Anda di halaman 1dari 6

Rabu Pungkasan Di Wonokromo

Pengertian

Boga Wiwaha/ Lemper Agung

sumberhttp://matanews.com
Rabu Pungkasan adalah sebuah upacara adat yang dilakukan oleh warga desa
Wonokromo. Upacara tersebut sebenarnya terdapat beberapa ritual lagi. Rabu
Pungkasan sebenarnya hanya waktunya, yakni karena upacara adat tersebut dilakukan
pada hari Rabu terahir bulan Shofar setiap tahunnya.
Beberapa upacara tersebut adalah; Wisuh dan ngarak Gunungan dan Boga Wiwaha
yang berwujud lemper agung.

Sejarah
Diceritakan oleh Ashury, kepala dusun Wonokromo, suatu ketika seorang pelarian dari
Surabaya yang bernama Abdullah Faqih (ada sumber yang mengatakan Muhammad
Faqih) datang ke suatu wilayah di kerajaan Ngayogyakarto Hadiningrat. Beliau di sebutsebut sebagai seorang pejuang yang melarikan diri karena basis pertahanannya di
Surabaya telah diserang oleh kolonial Belanda, sehingga beliau mendirikan suatu
pemukiman yang sekarang ini disebut Wonokromo. Hal ini terbukti dengan adanya
wilayah di Surabaya yang bernama Wonokromo juga.
Setibanya di Jogja, beliau melakukan babat alas (menebang hutan) untuk dijadikan
tempat tinggal dan pusat penyebaran Islam di daerah tersebut. Beliau tinggal cukup
lama di Jogjakarta dan merahasiakan identitas beliau agar tak terlacak pihak kolonial.
Beliau berdakwah ajaran Islam di Wonokromo, yang waktu itu belum disebut
Wonokromo, dan tempat tersebut akhirnya menjadi kampung. Karena awal mulanya
hutan maka oleh Kiyai Abdullah Faqih wilayah tersebut diberi nama Wonokromo.
Wonokromo berasal dari kata wono dan kromo. Wono berarti hutan dan kromo berasal
dari kata tatakrama (baca; totokromo), maksud beliau adalah meskipun warganya
tinggal di hutan tetapi tetap memiliki tatakrama.
Selang beberapa tahun kemudian, para penduduk terserang wabah penyakit. Suasana
desa menjadi lengang dan kegiatan warga seolah mati. Hal inilah yang membuat
Abdullah Faqih menunjukkan jati dirinya. Akhirnya beliau menunjukkan kehebatannya
sebagai seorang yang diberi kelebihan dalam hal menyembuhkan penyakit. Abdullah
Faqih mengobati para penduduk dari penyakit tersebut dan para penduduk pun sembuh
sehingga dapat melakukan kegiatan seperti biasa.

Kehebatan Abdullah Faqih terdengar hingga ke penjuru desa lain. Akibatnya banyak
orang yang datang ke rumah beliau untuk disembuhkan penyakit yang dideritanya.
Kesohoran dan nama besar Abdullah Faqih akhirnya terdengar oleh Sultan
Ngayogyakarta. Abdullah Faqih pun diundang Sultan untuk menghadap.
Setibanya di keraton, Sultan memerintahkan Abdullah Faqih untuk menyembuhkan para
penghuni kerajaan dan masyarakat sekitar keraton, karena saat itu di keraton sedang
terjadi wabah penyakit juga.
Atas kehendak yang Kuasa, Abdullah Faqih berhasil mengobati masyarakat sekitar
keraton Yogyakarta dan beliau dihadiahi oleh Sultan sebidang tanah yang disebut
tanah perdikan, yaitu sebidang tanah dari Sultan sebagai hadiah atas jasa seseorang
pada Negara, tanah tersebut adalah dusun Wonokromo.
Tak hanya itu, Abdullah Faqih juga dianugerahi jabatan oleh Sultan sebagai penasehat
spiritual.
Semenjak itulah nama Abdullah Faqih berkumandang hingga ke pelosok Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Versi lain menyatakan Abdullah Faqih juga mengajak Sultan untuk beribadah haji dan
mereka pun berangkat ke Makkah. Namun setibanya mreka di Serawak, kapal
rombongan mereka yang tenggelam dan diperkirakan Abdullah Faqih adalah salah
korban kapal tenggelam tersebut. Hal ini diperkuat dengan adanya keturunan Abdullah
Faqih yang dikenal dengan nama Sedo Laut. Sedo Laut dalam bahasa Indonesia
berarti meninggal di laut. (Keturunan Faqih).
Sepulang beliau dari keraton, orang-orang semakin banyak berdatangan di rumah
beliau, hingga Abdullah Faqih pun meminta warga Wonokromo untuk membuat
makanan untuk menjamu tamu-tamu beliau yang datang untuk berobat. Beliau meminta
warga wonokromo untuk membuat makanan yang edi tur maregi. Edi berarti enak,
banyak orang suka dan bergizi. Maregi berarti membuat kenyang orang yang
memakannya. Atas permintaan beliau itu warga akhirnya membuat makanan yang
disebut lemper. Makanan ini terbuat dari ketan dan daging ayam yang di bungkus daun
pisang.
Semakin hari semakin banyak tamu yang datang ke rumah Abdullah Faqih sehingga
beliau sangat kerepotan melayani tamu satu persatu. Selanjutnya beliaupun memiliki ide
untuk melarung suatu jimat (salah satu sumber menyatakan jimat tersebut
tulisan Bismillah) di Tempuran (pertemuan sungai)Sungai Opak dan sungai
Gajahwong yang terletak tidak jauh dar kediaman beliau. Dengan demikian, para tamu
yang berobat kepada beliau diperintahkan untuk wisuh yaitu untuk bersuci di
pertemuan dua sungai tersebut. Hal inilah yang sekarang ini disebut tradisi Wisuh di
tempuran.
Selain itu, Abdullah Faqih juga membangun sebuah masjid yang sekarang ini bernama
masjid Taqwa di Wonokromo I. Kala itu masjid digunakan untuk tempat ibadah dan
tempat pertemuan. Dengan kata lain masjid tersebut menjadi pusat penyebaran agama
sekaligus pusat sosial kemasyarakatan.
Dalam kaitannya dengan tradisi wisuh, masjid ini digunakan untuk bermunajatkepada
Allah setelah orang-orang tersebut melakukan ritual wisuh. Mereka berdoa sesuai
dengan keperluan mereka didalam masjid Taqwa tersebut.

Menurut Mardi,salah seorang tokoh masyarakat di desa Wonokromo, awal mula


berdirinya desa Wonokromo, ritual Wisuh dan Ngarak Lemper adalah kisah
tentanag Kiyai Welit.Beliau adalah seorang ulama dan orang yang memiliki suatu
kelebihan. Namanya tersohor hingga ke pelosok negara Yogyakarta.
Suatu ketika, kiyai Welit pergi menunaikan Ibadah Haji. Sepulang dari ibadah haji,
seperti kebiasaan para haji sekarang, beliau membawa oleh-oleh berupa air zam-zam.
Para penduduk dari Wonokromo dan sekitarnya berkondong-bondong menyambut
kepulangan beliau.
Setibanya beliau di rumah, beliau pun membagikan air zam-zam yang dibawanya.
Begitu banyaknya penduduk yang datang sehingga merekaberebut untuk mendapatkan
air zam-zam.
Hal inilah yang menjadi keprihatinan Kiyai Welit, sehingga beliau melarung air zam-zam
tersebut di Tempuran (pertemuan sungai Opak dan Gajahwong) dan beliau menyuruh
para penduduk untuk Wisuh ngalap berkah pada pertemuan dua sungai tersebut.
Begitu banyaknya penduduk yang datang ke rumah kiyai Welid, maka beliau meminta
para tetangganya untuk menjamu mereka dengan makanan yang disebut lemper.
Kejadian tersebut terjadi pada hari Rabu terahir bulan Shofar, sehingga tradisi tersebut
dikenal dengan tradisi Wisuh di Tempuran.
Menurut Ashury dan Mardi, awal mula arak-arakan lemper raksasa pada upacara Rabu
Pungkasan terinspirasi oleh makanan lemper yang digunakan untuk menjamu tamu.
Kiyai faqih dan Kiyai Welid.
Kedua sumber diatas menerangkan bahwa baik Kiyai Abdullah Faqih ataupun Kiyai
Welid adalah penduduk Wonokromo dan keduanya adalah ulama, dan pula disebut oleh
salah seorang narasumber bahwa Abdullah Faqih bermata pencaharian sebagai
pembuat anyaman daun kelapa yang disebut Welit. Hal ini mengacu pada kesimpulan
bahwa Kiyai Welid memiliki nama asli Abdullah Faqih.
Ada pula nara sumber yang mengatakan bahwa Abdullah Faqih itu adalah nama
beberapa orang dalam beberapa generasi.
Hal tersebut terbukti pada silsilah keluarga Abdullah Fiqih, terdapat beberapa nama
Abdullah Faqih. (Keturunan Faqih)

Awal Mula Pasar Malam dan Rabu Pungkasan


Wisuh di Tempuran yang diawali pelarungan jimat (menurut Ashury) atau zam-zam
(menurut Mardi) kemudian dilakukan oleh masyarakat setiap tahun, setiap hari Rabu
terakhir bulan Shafar. Hal inilah yang memicu kegiatan ekonomi di sekitar masjid Taqwa
dan sekitar tempuran.
Lambat laun, upacara tersebut semakin ramai, bahkan tidak sedikit wisatawan manca
negara yang datang. Begitu bayak warg yang datang untuk melakukan Wisuh atau
hanya sekedar berwisata, hal tersebut justru menjadi kehawatirantakmir Masjid Taqwa,
karena saat itu masjid Taqwa seolah dijadikan tempat wisata. Hal tersebut terbukti saat
para wisatawan masuk dan melihat-lihat bagian dalam masjid, banyak penduduk yang
merasa risih karena saat itu. Terlebih lagi wisatawan manca negara bukan muslim, jika
mereka masuk masjid dirasa tabu oleh penduduk, sehingga sekitar tahun 1980,

pemerintah desa Wonokromo mengalihkan keramaian tersebut ke lapangan balai desa


Wonokromo. Acara tersebut hingga sekarang disebut pasar malam Rabu Pungkasan.
Pasar malam tersebut diadakan tujuh hari sebelum hari Rabu terakhir bulan shafat dan
acara puncaknya pada malam terakhir.
Adapun arak-arakan Boga Wiwaha atau Lemper Agung yang berukuran sekitar pajang
2,5 meter dan berdiameter 0,8 meter diadakan sekitar tahun 1987 atas usul para
pemuda karang taruna sebagai icon desa Wonokromo.
Leper Raksasa tersebut terispirasi dari jamuan Kiyai Abdullah Faqih atau Kiyai Welid
yang disuguhkan kepada para tamunya.
Beberapa tahun setelah Icon Boga wiwaha (Boga : masakan, wiwaha : besar) yang
berwujud lemper tersebut dimunculkan dan diarak saat malam puncak Rabu
Pungkasan, muncullah ide untuk membuat gunungan, yaitu hasil bumi seperti padi,
palawija, buah-buahan dan lainnya yang dibuat membentuk seperti gunung. Hal
tersebut terinspirasi dari grebeg Maulud Kraton Ngayogyakarta. (Mardiyono, 42th).
Pelaksanaan

Gunungan

Sumber; http://my.opera.com/MAN-Wonokromo
Upacara tradisi Rabu Pungkasan dimulai setelah Isya. Rangkaian upacara malam Rabu
Pungkasan diawali dengan upacara pelepasan Lemper Raksasa dan Gunungan yang
dilakukan di masjid Karanganom, Wonokromo, Pleret. Adapun upacara tersebut
tersusun atas sambutan Takmir masjid, pembacaan sholawat, dan doa bersama yang
dipimpin salah seorang sesepuh desa Wonokromo. Setelah doa bersama Lemper dan
Gunungan tersebut diarak dari Masjid karanganom hingga ke balai desa Wonokromo.
Adapun rute arak-arakan tersebut melewati jalan Imogiri Timur dan menempuh jarak
sekitar 2 kilometer.
Lemper dan Gunungan tersebut, diarak oleh beberapa pasukan atau bregodo(dalam
bahasa
jawa),
bregodo Sembrani,
bregodo Abang, bregodo Umbulumbul bregodo Gamelan dan bregod Mburi.
Bregodo Sembrani adalah pasukan pengiring arak-arakan bersama bregodo Mburi.
Sedangkan bregodo Abang adalah pasukan pemikul Lemper Agung dan Gunungan.
Bregodo umbul-bumbul adalah pasukan yang bertugas membawa bendera yang
menyebar diantara arak-arakan tersebut. Bregoda Gamelan adalah pasukan yang terdiri
dari para pemusik.

Bregodo Sembrani berjumlah sekitar 28 orang. Bregodo Mburi berjumlah 40 orang dan
dipimpin oleh kapten bregodo. Bregodo Abang yang bertugas memikul berjumlah 20
orang, bregodo Gamelan berjumlah 10 orang yang terdiri dari satu peniup terompet, dua
peniup seruling, 2 penabuh bendhe, 2 penabuh tambur dan 2 penabuh Jedog,
sedangkan bregodo Umbul-umbul berjumlah 10 orang.
Dari sekian banyak pasukan, kemando pusat dipegang oleh seorang Panji atau
panglima perang. Panji tersebut bertugas mengatur pasukan yang mengawal Lemper
Agung dan Gunungan tersebut sampai di hadapan Kepala desa Wonokromo dengan
aman.
Setibanya di balai desa Wonokromo, Lemper dan Gunungan dinaikkan ke
ataspendhopo balai desa. Dihadapan pendopo telah menunggu ribuan warga dari
berbagai wilayah untuk berebut lemper dan gunungan tersebut.
Setelah lemper Agung dan Gunungan tersebut naik diatas pedhopo, diadakan upacara
pemagasan lemper. Diawali dengan sambutan kepala desa Wonokromo, pemaknaan
dari perayaan tersebut oleh sesepuh lalu doa bersama dan dilanjutkan pagas Lemper
atau pemotongan lemper oleh BupatiBantul, Camat kecamatan Pleret dan Kepala
Desa Wonokromo.
Setelah upacara pemotongan tersebut, lemper dan gunungan di bagi-bagikan kepada
warga yang berkumpul dan warga pun sangat antusias dalam acara tersebut.
Acara arak-arakan ini berlangsung sekitar empat jam, dimulai pukul 19.00 WIB 22.000
WIB.

Perkembangan dan Pergeseran Makna


Keramaian yang dipindahkan dari tempuran, semakin lama terjadilah pasar malam,
sehingga hal tersebut menjadikan kegiatan ekonomi warga sekitar samakin ramai dan
kegiatan tersebut menjadi pamasukan tersendiri bagi kas desa Wonokromo.
Selain itu, kegiatan pasar malam yang diadakan selama seminggu antara malam Rabu
ketiga sampai malam Rabu terakhir bulan shafar tersebut juga diadakan beberapa
perlombaan seperti lomba hadroh pada tiap malamnya,lomba anak-anak pada
hari Ahad dan sepak bola pada sore harinya. Perlombaan tersebut dimotori oleh Karang
Taruna Wonokromo
Salain perkembangan, juga terjadi pergeseran makna dalam perayaan tersebut.
Pada awal mulanya Kiyai Welit menyuruh para penduduk yang datang ke rumahnya
untuk melakukan Wisuh. Wisuh dalam bahasa Indonesia dimaksudkan bersuci atau
berwudhu sehingga orang-orang yang datang untuk berobat bisa bersuci terlebih
dahulu lalu mereka dapat bermunajat kepada Allah SWT di masjid Taqwa
Wonokromo yang letaknya tak jauh dari tempuran. Namun sekarang ini, kata wisuh
dipelesetkan menjadi misuh. Kata misuh sendiri berarti mengejek, menggerutu atau
mengucapkan kata-katakotor, sehingga ritual bersuci di tempuran sekarang malah
menjadi ritual misuh atau mengucapkan kata-kata kotor. Tidak sedikit orang yang
datang ke Tempuran, saat malam Rabu terakhir bulan Shafar hanya datang
mengucapkan kata-kata kotor lalu pergi. Meski demikian ada juga warga yang datang
dan melakukan wudhu lalu bermunajat di masjid Taqwa Wonokromo.

Ngalap Berkah yang dilakukan warga setelah dipotong lemper raksasa dan gunungan
dibagikan kepada warga yang hadir, akan tetapi warga tidak sabar sehingga berebut
untuk mendapatkan bagian dari lemper dan gunungan akibatnya terjadi justru
keramaian yang berdesak-desakan dan kriminalitas pun terjadi seperti pencopetan. Tak
hanya itu, tak sedikit pula warga yang terlukan karena perebuatan tersebut.
Seharusnya ngalap berkah dari Lemper Agung akan bisa dirasakan berkahnyasaat
berlangsung khidmad, saat lemper dibagikan secara tertib dan dirayakan dengan baik,
membaca Bismillah sebelum memakannya juga dimakan bersama-sama dengan
warga lain.

Kesimpulan
Para penduduk Wonokromo memiliki kepercayaan bahwa tiap satu tahun terdapat satu
bulan yang berpotensi diturunkan balak, yaitu bulan Shofar, dan di bulan Shofar
berpotensi diturunkan balak pada minggu terakhir, tujuh hari pada minggu terakhir dan
jatuh pada hari Rabu, dan pada hari Rabu terakhir bulan Shofar berpotensi diturunkan
balak pada malam Rabu antara waktu Maghrib dan Isyak, sehingga pada waktu
tersebut di Wonokromo sangat dianjurkan warga untuk berdzikir dan bermunajat kepada
Allah agar tidak diturunkan balak tersebut. Ngarak Lemper dan Gunungan dimaksudkan
sebagai wujud rasa syukur pada Alloh SWT, untuk tolak balak dan sebagai sedekah
pemerintah desa kepada warga desanya.
Acara Rabu Pungkasan yang diadakan pada malam Rabu terahir bulan Shofar ini
merupakan tradisi turun temurun. Tradisi ini terdiri atas ngarak Lemper dan Gunungan,
Wisuh dan ada Pasar malam. Ngarak Lemper dan Wisuh diadakan pada waktu yang
sama namun berbeda tempat. Ngarak Lemper dan Gunungan diadakan di depan balai
desa Wonokromo sedangkan Wisuh diadakan di Tempuran sungai Opak dan sungai
Gajahwong.Adapun tradisi ngarak Lemper Agung dan Gunungan dipromotori oleh
pemerintah desa, sedangkan Wisuh dilakukan sendiri oleh warga yang berminat.
(Kurniawan, Sastra Arab UGM 10)

Narasumber:
1. Ashuri 40 tahun, kepala dusun Wonokromo, wawancara tgl 28Oktober
16.30 s/d 18.30 WIB di kediaman beliau dusun Wonokromo 1.

2010 pukul

2. Mardiyono 43 tahun, salah satu tokoh pemrakarsa Rabu Pungkasan, wawancara 25


Oktober 2010 pukul 20.00 s/d 21.30 WIB di kediaman beliau dusun Jati.
3. Keturunan Abdullah Faqih, nama dan informasi ada pada penulis.

Anda mungkin juga menyukai