proses yang sistematis dan akuntabel.
OECD membagi prinsip-prinsip tersebut ke dalam empat kelompok sesuai ruang lingkup
dimana prinsip-prinsip tersebut perlu diaplikasikan: (1) terkait dengan perancangan
kurikulum atau standar capaian dalam setiap disiplin ilmu, ada tiga prinsip yang perlu
diperhatikan yaitu: fokus, keajegan, dan koherensi; (2) dalam merancang kurikulum yang
berlaku untuk seluruh disiplin ilmu, prinsip yang perlu dipenuhi adalah kemampuan
untuk transfer kompetensi, interdisipliner, dan pilihan; (3) dalam merancang kebijakan
kurikulum di level yang lebih makro prinsip yang dipegang adalah keaslian atau
otentisitas, fleksibilitas, dan keselarasan; dan (4) terkait dengan proses kerja perancangan
kurikulum, prinsip yang perlu dipegang adalah pelibatan (engagement), keberdayaan
atau kemerdekaan siswa, dan keberdayaan atau kemerdekaan guru.

Prinsip-prinsip tersebut merupakan salah satu rujukan dalam menentukan prinsip-prinsip


yang digunakan sepanjang perancangan Kurikulum Merdeka. Namun demikian, landasan
utama perancangan Kurikulum Merdeka adalah filosofi Merdeka Belajar yang juga
melandasi kebijakan-kebijakan pendidikan lainnya, sebagaimana yang dinyatakan dalam
Rencana Strategis Kementerian pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024
(Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020). Permendikbud tersebut mengindikasikan bahwa
Merdeka Belajar mendorong perubahan paradigma, termasuk paradigma terkait
kurikulum dan pembelajaran.

Perubahan paradigma yang dituju antara lain menguatkan kemerdekaan guru sebagai
pemegang kendali dalam proses pembelajaran, melepaskan kontrol standar-standar
yang terlalu mengikat dan menuntut proses pembelajaran yang homogen di seluruh
satuan pendidikan di Indonesia, dan menguatkan student agency, yaitu hak dan
kemampuan peserta didik untuk menentukan proses pembelajarannya melalui
penetapan tujuan belajarnya, merefleksikan kemampuannya, serta mengambil langkah
secara proaktif dan bertanggung jawab untuk kesuksesan dirinya.

Dalam mendukung upaya ini, “kurikulum yang terbentuk oleh Kebijakan Merdeka Belajar
akan berkarakteristik fleksibel, berdasarkan kompetensi, berfokus pada pengembangan
karakter dan keterampilan lunak (soft skills), dan akomodatif terhadap kebutuhan dunia”
(Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020, p.55). Filosofi Merdeka Belajar yang dicetuskan
oleh Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara juga menjadi landasan penting dalam
merumuskan prinsip perancangan kurikulum. Menurut Dewantara, kemerdekaan
merupakan tujuan pendidikan sekaligus sebagai prinsip yang melandasi strategi untuk
mencapai tujuan tersebut. Kemerdekaan sebagai tujuan belajar, menurut Dewantara,
dicapai melalui pengembangan budi pekerti, sebagaimana yang ditulisnya (2013; p.25):

Budi pekerti, watak atau karakter, itulah bersatunya gerak fikiran, perasaan dan kehendak
atau kemauan, yang lalu menimbulkan tenaga…. Dengan adanya ‘budi pekerti’ itu
tiaptiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah
atau menguasai diri sendiri. Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan
pendidikan dalam garis besarnya.

Tujuan tersebut memadukan kemampuan kognitif (pikiran), kecerdasan sosial-emosional


(perasaan), kemauan untuk belajar, bersikap, dan mengambil tindakan (disposisi atau
afektif) untuk melakukan perubahan. Budi Pekerti mengarah pada pengembangan
kemampuan untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learning) yang memiliki
kemampuan untuk mengatur diri menentukan arah belajar mereka. Visi Ki Hajar
Dewantara semakin relevan dan semakin mendesak untuk dicapai oleh generasi muda
Indonesia saat ini. Untuk menghasilkan kurikulum yang sejalan dengan Tujuan
Pendidikan Nasional dan visi pendidikan para pendiri bangsa, maka prinsip yang menjadi
pegangan dalam proses perancangan kurikulum adalah sebagai berikut:

1. Sederhana, mudah dipahami dan diimplementasikan

2. Fokus pada kompetensi dan karakter semua peserta didik

3. Fleksibel

4. Selaras

5. Bergotong royong

6. Memperhatikan hasil kajian dan umpan balik

1. Sederhana, Mudah dipahami dan diimplementasikan


Prinsip kerja perancangan kurikulum yang pertama adalah sederhana. Maksudnya,
rancangan kurikulum perlu mudah dipahami dan diimplementasikan. Rancangan
kurikulum ataupun inovasi pendidikan lainnya menjadi lebih sederhana bagi pendidik
apabila perubahannya tidak terlalu jauh daripada yang sebelumnya. Namun apabila
perubahannya cukup besar, dapat disederhanakan dengan cara memberikan dukungan
implementasi yang bertahap agar tingkat kesulitannya tidak terlalu besar untuk pendidik
(Fullan, 2007; OECD 2020a). Berikut adalah poin-poin utama yang diperhatikan dengan
merujuk pada prinsip ini:
Melanjutkan kebijakan dan praktik baik yang telah diatur sebelumnya. Perubahan
sedapat mungkin hanya ditujukan untuk hal-hal yang sememangnya dinilai perlu diubah.
Artinya, perubahan tidak dilakukan sekadar untuk membedakan dari rancangan
sebelumnya (misalnya atas alasan memberikan warna baru semata). Dengan demikian,
beberapa aspek dalam Kurikulum Merdeka sebenarnya merupakan kelanjutan saja dari
Kurikulum 2013 atau bahkan kurikulum yang sebelumnya.

Sebagai contoh, upaya untuk menguatkan pengembangan kompetensi dan karakter


telah dimulai bahkan sejak awal tahun 2000an, dengan adanya Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Tujuan dari Kurikulum Merdeka tidak berubah, namun strateginya
dikuatkan lagi, diantaranya melalui pengintegrasian model pembelajaran melalui projek
ke dalam struktur kurikulum. Dengan masuknya pembelajaran projek dalam struktur
kurikulum, kegiatan yang berorientasi pada kompetensi umum (general competencies,
transversal skills) dan pengembangan karakter ditempatkan sebagai bagian dari proses
pembelajaran yang wajib dilakukan seluruh peserta didik.

Kebijakan lain yang telah diinisiasi oleh kurikulum-kurikulum sebelumnya pun


diteruskan dan dikuatkan dalam Kurikulum Merdeka. Diantaranya adalah penguatan
literasi dasar di PAUD dan SD kelas awal. Kebijakan ini diteruskan, dan beberapa masalah
pembelajaran literasi dini (early literacy) dicoba untuk diatasi melalui penguatan kegiatan
bermain-belajar berbasis buku bacaan anak. Selain itu kebijakan yang dikuatkan terus
adalah penguatan literasi teknologi, literasi finansial, kesadaran kondisi lingkungan,
penguatan pembelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasi di jenjang SMA, serta
penguatan pelajaran Bahasa Inggris di jenjang SD.

Dalam kajianya tentang implementasi kurikulum baru di beberapa negara berkembang


di Asia dan Afrika, Rogan (2003) menyatakan bahwa inovasi baru yang diperkenalkan
sebaiknya tidak terlalu jauh dari kebijakan yang ada saat ini, masih berada dalam apa
yang disebut Rogan sebagai “zone of feasible innovation” atau zona di mana suatu
inovasi masih memungkinkan untuk diterapkan. Perubahan yang tidak drastis akan
membantu memudahkan proses implementasi atau proses belajar guru. Prinsip ini juga
membantu perancang untuk mengidentifikasi lebih jeli tentang apa yang sebenarnya
memang perlu diubah, sebelum menawarkan ide-ide baru dalam perancangan
kurikulum.

Rancangan yang logis dan jelas juga merupakan hal yang penting untuk memastikan
bahwa rancangan kurikulum cukup sederhana untuk dipahami dengan mudah terutama
oleh pemangku kepentingan yang utama, yaitu guru. Fullan (2007) menyatakan bahwa
kejelasan (clarity), kompleksitas (complexity), dan kepraktisan (practicality) suatu inovasi
merupakan bagian dari faktor yang menentukan keberhasilan perubahan pendidikan.
Menurutnya, meskipun guru sudah memahami adanya masalah yang perlu diatasi
melalui perubahan kebijakan, kadang penolakan terhadap kebijakan tersebut terjadi
karena guru tidak memahami arah perubahannya atau menganggapnya terlalu sulit
untuk diimplementasikan dalam konteks mereka. Oleh karena itu, konteks dan situasi di
mana kurikulum tersebut akan diimplementasikan adalah informasi yang sangat
berharga bagi perancang kurikulum.

Beragam dukungan dan bantuan untuk mengimplementasikan kurikulum perlu


disediakan, terutama ketika perubahan kurikulum cukup kompleks. Sebagai contoh,
kurikulum operasional yang digunakan satuan pendidikan dikuatkan kembali dalam
Kurikulum Merdeka. Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
juga menekankan pentingnya pengembangan kurikulum yang lebih konkrit dan
operasional di setiap satuan pendidikan. Namun demikian, kebijakan tersebut kemudian
digantikan oleh Kurikulum 2013 berdasarkan evaluasi bahwa banyak sekolah di
Indonesia kesulitan dalam mengembangkan kurikulum yang otentik (Kemendikbud,
2019). Hal ini cukup disayangkan mengingat untuk negara besar dan beragam seperti
Indonesia, kurikulum operasional yang cenderung seragam untuk semua satuan
pendidikan tidak sesuai. Bahkan di banyak negara yang lebih kecil seperti Finlandia dan
negara-negara eropa lainnya pun arah kebijakannya adalah desentralisasi
pengembangan kurikulum (OECD, 2020b; UNESCO, 2017a).

Oleh karena itu, ketika kurikulum operasional ini kembali dikuatkan dalam Kurikulum
Merdeka, Pemerintah perlu memberikan bantuan kepada satuan pendidikan agar
mereka dapat mengembangkannya. Bantuan ini dapat diberikan dengan memberikan
beberapa contoh-contoh produk kurikulum operasional dan memberikan ruang kepada
seluruh sekolah untuk berbagi contoh kurikulum yang mereka kembangkan untuk
menjadi inspirasi kepada sekolah lainnya, di samping memberikan pelatihan dan
pendampingan. Langkah ini lebih jauh daripada sekadar memberikan panduan atau
pedoman yang masih abstrak dan tidak cukup sederhana untuk dipahami oleh pendidik.

Dengan demikian, prinsip perubahan yang sederhana ini bukan berarti kurikulum yang
dirancang harus seminimal mungkin perbedaannya dengan kurikulum yang lalu. Apabila
hasil kajian menunjukkan bahwa perubahan besar perlu dilakukan, yang perlu disiapkan
adalah bantuan dan dukungan bagi pendidik dan satuan pendidikan untuk dapat
mengimplementasikannya dengan lebih mudah dan efektif. Prinsip sederhana ini sangat
penting dan melandasi banyak keputusan tentang rancangan kurikulum. Namun
demikian, perancang kurikulum tidak dapat hanya berbasis pada prinsip kesederhanaan
perubahan yang cenderung menarik keputusan ke arah yang lebih konservatif
(mempertahankan cara lama). Pertimbangan lain yang juga penting diantaranya adalah
kesesuaian rancangan dengan tujuan utama pembelajaran yaitu untuk mengembangkan
kompetensi dan karakter yang termuat dalam profil Pelajar Pancasila.

2. Fokus pada Kompetensi dan Karakter Semua Peserta


Didik
Sejalan dengan prinsip sederhana di mana kebijakan dan praktik baik dilanjutkan,
Kurikulum Merdeka juga melanjutkan citacita kurikulum-kurikulum sebelumnya untuk
berfokus pada pengembangan kompetensi dan karakter. Istilah “fokus” memiliki makna
memusatkan perhatian pada materi pelajaran atau konten yang lebih sedikit jumlahnya
agar pembelajaran dapat lebih mendalam dan lebih berkualitas (OECD, 2020a). Prinsip ini
menjadi penting karena di banyak negara berkembang masalah pembelajaran umumnya
terjadi karena kurikulum yang terlalu ambisius, yaitu kurikulum yang padat akan materi-
materi pelajaran sehingga harus diajarkan dengan cepat (“too much, too fast”). Kajian
yang dilakukan Pritchett dan Beatty (2015) menunjukkan bahwa di beberapa negara
berkembang seperti Indonesia, materi pelajaran yang begitu padat membuat guru terus
bergerak cepat menyelesaikan bab demi bab, konsep demi konsep, tanpa
memperhitungkan kemampuan siswa memahami konsep yang telah dipelajarinya.
Menurut temuan mereka, hal ini bukan karena guru tidak menghiraukan kemampuan
anak dalam belajar, tetapi karena mereka dituntut untuk menuntaskan materi ajar.

Mengurangi materi atau konten kurikulum merupakan arah reformasi kurikulum di


banyak negara. Faktor pendorongnya sama, yaitu padatnya kurikulum yang berdampak
pada rendahnya kompetensi dan kesejahteraan diri (wellbeing) peserta didik (OECD,
2020b). Alasan utama terjadinya kurikulum yang semakin lama semakin padat adalah
tuntutan terhadap kurikulum untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan
tantangan yang semakin kompleks. Seringkali isu-isu kontemporer seperti
perkembangan teknologi digital, pemanasan global dan kerusakan lingkungan,
kekerasan antar kelompok sosial, dan isu-isu lainnya direspon dengan cara menambah
bab dalam buku teks, target capaian dalam standar, bahkan menambah mata pelajaran.
Akibatnya kurikulum semakin padat dan guru justru mengalami kesulitan untuk
menerapkan pembelajaran yang lebih sesuai untuk menguatkan dan mengembangkan
kompetensi.

Dengan mempelajari masalah kepadatan kurikulum di berbagai konteks, perancangan


kurikulum dilakukan dengan prinsip fokus pada kompetensi dan karakter tanpa
menambah beban materi pelajaran ataupun waktu belajar peserta didik. Strategi yang
dipilih adalah dengan menyesuaikan struktur kurikulum. Dalam Kurikulum Merdeka,
struktur kurikulum dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu pembelajaran
intrakurikuler yang biasanya berbasis mata pelajaran dan pembelajaran melalui projek
yang ditujukan untuk mencapai kompetensi umum yang telah dirumuskan dalam profil
pelajar Pancasila. Metode ini juga sejalan dengan strategi di berbagai negara yang
mengembangkan unit-unit pembelajaran interdisipliner, merestrukturisasi konten
sehingga beban belajar peserta didik tidak membesar secara signifikan (OECD, 2020a).

Pembelajaran berpusat pada peserta didik pada hakikatnya dimulai sejak


perancangan kurikulum, bukan sekadar pedagogi yang dirancang oleh guru setelah
kurikulum ditetapkan. Menurut Pritchett dan Beatty (2015), menempatkan peserta didik
di pusatnya pembelajaran (center of learning) berarti mengajarkan konsep dan/atau
keterampilan sesuai dengan kemampuan mereka saat itu alih-alih mengajarkan suatu
materi hanya karena mengikuti urutan yang dianjurkan dalam buku teks tanpa
mempertimbangkan apakah mayoritas peserta didik sebenarnya siap untuk mempelajari
materi tersebut. Dengan rancangan kurikulum yang demikian, kurikulum berpotensi
untuk mendorong pembelajaran yang membangun kemampuan setiap individu peserta
didik untuk memiliki agency atau kuasa/kendali dalam pembelajarannya, bukan menjadi
“konsumen” informasi. Untuk menjadi kompeten, peserta didik perlu memiliki
kesempatan untuk belajar mengatur dirinya dalam proses belajar (Sahlberg, 2000).

Semua peserta didik perlu mencapai kompetensi minimum, namun kurikulum yang
terlalu padat dan diajarkan dengan terburu-buru mengakibatkan guru hanya
memperhatikan kemampuan sebagian kecil peserta didiknya yang lebih berprestasi
(Pritchett & Beatty, 2015). Akibatnya, sebagaimana yang ditunjukkan dalam penelitian
Pritchett dan Beatty di India tersebut, anak-anak yang mengalami kesulitan belajar akan
semakin tertinggal. Data mereka menunjukkan bahwa anak-anak yang tertinggal ini
kebanyakan dari keluarga miskin, sehingga kurikulum yang padat menjadi salah satu
faktor yang menjelaskan kesenjangan kualitas hasil belajar antar siswa di sekolah yang
sama.

Pengurangan kepadatan kurikulum dapat mengurangi kesenjangan kualitas belajar. Hal


ini ditunjukkan juga dalam kajian yang dilakukan INOVASI dan Pusat Penelitian
Kebijakan Kemendikbud Ristek (2021) bahwa Kurikulum 2013 yang dikurangi capaiannya
(Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar), yang juga dikenal sebagai kurikulum darurat,
membantu siswa SD memitigasi ketertinggalan pembelajaran (learning loss). Efek positif
dari kurikulum darurat ini lebih nyata untuk anak-anak dari keluarga dengan status sosial
ekonomi yang lebih rendah. Maka dengan pengurangan konten, setiap peserta didik
memiliki kesempatan lebih besar untuk mencapai standar kompetensi minimum
sehingga kurikulum pun menjadi lebih berkeadilan (equitable) untuk seluruh anak
Indonesia.

Penguatan literasi dan numerasi terutama di jenjang pendidikan dasar menjadi salah
satu perhatian dalam perancangan kurikulum yang berfokus pada kompetensi. Selaras
dengan konsep literasi dan numerasi yang digunakan dalam kebijakan Asesmen
Kompetensi Nasional (AKM), literasi didefinisikan sebagai kemampuan peserta didik
dalam memahami, menggunakan, mengevaluasi, merefleksikan berbagai jenis teks untuk
menyelesaikan masalah dan mengembangkan kapasitas individu sebagai warga
Indonesia dan warga dunia agar dapat berkontribusi secara produktif di masyarakat.
Sementara itu numerasi didefinisikan sebagai kemampuan peserta didik dalam berpikir
menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk
menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks yang relevan untuk
individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia (REF).

Merujuk pada definisi tersebut, literasi dan numerasi merupakan kemampuan yang
dipelajari dalam berbagai mata pelajaran, tidak hanya Bahasa Indonesia (untuk literasi)
dan Matematika (untuk numerasi). Lebih dari itu, literasi juga harus dimulai sejak
pendidikan anak usia dini. Kurikulum Merdeka untuk PAUD diarahkan untuk menguatkan
literasi dini (early literacy) dan numerasi dini. Kegiatan bermain-belajar yang dianjurkan
dimulai dengan guru membaca nyaring (read aloud) buku bacaan anak, kemudian diikuti
dengan berbagai aktivitas yang mengembangkan kemampuan literasi dasar. Aktivitas ini
beragam sesuai dengan kesiapan guru/pendidik, mulai dari kegiatan tanya jawab atau
diskusi yang menstimulasi kemampuan bernalar kritis dan kreatif, sampai kegiatan yang
lebih panjang lainnya seperti bermain peran, membuat berbagai karya, serta kegiatan
bermain belajar lainnya. Kegiatan seperti ini dapat mendukung perkembangan anak agar
siap bersekolah (school-ready) dan membangun rasa gemar membaca dan berliterasi
(Trealease, 2019).

3. Fleksibel
Fleksibilitas berkaitan dengan otonomi dan kemerdekaan guru dan peserta didik dalam
mengendalikan proses pembelajaran. Prinsip fleksibel ini sesuai dengan amanat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Dalam Pasal 37, dinyatakan bahwa Kemendikbudristek hanya menetapkan kerangka
dasar kurikulum dan struktur kurikulum, sementara satuan pendidikan memiliki
wewenang untuk mengembangkan kurikulum.Kurikulum yang fleksibel akan
memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan dan pendidik untuk mengadaptasi,
menambah kekayaan materi pelajaran, serta menyelaraskan kurikulum dengan
karakteristik peserta didik, visi misi satuan pendidikan, serta budaya dan kearifan lokal.
Keleluasaan seperti ini dibutuhkan agar kurikulum yang dipelajari peserta didik
senantiasa relevan dengan dinamika lingkungan, isu-isu kontemporer, serta kebutuhan
belajar peserta didik.

Di berbagai negara, fleksibilitas menjadi arah reformasi kebijakan kurikulum saat ini.
Tujuannya terutama untuk menjadikan kurikulum lebih relevan dan siap merespon
dinamika lingkungan dan beragam perubahan serta untuk memberikan ruang untuk
pembelajaran sesuai dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa (OECD, 2020a). Di
beberapa negara, fleksibilitas bahkan menjadi tujuan utama dilakukannya perubahan
kurikulum. Di Inggris, strategi utama untuk membuat kurikulum lebih fleksibel adalah
dengan mengubah aturan-aturan yang spesifik dan mengikat, menjadi panduan-
panduan yang sifatnya hanya menganjurkan, bukan mewajibkan sekolah atau guru untuk
mengikuti arahan. Dengan demikian, kurikulum yang sentralistik satu ukuran untuk
semua (one-sizefits-all) mulai ditinggalkan (UNESCO, 2017).

Strategi serupa diterapkan dalam perancangan Kurikulum Merdeka. Petunjuk teknis


mulai digantikan dengan panduan yang lebih fokus pada prinsip-prinsip implementasi
yang tidak terlalu teknis. Panduan juga dirancang sedemikian rupa agar tidak
mengarahkan guru untuk mengikuti satu cara yang disampaikan oleh Pemerintah Pusat.
Selain panduan, beragam contoh-contoh produk berkaitan dengan pembelajaran juga
disediakan. Misalnya contoh silabus, rencana pembelajaran harian, projek penguatan
profil pelajar Pancasila, dsb.; dengan tujuan untuk membantu guru dalam implementasi.
Contoh-contoh tersebut tidak harus diikuti namun dapat digunakan sebagai inspirasi
untuk guru mengembangkan sendiri sesuai dengan konteks mereka. Contoh-contoh
yang diberikan juga lebih dari satu sehingga tidak memberikan kesan bahwa satuan
pendidikan dan guru di seluruh Indonesia perlu mengikuti satu contoh tersebut. Dengan
demikian, fleksibilitas kurikulum akan semakin terlihat jelas bagi satuan pendidikan dan
guru.
Disediakannya panduan dan contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa kurikulum
yang fleksibel bukan berarti membiarkan satuan pendidikan dan guru untuk mencari
jalan keluar sendiri dalam pengembangan kurikulum operasional di tingkat satuan
pendidikan. Sebaliknya, paradigmanya berubah dari pemerintah memberikan arahan
atau petunjuk teknis menjadi pemerintah memberikan bantuan dan dukungan berupa
panduan dan contoh-contoh. Strategi ini dilakukan untuk memberikan fleksibilitas
namun juga memberikan bantuan dan dukungan kepada satuan pendidikan dan guru
yang belum cukup mampu untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri.

Fleksibilitas juga menjadi prinsip dalam implementasi kurikulum. Menyadari


keberagaman satuan pendidikan di Indonesia, implementasi kurikulum tidak akan
dipaksakan dan berlaku sama untuk semua sekolah. Tingkat kesiapan satuan pendidikan
untuk mengimplementasikan kurikulum berbedabeda, dan masing-masing
membutuhkan dukungan termasuk waktu yang berbeda untuk menyiapkan diri dalam
menggunakan kurikulum ini. Oleh karena itu implementasi dirancang sebagai suatu
tahapan belajar. Pemerintah merancang tahapan-tahapan implementasi yang dapat
digunakan satuan pendidikan sebagai acuan bagaimana mereka akan mulai
mengimplementasikan kurikulum secara bertahap sesuai dengan kapasitas yang mereka
miliki.

4. Selaras
Keselarasan (alignment) berkaitan dengan tiga hal (OECD, 2020a): 1) keselarasan antara
kurikulum, proses belajar (pedagogi), dan asesmen; 2) keselarasan antara kurikulum dan
sistem tata kelola dan kompetensi guru; serta 3) keselarasan dengan kebijakan-kebijakan
yang berkaitan dengan pembelajaran individu sejak usia dini hingga perguruan tinggi.
Tiga hal ini menjadikan rancangan kurikulum perlu dipandang secara sistemik dan
melibatkan lintas unit dalam sistem birokrasi pemerintah dalam proses kerjanya.

Kurikulum merupakan poros dari banyak kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, dalam
merancang suatu perubahan kurikulum, implikasi terhadap kebijakan-kebijakan
pendidikan lainnya perlu diperhatikan. Sebagai contoh, perubahan struktur kurikulum di
SMA/MA membutuhkan adanya keselarasan dengan peraturan tentang beban kerja
guru. Hal ini kemudian berujung pula pada sistem pendataan dalam Dapodik. Demikian
pula ketika pelajaran Bahasa Inggris mulai dianjurkan untuk jenjang SD, strategi
penyiapan gurunya membutuhkan perubahan kebijakan terkait linieritas guru serta
kompetensi guru.

Contoh lain keselarasan yang dilakukan adalah komparasi antara Capaian


Pembelajaran dengan kerangka asesmen literasi dan numerasi dalam Asesmen Nasional.
Selaras dengan kebutuhan untuk menguatkan literasi, kebijakan Kurikulum Merdeka
menekankan pentingnya pembelajaran berbasis literasi di seluruh mata pelajaran, tidak
hanya Bahasa Indonesia. Hal ini karena literasi tidak sekadar kemampuan membaca dan
menulis apalagi melek huruf, tetapi sebagai kemampuan kognitif untuk mengidentifikasi,
memahami, menginterpretasi, mencipta/berkreasi, dan mengkomunikasikan informasi
melalui media cetak maupun digital di konteks dunia yang semakin terkoneksi, sehingga
informasi semakin cepat dan mudah diakses (UNESCO, 2017b). Oleh karena, itu semua
mata pelajaran berperan dalam mengembangkan kemampuan literasi.

Prinsip selaras ini juga mendorong peninjauan kembali transisi dari PAUD ke jenjang SD.
Salah satu faktor yang mendorong penekanan kemampuan membaca, menulis, dan
berhitung dengan lancar sebelum anak masuk SD adalah kurikulum di kelas 1 SD yang
padat dengan bacaan dan instruksi yang menuntut kemampuan anak membaca dengan
lancar. Sehingga meskipun telah diatur bahwa kemampuan membaca dengan lancar
tidak boleh menjadi syarat masuk SD, namun kurikulumnya cenderung menuntut anak
untuk dapat membaca, menulis, dan berhitung dengan lancar (Andiarti & Felicia, 2019).
Oleh karena itu salah satu yang diupayakan dalam perancangan kurikulum ini adalah
menyelaraskan kurikulum PAUD dan SD terutama kelas I dan II.

5. Bergotong Royong
Prinsip bergotong royong ini terutama terkait dengan proses perancangan dan
pengembangan kurikulum. Perancangan kurikulum adalah proses yang kompleks, bukan
semata-mata proses ilmiah melainkan juga politik (Ornstein dan Hunkins, 2018). Oleh
karena itu, perancangan kurikulum tidak saja berbasis pada data ilmiah tetapi juga perlu
melibatkan berbagai pemangku kepentingan termasuk guru dan peserta didik. Hal ini
penting dilakukan untuk mendapatkan persetujuan dan dukungan dari berbagai pihak
(OECD, 2020a).

Perancangan Kurikulum Merdeka beserta perangkat ajarnya dilakukan dengan


melibatkan puluhan institusi termasuk Kementerian Agama, universitas, sekolah, dan
lembaga pendidikan lainnya. Sejak awal perancangan kurikulum dilakukan di akhir tahun
2019, beberapa akademisi LPTK dan universitas dilibatkan untuk melakukan refleksi
terhadap Kurikulum 2013 dan merumuskan ide-ide perubahan kurikulum agar dapat
lebih fleksibel, fokus pada kompetensi dan karakter, serta sejalan dengan perubahan
dunia yang begitu dinamis. Selanjutnya, dalam proses perancangan kurikulum mulai dari
kerangka dasar dan struktur kurikulum, Capaian Pembelajaran, sampai dengan
pengembangan berbagai perangkat ajar, berbagai pihak dilibatkan. Pakar yang
dilibatkan dalam perancangan kurikulum ini adalah kombinasi dari akademisi dan
praktisi termasuk guru.

Sepanjang proses perancangan kurikulum yang telah berlangsung lebih dari 2 tahun,
rangkaian diskusi kelompok terpumpun (DKT atau focused group discussion atau FGD)
dilakukan beberapa kali dengan pemangku kepentingan yang berbeda-beda. Tujuan dari
serial DKT ini adalah untuk mendapatkan umpan balik dan ide-ide baru untuk
meningkatkan kualitas rancangan dan implementasi kurikulum.

Tidak hanya di tingkat pusat, pengembangan kurikulum operasional di tingkat satuan


pendidikan juga dianjurkan untuk melibatkan orangtua, peserta didik, dan masyarakat.
Selain itu, pelibatan siswa dan masyarakat juga sangat dianjurkan dalam pembelajaran
berbasis projek untuk menguatkan profil pelajar Pancasila yang menjadi bagian dari
struktur kurikulum

6. Memperhatian Hasil Kajian dan Umpan Balik


Salah satu komitmen penting dalam perancangan kurikulum adalah keajegan serta
kesahihan keputusan yang dibuat dalam berbagai aspek. Ini artinya kurikulum perlu
dirancang dengan berbasis pada data yang sahih sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kualitasnya. Hasil penelitian kontemporer di berbagai konteks
global memberikan inspirasi tentang kebijakan dan praktik yang dapat diadaptasi untuk
konteks Indonesia.

Data atau hasil kajian tidak hanya dibutuhkan sebagai referensi dalam proses
perancangan kurikulum di awal, namun juga ketika kurikulum tersebut mulai
diimplementasikan dalam konteks yang lebih riil. Kurikulum ini diujicobakan secara
terbatas dalam Program Sekolah Penggerak (PSP) dan SMK Pusat Keunggulan (SMK PK)
mulai Tahun Ajaran 2021/2022. Umpan balik tentang rancangan kurikulum ini diperoleh
melalui mekanisme monitoring dan evaluasi PSP dan SMK PK. Monitoring dan evaluasi
kurikulum pada Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian yaitu evaluasi dokumen kurikulum yang fokus pada produk
kurikulum dan evaluasi implementasi yang lebih fokus pada bagaimana kurikulum
diterapkan di satuan pendidikan.

Evaluasi dokumen kurikulum berfungsi untuk memperoleh umpan balik tentang


keterbacaan, kebermanfaatan dan keterpakaian dokumen-dokumen kurikulum. Evaluasi
ini dilaksanakan melalui telaah dokumen oleh berbagai unsur seperti guru dan kepala
sekolah dari Sekolah Penggerak dan SMK Pusat Keunggulan serta pakar-pakar melalui
diskusi kelompok terpumpun (DKT). Hasil dari evaluasi ini digunakan untuk
pertimbangan pada revisi dokumen-dokumen terkait, yaitu Capaian Pembelajaran, buku
teks, bahan ajar, contoh alur tujuan pembelajaran, serta panduanpanduan dan contoh-
contoh dokumen lainnya. Revisi berbasis data ini dilakukan guna meningkatkan mutu
dari Kurikulum Merdeka.

Pembelajaran (CP) yang digunakan di PAUD, SD, SMP, dan SMA, perlu direvisi namun
secara minor. Sementara itu, sekitar 33% -nya membutuhkan revisi yang lebih substantif.
Rekomendasi dari para pakar dan praktisi (guru dari sekolah yang mengikuti Program
Sekolah Penggerak) ini dianjurkan setelah dokumen tersebut mulai diimplementasikan
dan beberapa hal baru ditemui setelah dipraktikkan. Alih-alih melihat kebutuhan revisi
ini sebagai sesuatu yang negatif, data ini perlu disambut baik. Tanpa adanya piloting
atau uji coba secara terbatas, bisa jadi dokumen-dokumen yang sebenarnya masih
membutuhkan perbaikan tersebut terlanjur digunakan di seluruh Indonesia.

Evaluasi implementasi kurikulum berfungsi untuk memperoleh informasi tentang


implementasi berbagai intervensi PSP dan SMK PK serta potensi masalah sebelum
menimbulkan dampak lebih lanjut. Evaluasi implementasi dilaksanakan melalui
wawancara terstruktur melalui telepon secara rutin dengan sampel acak guru dan kepala
sekolah yang mewakili populasi Sekolah Penggerak dan penelitian kualitatif melalui
etnografi. Hasil evaluasi implementasi ini kemudian menjadi bahan pertimbangan untuk
perumusan kebijakan kedepannya, dan salah satunya adalah kebijakan terkait Kurikulum
Merdeka.

Beberapa umpan balik yang diperoleh tentang kurikulum antara lain tentang kurikulum
operasional sekolah di mana beberapa sekolah kebingungan dalam melakukan analisis
karakteristik satuan pendidikan dan memanfaatkan hasil analisis tersebut sebagai dasar
menyusun organisasi pembelajaran. Hal ini menjadi masukan penting untuk peningkatan
kualitas panduan perancangan kurikulum operasional sekolah. Begitu juga umpan balik
terkait pembelajaran sesuai dengan tahap capaian peserta didik. Beberapa satuan
pendidikan telah mencoba melakukan asesmen diagnostik namun kebingungan dalam
memanfaatkan hasil asesmen tersebut dalam menjalankan pembelajaran yang
terdiferensiasi. Selain itu, sebagian besar guru juga masih menganggap projek
penguatan profil pelajar Pancasila terkait dengan mata pelajaran. Hal ini perlu
ditindaklanjuti dengan penjelasan yang lebih sederhana dan konsisten untuk
menjelaskan posisi projek penguatan profil pelajar Pancasila dalam struktur kurikulum
dan bagaimana penilaian hasil belajarnya dilakukan.

Monitoring dan evaluasi kurikulum tidak terbatas pada tahun pertama saja. Untuk itu
telah disiapkan rencana monitoring dan evaluasi yang berkelanjutan. Adapun fokus
monitoring dan evaluasi untuk tiap tahun adalah sebagai berikut: (1) tahun 2021 - 2022,
monitoring dan evaluasi pada kualitas materi kurikulum, (2) tahun 2022 - 2023,
monitoring pada perubahan perilaku guru dalam pembelajaran, dan (3) tahun 2023 -
2024, monitoring pada dampak kurikulum terhadap hasil belajar siswa. Selanjutnya untuk
tahun-tahun berikutnya monitoring dilaksanakan guna memutakhirkan muatan
pelajaran. Hasil monitoring pada tahun 2024 juga menjadi dasar pertimbangan untuk
kebijakan implementasi kurikulum di Indonesia. Demikian prinsip-prinsip yang dipegang
sepanjang perancangan kurikulum dan uji coba dilakukan.

Struktur Kurikulum Merdeka


Sebagaimana yang dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021
tentang Standar Nasional Pendidikan, struktur kurikulum merupakan pengorganisasian
atas kompetensi, muatan pembelajaran, dan beban belajar. Karakteristik utama yang
ditekankan dalam rancangan struktur kurikulum ini adalah sebagai berikut: (1) adanya
perubahan status mata pelajaran, (2) satuan pendidikan memiliki wewenang untuk
mengembangkan kurikulum operasional, (3) pembelajaran dibagi menjadi dua, yaitu
intrakurikuler dan kokurikuler dalam bentuk projek penguatan profil pelajar Pancasila,
dan (4) adanya pilihan yang dapat ditentukan oleh peserta didik.

1. Perubahan Status Mata Pelajaran


Perubahan status mata pelajaran merupakan salah satu upaya untuk menguatkan
pengembangan kompetensi yang penting dimiliki oleh setiap peserta didik di masa kini
dan masa yang akan datang. Seiring dengan tujuan tersebut, perubahan ini juga
dilakukan sebagai upaya meningkatkan keselarasan pembelajaran antara satu jenjang
dan jenjang berikutnya. Dengan penyesuaian status mata pelajaran (misalnya dari tidak
wajib menjadi mata pelajaran wajib atau dianjurkan), perkembangan kompetensi setiap
peserta didik diharapkan dapat lebih optimal. Berikut adalah beberapa perubahan
tersebut:

Bahasa Inggris semakin dianjurkan untuk mulai diajarkan sejak jenjang SD, sebagaimana
sudah dimulai sejak kurikulum-kurikulum sebelumnya. Hal ini didorong oleh tiga hal: (1)
bahasa Inggris sebagai kebutuhan seluruh anak Indonesia, (2) keselarasan kurikulum
Bahasa Inggris, dan (3) pemerataan kualitas pembelajaran. Untuk dapat berkomunikasi
lintas budaya dan antar bangsa serta berperan aktif sebagai masyarakat dunia,
keterampilan Bahasa Inggris merupakan kebutuhan dasar yang perlu dimiliki seluruh
anak Indonesia. Bahasa Inggris telah menjadi lingua franca atau basantara, termasuk
untuk masyarakat di Asia Tenggara yang menggunakan bahasa ibu dan bahasa resmi
yang berbeda-beda (Kickpatrick, 2010). Sesuai dengan komitmen Pemerintah untuk
mengembangkan setiap dimensi dalam profil pelajar Pancasila termasuk berkebinekaan
global, maka penguatan pendidikan Bahasa Inggris merupakan salah satu hal yang
diutamakan dalam Kurikulum Merdeka.

Masalah keselarasan kurikulum Bahasa Inggris dalam kurikulum nasional juga menjadi
salah satu pertimbangan yang mendorong anjuran kepada satuan pendidikan dan
pemerintah daerah untuk mengajarkan mata pelajaran ini. Salah satu temuan evaluasi
Kurikulum 2013 yang dilakukan Pusat Kurikulum dan Perbukuan adalah kerancuan dalam
kompetensi yang harus dicapai siswa jenjang SMP. Tanpa ada pendidikan Bahasa Inggris
di jenjang SD, mereka diharapkan untuk mencapai kompetensi yang sebenarnya
merupakan kemampuan tahap menengah (intermediate level). Artinya, tanpa ada
pembelajaran di level dasar (basic level), mereka langsung diharapkan mencapai level
yang cukup kompleks. Ada dua opsi sebagai solusi dari masalah gap atau kesenjangan
capaian kompetensi ini. Pertama, mengubah target capaian mata pelajaran Bahasa
Inggris di jenjang SMP agar lebih sederhana. Opsi ini mengindikasikan penurunan
standar kompetensi dan justru bertentangan dengan tujuan utama penguatan
pendidikan Bahasa Inggris. Oleh karena itu, opsi ini tidak dipilih. Opsi kedua, dan
merupakan opsi yang dipilih sebagai solusi, adalah menyediakan pendidikan Bahasa
Inggris level dasar di jenjang SD.

Mengajarkan Bahasa Inggris sejak dini dengan kebijakan, perencanaan, dan


penyelenggaraan yang dirancang dengan hati-hati akan mendorong penguatan fondasi
Bahasa Inggris. Kajian menunjukkan bahwa manfaat utama mengajarkan Bahasa Inggris
di jenjang SD antara lain adalah, terbangunnya rasa percaya diri untuk menggunakan
Bahasa Inggris sekaligus membangun kesadaran global dan kompetensi antarbudaya
(Singleton, D., 2003, Harmer, J., 2012, Moon, J, 2005). Dengan demikian, mata pelajaran
ini tidak sekadar mengajarkan teknik dan keterampilan berbahasa Inggris, tetapi juga
mengembangkan wawasan global di mana siswa dapat lebih mudah memahami
perbedaan budaya sehingga terbangun sikap toleran. Kemampuan berbahasa Inggris
juga berpotensi untuk menjadi faktor yang berkontribusi pada kesenjangan kualitas
belajar antar siswa dan antar satuan pendidikan. Saat pembelajaran dari rumah di masa
pademi COVID-19 dilaksanakan, sumber pembelajaran dalam jaringan sangat
dibutuhkan baik oleh pendidik maupun oleh peserta didik. OECD (2020c) melakukan
pendataan sumber-sumber pembelajaran daring dari berbagai negara dan
dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat, yang dapat diakses secara terbuka.
Namun demikian, mayoritas sumber belajar yang telah dikurasi kualitasnya tersebut
menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Sehingga, ketika guru dan
peserta didik kurang memiliki kemampuan Bahasa Inggris, sumber-sumber belajar yang
sebenarnya berpotensi untuk memitigasi ketertinggalan pembelajaran (learning loss)
tetap tidak dapat diakses. Sementara untuk satuan pendidikan yang telah
menyelenggarakan pembelajaran Bahasa Inggris, sumber-sumber belajar tersebut dapat
diakses dengan lebih leluasa. Oleh karena itu, menguatkan kemampuan berbahasa
Inggris di mayoritas sekolah dasar di Indonesia diharapkan dapat memperkecil
kesenjangan kualitas belajar.

Meskipun Bahasa Inggris perlu diajarkan sejak jenjang SD, namun dalam jangka pendek
mata pelajaran ini belum dapat menjadi mata pelajaran wajib. Menurut data Dapodik,
saat ini hanya sekitar 4% satuan SD/MI di Indonesia yang mengajarkan mata pelajaran
Bahasa Inggris. Sebagaimana yang diperlihatkan Tabel 1, di beberapa kabupaten/kota
proporsi SD yang mengajarkan mata pelajaran Bahasa Inggris cukup tinggi. Di beberapa
kabupaten/ kota tersebut, Bahasa Inggris merupakan mata pelajaran yang diwajibkan
sebagai muatan lokal. Dengan demikian, beberapa pemerintah daerah sudah melakukan
inisiatif untuk menguatkan Bahasa Inggris di jenjang SD. Sementara itu, di DKI Jakarta
Bahasa Inggris tidak menjadi satu mata pelajaran tersendiri melainkan terintegrasi dalam
muatan lokal Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta (PLBJ).

Data empiris menunjukkan bahwa proporsi SD yang sudah mengajarkan mata pelajaran
Bahasa Inggris masih relatif rendah sehingga, mengubah statusnya menjadi mata
pelajaran wajib merupakan kebijakan yang terlalu terburu-buru. Oleh karena itu,
Kemendikbudristek mengembangkan peta jalan pendidikan Bahasa Inggris yang
merumuskan strategi untuk menyiapkan Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib,
termasuk penyiapan tenaga pendidik dan berbagai pendukung pembelajaran lainnya.
Dengan demikian, dalam jangka waktu menengah, mata pelajaran ini akan menjadi mata
pelajaran wajib di SD.

Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS) di jenjang SD merupakan mata pelajaran yang
ditujukan untuk membangun kemampuan literasi sains dasar. Muatan ini merupakan
fondasi untuk menyiapkan peserta didik mempelajari ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan sosial yang lebih kompleks di jenjang SMP. Ketika mempelajari lingkungan
sekitarnya, peserta didik di jenjang SD melihat fenomena alam dan sosial sebagai suatu
fenomena yang terintegrasi, dan mereka mulai berlatih membiasakan diri untuk
mengamati atau mengobservasi, mengeksplorasi, dan melakukan kegiatan yang
mendorong kemampuan inkuiri lainnya yang sangat penting untuk menjadi fondasi
sebelum mereka mempelajari konsep dan topik yang lebih spesifik di mata pelajaran IPA
dan IPS yang akan mereka pelajari di jenjang SMP.

Pembelajaran berbasis inkuiri merupakan pendekatan dimana peserta didik ditantang


untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi, kemudian melakukan review
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, mencari keterkaitan, mengenali pola dan secara
perlahan membangun pemahaman akan suatu konsep. Dalam pendekatan ini, pendidik
berperan sebagai fasilitator untuk membangun pemahaman peserta didik. Dengan
pendekatan inkuiri, peserta didik secara bertahap dan mandiri membangun pemahaman
dan memperdalam prinsipprinsip yang sedang dipelajari (Murdoch, 2015, Constantinou
et al., 2018). Bila merujuk pada teori perkembangan anak yang dipakai dalam
pengembangan Kurikulum Merdeka, maka usia SD merupakan masa strategis untuk
mengembangkan kemampuan inkuiri anak.

Mata pelajaran IPA dan IPS dijadikan satu menjadi Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial
(IPAS) karena dasar dari kedua mata pelajaran ini adalah pengembangan keterampilan
inkuiri atau dikenal juga sebagai kemampuan berpikir ilmiah.

Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai masalah di dunia ini seringkali tidak
dapat dipecahkan hanya dari sudut pandang satu bidang ilmu tertentu. Untuk
keberlanjutan planet bumi ini, maka masalah perlu dipecahkan dengan
mempertimbangkan aspek alam, ekonomi, sosial dan kesejahteraan manusia (Atkisson,
2008). Saat membahas tentang dampak perilaku manusia terhadap lingkungan, atau
dampak iklim dan peristiwa geologi terhadap manusia, misalnya. Untuk membantu anak
berpikir secara holistik, belajar berpikir dari berbagai perspektif dan mengembangkan
kemampuan inkuiri mereka, serta untuk mengurangi beban jam belajar peserta didik,
maka pelajaran IPA dan IPS pada Fase B dan dijadikan satu menjadi IPAS.

Mata pelajaran Informatika di jenjang SMP menjadi wajib yang sebelumnya merupakan
mata pelajaran pilihan dalam Kurikulum 2013. Pertimbangan utamanya adalah karena
literasi digital yang banyak dipelajari melalui mata pelajaran Informatika menjadi
kebutuhan penting saat ini. Selain itu, Informatika mengajarkan keterampilan yang tidak
hanya relevan untuk pengguna komputer dan teknologi digital, tetapi juga kemampuan
berpikir komputasi (computational thinking) yang membangun keterampilan
menyelesaikan masalah (problem solving), berpikir logis, sistematis, mengolah dan
menggunakan data, serta kemampuan berpikir sistem (system thinking). Mengingat
pentingnya kemampuan-kemampuan tersebut untuk mengembangkan literasi dan
numerasi, maka mata pelajaran Informatika, yang sebelumnya merupakan mata
pelajaran pilihan dalam Kurikulum 2013, mulai diwajibkan dalam Kurikulum Merdeka di
jenjang SMP dan SMA Kelas X, dan kemudian menjadi salah satu mata pelajaran pilihan
di kelas XI dan XII.

Pertimbangan mewajibkan mata pelajaran Informatika juga didasari oleh data empiris
yang telah diperoleh melalui uji coba implementasi kurikulum dalam Program Sekolah
Penggerak (PSP). Dari 573 satuan SMP yang mengikuti PSP untuk kelas VII pada Tahun
Ajaran 2021/2022, sebanyak 542 (sekitar 95%) SMP mengajarkan mata pelajaran
Informatika di sekolah mereka. Tingginya angka tersebut mengindikasikan bahwa
mewajibkan Informatika di jenjang SMP adalah kebijakan yang siap diimplementasikan.
Namun demikian, perlu diperhatikan juga 5% sisanya yang belum siap untuk
mengajarkan Informatika. Masalah yang dihadapi 31 satuan SMP tersebut adalah tidak
ada guru yang siap untuk mengampu mata pelajaran Informatika.

Menghadapi situasi kurangnya guru Informatika di jenjang SMP, Pemerintah


menetapkan keputusan bahwa mata pelajaran Informatika SMP dan SMA Kelas X dapat
diampu oleh guru yang mempunyai kualifikasi akademik atau sertifikat pendidik bidang
ilmu komputer, informatika, MIPA, atau guru yang selama ini mengampu Bimbingan TIK
(Kepmendikbudristek Nomor 162 Tahun 2021 tentang Program Sekolah Penggerak).
Keputusan tersebut sesuai dengan prinsip fleksibilitas, namun tetap memperhatikan
kualitas pembelajaran yang berfokus pada penguatan kompetensi. Perancangan
kurikulum Informatika SMP dan SMA Kelas X pun dilandasi dengan kesadaran akan
adanya tantangan ketersediaan guru ini. Untuk membantu guru yang relatif baru
mengajar mata pelajaran ini, pemerintah menyediakan buku panduan guru dan beragam
contoh silabus/alur pembelajaran serta modul ajar.

Muatan lokal dapat dikembangkan dalam bentuk yang lebih beragam, tidak harus
menjadi satu mata pelajaran yang berdiri sendiri. Dalam Kurikulum 2013, muatan lokal
merupakan satu mata pelajaran. Kebijakan tersebut diubah dalam Kurikulum Merdeka, di
mana muatan lokal dapat diajarkan melalui tiga cara yang dapat dipilih oleh satuan
pendidikan, yaitu mengintegrasikan muatan lokal ke dalam mata pelajaran yang sudah
ada, mengintegrasikan muatan lokal ke dalam projek penguatan profil pelajar Pancasila,
atau mengembangkan mata pelajaran khusus muatan lokal seperti halnya dalam
Kurikulum 2013. PIlihan ini diberikan kepada satuan pendidikan dan/atau pemerintah
daerah agar mereka dapat mempertimbangkan kebutuhan peserta didik.

Pembebasan pengaturan muatan lokal ini sesuai dengan prinsip fleksibel. Menyadari
bahwa setiap daerah dan satuan pendidikan memiliki visi misi pendidikan yang mungkin
berbeda dengan daerah/satuan pendidikan lainnya, maka menjadi wewenang daerah
untuk menentukan bagaimana muatan pelajaran yang berbasis pada konteks lokal
tersebut diorganisir dan diajarkan kepada peserta didik. Berdasarkan umpan balik yang
diperoleh dari uji coba kurikulum ini di Sekolah Penggerak, sebagian besar sekolah
mengajarkan muatan lokal sebagai mata pelajaran tersendiri karena telah diatur oleh
Pemerintah Daerah masingmasing, dan sisanya mengintegrasikan muatan lokal dalam
mata pelajaran lain atau dalam projek penguatan profil pelajar Pancasila.

2. Wewenang satuan pendidikan untuk


mengembangkan kurikulum operasional
Kebijakan ini merefleksikan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang
Standar Nasional Pendidikan khususnya Pasal 38 yang menyatakan bahwa kerangka
dasar kurikulum dan struktur kurikulum menjadi landasan bagi pengembangan
kurikulum yang lebih operasional di tingkat satuan pendidikan. Pemerintah Pusat hanya
mengatur muatan pembelajaran yang wajib diajarkan di satuan pendidikan beserta
beban belajar untuk masing-masing muatan tersebut dalam satu tahun ajaran (untuk
pendidikan formal) atau satu fase (untuk pendidikan kesetaraan). Fleksibilitas dalam
pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan satuan pendidikan dalam hal
pengembangan kurikulum merupakan kebijakan yang semakin banyak diterapkan di
berbagai negara, bahkan negara-negara yang sebenarnya jauh lebih kecil daripada
Indonesia (UNESCO, 2017a).

Berbeda dengan Kurikulum 2013 yang mengatur jumlah jam pelajaran per minggu,
Kurikulum Merdeka menetapkan target jam pelajaran yang terakumulasi dalam satu
tahun. Hal ini dilakukan untuk memberikan keleluasaan kepada satuan pendidikan untuk
mengatur jadwal kegiatan pembelajaran secara lebih fleksibel. Sebagai contoh, saat ini
sebagian sekolah menggunakan sistem belajar dalam satuan semester, namun ada yang
menggunakan sistem catur wulan dan blok dengan rentang waktu yang berbeda.
Perbedaan ini sedikit banyak mempengaruhi jumlah hari belajar per tahun. Pengurangan
atau perubahan jumlah jam belajar juga terjadi sebagai dampak dari situasi bencana
yang terpaksa harus menghentikan kegiatan pembelajaran untuk beberapa waktu.

Amanat Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 yang mengatur pembagian


wewenang tentang kurikulum berimplikasi pada dua hal. Pertama, satuan pendidikan
dan/atau pemerintah daerah dapat menambahkan muatan pelajaran sesuai dengan
konteks lokal, visi misi dan karakteristik satuan pendidikan, dan kebutuhan peserta didik.
Kedua, satuan pendidikan dapat mengatur pengorganisasian pembelajaran baik berbasis
mata pelajaran, menggunakan unit-unit tematik atau terintegrasi. Namun demikian,
untuk tiga mata pelajaran yaitu Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia, satuan pendidikan tidak
diperkenankan untuk meleburnya menjadi unit pelajaran dengan nama yang berbeda.
Kebijakan ini banyak dilakukan di berbagai negara untuk menguatkan jati diri bangsa
(Porter & Polikoff, 2008).

Kebijakan ini selaras dengan semangat Merdeka Belajar dan prinsip fleksibilitas dalam
pengembangan kurikulum. Berbeda dengan Kurikulum 2013 di mana kurikulum SD
menggunakan pendekatan tematik, satuan pendidikan yang menggunakan Kurikulum
Merdeka memiliki keleluasaan untuk mengorganisasikan pembelajarannya, tidak lagi
diarahkan untuk menggunakan pendekatan tematik. Dengan kata lain, satuan
pendidikan SD dapat menstruktur muatan pelajarannya menggunakan mata pelajaran
ataupun melanjutkan penggunaan pendekatan tematik namun menyesuaikan dengan
Capaian Pembelajaran.

Kebijakan pengembangan kurikulum operasional di satuan pendidikan ini sebenarnya


sudah diinisiasi dalam Kurikulum 2006 yang dikenal juga sebagai Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan demikian kebijakan tentang pengembangan
kurikulum operasional dalam Kurikulum Merdeka ini merupakan kelanjutan dari
kebijakan yang sudah ada. Besarnya negara Indonesia dengan beragam konteks budaya
dan lingkungan menjadi salah satu alasan utama pentingnya kontekstualisasi kurikulum
di tingkat satuan pendidikan. Dalam konteks yang sangat beragam ini, kurikulum yang
tersentralisasi (centralized curriculum) bukan saja tidak efektif, tetapi juga secara alami
tidak dapat dilakukan. Satuan pendidikan dan pendidik akan selalu melakukan
penyesuaian dengan situasi yang dihadapinya. Sehingga mengontrol penuh proses
pembelajaran melalui kurikulum tersentralistik adalah upaya yang tidak akan efektif
(OECD 2020a; Valverde et al., 2002) sebagaimana yang dijelaskan pada bagian Kerangka
Kurikulum di awal bab ini. Evaluasi terhadap implementasi Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa
pengembangan kurikulum di satuan pendidikan masih banyak yang sekadar formalitas
untuk memenuhi tuntutan administrasi yang berujung pada salah satu kriteria penilaian
akreditasi sekolah. Akibatnya, dokumen kurikulum satuan pendidikan yang dihasilkan
tidak benar-benar digunakan sebagai referensi perencanaan pembelajaran dan tidak
benar-benar mencerminkan pembelajaran yang sebenarnya terjadi. Setelah ditelaah
lebih mendalam, nampak bahwa salah satu faktor penting yang menyebabkan tidak
efektifnya pengembangan kurikulum satuan pendidikan adalah karena pengembangan
kurikulum satuan pendidikan ini lebih berfokus pada format dokumen yang harus diisi
oleh sekolah, yang dinilai membebani guru terlalu berat. Karena fokus pada format
dokumen, maka terjadi penyeragaman dokumen kurikulum satuan pendidikan. Hal ini
bertentangan dengan prinsip yang paling mendasar dalam pengembangan kurikulum
satuan pendidikan, yaitu keleluasaan setiap satuan pendidikan untuk mengembangkan
kurikulumnya sesuai keunikan masing-masing.

Selain itu, melalui diskusi kelompok terpumpun (DKT), pimpinan sekolah dan guru
menyampaikan bahwa tantangan dalam pengembangan kurikulum operasional juga
diakibatkan banyaknya aturan-aturan yang mengikat sehingga sulit untuk
mengembangkan kurikulum yang otentik dan kontekstual karena aturan tersebut harus
dipenuhi. Aturan tentang jam pelajaran, asesmen dan penilaian hasil belajar siswa, serta
aturan administrasi lainnya yang diseragamkan membuat satuan pendidikan memiliki
ruang gerak yang sempit untuk mengembangkan kurikulum.

Berdasarkan evaluasi tersebut, kebijakan terkait kurikulum operasional yang perlu


dikuatkan adalah penyederhanaan dokumen kurikulum operasional sebagai output dari
proses perancangan dan refleksi pembelajaran di satuan pendidikan (dan proses ini lebih
penting untuk dilakukan setiap satuan pendidikan daripada produknya). Dengan kata
lain, dokumen yang perlu dihasilkan dari proses pengembangan kurikulum satuan
pendidikan tidak menjadi beban kerja yang berlebihan, sesuai kebutuhan satuan
pendidikan sehingga bermanfaat bagi mereka, dan mencerminkan proses pembelajaran
yang diharapkan atau sesuai dengan prinsip pembelajaran dan asesmen.

Selain itu, belajar dari tantangan yang dihadapi KTSP dan Kurikulum 2013, strategi yang
dilakukan untuk membantu satuan pendidikan mengembangkan kurikulum operasional
sekolah, pemerintah menyediakan panduan dan beberapa contoh konkrit dokumen
kurikulum operasional sekolah. Contohcontoh tersebut bervariasi formatnya untuk
menunjukkan bahwa tidak ada tuntutan penyeragaman dokumen. Penilaian kualitas
kurikulum operasional perlu merujuk pada kesesuaian antara kurikulum operasional
dengan kriteria yang bersifat prinsip, bukan teknis. Prinsip yang dimaksud adalah
(Gabriel & Farmer, 2009; Glatthorn et al., 2019): berpusat pada peserta didik, kontekstual,
esensial, akuntabel (berbasis data dan logis) , dan melibatkan berbagai pemangku
kepentingan.

3. Struktur kurikulum dibagi menjadi intrakurikuler dan


projek penguatan profil pelajar Pancasila
Struktur kurikulum dalam Kurikulum Merdeka dibagi menjadi dua kegiatan utama, yaitu:
(1) kegiatan pembelajaran intrakurikuler yang merupakan kegiatan rutin dan terjadwal
berdasarkan muatan pelajaran yang terstruktur, dan (2) kegiatan pembelajaran melalui
projek untuk penguatan profil pelajar Pancasila. Kebaruan dalam pembagian dua
kegiatan ini merujuk pada prinsip fokus pada kompetensi dan karakter peserta didik
melalui dua hal. Pertama, untuk menguatkan pendidikan karakter, pembelajaran yang
berorientasi penuh pada kompetensi fundamental dan karakter perlu menjadi bagian
dari struktur kurikulum agar mendapatkan perhatian penuh baik dari pendidik maupun
peserta didik (OECD, 2020a).

Kedua, projek penguatan profil pelajar Pancasila yang memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengeksplorasi isu-isu kontemporer seperti masalah
lingkungan/pemanasan global dan gaya hidup berkelanjutan, kebinekaan dan toleransi,
kesehatan fisik dan mental termasuk kesejahteraan diri (wellbeing), dan sebagainya.
Namun demikian, isu-isu ini tidak diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri dan
menambah beban belajar, melainkan sebagai unit pembelajaran yang interdisipliner,
tanpa terikat dengan Capaian Pembelajaran mata pelajaran ataupun materi yang sedang
dipelajari dalam mata pelajaran. Projek ini pun tidak menambah jam pelajaran. Total jam
pelajaran yang ditempuh siswa sama dengan Kurikulum 2013. Bedanya, projek dalam
Kurikulum Merdeka mengambil waktu sekitar 20 hingga 30% dari total jam pelajaran per
tahun. Dengan demikian, meskipun kompetensi dan karakter dikuatkan, muatan
pelajaran atau konten tidak bertambah, sesuai dengan prinsip perancangan kurikulum.

Projek penguatan profil pelajar Pancasila tidak menggantikan pendekatan pembelajaran


berbasis projek (project-based learning) yang sudah diterapkan oleh sebagian guru.
Projek-projek tersebut bisa jadi berbasis mata pelajaran atau sebagai unit pelajaran
terintegrasi dari dua atau lebih mata pelajaran. Guru tetap dapat meneruskan
pembelajaran inkuiri yang mendukung penguatan dan pengembangan kompetensi
tersebut. Projek ini dirancang sebagai upaya untuk menguatkan pengembangan profil
pelajar Pancasila dengan enam dimensinya: beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa dan berakhlak mulia, mandiri, berkebinekaan global, bergotong royong,
bernalar kritis, dan kreatif. Khusus untuk pembelajaran yang ditujukan untuk penguatan
profil pelajar Pancasila ini memang diarahkan untuk berbentuk projek, tidak kuliah/
ceramah satu arah, dan tidak terjadwal secara rutin dalam daftar mata pelajaran seperti
halnya mata pelajaran (intrakurikuler).

Pembelajaran berbasis projek memberikan kesempatan kepada siswa untuk


mengeksplorasi suatu topik, isu, atau masalah tanpa ada sekat-sekat disiplin ilmu atau
batasan antar mata pelajaran. Hal ini dinilai sangat sesuai untuk pengembangan
kompetensi Abad 21 serta nilai-nilai atau karakter (OECD, 2018) sesuai dengan apa yang
dirumuskan dalam profil pelajar Pancasila. Ki Hadjar Dewantara (2013) juga menekankan
bahwa mempelajari pengetahuan saja tidak cukup, peserta didik perlu menggunakan
pengetahuan tersebut dalam kehidupan nyata, di mana mereka dapat berinteraksi
dengan lingkungan sekitarnya.

Pendekatan pembelajaran yang mendekatkan peserta didik dengan dunia nyata tidak
hanya berguna untuk menerapkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menguatkan
pemahaman peserta didik akan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, membangun
minat belajar yang lebih mendalam, serta kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya.

Pencapaian profil pelajar Pancasila tidak cukup hanya mengandalkan proses belajar-
mengajar dalam program intrakurikuler. Pembelajaran intrakurikuler yang dilakukan
secara rutin memiliki keterbatasan untuk menerapkan pembelajaran yang sangat
kontekstual, dan intrakurikuler juga memiliki Capaian Pembelajaran yang harus dicapai
sehingga tidak dapat fokus sepenuhnya pada nilai-nilai dalam profil pelajar Pancasila.
Sementara itu, projek dilakukan di luar jadwal pelajaran rutin, lebih fleksibel dan tidak
seformal kegiatan pembelajaran intrakurikuler, dan tidak harus berkaitan erat
dengan Capaian Pembelajaran mata pelajaran apapun. Target capaiannya adalah profil
pelajar Pancasila sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Situasi belajar yang
seperti ini dinilai efektif untuk mendorong pengembangan karakter dan kompetensi
yang mendalam (Miller, 2018).

Pemerintah menetapkan tujuh tema untuk projek dan satuan pendidikan dapat memilih
tema-tema tersebut yang jumlahnya disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Ketujuh
tema tersebut berlaku untuk beberapa tahun ke depan dan dapat diganti oleh
Pemerintah berdasarkan evaluasi dan relevansi tema dengan perkembangan zaman.
Tujuh tema yang dapat dipilih tersebut adalah tema-tema yang berkaitan dengan isu-isu
kontemporer, yaitu: (1) gaya hidup berkelanjutan yang berkaitan dengan masalah
lingkungan dan pemanasan global; (2) bhineka tunggal ika yang berkaitan dengan
spiritualitas, toleransi dan multikulturalisme masyarakat lokal, Indonesia, dan dunia; (3)
kearifan lokal yang berkaitan dengan budaya lokal dan perkembangannya; (4)
kewirausahaan yang berkaitan dengan kemampuan menyelesaikan masalah (problem
solving); (5) bangunlah jiwa dan raganya berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental
(kesejahteraan atau well being); (6) berekayasa dan berteknologi untuk membangun
NKRI; dan (7) suara demokrasi yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan
menjadi warga negara dan dunia di alam demokrasi.

Pembelajaran berbasis projek biasanya berlangsung untuk rentang waktu yang


bervariasi, bisa satu minggu namun bisa juga berlangsung sepanjang satu semester
bergantung pada tujuan, ruang lingkup, dan kompleksitasnya. Kegiatan ini biasanya
meliputi proses menginvestigasi/meneliti atau melakukan eksperimen untuk menjawab
pertanyaan yang otentik, menarik, dan kompleks bagi peserta didik (Murdoch, 2020).
Oleh karena itu, alokasi waktu jam pelajaran untuk projek penguatan profil pelajar
Pancasila ditetapkan per tahun, agar satuan pendidikan dapat mengatur alokasi waktu
untuk menyelenggarakan dua projek (SD, SMP) atau tiga projek dalam setahun (SMA).

Projek penguatan profil pelajar Pancasila adalah suatu kebaruan yang signifikan dalam
Kurikulum Merdeka sebab sebelumnya pembelajaran berbasis projek tidak diatur oleh
pemerintah tetapi mengandalkan inisiatif guru untuk menggunakan pendekatan
tersebut. Perancangan pembelajaran berbasis projek bukanlah hal yang sederhana dan
mudah dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah perlu membantu satuan pendidikan
melalui pelatihan, pendampingan, penyediaan panduan yang dapat digunakan guru
untuk memfasilitasi pembelajaran ini, dan juga contoh-contoh konkrit bagaimana projek
dirancang dan dinilai.

Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi uji coba kurikulum di Sekolah Penggerak,
contoh-contoh projek ini memberikan inspirasi kepada guru untuk mengembangkan
projek sesuai dengan konteks masing-masing.

Di salah satu SD di Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, kepala sekolah menyampaikan
bahwa ia mengunduh contoh projek dengan tema kewirausahaan. Ia kemudian
mengajak para guru dan sekelompok mahasiswa LPTK setempat untuk memodifikasi
contoh tersebut agar lebih relevan dengan konteks dan sesuai dengan karakter peserta
didik mereka dengan latar belakang keluarga petani dan peternak. Hasilnya, siswa di
sekolah tersebut mengeksplorasi produksi susu sapi sesuai dengan keunggulan
daerahnya. Di SMP di wilayah yang sama, tema yang sama yaitu kewirausahaan juga
digunakan namun dengan pengembangan yang berbeda. Di SMP ini projek penguatan
profil pelajar Pancasila dilaksanakan dengan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran
dalam pembelajaran intrakurikuler. Sebagai contoh, kegiatan membuat teks prosedur
(mata pelajaran Bahasa Indonesia) digabungkan dengan olahraga dan prakarya
digabungkan, dibuat seolah-olah seperti acara TV Masterchef, sebuah kompetisi
memasak. Teks prosedur merupakan unsur mata pelajaran Bahasa Indonesia, memasak
olahan merupakan unsur mata pelajaran Prakarya, untuk unsur mata pelajaran Olahraga
dinilai dari gizinya pada masakannya, dan unsur mata pelajaran Matematika dinilai dari
waktu yang digunakan dalam memasak.

4. Mata Pelajaran Pilihan


Memberikan pilihan terkait mata pelajaran kepada satuan pendidikan dan peserta didik
merupakan salah satu strategi yang dianjurkan untuk menghindari kepadatan kurikulum
dan sejalan dengan prinsip fleksibilitas (OECD, 2020a). Dalam Kurikulum Merdeka,
memberikan pilihan mata pelajaran juga mencerminkan semangat Merdeka Belajar yang
memberikan fleksibilitas dan otonomi lebih besar kepada satuan pendidikan dan peserta
didik. Pilihan ini juga semakin menguatkan wewenang satuan pendidikan untuk
mengembangkan kurikulum operasional yang sesuai dengan konteks, karakteristisk,
serta kebutuhan belajar peserta didik.

Dari perspektif teori belajar (Eggen & Kauchak, 2016; Woolfolk, 2017), memberikan
pilihan kepada peserta didik merupakan strategi untuk membangun kompetensi untuk
menjadi pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner). Dengan memilih, peserta didik
belajar untuk memegang kendali atas proses belajarnya secara mandiri, termasuk
menentukan tujuan personal, memotivasi diri untuk belajar, menyusun strategi, dan
berperilaku yang mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Woolfolk menekankan
bahwa choice, atau kesempatan untuk menentukan pilihan, adalah hal yang sangat
penting dalam membangun kemampuan belajar secara mandiri (selfregulated learning).
Dengan demikian, kurikulum perlu memberikan kesempatan untuk memilih kepada
peserta didik sesuai dengan minat, bakat, dan aspirasi masing-masing.

Beberapa mata pelajaran perlu menjadi mata pelajaran wajib atas pertimbangan
perannya dalam mencapai Tujuan Pendidikan Nasional, membangun jati diri bangsa,
serta perannya dalam mengembangkan kompetensi yang fundamental untuk hidup
secara produktif sebagai warga negara (Porter & Polikoff, 2008). Atas pertimbangan
tersebut, dalam Kurikulum Merdeka beberapa mata pelajaran diwajibkan di seluruh
jenjang dan jenis pendidikan,sementara beberapa mata pelajaran, terutama di SMA/MA,
dapat menjadi pilihan yang disesuaikan dengan minat, bakat, serta aspirasi individu.

Pemilihan mata pelajaran di SMA/MA kelas XI dan XII diatur berdasarkan kelompok
disiplin ilmu. Dalam Kurikulum Merdeka, siswa SMA/MA menentukan pilihan mata
pelajaran dalam empat kelompok disiplin ilmu: MIPA, IPS, Bahasa, dan Prakarya &
Vokasi. Kelompok ini meneruskan sistem peminatan yang telah dilakukan sejak lama
dalam sistem pendidikan Indonesia sebagaimana yang diperlihatkan dalam Gambar 3.4.
Menelusuri sejarah sistem penjurusan/peminatan di jenjang SMA sejak setelah
kemerdekaan Republik Indonesia, sistem ini telah diterapkan dengan menggunakan
tipologi yang sama, yaitu disiplin ilmu yang pada umumnya dibagi menjadi
jurusan/kelompok atau program peminatan: Bahasa, IPA (atau disebut sebagai Ilmu Pasti
dan Ilmu Alam pada Kurikulum 1950), dan IPS.
Perubahan kurikulum nasional dari waktu ke waktu tidak banyak mengubah tipologi ini
meskipun ada pembagian yang lebih detail, misalnya pada Kurikulum 1984 yang
memisahkan antara penekanan pada mata pelajaran Fisika (program A1) dan Biologi
(program A2) dari disiplin ilmu pengetahuan alam. Mekanisme pemilihannya juga sama,
yaitu setiap individu mengikuti satu program. Setiap program memiliki jalur masing-
masing, dan siswa tidak dapat belajar lintas jalur. Dalam Kurikulum 2013 siswa boleh
mengambil mata pelajaran lintas minat, namun pada hakikatnya mereka tetap
dikategorikan masuk dalam salah satu program peminatan. Sebagai contoh, siswa dari
program IPA dapat mengikuti satu mata pelajaran dari program IPS. Namun demikian
siswa tersebut tetap dianggap sebagai siswa program IPA.

Indonesia memiliki sejarah panjang menerapkan sistem jalur (tracking system) pada
jenjang SMA. Setelah siswa berada di suatu jalur (track) IPA, IPS, atau Bahasa, maka sulit
bagi mereka untuk berpindah jalur. Akibatnya, program peminatan yang dipilih peserta
didik (atau dipilihkan untuknya) dapat berdampak panjang hingga program studi yang
dapat mereka akses di perguruan tinggi. Istilah tracking system merupakan metode yang
digunakan untuk mengelompokkan siswa menurut kemampuannya, yang biasanya
dinilai melalui laporan hasil belajar, tes, atau bahkan persepsi dirinya tentang
kemampuannya (Arum, Beattie, & Ford, 2015).

Meskipun program peminatan selama ini memberikan peluang kepada siswa untuk
menentukan pilihan jalur yang akan mereka tempuh, namun seringkali proses seleksi
dilakukan oleh sekolah karena peminat suatu program, biasanya IPA, terlalu banyak.
Proses seleksi inilah kemudian yang secara empiris menjadikan program peminatan
serupa dengan tracking system. Sistem jalur yang diterapkan di banyak negara pada
jenjang SMA melestarikan kesenjangan kesempatan pendidikan antar siswa di sekolah
sebab jalur-jalur tersebut pada kenyataannya tidak bernilai setara (Oakes cit. Arum et al.,
2015). Dalam konteks Indonesia, jalur atau peminatan IPA cenderung dinilai lebih baik
daripada yang lain, dan hal ini bukan saja oleh siswa dan orang tua, tetapi juga oleh
perguruan tinggi. Untuk masuk ke perguruan tinggi, lulusan dari peminatan IPA memiliki
lebih banyak peluang untuk memilih program studi dan perguruan tinggi yang dituju
(misalnya syarat masuk ke Akademi Militer adalah lulusan dari program peminatan IPA),
diikuti dengan lulusan dari IPS, kemudian yang paling terbatas opsinya adalah lulusan
dari Bahasa. Hal inilah yang mendorong kesenjangan kesempatan pendidikan karena
jalur yang dipilih siswa, ataupun terpaksa ditempuh oleh siswa sebagai konsekuensi
adanya seleksi, mempengaruhi kesempatan belajar mereka berikutnya.

Sistem jalur (tracking system) juga dikritik dapat membuat peserta didik merasa
kemampuan akademiknya rendah. Akibatnya, terbangun pola pikir yang tidak
bertumbuh (fixed mindset), yaitu percaya bahwa dirinya tidak dapat mencapai prestasi
akademik sebagaimana teman-temannya di program peminatan yang dianggap lebih
baik atau lebih bergengsi. Mereka yang tidak masuk program IPA kemudian merasa
dirinya tidak berbakat Matematika, padahal kompetensi tersebut sebenarnya dapat
dibangun (OECD, 2021).

Di sisi lain, peminatan merupakan rancangan kurikulum yang memberikan fleksibilitas


untuk peserta didik usia remaja yang sudah mulai mengeksplorasi minat, bakat, dan
aspirasi mereka. Mereka mulai perlu mendalami bidang-bidang ilmu yang ingin mereka
tekuni. Artinya, menghilangkan peminatan di jenjang SMA bukanlah opsi yang sejalan
dengan prinsip rancangan Kurikulum Merdeka yang fleksibel dan fokus pada
kompetensi. Oleh karena itu, dalam Kurikulum Merdeka peminatan ini tidak dihapuskan,
namun sistemnya yang diubah.

Dalam Kurikulum Merdeka, peminatan dimulai pada kelas XI, berbeda dengan Kurikulum
2013, namun serupa dengan beberapa kurikulum nasional sebelumnya, misalnya
Kurikulum 1984, Kurikulum 2004, dan Kurikulum 2006 (lihat Gambar 3.4).
Pengelompokan mata pelajaran berdasarkan disiplin ilmu masih dilakukan dalam
Kurikulum Merdeka, di mana ada 4 kelompok mata pelajaran pilihan yaitu: Matematika
dan IPA (MIPA), IPS, Bahasa, dan Vokasi & Prakarya. Bedanya dengan kurikulum-
kurikulum nasional sebelumnya, dalam Kurikulum Merdeka peminatan tidak lagi menjadi
program yang tersekat-sekat melainkan pemilihan mata pelajaran sesuai minat, bakat,
dan aspirasi siswa. Siswa memilih empat mata pelajaran minimal dari dua kelompok
mata pelajaran pilihan. Dengan kata lain, siswa tidak lagi memilih program melainkan
memilih mata pelajaran, maka tidak ada lagi track atau jalur di mana siswa
dikelompokkan.

Dalam Kurikulum Merdeka, pemilihan mata pelajaran dari dua atau lebih kelompok mata
pelajaran pilihan akan memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk
mengembangkan kompetensi yang dipelajari dari sekurang-kurangnya dua disiplin ilmu.
Masing-masing disiplin ilmu memiliki ciri khas yang mengembangkan kompetensi dan
kemampuan berpikir yang berbeda-beda. Hal ini memberikan kesempatan untuk siswa
terus mengeksplorasi minat, bakat, dan aspirasinya selama di SMA tanpa harus terburu-
buru mengambil keputusan segera sebelum masuk SMA seperti yang perlu dilakukan
dalam Kurikulum 2013. Memperdalam sekurang-kurangnya dua disiplin ilmu, lulusan
SMA juga diharapkan memiliki kompetensi yang lebih holistik atau menyeluruh.

Kurikulum yang memberikan kesempatan siswa untuk memilih perlu dirancang dengan
memperhatikan kesiapan satuan pendidikan serta karakteristik mata pelajaran.
Memberikan pilihan mata pelajaran yang lebih beragam tentu membutuhkan sumber
daya manusia guru serta infrastruktur yang lebih besar. Selain itu, sistem pemilihan mata
pelajaran juga perlu dibangun di setiap sekolah dan guru, terutama guru BK yang
diharapkan memainkan peranan baru dalam memfasilitasi siswa untuk mata pelajaran ini.
Hal ini bukan perubahan yang sederhana, oleh karena itu pemerintah memberikan
dukungan kepada satuan pendidikan, salah satunya dengan memberikan beberapa
contoh kebijakan dan mekanisme pemilihan mata pelajaran yang dapat diadaptasi dan
diadopsi oleh sekolahsekolah, atau menjadi inspirasi bagi mereka dalam
mengembangkan sistem tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perubahan struktur kurikulum secara umum
selaras dengan prinsip perancangan kurikulum, di mana struktur kurikulum melanjutkan
upaya yang telah mulai pada kurikulum-kurikulum nasional sebelumnya yaitu fokus pada
kompetensi dan karakter, fleksibel, merujuk pada hasil kajian, dan sedapat mungkin
sederhana agar dapat diimplementasikan sesuai dengan kesiapan pendidik dan satuan
pendidikan. Sesuai juga dengan prinsip perancangan kurikulum, apabila perubahan yang
dibutuhkan adalah perubahan yang kompleks, maka opsi yang dipilih bukanlah
menghindarinya, namun memberikan bantuan kepada pendidik untuk secara bertahap
dapat mengimplementasikannya. Oleh karena itu, pemerintah perlu bergotong royong
dengan pendidik, satuan pendidikan, dan masyarakat untuk mengembangkan contoh-
contoh yang memandu pendidik untuk mengimplementasikan kurikulum ini. Di antara
contoh-contoh yang dibutuhkan adalah beragam contoh projek penguatan profil pelajar
Pancasila dan mekanisme pengaturan pemilihan mata pelajaran di SMA yang merupakan
komponen yang baru dalam struktur Kurikulum Merdeka.

5. Perubahan Struktur Kurikulum Menurut Jenjang dan


Jenis Pendidikan
Empat perubahan utama dalam struktur kurikulum secara umum telah dijelaskan pada
bagian sebelumnya, yaitu adanya perubahan status mata pelajaran, penguatan
wewenang satuan pendidikan dan pendidik untuk mengembangkan kurikulum
operasional, pembagian struktur kurikulum menjadi dua yaitu intrakurikuler dan projek
penguatan profil pelajar Pancasila, dan adanya mata pelajaran pilihan. Berikut ini adalah
kesimpulan perubahan struktur kurikulum spesifik untuk setiap jenjang dan jenis
pendidikan:

• PAUD: penguatan pembelajaran melalui kegiatan bermain dan penguatan dasardasar


literasi terutama untuk membangun minat dan kegemaran membaca.
• SD: penguatan fondasi literasi dan numerasi serta kemampuan berpikir secara inkuiri
dengan mengintegrasikan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial menjadi
satu mata pelajaran, disebut IPAS (Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial). Bahasa Inggris
semakin dianjurkan untuk mulai diajarkan di jenjang SD.

• SMP: penguatan kompetensi teknologi digital termasuk kemampuan berpikir sistem


dan komputasional melalui mata pelajaran Informatika yang diwajibkan.

• SMA: peminatan tidak berupa program yang tersekat-sekat atau sistem jalur (tracking
system) melainkan pemilihan mata pelajaran mulai kelas XI.

• SMK: struktur kurikulum yang lebih sederhana dengan dua kelompok mata pelajaran,
yaitu Umum dan Kejuruan. Praktek kerja lapangan menjadi mata pelajaran wajib minimal
1 semester. Siswa dapat memilih mata pelajaran di luar program keahliannya.

• SLB: penguatan pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik siswa untuk


menguatkan kecakapan hidup dan kemandirian.

• PKBM: satuan unit pembelajaran menggunakan sistem satuan kredit kompetensi (SKK).
Struktur kurikulum pendidikan kesetaraan terdiri mata pelajaran kelompok umum dan
kelompok pemberdayaan dan keterampilan berbasis profil pelajar Pancasila.

Pengertian Capaian Pembelajaran


Capaian pembelajaran (CP) adalah kompetensi minimum yang harus dicapai peserta
didik untuk setiap mata pelajaran. CP dirancang dengan mengacu pada Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi, sebagaimana Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar (KI-KD) dalam Kurikulum 2013 dirancang. Capaian Pembelajaran merupakan
pembaharuan dari KI dan KD, yang dirancang untuk terus menguatkan pembelajaran
yang fokus pada pengembangan kompetensi. Kurikulum 2013 bahkan kurikulum
nasional yang terdahulu sudah ditujukan untuk berbasis kompetensi, sehingga kurikulum
ini meneruskan upaya tersebut. Dalam CP, strategi yang semakin dikuatkan untuk
mencapai tujuan tersebut adalah dengan mengurangi cakupan materi dan perubahan
tata cara penyusunan capaian yang menekankan pada fleksibilitas dalam pembelajaran.

Pengurangan Konten
Konsekuensi dari pembelajaran yang berorientasi pada kompetensi adalah perlunya
pengurangan materi pelajaran atau pokok bahasan. Penelitian yang dilakukan Pritchett
dan Beatty (2015) menunjukkan bahwa di beberapa negara berkembang termasuk
Indonesia, materi pelajaran yang begitu padat membuat guru terus bergerak cepat
menyelesaikan bab demi bab, konsep demi konsep, tanpa memperhitungkan
kemampuan siswa untuk memahami pelajaran tersebut. Menurut Pritchett dan Beatty,
hal ini bukan karena guru tidak menghiraukan kemampuan anak dalam belajar.
Mengajar dengan terburu-buru dan tidak menggunakan pendekatan pembelajaran yang
berpusat pada siswa merupakan keputusan logis karena kebijakan kurikulum yang
berlaku menilai kinerja mereka melalui ketuntasan mengajarkan materi ajar yang begitu
banyak.

Ketika pelajaran disampaikan dengan terburu-buru, peserta didik tidak memiliki cukup
waktu untuk memahami konsep secara mendalam, yang sebenarnya sangat penting
untuk menguatkan fondasi kompetensi mereka. Pritchett dan Beatty (2015) menemukan
bahwa peserta didik yang mengalami kesulitan memahami konsep di kelas-kelas awal di
sekolah dasar juga mengalami kesulitan di jenjang-jenjang berikutnya. Artinya, padatnya
materi pelajaran membawa dampak yang panjang dan siswa kehilangan kesempatan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang lebih tinggi. Beberapa contoh konkrit
penyederhanaan dan penyesuaian kompetensi dan materi ajar dalam CP adalah
pengurangan beberapa materi dalam CP Biologi SMA (Fase F) karena terlalu banyak dan
terlalu terperinci untuk jenjang tersebut,dan penambahan materi dalam CP Kimia SMA
(Fase F) tentang Nanoteknologi dan Radioaktivitas karena keduanya semakin banyak
ditemui saat ini.

Pritchett dan Beatty (2015) serta laporan yang ditulis OECD (2018) menekankan bahwa
penyederhanaan kurikulum melalui pengurangan konten atau materi pelajaran bukan
berarti standar capaian yang ditetapkan menjadi lebih rendah. Sebaliknya, kurikulum
berfokus pada materi pelajaran yang esensial. Materi esensial ini dipelajari dengan lebih
leluasa, tidak terburu-buru sehingga siswa dapat belajar secara mendalam,
mengeksplorasi suatu konsep, melihatnya dari perspektif yang berbeda, melihat
keterkaitan antara suatu konsep dengan konsep yang lain, mengaplikasikan konsep yang
baru dipelajarinya di situasi yang berbeda dan situasi nyata, sekaligus merefleksikan
pemahamannya tentang konsep tersebut. Pengalaman belajar yang demikian, menurut
Wiggins dan McTighe (2005), akan memperkuat pemahaman siswa akan suatu konsep
secara lebih mendalam dan berkelanjutan. Pandangan Wiggins dan McTighe (2005)
tersebut dilandasi oleh teori belajar konstruktivisme. Di berbagai negara, dan tidak
terbatas pada negara maju saja, pendekatan pembelajaran berbasis teori konstruktivisme
ini semakin dikuatkan. Di India, misalnya, pembelajaran berbasis konstruktivisme bahkan
menjadi muatan wajib bagi calon guru dalam kurikulum LPTK mereka (UNESCO MGIEP,
2017). Rogan (2003) juga melaporkan bahwa Afrika Selatan, serta beberapa negara di
benua Afrika lainnya, juga secara eksplisit menyatakan dalam dokumen kurikulum
mereka bahwa teori konstruktivisme menjadi rujukan utama dalam kebijakan kurikulum
dan pembelajaran.

Pembelajaran Secara Konstruktif


Teori konstruktivisme menekankan pentingnya proses pembelajaran yang menempatkan
siswa sebagai pelaku aktif pembelajaran (students as agents), bukan sebagai penerima
informasi secara pasif dari guru mereka (students as recipients). Menurut teori belajar
konstruktivisme (constructivist learning theory), pengetahuan bukanlah kumpulan atau
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah untuk diingat. “Memahami” dalam
konstruktivisme adalah proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman nyata.
Pemahaman tidak bersifat statis, tetapi berevolusi dan berubah secara konstan
sepanjang siswa mengonstruksikan pengalaman-pengalaman baru yang memodifikasi
pemahaman sebelumnya. Pemahaman yang bermakna ini membutuhkan proses belajar
yang berpusat pada siswa serta waktu yang lebih panjang daripada pembelajaran yang
sekadar “menjejali” siswa dengan informasi-informasi yang kurang bermakna karena
sekadar untuk diketahui atau dihafalkan saja. Dengan demikian, sedapat mungkin CP
mengutamakan kompetensi yang perlu dicapai tanpa mengikat konteks dan konten
pembelajarannya. Berdasarkan kompetensi tersebut, satuan pendidikan diharapkan
dapat mengembangkan pembelajaran yang sesuai dengan konteks sekolah dan relevan
dengan perkembangan, minat, serta budaya peserta didik. Oleh karena CP
dikembangkan berdasarkan teori konstruktivisme, maka capaiancapaian dalam dokumen
CP perlu dipahami menggunakan kerangka teori yang sama. Istilah “pemahaman”
(understanding) dalam CP perlu dimaknai sebagaimana teori konstruktivisme di atas.
Pemahaman yang dimaksud dicapai melalui kemampuan mengaplikasikan dan
menganalisis suatu konsep. Dengan demikian konsep pemahaman ini berbeda dengan
Taksonomi Bloom yang memandang bahwa memahami (understanding - level 2) suatu
konsep membutuhkan keterampilan berpikir yang lebih rendah dibandingkan
kemampuan mengaplikasikan (applying - level 3) dan menganalisis (analyzing - level 4)
konsep (Anderson, Krathwohl, D. R., & Bloom, B. S., 2001).

Perancangan CP ini tidak mengabaikan Taksonomi Bloom yang semula digunakan dalam
perancangan KI-KD dalam Kurikulum 2013. Sebaliknya, Taksonomi Bloom ini dianjurkan
untuk digunakan ketika guru merancang pembelajaran harian dan asesmen kelas sesuai
dengan tujuan pengembangan taksonomi, sebagaimana Anderson dan rekanrekan
(2001, p.7)

The Taxonomy framework obviously can’t directly tell teachers what is worth learning. But
by helping teachers translate standards into a common language for comparison with
what they personally hope to achieve, and by presenting the variety of possibilities for
consideration, the Taxonomy may provide some perspective to guide curriculum decisions.

Kerangka Taksonomi tidak dapat secara langsung mengarahkan guru apa yang patut
dipelajari [peserta didik], namun dapat membantu guru menerjemahkan standar ke
dalam hal yang ingin dicapai oleh guru [melalui pengajaran yang dilakukannya], dan
dengan memberikan beragam hal yang perlu diperhatikan, Taksonomi [Bloom] dapat
memberikan pandangan yang dapat membimbing guru dalam pembuatan keputusan
tentang kurikulum.

Anderson dan rekan-rekan (2001) melakukan revisi terhadap Taksonomi Bloom dan
secara eksplisit menyatakan bahwa taksonomi tersebut relevan dan membantu untuk
digunakan oleh guru dalam pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan,
bukan di level standar nasional. Taksonomi Bloom berguna untuk “menerjemahkan
standar” ke dalam istilah dan bahasa yang lebih konkrit dan operasional untuk
digunakan sehari-hari. Dengan demikian, dalam konteks kurikulum nasional di Indonesia,
Taksonomi Bloom relevan untuk digunakan guru dalam merancang alur
tujuan pembelajaran dan asesmen kelas.

Penggunaan Fase
Perbedaan lain antara KIKD dalam Kurikulum 2013 dengan CP dalam Kurikulum Merdeka
adalah rentang waktu yang dialokasikan untuk mencapai kompetensi yang ditargetkan.
Sementara KI-KD ditetapkan per tahun, CP dirancang berdasarkan fasefase. Satu Fase
memiliki rentang waktu yang berbeda-beda, yaitu: (1) Fase Fondasi yang dicapai di akhir
PAUD, (2) Fase A umumnya untuk kelas I sampai II SD/sederajat, (3) Fase B umumnya
untuk kelas III sampai IV SD/ sederajat, (4) Fase C umumnya untuk kelas V sampai VI
SD/sederajat, (5) Fase D umumnya untuk kelas VII sampai IX SMP/sederajat, (6) Fase E
untuk kelas X SMA/sederajat, dan (7) Fase F untuk kelas XI sampai XII SMA/sederajat.
Fase E dan Fase F dipisahkan karena mulai kelas XI peserta didik akan menentukan mata
pelajaran pilihan sesuai minat dan bakatnya, sehingga struktur kurikulumnya mulai
berbeda sejak kelas XI.

Dengan menggunakan Fase, suatu target capaian kompetensi dicapai tidak harus dalam
satu tahun tetapi beberapa tahun, kecuali di kelas X jenjang SMA/sederajat.
Pengecualian ini dilakukan karena struktur kurikulum di jenjang SMA/sederajat yang
terbagi menjadi dua, yaitu kelas X di mana siswa mengikuti seluruh mata pelajaran, dan
kelas XI-XII di mana siswa memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasi
masing-masing. Struktur ini akan disampaikan lebih mendalam pada bagian terpisah
dalam bab ini.

Rentang waktu yang lebih panjang ditetapkan agar materi pelajaran tidak terlalu padat
dan peserta didik mempunyai cukup banyak waktu untuk memperdalam materi dan
mengembangkan kompetensi. Fase-fase ini diselaraskan dengan teori perkembangan
anak dan remaja dan juga dengan struktur penjenjangan pendidikan. Penggunaan istilah
“Fase” dilakukan untuk membedakannya dengan kelas karena peserta didik di satu kelas
yang sama bisa jadi belajar dalam fase pembelajaran yang berbeda. Ini merupakan
penerapan dari prinsip pembelajaran sesuai tahap capaian belajar atau yang dikenal juga
dengan istilah teaching at the right level (mengajar pada tahap capaian yang sesuai).
Sebagai contoh, berdasarkan asesmen kelas terdapat siswa kelas V SD yang belum siap
mempelajari materi pelajaran Fase C (fase dengan kompetensi yang ditargetkan untuk
siswa kelas V pada umumnya). Berdasarkan hasil asesmen tersebut, maka siswa-
siswa tersebut mengulang pelajaran di Fase B (fase untuk kelas III-IV) yang belum
mereka kuasai.

Pembelajaran terdiferensiasi sesuai tahap capaian peserta didik tersebut


mengindikasikan bahwa kebijakan dan praktik tinggal kelas atau tidak naik kelas
diharapkan dapat ditinggalkan. Kebijakan tinggal kelas secara empiris tidak
meningkatkan prestasi akademik mereka. Dalam survei PISA 2018, skor capaian kognitif
peserta didik yang pernah tinggal kelas secara statistik lebih rendah dibandingkan
mereka yang tidak pernah tinggal kelas (OECD, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa
mengulang pelajaran yang sama selama satu tahun tidak membuat peserta didik
memiliki kemampuan akademik yang setara dengan teman-temannya, melainkan tetap
lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena yang dibutuhkan oleh peserta didik tersebut
adalah pendekatan atau strategi belajar yang berbeda, bantuan belajar yang lebih
intensif, waktu yang sedikit lebih panjang, namun bukan mengulang seluruh pelajaran
selama setahun.

Perumusan Capaian Pembelajaran


Perubahan lain yang signifikan dari KI-KD menjadi CP adalah format penulisan
kompetensi yang ingin dicapai serta rentang waktu yang ditargetkan untuk
mempelajarinya. Dalam KI-KD Kurikulum 2013, kompetensikompetensi yang dituju
disampaikan dalam bentuk kalimat tunggal yang disusun dalam poin-poin. Selain itu,
dalam KI-KD terdapat pemisahan antara pengetahuan, sikap, dan keterampilan
sebagaimana Taksonomi Bloom juga memisahkan ketiga domain tersebut. Meskipun
dalam Kurikulum 2013 kompetensi (KI-KD) tersebut sebenarnya saling berkaitan dan
berangkaian. Namun demikian, ketika KI-KD dituliskan sebagai poin-poin, keterkaitan
antara ruang lingkup kemampuan satu dengan yang lain tidak terdefinisikan dengan
jelas. Evaluasi Kurikulum 2013 yang dilakukan oleh Pusat Kurikulum dan Perbukuan
Kemendikbudristek mendapati bahwa sebagian guru belum melihat adanya rangkaian
yang utuh antara KD-KD dari satu KI yang sama. Target kompetensi tersebut kemudian
ditargetkan untuk dicapai dalam rentang waktu satu tahun ajaran.

CP ditulis dalam metode yang berbeda, di mana pemahaman, sikap atau disposisi
terhadap pembelajaran dan pengembangan karakter, serta keterampilan yang
terobservasi atau terukur ditulis sebagai suatu rangkaian. Hal ini merujuk pada makna
kompetensi yang lebih dari sekadar perolehan pengetahuan dan keterampilan, tetapi
juga mengolah dan menggunakan pengetahuan, keterampilan, sikap, serta nilai-nilai
yang dipelajari untuk menghadapi situasi atau permasalahan yang kompleks (OECD
2019; Glaesser, 2018). CP disampaikan dalam bentuk paragraf/narasi untuk
menggambarkan rangkaian konsep dan keterampilan kunci yang ditargetkan untuk
diraih oleh peserta didik, yang ditunjukkan dengan performa yang nyata. Dengan
demikian, CP diharapkan dapat memperlihatkan rangkaian proses belajar suatu konsep
ilmu pengetahuan, mulai dari memahami suatu konsep sampai dengan menggunakan
konsep ilmu pengetahuan dan keterampilannya untuk mencapai tuntutan kognitif yang
lebih kompleks (misalnya mengajukan solusi kreatif, bukan sekadar menjawab
pertanyaan).

Kompetensi juga terbangun atas aspek kognitif yang berangkaian dengan aspek afektif
atau disposisi tentang ilmu pengetahuan yang dipelajarinya.. Set atau daftar berisi
pengetahuan yang perlu dipahami, sikap yang perlu ditunjukkan, atau keterampilan yang
perlu diperlihatkan peserta didik saja, tanpa ada rangkaian antara ketiga domain
tersebut, belum dapat dimaknai sebagai pengkonstruksian kompetensi. Untuk
membangun dan mengembangkan kompetensi, peserta didik perlu mendapatkan
kesempatan untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya dalam situasi
yang spesifik dan nyata (Glaesser, 2018). Dengan menggunakan paragraf, keterkaitan
antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan proses pengembangan kompetensi
menjadi lebih jelas dan utuh sebagai satu rangkaian.

Dalam penulisannya, struktur CP tidak berdasarkan domain-domain pemahaman,


sikap/disposisi, dan keterampilan, melainkan berbasis pada kompetensi dan/atau konsep
yang esensial dari setiap mata pelajaran. Kompetensi dan konsep tersebut disebut
sebagai elemen-elemen yang menjadi ciri khas setiap mata pelajaran, dan elemen ini
kemudian dinyatakan perkembangannya dari satu fase ke fase berikutnya. Dengan
demikian, setiap elemen secara konsisten dipelajari oleh peserta didik mulai dari jenjang
SD sampai jenjang SMA dengan kompleksitas dan kedalaman yang berbeda, yang
artinya kompetensi peserta didik pun berkembang dari fase ke fase.

Sebagai contoh, dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia terdapat 4 elemen utama, yaitu:
1) menyimak, 2) membaca dan memirsa, 3) berbicara dan merepresentasikan, dan 4)
menulis. Sejak Fase A (kelas I-II SD/sederajat) hingga Fase F (kelas XI-XII SMA/sederajat),
keempat elemen tersebut dipelajari dengan tingkat kompleksitas kognitif yang terus
berkembang. Bagi guru dan pengembang kurikulum, elemen ini dapat menjadi acuan
tentang kompetensi apa saja yang harus ia ajarkan kepada siswa dan menjadi aspek
yang diases oleh guru. Apabila ada siswa yang belum dapat mengikuti pelajaran di suatu
Fase, guru dapat mengecek elemen apa yang belum dikuasai siswa tersebut dan
kemudian membantunya untuk mengulang pembelajaran elemen yang sama di fase
sebelumnya. Alur perkembangan Capaian Pembelajaran dimulai pada Fase A hingga fase
tertinggi, yaitu Fase F.

Pola perumusan CP ini juga dipengaruhi oleh beberapa kerangka kurikulum yang
digunakan di berbagai negara dengan pencapaian pendidikan yang relatif tinggi.
Sebagai contoh, Australia (https://www.australiancurriculum.edu. au/) menyatakan
karakteristik utama dari setiap mata pelajaran dalam dokumen standarnya (setara
dengan CP), termasuk alasan rasional mengapa anak-anak perlu mempelajari mata
pelajaran tersebut dan domain atau elemen utama yang menjadi karakteristik khas mata
pelajaran tersebut disertai perkembangannya dari satu tahapan atau jenjang ke tahapan
berikutnya. Dengan adanya perkembangan domain-domain isi dan/atau kompetensi
suatu mata pelajaran, kompetensi utama yang akan dikembangan melalui mata
pelajaran tersebut menjadi lebih eksplisit.

Pendekatan yang sama juga digunakan dalam kurikulum Finlandia (Finnish Board of
Education, 2014), di mana standar yang perlu dicapai disampaikan secara deskriptif mulai
dari penjelasan tentang fungsi dari mata pelajaran tersebut, kompetensi utama yang
difokuskan, capaian atau tujuan untuk kompetensi tersebut, panduan atau rambu-rambu
yang perlu diperhatikan guru atau pengembang silabus dan kegiatan pembelajaran mata
pelajaran tersebut, dan asesmen yang dianjurkan.

Semua komponen tersebut dijelaskan untuk setiap tahapan perkembangan (dalam


Kurikulum Merdeka diadaptasi sebagai Fase, akan dijelaskan kemudian). Sebagai standar
yang berlaku nasional, capaian merupakan tujuan yang lebih abstrak daripada tujuan
pembelajaran yang dikembangkan guru dalam silabus apalagi RPP.

Contoh lain adalah standar capaian pendidikan Matematika yang dikembangkan oleh
NCTM (National Council of Teachers of Mathematics), yang dianjurkan untuk diterapkan
secara global. Standar yang dirancang NCTM dibangun dengan asumsi bahwa setiap
anak dapat mencapai kompetensi yang ditetapkan. Oleh karena itu, standar yang
ditetapkan NCTM merupakan standar minimum yang inklusif. Paradigma ini juga sejalan
dengan prinsip perancangan Kurikulum Merdeka yang inklusif dan berkeadilan. Standar
yang ditetapkan NCTM juga distrukturkan berdasarkan domain konten dan domain
kemampuan (performance). Struktur ini menjadi salah satu rujukan utama dalam CP
Matematika.

Fleksibilitas Pembelajaran
Untuk menguatkan kompetensi, pembelajaran perlu memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menghubungkan konsep atau teori yang dipelajarinya dengan lingkungan atau
kehidupan sekitar mereka (Glaesser, 2018; Eggen & Kauchak, 2016). Dengan demikian,
fleksibilitas sangat penting bagi satuan pendidikan untuk dapat mengembangkan
pembelajaran yang memberikan kesempatan untuk peserta didik membuat kaitan-kaitan
antara konsep yang dipelajari dengan situasi setempat, sekaligus menentukan kecepatan
pembelajaran setiap konsep. Fleksibilitas CP yang memberikan keleluasaan untuk
pembelajaran yang kontekstual ini dicontohkan dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan, di mana topik tentang Pemilihan Umum dapat dipelajari pada masa-
masa sekitar Pemilihan Umum di Indonesia atau daerahnya.

Untuk mengetahui tingkat fleksibilitas Capaian Pembelajaran (CP), Pusat Kurikulum dan
Pembelajaran Kemendikbudristek bersama para pakar mata pelajaran Matematika, Bahasa
Indonesia, dan IPA melakukan analisis perbandingan antara KI-KD dengan elemen-elemen
dalam CP terkait dengan dua hal, yaitu kesesuaian antara KI-KD dan CP dengan tahap
perkembangan pembelajaran (apakah terlalu/kurang mendalam, terlalu sulit/mudah) dan
fleksibilitas untuk dikembangkan sesuai dengan konteks lokal satuan pendidikan. Analisis
kuantitatif tersebut dilakukan dengan menghitung proporsi target kompetensi dari masing-
masing kurikulum yang menunjukkan kesesuaian dengan tahap perkembangan dan juga
aspek fleksibilitasnya.

Hasil analisis menunjukkan bahwa CP lebih sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik
dan lebih fleksibel daripada KI-KD. Contohnya, pada mata pelajaran Matematika elemen-
elemen pada CP 50% lebih sesuai dengan tahap perkembangan siswa dibandingkan KI-KD
dan 42,31% lebih fleksibel untuk diterjemahkan satuan pendidikan. Sedangkan untuk mata
pelajaran Bahasa Indonesia, elemen-elemen pada CP 58,33% lebih sesuai dengan tahap
perkembangan siswa dan 100% lebih fleksibel. Untuk mata pelajaran IPA, elemen-elemen
pada CP 48,91% lebih sesuai dengan tahap perkembangan siswa dan 76,57% lebih fleksibel.
Analisis ini menunjukkan bahwa CP memberikan fleksibilitas yang lebih besar daripada KI-
KD.

Peningkatan Kualitas CP
Beberapa persen materi dalam CP yang belum sesuai dengan tahap perkembangan
peserta didik, misalnya sekitar 17% capaian dalam mata pelajaran IPA Kurikulum 2013
dinilai pakar lebih sesuai dengan tahap perkembangan siswa dibandingkan dengan
capaian dalam Kurikulum Merdeka. Data ini memberikan informasi kepada perancang
kurikulum tentang perlunya melakukan penelaahan kembali dan revisi apabila
diperlukan. Sebagaimana disampaikan dalam bagian Prinsip Perancangan Kurikulum,
umpan balik yang didapatkan selama satu tahun implementasi secara terbatas dalam
Program Sekolah Penggerak (PSP) dan SMK Pusat Keunggulan (SMK PK) digunakan
sebagai pertimbangan untuk merevisi dokumen-dokumen kurikulum, termasuk CP.

Selain analisis perbandingan antara CP dengan KI-KD tersebut, umpan balik juga didapat
melalui diskusi kelompok terpumpun bersama guru PSP yang mulai menerapkan
Kurikulum Merdeka sejak Tahun Ajaran 2021/2022. Menurut pandangan para guru,
pembelajaran dengan kurikulum ini memiliki beberapa kelebihan seperti capaian
pembelajaran relevan dengan konteks zaman dan tingkat perkembangan berpikir siswa.
Capaian pembelajaran dapat dieksplorasi oleh guru dengan menyesuaikan kebutuhan
siswa, kearifan lokal serta situasi dan kondisi terkini. Namun demikian, untuk
implementasinya diperlukan masa adaptasi sebab baik bagi guru maupun siswa memiliki
tingkat kesiapan yang berbeda-beda. Contohnya, untuk guru yang sebelumnya
melakukan pembelajaran dengan Kurikulum 2013 dimana kompetensi dicapai tiap tahun
perlu beradaptasi dengan capaian pembelajaran pada kurikulum prototipe yang
dirancang menjadi tiap fase. Umpan balik ini menjadi landasan untuk memperbaiki
strategi implementasi kurikulum di satuan pendidikan.

Berdasarkan monitoring awal yang dilaksanakan pada tahun 2021, telah dilaksanakan
perbaikan mayor pada 33,33% CP mata pelajaran yang digunakan di PAUD dan
Dikdasmen, serta 11,54% CP untuk mata pelajaran khusus SMK. Perbaikan mayor
tersebut meliputi perbaikan pada beberapa aspek seperti kesesuaian CP dengan tingkat
kemampuan berpikir dan tahapan perkembangan belajar siswa, kesesuaian materi dan
penjabaran capaian pembelajaran pada tiap fase. Selain itu, dilakukan pula perbaikan
minor yang meliputi perbaikan pada aspek redaksional seperti penulisan kalimat,
pemilihan kata dan istilah serta tambahan keterangan untuk bagian tertentu. Pemilihan
kata dan istilah ini penting mengingat suatu kata dan istilah bisa memiliki makna yang
sangat beragam. Dengan demikian, CP yang diterbitkan pada tahun 2022 merupakan
versi revisi berdasarkan umpan balik yang disampaikan oleh pakar dan juga guru sebagai
pengguna Kurikulum Merdeka.

Prinsip Pembelajaaran dan Asesmen


Prinsip Pembelajaran dan Asesmen adalah bagian dari kerangka kurikulum yang
utamanya merujuk pada Standar Proses dan Standar Penilaian dari Standar Nasional
Pendidikan. Prinsip Pembelajaran dan Asesmen dirumuskan untuk menjadi rujukan bagi
seluruh pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pembelajaran dan asesmen,
terutama guru, pimpinan sekolah, dan termasuk juga pengembang kurikulum
dan perangkat ajar. Di satuan pendidikan, Prinsip Pembelajaran dan Asesmen perlu
menjadi landasan dalam merancang kebijakan dan praktik pembelajaran dan asesmen
kelas.

Prinsip Pembelajaran dan Asesmen dirancang dengan pertimbangan bahwa


menentapkan Capaian Pembelajaran saja tidak cukup untuk dapat mencapai karakter
dan kompetensi yang perlu dikembangkan dalam setiap diri pelajar Pancasila. Karakter
juga secara efektif terbangun melalui pengalaman belajar, interaksi antara guru dan
siswa, peraturan dan pembiasaan (routine) dalam kelas, dan strategi pengelolaan kelas
(classroom management). Selain itu, apa yang dinilai dari kegiatan belajar yang siswa
alami serta bagaimana hasil asesmen digunakan untuk kepentingan belajar mereka pun
akan mempengaruhi karakter siswa, terutama sikap mereka terhadap belajar dan
perkembangan pola pikir bertumbuh (growth mindset) (OECD 2021a). Oleh karena itu,
aktivitas pembelajaran dan asesmen perlu dirancang dan dikelola dengan baik, sehingga
pemerintah perlu memberikan panduan yang tidak bersifat teknis namun berupa
prinsipprinsip agar para pendidik dapat memahami apa yang diharapkan dari
pembelajaran dan asesmen yang mereka rancang dan terapkan. Pemerintah hanya
mengatur prinsip dari pembelajaran dan asesmen. Artinya, tidak ada arahan yang
preskriptif atau aturan yang konkrit tentang bagaimana guru harus membuat
perencanaan, mengajar, dan melakukan asesmen. Dengan demikian, pembelajaran dan
asesmen dapat beragam sesuai dengan kondisi dan konteks pembelajaran di masing-
masing kelas dan satuan pendidikan, namun semuanya berlandaskan pada prinsip-
prinsip yang sama. Hal ini sejalan dengan semangat Merdeka Belajar dan prinsip
perancangan kurikulum yang fleksibel dan memberikan otonomi kepada satuan
pendidikan dan guru.

Pendekatan kebijakan yang mengatur prinsip pembelajaran dan prinsip asesmen dalam
Kurikulum Merdeka juga digunakan di beberapa negara, seperti Finlandia yang memuat
prinsip pembelajaran dan prinsip asesmen dalam dokumen kurikulum mereka (Finnish
National Board of Education, 2014), Selandia Baru
(https://nzcurriculum.tki.org.nz/Principles), dan salah satu negara bagian di Kanada yaitu
Ontario (Ontario Ministry of Education, 2010). Dalam dokumen National Core Curriculum
for Basic Education 2014, pemerintah Finlandia memaparkan secara komprehensif
asesmen yang diharapkan untuk diimplementasikan di sekolah. Paparan ini tidak
menjelaskan teknik-teknik asesmen yang perlu diikuti guru, melainkan pemahaman
tentang pentingnya asesmen untuk membangun budaya yang mendukung
pembelajaran. Untuk mencapai hal tersebut, bab asesmen dalam dokumen standar
Finlandia tersebut menjelaskan prinsip-prinsip asesmen yang perlu melandasi kebijakan
dan praktik asesmen di sekolah dan kelas. Demikian pula dalam dokumen
kebijakan asesmen, evaluasi, dan pelaporan hasil belajar yang dikeluarkan pemerintah
Ontario, Canada. Pemerintah Ontario menetapkan prinsip-prinsip asesmen beserta
konteks pembelajarannya.

Belajar dari strategi yang dilakukan negara maju tersebut, Kemendikbudristek


menerbitkan Panduan Pembelajaran dan Asesmen sebagai pegangan guru untuk
mendapatkan gambaran yang lebih konkrit dan sebagai inspirasi untuk
mengembangkan pembelajaran dan asesmen. Hal-hal yang disampaikan dalam panduan
tersebut sama sekali tidak mengikat sebagai aturan, melainkan berupa contoh-contoh
yang dapat diikuti atau dimodifikasi.

Prinsip pembelajaran yang dikembangkan tidak lepas dari pengaruh pandangan


Pendidikan Ki Hajar Dewantara, terutama tentang Panca Dharma dan sistem among.
Panca Dharma adalah pandangan bahwa pendidikan adalah untuk transfer budaya antar
generasi yang memajukan budaya, namun tetap dengan identitas khas bangsa menuju
ke arah keseluruhan hidup kemanusiaan. Pendidikan harus memberikan kemerdekaan
pada anak-anak menuju kepada keluhuran dan kebahagiaan hidup. Sistem among
adalah model pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan
(ing ngarso sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri
handayani) (Dewantara, 2013).

Selaras dengan Capaian Pembelajaran, Prinsip Pembelajaran dan Asesmen juga


dipengaruhi oleh teori belajar konstruktivisme. Menurut teori ini, proses belajar adalah
proses konstruksi dan rekonstruksi pemahaman yang berlangsung terus menerus. Proses
pembelajaran ini dikenal sebagai learning, relearning, dan unlearning. Proses learning
adalah proses belajar suatu hal yang baru dan relearning adalah penguatan hal yang
telah dipelajarinya. Sementara itu, unlearning adalah suatu proses belajar hal baru yang
mengoreksi hal yang semula dipahami atau merombak konstruksi pemahaman mereka
(Eggen dan Kauchak, 2016). Proses learning, relearning, dan unlearning ini tidak sebatas
proses yang terjadi di ruang kelas; setiap peserta didik mengkonstruksikan
pemahamannya melalui berbagai proses belajar baik belajar di ruang kelas, luar kelas,
bahkan juga di luar sekolah, sehingga tahap capaian pemahaman anak-anak di kelas
yang sama bisa berbeda-beda, meskipun usia mereka relatif sama. Hal ini melandasi
prinsip pembelajaran yang perlu memperhatikan keberagaman, bukan saja keragaman
antar daerah atau satuan pendidikan, tetapi juga antar individu peserta didik.

Oleh karena pemahaman yang telah dimiliki (existing understanding) setiap individu
peserta didik bisa jadi bervariasi, maka asesmen formatif menjadi penting karena
asesmen ini, atau dikenal juga sebagai asesmen kelas (classroom assessment),
memberikan informasi tentang kompetensi atau pemahaman yang telah dicapai peserta
didik. Umpan balik pembelajaran adalah komponen yang sangat penting dalam asesmen
formatif karena digunakan oleh pendidik dan peserta didik dalam menilai diri mereka
dan satu sama lain. Pendidik kemudian dapat memodifikasi rencana pembelajaran dan
aktivitas belajar peserta didik berdasarkan hasil umpan balik asesmen formatif tersebut
(Lambert dan Lines, 2000). Singkatnya, umpan balik dari asesmen formatif digunakan
sebagai landasan untuk merancang pembelajaran termasuk tujuan, materi, dan aktivitas
yang akan dilakukan. Oleh karena itu, proses pembelajaran dan asesmen formatif adalah
dua hal yang saling berkaitan erat, dan hal ini dinyatakan dalam Prinsip Pembelajaran
dan Asesmen.

Pembelajaran sesuai Tahap Capaian Peserta Didik


Kurikulum Merdeka menekankan pentingnya keterkaitan pembelajaran dengan asesmen,
terutama asesmen formatif, sebagai suatu siklus belajar. Menurut Black dan rekan-rekan
(2002), asesmen formatif adalah segala bentuk asesmen yang tujuan utamanya adalah
untuk meningkatkan kualitas proses belajar peserta didik. Tujuan utamanya adalah untuk
pembelajaran, bukan untuk kepentingan akuntabilitas, sertifikasi, ataupun meranking
capaian peserta didik, guru, dan satuan pendidikan. Asesmen formatif dengan demikian
ditentukan oleh tujuannya, bukan instrumen atau mekanismenya. Bentuk atau instrumen
dua atau lebih asesmen bisa serupa, namun apabila tujuan salah satu asesmen tersebut
untuk menentukan kenaikan kelas, misalnya, maka asesmen tersebut bukan asesmen
formatif, melainkan asesmen sumatif. Oleh karena itu, Prinsip Asesmen dalam Kurikulum
Merdeka tidak menekankan pada metode yang konkrit, melainkan pada tujuan serta
fungsi asesmen sebagai umpan balik untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Berdasarkan fungsi asesmen formatif tersebut, Prinsip Pembelajaran dan


Asesmen menekankan pentingnya pengembangan strategi pembelajaran sesuai dengan
tahap capaian belajar peserta didik atau yang dikenal juga dengan istilah teaching at the
right level. Pembelajaran ini dilakukan dengan memberikan materi pembelajaran yang
bervariasi sesuai dengan pemahaman peserta didik. Tujuan dari diferensiasi ini adalah
agar setiap anak dapat mencapai kompetensi yang diharapkan dan dasar dari penentuan
materi pembelajaran tersebut adalah asesmen formatif. Asesmen formatif juga
digunakan secara berkala untuk memantau perkembangan setiap peserta didik dan
menjadi bahan pertimbangan pendidik dalam menentukan apakah individu-individu
peserta didik tersebut siap untuk mempelajari materi yang lebih kompleks. Dengan
demikian, pembelajaran yang berorientasi pada kompetensi membutuhkan asesmen
yang bervariasi dan berkala. Pendekatan pembelajaran seperti inilah yang sangat
dikuatkan dalam Kurikulum Merdeka.

Terkait Prinsip Pembelajaran dan Asesmen, teori konstruktivisme juga menekankan


pentingnya keselarasan antara asesmen dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Keselarasan atau alignment ini bermakna bahwa metode pembelajaran dan asesmen
harus diselaraskan dengan capaian pembelajaran yang diinginkan. Jika tujuan
pembelajaran yang ditetapkan adalah membentuk peserta didik yang kreatif, maka
metode pembelajaran yang dirancang harus memfasilitasi munculnya ide atau gagasan
baru, sehingga penilaian yang dipilih memfasilitasi respon yang bervariasi dan lebih
otentik. Asesmen otentik dinilai sesuai untuk menilai kompetensi esensial dan untuk
memantau keterampilan berpikir yang kompleks, di mana materi yang dipelajari peserta
didik dikaitkan dengan konteks riil. Penilaian otentik dikembangkan berdasarkan
pemahaman bahwa untuk menjadi kompeten, setiap peserta didik perlu memiliki
kecakapan dalam merespon, memecahkan masalah, dan mengambil langkah terhadap
isu-isu yang nyata terjadi di dunia. Oleh karena itu, pembelajaran perlu dirancang
sedemikian rupa agar kompetensi tersebut terbangun melalui tugas-tugas yang
bermakna dan relevan dengan dunia nyata, dan asesmen perlu dirancang untuk
memantau kemampuan tersebut.
Penilaian otentik dapat dilakukan melalui berbagai teknik penilaian seperti penilaian
produk, penilaian projek, penilaian unjuk kerja, dan penilaian portofolio.

Prinsip pembelajaran dan asesmen yang dirancang berlaku untuk seluruh jenjang dan
jenis pendidikan, termasuk pendidikan anak usia dini (PAUD). Dalam salah satu prinsip
pembelajaran dinyatakan bahwa pembelajaran dirancang dengan mempertimbangkan
tahap perkembangan sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan menyenangkan. Di
tingkat PAUD, hal ini dikaitkan dengan kegiatan bermainbelajar. Menurut Sahlberg dan
Doyle (2019), bermain adalah hal yang esensial bagi anak untuk mengembangkan diri,
karena melalui bermain mereka belajar tentang diri mereka sendiri dan dunia sekitar
mereka. Berdasarkan kajian yang dilakukan Sahlberg dan Doyle, reformasi kurikulum
PAUD pada kurun waktu 5 tahun terakhir di beberapa negara seperti Amerika Serikat
mengarah pada penguatan kegiatan bermain. World Bank (2017) juga menekankan
bahwa perkembangan kognitif anak usia dini akan lebih optimal apabila kegiatan mereka
dipenuhi dengan eksplorasi, bermain, dan berinteraksi dengan teman sebayanya dan
juga dengan orang dewasa yang mengasuh mereka, yaitu orang tua dan guru. Kebijakan
untuk mengatur prinsip-prinsip dalam melakukan pembelajaran dan asesmen tanpa
petunjuk atau aturan yang lebih teknis selaras dengan upaya untuk mendorong
pengembangan kurikulum operasional di satuan pendidikan. Apabila
praktik pembelajaran dan asesmen terlalu dibatasi oleh regulasi di tingkat nasional,
satuan pendidikan akan mengalami kesulitan untuk secara kreatif dan leluasa
mengembangkan kurikulum dan aktivitas pembelajaran yang kontekstual, bermakna,
relevan, dan menyenangkan bagi peserta didik. Salah satu tantangan dalam
pengembangan pembelajaran yang kontekstual dalam Kurikulum 2013 adalah karena
arahan tentang pembelajaran dan asesmen yang cukup terperinci. Sebagai contoh,
penilaian hasil belajar peserta didik dalam Kurikulum 2013 diatur terperinci dan
menuntut guru untuk melakukan penilaian yang begitu banyak, karena adanya
pemisahan antara pengetahuan dan keterampilan. Selain itu, kriteria kompetensi
minimum (KKM) yang menentukan apakah seorang peserta didik dianggap layak untuk
melanjutkan pembelajaran pun diatur cukup ketat, dengan menggunakan skor angka
(rentang 1-100) dan penilaian deskriptif. Penghitungan skor atau nilai akhir semester pun
diatur oleh pemerintah pusat. Tantangan yang dialami inilah yang ingin diselesaikan
melalui Kurikulum Merdeka, sesuai dengan semangat Merdeka Belajar.

Prinsip Pembelajaran dan Contoh Implementasinya


No Prinsip Pembelajaran Implementasi
1 Pembelajaran dirancang dengan mempertimbangkan tahap  Pada awal tahun ajaran, pendidik ber
perkembangan dan tingkat pencapaian peserta didik saat kesiapan belajar peserta didik dan pe
ini, sesuai dengan kebutuhan belajar, serta mencerminkan  Misalnya, melalui dialog dengan pes
karakteristik dan perkembangan peserta didik yang kelompok kecil, tanya jawab, pengis
beragam sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan atau metode lainnya yang sesuai.
menyenangkan;  Pendidik merancang atau memilih al
sesuai dengan tahap perkembangan p
tahap awal.
 Pendidik dapat menggunakan atau m
tujuan pembelajaran, alur tujuan pem
yang disediakan oleh Kemendikbudr
 Pendidik merancang pembelajaran y
peserta didik mengalami proses bela
yang menimbulkan emosi positif.

 Pendidik mendorong peserta didik un


untuk memahami kekuatan diri dan a
dikembangkan.
 Pendidik senantiasa memberikan um
mendorong kemampuan peserta didi
mengeksplorasi ilmu pengetahuan.
 Pendidik menggunakan pertanyaan t
menstimulasi pemikiran yang menda
 Pendidik memotivasi peserta didik u
Pembelajaran dirancang dan dilaksanakan untuk agar terbangun sikap pembelajar man
2 membangun kapasitas untuk menjadi pembelajar  Pendidik memberikan ruang yang cu
sepanjang hayat; kreativitas, kemandirian sesuai bakat
perkembangan fisik, serta psikologis
 Pendidik memberikan tugas atau pek
untuk mendorong pembelajaran yang
mengeksplorasi ilmu pengetahuan de
mempertimbangkan beban belajar pe
 Pendidik merancang pembelajaran u
didik terus meningkatkan kompetens
aktivitas dengan tingkat kesulitan ya

 Pendidik menggunakan berbagai me


bervariasi dan untuk membantu pese
mengembangkan kompetensi, misaln
inkuiri, berbasis projek, berbasis mas
Proses pembelajaran mendukung perkembangan terdiferensiasi.
3
kompetensi dan karakter peserta didik secara holistik;  Pendidik merefleksikan proses dan s
keteladanan dan sumber inspirasi po
 Pendidik merujuk pada profil pelajar
memberikan umpan balik (apresiasi

4 Pembelajaran yang relevan, yaitu pembelajaran yang  Pendidik menyelenggarakan pembel


dirancang sesuai konteks, lingkungan, dan budaya peserta dan dikaitkan dengan dunia nyata, lin
didik, serta melibatkan orang tua dan komunitas sebagai yang menarik minat peserta didik.
mitra;  Pendidik merancang pembelajaran in
memfasilitasi interaksi yang terencan
dan produktif antara pendidik dengan
peserta didik, serta antara peserta did
 Pendidik memberdayakan masyaraka
organisasi, ahli dari berbagai profesi
untuk memperkaya dan mendorong p
relevan.
 Pendidik melibatkan orang tua dalam
komunikasi dua arah dan saling mem
 Pada PAUD, pendidik menggunakan
berbasis bahasa ibu juga dapat digun
peserta didik yang tumbuh di komun
bahasa lokal.
 Pada SMK, terdapat pembelajaran m
Lapangan (PKL) yang dilaksanakan
tempat praktik di lingkungan sekolah
sesuai dengan standar dunia kerja, m
budaya kerja sebagaimana di dunia k
oleh pendidik/instruktur yang dituga
pengalaman di dunia kerja yang relev
 Pada SMK, pendidik dapat menyelen
melalui praktik-praktik kerja bernuan
lingkungan sekolah melalui model p
(teaching factory).

 Pendidik berupaya untuk mengintegr


keberlanjutan (sustainable living) pa
pembelajaran dengan mengintegrasik
 dan perilaku yang menunjukkan kep
lingkungan dan masa depan bumi, m
sumber daya secara bijak (hemat air,
sampah, dsb.
 Pendidik memotivasi peserta didik u
Pembelajaran berorientasi pada masa depan yang masa depan adalah milik mereka dan
5
berkelanjutan. mengambil peran dan tanggung jawa
mereka.
 Pendidik melibatkan peserta didik da
solusi permasalahan di keseharian ya
tahapan belajarnya.
 Pendidik memanfaatkan projek peng
Pancasila untuk membangun karakte
didik sebagai warga dun

Prinsip Asesmen dan Contoh Implementasinya


No Prinsip Asesmen Implementasi
1 Asesmen merupakan bagian terpadu dari proses  Pendidik menguatkan asesmen di aw
pembelajaran, fasilitasi pembelajaran, dan penyediaan digunakan untuk merancang pembel
informasi yang holistik, sebagai umpan balik untuk kesiapan peserta didik.
pendidik, peserta didik, dan orang tua/wali agar dapat  Pendidik merencanakan pembelajara
memandu mereka dalam menentukan strategi tujuan yang hendak dicapai dan mem
pembelajaran selanjutnya; agar peserta didik dapat menentukan
kedepannya.
 Pendidik memberikan umpan balik b
untuk menstimulasi pola pikir bertum
 Pendidik melibatkan peserta didik da
asesmen, melalui penilaian diri, peni
refleksi diri, dan pemberian umpan b
 Pendidik memberikan kesempatan k
berefleksi tentang kemampuan mere
meningkatkan kemampuan tersebut b
asesmen.
 Pendidik merancang asesmen untuk
terus meningkatkan kompetensinya m
tingkat kesulitan yang tepat dan ump
membangun
 Pada konteks PAUD, yang dipantau
aspek perkembangan yang ada di CP
kembang anak secara keseluruhan.

 Pendidik memikirkan tujuan pembel


merencanakan asesmen dan member
peserta didik mengenai tujuan asesm
Asesmen dirancang dan dilakukan sesuai dengan fungsi
 Pendidik menggunakan teknik asesm
asesmen tersebut, dengan keleluasaan untuk menentukan
2 dengan fungsi dan tujuan asesmen. H
teknik dan waktu pelaksanaan asesmen agar efektif
formatif digunakan untuk umpan bal
mencapai tujuan pembelajaran;
sementara hasil dari asesmen sumati
pelaporan hasil belajar.

 Pendidik menyediakan waktu dan du


asesmen menjadi sebuah proses pem
hanya untuk kepentingan menguji.
 Pendidik menentukan kriteria sukses
Asesmen dirancang secara adil, proporsional, valid,
pada peserta didik, sehingga mereka
dan dapat dipercaya (reliable) untuk menjelaskan
yang perlu dicapai.
3 kemajuan belajar, menentukan keputusan tentang langkah
 Pendidik berkolaborasi dalam meran
dan sebagai dasar untuk menyusun program pembelajaran
dapat menggunakan kriteria yang ser
yang sesuai selanjutnya;
tujuan asesmen.
 Pendidik menggunakan hasil asesme
tindak lanjut pembelajaran.

 Pendidik menyusun laporan kemajua


mengutamakan informasi yang palin
Laporan kemajuan belajar dan pencapaian peserta didik
dipahami oleh peserta didik dan oran
bersifat sederhana dan informatif, memberikan informasi
4  Pendidik memberikan umpan balik s
yang bermanfaat tentang karakter dan kompetensi yang
peserta didik dan mendiskusikan tind
dicapai, serta strategi tindak lanjut;
sama beserta orang tua.

5 Hasil asesmen digunakan oleh peserta didik, pendidik,  Pendidik menyediakan waktu bagi g
tenaga kependidikan, dan orang tua/wali sebagai bahan menganalisis, dan melakukan refleks
refleksi untuk meningkatkan mutu pembelajaran.  Pendidik menggunakan hasil asesme
untuk menentukan hal-hal yang suda
yang perlu diperbaiki. Satuan pendid
agar hasil asesmen digunakan sebaga
didik, pendidik, tenaga kependidikan
meningkatkan mutu pembelajaran.
 Pendidik memberikan umpan balik s
peserta didik dan mendiskusikan tind
sama orang tua.

Perangkat Ajar
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan mengatur dalam Pasal
65 bahwa buku teks utama yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat wajib digunakan
satuan pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku dalam pembelajaran. Satuan
pendidikan yang tidak menggunakan buku teks utama akan dikenai sanksi administratif
berupa peringatan tertulis, penangguhan bantuan pendidikan, penghentian bantuan
pendidikan, perekomendasian penurunan peringkat dan/ atau pencabutan akreditasi,
penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan, atau pembekuan
kegiatan penyelenggaraan satuan pendidikan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57
Tahun 2019 Pasal 53 kemudian menyatakan bahwa selain menggunakan buku teks
utama yang disediakan pemerintah, satuan pendidikan dapat menggunakan buku teks
pendamping dan/atau buku nonteks yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat.

Kedua peraturan tersebut menunjukkan bahwa buku teks utama wajib digunakan
pendidik. Namun demikian, proses pembelajaran yang diatur dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan
Dasar dan Menengah, dinyatakan bahwa buku teks pelajaran digunakan untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembelajaran, sementara sumber belajar dapat
berupa buku, media cetak dan elektronik, alam sekitar, atau sumber belajar lain yang
relevan. Dengan demikian, dua hal dapat disimpulkan dari peraturan-peraturan tersebut,
yaitu: (1) buku teks utama wajib digunakan, namun fungsinya dapat sebagai salah satu
referensi pembelajaran bagi pendidik dan peserta didik; dan (2) buku teks bukanlah
satu-satunya sumber belajar.

Peraturan tersebut menjadi landasan yuridis untuk perancangan perangkat ajar yang
merupakan salah satu kebaruan dalam Kurikulum Merdeka. Perangkat ajar merupakan
berbagai sumber dan bahan ajar yang digunakan oleh guru dan pendidik lainnya dalam
upaya mencapai profil pelajar Pancasila dan Capaian Pembelajaran. Termasuk
dalam perangkat ajar adalah buku teks pelajaran, modul ajar, video pembelajaran, serta
bentuk lainnya. Tujuannya adalah untuk membantu pendidik yang membutuhkan
referensi atau inspirasi dalam pengajaran. Oleh karena itu, selain buku teks utama dan
buku panduan guru, Pemerintah Pusat juga menyediakan contohcontoh modul ajar,
contoh-contoh silabus yang menjelaskan alur tujuan pembelajaran, contoh-contoh
panduan projek penguatan profil pelajar Pancasila, contoh-contoh kurikulum
operasional, contoh-contoh asesmen kelas untuk keperluan diagnostik kesiapan peserta
didik, bahkan contoh-contoh mekanisme pengaturan pemilihan mata pelajaran untuk
kelas XI dan XII.

Ada tiga perangkat ajar yang baru dikembangkan dalam Kurikulum Merdeka, yaitu
contoh-contoh modul ajar, alur tujuan pembelajaran, dan projek penguatan profil pelajar
Pancasila. Modul ajar merupakan pengembangan dari rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yang dilengkapi dengan panduan yang lebih terperinci, termasuk
lembar kegiatan siswa dan asesmen untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran.
Disebut sebagai modul karena perangkat ini dapat digunakan secara modular. Dengan
adanya modul ajar ini, guru dapat menggunakan perangkat yang lebih bervariasi, tidak
hanya buku teks pelajaran yang sama sepanjang tahun. Modul ajar tidak hanya
dikembangkan oleh Pemerintah namun juga dapat dikembangkan oleh guru, komunitas
pendidikan, penerbit, serta lembaga, pakar, ataupun praktisi lainnya di Indonesia.
Dengan menggunakan modul ajar diharapkan proses belajar menjadi lebih fleksibel
karena tidak tergantung pada konten dalam buku teks, kecepatan serta strategi
pembelajaran juga dapat sesuai dengan kebutuhan peserta didik, sehingga diharapkan
setiap siswa dapat mencapai kompetensi minimum yang ditargetkan.

Contoh-contoh alur tujuan pembelajaran (ATP) atau urutan pembelajaran adalah


komponen untuk menyusun silabus. ATP diharapkan dapat membantu satuan
pendidikan dan pendidik mengembangkan langkah-langkah atau alur pembelajaran
berdasarkan Capaian Pembelajaran yang telah ditetapkan. Sebagaimana yang telah
dijelaskan tentang Capaian Pembelajaran, kompetensi yang perlu dicapai dalam setiap
mata pelajaran ditetapkan dalam satuan fase. Setiap fase memiliki rentang waktu yang
berbeda, ada yang dua sampai tiga tahun, namun ada juga yang satu tahun. Urutan atau
alur pembelajaran kemudian ditetapkan oleh pendidik sesuai dengan kecepatan dan
kebutuhan belajar peserta didik. Namun demikian, berdasarkan umpan balik selama
perancangan Kurikulum Merdeka dilakukan didapat bahwa sebagian guru masih
kesulitan dalam mengembangkan alur pembelajaran berdasarkan CP tanpa merujuk
pada buku teks yang biasanya sudah memandu mereka langkah-langkah pembelajaran.
Oleh karena itu, agar guru tidak kembali berpatokan hanya pada buku teks, pemerintah
menyediakan contohcontoh alur tujuan pembelajaran yang dapat dipilih guru ataupun
menjadi referensi untuk mereka mengembangkan sendiri ATP sesuai kebutuhan peserta
didik.

Contoh-contoh diberikan untuk dapat digunakan langsung ataupun sebagai referensi


yang menginspirasi satuan pendidikan dan pendidik dalam mengembangkan modul ajar
mereka sendiri serta perangkat ajar lainnya, sesuai konteks dan kebutuhan peserta didik.
Dengan kata lain, pendidik memiliki keleluasaan untuk membuat sendiri dan tidak ada
kewajiban untuk menggunakan contoh-contoh yang disediakan. Penyediaan contoh-
contoh ini merupakan bagian dari prinsip perancangan kurikulum yang sederhana dan
mudah diimplementasi. Sebagaimana yang dianjurkan dalam Standar Proses di mana
peserta didik diharapkan untuk belajar dari beragam sumber, Pemerintah membantu
menyediakan sumbersumber tersebut bagi pendidik yang kesulitan mengakses ataupun
mengembangkan sumber belajar. Dengan demikian, diharapkan seluruh peserta didik
dapat membangun kebiasaan dan kemampuan untuk tidak terpaku pada satu buku teks
pelajaran sepanjang tahun.

Perangkat ajar didistribusikan melalui platform digital yang dikembangkan Kemendikbud


Ristek agar dapat diakses lebih luas dalam jangka waktu yang cepat. Selain itu,
pengguna perangkat ajar juga akan lebih mudah untuk memilih perangkat ajar sesuai
dengan kebutuhannya dalam platform tersebut. Namun demikian, menyadari bahwa
akses internet dan perangkat digital belum merata, perangkat ajar juga didistribusikan
melalui diska lepas (flash disk) agar dapat diakses offline atau tanpa jaringan internet
dan juga dalam bentuk bahan cetak yang tidak membutuhkan perangkat digital.

Strategi pengembangan platform digital serta beragam perangkat ajar ini sejalan dengan
rekomendasi UNESCO (2020) tentang pembukaan akses berbagai sumber atau referensi
pembelajaran atau dikenal sebagai open educational resources (OER). OER merupakan
salah satu upaya untuk meningkatkan pemerataan kualitas pembelajaran, yaitu dengan
membuka akses guru untuk mendapatkan berbagai sumber pembelajaran yang
berkualitas. OER juga menjadi pendorong penggunaan konten secara inovatif serta
pengembangan ilmu pengetahuan serta strategi pembelajaran yang efektif (UNESCO &
Commonwealth of Learning, 2019). Platform teknologi digital dapat meningkatkan akses
secara lebih inklusif, lebih cepat, dan lebih murah (UNESCO, 2020). Dalam platform ini,
guru tidak hanya dapat mengakses perangkat ajar, namun juga memberikan umpan
balik untuk perangkat ajar yang digunakannya.

Memberikan akses terbuka agar guru dapat menggunakan berbagai sumber


pembelajaran merupakan bagian dari memberikan kemerdekaan bagi guru;
sebagaimana yang disampaikan UNESCO (2020) dalam rekomendasi pada negara-
negara terkait OER: “as part of academic and professional freedom, teachers should be
given the essential role in the choice and adaptation of teaching material, the selection
of textbooks and the application of teaching methods.” (sebagai bagian dari
kemerdekaan akademik dan profesional, guru sepatutnya diberikan peran yang esensial
untuk menentukan dan mengadaptasi materi pembelajaran, memilih buku teks, dan
mengaplikasikan metode pembelajaran). Kesempatan untuk membuat pilihan sumber
atau referensi pembelajaran ataupun membuat sendiri modul ajar adalah bentuk
kemerdekaan untuk guru yang dikuatkan dalam Kurikulum Merdeka.

Menurut data yang dikumpulkan UNESCO, saat ini jenis-jenis OER yang tersedia di
seluruh dunia berbentuk buku teks yang dapat diakses terbuka (open textbooks), materi
atau paparan kuliah, multimedia, audio, ilustrasi, animasi, tugas-tugas, dan kuis. Materi-
materi tersebut dikelola oleh pemerintah termasuk pengaturan hak untuk menggunakan
dan memodifikasi perangkat tersebut agar dapat disesuaikan isi dan tujuan
penggunaannya. Hak untuk menggunakan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan guru
(yang bisa jadi berbeda dengan tujuan dituliskannya materi tersebut oleh penulisnya)
adalah faktor yang sangat penting dalam OER, yang mendorong terjadinya
pengembangan materi secara terus menerus. Adaptasi dan modifikasi ini juga
dibutuhkan untuk mendorong penggunaan materi secara inovatif, yang pada akhirnya
mendorong proses pembelajaran yang juga inovatif.

Modul Ajar Berbasis Kurikulum Merdeka


Modul ajar merupakan bahasa baru dari RPP, namun terdapat perbedaan secara
signifikan pada konten modul ajar dengan RPP. Sebagian sekolah telah menyusun
Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) sebelum pembelajaran
pertama dimulai, poin- poin yang disusun meliputi tujuan pembelajaran dan
Alur Tujuan Pembelajaran (ATP).

Tujuan pengembangan modul ajar menurut pandual pembelajaran dan asesmen


adalah untuk memperkaya perangkat pembelajaran yang dapat memandu guru
untuk melaksanakan pembelajaran di kelas tertutup dan terbuka. Dalam hal ini,
kurikulum merdeka memberikan keleluasaan kepada guru untuk memperkaya
modul melalui dua cara, yaitu guru dapat memilih atau memodifikasi modul ajar
yang sudah disiapkan oleh pemerintah dan disesuaikan dengan karakter siswa
serta menyusun modul secara individual sesuai dengan materi dan karakter siswa.

Sebelum menyusun modul ajar, guru mengetahui strategi mengembangkan


modul ajar dan harus memenuhi dua syarat minimal, yaitu memenuhi kriteria yang
telah ada dan kegiatan pembelajaran dalam modul ajar sesuai dengan
prinsip pembelajaran dan asesmen.

Adapun kriteria modul ajar kurikulum merdeka adalah sebagai berikut;

(1) Esensial yaitu setiap mata pelajaran berkonsep melalui pengalaman belajar dan
lintas disiplin ilmu,

(2) Menarik, bermakna, dan menantang yaitu guru dapat menumbuhkan minat
kepada siswa dan menyertakan siswa secara aktif pada pembelajaran, berkaitan
dengan kognitif dan pengalaman yang dimilikinya sehingga tidak terlalu kompleks
dan tidak terlalu mudah untuk seusianya,

(3) Relevan dan kontekstual yaitu berkaitan dengan unsur kognitif dan pengalaman
yang telah dimiliki sebelumnya dan sesuai kondisi waktu dan tempat siswa
berada, dan

(4) Berkesinambungan yaitu kegiatan pembelajaran harus memiliki keterkaitan sesua i


dengan fase belajar siswa (fase 1, fase 2, fase 3)

Kriteria modul ajar yang telah dipaparkan sebelumnya perlu dijadikan acuan Ketika
menyusun modul ajar. Setelah menetapkan prinsip dari kriteria di atas, guru
harus membuat modul ajar sesuai dengan kompo nen yang ditentukan berdasarkan
kebutuhan.

Namun, secara global modul ajar memiliki komponen sebagai berikut:

a) Komponen informasi umum; b) Komponen inti; c) Lampiran.

Pada komponen informasi umum meliputi beberapa poin yaitu:


1. Identitas penulis modul, intitusi asal, dan tahun dibentuknya modul ajar,
jenjang sekolah, kelas, alokasi waktu.

2. Kompetensi awal yaitu bentuk kalimat pernyataan mengenai pengetahuan


dan keterampilan yang harus dicapai siswa sebelum mempelajari materi.

3. Profil Pelajar Pancasila. Poin ini merupakan pembeda antara kurikulum


sebelumnya dengan kurikulum merdeka, Profil Pelajar Pancasila merupakan
tujuan akhir dari sebuah proses pembelajaran yang berkaitan dengan
pembentukan karakter siswa. Guru dapat mendesain profil pelajar pancasila
dalam konten atau metode pembelajaran, profil pelajar pancasila digunakan
sesuai kebutuhan siswa pada proses pembelajaran. Beberapa pilar profil pelajar
pancasila yang saling berkaitan di semua mata pelajaran dan terlihat jelas dalam
materi/ konten pembelajaran, pedagogik, kegiatan project, dan asesmen. Setiap
modul ajar meliputi satu ata beberapa poin dimensi profil pelajar pancasila yang
telah ditentukan.

4. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasaran merupakan fasilitas dan media yang dibutuhkan guru dan
siswa guna menunjang proses pembelajaran di kelas. Salah satu sarana yang
dapat dimanfaatkan dan sangat dibutuhkan oleh guru dan siswa adalah teknologi.
Teknologi dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran yang lebih bermakna.

5. Target Siswa.

Target siswa dapat dilihat dari psikologis siswa sebelum mulai pembelajaran.
Guru dapat membuat modul ajar sesuai kategori siswa dan dapat
memfasilitasinya agar proses pembelajaran berjalan dengan baik. Setidaknya
terdapattiga kategori siswa pada umumnya, di antaranya adalah:

a. Siswa reguler: karakter tersebut tidak mengalami kesulitan dalam memahami

materi ajar

b.Siswa kesulitan belajar: siswa tersebut mengalami kendala baik secara fisik maupun

mental dimana kurang dapat berkosentrasi jangka panjang, mehamai materi ajar,
kurang percaya diri, dan sebagainya

c. Siswa pencapaian tinggi: siswa tersebut tergolong cepar memahami materi

pembelajaran, terampil berpikir kritis dan mampu memimpin.

6. Model Pembelajaran
Model pembelajaran dalam kurikulum merdeka beragam dan dapat menggunakan
model pembelajaran yang sesuai dengan materi dan kelas.

Adapun model pembelajaran yang dapat digunakan salah satunya adalah sintaks 5
model pembelajaran, agar pembelajaran dapat lebih bermakna.

Sementara pada komponen inti modul ajar meliputi tujuan pembelajaran,


asesmen, pemahaman bermakna, pertanyaan pemantik, kegiatan pembelajaran, dan
refleksi siswa dan guru.

1. Tujuan Pembelajaran

Tujuan pembelajaran harus mencerminkan poin-poin penting pada pembelajaran


dan dapat diuji oleh berbagai jenis asesmen sebagai bentuk dari pemahaman siswa.
Tujuan pembelajaran terdiri dari alur konten capaian pembelajaran dan
alur tujuan pembelaran. Hal ini dilakukan untuk menentukan kegiatan belajar,
sumber daya yang akan digunakan, kesesuaian dari beragam siswa, dan teknik asesmen
yang digunakan. Bentuk tujuan pembelajaran pun beragam, mulai dari bidang
kognitif yang meliputi fakta dan informasi, prosedural, pemahaman konseptual,
seni berpikir kritis dan keterampilan bernalar, dan langkah berkomunikasi.

2. Pemahaman Bermakna

Pemahaman bermakna untuk mendeskripsikan proses pembelajaran tidak


hanya menghafal konsep atau fenomena saja, namun perlu
diterapkan kegiatan menghubungkan konsep - konsep tersebut untuk membentuk
pemahaman yang baik sehingga konsep yang telah dirancang oleh guru dapat
membentuk perilaku siswa.

3. Pertanyaan Pemantik

Guru dapat membuat pertanyaan kepada siswa yang dituangkan dalam rancangan

pembelajaran modul ajar untuk membangkitkan kecerdasan berbicara, rasa ingin tahu,

memulai diskusi antar teman atau guru, dan memulai pengamatan. Fokus pembuatan
pertanyaan dalam bentuk kata tanya terbuka, seperti; apa, bagaimana, mengapa.

4. Kegiatan Pembelajaran

Pada kegiatan ini berisikan skenario pembelajaran dalam kelas atau luar
kelas. Kegiatan ini memiliki urutan yang sis tematis yang dapat disertakan
dengan opsi pembelajaran atau pembelajaran alternatif sesuai dengan kebutuhan
belajar siswa, namun tetap pada koridor durasi waktu yang telah direncanakan.
Adapun tahap kegiatan pembelajaran adalah pendahuluan, inti, dan penutup
berbasis metode pembelajaran aktif.
5. Asesmen

Seperti yang telah diketahui bahwa kurikulum merdeka belajar mendesain asesmen
menjadi tiga kategori, yaitu asesmen diagnostik, asesmen formatif, dan asesmen
sumatif. Hal ini untuk mengukur capaian pembelajaran di akhir kegiatan
pembelajaran. Asesmen diagnositik harus dilakukan sebelum pembelajaran dengan
mengategorikan kondisi siswa dari segi psikologis dan kognitif. Asesmen
formatif dilakukan saat proses pembelajaran. Sementara asesmen sumatif
dilakukan di akhir proses pembelajaran.

Adapun bentuk asesmennya beragam di antaranya adalah ; (1) sikap, asesmen ini
dapat berupa pengamatan, penilaian diri, penilaian teman sebaya dan anekdotal,
(2) perfoma, penilaian ini berupa hasil keterampilan/ psikomotorik siswa
berupa presentasi, drama, market day, dan lain sebagainya, dan (3) tertulis,
penilaian ini berupa tes tertulis secara objektif, essay, multiple choice, isian, dan
lain-lain. Guru dapat berkreasi dalam melakukan asesmen kepada siswa.

6. Remedial dan Pengayaan

Dua kegiatan pembelajaran ini dapat diberikan kepada siswa dengan pencapaian tinggi
dan siswa yang membutuhkan bimbingan untuk memahami materi. Guru
dapat memperhatikan defrensiasi lembar kerja bagi siswa yang mendapatkan pengayaan
dan siswa yang mendapatkan remedial.

Pada tahap akhir, yaitu lampiran yang meliputi lembar kerja peserta didik,
pengayaan dan remedial, bahan bacaan guru dan siswa, glossarium, dan daftar
pustaka.

Beberapa komponen di atas tidak perlu dicantumkan semua pada modul


ajar dan dikembalikan pada satuan pendidikan yang memiliki kebebasan
merancang dan mengembangkan modul sesuai dengan kondisi lingkungan belajar dan
kebutuhan siswa .

Langkah- langkah Pengembangan Modul Ajar Kurikulum


Merdeka
Terdapat Langkah - langkah mengembangkan modul ajar pada kurikulum merdeka, di
bawah ini terdapat 10 langkah, di antaranya adalah:

1. Melakukan analisis pada siswa, guru, dan satuan pendidikan mengenai


kondisi dan kebutuhannya. Pada tahap ini guru dapat mengidentifikasi masalah-
masalah yang muncul dalam pembelajaran, guru dapat menganalisis kondisi dan
kebutuhan siswa dalam pembelajaran sehingga modul ajar yang didesain akurat dengan
masalah yang ada dalam pembelajaran.
2. Melakukan asesmen diagnostik pada siswa menganai kondisi dan kebutuhan
dalam pembelajaran. Pada tahap ini guru mengidentifikasi kesiapan siswa sebelum
belajar. Guru melakukan asesmen ini secara spesifik untuk mengidentifikasi
kompetensi, kekuatan, dan kelemahan siswa.

3. Melakukan identifikasi dan menentukan entitas profil pelajar pancasila yang


akan dicapai. Pada tahapan ini guru dapat mengidentifikasi kebutuhan siswa dan
beracuan dengan pendidikan berkarakter. Profil pelajar pancasila hakikatnya dapat
dicapai dengan project, oleh karena itu guru harus mampu merancang alokasi
waktu dan dimensi program profil pelajar pancasila.

4. Mengembangkan modul ajar yang bersumber dari Alur Tujuan Pembelajaran,


Alur tersebut berdasarkan dengan Capaian Pembelajaran. Esensi dari tahapan ini
adalah pengembangan materi sama halnya seperti mengembangkan materi pada
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)

5. Mendesain jenis, teknik, dan instrumen asesmen.

Pada tahap ini guru dapat menentukan instrumen yang dapat digunakan untuk
asesmen yang beracuan pada tiga insturmen asesmen nasional yaitu asesmen
kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar.

6. Modul ajar disusun berdasarkan komponen-komponen yang telah direncanakan

7. Guru dapat menentukan beberapa komponen secara esensial yang sesuai


dengan kebutuhan pembelajaran. Beberapa komponen yang ada dapat digunakan
sesuai dengan kebutuhan siswa dalam pembelajaran.

8. Komponen esensial dapat dielaborasikan dalam kegiatan pembelajaran

9. Setelah tahapan sebelumnya telah diterapkan, maka modul siap digunakan

10. Evaluasi modul

Alur Tujuan Pembelajaran dalam Kurikulum Merdeka


Alur Tujuan Pembelajaran (ATP) merupakan rangkaian tujuan pembelajaran yang sudah
disusun secara sistematis dan logis dalam fase capaian pembelajaran secara utuh dari
fase awal hingga akhir. Alur tujuan pembelajaran ini memang disusun secara linear
sesuai urutan kegiatan pembelajaran dengan tujuan mengukur capaian pembelajaran.

Secara umum, Alur Tujuan Pembelajaran mempunyai fungsi sama seperti silabus, yaitu
untuk acuan perencanaan pembelajaran. Alur Tujuan Pembelajaran ini bukan hanya
dijadikan acuan atau panduan guru, tetapi juga siswa dalam mencapai pencapaian
pembelajaran di akhir fase.
Seperti yang diketahui, pemerintah menetapkan capaian pembelajaran kurikulum
merdeka dalam fase-fase, yaitu fase A untuk tingkat kelas 1 dan kelas 2, fase B untuk
tingkat kelas 3 dan 4, fase C untuk kelas 5 dan 6, fase D untuk kelas 7 dan 8, fase E untuk
kelas 9 dan 10, serta fase F untuk kelas 11 dan 12.

Umumnya ada 2 cara untuk mengembangkan Capaian Pembelajaran serta


menyusun perangkat ajar yaitu menyusun alur tujuan pembelajaran dan
mengembangkan modul ajar.

Dalam mengembangkan kurikulum operasional sekolah, setiap satuan pendidikan akan


membuat dokumen rencana pembelajaran berupa Alur Tujuan Pembelajaran dan Modul
Ajar. Dalam hal ini, pemerintah pusat sudah menetapkan capaian pembelajaran yang
bisa dikembangkan menjadi alur tujuan pembelajaran serta modul ajar oleh setiap
sekolah. Adapun Capaian Pembelajaran yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan
sebuah kompetensi pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa setiap perkembangan
untuk setiap mata pelajaran di sekolah.

Ada beberapa kriteria Alur Tujuan Pembelajaran yang bisa Anda ketahui. Berikut adalah
beberapa kriteria tersebut.

 Menggambarkan urutan pengembangan kompetensi yang harus dicapai oleh


siswa.
 Setiap fase dalam Alur Tujuan Pembelajaran menggambarkan cakupan serta
tahapan pembelajaran yang linear mulai dari awal fase hingga akhir fase.
 Alur Tujuan Pembelajaran yang dibuat untuk seluruh fase menggambarkan
cakupan serta tahapan pembelajaran yang di dalamnya terdapat tahapan
perkembangan kompetensi antar fase serta jenjang.

Susunan Alur Tujuan Pembelajaran ini akan membentuk tujuan pembelajaran dari awal
fase hingga akhir fase suatu Capaian Pembelajaran. Guru bisa menyusun tujuan
pembelajaran secara kronologis sesuai urutan pembelajaran dari waktu ke waktu. Dalam
hal ini guru juga bisa menyusun alur pembelajaran masing-masing yang memuat
rangkaian tujuan pembelajaran. Pemerintah akan membantu untuk menyediakan set alur
tujuan pembelajaran ini. Set alur ini untuk digunakan sebagai contoh pengembangan
kurikulum setiap satuan pendidikan serta panduan dalam menyusun perangkat ajar.

Berdasarkan operasional komponen tujuan pembelajaran, terdapat 3 aspek dalam Alur


Tujuan Pembelajaran, yaitu kompetensi, konten, serta variasi. Untuk mengetahui lebih
dalam, berikut sedikit penjelasannya.

1. Kompetensi

Kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki dan bisa didemonstrasikan atau


diaktualisasikan oleh siswa dalam bentuk produk maupun kinerja, baik yang abstrak
ataupun konkret. Kompetensi ini menunjukkan bahwa siswa sudah berhasil mencapai
tujuan pembelajaran. Keberhasilan dalam memiliki kompetensi ini bisa dilihat setelah
siswa mengikuti rangkaian kegiatan pembelajaran di kelas.

Saat menentukan kompetensi dalam Alur Tujuan Pembelajaran, guru dapat


menggunakan kata kerja operasional yang bisa diamati sesuai dengan taksonomi bloom
yang direvisi. Sebagai contoh, peserta didik mampu memberikan solusi untuk mengatasi
perubahan lingkungan akibat faktor manusia.

2. Konten

Konten merupakan isi atau materi ilmu pengetahuan inti maupun konsep utama yang
bisa didapatkan oleh siswa melalui pemahaman selama mengikuti proses pembelajaran
di akhir 1 unit pembelajaran. Guru dapat menentukan ilmu pengetahuan atau konsep
utama apa yang harus dipahami siswa di akhir satu unit pembelajaran. Kemudian, guru
juga dapat merumuskan pertanyaan yang hrus dapat dijawab siswa setelah mengikuti
kegiatan pembelajaran unit tersebut. Contoh konten adalah perubahan alam yang terjadi
di permukaan bumi akibat faktor manusia.

 Variasi

Alur Tujuan Pembelajaran juga perlu memenuhi aspek variasi, yaitu beberapa
keterampilan berpikir siswa yang harus dikuasai untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Variasi keterampilan berpikir ini seperti berpikir kritis, kreatif, dan berpikir tingkat tinggi,
seperti analisis evaluasi, prediksi, menciptakan, dan lain-lain.

Guru dapat menentukan variasi keterampilan berpikir siswa yang harus dikuasai. Salah
satu perantinya adalah menggunakan soal-soal HOTS. Sebagai contoh, peserta didik
mampu menganalisis hubungan manusia dengan perubahan alam di permukaan bumi
lalu membuat kesimpulan faktor utamanya. Dalam hal ini berarti siswa dituntut
mempunyai variasi berpikir untuk mengetahui, memahami, mengaplikasikan,
menganalisis, serta membuat kesimpulan materi tersebut.

Itulah beberapa hal yang bisa Anda ketahui mengenai Alur Tujuan Pembelajaran dalam
Kurikulum Merdeka. Dengan membuat Alur Tujuan Pembelajaran yang tepat, guru bisa
membantu siswa dalam mencapai Tujuan Pembelajaran atau Capaian Pembelajaran
dengan optimal melalui kegiatan pembelajaran.

Cara Menyusun Alur Tujuan Pembelajaran Kurikulum


Merdeka
Setelah merumuskan tujuan pembelajaran, langkah berikutnya dalam perencanaan
pembelajaran adalah menyusun alur tujuan pembelajaran. Alur tujuan
pembelajaran sebenarnya memiliki fungsi yang serupa dengan apa yang dikenal selama
ini sebagai “silabus”, yaitu untuk perencanaan dan pengaturan pembelajaran dan
asesmen secara garis besar untuk jangka waktu satu tahun. Oleh karena itu, pendidik
dapat menggunakan alur tujuan pembelajaran saja, dan alur tujuan pembelajaran ini
dapat diperoleh pendidik dengan:

1. merancang sendiri berdasarkan CP,


2. mengembangkan dan memodifikasi contoh yang disediakan, ataupun
3. menggunakan contoh yang disediakan pemerintah.

Bagi pendidik yang merancang alur tujuan pembelajarannya sendiri, tujuan-tujuan


pembelajaran yang telah dikembangkan dalam tahap sebelumnya akan disusun sebagai
satu alur (sequence) yang berurutan secara sistematis, dan logis dari awal hingga akhir
fase. Alur tujuan pembelajaran juga perlu disusun secara linier, satu arah, dan tidak
bercabang, sebagaimana urutan kegiatan pembelajaran yang dilakukan dari hari ke
hari.Dalam menyusun alur tujuan pembelajaran, ada beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan:

1. Tujuan pembelajaran adalah tujuan yang lebih umum bukan tujuan pembelajaran
harian (goals, bukan objectives);
2. Alur tujuan pembelajaran harus tuntas satu fase, tidak terpotong di tengah jalan;
3. Alur tujuan pembelajaran perlu dikembangkan secara kolaboratif, (apabila guru
mengembangkan, maka perlu kolaborasi guru lintas kelas/tingkatan dalam satu
fase. Contoh: kolaborasi antara guru kelas I dan II untuk Fase A;
4. Alur tujuan pembelajaran dikembangkan sesuai karakteristik dan kompetensi
yang dikembangkan setiap mata pelajaran. Oleh karena itu sebaiknya
dikembangkan oleh pakar mata pelajaran, termasuk guru yang mahir dalam mata
pelajaran tersebut;
5. Penyusunan alur tujuan pembelajaran tidak perlu lintas fase (kecuali pendidikan
khusus);
6. Metode penyusunan alur tujuan pembelajaran harus logis, dari kemampuan yang
sederhana ke yang lebih rumit, dapat dipengaruhi oleh karakteristik mata
pelajaran, pendekatan pembelajaran yang digunakan (misal: matematik realistik);
7. Tampilan tujuan pembelajaran diawali dengan alur tujuan pembelajarannya
terlebih dahulu, baru proses berpikirnya (misalnya, menguraikan dari elemen
menjadi tujuan pembelajaran) sebagai lampiran agar lebih sederhana dan
langsung ke intinya untuk guru;
8. Karena alur tujuan pembelajaran yang disediakan Kemendikbudristek merupakan
contoh, maka alur tujuan pembelajaran dapat bernomor/huruf (untuk
menunjukkan urutan dan tuntas penyelesaiannya dalam satu fase);
9. Alur tujuan pembelajaran menjelaskan SATU alur tujuan pembelajaran, tidak
bercabang (tidak meminta guru untuk memilih). Apabila sebenarnya urutannya
dapat berbeda, lebih baik membuat alur tujuan pembelajaran lain sebagai
variasinya, urutan/alur perlu jelas sesuai pilihan/keputusan penyusun, dan untuk
itu dapat diberikan nomor atau kode; dan
10. Alur tujuan pembelajaran fokus pada pencapaian CP, bukan profil pelajar
Pancasila dan tidak perlu dilengkapi dengan pendekatan/strategi pembelajaran
(pedagogi).
Dalam menyusun alur tujuan pembelajaran, pendidik dapat mengacu pada berbagai cara
yang diuraikan pada tabel di bawah ini

(Creating Learning Materials for Open and Distance Learning, 2005;Doolittle, 2001;
Morrison, Ross, & Kemp, 2007; Reigeluth & Keller, 2009):

Tabel. Cara-Cara Menyusun Tujuan Pembelajaran Menjadi Alur Tujuan Pembelajaran

Metode pengurutan dari konten yang konkret dan berwujud ke konten y


Pengurutan dari yang Konkret ke
simbolis. Contoh: memulai pengajaran dengan menjelaskan tentang ben
yang Abstrak
terlebih dahulu sebelum mengajarkan aturan teori objek geometris terseb
Metode pengurutan dari konten bersifat umum ke konten yang spesifik.
Pengurutan Deduktif konsep database terlebih dahulu
sebelum mengajarkan tentang tipe database, seperti hierarki atau relasio
Pengurutan dari Mudah ke yang Metode pengurutan dari konten paling mudah ke konten paling sulit. Co
lebih Sulit mengeja kata-kata pendek dalam kelas bahasa sebelum mengajarkan kat
Metode ini dilaksanakan dengan mengajarkan keterampilan komponen k
Pengurutan Hierarki terlebih dahulu sebelum mengajarkan keterampilan yang lebih komplek
belajar tentang penjumlahan sebelum mereka dapat memahami konsep p
Metode ini dilaksanakan dengan mengajarkan tahap pertama dari sebuah
membantu siswa untuk menyelesaikan tahapan selanjutnya. Contoh: dal
Pengurutan Prosedural menggunakan t-test dalam sebuah pertanyaan penelitian, ada beberapa t
dilalui, seperti menulis hipotesis, menentukan tipe tes yang akan diguna
dan menjalankan tes dalam sebuah perangkat lunak statistik.
Metode pengurutan yang meningkatkan standar performa sekaligus men
bertahap. Contoh: dalam mengajarkan berenang, guru perlu menunjukka
Scaffolding
ketika siswa mencobanya, guru hanya butuh membantu. Setelah ini, ban
berkurang secara bertahap. Pada akhirnya, siswa dapat berenang sendiri

Sebagaimana disampaikan pada penjelasan tentang CP, setiap fase terdiri atas 1 sampai
3 kelas. Sebagai contoh, pada jenjang SD, satu fase terdiri atas 2 kelas. Alur tujuan
pembelajaran dikembangkan untuk setiap CP. Dengan demikian, alur tujuan
pembelajaran untuk Fase A, misalnya, harus disusun untuk 2 tahun (Kelas I dan Kelas II).
Oleh karena itu, dalam menyusun alur tujuan pembelajaran, pendidik perlu berkolaborasi
dengan pendidik lain yang mengajar dalam fase yang sama agar tujuan
pembelajarannya berkesinambungan.

Pendidik dapat menggunakan contoh alur tujuan pembelajaran yang telah tersedia, atau
memodifikasi contoh alur tujuan pembelajaran menyesuaikan kebutuhan peserta didik,
karakteristik dan kesiapan satuan pendidikan. Selain itu, pendidik dapat menyusun alur
tujuan pembelajaran secara mandiri sesuai dengan kesiapan satuan pendidikan. Tidak
ada format komponen yang ditetapkan oleh pemerintah. Komponen alur tujuan
pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan satuan pendidikan yang mudah
dimengerti oleh pendidik.
A. Profil Pelajar Pancasila
“Pelajar Indonesia merupakan pelajar sepanjang hayat yang kompeten, berkarakter, dan
berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila.” Profil pelajar Pancasila dirancang untuk
menjawab satu pertanyaan besar, yakni peserta didik dengan profil (kompetensi) seperti
apa yang ingin dihasilkan oleh sistem pendidikan Indonesia.

Dalam konteks tersebut, profil pelajar Pancasila memiliki rumusan kompetensi yang
melengkapi fokus di dalam pencapaian Standar Kompetensi Lulusan di setiap jenjang
satuan pendidikan dalam hal penanaman karakter yang sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila.

Kompetensi profil pelajar Pancasila memperhatikan faktor internal yang berkaitan


dengan jati diri, ideologi, dan cita-cita bangsa Indonesia, serta faktor eksternal yang
berkaitan dengan konteks kehidupan dan tantangan bangsa Indonesia di Abad ke-21
yang sedang menghadapi masa revolusi industri 4.0.

Pelajar Indonesia diharapkan memiliki kompetensi untuk menjadi warga negara yang
demokratis serta menjadi manusia unggul dan produktif di Abad ke-21. Oleh karenanya,
Pelajar Indonesia diharapkan dapat berpartisipasi dalam pembangunan global yang
berkelanjutan serta tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan.

Selain itu, Pelajar Indonesia juga diharapkan memiliki kompetensi untuk menjadi warga
negara yang demokratis serta menjadi manusia unggul dan produktif di Abad ke-21.
Oleh karenanya, Pelajar Indonesia diharapkan dapat berpartisipasi dalam pembangunan
global yang berkelanjutan serta tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan. 1.
Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia. 2. Berkebinekaan
global. 3. Bergotong-royong. 4. Mandiri. 5. Bernalar kritis. 6. Kreatif.

Dimensi-dimensi tersebut menunjukkan bahwa profil pelajar Pancasila tidak hanya fokus
pada kemampuan kognitif, tetapi juga sikap dan perilaku sesuai jati diri sebagai bangsa
Indonesia sekaligus warga dunia

B. Perlunya Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila


Sejak beberapa dekade terakhir, pendidik dan praktisi pendidikan di seluruh dunia mulai
menyadari bahwa mempelajari hal-hal di luar kelas dapat membantu peserta didik
memahami bahwa belajar di satuan pendidikan memiliki hubungan dengan kehidupan
seharisehari. Jauh sebelum itu, Ki Hajar Dewantara sudah menegaskan pentingnya
peserta didik mempelajari hal-hal di luar kelas, namun sayangnya selama ini pelaksanaan
hal tersebut belum optimal.

Projek penguatan profil pelajar Pancasila, sebagai salah satu sarana pencapaian profil
pelajar Pancasila, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk “mengalami
pengetahuan” sebagai proses penguatan karakter sekaligus kesempatan untuk belajar
dari lingkungan sekitarnya. Dalam kegiatan projek profil ini, peserta didik memiliki
kesempatan untuk mempelajari tema-tema atau isu penting seperti perubahan iklim, anti
radikalisme, kesehatan mental, budaya, wirausaha, teknologi, dan kehidupan
berdemokrasi sehingga peserta didik dapat melakukan aksi nyata dalam menjawab isu-
isu tersebut sesuai dengan tahapan belajar dan kebutuhannya.

Projek penguatan profil pelajar Pancasila diharapkan dapat menginspirasi peserta didik
untuk berkontribusi bagi lingkungan sekitarnya. Bagi pekerja di dunia modern,
keberhasilan menjalankan projek akan menjadi prestasi Dalam skema kurikulum,
pelaksanaan projek penguatan profil pelajar Pancasila terdapat di dalam rumusan
Kepmendikbudristek No.56/M/2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam
Rangka Pemulihan Pembelajaran yang menyebutkan bahwa Struktur Kurikulum di
jenjang PAUD serta Pendidikan Dasar dan Menengah terdiri atas kegiatan pembelajaran
intrakurikuler dan projek penguatan profil pelajar Pancasila. Sementara pada Pendidikan
Kesetaraan terdiri atas mata pelajaran kelompok umum serta pemberdayaan dan
keterampilan berbasis profil pelajar Pancasila.

Penguatan projek profil pelajar Pancasila diharapkan dapat menjadi sarana yang optimal
dalam mendorong peserta didik menjadi pelajar sepanjang hayat yang kompeten,
berkarakter, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

C. Prinsip-prinsip projek penguatan profil pelajar


Pancasila
1. Holistik

Holistik bermakna memandang sesuatu secara utuh dan menyeluruh, tidak parsial atau
terpisah-pisah. Dalam konteks perancangan Projek Penguatan profil pelajar Pancasila,
kerangka berpikir holistik mendorong kita untuk menelaah sebuah tema secara utuh dan
melihat keterhubungan dari berbagai hal untuk memahami sebuah isu secara mendalam.
Oleh karenanya, setiap tema projek profil yang dijalankan bukan merupakan sebuah
wadah tematik yang menghimpun beragam mata pelajaran, namun lebih kepada wadah
untuk meleburkan beragam perspektif dan konten pengetahuan secara terpadu. Di
samping itu, cara pandang holistik juga mendorong kita untuk dapat melihat koneksi
yang bermakna antar komponen dalam pelaksanaan projek profil, seperti peserta didik,
pendidik, satuan pendidikan, masyarakat, dan realitas kehidupan sehari-hari.

2. Kontekstual

Prinsip kontekstual berkaitan dengan upaya mendasarkan kegiatan pembelajaran pada


pengalaman nyata yang dihadapi dalam keseharian. Prinsip ini mendorong pendidik dan
peserta didik untuk dapat menjadikan lingkungan sekitar dan realitas kehidupan sehari-
hari sebagai bahan utama pembelajaran. Oleh karenanya, satuan pendidikan sebagai
penyelenggara kegiatan projek profil harus membuka ruang dan kesempatan bagi
peserta didik untuk dapat mengeksplorasi berbagai hal di luar lingkup satuan
pendidikan. Tema-tema projek profil yang disajikan sebisa mungkin dapat menyentuh
dan menjawab persoalan lokal yang terjadi di daerah masing-masing. Dengan
mendasarkan projek profil pada pengalaman dan pemecahan masalah nyata yang
dihadapi dalam keseharian sebagai bagian dari solusi, diharapkan peserta didik dapat
mengalami pembelajaran yang bermakna untuk secara aktif meningkatkan pemahaman
dan kemampuannya

3. Berpusat Pada Peserta Didik

Prinsip berpusat pada peserta didik berkaitan dengan skema pembelajaran yang
mendorong peserta didik untuk menjadi subjek pembelajaran yang aktif mengelola
proses belajarnya secara mandiri, termasuk memiliki kesempatan memilih dan
mengusulkan topik projek profil sesuai minatnya. Pendidik diharapkan dapat
mengurangi peran sebagai aktor utama kegiatan belajar mengajar yang menjelaskan
banyak materi dan memberikan banyak instruksi. Sebaliknya, pendidik sebaiknya
menjadi fasilitator pembelajaran yang memberikan banyak kesempatan bagi peserta
didik untuk mengeksplorasi berbagai hal atas dorongannya sendiri sesuai dengan
kondisi dan kemampuannya. Harapannya, setiap kegiatan pembelajaran dapat
mengasah kemampuan peserta didik dalam memunculkan inisiatif serta meningkatkan
daya untuk menentukan pilihan dan memecahkan masalah yang dihadapinya.

4. Eksploratif

Prinsip eksploratif berkaitan dengan semangat untuk membuka ruang yang lebar bagi
proses pengembangan diri dan inkuiri, baik terstruktur maupun bebas. Projek penguatan
profil pelajar Pancasila tidak berada dalam struktur intrakurikuler yang terkait dengan
berbagai skema formal pengaturan mata peserta didikan. Oleh karenanya projek profil
ini memiliki area eksplorasi yang luas dari segi jangkauan materi peserta didikan, alokasi
waktu, dan penyesuaian dengan tujuan pembelajaran. Namun demikian, diharapkan
pada perencanaan dan pelaksanaannya, pendidik tetap dapat merancang kegiatan
projek profil secara sistematis dan terstruktur agar dapat memudahkan pelaksanaannya.
Prinsip eksploratif juga diharapkan dapat mendorong peran projek penguatan profil
pelajar Pancasila untuk menggenapkan dan menguatkan kemampuan yang sudah
peserta didik dapatkan dalam peserta didikan intrakurikuler

Anda mungkin juga menyukai