Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC


EDUCATION) DALAM PERSPEKTIF SYARIAT
ISLAM DI ACEH

Disusun oleh :

1. Najwa Rivalda (2307101010109)


2. Nayfa Fathia Namiko (2307101010208)
3. Rafif Sajid (2307101010125)
4. Sayid Misyhal Ardhi (2307101010052)
5. Zahira Rahmah (2307101010011)

UNIVERSITAS SYIAH KUALA


DARUSSALAM BANDA ACEH
2023
i
KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja & Puji syukur kepada Tuhan Yang
Maha Esa, karena tanpa Rahmat & RidhoNya, kami tidak dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu.

Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Rizal Fahmi, M.Pd. selaku
dosen pengampu kewarganegaraan yang membimbing kami dalampengerjaan
tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang selalu setia membantu dalam hal mengumpulkan data-data dalam
pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang
Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) dalam Perspektif Syariat
Islam di Aceh.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas


kepada kita semua khususnya tentang pengertian perspektif syariat islam.
Penyusunan makalah ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu saran dan kritik yang sifatnya membangun dari setiap pembaca sangat
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih

Banda Aceh, 22 September 2023

Tim Penyusun

ii
iii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I ............................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 4
1.3. Tujuan.............................................................................................. 4
BAB II............................................................................................................ 5
PEMBAHASAN ............................................................................................ 5
2.1. Syariat Islam dan Qanun ................................................................. 5
2.2. Kerukunan dan Kebebasan Beragama di Aceh ............................... 6
2.3. Pelaksanaan Syariat Islam dan Respons Umat Non Muslim......... 10
2.4. Integrasi Budaya Islami dalam Proses Pendidikan di Aceh .......... 12
2.5. Implementasi Pendidikan Nilai Moral di Aceh ............................. 13
2.6. Tata Kelola Pemerintah Aceh ........................................................ 16
BAB III ........................................................................................................ 19
PENUTUP.................................................................................................... 19
3.1. Kesimpulan........................................................................................ 19
3.2. Saran .................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 21

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Aceh Sebagai salah satu provinsi bagian dari Negara Kesatuan


Republik Indonesia mempunyai Arti penting bagi keutuhan Indonesia.
Aceh memiliki keistimewaan dalam bidang agama, selain Memang
merupakan daerah pertama datangnya Islam di Indonesia, juga
merupakan salah satu Pusat perkembangan peradaban Islam di Asia
Tenggara dengan penduduk mayoritas Islam, jumlah Pemeluk Islam di
Aceh dalah 4.356.624 atau 98,898 %. Atas latar belakang historis tersebut,
Timbul inisiatif dari para pemimpin Aceh pada saat itu serta didukung
oleh masyarakat Aceh Untuk memohon kepada Pemerintah Pusat
(Jakarta) agar diberikan status Daerah Istimewa kepada Aceh dan
melaksanakan syariat Islam. Namun, dalam realita hal tersebut tidak
pernah terealisasi, Bahkan pada saat itu Aceh hendak dileburkan menjadi
bagian dari Sumatera Utara. Hal tersebut merupakan awal penyebab dari
munculnya pemberontakan DI/TI yang dipimpin oleh Teungku M. Daud
Bereueh (Hardi, 1993).
Pelaksanaan Syariat Islam memperoleh dasar hukum pasca
reformasi tahun 1998. Tepatnya tahun 2001, melalui UU No. 44 tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaaan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh tanggal 4 Oktober 1999 dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh
Darussalam ditetapkan tanggal 9 Agustus 2001. Walaupun di Aceh telah
diberlakukan Syariat Islam secara kaffah, bukan berarti Umat non Muslim
tidak boleh menetap dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya,
seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Semua agama di
Aceh hidup berdampingan Dalam misi Islam rahmatan lil’alamin (QS. Al-
Ambiya’: 107). Namun dalam berbagai wacana dan Pemberitaan di media
massa, dengan pelaksanaan syariat Islam tersebut seakan umat non
Muslim Menjadi tidak bebas dan kurang terlindungi dalam pelaksanaan
agamanya di Aceh (Amal dan Panggabean, 2004: 17).

1
Penyelenggaraan pendidikan di provinsi Aceh, Indonesia, pada
dasarnya mengacu pada Sistem pendidikan nasional, sama dengan
provinsi lain di Indonesia. Tetapi, semenjak Aceh Diberikan status khusus
lewat Undang- Undang No 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta Undang- Undang No 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus, Pemerintah Aceh mempunyai
kewenangan otonom dalam melaksanakan pendidikan dengan Keunikan
serta otonomi khusus provinsi Aceh dengan hukum Islam (Ahamd, 2019;
Bahri, 2013) Aceh memiliki ciri-ciri khusus dalam penyelenggaraan
syariat Islam (Ulya, 2016) dan penerapan pendidikan Islam dalam rangka
pembentukan generasi muda Aceh yang berakhlak mulia Mengikuti
budaya Aceh dan syariat Islam. Berdasarkan peraturan tersebut,
Pemerintah Aceh mengembangkan sistem pendidikan Yang sesuai dengan
karakteristik-karakteristik adat istiadat masyarakat Aceh serta otonomi
khusus Yang berlaku di Aceh Amin (2018) Sistem pendidikan yang
diamanahkan berupa sistem Pendidikan Islam seperti yang tertuang dalam
Qanun No. 23 Tahun 2002. Qanun tersebut Kemudian disempurnakan
dengan Qanun Aceh No 5 Tahun 2008 dan pemerintah kemudian diganti
Oleh Qanun Aceh No 9 Tahun 2015 perubahan atas Qanun Aceh No. 11
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Islam di Aceh,
Indonesia.
Istilah pendidikan kewarganegaraan telah diakui secara formal
dalam sistem pendidikan di Indonesia. Dalam Undang-Undang No.20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 menyatakan
bahwa Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan tinggi
wajib memuat... pendidikan kewarganegaraan.
Istilah pendidikan kewarganegaraan merupakan terjemahan dari
terminologi bahasa Inggris “citizenship education” atau “civix
education”. Selain diterjemahkan sebagai pendidikan kewarganegaraan,
ada yang menggunakan istilah “pendidikan kewargaan” (Azumardi Azra,
2003; Har Tilaar, 2007). Oleh sebab itu, sebaiknya kita ikuti penjelasan
istilah tersebut dari sumber-sumber berbahasa Inggris.

2
Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran dan fungsi yang
sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai Ideologi pancasila yang
didalamnya Terdapat nilai-nilai dasar Berperikemanusiaan dan
berkepribadian yang tentu menjadi dasar konsep warga Global, hal
tersebut tentu sebagaimana yang tercantum dalam tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan.
Melalui Pendidikan Kewaragnegaraan diharapkan dapat
membentuk kepribadian utama warga negara muda yang cerdas, baik dan
dapat diandalkan, untuk bisa membentuk warga negara global yang cerdas
, baik dan dapat diandalkan maka harus memiliki dua sifat yakni sikap
yang peduli terhadap kondisi masyrakat dan sikap untuk bisa melakukan
perubahan yang lebih baik. Sikap peduli yang dimaksud ini adalah
bagaiman bisa mengembangkan kemampuan kepedulian tidak hanya pada
lingkungan masyarakat akan tetapi lebih ditekankan pada konteks
masyarakat global. Sedangkan sikap untuk bisa melakukan perubahan ini
merupakan hal yang harus dilakukan dalam menuju kebaikan baik
didalam lingkungan masyarakat bangsa maupun masyarakat secara global
karena melalui perubahan ini akan menjadikan tolak ukur majunya
perkembangan bangsa dan negara di dunia ini menurut Lickona, 2002
dalam jurnal (Sutrisno, 2018, hal. 42-43).
Penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia
selama ini hanya melalui pendekatan doktriner normatif yang sumber
materinya sebatas perundang-undangan. Seharusnya, sebagai negara yang
penduduknya beragama, dalam penyelenggaraan pendidikan
kewarganegaraan harus dielaborasi melalui pendekatan spiritual.
Pendekatan spiritual dalam pendidikan dapat dipahami upaya pendidik
dalam membimbing dan mengajar peserta didik yang materi pelajarannya
diinterkoneksikan dengan nilai-nilai universal agama. Dorongan spiritual
mampu menyadarkan warga negara akan tanggung jawabnya sebagai
warga negara. Melalui pendekatan dalil-dalil yang termaktub dalam kitab
suci dirasa ampuh untuk menumbuhkembangkan kesadaran peserta didik

3
menjadi warga negara yang baik dalam konteks hubungannya dengan
Tuhan, negara, antar warga negara, dan lingkungan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang terurai diatas maka dapat


disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
Apakah implementasi Pendidikan Kewarganegaraan yang sesuai
dengan adanya Qanun dan penyelenggaraan syariat Islam di Provinsi
Aceh sudah terlaksana dengan baik?

1.3. Tujuan
Dengan adanya perumusan masalah diatas maka tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui implementasi
Pendidikan Kewarganegaraan di Provinsi Aceh dengan perspektif syariat
Islam.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Syariat Islam dan Qanun


Syari’ah bisa digunakan dalam dua arti, pertama dalam arti sempit,
merupakan salah satu aspek ajaran Islam yaitu aspek yang berhubungan
dengan hukum. Sedang dalam arti luas mencakup semua aspek ajaran Islam,
identik dengan istilah Islam itu sendiri. Kemudian Syari’at Islam digunakan
secara lebih luas mencakup aspek pendidikan, kebudayaan, ekonomi, politik
dan aspekaspek lainnya (Abubakar, 2008: 19). Syari’at Islam adalah tuntunan
ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Pelaksanaan Syari’at Islam diatur
dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000
tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Adapun aspek-aspek pelaksanaan
Syari’at Islam adalah seperti terdapat dalam Perda Daerah Istimewa Aceh
nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Bab IV Pasal 5 ayat
2, yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan dan dakwah
Islamiyah/amar makruf anhi munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar
Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan Mawaris.

Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at


Islam di Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No.
18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pelaksanaan Syari’at Islam di
Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe
Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan: (1) Ketentuan pelaksanaan undang-
undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. (2) Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang
menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

5
Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang
berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Kemudian Undangundang menetapkan Qanun Provinsi sebagai
peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi
wewenang Pemerintah provinsi. Untuk membuat Qanun, Pemerintah Provinsi
tidak perlu menunggu peraturan pemerintah atau peraturan lainnya dari
Pemerintah Pusat. Qanun adalah peraturan daerah untuk melaksanakan
otonomi khusus yang dapat mengeyampingkan peraturan perundang-
undangan yang lain berdasarkan asas “peraturan khusus dapat
mengenyampingkan peraturan umum” (Abubakar, 2009: 69) Dengan kata
lain, Qanun adalah peraturan daerah yang setingkat dengan peraturan
pemerintah untuk melaksanakan otonomi khusus di Aceh

Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh hanya diberlakukan bagi pemeluk


Islam, ini sudah secara tegas disebutkan dalam undang-undang nomor 18
tahun 2001. Syari’at Islam tidak akan diberlakukan atas orang yang tidak
beragama Islam.3 Apabila ada orang yang tidak beragama Islam yang berada
di Aceh hendak menundukkan dirinya kepada hukum Syari’at Islam tanpa
pindah agama, hal ini dibolehkan, dengan sekiranya orang tersebut dengan
sukarela menundukkan diri, terutama ketika aturan yang ada dalam Syari’at
Islam yang akan mereka ikuti itu tidak ada dalam agama mereka dan tidak
bertentangan menurut agama mereka. Oleh karena itu, terkait pelaksanaan
Qanun-Qanun yang telah disebutkan di atas, hanya diberlakukan bagi umat
Islam, tidak diberlakukan bagi umat non Muslim.

2.2. Kerukunan dan Kebebasan Beragama di Aceh


Untuk mengetahui tentang kerukunan dan kebebasan beragama di
Aceh dapat dilihat dari interaksi antara Muslim dan non Muslim dapat dalam
kehidupan sehari-hari di Kota Banda Aceh. Apabila kita amati, Kota Banda
Aceh sangat berpotensi bagi semua umat beragama yang menetap di Aceh,
karena umat non muslim, baik Kristen, Hindu, dan Buddha, mereka sama-
sama mendapat peluang yang besar untuk bekerja dan hidup di Aceh. Umat
non Muslim hampir menguasai 50% dari perdagangan dan usaha wiraswasta

6
di Kota Banda Aceh. Dari sini nampak bahwa perbedaan agama dan nominasi
Islam sebagai mayoritas, dengan Syari’at Islam tidak membuat mereka takut
dan terhambat untuk terus maju dan berkiprah untuk memajukan ekonomi
Aceh dan Indonesia pada umumnya. Menjadi pemandangan biasa ketika kita
melihat orang-orang Islam berbelanja di tempat non Muslim, karyawan
mereka Muslim, mereka biasa bercengkrama dan minum kopi di warung-
warung, seolah tidak ada perbedaan antara mereka.
Umat Kristen Protestan selama ini hidup berdampingan dengan umat
muslim di Aceh dalam keadaaan rukun dan damai, tidak pernah terjadi
keributan dan terror meneror antara umat beragama. Bilapun ada, itu bukan
masalah agama, tepi lebih kepada masalah-masalalah kepentingan pribadi
seperti sengketa tanah, utang piutang, pencurian dan perkara-perkara pidana
lain. Apabila ada kasus-kasus seperti pemurtadan dan usaha penyebaran
agama, seperti keterlibatan beberapa orang asing di Meulaboh, Aceh Barat
kepada umat Muslim di Aceh (Serambi Indonesia, 2010). Itu merupakan
perbuatan orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya ingin
mengacaukan kerukunan umat beragama di Aceh. Gerakan mereka tidak
sepengetahuan pihak Gereja, dan umat Kristen memang tidak setuju dengan
perbuatan tersebut. Umat Kristen di Aceh senantiasa disibukkan dengan
pekerjaan-pekerjaan mereka, bekerja dan bergaul dengan masyarakat Aceh
yang mayoritas Muslim, mereka merasa sudah seperti saudara sendiri, dan
tidak ada usaha saling menyakiti. Selama ini umat katolik bisa hidup
berdampingan dengan umat Muslim yang mayoritas, kerukunan tidak
menjadi masalah di Aceh

Umat Hindu selama ini hidup rukun dengan umat Islam, baik dalam
pergaulan sehari-hari, jual beli, dan dalam semua sendi kehidupan
bermasyarakat lainnya. Tidak pernah terjadi kekacaun atau keributan antara
umat Hindu dan Muslim. Umat Hindu bekerja mencari rezeki seperti umat
Islam lainnya, ada yang berdagang, membuka bengkel, pegawai negeri,
pegawai swasta, dan lainlain. Umat Hindu beribadah setiap malam Jum’at
setelah Magrib, selain jamaah tetap, biasanya juga didatangi oleh jamaah-
jamaah yang bertempat tinggal di luar Kota Banda Aceh, kebanyakan mereka

7
berprofesi sebagai tentara, atau Polisi. Pada saat datangnya hari-hari besar
umat Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, umat Hindu selalu melakukan
kunjungan silaturrahmi ke tetangga-tetangga mereka yang muslim. Hal ini
selalu dilakukan karena mereka adalah bagian dari masyarakat Aceh.
Sebaliknya umat Islam, apabila ada acara keagamaan, atau perayaan hari
besar Hindu juga mendatangi Kuil walaupun hanya sekedar melihat saja.
Kerukunan antara umat Buddha dan Muslim sampai saat ini sangat baik,
belum pernah ada hal-hal yang mengarah kepada perpecahan dan
persinggungan antara umat Islam dan Buddha, walaupun setelah adanya
legalitas oleh pemerintah dalam pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh.

Selama ini umat Buddha selalu hidup rukun dan damai, baik dalam
pergaulan sehari-hari maupun dalam hal bisnis atau perdagangan. Banyak
umat Islam yang bekerja di tempat orang Buddha, bergaul dengan mereka,
tanpa memperhatikan dan mempermasalahkan perbedaan agama. Bila bulan
Puasa, umat Buddha sangat menjaga dan menghormati umat Muslim, seperti
berusaha tidak makan dan minum di tempat terbuka. Ketika Idul Fitri dan Idul
Adha, umat Buddha juga melakukan silaturrahmi ke tempat umat Islam
,terutama tetangga-tantangga sekitar tempat tinggal. Dalam bidang
pendidikan, umat non muslim mendapatkan hak yang sama dengan umat
Islam untuk belajar di sekolah-sekolah umum. Bagi umat non muslim yang
belajar di sekolah-sekolah umum, mereka tidak mengikuti pelajaran agama,
karena di sekolah-sekolah umum tersebut muridnya kebanyakan adalah
Muslim, maka yang menjadi pelajaran Agama adalah Pelajaran Agama Islam.
Umat non muslim biasanya tidak banyak, hanya beberapa orang, maka untuk
nilai pelajaran agama, mereka mengambil dari Gereja Masing-masing, begitu
juga bagi Umat Muslim yang belajar di Yayasan Kristen tadi, mereka
biasanya mengambil nilai agama dari guru ngaji mereka.

Umat Kristen Protestan memiliki sebuah Yayasan yang bernama


Yayasan Umat Kristen Methodist, yang terletak di pusat Kota Banda Aceh,
Peunayong. Yayasan ini memiliki sekolah dari tingkat Taman Kanak-Kanak
(TK), sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan sekolah
Menengah Atas (SMA). Sekolah-sekolah ini berada dalam satu komplek yang

8
dibangun berlantai tiga. Peserta didik di Sekolah Yayasan Kristen ini bukan
hanya umat Kristen Protestan, tetapi juga umat yang beragama lain, seperti
Hindu dan Buddha, dan juga pernah siswa yang beragama Islam yang belajar
di sini. Bagi umat beragama selain Kristen, mereka mengambil nilai agama
dari tokoh agamanya masing-masing. Walaupun demikian, masih banyak
juga siswa-siswi yang menempuh pendidikan di sekolah-sekolah umum yang
berada di Kota Banda Aceh dan sekitarnya.

Para guru yang mengajar di Yayasan Kristen Protestan ini hampir 90%
adalah Muslim, dan hanya 10% gurunya yang Kristen. Para guru yang
beragama Islam ini mengajar dari TK sampai SMA. mereka berpakain seperti
orang Islam umumnya (memakai jilbab bagi guru wanita). Umat Katolik juga
memiliki sebuah yayasan pendidikan, yaitu Yayasan Perguruan Katolik Budi
Dharma Banda Aceh, terletak di Jalan Ulee Lhee, depan Blang padang, pusat
Kota Banda Aceh. Sekolah terdiri dari 3 (tiga) jenjang pendidikan, yaitu:
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah
Menengah Atas (SMA). Siswa di Yayasan ini kebanyakan adalah umat
Katolik, Protestan dan Buddha, serta terdapat juga beberapa siswa di masing-
masing tingkatan dari umat Muslim. Para guru bukan hanya dari umatKatolik,
tetapi juga beragama Islam. Di SD dan SMP, hampir 50% gurunya adalah
Muslim. Di tingkat SMA bahkan mencapai 70% gurunya beragama Islam.
Kepala sekolah pada tingkat Sekolah Dasar (SD) adalah seorang uslim.
Menurut pihak sekolah, hal ini tidak menjadi sebuah masalah bagi sekolah,
walaupun sekolah tersebut berada di bawah Yayasan Katolik. Sebagai
minoritas di Kota Banda Aceh, umat Hindu seharusnya sudah harus memiliki
lembaga pendidikan sendiri seperti umat Kristen, tetapi karena jumlah
pemeluk agama Hindu di Kota Banda Aceh sangat sedikit, hal itu belum dapat
diwujudkan. Untuk sementara mereka harus belajar di sekolah-sekolah umum
yang ada di Banda Aceh atau sebagian mereka ke Yayasan Methodist. Jenjang
pendidikan pada tingkat SMP dan SMA. Untuk pelajaran agama, baik di
sekolah umum maupun Yayasan Kristen Methodist.

Kerukunan dalam kehidupan beragama yang sudah ada dan telah


terbina dengan baik, dapat saja terganggu. Gangguan-ganguan tersebut dapat

9
mengakibatkan kekacauan. Kekacauan ini dapat saja sedikit demi sedikit
menjadi konflik antara mayoritas dan minoritas. Di antara faktor dominan
yang dapat mengganggu kerukunan dan kebebasan beragama di Aceh, yaitu:

Pertama, Adanya kasus-kasus pemurtadan yang terjadi pasca tsunami. Banyak


oknumoknum dari LSM yang masuk ke Aceh dalam rangka melakukan
kegiatan sosial, terlibat dalam usaha pemurtadan dan pendangkalan akidah di
Aceh (Serambi Indonesia, 2010). Mereka menyiarkan agama untuk orang Aceh
yang telah beragama Islam.

Kedua, terkait tentang pendirian rumah ibadah. Ditemukan adanya


pendirian rumah ibadah illegal, di ruko dan banyak terjadi kasus pendirian
rumah ibadat yang sebenarnya di daerah tersebut cuma terdapat beberapa
pemeluk saja. Kemudian pada saat pelaksanaan ibadah pada hari-hari tertentu
didatangkan dari daerah luar (terjadi di daerah perbatasan), sebenarnya ini telah
menyalahi ketentuan berdarakan PBM. Hal ini juga yang mendasari diadakan
penambahan syarat jumlah pemeluk agama untuk mendirikan rumah ibadah,
dari peraturan PBM 60 orang, ditambah menjadi 120 orang berdasarkan
Peraturan Gubernur Aceh. Penambahan ini didasarkan pada keistimewaaan
Aceh yang merupakan mayoritas pemeluk Islam, yang perlu dipertahankan
sebagai salah satu keistimewaan Aceh dalam bidang agama.

2.3. Pelaksanaan Syariat Islam dan Respons Umat Non Muslim


Pelaksanaan Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi
Daerah (Perda/Qanun) Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang
Pelaksanaan Syari’at Islam. Dalam Bab II, tujuan dan Fungsi pasal 2 ayat 2
disebutkan bahwa: “Keberadaan agama lain di luar agama Islam tetap diakui
di daerah ini, pemeluknya dapat menjalankan ajaran agamanya masing-
masing”. Berdasarkan Qanun tersebut, agama selain Islam diakui
keberadaannya di Aceh, begitu juga para pemeluknya dihormati dan
dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan untuk beribadat
melaksanakan ajaran dan kewajiban agamanya. Berarti setiap umat beragama
lain (non Muslim) tetap diberikan kebebasan dalam beragama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Sehingga umat

10
non muslim tidak merasa resah terhadap perlindungan beragama di Aceh,
Qanun tersebut mengisyratkan bahwa Pemerintah Aceh tetap melindungi
semua umat non Muslim yang ada di Aceh dalam menjalankan ajaran
agamanya masing-masing. Pada bagian ketujuh Pasal 15 ayat 4 Qanun
tersebut juga disebutkan bahwa: “setiap pemeluk agama lain selain agama
Islam diharapkan menghormati dan menyesuaikan pakaian/busananya
sehingga tidak melanggar tata karma dan kesopanan dalam masyarakat”. Ayat
tersebut bukan bertujuan untuk membatasi umat non Muslim, tetapi hal
tersebut diatur untuk terciptanya masyarakat lebih teratur dan rapi serta penuh
dengan kesopanan, sesuai dengan tata krama. Bagi umat non muslim tetap
diberikan kebebasan untuk berpakain tidak sama dengan umat Muslim, tetapi
disyaratkan dapat mengikuti tata karma dalam masyarakat. Dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2001 juga disebutkan bahwa pelaksanaan Syari’at
Islam di Aceh hanya diberlakukan bagi orang yang beragama Islam. Dengan
demikian, orang yang tidak beragama Islam tidak akan dipaksa untuk
mengikuti hukum atau peraturan yang didasarkan kepada Syari’at Islam
tersebut. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh menjamin kebebasan beragama.
Agama selain Islam diberikan kebebasan untuk menajalankan ibadah dan
keyakinan masingmasing. Dari kehidupan keseharian masyarakat Kota Banda
Aceh sebenarnya sudah dapat dinilai, bagaimana respon umat non Muslim
terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Sampai saat ini, dari sejak
diberlakukannya Syari’at Islam di Aceh, belum terdapat respon negatif dari
umat non Muslim terhadap pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Mereka tetap
menjalani kehidupan seperti sebelumnya, tidak ada yang memiih pindah atau
meninggalkan Aceh. Mereka tetap bekerja dan membuka usaha seperti biasa.
Pada mulanya, umat non Muslim memang sangat kuatir dengan legalitas
Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh. Kekhawatiran ini memang lumrah
terjadi, karena kebanyakan umat non Muslim belum memahamiesensi dari
pelaksanaan Syarait Islam tersebut. Apalagi ditambah dengan adanya
berbagai isu dan wacana-wacana yang disebarkan oleh beberapa pihak,
bahwa Syari’at Islam 104 | Media Syariah, Vol. XIII No. 1 Januari – Juni
2011 melanggar HAM dan anti-kesetaraan jender. Tetapi setelah adanya

11
sosialisasi dan umat non Muslim menyaksikan sendiri bagaimana
pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, rasa khawatir mereka hilang. Mereka
menerima dan menaggapi secara positif terhadap pelaksanaan Syari’at Islam
di Aceh.

2.4. Integrasi Budaya Islami dalam Proses Pendidikan di Aceh


Pendidikan yang diselenggarakan di Aceh merupakan implikasi dari
penerapan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Aceh yang berbasis islami. Salah satu bentuk otonomi khusus
yang diberikan oleh pemerintah Indonesia untuk provinsi Aceh adalah
penerapan syariah Islam di Aceh dan pelaksanaan teknisnya diatur dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Syariah
Islam Di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Penerapan syariah Islam di Provinsi
Aceh mengatur berbagai konteks yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat Aceh; Pendidikan politik, hukum, sosial, dan Islam di Aceh.
Publik pertama Pemprov Aceh tentang penyelenggaraan pendidikan Islam
diatur dengan Kurikulum Pendidikan Aceh Islami merupakan amanah dari
Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015 perubahan atas Qanun Aceh Nomor 11
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. (Sulaiman, 2017)
menjelaskan penerapan qanun tersebut merupakan bentuk kebijakan
Pemerintah Provinsi Aceh untuk mewujudkan pendidikan Islam di Aceh yang
merupakan bagian dari implementasi syariah Islam di Aceh. Pemerintah
Provinsi Aceh mengharapkan dengan penerapan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun
2015 perubahan atas Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pendidikan ini dapat mewujudkan proses pendidikan di
Aceh yang berlangsung secara islami di seluruh satuan pendidikan di Aceh
dan mengintegrasikan budaya Islam dalam proses pendidikan di Aceh.
Samina (2015) menguraikan pendidikan islami ialah bentuk komitmen
pemerintah Aceh terhadap masyarakat tentang praktek pendidikan yang ada
di provinsi Aceh. Secara filosofi kehidupan masyarakat Aceh, maka
kurikulum pendidikan islam sangat cocok dengan budaya yang ada di
lingkungan masyarakat yang berbasis islami. Penerapan kurikulum islami

12
tidak hanya berfokus pada mata pelajaran agama islam saja, tetapi lebih luas
dari itu yang menyangkut permasalahan

penerapan nilai-nilai islam dalam kehidupan sekolah, keluarga dan


lingkungan masyarakat. Sehingga nilai-nilai islam tersebut menjadi budaya
dalam kehidupan sehari-hari (Praja et al., 2020). Dalam konteks pendidikan
nilai-nilai keislaman tercermin dalam visi, misi, tujuan dan kurikulum
sekolah (Mulyadi et al., 2019). Selain itu juga nilai keislaman tercerminkan
dalam interaksi sosial warga sekolah, suasana ruang kelas yang bernuansa
islam, suasana asrama serta lingkungan sekolah yang bercorak islami .
Pendidikan Islami di Aceh adalah sebuah konsep ideal untuk mempersiapkan
peserta didik atau tenaga kependidikan yang berwawasan keilmuan dan
kepribadian sebagai nilai inti tujuan dan strategi pendidikan nasional
pendidikan Aceh. Integrasi budaya Islam dalam Manajemen Sekolah
bertujuan untuk membentuk pola perilaku warga sekolah; Guru, tenaga
administrasi, dan siswa yang relevan dengan hukum Islam, budaya Islam di
sekolah diperlakukan melalui beberapa aspek; (1) Budaya Disiplin, (2)
Budaya berkomunikasi dengan sopan, dan (3) Menciptakan lingkungan
madrasah yang kondusif dan Islami. Budaya Islam yang dikembangkan di
sekolah mengacu pada syariat Islam yang berlaku di Aceh dan selanjutnya
dibuat dalam bentuk peraturan di sekolah. Strategi membangun budaya Islam
di sekolah adalah; (1) Penerapan Peraturan sekolah, (2), mendandani /
menekan seragam madrasah mengikuti kaidah sekolah dan Qanun Syariah
Islam, (3) berkomunikasi dengan guru dan teman belajar dengan
menggunakan bahasa yang sopan, (4) menampilkan perilaku yang berkaitan
dengan budaya Aceh dan pendidikan qanun Aceh

2.5. Implementasi Pendidikan Nilai Moral di Aceh


Kurikulum Pendidikan Aceh Islami merupakan amanah dari Qanun
Aceh Nomor 9 Tahun 2015 perubahan atas Qanun Aceh Nomor 11 Tahun
2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Pemerintah Provinsi Aceh
melalui Dinas Pendidikan dan dinas-dinas terkait mulai
mengimplementasikan kurikulum pendidikan islam mulai tahun 2018 dengan

13
maksud, sistem pendidikan yang sesuai dengan kekhasan dan sosial budaya
masyarakat Aceh. Selanjutnya penyelenggaraan Pendidikan Islami di Aceh
adalah sebagai upaya untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian
peserta didik dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh (ureung Aceh)
yang berperadaban dan bermartabat. Secara umum sekolah-sekolah di
Kabupaten/Kota di Aceh merasakan bahwa kurikulum islam terlalu tergesa-
gesa untuk diterapkan, ini terlihat dari ketidak seriusan pemerintah melalui
dinas terkait dalam mempersiapkan segala kebutuhan pengimpelmentasian
kurikulum islam tersebut. Di banyak sekolah kurikulum islam hanya
dimaknai sekedar wacana tanpa aksi nyata, karena mereka belum
memperoleh gambaran secara nyata tentang bagaimana proses pengajaran,
pembelajaran dan evaluasi dalam kurikulum islam yang diterapkan dan
diinginkan oleh dinas pendidikan. Berdasarkan hasil monev dari Majelis
Pendidikan Aceh mengungkapkan bahwa , terdapat 7 persen sekolah dari total
yang diteliti, telah mencoba menerapkan kurikulum Aceh (Kurikulum
Islami), dalam hal ini sekolah SMK dan SMA. Namun demikian, dilihat dari
substansi, pelaksanaan kurikulum Aceh masih belum substantif, belum
memiliki konsep yang pasti dan belum memiliki pola yang tetap, sehingga
setiap sekolah menerjemahkan secara berbeda antara sekolah yang satu
dengan sekolah lainnya.

Penerapan kurikulum islami mereka maknai pengintegrasian khasan


(nilai-nilai keislaman) dengan materi pelajaran yang mereka asuh atau
ajarkan seperti mata pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan Ini
merupakan kabar baik karena adanya kesepahaman antara pengajar dengan
regulasi yang dirumuskan pemerintah dan dinas atau lembaga terkait. Tetapi
ketika ditanyakan lebih mendalam tentang bentuk pengintehrasian kurikulum
islam dalam mata pelajarannya, banyak guru-guru yang kesulitan
menerangkan dan akhirnya hanya menyatakan bahwa pengintegrasian
dilaksanakan seperti layaknya kurikulum 2013. Dimana KD (Kompetensi
Dasar) mata pelajaran harus memuat nilai-nilai religius atau spiritual. Tetapi
ketika ditanyakan atau bentuk real dari RPP banyak dari guru hanya memuat
nilai-nilai keislaman (religius) pada bagian awal pembelajaran.

14
Beberapa ulama peduli tentang nilai-nilai moral yang berbeda nama,
misalnya, Bagian Iman dan kesusilaan atau kebajikan, dan moral dosa besar .
Nilai-nilai Islam dapat dibedakan menjadi materialistik, kemanusiaan, moral
dan spiritual. Sumber nilai dalam Islam berbeda dengan sumber moral
lainnya. Nilai moral Islam adalah Alquran dan Hadits Nabi, dan ini berarti
bahwa nilai harus mutlak dan stabil. mengatakan bahwa sumber nilai dalam
masyarakat Muslim dapat dirujuk kembali pada tradisi dan kebiasaan,
menyerupai bangsa lain, atau kutipan intelektual dan peradaban, inovasi
dalam agama dan jenis sumber lain yang relevan. Di sisi lain, mengakui
bahwa agama mengatur keyakinan dan perilaku yang berkaitan dengan hal-
hal yang sakral dan menyerupai kesatuan umat .Dari sisi individu membantu
mereka untuk merasakan keamanan, stabilitas, dan keselamatan, untuk
menentukan identitas mereka, dan kepemilikan kelompok serta penerimaan
mereka terhadap nilai-nilai dan keyakinan yang diatur oleh agama. Dari sisi
masyarakat membantu dalam mengatur emosi dan keberlanjutannya, dan ini
merupakan salah satu pilar keberlangsungan dan keberlanjutan masyarakat.
Singkatnya, seorang Muslim harus mengembangkan karakter moralnya.
Dengan demikian, nilai-nilai yang lebih baik yang dimasukkan oleh seorang
Muslim ke dalam karakternya, menjadi Muslim yang lebih baik dan taat, dan
atas dasar praktik moralis Islam inilah dia akan berada di antara yang
diberkati, baik di dunia ini maupun di dunia akhirat.

Secara singkat, penerapan pendidikan nilai dan moral dalam


pendidikan di Aceh melalui kurikulum islami sesuai dengan yang
diamanatkan oleh qanun Aceh tentang pendidikan. Kurikulum islami ini
mengatur satuan pendidikan yang ada di Aceh melalui dinas pendidikan untuk
diterapkan di sekolah. Proses penerapan ini melalui perumusan visi sekolah
yang berdasarkan nilai-nilai islami, perumusan strategi pembelajaran berbasis
nilai islami, integrasi dalam setiap mata pelajaran yang ada dan penambahan
muatan lokal berbasis budaya syariat islam di Aceh melalui peraturan
gubernur

15
2.6. Tata Kelola Pemerintah Aceh
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat
dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh
dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai
lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga
legislatif. Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa.

Aceh adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang memiliki hak


untuk menerapkan Syariat Islam secara penuh. Syariat Islam adalah hukum
dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat manusia, baik
muslim maupun bukan muslim. Selain berisi hukum dan aturan, Syariat Islam
juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini Dalam kenyataan,
hukum dianggap sebagai sebuah entitas yang sangat kompleks dalam seluruh
aspek kehidupan masyarakat yang sangat majemuk. Maka oleh sebahagian
penganut Islam, Syariat Islam merupakan panduan menyeluruh dan sempurna
seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini. Arti Syariat
Islam dalam penegakannya di Aceh adalah bagaimana Aceh menerapkan
Syariat Islam yang sesungguhnya tanpa terlalu banyak mempertimbangkan
hal-hal yang bisa merusak proses penegakan Syariat Islam itu sendiri.
Misalnya, demi sebuah modernitas pemerintah Aceh dengan leluasa
memberikan kebebasan terhadap hotel-hotel di Aceh dan menyediakan
minuman keras dan bar.

Dilengkapi dengan wewenang baru yang ditetapkan UU tahun 1999


dan kemudian UU tahun 2001 tentang otonomi khusus untuk menerapkan
Syariat, pemerintah daerah perlahan mulai memperluas penerapan Syariat ke
wilayah-wilayah yang di luar kewenangan pengadilan agama yang ada
sebelumnya. Tapi, disisi lain tak seorangpun memikirkan tentang infrastuktur
maupun personil yang dibutuhkan untuk melangkah ke wilayah peradilan
pidana, karena sebelumnya hal itu secara politis tidak mungkin. Begitupun

16
juga tak seorangpun memikirkan tentang sanksi, prosedur pidana, atau
institusi penegakan Syariat Islam, ataupun bagaimana pengadilan Islam akan
berbeda dengan pengadilan biasa. Peraturan pertama sebelum UU tahun 2001
tentang otonomi khusus disahkan disebut perda, dan setelah itu disebut qanun.
Perda No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam menyatakan bahwa
seluruh aspek Syariat akan diterapkan, termasuk yang berhubungan dengan
aqidah, ibadah, transaksi ekonomi, akhlak, pendidikan dan dakwah agama ;
baitul mal; kemasyarakatan, termasuk cara berbusana bagi muslim; perayaan
hari raya muslim; pembelaan Islam; struktur peradilan, peradilan pidana dan
warisan.

Membentuk Wilayatul Hisbah (WH) sebagai badan pengawasan dan


penegakan Syariat, tetapi tidak ada perincian mengenai bagaimana ia
berfungsi. Qanun No. 10/2002 tentang pengadilan Syariat untuk pertama
kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum pengadilan agama hingga
di luar hukum keluarga dan warisan, termasuk transaksi ekonomi (muamalat)
yang sebelumnya tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan agama, dan
juga kasus-kasus pidana (jinayat). Muamalat meliputi masalah jual beli;
permodalan; bagi hasil pertanian; pendirian perusahaan; pinjam meminjam;
penyitaan properti untuk membayar hutang; hipotek; pembukaan lahan;
pertambangan; pendapatan; perbankan; perburuhan; dan bermacam-macam
bentuk infaq dan sedekah. Mempraktekkan Syariat, terutama ketika begitu
banyak prosedur dan institusi baru yang harus didirikan, tak akan pernah
bebas dari masalah, dan pejabat Aceh yang berwenang telah melakukan yang
terbaik untuk mencoba memberikan perbaikan terhadap masalah-masalah
yang sudah nyata. Tetapi beberapa persoalan sudah melekat dalam konsep
sebuah sistem hukum ganda, sebagian Islamis, sebagian lagi sekuler, dimana
tidak ada yang tahu pasti dimana garis pemisahnya. Selanjutnya petugas
Wilayatul Hisbah (WH) itu sendiri adalah Institusi yang dibentuk dibawah
hukum Islam.

Dalam masyarakat Aceh, adat merupakan sesuatu yang menjadi


pedoman di dalam bermasyarakat Aceh. Adat yang dipahami ini merupakan
titah dari para pemimpin dan para pengambil kebijakan guna jalannya sistem

17
dalam masyarakat. Dalam masyarakat Aceh, adat atau hukum adat tidak boleh
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Sesuatu yang telah diputuskan oleh
para pemimipin dan ahli tersebut haruslah seirama dengan ketentuan Syariat.

Jika bertentangan, maka hukum adat itu akan dihapuskan. Inilah bukti
bahwa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi kedudukan agama dalam
kehidupan sehari-harinya. Sudah kita ketahui secara umum bahwa hukum
yang berkembang dan diadopsi oleh kita di Indonesia ada tiga, yaitu Hukum
Islam, Hukum Barat, dan Hukum Adat.

Demikian juga dengan lembaga kepolisian dan satuan kerja perangkat


daerah Aceh yang ikut serta dalam memberikan dukungan kepada Dinas
Syariat Islam Aceh dalam menegakkan Syariat di bumi Aceh. Lembaga
kepolisian Aceh bekerjasama dalam melakukan penyidikan dengan polisi
Syariat Islam dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sampai eksekusi dilakukan
oleh Mahkamah Syariah Aceh.

Selain hukum Adat, tidak terlepas pula peran ulama yang ikut serta
memberikan sumbangan pemikiran terhadap rancangan qanun yang diajukan
oleh Dinas Syariat Islam Aceh, peran ulama akan selalu dilibatkan karena
ulama Aceh merupakan wadah yang sudah dibentuk kedalam suatu majelis
Ulama Aceh.

18
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwasanya :

• Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh hanya diberlakukan bagi pemeluk


Islam, namun apabila ada Masyarakat non-muslim ingin
menundukkan dirinya kepada hukum syariat Islam tanpa pindah
agama,maka hal ini diperbolehkan asalkan tidak menentang dengan
peraturan agama mereka
• Pelaksanaan syariat Islam di Aceh secara keseluruhan dapat
memelihara kerukunan baik intern maupun antarumat beragama.
Masyarakat non-Muslim di tengah mayoritas Muslim menikmati
kebebasan dalam menjalankan agamanya
• Kerukunan yang sudah ada dan terbina dengan baik dalam kehidupan
beragama di Aceh dapat saja terganggu ,factor dominan yang dapat
mengganggu kerukunan antarumat beragama di Aceh adalah
pemurtadan,serta pendirian rumah ibadah illegal
• Penerapan kurikulum Islami di Aceh merupakan bentuk komitmen
pemerintah Aceh terhadap Masyarakat Aceh yang mana kurikulum
Islami ini tidak hanya berfokus pada mata Pelajaran Islam saja,tapi
lebih luas daripada itu yang menyangkut permasalahan
• Di samping penerapan kurikulum Islami,pemerintah Aceh juga
mementingkan nilai moral dari masyarakatnya

3.2. Saran

• Pemerintah Indonesia harus menjaga dan menjunjung tinggi amanat


undangundang yang menyatakan ketentuan-ketentuan khusus
pemerintahan daerah (kekususan Aceh).
• Menghilangkan perbedaan pandangan antara pemerintah Aceh dan
pemerintah Indonesia (dan antar berbagai elemen kedua pihak)
tentang platform penyelesaian komprehensif masalah Aceh. Titik

19
utamanya adalah penafsiran “pemerintahan sendiri” (self
government) yang telah disepakati dalam MoU Helsinki.
• Menghilangkan kecurigaan-kecurigaan terhadap pemerintah Aceh
dalam penyelenggaraan dan penegakan hukum Islam di Aceh yang
diluar sistem pemerintahan Indonesia.
• Pemerintah Indonesia, TNI/POLRI, masyarakat Indonesia dan
masyarakat Aceh mendukung proses pelaksanaan Syariat Islam di
Aceh sesuai undang-undang dan keputusan presiden

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Abubakar,Marzuki (2011).Syariat Islam di Aceh:sebuah model


kerukunan dan kebebasan beragama.Media syariah.Vol 13(1), 99-
106
2. Fajri,Iwan,dkk (2021).Pendidikan nilai moral dalam sistem
kurikulum Pendidikan di Aceh.Jurnal Pendidikan
kewarganegaraanUndiksha.Vol 9(3), 710-720
3. Isa,Muhammad (2016).Kewenangan dan kedudukan dinas syariat
Islam dalam tata kelola pemerintahan Aceh. Diponegoro Journal Of
Social And Political Of Science.P:1-12 http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php

21

Anda mungkin juga menyukai