Sejarah Habib Bugak Asyi
Sejarah Habib Bugak Asyi
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Nama : FATHAHILLAH
Kelas : IX.5
KEMENTRIAN AGAMA
MTsN 2 BIREUEN
TAHUN 2022
SEJARAH HABIB BUGAK ASYI
Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, yang juga memiliki beberapa nama
julukan lain yang muncul dan berhubungan dengan wakaf yang dilakukan, di antaranya
Habib Bugak Aceh, di mana nama Bugak dipakai Habib Abdurrahman saat berwakaf di
Makkah dengan tidak menggunakan nama aslinya, nama Bugak didapatkan sebagai
julukan khusus yang umum diberikan kepada para tokoh Agama di Aceh, Bugak sendiri
merujuk pada nama jalan yang saat ini berada di Kabupaten Birueun, Aceh.
Adapun nama lain yang paling terkenal dan dimiliki oleh Habib Abdurrahman ialah
Habib Bugak Asyi, nama Asyi merujuk pada wakaf berupa tanah dan rumah di Makkah
yang awalnya dijadikan tempat singgah bagi Jemaah asal Aceh yang melakukan ibadah
Haji, tanah dan rumah tersebut pun dinamakan Baitul Asyi yang dalam bahasa Indonesia
berarti Rumah Aceh.
Habib Bugak Asyi yang sebenarnya berasal dari Makkah datang ke Indonesia
tepatnya ke Aceh sekitar tahun 1760 pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Mahmud
Syah I, menetap di Aceh dan menjadi orang kepercayaan Sultan Aceh pada masa itu,
Habib Bugak Asyi kemudian kembali ke tanah kelahirannya di Makkah pada tahun 1800-
an.
Habib Bugak Asyi kembali ke Makkah tepatnya di tahun 1809 sebagai tokoh yang
menghimpun dana dari masyarakat selama berada di Aceh, ditambah dengan dana
miliknya sendiri, Habib Bugak Asyi kemudian membeli tanah wakaf yang persis berada di
sekitar Masjidil Haram dan kemudian langsung dibangun rumah singgah yang diberi nama
Baitul Asyi.
Ikrar wakaf Habib Bugak Asyi untuk masyarakat Aceh. Tentunya selain
diperuntukkan bagi Jemaah haji asal Aceh yang berasal dari Makkah, Baitul Asyi juga
nyatanya digunakan untuk masyarakat Aceh dan para santri atau pelajar asal Asia
Tenggara yang menetap di Makkah untuk menuntut ilmu dan bekerja bahkan dijelaskan
secara detail ikrar wakaf yang dilakukan Habib Bugak Asyi di depan Hakim Mahkamah
Syar’iyah Makkah.
Rumah tersebut (Baitul Asyi) dijadikan tempat tinggal jamaah haji asal Aceh yang
datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan juga tempat tinggal orang asal Aceh
yang menetap di Makkah. Sekiranya karena sesuatu sebab tidak ada lagi orang Aceh yang
datang ke Makkah untuk haji, maka rumah wakaf ini digunakan untuk tempat tinggal para
pelajar (santri atau mahasiswa) Jawi.” demikian ikrar wakaf yang diucapkan oleh Habib
Bugak Asyi, adapun Jawi adalah istilah yang saat itu digunakan untuk menyebut pelajar
atau mahasiswa asal wilayah Asia Tenggara yang belajar di Makkah.
Tidak berhenti sampai di situ, Habib Bugak Asyi rupanya menyampaikan dengan
detail ikrar wakaf dari tanah dan bangunan yang dimiliki, disebutkan jika di satu kondisi
tidak ada lagi pelajar atau masyarakat dari Asia Tenggara yang belajar di Makkah, maka
rumah wakaf dan manfaatnya bisa digunakan untuk para mahasiswa asli Makkah yang
belajar di Masjidil Haram, dan apabila tidak ada juga mahasiswa Makkah yang belajar di
Masjidil Haram, maka manfaat wakaf tersebut dapat dipakai untuk membiayai keperluan
Masjidil Haram.
Keberadaan tanah dan bangunan wakaf Baitul Asyi di masa kini seiring dengan
perkembangan zaman dan wilayah Makkah serta Masjidil Haram yang mengalami banyak
perubahan dan renovasi, tepatnya di masa kepemimpinan pemerintahan Arab Saudi yaitu
Raja Malik Sa’ud bin Abdul Azis, Baitul Asyi yang merupakan wakaf dari dan untuk
masyarakat Aceh ini nyatanya sempat terkena dampak perluasan lintasan thawaf di sekitar
Masjidil Haram.
Karena itu, pemerintah Arab Saudi memberikan ganti rugi berupa uang yang
selanjutnya dikelola oleh Nazhir atau orang yang bertanggung jawab mengelola dana dan
manfaat wakaf, uang tersebut kemudian dibelikan beberapa lahan yang masing-masing
lokasinya berjarak tidak jauh dari Masjidil Haram untuk dibangun lahan usaha bagi hasil
berupa hotel berbintang yang selama ini dipakai untuk tempat singgah bagi para Jemaah
haji yang berasal dari berbagai belahan dunia, di antaranya Hotel Elaf Al Mashaer dan
Hotel Wakaf Habib Bugak Asyi di Aziziah.
Selain itu, ada juga gedung pemukiman di kawasan Syaikiyah yang dibeli di tahun
2017 oleh Nazhir wakaf Baitul Asyi dan dijadikan tempat tinggal untuk warga Arab Saudi
keturunan Aceh serta orang Aceh yang bermukim di Arab Saudi secara gratis, bahkan
tanpa batas waktu tinggal tertentu.
Tentu masih ada beberapa aset wakaf usaha masyarakat Aceh di Makkah yang
keuntungannya menjadi sumber manfaat wakaf yang selama ini terus disalurkan ke Jemaah
haji asal Aceh yang berkunjung ke tanah suci setiap tahun sejak 2006.
SEJARAH TGK AWE GEUTAH
Penyebaran Islam
Selain dikenal sebagai pendiri dan raja pertama dari Kesultanan Samudera Pasai,
Malik al-Saleh juga merupakan tokoh penyebar agama Islam di wilayah nusantara dan Asia
Tenggara pada abad ke-13 M.
Karena pengaruh kekuasaan yang dimiliki Sultan Malik al-Saleh, Islam bisa
berkembang luas di wilayah nusantara hingga ke negeri-negeri lainnya di kawasan Asia
Tenggara.
Menurut Marco Polo, Malik al-Saleh adalah seorang raja yang kuat dan kaya. Ia
menikah dengan putri raja Perlak dan memiliki dua anak. Ketika berkuasa, Malik al-Saleh
menerima kunjungan Marco Polo.
Pada masa pemerintahan Malik al-Saleh, Samudera Pasai memiliki kontribusi yang
besar dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Tanah Air. Samudera Pasai banyak
mengirimkan para ulama serta mubaligh untuk menyebarkan agama Islam ke Pulau Jawa.
Selain itu, banyak juga ulama Jawa yang menimba ilmu agama di Pasai. Salah satunya adalah
Syekh Yusuf-seorang sufi dan ulama penyebar Islam di Afrika Selatan yang berasal dari
Makassar.
Wali Songo merupakan bukti eratnya hubungan antara Samudera Pasai dan
perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Kalijaga dianggap merupakan menantu Maulana
Ishak, salah seorang Sultan Pasai. Selain itu, Sunan Gunung Jati yang menyebarkan Islam di
wilayah Cirebon serta Banten ternyata putra daerah Pasai.
Kesultanan Samudera Pasai begitu teguh dalam menerapkan agama Islam.
Pemerintahannya bersifat teokrasi (agama) yang berdasarkan ajaran Islam. Tak heran bila
kehidupan masyarakatnya juga begitu kental dengan nuansa agama serta kebudayaan Islam.
Sebagai sebuah kerajaan yang berpengaruh, Pasai juga menjalin persahabatan dengan
penguasa negara lain, seperti Champa, India, Tiongkok, Majapahit, dan Malaka.
Menurut Marco Polo, Sultan Malik as-Saleh sangat menghormati Kubilai Khan, penguasa
Mongol di Tiongkok.