Paragraf
Paragraf
Disusun oleh :
Pertama-tama kami panjatkan puja & Puji syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa, karena tanpa Rahmat & RidhoNya, kami tidak dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu.
Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Rizal Fahmi, M.Pd. selaku
dosen pengampu kewarganegaraan yang membimbing kami dalampengerjaan
tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam
pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang
Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) dalam Perspektif Syariat
Islam di Aceh.
Tim Penyusun
ii
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I ............................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3. Tujuan.............................................................................................. 4
BAB II............................................................................................................ 5
PEMBAHASAN ............................................................................................ 5
2.1. Syariat Islam dan Qanun ................................................................. 5
2.2. Kerukunan dan Kebebasan Beragama di Aceh ............................... 6
2.3. Pelaksanaan Syariat Islam dan Respons Umat Non Muslim......... 10
2.4. Integrasi Budaya Islami dalam Proses Pendidikan di Aceh .......... 12
2.5. Implementasi Pendidikan Nilai Moral di Aceh ............................. 13
2.6. Tata Kelola Pemerintah Aceh ........................................................ 16
BAB III ........................................................................................................ 19
PENUTUP.................................................................................................... 19
3.1. Kesimpulan........................................................................................ 19
3.2. Saran .................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 21
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1
Penyelenggaraan pendidikan di provinsi Aceh, Indonesia, pada
dasarnya mengacu pada Sistem pendidikan nasional, sama dengan
provinsi lain di Indonesia. Tetapi, semenjak Aceh Diberikan status khusus
lewat Undang- Undang No 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta Undang- Undang No 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus, Pemerintah Aceh mempunyai
kewenangan otonom dalam melaksanakan pendidikan dengan Keunikan
serta otonomi khusus provinsi Aceh dengan hukum Islam (Ahamd, 2019;
Bahri, 2013) Aceh memiliki ciri-ciri khusus dalam penyelenggaraan
syariat Islam (Ulya, 2016) dan penerapan pendidikan Islam dalam rangka
pembentukan generasi muda Aceh yang berakhlak mulia Mengikuti
budaya Aceh dan syariat Islam. Berdasarkan peraturan tersebut,
Pemerintah Aceh mengembangkan sistem pendidikan Yang sesuai dengan
karakteristik-karakteristik adat istiadat masyarakat Aceh serta otonomi
khusus Yang berlaku di Aceh Amin (2018) Sistem pendidikan yang
diamanahkan berupa sistem Pendidikan Islam seperti yang tertuang dalam
Qanun No. 23 Tahun 2002. Qanun tersebut Kemudian disempurnakan
dengan Qanun Aceh No 5 Tahun 2008 dan pemerintah kemudian diganti
Oleh Qanun Aceh No 9 Tahun 2015 perubahan atas Qanun Aceh No. 11
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Islam di Aceh,
Indonesia.
Istilah pendidikan kewarganegaraan telah diakui secara formal
dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dalam Undang-Undang No.20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 menyatakan
bahwa Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan tinggi
wajib memuat... pendidikan kewarganegaraan.
Istilah pendidikan kewarganegaraan merupakan terjemahan dari
terminologi bahasa Inggris “citizenship education” atau “civix
education”. Selain diterjemahkan sebagai pendidikan kewarganegaraan,
ada yang menggunakan istilah “pendidikan kewargaan” (Azumardi Azra,
2003; Har Tilaar, 2007). Oleh sebab itu, sebaiknya kita ikuti penjelasan
istilah tersebut dari sumber-sumber berbahasa Inggris.
2
Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran dan fungsi yang
sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai Ideologi pancasila yang
didalamnya Terdapat nilai-nilai dasar Berperikemanusiaan dan
berkepribadian yang tentu menjadi dasar konsep warga Global, hal
tersebut tentu sebagaimana yang tercantum dalam tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan.
Melalui Pendidikan Kewaragnegaraan diharapkan dapat
membentuk kepribadian utama warga negara muda yang cerdas, baik dan
dapat diandalkan, untuk bisa membentuk warga negara global yang cerdas
, baik dan dapat diandalkan maka harus memiliki dua sifat yakni sikap
yang peduli terhadap kondisi masyrakat dan sikap untuk bisa melakukan
perubahan yang lebih baik. Sikap peduli yang dimaksud ini adalah
bagaiman bisa mengembangkan kemampuan kepedulian tidak hanya pada
lingkungan masyarakat akan tetapi lebih ditekankan pada konteks
masyarakat global. Sedangkan sikap untuk bisa melakukan perubahan ini
merupakan hal yang harus dilakukan dalam menuju kebaikan baik
didalam lingkungan masyarakat bangsa maupun masyarakat secara global
karena melalui perubahan ini akan menjadikan tolak ukur majunya
perkembangan bangsa dan negara di dunia ini menurut Lickona, 2002
dalam jurnal (Sutrisno, 2018, hal. 42-43).
Penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia
selama ini hanya melalui pendekatan doktriner normatif yang sumber
materinya sebatas perundang-undangan. Seharusnya, sebagai negara yang
penduduknya beragama, dalam penyelenggaraan pendidikan
kewarganegaraan harus dielaborasi melalui pendekatan spiritual.
Pendekatan spiritual dalam pendidikan dapat dipahami upaya pendidik
dalam membimbing dan mengajar peserta didik yang materi pelajarannya
diinterkoneksikan dengan nilai-nilai universal agama. Dorongan spiritual
mampu menyadarkan warga negara akan tanggung jawabnya sebagai
warga negara. Melalui pendekatan dalil-dalil yang termaktub dalam kitab
suci dirasa ampuh untuk menumbuhkembangkan kesadaran peserta didik
3
menjadi warga negara yang baik dalam konteks hubungannya dengan
Tuhan, negara, antar warga negara, dan lingkungan.
1.3. Tujuan
Dengan adanya perumusan masalah diatas maka tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui implementasi
Pendidikan Kewarganegaraan di Provinsi Aceh dengan perspektif syariat
Islam.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang
berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Kemudian Undangundang menetapkan Qanun Provinsi sebagai
peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi
wewenang Pemerintah provinsi. Untuk membuat Qanun, Pemerintah Provinsi
tidak perlu menunggu peraturan pemerintah atau peraturan lainnya dari
Pemerintah Pusat. Qanun adalah peraturan daerah untuk melaksanakan
otonomi khusus yang dapat mengeyampingkan peraturan perundang-
undangan yang lain berdasarkan asas “peraturan khusus dapat
mengenyampingkan peraturan umum” (Abubakar, 2009: 69) Dengan kata
lain, Qanun adalah peraturan daerah yang setingkat dengan peraturan
pemerintah untuk melaksanakan otonomi khusus di Aceh
6
di Kota Banda Aceh. Dari sini nampak bahwa perbedaan agama dan nominasi
Islam sebagai mayoritas, dengan Syari’at Islam tidak membuat mereka takut
dan terhambat untuk terus maju dan berkiprah untuk memajukan ekonomi
Aceh dan Indonesia pada umumnya. Menjadi pemandangan biasa ketika kita
melihat orang-orang Islam berbelanja di tempat non Muslim, karyawan
mereka Muslim, mereka biasa bercengkrama dan minum kopi di warung-
warung, seolah tidak ada perbedaan antara mereka.
Umat Kristen Protestan selama ini hidup berdampingan dengan umat
muslim di Aceh dalam keadaaan rukun dan damai, tidak pernah terjadi
keributan dan terror meneror antara umat beragama. Bilapun ada, itu bukan
masalah agama, tepi lebih kepada masalah-masalalah kepentingan pribadi
seperti sengketa tanah, utang piutang, pencurian dan perkara-perkara pidana
lain. Apabila ada kasus-kasus seperti pemurtadan dan usaha penyebaran
agama, seperti keterlibatan beberapa orang asing di Meulaboh, Aceh Barat
kepada umat Muslim di Aceh (Serambi Indonesia, 2010). Itu merupakan
perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya ingin
mengacaukan kerukunan umat beragama di Aceh. Gerakan mereka tidak
sepengetahuan pihak Gereja, dan umat Kristen memang tidak setuju dengan
perbuatan tersebut. Umat Kristen di Aceh senantiasa disibukkan dengan
pekerjaan-pekerjaan mereka, bekerja dan bergaul dengan masyarakat Aceh
yang mayoritas Muslim, mereka merasa sudah seperti saudara sendiri, dan
tidak ada usaha saling menyakiti. Selama ini umat katolik bisa hidup
berdampingan dengan umat Muslim yang mayoritas, kerukunan tidak
menjadi masalah di Aceh
Umat Hindu selama ini hidup rukun dengan umat Islam, baik dalam
pergaulan sehari-hari, jual beli, dan dalam semua sendi kehidupan
bermasyarakat lainnya. Tidak pernah terjadi kekacaun atau keributan antara
umat Hindu dan Muslim. Umat Hindu bekerja mencari rezeki seperti umat
Islam lainnya, ada yang berdagang, membuka bengkel, pegawai negeri,
pegawai swasta, dan lainlain. Umat Hindu beribadah setiap malam Jum’at
setelah Magrib, selain jamaah tetap, biasanya juga didatangi oleh jamaah-
jamaah yang bertempat tinggal di luar Kota Banda Aceh, kebanyakan mereka
7
berprofesi sebagai tentara, atau Polisi. Pada saat datangnya hari-hari besar
umat Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, umat Hindu selalu melakukan
kunjungan silaturrahmi ke tetangga-tetangga mereka yang muslim. Hal ini
selalu dilakukan karena mereka adalah bagian dari masyarakat Aceh.
Sebaliknya umat Islam, apabila ada acara keagamaan, atau perayaan hari
besar Hindu juga mendatangi Kuil walaupun hanya sekedar melihat saja.
Kerukunan antara umat Buddha dan Muslim sampai saat ini sangat baik,
belum pernah ada hal-hal yang mengarah kepada perpecahan dan
persinggungan antara umat Islam dan Buddha, walaupun setelah adanya
legalitas oleh pemerintah dalam pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.
Selama ini umat Buddha selalu hidup rukun dan damai, baik dalam
pergaulan sehari-hari maupun dalam hal bisnis atau perdagangan. Banyak
umat Islam yang bekerja di tempat orang Buddha, bergaul dengan mereka,
tanpa memperhatikan dan mempermasalahkan perbedaan agama. Bila bulan
Puasa, umat Buddha sangat menjaga dan menghormati umat Muslim, seperti
berusaha tidak makan dan minum di tempat terbuka. Ketika Idul Fitri dan Idul
Adha, umat Buddha juga melakukan silaturrahmi ke tempat umat Islam
,terutama tetangga-tantangga sekitar tempat tinggal. Dalam bidang
pendidikan, umat non muslim mendapatkan hak yang sama dengan umat
Islam untuk belajar di sekolah-sekolah umum. Bagi umat non muslim yang
belajar di sekolah-sekolah umum, mereka tidak mengikuti pelajaran agama,
karena di sekolah-sekolah umum tersebut muridnya kebanyakan adalah
Muslim, maka yang menjadi pelajaran Agama adalah Pelajaran Agama Islam.
Umat non muslim biasanya tidak banyak, hanya beberapa orang, maka untuk
nilai pelajaran agama, mereka mengambil dari Gereja Masing-masing, begitu
juga bagi Umat Muslim yang belajar di Yayasan Kristen tadi, mereka
biasanya mengambil nilai agama dari guru ngaji mereka.
8
dibangun berlantai tiga. Peserta didik di Sekolah Yayasan Kristen ini bukan
hanya umat Kristen Protestan, tetapi juga umat yang beragama lain, seperti
Hindu dan Buddha, dan juga pernah siswa yang beragama Islam yang belajar
di sini. Bagi umat beragama selain Kristen, mereka mengambil nilai agama
dari tokoh agamanya masing-masing. Walaupun demikian, masih banyak
juga siswa-siswi yang menempuh pendidikan di sekolah-sekolah umum yang
berada di Kota Banda Aceh dan sekitarnya.
Para guru yang mengajar di Yayasan Kristen Protestan ini hampir 90%
adalah Muslim, dan hanya 10% gurunya yang Kristen. Para guru yang
beragama Islam ini mengajar dari TK sampai SMA. mereka berpakain seperti
orang Islam umumnya (memakai jilbab bagi guru wanita). Umat Katolik juga
memiliki sebuah yayasan pendidikan, yaitu Yayasan Perguruan Katolik Budi
Dharma Banda Aceh, terletak di Jalan Ulee Lhee, depan Blang padang, pusat
Kota Banda Aceh. Sekolah terdiri dari 3 (tiga) jenjang pendidikan, yaitu:
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Siswa di Yayasan ini kebanyakan adalah umat
Katolik, Protestan dan Buddha, serta terdapat juga beberapa siswa di masing-
masing tingkatan dari umat Muslim. Para guru bukan hanya dari umatKatolik,
tetapi juga beragama Islam. Di SD dan SMP, hampir 50% gurunya adalah
Muslim. Di tingkat SMA bahkan mencapai 70% gurunya beragama Islam.
Kepala sekolah pada tingkat Sekolah Dasar (SD) adalah seorang uslim.
Menurut pihak sekolah, hal ini tidak menjadi sebuah masalah bagi sekolah,
walaupun sekolah tersebut berada di bawah Yayasan Katolik. Sebagai
minoritas di Kota Banda Aceh, umat Hindu seharusnya sudah harus memiliki
lembaga pendidikan sendiri seperti umat Kristen, tetapi karena jumlah
pemeluk agama Hindu di Kota Banda Aceh sangat sedikit, hal itu belum dapat
diwujudkan. Untuk sementara mereka harus belajar di sekolah-sekolah umum
yang ada di Banda Aceh atau sebagian mereka ke Yayasan Methodist. Jenjang
pendidikan pada tingkat SMP dan SMA. Untuk pelajaran agama, baik di
sekolah umum maupun Yayasan Kristen Methodist.
9
mengakibatkan kekacauan. Kekacauan ini dapat saja sedikit demi sedikit
menjadi konflik antara mayoritas dan minoritas. Di antara faktor dominan
yang dapat mengganggu kerukunan dan kebebasan beragama di Aceh, yaitu:
10
non muslim tidak merasa resah terhadap perlindungan beragama di Aceh,
Qanun tersebut mengisyratkan bahwa Pemerintah Aceh tetap melindungi
semua umat non Muslim yang ada di Aceh dalam menjalankan ajaran
agamanya masing-masing. Pada bagian ketujuh Pasal 15 ayat 4 Qanun
tersebut juga disebutkan bahwa: “setiap pemeluk agama lain selain agama
Islam diharapkan menghormati dan menyesuaikan pakaian/busananya
sehingga tidak melanggar tata karma dan kesopanan dalam masyarakat”. Ayat
tersebut bukan bertujuan untuk membatasi umat non Muslim, tetapi hal
tersebut diatur untuk terciptanya masyarakat lebih teratur dan rapi serta penuh
dengan kesopanan, sesuai dengan tata krama. Bagi umat non muslim tetap
diberikan kebebasan untuk berpakain tidak sama dengan umat Muslim, tetapi
disyaratkan dapat mengikuti tata karma dalam masyarakat. Dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 juga disebutkan bahwa pelaksanaan Syari’at
Islam di Aceh hanya diberlakukan bagi orang yang beragama Islam. Dengan
demikian, orang yang tidak beragama Islam tidak akan dipaksa untuk
mengikuti hukum atau peraturan yang didasarkan kepada Syari’at Islam
tersebut. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh menjamin kebebasan beragama.
Agama selain Islam diberikan kebebasan untuk menajalankan ibadah dan
keyakinan masingmasing. Dari kehidupan keseharian masyarakat Kota Banda
Aceh sebenarnya sudah dapat dinilai, bagaimana respon umat non Muslim
terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Sampai saat ini, dari sejak
diberlakukannya Syari’at Islam di Aceh, belum terdapat respon negatif dari
umat non Muslim terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Mereka tetap
menjalani kehidupan seperti sebelumnya, tidak ada yang memiih pindah atau
meninggalkan Aceh. Mereka tetap bekerja dan membuka usaha seperti biasa.
Pada mulanya, umat non Muslim memang sangat kuatir dengan legalitas
Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Kekhawatiran ini memang lumrah
terjadi, karena kebanyakan umat non Muslim belum memahamiesensi dari
pelaksanaan Syarait Islam tersebut. Apalagi ditambah dengan adanya
berbagai isu dan wacana-wacana yang disebarkan oleh beberapa pihak,
bahwa Syari’at Islam 104 | Media Syariah, Vol. XIII No. 1 Januari – Juni
2011 melanggar HAM dan anti-kesetaraan jender. Tetapi setelah adanya
11
sosialisasi dan umat non Muslim menyaksikan sendiri bagaimana
pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, rasa khawatir mereka hilang. Mereka
menerima dan menaggapi secara positif terhadap pelaksanaan Syari’at Islam
di Aceh.
12
tidak hanya berfokus pada mata pelajaran agama islam saja, tetapi lebih luas
dari itu yang menyangkut permasalahan
13
maksud, sistem pendidikan yang sesuai dengan kekhasan dan sosial budaya
masyarakat Aceh. Selanjutnya penyelenggaraan Pendidikan Islami di Aceh
adalah sebagai upaya untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian
peserta didik dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh (ureung Aceh)
yang berperadaban dan bermartabat. Secara umum sekolah-sekolah di
Kabupaten/Kota di Aceh merasakan bahwa kurikulum islam terlalu tergesa-
gesa untuk diterapkan, ini terlihat dari ketidak seriusan pemerintah melalui
dinas terkait dalam mempersiapkan segala kebutuhan pengimpelmentasian
kurikulum islam tersebut. Di banyak sekolah kurikulum islam hanya
dimaknai sekedar wacana tanpa aksi nyata, karena mereka belum
memperoleh gambaran secara nyata tentang bagaimana proses pengajaran,
pembelajaran dan evaluasi dalam kurikulum islam yang diterapkan dan
diinginkan oleh dinas pendidikan. Berdasarkan hasil monev dari Majelis
Pendidikan Aceh mengungkapkan bahwa , terdapat 7 persen sekolah dari total
yang diteliti, telah mencoba menerapkan kurikulum Aceh (Kurikulum
Islami), dalam hal ini sekolah SMK dan SMA. Namun demikian, dilihat dari
substansi, pelaksanaan kurikulum Aceh masih belum substantif, belum
memiliki konsep yang pasti dan belum memiliki pola yang tetap, sehingga
setiap sekolah menerjemahkan secara berbeda antara sekolah yang satu
dengan sekolah lainnya.
14
Beberapa ulama peduli tentang nilai-nilai moral yang berbeda nama,
misalnya, Bagian Iman dan kesusilaan atau kebajikan, dan moral dosa besar .
Nilai-nilai Islam dapat dibedakan menjadi materialistik, kemanusiaan, moral
dan spiritual. Sumber nilai dalam Islam berbeda dengan sumber moral
lainnya. Nilai moral Islam adalah Alquran dan Hadits Nabi, dan ini berarti
bahwa nilai harus mutlak dan stabil. mengatakan bahwa sumber nilai dalam
masyarakat Muslim dapat dirujuk kembali pada tradisi dan kebiasaan,
menyerupai bangsa lain, atau kutipan intelektual dan peradaban, inovasi
dalam agama dan jenis sumber lain yang relevan. Di sisi lain, mengakui
bahwa agama mengatur keyakinan dan perilaku yang berkaitan dengan hal-
hal yang sakral dan menyerupai kesatuan umat .Dari sisi individu membantu
mereka untuk merasakan keamanan, stabilitas, dan keselamatan, untuk
menentukan identitas mereka, dan kepemilikan kelompok serta penerimaan
mereka terhadap nilai-nilai dan keyakinan yang diatur oleh agama. Dari sisi
masyarakat membantu dalam mengatur emosi dan keberlanjutannya, dan ini
merupakan salah satu pilar keberlangsungan dan keberlanjutan masyarakat.
Singkatnya, seorang Muslim harus mengembangkan karakter moralnya.
Dengan demikian, nilai-nilai yang lebih baik yang dimasukkan oleh seorang
Muslim ke dalam karakternya, menjadi Muslim yang lebih baik dan taat, dan
atas dasar praktik moralis Islam inilah dia akan berada di antara yang
diberkati, baik di dunia ini maupun di dunia akhirat.
15
2.6. Tata Kelola Pemerintah Aceh
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat
dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh
dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai
lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga
legislatif. Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.
16
juga tak seorangpun memikirkan tentang sanksi, prosedur pidana, atau
institusi penegakan Syariat Islam, ataupun bagaimana pengadilan Islam akan
berbeda dengan pengadilan biasa. Peraturan pertama sebelum UU tahun 2001
tentang otonomi khusus disahkan disebut perda, dan setelah itu disebut qanun.
Perda No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam menyatakan bahwa
seluruh aspek Syariat akan diterapkan, termasuk yang berhubungan dengan
aqidah, ibadah, transaksi ekonomi, akhlak, pendidikan dan dakwah agama ;
baitul mal; kemasyarakatan, termasuk cara berbusana bagi muslim; perayaan
hari raya muslim; pembelaan Islam; struktur peradilan, peradilan pidana dan
warisan.
17
dalam masyarakat. Dalam masyarakat Aceh, adat atau hukum adat tidak boleh
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sesuatu yang telah diputuskan oleh
para pemimipin dan ahli tersebut haruslah seirama dengan ketentuan Syariat.
Jika bertentangan, maka hukum adat itu akan dihapuskan. Inilah bukti
bahwa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi kedudukan agama dalam
kehidupan sehari-harinya. Sudah kita ketahui secara umum bahwa hukum
yang berkembang dan diadopsi oleh kita di Indonesia ada tiga, yaitu Hukum
Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat.
Selain hukum Adat, tidak terlepas pula peran ulama yang ikut serta
memberikan sumbangan pemikiran terhadap rancangan qanun yang diajukan
oleh Dinas Syariat Islam Aceh, peran ulama akan selalu dilibatkan karena
ulama Aceh merupakan wadah yang sudah dibentuk kedalam suatu majelis
Ulama Aceh.
18
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
19
utamanya adalah penafsiran “pemerintahan sendiri” (self
government) yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.
• Menghilangkan kecurigaan-kecurigaan terhadap pemerintah Aceh
dalam penyelenggaraan dan penegakan hukum Islam di Aceh yang
diluar sistem pemerintahan Indonesia.
• Pemerintah Indonesia, TNI/POLRI, masyarakat Indonesia dan
masyarakat Aceh mendukung proses pelaksanaan Syariat Islam di
Aceh sesuai undang-undang dan keputusan presiden
20
DAFTAR PUSTAKA
21