Anda di halaman 1dari 5

Balibo Five merupakan film semi documenter berbalut sejarah politik saat Indonesia

menginvasi Dili pada tahun 1975. Meskipun merupakan produksi Australia, namun
keseluruhan cerita mengambil setting di Timor Leste yang terlihat dalam geografi yakni
pemandangan alam berupa pegunungan, dataran tinggi, hutan dan laut. Lalu pakaian para
pemain yang merepresentasikan profesi dan peran mereka dalam film tersebut. Seperti
tokoh tentara yang terlihat dari kostum ikonis berupa seragam loreng, baret merah dengan
ornamen sepatu lars, senapan laras panjang, pistol dan lain sebagainya ataupun sosok
warga pribumi Timor yang memiliki kulit coklat dan pakaian sederhana.

Balibo Five adalah suatu media propaganda oleh beberapa pihak tertentu untuk
melanggengkan ideologi anti-Indonesia. Balibo Five mengisahkan tentang tewasnya lima
wartawan Australia yaitu Greg Shackleton (27), Tony Stewart (21), Malcolm Rennie (28,
Brian Peters (29), Gary Cunningham (27) saat meliput invasi Indonesia ke Balibo, Timor-
Timur pada tahun 1975. Invasi tentara Indonesia ke Timor-Timur bertujuan untuk
memusnahkan gerakan komunis di Timor Leste yang dipimpin oleh Fretelin. Bagi
Indonesia, pada saat Fretelin mengumumkan pemerintahan atas Timor Timur, dianggap
sebagai suatu ancaman karena Fretelin berhaluan komunis dan Indonesia khawatir akan
muncul negara Kuba yang baru di Asia Tenggara. Invasi besar-besaran di Balibo
merupakan usaha menyukseskan propaganda US anti-communism yang sedang gencar-
gencarnya digalakkan pada masa itu.

Ide pembuatan film ini muncul setelah pada tahun 2006 International Press Institute
mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Kofi Anan agar segera mendesak
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan investigasi terhadap para oknum
yang terlibat dalam tragedi Balibo.

Berawal dari pengungkapan kembali kasus yang sebelumnya telah lama timbul
tenggelam itulah sutradara Robert Connolly tertarik untuk mengangkat realitas kasus
tersebut ke layar lebar. Di samping itu, hati Connolly juga terketuk untuk membantu
keluarga korban tragedi Balibo untuk mendapatkan keadilan yang semestinya mereka
dapatkan. Akhirnya bersama produser John Maynard, Robert Connolly menggarap film ini
dengan menggandeng dua aktor kenamaan dunia yaitu Anthony LaPaglia dan Oscar Isaac.

Film Balibo Five menjadi film yang penuh dengan kontroversi karena dianggap
memiliki isi dan juga muatan pesan yang sangat sensitif untuk beberapa negara yang
terlibat dalam tragedi Balibo seperti Indonesia dan Australia. Tidak hanya isi dan juga
muatan pesan dalam film tersebut yang menuai kontroversi, rencana penayangan film
tersebut juga menjadi polemik yang cukup besar di Indonesia. Film ini dirilis di Australia
pada bulan Juli 2009 dan ditayangkan perdana untuk masyarakat Australia pada perhelatan
Melbourne International Film Festival. Mendapat tanggapan positif dari para pemerhati
dan juga kritikus film, film ini direncanakan tayang untuk pertama kalinya di Indonesia
pada perhelatan Jakarta International Film Festival (Jiffest) yang diselenggarakan pada
bulan Desember 2009. Namun sayang, karena tidak mengantongi surat izin dari Lembaga
Sensor Film (LSF) yang menyatakan film ini tidak lolos sensor, film ini batal ditayangkan
untuk masyarakat umum di Indonesia.
Pelarangan penayangan film ini pun menjadi sebuah tanda tanya besar, alasan LSF
yang menganggap film ini memuat banyak adegan kekerasan dianggap hanya sebagai
tameng pelindung saja untuk alasan lain yang mungkin saja lebih banyak nuansa
politisnya. Terdapat dua alasan yang kontradiktif yang berasal dari pihak LSF. Alasan
pertama keluar dari ketua Komisi Evaluasi dan Sosialisasi LSF Djamalul Abidin yang
beranggapan bahwa LSF berhak untuk menyensor film Balibo Five atas asas politik dan
ideologi, atau dengan kata lain, tanpa memotong adegan sadis dan keji dalam film ini, LSF
bisa membabat film ini secara menyeluruh. Bertolak belakang dengan pernyataan tersebut,
ketua LSF Muchlis Paeni berujar bahwa pelarangan Film Balibo Five bukan karena
kepentingan politis, namun murni karena terdapat banyak adegan kekerasan yang tidak
selayaknya dilihat oleh para penonton di sebuah ajang festival film.

Kontroversi itulah yang membuat film ini semakin banyak diperbincangkan oleh
para pemerhati film, pemerhati politik dan juga masyarakat luas yang concern terhadap isu
tragedi Balibo. Namun akhirnya film ini masih bisa diputar di Indonesia walaupun hanya
dalam ruang lingkup yang kecil. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berinisiatif untuk
mengadakan pemutaran film Balibo Five di beberapa komunitas jurnalis yang ada di
Jakarta, seperti di Komunitas Utan Kayu dan juga di Galeri Foto Jurnalistik Antara.
Pemutaran film ini pun mendapatkan apresiasi yang sangat baik dari kalangan jurnalis dan
juga masyarakat umum yang menyaksikan pemutaran film tersebut.

Di balik kontroversi yang terdapat dalam film Balibo Five ini, terdapat sisi positif
di mana sang sutradara berusaha untuk memberikan gambaran yang sedekat mungkin
dengan realitas yang terjadi pada saat terjadinya tragedi Balibo.Robert Connolly selaku
sutradara berusaha untuk menyampaikan informasi yang selama ini dirasa belum sampai
ke publik mengenai tragedi Balibo. Tentu saja itu semua berdasarkan dari data-data yang
dianggap valid yang diambil dari para saksi mata kejadian tersebut. Namun karena film ini
adalah film fiksi yang diadaptasi dari kejadian nyata, sudah tentu masih terdapat persepsi-
persepsi yang berasal dari diri sang sutradara yang dikembangkan dari data-data yang ia
miliki.

Isu mengenai pelanggaran HAM yang berujung pada kejahatan perang oleh tentara
Indonesia merupakan inti utama narasi yang ingin ditonjolkan dalam Balibo Five.
Kekerasan fisik kepada para wartawan Australia ataupun kepada rakyat Timor Portugis
tergolong dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan suatu kejahatan perang.
Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat HAM adalah tindak kekerasan terhadap hak asasi
manusia yang mencakup masalah serius berkenaan dengan aparthei, perbudakan,
pembunuhan, genosida, penghilangan paksa, penganiayaan dan penyiksaan dan
pembersihan etnis.

Lima jurnalis muda jaringan televisi Australia hilang saat meliput kedatangan
militer Indonesia ke Timor-Timur pada Oktober tahun 1975. Hilangnya lima jurnalis
tersebut membuat hati salah seorang jurnalis senior Australia tersentuh, Roger East nama
jurnalis tersebut memiliki keyakinan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar atas hilangnya
lima jurnalis muda tersebut.
Cerita bermula ketika Juliana (nama tokoh rekaan) yang merupakan saksi hidup
tragedi Balibo menceritakan pengalaman pahit yang ia alami ketika masih berusia sekitar
lima tahun. Ingatannya sangat kuat mengenai detail kekerasan yang dialami oleh
masyarakat Timor-Timur termasuk yang dialami oleh para anggota keluarganya. Dengan
tutur yang sangat mengharukan sekaligus mengesankan, ia menceritakan kronologis
kejadian yang ia lihat pada masa itu yang selanjutnya menjadi alur cerita dalam film ini.

Jose Ramos Horta mendapatkan tugas dari Partai Frente Revolucionario da Timor
Leste Independente (Fretilin) untuk pergi ke Australia menemui Roger East untuk menulis
memoar tentang Timor-Timur yang telah lebih dari 400 tahun dijajah oleh Portugis. Partai
Fretilin adalah partai yang menginginkan Timor- Timur merdeka. Kedatangan Jose Ramos
Horta di Australia kurang mendapatkan tanggapan yang sangat dingin dari Roger East, ia
kurang tertarik menulis memoar tentang sebuah wilayah kecil yang tidak banyak diketahui
orang. Ia lebih tertarik menulis tentang daerah konflik seperti kawasan Afrika dan juga
Eropa.

Namun Jose Ramos Horta memiliki senjata andalan untuk membawa Roger east
datang ke Timor-Timur, senjata andalan tersebut berupa informasi tentang hilangnya lima
jurnalis muda jaringan televisi Australia.
Informasi teantang hilangnya lima jurnalis muda tersebutlah yang akhirnya
membuat Roger East bersedia datang ke Timor-Timur untuk menulis memoar tentang
wilayah tersebut sekaligus mencoba menginvestigasi hilangnya lima juniornya tersebut.
Akhirnya roger East pergi ke Timor-Timur bersama Jose Ramos Horta dan memulai
petualangannya dalam film ini.

Sesampainya Roger East di Timor-Timur, berita tentang hilangnya lima jurnalis


muda tersebut sudah cukup meluas. Namun Jose Ramos Horta yang tidak ingin Roger East
terluka (karena tujuan utamanya adalah menulis memoar tentang wilayah tersebut) saat
mencari informasi tentang kasus tersebut berusaha mengarahkan East hanya ke tempat
yang cenderung aman dari konflik baku tembak dengan milisi Fretilin melawan milisi
Apodeti dan militer Indonesia. Namun keteguhan hati East yang menginginkan kasus ini
benar-benar terkuak memaksa Ramos Horta untuk membawanya ke Desa Balibo tempat
baku tembak tersebut terjadi. Dalam perjalanan menuju Desa Balibo konflik kerap muncul,
dari mulai konflik batin mereka yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri para
warga Timor-Timur yang menjadi korban baku tembak, sampai pergulatan pemikiran
mereka tentang politik dunia yang menyebabkan terjadinya invasi dan tragedi di Timor-
Timur.

Dalam alur cerita yang maju-mundur ini diselingi dengan flashback perjalanan lima
jurnalis muda tersebut yang sebelumnya sudah mendatangi Desa Balibo dan tewas ketika
meliput insiden baku tembak antara milisi Fretilin dan milisi Associacao Popular
Democratica de Timorese (Apodeti) yang dibantu oleh milter Indonesia. Adegan klimaks
dalam film ini terdapat saat lima jurnalis muda tersebut dikepung di sebuah rumah Cina
yang sebelumnya telah meraka jadikan base camp selama melakukun proses peliputan. Hal
tersebut terlihat dengan adanya gambar bendera Australia di salah satu bagian dinding
rumah tersebut.

Ketika sudah terkepung dan tidak mungkin bisa lolos untuk melarikan diri, salah
satu dari mereka yaitu Brian Peters, keluar untuk mencoba bernegosiasi dengan pihak
militer Indonesia. Namun ketika ia keluar dan menjelaskan bahwa ia adalah seorang
jurnalis dan merupakan warga negara Australia, seketika itu pula peluru keluar dari salah
satu pistol komandan pasukan militer Indonesia dan menembus kepala jurnalis tersebut.
Tidak lama berselang keempat jurnalis lainnya dibunuh secara keji di tempat yang sama,
dan mayat beserta alat rekam mereka dibakar untuk menghilangkan jejak.

Setelah Roger East melakukan perjalanan dan sampai di tempat kejadian tewasnya
lima jurnalis tersebut, ia menemukan fakta yang membuat dirinya sangat terpukul,
bagaimana mungkin para jurnalis yang sedang melakukan tugas peliputan bisa dibunuh
hanya demi alasan politis.

Mengetahui fakta tersebut, Roger East bersama jose Ramos Horta pergi ke Dili
untuk melanjutkan menulis memoar tentang Timor-Timur serta kisah tentang tewasnya
lima jurnalis muda tersebut. Situasi yang tidak aman membuat Jose Ramos Horta terpaksa
diungsikan ke luar negeri untuk memberikan informasi mengenai konflik tersebut kepada
dunia luas melalui forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sedangkan Roger East
memutuskan untuk tetap tinggal di Dili dan menyelesaikan tulisannya tersebut.

Kejadian memilukan pun kembali terjadi, bersamaan ketika Roger East menulis
memoar datanglah pasukan militer Indonesia dan mulai menangkap East untuk kemudian
dibunuh di hadapan ratusan warga Dili lainnya yang dieksekusi di sekitar pelabuhan Dili.
Juliana merupakan salah satu saksi mata yang selamat dan melihat kejadian tersebut.
Kejadian tersebut sangat membekas di hati Juliana karena umurnya saat itu baru sekitar
lima tahun.

Akhirnya Roger East tewas sebelum mengungkapkan kasus hilangnya lima jurnalis
muda jaringan televisi Australia tersebut. Dan mereka semua tewas ketika sedang
melakukan tugasnya sebagai seorang jurnalis, tugas berat yang mempertaruhkan segenap
jiwa dan raga serta nyawa mereka.

Ramos Horta yang mewakili pihak Timor dan para wartawan Australia berperan
sebagai tokoh protagonis yang berjuang untuk Timor sedangkan tokoh tentara Indonesia
merupakan tokoh antagonis yang melakukan tindak kekerasan dan kejahatan di Timor
Leste. Diceritakan bahwa tentara Indonesia menyerang Timor dari segala penjuru baik itu
udara, laut dan darat, lalu mengahncurkan barang warga, menangkapi mereka dan
mengeksekusi mereka secara missal. Tidak hanya itu, diceritakan pula mereka membunuh
kelima wartawan asing yang sedang meliput di Balibo dengan brutal dan sadis tindak
kekerasan yang diderita oleh para wartawan asing dan warga Timor tergolong dalam
kekerasan personal seperti pembunuhan, penyiksaan dan penganiayaan. Sedangkan
kekerasan struktural dilakukan oleh tentara Indonesia yang dalam film tersebut
digambarkan sebagai sosok yang brutal, sadis, bengis dan tindak.
Indonesia seperti terperangkap dalam kemelut sejarah dengan Timor Leste dan
Australia, bahkan hingga saat ini. Ambisi terdahulu Indonesia untuk memperluas wilayah
dan konspirasi Amerika dan Australia dalam memanaskan hubungan keduanya membuat
Indonesia terjebak dalam kesalahan masa lalu yang selalu diminta pertanggungjawabannya
oleh berbagai pihak yang tertindas dan mununtut keadilan kepada Indonesia.

Kekejaman lainnya oleh adanya struktur sosial yakni hukum negara dengan
mengindahkan profesionalisme bahwa tentara Indonesia sebagai aparatur negara yang
datang ke Timor Portugis ialah untuk menjalankan tugas mereka. Kebrutalan,
pembunuhan, dan kesadisan lainnya merupakan bagian dari sebuah amanat bahkan
perjuangan bagi seorang prajurit terhadap kesetiannya terhadap negara.

Anda mungkin juga menyukai