Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

BAITUL ASYI DAN BULAN HAJI

BAGI MASYARAKAT ACEH

Disusun Oleh :

Sindy Mutiara

NIM : 210504026

PROGRAM STUDI INFORMATIKA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SAMUDRA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Langsa, 24 Desember 2022

Sindy Mutiara

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii
BAB I ................................................................................................................................1
PENDAHULUAN ............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................4
1.3 Tujuan ................................................................................................................4
1.4 Sistematika Penulisan .......................................................................................4
BAB II ...............................................................................................................................5
TUJUAN DAN PEMBAHASAN .....................................................................................5
2.1 Baitul Asyi .........................................................................................................5
2.2 Bulan Haji Aceh Bagi Masyarakat Aceh ............................................................5
BAB III .............................................................................................................................8
PENUTUP ........................................................................................................................8
3.1. Kesimpulan ........................................................................................................8
3.2. Saran ..................................................................................................................8

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa pemerintahan rezim Soeharto di tahun 1980an, pernah meminta
Prof DR Ismail Suny, Duta Besar Republik Indonesia di Saudi Arabia yang juga
orang Aceh untuk mengurus aset Baitul Asyi, yang sekarang berjumlah Rp 5.7
triliun. Tujuannya, agar Baitul Asyi dialihkan menjadi milik pemerintah Republik
Indonesia dan dimanfaatkan untuk kepentingan jemaah haji Indonesia.
Tetapi pengelola Baitul Asyi, saat itu, Syeikh Muhammad Shaleh Asyi dan
pemerintah Saudi Arabia, menjelaskan bahwa wakaf tidak boleh dipindah milikkan
dan dialihkan selain dari yang telah dicantumkan oleh pewakaf. Menurut sejarah,
Habib Bugak Asyi (Habib Abdurrahman Al-Habsyi) yang hidup pada masa
kerajaan Islam Aceh Darussalam telah mewakafkan berupa rumah pemondokan di
Qasasiah, ke hadapan Hakim Mahkamah Syariyah Mekkah pada 18 Rabiul Akhir
tahun 1224 H. Tujuannya adalah sebagai tempat pemondokan warga negara Aceh
yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah atau pemondokan bagi siswa siswi Aceh
yang belajar di Mekkah. Disamping itu, harta agama ini juga diniatkan untuk tempat
tinggal bagi warga negara Aceh yang bermukim di Mekkah.
Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang datang ke
Mekkah baik untuk naik haji, belajar dan atau bermukim disana, maka rumah wakaf
ini dapat dimanfaatkan untuk siswa siswi yang berasal dari seluruh nusantara (Jawi)
setingkat dengan ASEAN sekarang. Jika tidak ada lagi Jawi, wakaf ini diserahkan
kepada Imam Masjid Haram untuk membiayai kebutuhan Masjidil Haram.
Nadhir pertama Baital Asyi ini adalah Syeikh Abdullah Baid Asyi, pengarang
kitab Jarrah. Sekarang pengurus Baital Asyi Syekh Munir Abdul Ghani Mahmud
Asyi yang dibantu oleh Syekh Khalid bin Abdurrahim bin Abdul Wahab Asyi dan
diawasi oleh Kementerian Haji dan Wakaf Saudi Arabia, dengan menempatkan
Syekh Dr. Abdul Lathif Balthu sebagai pengawas agar pengelolaan baitul asyi
sesuai dengan ikrar wakaf yang dilakukan oleh Habib Bugak Asyi 18 Rabiul Akhir
tahun 1224 H pada masa kerajaan Aceh Darussalam.

1
Pada musim 2010, nadhir Baitul Asyi akan meletakkan batu pertama
pembangunan pemondokan asrama haji Aceh diharapkan hadir Wakil Gubernur
Aceh Muhammad Nazar yang juga akan melaksanakan ibadah haji kali ini,
Pembangunan pondok ini direncanakan selesai pada tahun 2014. Target yang
hendak dicapai adalah agar asrama ini dapat menampung 5.000 jamaah haji asal
Aceh. Sehingga kedepan jemaah haji yang berasal dari Aceh tidak perlu lagi
menyewa pemondokan selama melaksanakan ibadah haji. Lagi-lagi, pelaksanaan
proyek ini sesuai dengan ikrar wakaf Habib Abdurahman Al Habsyi Al Asyi pada
tahun 1224 H.Sebenarnya harta wakaf Aceh di Saudi bukan hanya diwakafkan oleh
Habib Abdurahman Al Habsyi Al Asyi (Habib Bugak Asyi). Dari beberapa hasil
penelusuran penulis, ada 19 persil lagi perlu ditelusuri keberadaannya sekarang,
yang telah terkena perluasan Mesjidil Haram maupun pembangunan fasilitas haji di
Mina. Karena walau bagaimanapun Saudi Arabia yang memberlakukan syariat
Islam sangat menjaga keberadaan tanah wakaf sebagai warisan peradaban Islam. Di
antara tanah wakaf tersebut adalah wakaf Syekh Muhammad Saleh Asyi dan
isterinya Syaikhah Asiah (sertifikat no 324) di Qassasyiah; wakaf Sulaiman bin
Abdullah Asyi di Suqullail (Pasar Seng); wakaf Muhammad Abid Asyi; wakaf
Abdul Aziz bin Marzuki Asyi; wakaf Datuk Muhammad Abid Panyang Asyi di
Mina, Wakaf Aceh di jalan Suq Al Arab di Mina, Wakaf Muhammad Saleh Asyi
di Jumrah ula di Mina, Rumah Wakaf di kawasan Baladi di Jeddah, Rumah Wakaf
di Taif, Rumah Wakaf di kawasan Hayyi al Hijrah Mekkah, Rumah Wakaf di
kawasan Hayyi Al Raudhah, Mekkah, Rumah Wakaf di kawasan Al-Aziziyah,
Mekkah, wakaf Aceh di Suqullail, Zugag Al Jabal, dikawasan Gazzah, yang belum
diketahui pewakafnya, wakaf Syekh Abdurrahim bin Jamaluddin Bawaris Asyi
(Tgk Syik di Awe Geutah) di Syamiah Mekkah dan Syekh Abdussalam bin
Jamaluddin Bawaris Asyi (Tgk di Meurah) di Syamiah, Abdurrahim bin Abdullah
bin Muhammad Asyi di Syamiah dan Khadijah binti Muhammad bin Abdullah Asyi
di Syamiah.
Saya melihat peristiwa pembagian harta wakaf di Arab Saudi memberikan
pelajaran yang cukup penting bagi rakyat Aceh. Pertama, para endatu kita selalu
memikirkan masa depan, ketimbang kepentingan mereka saat itu. Hal ini berbeda

2
dengan para endatu sekarang yang hanya berpikir “tiga jengkal di atas perut.” Untuk
memuaskan sejengkal di bawah pusar. Kejelasan dan kecermelangan cara berpikir
itu tampaknya yang sulit dijumpai saat ini. Sehingga warisan endatu sekarang
cenderung meninggalkan masalah, ketimbang menyelesaikan masalah. Sosok
Habib Bugak dan para pewakaf lainnya adalah ciri endatu yang berpikir tentang
bangsa Aceh. Mereka sengaja meletakkan kata bilad untuk Aceh yang
mengambarkan Aceh sebagai sebuah nanggroe.
Kedua, jika di luar negeri, aset wakaf orang Aceh dijaga dengan baik, maka
di Aceh sebaliknya. Tanah wakaf di Aceh sampai saat ini belum diatur sedemikian
rupa oleh pemerintah Aceh. Kasus tanah wakaf Blang Padang milik mesjid Raya
Baiturrahman misalnya, sampai saat ini belum mendapat kejelasan. Walaupun
pemerintah kolonial Belanda yang nota bene penjajah tetapi tetap menghormati
umeng meusara (tanah wakaf) mesjid Raya tersebut (Van Langen, 1889), malah
saat ini tanah wakaf Blang Padang ini menjadi rebutan antara pemerintah Aceh
dengan Kodam Iskandar Muda. Selain itu, dan banyak tanah tanah wakaf lain di
Aceh saat ini, terkadang menjadi sumber sengketa.
Ketiga, endatu dulu berpikir bagaimana mendapat “beureukat” dari amal yang
dilakukan, sementara sekarang orang lebih suka “meukat” dalam segala hal untuk
persoalan “tiga jengkal.”
Keempat, sejatinya para hujaj di Aceh juga tidak hanya belajar menikmati
uang dari hasil tanah wakaf baitul asyi tersebut. Tetapi juga memikirkan bagaimana
belajar melakukan wakaf. Sampai saat ini, belum terdengar adanya para haji yang
berani melakukan amal seperti para endatu di atas. Padahal jika tradisi wakaf di
Aceh dibangkitkan kembali, maka beberapa persoalan umat akan bisa di atasi,
khususnya dalam bidang sosial keagamaan. Jangan ada di dalam benak kita yang
belum berhaji ke Mekkah untuk beradham ingin mendapatkan dana wakaf ini ketika
sedang berhaji. Alangkah baiknya, jika dana tersebut diwakafkan kembali kepada
fakir miskin di relung hati para hujaj dari Aceh.
Akhirnya, persoalan Baitul Asyi menyiratkan bahwa tradisi berwakaf
merupakan bagian dari peradaban Islam Aceh. Warisan ini perlu dicontoh dan
bahkan direvitalisasi dalam kehidupan beragama saat ini. Walaupun kita tidak akan
pernah menjadi pewakaf sekaliber Habib Bugak, namun jika tradisi berwakaf ini

3
disosialisasikan, maka akan banyak beureukat daripada meukat tanah di Aceh.
Karena itu, saya ingin mengajak untuk merenung bagaimana mengembangkan
kembali tradisi berwakaf di Aceh. Paling tidak, anak cucu kita akan menikmati
hasilnya dari harta agama ini.

1.2 Rumusan Masalah


Tujuan dari laporan ini adalah :
1. Baitul Asyi’ di Ambang Peralihan?
2. Bagaimana Kondisi Baitul Asyi Sekarang?
3. Apa Arti Bulan Haji Bagi masyarakat Aceh?

1.3 Tujuan
Manfaat dari laporan ini adalah :
1. Baitul Asyi dialihkan menjadi milik pemerintah Republik Indonesia dan
dimanfaatkan untuk kepentingan jemaah haji Indonesia.
2. Mengetahui arti bulan haji bagi masyarakat Aceh.

1.4 Sistematika Penulisan


BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini dibahas mengenai latar belakang, batasan masalah, tujuan, manfaat,
metode pengambilan data, waktu dan tempat pelaksanaan, jadwal kegiatan,
sistematika penulisan.
BAB II : TUJUAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini berisikan pengertian, sejarah Baitul Asyi dan bulan haji bagi
masyarakat aceh.
BAB III : PENUTUP
Pada bab ini berisi kesimpulan dari semua pembahasan bab-bab sebelumnya serta
saran-saran yang dibutuhkan untuk penyempurnaan dan pengembangan sistem
lebih lanjut.

4
BAB II

TUJUAN DAN PEMBAHASAN


2.1 Baitul Asyi
Baitul Asyi adalah wakaf yang diberikan oleh Habib Abdurrahman bin Alwi,
atau yang lebih dikenal sebagai Habib Bugak Asyi, terkhusus untuk jemaah haji
asal Aceh. Saat ini wakaf Baitul Asyi berwujud beberapa hotel di Mekkah yang
sebagian keuntungannya dibagikan setiap musim haji kepada jemaah haji asal
Aceh.
Pada 1809M, Habib Bugak Asyi bersama beberapa saudagar asal Aceh
membeli sebidang tanah di Mekkah untuk diwakafkan kepada jemaah haji asal
Aceh. Sebidang tanah ini bertempat di antara Bukit Marwa dan Masjidil Haram.
Ketika proyek perluasan Masjidil Haram dilaksanakan, tanah ini turut terdampak.
Sebagai gantinya, tanah tersebut dibeli dan mendapatkan ganti rugi berupa sebidang
tanah di kawasan lain di sekitaran Masjidil Haram. Pengembang kemudian
membangun hotel pada tanah wakaf tersebut dan dikelola secara profesional. Setiap
musim haji, jemaah Aceh akan mendapatkan bagi hasil keuntungan wakaf tersebut.
Pada tahun 2019, terdapat 4688 jemaah haji asal Aceh yang masing-masingnya
mendapatkan 1.200 riyal Arab Saudi atau Rp4,8 juta dan satu mushaf Alquran.

2.2 Bulan Haji Aceh Bagi Masyarakat Aceh

Bagi muslim, menunaikan ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima.
Tetapi rukun yang ke lima ini hanya diperuntukkan kepada yang mampu terutama
yang mampu secara finasial. Mampu secara finansial bukan hanya mampu
membayar ongkos naik haji semata. Tetapi dapat mencukupi kebutuhan keluarga
yang ditinggalkan. Bila tidak bisa dipenuhi maka tidak wajib menunaikan ibadah
haji. Jadi, tidak semua muslim mampu menunaikan ibadah. Orang Aceh
memandang orang-orang yang berkesempatan naik haji itu adalah orang yang
terhormat. Karena mereka mampu memenuhi Panggilan Ilahi ke Tanah Suci dan
mampu menyempurnakan Rukun Islam yang ke lima. Salah satu cara yang
dilakukan orang Aceh dalam rangka menghormati orang yang menunaikan ibadah
haji adalah dengan cara Peusijuek. Acara peusijuek bukan hanya dilakukan saat
mau berangkat ke tanah suci tetapi juga saat pulang seusai menunaikan ibadah haji.

5
Adat Peusijuek sebenarnya sudah menjadi tradisi sakral dalam masyarakat
Aceh. Setiap sesuatu peristiwa tertentu terjadi di Aceh pasti peusijuek menjadi salah
satu solusinya. Misalnya, ada orang yang berkelahi dapat didamaikan melalui adat
peusijuek tanpa harus berurusan dengan yang berwajib. Terkadang, permulaan
anak-anak mengaji juga dilakukan adat peusijuek. Punya rumah baru atau
kenderaan baru, sebelum dipakai dilakukan adat peusijuek. Biasanya adat Peusijuek
dilakukan oleh orang-orang tua atau orang yang dituakan. Bila di kampung
peusijuek itu dilakukan oleh Imam Mesjid, Geushiek (kepala desa), Ketua Adat dan
orang-orang yang terhormat lainnya. Bahan-bahan yang digunakan untuk adat
pesijuek itu biasanya bulukat (nasi ketan), campuran breuh padee (beras padi),
larutan tepung tawar, ukheu dan naleueng sambo (sejenis rumputan), on sineujuek
(daun cocor bebek). Semua bahan itu di satukan dalam talam yang ditutup dengan
tudung saji. Tentu bahan-bahan itu hanya isyarat saja, misalnya bulukat memiliki
sifat perekat dalam hati orang-orang yang dipeusijeuek berbagai nasehat dan ajaran
yang diridhai Allah SWT, tepung tawar (kanji) yang berwarna putih sebagai
berlambang bersih putih dan tanpa ada rasa dengki, khianat serta sakit hati. Ukheu
dan naleueng samboakarnya berlambang kekokohan yang sulit dicabut dalam
beragama, on sineujeuk sebagai penawar dan memberi kesejukan dalam berbagai
hal sebagai sebuah rahmat.
Prosesi peusijuek dilakukan dengan cara, orang yang dipeusijuek duduk di
depan orang peusijeuek. Pertama, orang peusijuek mengambil breuh pade (beras
padi) sedikit lalu di-sipruek (artinya: menebar/menabur/melempar) beras padi
keatas orang-orang (bila orangnya ramai) yang dipeusijeuek. Kemudian mengabil
on naleueng sambo (akar rumput) yang sudah dibungkus on sineujuek dicelupkan
kedalam larutan tepung tawar dan ditaruhkan (diteteskan) di kaki dan tangan orang
yang dipeusijuek. Dalam hal ini orang yang dipeusijeuek duduk dimana tangan
disatukan dengan ujung kaki. Habis itu, orang peusijeuek mengambil bulukat (nasi
ketan) sedikit dan diberikan kepada orang yang dipeusijeuk untuk dimakan dan
sebagian ada juga yang menyunting (ditaruh) ditelinga. Kemudian ditutup dengan
doa. Menurut orang-orang tua atau pemangku adat, peusijuek sebenarnya memiliki
filosofi sesuai dengan kata peusijuek. Peusijuek adalah kata kerja. Asal katanya
sijuek yang bermakna dingin. Sehingga diartikan mendinginkan. Peusijuek dapat

6
diartikan mendinginkan suasana yang panas. Mendinginkan hati sehingga merasa
lega dan hilang rasa benci, dengki, iri dan sakit hati. Bisa juga sebagai memuliakan,
sehingga yang dipeusijuek merasa dimuliakan dan membuat hatinya senang.
Harapannya adalah memperoleh keberkahan, keselamatan, kesejahteraan kepada
orang yang dipeusijuek.
Namun, menurut interprestasi saya pribadi, ritual peusijuek itu hanya sekedar
menghormati atau memuliakan saja. Hanya karena kebiasaan yang dilakukan
secara turun temurun. Tidak lebih dari itu. Karena tidak melakukan itu juga tidak
apa-apa dan tidak ada akibat-akibat tertentu yang ditimbulkan.

7
BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Setelah dibahas dalam bab sebelumnya maka penulis dapat menarik


kesimpulan bahwa Baitul Asyi adalah wakaf yang diberikan oleh Habib
Abdurrahman bin Alwi, atau yang lebih dikenal sebagai Habib Bugak Asyi,
terkhusus untuk jemaah haji asal Aceh. Saat ini wakaf Baitul Asyi berwujud
beberapa hotel di Mekkah yang sebagian keuntungannya dibagikan setiap musim
haji kepada jemaah haji asal Aceh.
Dan bulan haji bagi masyarat Aceh yaitu karena mereka mampu memenuhi
Panggilan Ilahi ke Tanah Suci dan mampu menyempurnakan Rukun Islam yang ke
lima. Salah satu cara yang dilakukan orang Aceh dalam rangka menghormati orang
yang menunaikan ibadah haji adalah dengan cara Peusijuek. Acara peusijuek bukan
hanya dilakukan saat mau berangkat ke tanah suci tetapi juga saat pulang seusai
menunaikan ibadah haji. Adat Peusijuek sebenarnya sudah menjadi tradisi sakral
dalam masyarakat Aceh. Setiap sesuatu peristiwa tertentu terjadi di Aceh pasti
peusijuek menjadi salah satu solusinya. Misalnya, ada orang yang berkelahi dapat
didamaikan melalui adat peusijuek tanpa harus berurusan dengan yang berwajib.
Terkadang, permulaan anak-anak mengaji juga dilakukan adat peusijuek.

3.2. Saran

Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kritik
yang sifatnya membangun sangat saya harapkan.

Anda mungkin juga menyukai