YANG IDEAL
(Analisis Terhadap Urgensi Ketinggian Tempat Dan Penggunaan
Waktu Ihtiyat Untuk Mengatasi Urgensi Ketinggian Tempat
Dalam Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat)
SKRIPSI
Oleh :
YUYUN HUDHOIFAH
NIM : 0 7 2 1 1 1 0 8 3
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp. : 4 (empat) eks.
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdr. Yuyun Hudhoifah
ii
PENGESAHAN
iii
MOTTO
1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Bandung : Jumanatul Ali Art (J-
Art), 2005, hlm. 176
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini
Saya persembahkan untuk :
Keluarga tersayang,
Mbak Luk - Mas Ghufron, Mas Iib - Mb Khuzma , Mas Yoyok - Mbak Yani,
Mas Aank, Mbak Nunus
Keluarga Semarang,
Nyak, Mpok, Abang (we’re still together still going strong)
Mb Q3, Ayuk, Ciput
Kenyong
v
DEKLARASI
Yuyun Hudhoifah
NIM: 072111083
vi
ABSTRAK
Dari beberapa point yang mempengaruhi waktu shalat daerah satu dengan
daerah lain, yang jarang diperhatikan adalah ketinggian tempat suatu daerah.
Jadwal awal waktu shalat dalam software Athan, di dalamnya tidak menggunakan
ketinggian tempat. Sementara program Prayer Times dan Shollu memberikan
ruang untuk menginput data ketinggian tempat. Sedangkan jadwal awal waktu
shalat dalam kalender Ponpes Lirboyo, menggunakan data rata-rata ketinggian
tempat 100m dengan formulasi 0.0293 √ h. Slamet Hambali menggunakan
formulasi0° 1’.76√ h, Muhyiddin Khazin cukup dengan ketentuan posisi tinggi
matahari sebagai berikut: ho mahgrib: -1°, ho Isya’ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho
terbit: -1°, dan Abdur Rachim menyatakan formulasi √3,2 h. Textbook on Sperical
Astronomy menggunakan rumus 0.98√h, sementara dalam buku Almanak Hisab
Rukyah Departemen Agama dan Rinto Anugraha menggunakan formulasi 1.93√h.
Dari perbedaan-perbedaan tersebut, membuat penulis tertarik untuk mengkaji
urgensi ketinggian tempat dalam waktu shalat karena shalat merupakan ibadah
wajib yang waktunya telah ditentukan sehingga tidak dapat dilakukan sembarang
waktu.. Dari beberapa perbedaan formulasi tersebut juga, penulis ingin menelusuri
formulasi dan penyajian jadwal waktu shalat yang ideal beserta toleransi waktu
seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan apakah telah dapat mengatasi
perbedaan waktu akibat pengaruh ketinggian tempat suatu wilayah.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode
pengumpulan datanya bersifat Library research (penelitian kepustakaan) dan
wawancara pihak terkait. Sebagai sumber data primernya yaitu seluruh data yang
diperoleh langsung dari buku-buku dan software-software karya para hali falak
dan wawancara langsung dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid
(Lirboyo), Slamet Hambali, serta Rinto Anugraha. Sedangkan data sekundernya
adalah seluruh dokumen berupa buku, tulisan, makalah-makalah yang berkaitan
dengan obyek penelitian. Data-data tersebut dinalisis dengan menggunakan
analisis kritis, dengan menggunakan metode induktif komparatif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa ketinggian tempat dinilai sangat
urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat demi tingkat keakurasian
waktu shalat. Sedangkan formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah
formulasi yang di dalamnya terdapat koreksi kerendahan ufuk dengan penggunaan
data ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan
dip/ku: 1,76 √ℎ (meter) atau 0.98√ℎ (feet). Penggunaan waktu ihtiyat untuk
mengatasi pengaruh ketinggian tempat dalam penyajian jadwal waktu shalat yang
ideal adalah cukup dengan menggunakan toleransi waktu yaitu pengambilan data
rata-rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi
sebagai acuan untuk waktu yang berhubungan dengan terbenam matahari, dan
menggunakan data daerah yang rendah sebagai acuan untuk waktu yang
berhubungan dengan terbit matahari, serta penggunaan waktu ikhtiyat 2 menit
dengan pembulatan detik. Konversi tempat karena perbedaan ketinggian tempat
bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit dengan ufuk yang
lebih rendah dari kondisi normal dengan nilai ekstrim.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberi kesempatan dan segala hal
untuk memahami sedikit ilmu-Nya agar lebih dapat mengenal-Nya. Hanya dengan
dengan lancar lewat segala proses yang memberi banyak arti. Shalawat dan salam
semoga selalu tercurah kepada Nabi agung Muhammad Saw sebagai Rasul Allah
yang telah memberi penerang atas gelap dan dahaga bagi para pencari-Nya.
Demikian juga shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada keluarga Nabi,
para sahabat Nabi saw, para alim ulama’, yang warna-warni pemikiran mereka
pengerjaan hingga penyelesaian skripsi ini penulis tidak sendiri. Banyak pihak
yang memberi uluran tangan, pemikiran, dukungan, dan doa selama proses
kegiatan ini sehingga skripsi dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu
melalui kata pengantar ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
viii
2. DR. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
3. Dr. H. Moh. Arja Imroni, M.Ag selaku kepala Prodi Konsentrasi Ilmu Falak,
Maksun, M.Ag, H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, serta Ahmad Syifaul Anam, SHI.
MH, Bapak Suwanto, yang telah bersusah payah memberikan arahan dan
belajar di Semarang.
4. Drs. Slamet Hambali, M.Si dan Drs. Sahidin, M.Si selaku pembimbing dalam
penulisan skripsi ini, yang telah mau bersabar meskipun penulis kurang
5. Bapak Sabri (Undip), Bapak Reza Zakariya dan Bapak Yazid (Lirboyo) yang
telah mau memberikan arahan, bimbingan dan data falak; Bapak Rinto
Anugraha, Bapak Thomas Djamaluddin, Bapak Dr. Ing. Khafid yang mau
6. Kedua orang tua penulis, ibu’ dan bapak (alm), yang telah mengajarkan arti
sebuah nafas kehidupan dan atas perjuangan serta doanya yang tiada terkira.
7. Keluarga penulis tercinta (Mbak Luk, Mas Ghufron; Mas Ib, Mb Khuzma;
Mas Yok, Mbak Yani; Mas Ank; Mb Nus) yang selalu memberi cinta kasih
dan semangat lahiriyah maupun bathiniyah. Juga Lek Mad, Lek Tun, Lek
Zayik, Om Arip, Bu Tin sekeluarga, Bulek Sum, Tsania Muna, dan unyil-
unyil.
ix
8. Keluarga besar Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwodadi Grobogan yang
khususnya kepada KH. Sirojd Chudlori beserta keluarga selaku pengasuh yang
juga menjadi motivator dan inspirator penulis dan yang telah memberikan
10. Keluarga besar Genk STAR (Kenyong (Rabiatul Aslamiyah) tukang jamu, mb
ngomel, bang Mannan (M. Mannan Ma’nawi) tukang tidur, bang Ari
(Mukhsin Ari Wibowo) tukang nari, mz Rifa’ (M. Rifa Jamaluddin N) tukang
dzikir, Usro’ (Sri Hidayati) tukang gazebo tapi telah mau ngalor-ngidul, muter
seser bareng, Ciput (Wahyu Fitria) tukang nangis, mb Mahyo (Mahya Laila)
siyakul (Oki Yosi) tukang ngilang, Maryani (Maryani AM) tukang dinas, teh
Entong (Eni Nuraini Maryam) tukang nyanyi, bulek Hasdul (Hasna Tuddar
(Latifah) tukang qiro’, mbah Ansor (Ansorullah) tukang malak, pakde Tahrir
(Tahrir Fauzi) tukang foto, teh Anis (Annisa Budiwati) tukang ngguyu, mbah
x
uti (Siti Tatmainul Qulub) tukang lebai) yang telah melalui lebih dari 1000
hari bersama. Lewat mereka penulis memahami arti warna, perjuangan dan
11. Huda cah purwodadi (angkatan 08), Yadi (angkatan 08), Inayah (angkatan 09),
Qoink (angkatan 08), Nisa’; dan semua pihak yang membantu dalam
12. Pondok Putri Utara (Banyu Biru), khususnya kamar “empat” Al Badriyah,
Kepompong, Aina, Kakang yang selalu ada di saat pertama membuka mata
dan menutup mata. Juga Nila, Gepeng, Lilik, bang jack sebagai teman melek.
15. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas arti keberadaan mereka, kecuali
Demikian skripsi yang penulis susun ini sekalipun masih belum sempurna
namun harapan penulis semoga akan tetap bermanfaat dan menjadi sumbangan
Yuyun Hudhoifah
NIM. 072111083
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN
YANG MEMPENGARUHINYA
xii
B. Formulasi Waktu Shalat Perspektif Syar’I dan Sains ........... 32
4. Ihtiyat ............................................................................. 48
Shalat ............................................................................... 50
xiii
3. Lirboyo ........................................................................... 61
6. Shollu .............................................................................. 65
7. Athan ............................................................................... 66
9. Mawaaqit ......................................................................... 67
Ufuk/Dip .............................................................................. 68
SHALAT
xiv
B. Analisis Formulasi Penentuan Awal Waktu Shalat Ideal
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT PENDIDIKAN
xv
BAB I
PENDAHULUAN
Islam. Dalam penetapan waktu shalat ditemukan bahwa teks-teks yang dijadikan
waktu shalat ada tiga. Sementara itu, kelompok kedua menyebutkan bahwa awal
1
Menurut Muhammad Jawad Muqniyyah, dalam kitab At-Tafsir al-Kasif, 15:74
sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari, Awal Waktu Salat Perspektif Syar’I dan Sains,
bisa diakses di www.ilmufalak.or.id
2
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan
Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 492
1
2
Artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan
(oleh malaikat). (QS. Al-Isra‟: 78)3
Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a
3
Ibid, hlm. 436
4
Ibid, hlm. 344-345
5
Ibid, hlm. 643
3
Dzuhur, Waktu Dzuhur dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah
matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu
6
Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Asy-Syaukani , Nailul Authar, Beirut-Libanon :
Dal al-Kitab, jilid I,, hlm 435
7
Program Hadis Kutubus Sittah, الجامع الصحيح للتزمذي, kitab abwab as-shalat, no 001
4
Ashar, (2) Ashar, waktu Ashar dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda
dimulai sejak matahari terbenam sampai tiba waktu Isya, (4) Isya, waktu Isya
dimulai sejak hilang mega merah sampai separuh malam (ada juga yang
menyatakan akhir salat Isya adalah terbit fajar), dan (5) Subuh, waktu Subuh
t
Artinya:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu
telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa‟: 103)8
8
Ibid, hlm. 176
9
Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240
5
tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al „Izz Al
Hamadaniy.10
kaum mukmin” yakni difardhukan dan ditentukan waktunya seperti ibadah haji.
Maksudnya, jika waktu shalat pertama habis maka shalat yang kedua tidak lagi
sebagai waktu shalat pertama, namun ia milik waktu shalat berikutnya. Oleh
karena itu, orang yang kehabisan waktu suatu shalat, kemudian melaksanakannya
diwaktu lain, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain
mengatakan “silih berganti jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul”
artinya jika suatu waktu berlalu, maka muncul waktu yang lain.
12
Sedangkan dalam Tafsir Manaar mengungkap, sesungguhnya shalat itu
telah diatur waktunya oleh Allah SWT. كتابًاberarti wajib mua'kkad yang telah
batasan waktunya.
logis dari ayat tersebut adalah shalat tidak bisa dilakukan dalam sembarang waktu,
maupun Al-Hadis.
shalat. Penentuan awal waktu shalat ini dapat diperoleh dengan menggunakan cara
10
Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I’rab Al Qur’ani, Qatar: Daar
Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788
11
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i. Tafsir Ibnu Katsir. Gema Insani:Jakarta, jilid 3, hlm. 292.
12
Rasyid Ridha, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, juz 5, hlm. 383
6
melihat langsung pada tanda-tanda alam sebagaimana secara tekstual dalam hadis-
hadis Nabi, seperti menggunakan alat bantu rubu‟13, tongkat istiwa’ atau miqyas
yang dalam astronomis lebih dikenal dengan sundial14. Selain itu, waktu shalat
dapat diketahui melalui jadwal shalat abadi atau jadwal shalat sepanjang masa,
serta jadwal-jadwal shalat dari hasil hisab penentuan awal waktu shalat yang ada
dan berkembang dalam masyarakat sekarang ini. Hisab ini menghitung dan
13
Rubu’ berarti seperempat. Dalam istilah astronomi disebut kuadran (quadrant), yaitu
suatu alat untuk menghitung fungsi goniometris yang sangat berguna untuk memproyeksikan
peredaran benda langit pada lingkaran vertical. Lihat Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. 1, 2005, hlm. 129. Rubu’ al-Mujayyab atau Kuadran sinus
merupakan alat perangkat hitung astronomis untuk memecahkan permasalahan astronomi bola.
Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan rubu’ ini adalah al-Khwarizmi (770-840) dan
Ibn-Sathir (abad 11). Rubu’ al-Mujayyab yang berkembang di Indonesia ialah rubu’ hasil
pengembangan dari rubu‟ IbnSathir. (Lihat Hendro Setyanto, Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu
Falak “Zenith”, Rubu’, Bandung: Pundak Scintific, 2001, hlm. 3) dalam kitab-kitab falak klasik
biasanya menggunakan metode penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan rubu’.
14
Lihat Sundial; History, Theory, & Practice by Rene R.J.Rohr; translated by Gabriel
Godin, Toronto: University of Toronto Press, 1970. Dalam buku ini, ada beberapa istilah yang
dapat diartikan sebagai jam matahari atau sundial, yaitu hemisphere dan gnomons. Sundial (jam
matahari) adalah seperangkat alat yang digunakan sebagai petunjuk waktu semu lokal (local
apparent time) dengan memanfaatkan matahari yang menghasilkan bayang-bayang sebuah
gnomon yaitu, batang atau lempengan yang bayang-bayangnya digunakan sebagai petunjuk waktu
(gnomon merupakan salah satu bentuk dari sundial sederhana, oleh karena itu dianggap sebagai
nama lain dari sundial), chapter three, Classical Sundials, hlm. 46. Pada dasarnya, sebuah sundial
terdiri dari satu objek yang membentuk satu bayangan dari sebuah permukaan yang bergaris, yang
disebut dengan garis jam. Permukaan tersebut dinamakan table jam. (Basically, a sundial consists
of a surface on wich lines (the so-called hour-lines) have been traced; the surface is called the
table of the dial). Jika kita meruntut sejarah, menurut data literatur papyrus pada tahun 1450 SM,
sundial pernah dipakai di Mesir dalam bentuk obelisk yang saat itu digunakan untuk menentukan
waktu dan menseting kalender. Groping through history with this Ariadne’s thread, we learn from
the papyri that by about 1450 BC gnomons in the form of obelisks were used in Egypt for the
measurement of time and the setting up of calendar. Sekitar tahun 1000, bangsa Arab telah
menjadi ahli waris dari gnamon Yunani sebagaimana ilmu klasik lainnya. 15 buku mereka tentang
gnomonic ditulis dari abad 11-14. By around the year 1000, the Arabs had become the inheritors
of Greek Gnomonics, as well as of all the ather ancient sciences. Fifteen of their books on
gnomoniccs written during the period from the elevent to the fourteenth century ave survived,
Chapter one, History of The Sundial hlm. 5. Kemungkinan pada masa ni, kemudian umat Islam
memanfaatkan sundial untuk menentukan awal waktu shalat. Dalam bahasa Arab disebut juga as-
Sa’ah asy-Syamsiah atau mizwala. Lihat juga pada Susikanan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat,
hlm. 144.
7
Atas dasar kebutuhan pada masa modern ini, hisab penentuan awal waktu
waktu shalat yang memudahkan masyarakat dalam mengetahui awal dan akhir
waktu shalat. Jadwal shalat sekarang ini juga mudah didapatkan dalam kalender-
kalender yang beredar dalam masyarakat oleh perhitungan hisab para ahli falak.
Hampir di setiap kalender telah dicantumkan jadwal awal waktu shalat. Jadwal
awal waktu shalat yang ada dalam kalender-kalender tersebut dapat disesuaikan
awal waktu shalat antara satu daerah dengan daerah lain, yaitu antara lain:
1. Koordinat lintang tempat tersebut (Ф)15. Daerah yang terletak di sebelah utara
garis khatulistiwa (ekuator) memiliki lintang positif, dan untuk daerah yang
2. Koordinat bujur tempat tersebut (λ)16. Daerah yang terletak di sebelah timur
Greenwich memiliki bujur positif dan untuk daerah yang terletak di sebelah
3. Zona waktu tempat tersebut (z)17. Daerah yang terletak di sebelah timur
15
Lintang astronomi suatu tempat ialah sudut antara arah gaya berat (vertical) tempat
tersebut dengan bidang yang tegak lurus sumbu putar bumi. Baca K.J. Vilianueva, Pengantar ke
dalam Astronomi Geodesi, Bandung: Departemen Geodesi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Institut Teknologi Bandung, 1978, hlm. 4.
16
Bujur astronomi suatu tempat adalah sudut antara bidang di meridian tempat dan
bidang meridian dari Greenwich. Lihat ibid, hlm. 114. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa
bujur sama dengan selisih waktu local tempat bersangkutan dengan waktu Greenwich.
17
Pada dasarnya bumi dibagi dalam 24 wilayah waktu (zona waktu) yang dibatasi oleh
meridian-meridian dengan selisih bujur 15 derajat (1 jam). Dalam tiap wilayah ini berlaku satu
macam waktu wilayah dengan meridian tengahnya sebagai referensi. Wilayah 0 meridian
referensinya adalah meridian Greenwich. Ke timur dari Greenwich tiap wilayah diberi tanda +1,
+2, dst dan untuk wilayah arah barat diberi tanda -1,-2, dst. Untuk wilayah ke-12 dibagi dua oleh
“date line” dan untuk bagian barat diambil Δz = -12 sedangkan untuk bagian yang timur diambil
8
matahari. Tempat yang berada tinggi di atas permukaan laut akan lebih awal
dibandingkan dengan tempat yang lebih rendah. Satuan h adalah meter atau
feet (kaki).
tempat dari suatu daerah. Dari penelusuran penulis, kebanyakan jadwal waktu
shalat yang ada dalam kalender-kalender hanya memakai data rata-rata ketinggian
tempat. Bahkan tidak jarang, jadwal shalat tidak memakai data ketinggian tempat.
Jadwal awal waktu shalat yang tercantum dalam kalender keluaran Ponpes
Lirboyo, yang dipakai oleh hampir seluruh alumni tersebut, dalam hisab awal
Δz = +12. Bila seseorang melewati “date line” maka ia harus menyesuaikan hari kalendernya
dengan menambah atau mengurangi dengan satuan hari (24 j). selisih waktu untuk wilayah yang
berdampingan adalah satu jam. Untuk keseragaman di suatu negara maka wilayah waktu itu
disesuaikan dengan batas-batas negara. Lihat Ibid, hlm. 70-71. Untuk Indonesia sendiri dibagi
dalam 3 zona waktu, yaitu WIB, WITA, WIT.
18
h dalam astronomi digunakan sebagai simbol untuk tinggi, posisi tinggi matahari
biasaya menggunakan ho dan posisi tinggi bulan biasanya menggunakan h(.
19
Dalam penentuan awal waktu shalat, Ponpes Lirboyo menggunakan gabungan
ephimeris - kitab Tashil Auqat, dengan data ketinggian tempat yang dipakai 100m. (Hasil
wawancara dengan Bapak Yazid via telepon dan Bapak Reza melalui jaringan sosial Facebook,
mereka adalah penyusun kalender Ponpes Lirboyo yang selama ini beredar).
9
awal waktu shalat dalam software Athan20, di dalamnya tidak menggunakan data
ruang untuk menginput data ketinggian tempat untuk daerah yang dicari awal
waktu shalatnya.
Selain itu, yang lebih menarik dalam hal ini adalah dari beberapa ahli falak
penggunaan data ketinggian tempat terkait dengan kerendahan ufuk suatu tempat,
ho= - (ku + ref + sd) dalam mencari tinggi matahari, dengan ketentuan sebagai
berikut:
Formulasi ini digunakan oleh para ahli falak pada umumnya dalam menentukan
awal waktu shalat Maghrib, salah satunya adalah Slamet Hambali.23 Sedangkan
20
Softwere program waktu shalat dalam computer yang secara otomatis akan
membunyikan suara adzan ketika mulai waktu shalat, yaitu 5 kali dalam sehari. Dapat didownload
di http://www.islamicfinder.rg/athanContact.php
21
Bisa di download di www.rukyatulhilal.com
22
Shollu, copyrights ©2004-2008 program waktu shalat versi 3.00, oleh Ebta Setiawan.
Program ini bertujuan memberi peringatan kepada pengguna komputer bahwa waktu sholat telah
tiba atau sebentar lagi tiba. Sehingga pengguna bisa bersegera untuk mempersiapkan diri untuk
menunaikan sholat. Berbeda dengan versi 2.15 ke bawah, mulai shollu menggunakan koordinat
wilayah ( garis lintang dan garis bujur), ketinggian dan beberapa kriteria lainnya. Pengguna hanya
perlu setting sekali dan jadwal otomatis akan selalu update. Shollu dilengkapi dengan wilayah-
wilayah di Indonesia dan kota-kota besar di dunia. Untuk wilayah lainnya bisa download file
tambahan, bisa dilihat dalam help file.
23
Slamet Hambali, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, materi ini disampaikan dalam
pelatihan ketrampilan khusus bidang hisab-rukyah oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan
Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2007
10
dalam penentuan waktu Isya‟ dan Subuh, rumus tersebut dijumlahkan dengan
masing-masing ho -17° dan ho -19°. Namun, ada beberapa ahli falak yang sedikit
berbeda. Muhyiddin Khazin, dalam buku Ilmu Falak; Teori dan Praktek24
dalam perhitungan awal bulan. Sedangkan untuk perhitungan awal waktu shalat
Waktu Shalat, dalam mencari ku lebih memilih menggunakan bentuk decimal dari
mempunyai rumus sendiri yaitu dalam bukunya Ilmu Falak,25 dijelaskan bahwa
ku mar‟i dapat diketahui dengan rumus √3,2 h. Pada salah satu literatur astronomi,
respon ahli falak tehadap ketinggian tempat dalam penentuan waktu shalat. Maka
dari itu, penulis tertarik untuk mengkaji urgensi data ketinggian tempat dalam
ketinggian tempat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat. Selain itu,
24
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak; dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana pustaka,
hlm. 56
25
Abd. Rachim, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberti, 1983, hlm. 33
26
W.M. Smart, Textbook on Sperical Astronomy, London: Cambridge University Press,
1950, hlm. 318
11
penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana formulasi penentuan awal waktu
shalat yang ideal untuk digunakan diantara yang dipakai oleh beberapa ahli falak
tersebut.
data ketinggian tempat, namun dalam pemetaan wilayah dalam waktu shalat juga
masih kurang memperhatikan data ketinggian tempat. Jadwal waktu shalat yang
ada hanya menghitung salah satu titik yang mewakili satu wilayah kabupaten.
Oleh karena itu, penulis juga tertarik untuk mengkaji bagaimana toleransi waktu
seperti penggunaan waktu ihtiyat yang diberikan oleh beberapa ahli falak tersebut
B. Rumusan Masalah
agar skripsi lebih spesifik dan tidak terlalu melebar, maka dapat dikemukakan
pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:
shalat?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak di capai dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut:
awal waktu shalat, meliputi shalat apa saja yang dalam penentuan awal
2. Untuk mendapatkan formulasi penentuan awal waktu shalat yang paling ideal
penentuan awal waktu shalat meliputi tinggi atau rendahnya suatu daerah
mana yang dijadikan markaz perhitungan awal waktu shalat yang ideal dan
D. Manfaat Penelitian
formulasi penentuan awal waktu shalat dan seberapa besar toleransi urgensi
dapat merumuskan formulasi penentuan awal waktu shalat yang lebih akurat dan
ideal untuk digunakan meliputi daerah mana yang dijadikan patokan perhitungan
awal waktu shalat dan batas-batas penggunaan nama daerah dalam jadwal waktu
awal waktu shalat sehingga lebih memantapkan hati kita dalam beribadah.
13
akan datang. Pentingnya hasil penelitian ini bagi peneliti-peneliti yang akan
datang terutama terletak pada sisi ketersediaan data awal, karakteristik termasuk
E. Telaah Pustaka
penelitian yang secara khusus dan mendetail membahas pengaruh data ketinggian
shalat dalam formulasi penentuan awal waktu shalat dan toleransinya. Selama ini,
banyak penelitian mengenai shalat, waktu shalat, namun ditinjau dari berbagai
segi.
Anak di Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang27 dan skripsi oleh
Kelas VIII Di Mts Negeri Kendal28. Kedua penelitian tersebut lebih menekankan
27
Marfungah, Pengaruh Intensitas Shalat 5 Waktu Terhadap Motivasi Beragama Anak di
Panti Asuhan Yatim Piatu Darul Hadlonah Semarang, Skripsi Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
Semarang, 2005
28
M. Khoirul Abshor yang berjudul Pengaruh Pendidikan Shalat Pada Masa Kanak-
Kanak dalam Keluarga Terhadap Kedisiplinan Shalat Lima Waktu Siswa Kelas VIII Di Mts
Negeri Kendal, Skripsi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 2008
14
pada aspek sosial yang ditimbulkan dari pelaksanaan shalat 5 waktu dan praktek
Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum29 merupakan penelitian tentang shalat namun,
diambil dari segi fiqh dan lebih menekankan pada persoalan tayamum. Hampir
serupa, penelitian Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas
Hadis-Hadis Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi) oleh Nur „Aeni
meskipun membahas tentang waktu shalat, namun lebih menekankan pada segi
fiqhnya, yaitu membahas Hadis yang berkaitan dengan waktu shalat yang menjadi
Korelasi Beda Bujur dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah (Studi
Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur) oleh Abd. Salam yang
kota-kota markaz pada jadwal waktu shalat yang beredar di Jawa Timur, serta
akurasi konversi waktu shalat dari satu kota ke kota lainnya yang ditinjau dari
beda bujurnya.31 Selain itu, penulis hanya menemukan dua karya ilmiah yang
29
Mukhamad Hasanudin, Studi Analisis Pendapat Hasbi Ash Shiddiqie Tentang Bolehnya
Mengerjakan Dua Shalat Fardlu Dengan Satu Kali Tayamum, Skripsi Fakultas Syariah IAIN
Walisongo Semarang, 2004
30
Nur „Aeni, Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis
Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi), Skripsi Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga,
2009
31
Abd. Salam, Korelasi Beda Bujur Dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar Daerah
(Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur), Sunan Ampel, 2005
15
meneliti awal waktu shalat, yaitu skripsi Muhammad Hartaji, yang berjudul
Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu Shalat, yang hanya
menganalisa terhadap perbedaan lintang dalam waktu shalat.32 Skripsi lain ditulis
Lintang dan Bujur dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, yang
menjelaskan pengaruh lintang dan bujur tempat dalam penentuan awal waktu
shalat beserta toleransinya yang menurut skripsi ini yaitu dengan waktu ikhtiyat. 33
Namun, hampir dari setiap buku falak secara umum yang ada, di dalamnya
terdapat salah satu bab yang menjelaskan penentuan waktu shalat. Begitu pula
dengan kitab-kitab klasik falak yang ada. Mesipun antara buku falak dan kitab
falak klasik mempunyai konsep yang berbeda dalam formulasi penentuan awal
Diantara buku-buku falak tersebut ada buku Ilmu Falak Praktis; Metode
M.Ag34 dan Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik oleh Muhyiddin Khazin35.
Keduanya membahas ilmu falak secara umum, mulai dari arah kiblat, penentuan
awal waktu shalat, penentuan awal bulan qamariyah, hingga gerhana matahari
maupun gerhana bulan. Ilmu Falak oleh Abdur Rachim juga menjelaskan sekilas
32
Muhammad Hartaji, yang berjudul Analisis Terhadap Perbedaan Lintang Terhadap
Awal Waktu Shalat, Semarang : FAI Unissula, 2003.
33
Muntoha, Analisis Terhadap Toleransi Pengaruh Perbedaan Lintang dan Bujur dalam
Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, Skripsi Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang,
2004
34
Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi
Permasalahannya, Semarang: Komala Grafika dengan IAIN Walisongo Semarang, 2006
35
Muhyiddin Khazin, loc. cit.
16
tentang awal waktu shalat, namun pembahasan di dalamnya lebih ditekankan pada
sisi astronominya.
Selain itu, ada beberapa tulisan mengenai waktu shalat, seperti Rinto
terkait dengan waktu shalat lima waktu. Sedangkan tulisannya yang berjudul Cara
Awal Waktu Salat Perspektif Syar’i dan Sains oleh Susiknan Azhari
Dalam karya Mukhtar Salimi, Ilmu Falak; Penentapan Awal Waktu Shalat
dan Arah Kiblat berisikan landasan syar‟i dan landasan astronomi waktu shalat,
Departemen Agama RI, berisikan cara menghitung awal waktu shalat dengan
dilampiri tabel-tabel jadwal awal waktu shalat sepanjang masa di beerapa wilayah
di Indonesia.38
yang relatif tetap maka dengan mudah memperhitungkan terbit, tergelincir dan
terbenamnya matahari, demikian pula kapan matahari itu akan membuat bayang-
36
http://www.eramuslim.com/, yang diakses pada tanggal 22 April 2010
37
http://www.ilmufalak.or.id/ yang diakses pada tanggal 22 April 2010
38
Departemen Agama RI, Pedoman Penentuan Jadwal Awal Waktu Shalat Sepanjang
Masa, Jakarta, 1994
39
Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981
17
bayang suatu benda sama panjang dengan bendanya juga dapat diperhitungkan
untuk tiap hari-hari sepanjang tahun dan tentunya orang akan mudah melakukan
perhitungan ahli hisab. Jadi jelas bahwa Almanak Hisab Rukyat ini hanya sekedar
ini memuat jadwal-jadwal lima waktu shalat dalam masa satu tahun, tetapi hanya
pada tanggal 1, 5, 9, 13, 17, 21, 25, dan 29 pada tiap-tiap masehi. Dan dalam buku
ini dilengkapi daftar koreksi, agar jadwal tersebut dapat digunakan di berbagai
daerah.
Kitab Ilmu Falak dan Hisab41 oleh KRM. Wardan, memuat teori
berdasarkan ilmu yang berhubungan dengan tata surya, dan bola langit serta
istilah-istilah lingkaran untuk menentukan posisi benda langit. Dan juga memuat
praktik hisab untuk menentukan awal waktu shalat, arah kiblat, dan penggunaan
rubu‟.
Untuk kitabnya, ada kitab Khulashotul Wafiyah oleh KH. Zubair Umar Al
rubu‟.
terkait dengan persoalan hisab rukyah, maka penulis menelusurinya dalam Kamus
40
Sa‟aduddin Djambek, Almanak Djamilijah, Jakarta: Tintamas, 1953
41
KRM. Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: cet I, 1957
18
Ilmu Falak karya Muhyiddin Khazin42, serta karya Susiknan Azhari yang berjudul
pelatihan waktu shalat baik yang penulis ikuti sendiri maupun dari sumber-sumber
yang terkait. Dari telaah pustaka tersebut, menurut penulis belum ada tulisan yang
F. Metode Penelitian
kualitatif,44
1. Sumber data
ketinggian tempat yang penulis telusuri lewat pemikiran para ahli falak dan
data pustaka. Ada dua macam data yang dipergunakan, yakni data primer dan
data sekunder.
42
Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2005.
43
Susiknan Azhari, Ensiklipedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
44
Adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan
dalam keadaan sewajarnya, atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak dirubah dalam
bentuk simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan data
dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan / diinterpretasikan sesuai
ketentuan statistik/matematik. Hadawi dan Mimi Martin, Penelitian Terapan, Yogyakarta:
Gajahmada University Press, 1996, hlm. 174.
19
artikel, makalah seminar, atau buku karya para ahli falak, maupun
waktu shalat.
b. Data Sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh oleh peneliti
dari subjek penelitiannya atau bukan data yang datang langsung dari para
ahli falak yang diangkat pemikirannya atau data-data yang terkait dengan
maupun wawancara.
lainnya.
dengan ahli falak, yaitu Reza Zakariya dan Yazid (Lirboyo) terkait
ufuk, Dr. Ing. Khafid terkait dengan ketinggian tempat serta beberapa
Metode induktif ini digunakan dalam rangka membuat konklusi yang dimuat
dari hal-hal yang bersifat khusus menuju pembahasan yang bersifat umum.
pendapat antara ahli falak satu dengan yang lain yang berhubungan dengan
skripsi ini.
21
G. Sistematika Penelitian
Bab I : Pendahuluan
sistematika penulisan
waktu shalat yaitu dalil-dalil waktu shalat, penafsiran dan pendapat para
ulama‟ tentang waktu shalat serta pembacaan awal waktu shalat secara
waktu shalat yang selama ini dipakai dalam perhitungan awal waktu
waktu shalat yang dipakai oleh beberapa ahli falak baik yang metode
klasik maupun metode yang dipakai masyarakat sekarang ini. Pada bab
ini juga akan dipaparkan jadwal awal waktu shalat sebagai hasil
22
tersebut.
shalat.
Bab VI : Penutup
Bab ini berisi jawaban dan kesimpulan atas rumusan masalah, saran,
Artinya:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di
waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian
apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa‟:
103)37
Artinya:
Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari dan sebelum
terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari
dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang. (QS.
Thaha: 130)38
37
Departemen Agama Republik Indonesia, loc cit, hlm. 138
38
Ibid, hlm. 492
23
24
39
Ibid, hlm. 436
40
Ibid, hlm. 344-345
41
Ibid, hlm. 643
25
f. Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah r.a
ﻋﻦ ﻋﺑﺩ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻣز زﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗاﻝ اﻦ اﻟﻧﺑﻰ ﺼﻠﻰ اﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭظﻟﻡ ﻗاﻝ ﻮﻗﺖ
اﻟﻅﻬز اﺫا ساﻟﺖ اﻟﺷﻤص ﻮﻜاﻦ ﻈﻞ ﻜﻝ اﻟزﺟﻞ ﻜﻄﻮﻟﻪ ﻤاﻟﻡ ﻳﺤﺿز اﻟﻌﺼر ﻮﻮﻗﺖ
اﻟﻌﺼر ﻤاﻟﻡ تﺻﻔز اﻟﺷﻤص ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ اﻟﻤﻐزﺏ ﻤاﻟﻡ ﻴﻐﺏ اﻟﺸﻔﻖ ﻮﻮﻗﺖ ﺻﻼﺓ
اﻟﻌﺷاﺀ اﻠﻰ ﻨﺻﻒ اﻟﻳﻝ اﻻﻭظﻁ ﻭﻭﻗﺖ ﺼﻼﺓ اﻟﺻﺑﺢ ﻣﻦ ﻁﻠﻮﻉ اﻟﻔﺠز ﻤاﻟﻡ
)تﻁﻟﻊاﻟﺷﻣص(رﻭاﻩ ﻣظﻠﻢ
Artinya :
Dari Abdullah bin Amar RA berkata: rsulullah bersabda: waktu Dzuhur
apabila tergelincir matahari sampai bayang-bayang seseorang sama
dengan tingginya yaitu selama belum datang waktu Ashar dan waktu
Ashar selama matahari belum menguning, dan waktu Magrib selama
syafaq belum terbenam dan waktu Isya sampai pertengahan malam dan
waktu Subuh mulai fajar menyingsiang sampai matahari belum
terbit.(HR Muslim).
surat An Nisa 103 diartikan sebagai shalat merupakan kewajiban yang tidak
42
Program Hadis Kutubus Sittah, اﻟﺠاﻣﻊ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﻟﻠتزﻣذﻱ, kitab abwab as-shalat, no 001
43
Imam Muslim, Shohih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Kutub Ilmiah, jilid 2, 1994, hlm.
547
44
M.Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, vol. 2, 2005, hlm. 570
27
berubah, selalu harus dilaksanakan, dan tidak pernah gugur oleh sebab
apapun. Hal ini dipertegas oleh Tafsir Manaar45 bahwa sesungguhnya shalat
itu telah diatur waktunya oleh Allah SWT. كتاﺑًاberarti wajib mua'kkad yang
waktunya seperti ibadah haji (maksudnya, jika waktu shalat pertama habis
maka shalat yang kedua tidak lagi sebagai waktu shalat pertama, namun ia
milik waktu shalat berikutnya. Oleh karena itu, orang yang kehabisan waktu
dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain mengatakan “silih berganti
jika yang satu tenggelam, maka yang lain muncul” artinya jika suatu waktu
45
Rasyid Ridho, Tafsir Manaar, Dar Al Ma‟rifah: Beirut, hlm. 383
46
Muhammad nasib Ar-Rifa‟i, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3. Gema Insani:Jakarta, hlm.292.
47
Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf, Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240
28
shalat tak akan berubah sebagaimana dikatakan oleh Al Husain bin Abu Al
„Izz Al Hamadaniy.48
Maka konsekuensi logis dari ayat ini adalah shalat tidak bisa
Allah ”wa min anaail al-lail” pada waktu-waktu malam menunjukkan shalat
tahajud pada saat malam.50 Sedang ”wa min athrafa an-nahar” pada
sepakat bahwa ayat ini menerangkan shalat yang lima dalam menafsirkan
48
Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I‟rab Al Qur‟ani, Qatar: Daar
Ats Tsaqafah, juz I, hlm. 788
49
M. Quraish Shihab, op cit, vol. 8, hlm. 399-400
50
Muhammad Nasib Ar Rifa‟i, op cit, jilid 3, hlm. 1987. Surat Thaha ayat 130 ini
dilatarbelakangi ketika Nabi Saw sedang duduk-duduk bersama para sahabat, beliau mengadahkan
wajah ke langit melihat cahaya bulan, lalu berkata: ”Kalian melihat Tuhan seperti aku melihat
bulan ini, jika kalian sanggup mengerjakan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam
maka lakukanlah.” Lalu beliau membaca, ”Wa sabbih bi hamdi Rabbika qabla thulu‟i asy syamsi
wa qabla ghurubiha.” Selengkapnya baca Al Wahidy, Asbabun Nuzul, Beirut: Dar Al Kutub Al
Arabiyah, tt, hlm. 221
51
Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam, Kencana: Jakarta, 2006, cet I,
hlm. 512
29
Ka‟ab, Abu Ubaid, dan yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
shalat, yakni ketiga yang disebut Al-Biqa‟i dan shalat isya yang ditunjuk
oleh ghasaki lail. Kata إﻟﻲ غظﻖ اﻟﻠﻴﻞpada mulanya berarti penuh. Malam
Demikian disepakati juga oleh Auzair dan Abu Hanifah, Malik dan Syafi‟i,
Atas dasar ini, maka saat shalat yang disebutkan dalam ayat di atas
termasuk dalam shalat lima waktu. Adapun firman Allah “ mulai tergelincir
dan isya.53
benar sesuai dengan ketentuan rukun, syarat dan sunnah. Pada kedua tepi
52
M. Quraish Shihab, op cit, vol: 7, hlm. 523
53
Muhammad Nasib Ar Rifa‟i, op cit, .hlm. 85
30
siang, yakni pagi dan petang, atau Subuh, zhuhur, dan Ashar dan pada
bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib dan Isya‟ dan juga bisa witir
atau tahajud.54
Pada siang awal dan akhirnya, serta pada beberapa jam siang yang
yaitu:
shalat Maghrib adalah Isya‟ yang pertama, dan „atamah‟ adalah Isya‟
Isya‟.55
tasbih dalam ayat ini adalah shalat 5 waktu.56 “hiina tumsuuna” berarti
waktu shalat Ashar; “hiina tushbihuun” adalah shalat Subuh; “wa „asyiyaa”
54
M. Quraish Shihab, op cit, vol. 6, hlm. 355-356. Dalam suatu riwayat dari Ibnu
Mas‟ud r.a. dikemukakan bahwa seorang laki-laki setelah mencium seorang wanita secara tidak
sah lalu datang menghadap Rasul dan menberitahukan peristiwa tersebut kapada Rasul. Maka
wahyu Allah pun turun, (Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat). Laki-laki itu bertanya, “Apakah perintah itu khusus untukku?“ Nabi Saw
menjawab,“Perintah itu untuk semua umatku (yang menghadapi masalah serupa)“. Lihat
selengkapnya pada Hadis riwayat Bukhari no 327, dalam Irsadul al Sara Asy Syarah Shahih Al
Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, juz 1, hlm. 477
55
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al Qur‟anul Majid An-Nur.
Semarang: Pustaka Rizki Putera, juz 12, 2000, hlm. 184-186
56
Muhammad nasib Ar-Rifa‟i, op cit, hlm. 759
31
diartikan sebagai bahagian malam, yaitu shalat waktu Maghrib dan Isya‟;
maka para ulama sepakat bahwa waktu shalat terdiri dari 5 waktu shalat, yaitu
Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya‟ dan Subuh. Meskipun sepakat bahwa waktu
shalat terdiri dari 5 waktu shalat, namun sistem waktu shalat Syiah agak
berbeda, yaitu Syiah dikenal dengan sistem tiga waktunya walaupun jumlah
mengemukakan tentang waktu shalat yang hanya menyebut tiga waktu. Yang
dimaksud dengan طرفي النهارatau kedua tepi siang pada ayat tersebut adalah
shalat Shubuh untuk tepi siang yang pertama. Sedangkan untuk tepi yang
kedua adalah shalat Dzuhur dan Ashar. Sedangkan yang dimaksud dengan
زلفا من الليلadalah shalat Maghrib dan Isya serta ayat-ayat lain yang dalam
tiga waktu.59
57
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al Azhar, Singapura: Pustaka Nasional
PTE LTD, jilid 7, hlm. 5496
58
Lihat pada Muhammad Jawad Maghniyah, Fiqh al-Imam Ja‟far ash-Shadiq, Juz 1,
Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. VII, 2007, hal. 142-145.
59
Dalam pandangan Syiah, setiap waktu shalat mempunyai dua waktu sebagaimana yang
terdapat dalam kitab-kitab rujukan mereka (Ushul al-Kafi, karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad
bin Ya'qub al-Kulaini ar-Razi; Man La Yahduruhu al-Faqih, karya ash-Shadiq Ibnu Babawaih al-
Qummi; Al-Istibshar dan Tahdzib al-Ahkam karya Syaikh Abu Ja'far Muhammad Ibnu al-Hasan
ath-Thusy). Dua waktu bagi setiap shalat adalah sebuah sistem waktu shalat yang memberikan dua
waktu pilihan bagi setiap shalat, yaitu waktu tersendiri dan waktu bersama. Lihat pada M. Quraish
32
Indonesia khususnya) lebih memilih sistem 5 waktu shalat. Dalam hal ini,
selanjutnya.
Pada dasarnya, banyak hadis yang memperjelas waktu shalat yang telah
disebutkan dalam Al-qur‟an, namun penulis di sini hanya memngambil dua hadis
Sebagaimana hadis riwayat Jabir bin Abdulla r.a. telah memberi gambaran kelima
waktu shalat secara lebih jelas dengan posisi-posisi matahari yang menjadi
matahari dapat berperan untuk mengatur ritme kewajiban dzikir manusia kepada
Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkan?, Jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm.
245. Jadi, setiap shalat boleh dikerjakan pada waktu tersendiri boleh juga dikerjakan pada waktu
bersama. Waktu pilihan tersebut hanya berlaku untuk empat waktu shalat saja (tidak berlaku
untuk waktu shalat Shubuh atau Fajar) yaitu Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Oleh karena itu,
dalam sistem waktu shalat mereka dikenal tiga waktu, yaitu waktu Dzuhrain untuk shalat Dzuhur
dan Ashar, waktu Isya‟ain untuk waktu Maghrib dan Isya‟ serta waktu fajar untuk shalat Shubuh.
Pendapat tersebut mereka nyatakan dalam sebuah khabar yang berasal dari Imam Ja‟far ash-
Shadiq. Lihat pada Abu Ja‟far Muhammad bin Hasan ath-Thusy, Al-Kutub al-Arba‟ah al-Ibtishar
(1-4), Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. I, 2005, hal. 102.
33
1. Shalat Dzuhur
… … ﻮﻗﺖ اﻟﻅﻬز اﺫا ساﻟﺖ اﻟﺷﻤص ﻮﻜاﻦ ﻈﻞ ﻜﻝ اﻟزﺟﻞ ﻜﻄﻮﻟﻪ ﻤاﻟﻡ ﻳﺤﺿز اﻟﻌﺼر
60
Muhammad Jawa Mughniyyah, Fiqih Lima Madzhab, Diterjemahkan oleh Masykur
dkk dari Al-Fiqh „ala Al-Madzahib Al-Khamsah, Jakarta : Lentera, cet VI, 2007, hlm 74. Peristiwa
isra„ mi‟raj disebutkan dalam surat Al-Isra„ ayat 1 dan terdapat penjelasan mengenai bertemunya
Rasulullah dengan Jibril dalam bentuk aslinya dan kebesaran-kebesaran Allah yang disebutkan
dalam surat An-Najm ayat 5-18. Sedangkan turunnya perintah shalat 5 waktu didapatkan dari
Hadis riwayat Bukhari yang diriwayatkan dari Anas bin Malik. Dari hadis tersebut dikabarkan
bahwa Rssul saat mi‟raj bertemu dengan dengan para nabi terdahulu dan turun perintah shalat 50
waktu dalam sehari-semalam. Dalam perjalanan kembali, Rasul bertemu dengan Nabi Musa yang
selanjutnya memberi nasehat untuk meminta keringanan atas perintah shalat yang diterima Rasul,
karena umat Rasul dinilai tidak akan sanggup mengerjakannya sebagaimana Nabi Musa
mencobakannya pada umat dari Bani Israil terdahulu. Oleh karena itu diceritakan bahwa Rasul
meminta keringanan beberapa kali kepada Allah sehingga perintah shalat menjadi 5 waktu dalam
sehari-semalam. Sebenarnya Nabi Musa masih menyarankan agar Rasul meminta keringan lagi,
namun Rasul menolak dan berkata,“Aku telah meminta terlalu banyak dari Tuhanku dan itu
membuatku malu. Tapi aku rasa sekarang aku gembira dan berserah diri kepada perintah Allah.“
Dan ketika Rasul pergi, beliau mendengar suara berkata “Aku telah memberikan perintahKu dan
telah mengurangi beban para hambaKu“. Selengkapnya lihat pada Hadis riwayat Bukhari no. 349
dalam Al Jami„ Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, hlm. 382. Hadis ini dinalai shahih
dengan sanad Yahya bin Abu Bukair, Lais bin Su‟dan, Yunus, dan Muslim bin Abdullah bin
34
Jibril datang menyuruh Nabi shalat dzuhur pada hari pertama setelah tergelincir
matahari, dan datang lagi diwaktu Ashar saat bayangan benda sama dengan
benda tersebut. Pada hari kedua, Jibril datang menyuruh shalat Dzuhur pada
waktu bayangan benda sama dengan benda itu sendiri, tepat pada waktu
Sedangkan pada hadis kedua dijelaskan bahwa waktu Dzuhur ialah bila
matahari sudah tergelincir; atau oleh ulama lain diartikan condong ke Barat;
bayang suatu benda sama panjangnya dengan benda tersebut. Kata “ka-na”
diathafkan terhadap kata “za-lat”, yang maksudnya waktu Dzuhur itu tetap
selama belum masuk waktu Ashar. Inilah batasan bagi permulaan dan akhir
waktu Dzuhur.62
Dalam hal ini, para ulama‟ sependapat bahwa penentuan awal waktu
menentukan akhir waktu Dzuhur, ada beberapa pendapat yaitu sampai panjang
Syihab yang dianggap muttasil dan dikenal sebagai perawi-perawi yang dapat dipercaya. Lihat
pada Syekh Syihabuddin Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Tahdzib al Tahdzib,
Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H, hlm. 178-445. Dan juga lihat pada Syekh Islam Abi
Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Al Jarah wa Ta‟dil, Beirut: Dar Al Kutub,
1373 H, hlm. 247, serta lihat pula Imam Hafiz Syamsuddin Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi,
Mizan Al I‟tidal, Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt, hlm. 515.
61
Abu Bakar Muhammad, Subulus Salam, Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 306
62
Ibid, hlm. 305
35
Malik, Syafi‟I, Abu Tsaur dan Daud). Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah
meninggalkan meridian. Secara ilmu pasti ialah pada saat titik pusat matahari
bergerak dari meridian, atau saat bayang-bayang benda condong ke arah Timur
dan sudut yang dihasilkan dengan garis i‟tidal (garis timur-barat) bukan lagi
90°. 64
matahari, yaitu jarak titik pusat matahari saat kulminasi dari zenith yang dapat
pusat matahari saat kulminasi besarnya sama dengan harga mutlak lintang
tempat dikurangi deklinasi. Oleh karena itu, dalam penentuan awal waktu
90° – 𝑧𝑚.65 Atau biasanya diambil dua menit setelah tengah hari.66 Dan
beberapa hisab praktis, hanya menghitung waktu tengah antara terbit dan
63
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh Imam Ghazali dkk, dari Bidayatul
Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, Jakarta : Pustaka Amani, 2007, hlm. 66
64
Abd. Rachim, Op cit, hlm. 23
65
Ibid, hlm. 14-15
66
Moedji Raharto Tarmi, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide to
Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984, hlm. 55
36
2. Shalat Ashar
(kemudian Nabi shalat Ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari
aslinya)
Meskipun secara garis besar dapat dikatakan bahwa awal waktu Ashar
adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya, tapi hal ini masih
menimbulkan beberapa penafsiran. Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah r.a
Nabi Saw diajak shalat Ashar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan
sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak
(waktu untuk dua shalat), Imam Syafi‟i, Abu Tsaur dan Daud berpendapat
akhir waktu Dzuhur adalah masuk waktu Ashar; yaitu ketika panjang bayang-
67
Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 88
68
Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm. 74
37
Dan dalam penetapan akhir waktu shalat Ashar juga ada perbedaan
antara hadits Imamatu Jibril dengan hadits Abdillah, yaitu yang pertama dalam
hadits Imamatu Jibril sesungguhnya akhir waktu Ashar itu adalah ketika benda
itu sama dengan dua kali bayang-bayangnya (pendapat Imam Syafi‟i)70, dalam
Hambal), dan dalam hadist Abu Hurairah akhir waktu Ashar sebelum
fenomena seperti itu tidak dapat digeneralisasi akibat bergantung pada musim
atau posisi tahunan matahari. Pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada
waktu Dzuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu
waktu Dzuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di
69
Lihat pada Syamsudin Sarakhsi, Kitab Al-Mabsuth Juz 1-2, Beirut Libanon : Darul
Kitab Al-Ilmiyah, hlm 143. Dalam kitab ini disebutkan bahwa,
70
Menurut Imam Syafi‟i dalam kitabnya Al-Umm, waktu Ashar dalam musim panas yaitu
ketika bayangan benda sama dengan bendanya atau satu kali bayangan benda sampai ketika
habisnya waktu Dzuhur Awal waktu Ashar adalah bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama
dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya. Lihat
pada Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar Al-
Kitab, Juz I, tt, hlm 153.
71
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit, hlm.
205.
38
Ashar adalah saat bayang-bayang seseorang atau suatu benda sama dengan
berikut:
CAm menuju pada titik pusat matahari sewaktu di meridian. Jadi sudut
zAm ialah jarak dari titik zenith ke titik pusat matahari yang dinamakan zm.
semakin rendah, mis. di titik as, maka bayangan tongkat AB semakin panjang.
Pada awal Ashar, panjang bayangan itu adalah BCD, yaitu BC + CD. Jadi
72
Departemen Agama RI, op cit, (Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Masa), hlm
29. Sedangkan Saadoe‟ddin Djambek dalam pendapatnya menyatakan bahwa di antara dua
pendapat antara Imam Hanafi dan Syafi‟i yang dijadikan landasan dalam penentuan awal waktu
salat Ashar adalah pendapat Imam Hanafi dengan alasan pendapat Imam Hanafi juga
mempertimbangkan daerah-daerah kutub, dimana matahari pada awal Dzuhur tidak begitu tinggi
kedudukannya di langit dan dalam keadaan demikian bayang-bayang memanjang lebih cepat dari
pada ketika matahari pada tengah hari berkedudukan tinggi di langit seperti di negeri kita. Jika kita
menggunakan pendapat Syafi‟i sebagai syarat masuknya awal waktu Ashar maka masuknya waktu
Asar akan lebih cepat dan akibatnya waktu Dzuhur menjadi terlalu pendek dan waktu Asar akan
terlau panjang. Selengkapnya baca Wahbah az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, cet. II
Beirut : Dar al-Fikr, 1989, I : 509. Baca juga Hasbi ash-Shiddiqie. Pedoman Salat, cet. X , Jakarta
: Bulan Bintang, 1978, hlm. 128. Perhatikan pula Saadoe'ddin Jambek, Salat dan Puasa di daerah
Kutub, cet. I, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, hlm 9.
39
Z
m S
D a C b B
b +a b b b
cotg Δ ADB = = + = +1
a a a a
b
ialah tan Δ BAC atau tg Δ zAm, jadi tan zm.
a
𝑐𝑜𝑡𝑔 ℎ𝑎 = 𝑡𝑎𝑛 𝑧𝑚 + 1
Cotangent tinggi Ashar sama besarnya dengan tangens jarak zenith titik
3. Shalat Maghrib
73
Abdr. Rachim, op cit, hlm. 24-25
40
Dari kedua hadis, ada kesepakatan bahwa awal waktu Maghrib adalah
ketika matahari terbenam. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang akhir
waktu shalat Maghrib. Imam Hanafi, Hambali, dan Syafi‟i, berpendapat bahwa
untuk bersuci dan adzan dan tidak boleh mengakhirkanya (mengundurnya) dari
awal waktu Maghrib ialah ketika seluruh piringan matahari berada di bawah
ufuk yang biasa dikatakan posisi matahari -1°. Pada saat tersebut, garis ufuk
titik pusat matahari ke ufuk ialah seperdua garis tengah matahari. Garis tengah
matahari rata-rata ialah 32‟, jadi jarak titik pusat matahari ke ufuk ialah 1
2 ×
74
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,
hlm. 206
75
Muhammad Jawa Mughniyyah, op cit, hlm.75. Untuk akhir waktu Maghrib, ada
riwayat mengatakan pada hilangnya mega merah (Asy Syafaq Al Ahmar) menurut Qoul Jadid yang
sependapat dengan Abu Ishaq, Ats Tsaury, Abu Tsaur, Ashab Ar Ra‟yi dan sebagian Ashab Asy
Syafi‟i. Dan ada juga riwayat yang mengatakan bahwa waktu Maghrib hanya seukuran Wudhu,
adzan, iqamat, shalat Maghrib, dzikir dan shalat sunnah dua raka‟at. Pendapat kedua ini menurut
Qaul Qadim Imam Syafi‟i.
41
dengan menambah jarak titik pusat matahari tersebut; atau yang biasa disebut
refraksi rata-rata pada saat Maghrib senilai 0° 34‟; serta kerendahan ufuk.
Sehingga diperoleh rumus untuk mencari tinggi matahari (ho) pada saat
4. Shalat Isya‟
... ﺟاءﻩ اﻟﻌﺸاء حﻴﻦ ﺫﻫب ﻧﺼﻒ اﻟﻠﻴﻞ اﻭﻗاﻝ ثﻠث اﻟﻠﻴﻞ فﻘاﻝ ﻗﻢ فﺼﻠﻪ فﺼﻠﻰ اﻟﻌﺸاء...
bahwa pada saat hilangnya mega merah dan berlangsung hingga tengah malam.
Namun, dari kedua hadis tersebut, hadis kedua menyebutkan bahwa batas
waktu Isya‟ hingga tengah malam. Sedangkan pada hadis pertama, disebutkan
bahwa Jibril baru datang ;dihari kedua; ketika telah lewat separuh malam atau
sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya‟. Dari situ, ada tiga pendapat
untuk batas waktu Isya‟, yang pertama sampai sepertiga malam (menurut
76
Abd. Rachim, op cit, hlm. 26
42
Syafi‟i dan Abu Hanifah), kedua sampai separoh malam (menurut Imam
sebelah barat, yaitu tanda masuknya gelap malam. Peristiwa ini dalam falak
langsung mengenai bumi telah tidak ada, yang ada hanya cahaya yang
77
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,
hlm. 210. Pendapat pertama bahwa akhir waktu Isya„ adalah pada pertengahan malam dilansir oleh
Ats Tsaury, Ashab ar Ra‟yi (ulama yang condong pada akal dalam proses ijtihadnya), Ibnu Al
Mubarak, Ishaq bin Rawaih dan Abu Hanifah. Sedangkan akhir waktu Isya„ ialah sepertiga malam
seperti yang dilansir oleh Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Umar bin Abdul Aziz dan Asy Syafi‟i
(pada salah satu riwayat dari Ishaq bin Ibrahim dari Jarir dari Manshur). Untuk akhir waktu Isya„
saat terbitnya fajar sebagaimana dilansir oleh Asy Syafi‟i (pada riwayat lain), Abdullah bin Abbas,
Atha„, Thawus, Ikrimah dan Ahlu Ar Rifahiyyah. Selengkapnya lihat pada Sa‟id bin Muhammad
Ba‟asyun, Busyr Al Karim Syarh Al Muqadimah Al Hadhramiyah, Beirut: Dar Ihya Al Kutub Al
Arabiyah, tt, hlm. 56
78
There is one phenomenon that lengthens the fraction of the day given over to daylight.
Even after the sun has set, some sunlight is received by the observer, scattered and reflected by the
earth‟s asmosphere. As the sun sinks further below the horizon, the intensity of this light
diminishes. The phenomenon is called twilight and is classified as civil, nautical or astronomical
twilight. Civil twilight is said to end when the sun‟s centre is 6° below horizon, nautical twilight
ends when centre 12° below the horizon, while astronomical twilight ands when the centre of the
sun‟s is 18° below the horizon. Twilight is a nuisance, astronomically speaking, often preventing
the observation of very faint celestial objects. We shall see below that in some latitudes during part
of the year, twilight is indeed continuous throughtout the night, evening and morning twilight
merging because the sun‟s centre at all times of the night is less than 18° below the horizon. Lihat
A. E. Roy, D. Clarke, Astronomy Principles and Practise, published by Adam Hilger, Bristol:
Techno House, 1936,, hlm. 83.
43
paling panjang adalah sinar merah. Sinar merah ini yang biasa disebut mega
merah.79
twilight, yaitu ketika langit tampak gelap karena cahaya matahari di bawah
ufuk tidak dapat lagi dibiaskan oleh atmosfer. Dalam referensi standar
terlihat lagi jika matahari berada pada 18° di bawah ufuk (-18°), dengan jarak
pusat matahari sama dengan 108° (posisi matahari tenggelam 90° + 18°).
Ketentuan h Isya‟ -18° ini dipegang oleh Saadoeddin Djambek dan dalam
5. Shalat Subuh
(lalu Nabi shalat Fajar dikala fajar menyingsing atau ia berkata diwaktu
fajar bersinar)
79
Abd Rachim, op cit, hlm. 38-39
80
Rinto Anugraha, dalam artikel yang ditulis, Cara Menghitung Waktu Shalat, yang
diakses di www.eramuslim.com pada tanggal 13 November 2010
81
Saadoe‟ddin Djambek, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan
Bintang, 1394, hlm. 32
44
Kedua hadis telah jelas menyebutkan bahwa waktu Subuh adalah waktu
mulai terbitnya fajar shadiq dan berlangsung hingga terbitnya matahari. Para
ahli fiqh sepakat dengan pendapat tersebut, meskipun ada beberapa ahli fiqh
Syafi‟iyah yang menyimpulkan bahwa batas akhir waktu Subuh adalah sampai
(fajar astronomi), yaitu ketika langit tidak lagi gelap dimana atmosfer bumi
mampu membiaskan cahaya matahari dari bawah ufuk. Cahaya ini mulai
muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada
sekitar 18° di bawah ufuk (atau jarak zenit matahari=108° derajat). Pendapat
lain menyatakan bahwa terbitnya fajar sidik dimulai pada saat posisi matahari
20° derajat di bawah ufuk atau jarak zenit matahari adalah 110° (90° + 20°).84
matahari 20° derajat di bawah ufuk hakiki (true horizon). Hal ini bisa dilihat
dengan tampaknya fajar di bawah ufuk sebelah timur dan berakhir dengan
82
Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad Ibnu Rusyd, op cit,
hlm. 213
83
Fajar shidiq disebabkan oleh hamburan cahaya matahari di atmosfer atas. Berbeda
dengan fajar kidzib (cahaya zodiak), yang disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-
debu antarplanet.
84
Abd Rachim, op cit, hlm.39
45
didefinisikan dengan posisi matahari sebesar 20° dibawah ufuk sebelah timur.85
Sementara itu batas akhir waktu Subuh adalah waktu Syuruq (terbit), yaitu -1°.
Data yang diperlukan untuk menghitung awal waktu shalat, adalah sebagai
berikut :
(MP). Data saat kulminasi matahari dapat diperoleh dengan cara mengurangi
Waktu Hakiki (waktu matahari) dengan Perata Waktu (Equation of Time yang
Satu putaran kadang ditempuh dalam 24 jam tepat, kadang kurang, dan kadang
lebih. Akibatnya Waktu Hakiki itu boleh jadi berselisih beberapa menit dengan
Waktu Pertengahan, atau jam arloji, yang jalannya benar-benar rata. Selisih
85
Saadoe‟ddin Djambek, op cit, hlm. 45. Untuk h matahari saat terbitnya fajar shadiq dan
fajar kidzib sendiri terdapat perbedaan dari beberapa kalangan ahli falak dan ahli astronomi. Abu
Raihan Al Biruni berpendapat h matahari untuk waktu Subuh adalah sekitar -15° hingga -18°.
Dalam Al-khulashatul Wafiyah fil falaki Jadawidil Lughritimiyah (Zubair umar al-jaelani) hlm.
176, dan Ilmu Falak (Kosmografi) (P. Sima-Mora) hlm.82 disebutkan bahwa h matahari saat
Subuh adalah -18°. Sedangkan dalam Taqribul Maqshad fil „amali bir rubu‟il Mujayyab
(Muhammad Muhtar bin Atharid al-Jawi al-Bogori) hlm. 20, ad-Durusul Falakiyah (Muhammad
Ma‟shumm bin Ali al-Maskumambangi) hlm.12, dan Ilmu Hisab dan Falak (KRT Muhammad
Wardan Diponingrat) hlm. 72, menyebutkan bahwa h matahari saat Subuh adalah -19°
sebagaimana Ibnu Yunus, Al Khalily, Ibnu Syathhir dan Ath Thusiy..
86
Muhyiddin Khazin, Loc cit
46
antara Waktu Hakiki dengan Waktu Pertengahan itu disebut Perata Waktu. Jika
perjalanan matahari itu lambat maka nilai perata waktu negatif (-), dan jika
Dinamakan sudut waktu, karena bagi semua benda langit yang terletak
pada lingkaran waktu yang sama akan berkulminasi pada waktu yang sama
pula (atau jarak waktu yang memisahkan benda langit tersebut dari
berkulminasi, maka harga t-nya = 0°. Besar t diukur dengan derajat sudut dari
0° -180° dan selalu berubah ± 15°/ jam, karena gerak harian benda-benda
langit.87
Sudut waktu adalah sudut yang dibentuk oleh setiap lingkaran waktu
dengan lingkaran meridian. Sudut waktu matahari adalah jarak matahari dari
titik kulminasi diukur sepanjang lintasan harian. Sudut waktu disebut juga
Hour Angle atau dalam bahasa Arab disebut fadl al-daair. Sudut waktu ada dua
macam :
a. Sudut waktu Positif (+) yaitu sudut waktu untuk benda langit yang sudah
b. Sudut waktu Negatif (-) yaitu sudut waktu untuk benda langit yang belum
87
Abd Rachim, op cit, hlm. 7
47
Keterangan:
t = Sudut waktu
Ф = Lintang Tempat
δ = Deklinasi Matahari
h = Ketinggian Matahari
awal waktu shalat yang menggunakan data-data GMT, maka harus dilakukan
(dh - tp)÷15
Keterangan:
waktu pada setiap wilayah di dunia, maka dibentuk waktu daerah yang
Indonesia sendiri sejak tanggal 1 Januari 1964 terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:
88
Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 81
48
daerah tersebut.89
4. Ihthiyat
mengurangkan waktu agar jadwal waktu shalat tidak mendahului awal waktu
atau akhir waktu.90 Ihtiyat dari segi kegunaannya dibagi menjadi tiga, yaitu:91
pedomani ke batas sebelah barat ataupun sebelah timur dari daerah hisab.
antara daerah bagian timur dan barat yang biasanya terdapat selisih dalam
berbuka puasa. Ihtiyat ini juga digunakan untuk menentukan lintang dan
bujur suatu tempat yang biasanya diukur dari suatu titik (markaz) di pusat
b. Ihtiyat guna koreksi sesaat dalam hasil hisab, digunakan untuk mengoreksi
yang dimajukan beberapa menit dari awal Subuh atau juga beberapa menit
89
Abd. Rachim, op cit, hlm. 55-57
90
Depag RI, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Shalat Sepanjang Massa,op cit, hlm. 38
91
Abdur Rachim, op cit, hlm. 53
49
Dari keterangan di atas, maka dapat diformulasikan data dan rumus yang
1. Meridian Pass
MP = 12 – e
2. Rumus sudut waktu matahari
𝐶𝑜𝑠 𝑡 = 𝑠𝑖𝑛 ℎ ÷ 𝑐𝑜𝑠 Ф ÷ 𝑐𝑜𝑠 𝛿 − 𝑡𝑎𝑛 Ф 𝑥 𝑡𝑎𝑛 𝛿
3. Rumus tinggi matahari (ho)
- Ashar : Cotan ho = tan zm + 1 atau zm = [φ – δ]
- Maghrib : - (ku + ref + sd)
- 1º
- Isya‟ : - 17 + - (ku + ref + sd)
- 18º
- Subuh : - 19 + - (ku + ref + sd)
- 20º
- Terbit : (ku + ref + sd)
1º
4. Rumus koreksi waktu daerah : Kwd =(dh - tp)÷15
Sehingga rumus awal waktu shalat:
1. Dzuhur = MP + Kwd + i
2. Ashar = MP + t ÷15 + Kwd + i
3. Maghrib = MP + t ÷15 + Kwd + i
4. Isya‟ = MP + t ÷15 + Kwd + i
5. Subuh = MP - t ÷15 + Kwd + i
92
Depag RI, op cit, hlm. 39
50
falak klasik biasanya menggunakan dengn bahasa Arab ﻣﻴﻞ اﻟﺸﻤض, untuk
21 Juni mencapai nilai 23° 26‟ Utara atau dalam bahasa Arab disebut ﻣﻴﻞ
ألﻋﻈﻢ.94 Setelah itu, matahari mulai berbalik arah mendekati equator hingga
Lalu berbalik lagi ke arah utara mendekati equator hingga tanggal 21 Maret.95
93
Muhyiddin Khazin, op cit, hlm. 65
94
Dalam kitab Khulashatul Al Wafiyah disebutkan bahwa deklinasi terjauh (mailul
„adzom) khulashoh 23° 27‟, Lihat Zubair Umar Al Jailani, Khulashatul Al Wafiyah, tp, tt. hlm. 81.
Begitupun yang terdapat dalam Ephimeris deklinasi terjauh 23° 27‟, sedangkan dalam Tibyanul
Miqat 23° 52‟. Lihat juga pada Maksum bin Ali, Tibyan Al Miqat fi Ma‟rifat Al Auqat wa Al
Qiblah, Kediri: Madrasah Salafiyah Al Falaki, tt, hlm. 12
95
Abd Rachim, op cit, hlm. 8
51
b) Equation of Time.
matahari berbentuk elips (agak lonjong seperti telur). Oleh karenanya jarak
bumi dan matahari tidak tetap setiap saat, kadang-kadang dekat dan
berubah, kadang persis jam 12:00, kadang kurang dan kadang lebih dari
Arab mempunyai beberapa nama antara lain : , تﻌدﻳﻞ اﻟﻮﻗﺖ, تﻌدﻳﻞ اﻟشﻣاﻥdan
ﺩﻗائﻖ اﻟتﻔاﻭت.
2. Faktor yang Mempengaruhi Penentuan Awal Waktu Shalat Daerah satu dengan
Daerah lain
dengan melalui meridian bumi. Dalam bahasa Arab dinamakan ﻋزﺽ اﻟبﻠد
dan biasanya ditandai dengan huruf Yunani Ф (phi, cara baca : fi). Daerah
52
positif, dan untuk daerah yang terletak disebelah selatan garis khatulistiwa
shalat sepanjang tahun.97 Hal ini berkaitan dengan nilai deklinasi matahari
Arab bujur tempat itu dinamakan طﻮﻝ اﻟبﻠدyang biasanya ditandai dengan
bujur bumi (bujur 0), di mulai pada garis bujur yang melintasi kota
sampai 180 memiliki bujur positif dan untuk daerah yang terletak di
Garis bujur timur 180 dan garis bujur barat 180 bertemu dan berhimpit
96
Baca K.J. Vilianueva, op cit, hlm. 4
97
Muntoha, op cit, hlm. 52. Hal ini yang membuat beberapa ahli falak meniadakan
konversi waktu daerah untuk jadwal waktu shalat, salah satunya Tim Lajnah Falakiyah Lirboyo.
98
Lihat ibid, hlm. 114. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa bujur sama dengan
selisih waktu local tempat bersangkutan dengan waktu Greenwich.
53
Masehi.
shalat.99
Dalam tiap wilayah ini berlaku satu macam waktu wilayah dengan
memiliki z negatif. Untuk wilayah ke-12 dibagi dua oleh “date line” dan
untuk bagian barat diambil Δz = -12 sedangkan untuk bagian yang timur
99
Muntoha, op cit, hlm. 51
54
Indonesia Barat (+7), Waktu Indonesia Tengah (+8), dan Waktu Indonesia
permukaan laut akan lebih awal menyaksikan matahari terbit serta lebih
100
Lihat Ibid, hlm. 70-71.
101
Satu meter sama dengan 3,048 feet
BAB III
A. Ketinggian Tempat
Faktor yang mempengaruhi waktu shalat antara daerah satu dengan daerah
lainnya salah satunya ialah tinggi tempat. Tinggi secara geodetik (h) adalah jarak
titik yang bersangkutan dari ellipsoid referensi di dalam arah garis normal
pengukuran dari ilmu ukur tanah, yaitu ilmu yang mempelajari tentang teknik-
teknik pengukuran di permukaan bumi dan bawah tanah dalam areal yang terbatas
untuk keperluan pemetaan dan lain-lain. Ketinggian tempat dalam geodesi lebih
dikenal dengan sebutan beda tinggi. Menurut ilmu ukur tanah, beda tinggi di atas
permukaan bumi dapat ditentukan dengan berbagai cara, yaitu sesuai dengan
1. Sipat datar
menentukan beda tinggi antara titik-titik di atas permukaan bumi secara teliti.
Tinggi suatu objek di atas permukaan bumi ditentukan dari suatu bidang
referensi, yaitu bidang yang ketinggiannya dianggap nol yang dalam istilah
102
Eddy Prahasta, Konsep-konsep Dasar Sisitem Informasi Geografis, Bandung: Penerbit
Informatika, 2002, hlm. 140. Ellipsoid referensi ialah pendekatan model geometric bentuk bumi
yang diperlukan untuk hitungan-hitungan geodesi yang akurat dengan jangkauan yang sangat jauh.
Lihat pada hlm. 120
103
Slamet Basuki, Ilmu Ukur Tanah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006,
hlm. 139-140
55
56
equipotensial yang berimpit dengan permukaan air laut rata-rata (mean sea
level). Bidang-bidang ini selalu tegak lurus dengan arah gaya berat dimana
saja di permukaan bumi. Istilah sipat datar di sini berarti konsep penentuan
beda tinggi antara dua titik atau lebih dengan garis bidik horizontal yang
diarahkan pada rambu-rambu yang berdiri tegak atau vertikal. Alat ukurnya
2. Takhimetrik
untuk menghitung jarak mendatar dan vertikal dengan bacaan rambu ukur
yang terdapat pada alat reduksi system takhimetri. Beberapa alat reduksi
system takhimetri yang ada di Indonesia antara lain busur stadia Beaman,
3. Trigonometrik
mengukur sudut miring atau sudut vertikalnya dengan jarak yang diketahui,
104
Ibid
105
Ibid, hlm. 88-93
106
Ibid, hlm. 242
57
4. Barometrik
udara disetiap tempat, namun karena variasi tekanan udara berkaitan dengan
tinggi tempat, maka oleh karena itu, dapat juga diukur beda tinggi. Alat
pengukuran beda tinggi dengan ketelitian yang lebih tinggi dibanding dengan
digunakan untuk menentukan beda tinggi antara dua buah titik atau lebih,
pengukuran sipat datar dimulai dari Pulau Jawa pada tahun 1925. Nilai tingginya
mengacu pada hasil pengamatan pasang surut di Tanjung Priok. Namun, akibat
perang dunia ke-2, banyak titik control geodesi hilang dan rusak, maka didirikan
1969, yang bertugas dalam pengadaan peta rupa bumi Indonesia. Pada tahun 1980
107
Ibid, hlm. 255
58
vertikal di Jawa dengan membangun sipat datar orde pertama sepanjang 4657 km
dengan Titik Tinggi Geodesi yang disingkat dan dikenal dengan TTG sebanyak
(Navigation Satellite Time and Ranging) yang lebih dikenal dengan teknologi
Globlal Positioning System yang disingkat dengan GPS untuk keperluan sipil,
maka dalam rangka kerja sama penelitian antara BAKOSURTANAL dan National
Saat ini dengan perkembangan teknologi yang ada, data keinggian tempat
dapat dilihat dan diperoleh selain dari BAKOSURTANAL, dapat diperoleh juga
dari GPS, atau softwere-sofwere yang ada di internet yang menyajikan data
ketinggian tempat untuk umum seperti Google Earth, Google Map, dll.
Isya’, dan Subuh. Dan beberapa formulasi dalam penentuan waktu shalat antara
satu dengan yang lain terdapat sedikit perbedaan mengenai data ketinggian
menghitung kerendahan ufuk (ku/dip), namun ada juga ahli falak yang
108
Joinil Kahar, Geodesi: Teknik kuadrat terkecil, Bandung: Penerbit ITB, 2006, hlm. 55
109
Ibid, hlm. 87
59
waktu shalat.
Shalat
1. Kitab Klasik
terdapat konsep koreksi kerendahan ufuk yaitu saat proses perhitungan waktu
shalat Maghrib. Konsep koreksi ini biasanya disebut ikhtilaf ufuk atau dikenal
juga dengan istilah daqaiqul tamkin. Dari kitab falak klasik yang pernah
110
Ahmad Ghazali, Irsyadul Murid, Jember: Yayasan An Nuriyah, 2005, hlm. 134
60
of time. Pengambilan data tersebut diambil data pada jam 12 WIB. Dalam
pantai selatan – pantai utara mana yang lebih dulu dan yang lama masuk awal
111
Slamet Hambali saat ini tercatat sebagai Wakil Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), anggota Muker dan Raker Badan Hisab Rukyah Kementerian
Agama, sebagai anggota Badan Hisab Rukyah Indonesia Jakarta dan merupakan Wakil Ketua Tim
Hisab Rukyah Jateng. Selain itu juga menjadi dosen pengajar Ilmu Falak di IAIN Walisongo
Semarang dan UNISULA (Universitas Sultan Agung) Semarang.
61
shalat. sehingga dapat digunakan untuk daerah lain yang lintangnya berbeda
3. LIRBOYO114
waktu shalat. Hampir seluruh santri maupun alumni dari pondok tersebut
selama ini memakai dan menggunakan jadwal tersebut sebagai acuan dalam
sebagai tinggi rata-rata kota Kediri dengan rumus ku: 0,0293 √h.
112
Wawancara dengan Slamet Hambali pada tanggal 11 Januari 2011
113
Jadwal ini menggunakan lokasi Semarang dengan pengambilan salah satu titik dengan
lintang -7° LS untuk batas utara dan mepertimbangkan batas selatan dengan pengambilan titik -7°
48’ LS. Sedangkan untuk garis bujurnya diambil titik 110° 24’ BT.
114
PP. Madrasah Hidayatul Mubtadi’in (MHM) Lirboyo lebih dikenal dengan PP.
Lirboyo karena berada di Lirboyo Kediri yang dibangun pada tahun 1910 oleh KH. Abdul Karim
atau sering dipanggil Kiai Manab. Lihat pada Album PP. Lirboyo 2002, hlm. 98-106. Pondok ini
merupakan salah satu pondok salaf tertua yang ada di Indonesia dan telah mencetak lebih dari
100.000 santri yang berasal dari seluruh pelosok Indonesia. Untuk th. 2006 saja, santri Lirboyo
tercatat mencapai + 9.060 yang ditampung dalam kamar sebanyak + 400 kamar.
62
konversi waktu dianggap tidaklah konsisten dalam setiap bulannya. Itu semua
tergantung pada lintang dan deklinasi yang ada pada saat tersebut. Konversi
waktu dapat diadakan jika lintang kedua daerah dari markas jadwal waktu
dipimpin oleh Reza Zakariya ini meniadakan konversi waktu antar kota. Hal
ada dan konversi waktu antar kota yang dipakai oleh beberapa ahli falak yang
di situ menunjukkan bahwa ada ketidak kontinuitasan. Oleh karena itu, dalam
waktu yang dapat dikatakan bersifat lokalitas. Artinya, satu jadwal waktu
shalat hanya dapat dipakai oleh daerah tersebut saja, sedangkan untuk daerah
shalat yang dibuat adalah jadwal waktu shalat dengan menggunakan wilayah
markas Kediri.
Jadwal waktu shalat PP. Lirboyo dibuat oleh Tim Lajnah Falakiyah
Lirboyo sama dengan jadwal waktu shalat pada umumnya, yakni melalui
satu perhitungan karena selisih per 3 hari masih dapat diatasi dengan ihtiyat
yang digunakan, yakni 1-2 menit. Untuk penyajian konversi daerah menurut
63
ketinggian tempat menurut beliau tidak perlu diadakan karena selisih tidak
mencapai 3 menit. Oleh karena itu, nilai ihtiyat dianggap dapat menutupi
selisih tersebut.115
Table 2. Jadwal waktu shalat Kalender Lirboyo daerah Kediri Januari 2011
4. Saaduddin Djambek
Djambek menyajikan tabel jadwal waktu shalat abadi dalam kurun satu tahun
dengan dilengkapi data lintang yang dapat disesuaikan dan dikoreksi selisih
masing daerah di sini disesuaikan menurut deklinasi dan lintang tempat dari
115
Wawancara dengan Reza Zakariya, Ketua Tim Lajnah Falakiyah PP. Lirboyo Kediri
Jawa Timur via telepon pada tanggal 15 Januari 2011
64
diperhitungkan bagi waktu syuruq dan waktu Maghrib bagi ketinggian mata d
atas daerah sekeliling. Dalam almanak sepanjang masa disebutkan bahwa hal
ini disebabkan oleh karena persoalan syuruq dan ghurub dipengaruhi oleh
kedudukan ufuk mar’i (visible horizon). Oleh bentuk bumi yang bulat, ufuk
ufuk ini mengakibatkan matahari kelihatan lebih cepat terbit dan lebih lambat
tenggelam.
sebagaimana yang tercantum pada table, tetapi cukup sebanyak 0,5 menit atau
paling tinggi 1 menit. Berbeda jika kita berada pada suatu tempat yang
5. Muhyiddin Khazin117
menggunakan data h matahari Maghrib: -1°, h Isya’: -18°, h Subuh: -20° dan
6. Shollu
komputer bahwa waktu sholat telah tiba atau sebentar lagi tiba. Sehingga
Berbeda dengan versi 2.15 ke bawah, Shollu versi ini menggunakan koordinat
wilayah (garis lintang dan garis bujur), ketinggian dan beberapa kriteria
lainnya. Pengguna hanya perlu setting sekali dan jadwal otomatis akan selalu
besar di dunia. Untuk wilayah lainnya bisa download file tambahan, bisa
116
Saadoeddin Djambek, op cit, hlm. 21
117
Muhyiddin Khazin pernah menjabat sebagai tenaga pengajar Ilmu Falak di UIN
(Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kepala Sub Direktorat Pembinaan Syariah
dan Hisab Rukyat pada Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Ditjen Bimas
Islam Kementerian Agama, Ketua Lajnah Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, anggota
Muker dan Raker Badan Hisab Rukyah Kementerian Agama, dll.
66
dilihat dalam help file. Di samping itu, Shollu memberikan pilihan dalam
Sedangkan untuk waktu Subuh dan Isya’, disediakan beberapa pilihan konsep
matahari yang diinginkan. Selain itu, pengguna juga dapat menambah pesan
7. Athan
Program Athan hanya menyajikan data-data negara saja, sedangkan kita harus
menginput nama kota beserta data lintang, bujur dan penambahan waktu
GMT secara manual. Untuk data ketingian tempat tidak disediakan. Namun,
untuk data h matahari dalam waktu Subuh dan Isya’ diberikan kolom untuk
menginput data berapa nilai h yang ingin digunakan. Selain itu Athan juga
(mahdzab Syafi’i, Maliki dan Hambali) atau konsep waktu shalat mahdzab
8. Accurate Times
salah satu anggota Jordanian Astronomical Society (JAS) dan sebagai Wakil
lembaga Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS). Program
tahap fase bulan; dan juga menghitung arah kiblat dan lain sebagainya.
matahari waktu Subuh dan Isya’ pada umumnya menggunakan 18° di bawah
diingini seperti -16°, -19° atau -20°. Dalam Accurate Times terdapat kolom
pada location untuk menginput data ketinggian waktu shalat yang diberi
nama elevation dengan satuan meter untuk koreksi tinggi pengamat. Bahkan
didalamnya juga disediakan kolom untuk menginput data suhu tempat yang
berpengaruh pada refraksi. Selain itu, juga terdapat kolom untuk menginput
ihiyat yang akan digunakan oleh user dan dapat memilih menggunakan
mahdzab Hanafi.
9. Mawaaqit
PASCAL dalam DOS oleh Dr. Ing. Khafid. Program ini ditulis dalam empat
pilihan bahasa, yaitu Inggris, Belanda, Jerman dan Indonesia. Dalam program
ini terdapat beberapa menu utama, yaitu program Al-qur’an, Al-hadis, waktu
68
shalat dan arah kiblat, kalender, gerhana serta grafik. Pada masing-masing
menu utama terdapat beberapa menu lagi yang berkaitan dengan menu utama
tersebut. Dalam menu waktu shalat dan arah kiblat, salah satunya disajikan
pilihan jadwal waktu shalat untuk satu hari, satu bulan, dan satu tahun.
Meskipun dibuat oleh Dr. Ing. Khafid yang notabenenya seorang ahli geodesi,
ketinggian tempat. Dalam Mawaaqit hanya disediakan nama lokasi yang telah
tersave beserta data lintang, bujur dan zona waktunya. Sedangkan untuk
h matahari yang akan digunakan dalam perhitungan shalat Subuh dan Isya’.
Sedangkan untuk shalat Ashar user dapat memilih 3 opsi, yaitu konsep waktu
Ashar mahdzab Syafi’i, konsep waktu Ashar mahdzab Hanafi, atau konsep
pengaruh ketinggian tempat itu sendiri. Mereka yang tidak menggunakan koreksi
waktu Isya’ -18°, dan untuk waktu Subuh -20°. Sedangkan literatur lain
69
yaitu118:
Formulasi ini yang digunakan oleh sebagian besar ahli falak yang
menggunakan koreksi ketinggian tempat, salah satuya ialah Slamet Hambali yang
Dalam buku Ilmu Falak; Penetapan Awal Waktu Shalat dan Kiblat
oleh Muchtar Salimi dijelaskan bahwa Dip dapat dihitung dengan rumus Dip
kerendahan ufuk ini berdasarkan turunan rumus yang bermula dari rumus
pitagoras, yaitu:
118
Masing-masing formulasi menghasilkan nilai dip/ku yang bersatuan menit derajat
119
Almanak Nautika, Jakarta: TNI-AL Dinas Hidro Oseanografi, 1995, hlm. 259
120
Materi Perhitungan Waktu Shalat, yang disampaikan oleh Uzal Syahruna
121
Muchtar Salimi, Ilmu Falak; Peenetapan Awal Waktu,Shalat dan Arah Kiblat,
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1997, hlm. 41
122
Abdur Rachim, op cit, hlm.33
70
h D
d
R N
R
O
bumi yang ditarik lurus hingga ellipsoid (R), dengan garis siku horizontal dari
garis perpanjangan dari garis pusat bumi (R + h), serta garis kerendahan ufuk
d = √(R + h)2 − R2
= √ R2 + 2Rh + h2 − R2
= √ 2Rh + h2
hanya berjumlah beberapa meter saja, maka dalam bentuk √ 2Rh + h2, jumlah
d = √ 2Rh
2R merupakan bilangan tetap yang bernilai kira-kira 12.000 km. Jika bilangan
d = √12h
71
Artinya, d adalah besar jarak dari mata kita hingga ke kaki langit atau
kerendahan ufuk, kita dapat memasukkan angka keliling bumi, yaitu sekitar
Angka √3,5h ialah angka kerendahan ufuk yang juga refraksi. Maka
pengaruh refraksi. Oleh karena itu, rumus yang lebih mendekati ialah:123
d = √3,2 h
5. Dip/ku: 0,032° √ℎ
Dalam buku Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!
R α R
Cos α = atau 1 – 2 sin2 =
R+h 2 R+h
α h α h
sin2 = atau sin = √2(R+h)
2 2(R+h) 2
123
Ibid, hlm. 34
72
karena α dan α/2 adalah sudut yang kecil, maka sin α/2 = α/2 rad. Dan
α h 2h
= √2R atau α = √ R
2
maka:124
α = 0,032° √ℎ
rumus ini penulis dapat dari Rinto Anugraha126 dengan penjelasan sebagai
berikut:
R = jari-jari bumi.
124
Dimsiki Hadi, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania,
2010, hlm. 100
125
Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, op cit, hlm. 118
126
Hasil wawancara via email dengan Dr. Eng. Rinto Anugraha, salah satu pemerhati
ilmu falak, yang juga dosen Fisika UGM, yang aktif menulis di www.eramuslim.org
73
menjadi
sehingga
x = (2h/R)0.5
bersatuan derajat, dikalikan 180/pi. Jika bersatuan menit busur, dikalikan 60.
Maka hasilnya,
the celestial sphere (memuat ketinggian benda langit, azimuth, sudut waktu,
planet dari system geosentri dan heliosentri, inklinasi, posisi sudut matahari),
127
W.M. Smart, op cit, hlm. 318W
74
dll. Dalam buku ini dip/ku dijelaskan pada bab Determination of Position at
Sea.
T star
Z
P O
H T h
A S
V φ
a
C
OAT = β φ
Kita tahu OAC = 90° − β φ ; AOC = 90° − (θ + β φ); maka:
90° − β φ + 90° − (θ + β φ) + φ = 180°
Dari φ (1 − 2β) = θ
sin (90° − β φ) sin (90° − θ−β φ)
=
𝑎+ℎ 𝑎
θ 1
2 sin 2 sin 2 (θ+2β φ) h
Atau =
cos (θ+β φ) 𝑎
Karena θ dan φ ialah sudut yang kecil, maka kita dapat menulisnya sebagai
berikut:
θ (θ + 2β φ) = h/𝑎
atau θ2 = 2 (1 − 2β) h/𝑎
masukkan nilai β dan θ dalam bentuk nilai sudut, maka kita mendapat:
22h
θ = √13𝑎 cosec 1’
75
sekarang 𝑎 = 3960 x 5280 kaki dan cosec 1’ = 3438. Maka kita mendapat
nilai:
Shalat
128
Jadwal waktu shalat yang tidak menggunakan koreksi ketinggian tempat, tapi
menggunakan posisi matahari rata-rata terbenam
77
Tabel 8. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Isya’ Markaz Semarang Januari 2011
Untuk Beberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110o 24' BT)
Tabel 9. Komparasi Jadwal Waktu Shalat Subuh Markaz Semarang Januari 2011
Untuk Beberapa Ketinggian Tempat (Lintang: 7o LS, Bujur: 110o 24' BT)
Waktu Shalat
penggunaan data ketinggian tempat oleh para ahli falak. Perbedaan respon dan
awal waktu shalat. Oleh karena itu, untuk mengetahui urgensi tidaknya ketinggian
extinction, yaitu pengurangan kecerahan suatu benda langit sebagai foton benda
langit tersebut untuk menembus atmosfer kita. Efek dari atmospheric extinction
ini tergantung pada transparasi, ketinggian pengamat, dan sudut puncak (sudut
dari puncak untuk satu baris dari penglihatan). Ketika sudut puncak meningkat,
cahaya dari objek bintang harus melalui suasana yang lebih, sehingga mengurangi
80
81
kecerahan. Oleh karena itu, bintang dekat zenit terlihat lebih terang daripada saat
mendekati horizon.129
Molekuler, terutama disebabkan ozon atmosfer dan air, yaitu sekitar 0,02 besarnya
kemudian turun dengan jumlah yang kecil pada ketinggian 50 km. Sedangkan
bergerak dengan udara pada ketinggian yang berbeda bergerak dalam arah yang
berbeda pada berbagai kecepatan. Sinar yang melewati lapisan dibiaskan dengan
jumlah yang terus berubah. Pada rentang waktu puluhan milidetik, posisi bintang
akan berubah oleh pecahan detik derajat.132 Sehingga, pada saat mencapai tanah,
sinar mungkin telah bergeser ke posisi yang sedikit berbeda dan kecerahannya pun
extinction yang lebih kecil. Begitu pula atmospheric extinction di musim dingin
129
http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm yang diakases pada tanggal 16 Maret
2011, situs ini disarankan oleh Hendro Setyanto dari hasil wawancara penulis via facebook pada
tanggal 1 Maret 2011
130
Ibid
131
Bayong Tjasyono, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Catatan Kuliah; GM-322
Meteorologi Fisis, Bandung: Penerbit ITB, 2001, hlm 1.3
132
http://spiff.rit.edu/classes/phys559/lectures/atmos/atmos.html yang diakses pada
tanggal 26 Maret 2011
82
(dalam hal ini yang dimaksud adalah matahari) lebih rendah dari sekitar 45o.
0,28 magnitudo. Sedangkan jika suatu benda langit pada ketinggian 12,5o,
kepunahan adalah 1,28 magnitudo, meningkat sebesar 1,00 magnitudo lebih besar
dari puncak pada saat 45o. Efeknya menjadi jauh lebih dramatis di ketinggian
refraksi. Bila sinar cahaya lewat dari ruang hampa angkasa antar bintang ke dalam
ruang hampa dengan kecepatan sinar dalam ruang medium disebut indeks refraksi
karena tekanan barometric dan tekanan parsial uap air lebih cepat dibandingkan
bawah.134
133
Op cit, http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm. Selain mengurangi kecerahan,
atmospheric extinction juga menyebabkan memerahnya suatu bintang. Fenomena ini terkait
dengan extinction (kepunahan) antar bintang di mana spektrum radiasi elektromagnetik dari
sumber radiasi mengubah karakteristik dari objek yang awalnya dipancarkan. Matahari biasanya
menjadi redup pada panjang gelombang pendek dengan terangnya tersebar di langit latar depan,
dan cahaya ditransmisikan sehingga yang tersisa dan tampak adalah cahaya merah. Memerah ini
terjadi karena hamburan Rayleigh mempengaruhi cahaya biru sehingga sudut zenith meningkatkan
ada kemerahan yang sesuai dari objek bintang. Inilah yang menjadikan matahari ataupun bulan
tampak merah ketika senja dan pagi hari. Lihat pada http://mintaka.sdsu.edu/GF/
explain/extinction/extintro.html yang diakses pada tanggal 27 Maret 2011
134
Bayong Tjasyono, op cit, hlm. V.8 – V.11
83
pengamat. Kerendahan ufuk atau ikhtilaful ufuq ialah perbedaan kedudukan antara
ufuk hakiki (ufuk yang sebenarnya) dengan ufuk mar’i (ufuk yang terlihat) oleh
seorang pengamat.
pengamat di muka laut berbeda dengan kedudukan atau arah horizon bagi
pengamat di tempat yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan bumi dianggap
berbentuk bulat.135 Bila tinggi suatu benda langit diamati pada ketinggian tertentu
di atas permukaan air laut, maka tinggi benda langit yang terlihat tersebut adalah
tinggi dari horizon pengamat (ufuk mar’i), bukan horizon hakiki. Horizon hakiki
adalah suatu bidang yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis
vertikal.136
Saat kita berdiri di atas bumi, maka letak mata kita tidak pernah tepat pada
permukaan bumi, akan tetapi senantiasa pada jarak tertentu di atasnya. Oleh
matahari dan bulan, matanya tidak akan tepat di permukaan bumi maupun di
permukaan laut, melainkan pada ketinggian tertentu di atas benda langit tersebut.
Jika dari pengamat ditarik garis lurus sejajar dengan bidang horizon, maka
garis atau bidang ini yang disebut dengan ufuk hakiki yang berjarak 90° dari
zenith. Sedangkan ufuk yang terlihat dan tampak di lapangan merupakan batas
laut. Garis lurus yang ditarik dari batas persinggungan ini yang disebut dengan
ufuk mar’i. Maka dari itu, ufuk mar’i lebih rendah daripada ufuk hakiki. Perbedaan
135
Dimsiki Hadi, op cit, hlm. 99
136
Abdr Rachim, Op cit, hlm. 29
84
ini lah yang dinamakan kerendahan ufuk, atau dalam istilah astronomi dikenal
dengan dip.
Dip atau kerendahan ufuk ini sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat.
Semakin tinggi kedudukan mata kita, semakin besar nilai kerendahan ufuk.
Sehingga, tempat yang berada lebih tinggi akan menyaksikan benda langit terbit
lebih awal serta melihat benda langit terbenam lebih akhir, dibandingkan dengan
tempat yang lebih rendah. Koreksi kerendahan ufuk yang dipengaruhi oleh
ketinggian tempat adalah untuk koreksi jika tinggi matahari kurang dari 10°, lebih
dari nilai tersebut, koreksi dapat diabaikan saja, sebagaimana dalam Almanak
Nautika:137
pada posisi matahari yang teramati kemudian juga mempengaruhi sudut waktu
kerendahan ufuk dengan ketinggian matahari kurang dari 10° yakni waktu
Maghrib, waktu Isya’ dan waktu Subuh serta waktu terbit sebagai akhir waktu
Subuh.
ketinggian tempat dalam waktu shalat tidak linear. Sehingga pengaruh tersebut
137
Almanak Nautika, op cit, hlm. 259
85
tidak dapat digeneralisir dan dianggap sama besar dengan ketinggian tertentu,
ketinggian tempat terhadap waktu shalat (dalam suatu wilayah yang sama nilai
1. Waktu Maghrib
astronomi waktu ini posisi tinggi matahari (ho) diperkirakan sekitar -1° dari
horizon. Ini adalah waktu shalat dimana posisi matahari paling dekat dengan
penulis, selisih waktu shalat yang menggunakan ho -1° dan waktu shalat yang
sebagai berikut:138
138
Serupa dengan tabel Daftar Koreksi Pengamat menurut Sa’aduddin Djambek, tabel
tersebut juga berdasarkan ketinggian daerah sekeliling hingga kaki langit atau ufuk. Namun jika
dibandingkan dengan tabel yang disajikan oleh Sa’aduddin Djambek, tabel selisih waktu untuk
koreksi ketinggian tempat ini agak berbeda. Sedikit perbedaan ini dikarenakan pembulatan dua
angka di belakang koma. Selain pembulatan koma, tabel daftar koreksi oleh Djambek hanya untuk
waktu syuruq dan ghurub saja.
86
250 1,3
300 1,5
400 1,85
500 2,15
600 2,42
700 2,67
800 2,92
900 3,13
1000 3,35
2. Waktu Isya’
dibawah ufuk. Meskipun telah berada dibawah horizon 18°, menurut penulis
waktu shalat yang hanya menggunakan ho -18° dan waktu shalat yang
800 3
900 3,23
1000 3,45
3. Waktu Subuh
berada pada posisi ho: -1° di bawah ufuk. Oleh karena itu, terbit sebagai tanda
Berkebalikan dengan Maghrib, untuk waktu terbit untuk daerah tinggi akan
menyaksikan terbit lebih dahulu daripada daerah yang lebih rendah. Oleh
karena itu, tempat yang lebih tinggi akan menyaksikan matahari lebih dahulu
waktu Dzuhur tidak berhubungan dengan ufuk. Waktu Dzuhur adalah waktu
matahari hampir 90° dari ufuk. Oleh karena itu waktu Dzuhur tidak
6. Waktu Ashar
benda lebih panjang dari benda yang sebenarnya. Pada saat itu diperkirakan
posisi matahari 45° dari ufuk. Karena posisi tersebut dianggap masih
tergolong tinggi dari ufuk maka pengaruh kerendahan ufuk terlalu kecil atau
dianggap tidak ada. Oleh karena itu, waktu Ashar tidak terpengaruh oleh data
ketinggian tempat.
89
berpengaruh pada waktu shalat, yaitu waktu shalat Maghrib, Isya’ dan Subuh.
Karena jelas berpengaruh dalam waktu shalat maka untuk keakurasian waktu
shalat agar seseorang tidak menunaikan shalat sebelum waktunya atau berbuka
puasa sebelum waktunya (terkait waktu Maghrib) maka ketinggian tempat suatu
daerah dinilai sangat urgensi dalam formulasi penentuan awal waktu shalat.
Sebab, sebagaimana dalam surat An Nisa 104, bahwa shalat merupakan ibadah
yang telah ditentukan waktunya sehingga tidak dapat dilakukan sembarang waktu.
Dari beberapa pendapat ahli falak tentang formulasi waktu shalat dengan
data ketinggian tempat, yaitu dip (0 1.76’ √h) + ref + sd, dip (0,0293 √h) + ref +
sd, dan dip (0,98 √h) + ref + sd ataupun (√3,2 h) + ref + sd, menurut penulis,
tidak rata. Hal ini dikarenakan pada bentuk permukaan bumi yang berupa dataran
rendah, dataran tinggi, pegunungan, sungai, laut, dan sebagainya. Bentuk bumi
yang tidak rata ini dalam geodesi digambarkan dengan geoid. Geoid adalah
bidang ekipotensial gaya berat buni yang berimpit dengan permukaan laut ideal.
Geoid ini dianggap bentuk yang paling mendekati mean sea level (permukaan laut
berdasarkan bentuk ellipsoid bumi, yaitu bentuk pendekatan untuk geoid yang
mana bentuk bumi digambarkan bulat agar memudahkan dalam perumusan suatu
Oleh karena itu, menurut penulis, banyaknya formulasi rumus ialah untuk
Karena pusat dari bumi sendiri yang digunakan untuk pengukuran tinggi tempat
139
Eddy Prahasta, op cit, hlm. 121, juga ada dalam materi power pint Sistem Koordinat
yang disampaikan oleh Arief Laila Nugraha dalam perkuliahan Astronomi Bola di kelas
Konsentrasi Ilmu Falak semester 3.
91
yang berbeda-beda.
Dalam buku Ilmu Falak; Teori dan Praktik karya Muhyiddin Khazin ho
Maghrib: -1°, ho Isya’ : -18°, ho Subuh: -20° dan ho Terbit: -1°. ho yang digunakan
Hambali dan beberapa ahli falak sebagaimana mengutip dari Almanak Nautika,
seperti dalam materinya Perhitungan Awal Waktu Shalat, dalam mencari ku lebih
Sedangkan dalam buku Ilmu Falak; Penetapan Awal Waktu Shalat dan Kiblat
oleh Muchtar Salimi dijelaskan bahwa dip dapat dihitung dengan rumus dip 0,97
Dari penelusuran penulis, antara formulasi satu dengan yang lain ada
Astronomy Principles and Practise menurut penulis adalah sama dan satu
kesatuan. Berikut turunan rumus ku yang penulis peroleh dari buku Astronomy
140
A.E. Roy, D. Clarke, op cit, hlm. 93-95
92
X Z
a
a’ O
H H’
θ h θ'
T A D
‘
Ro T’
Ro
a = a’ – θ
CT = CA = R
dan
CO = R + h
Maka,
R
Sin TOC = cos θ =
R+h
Tapi θ adalah sudut kecil, maka kita dapat menulis
𝜃2
Cos θ = 1 -
2
R 𝜃2
=1-
R+h 2
𝜃2 R
1- =
2 R+h
93
𝜃2 R+h R h
= - =
2 R+h R+h R+h′
2h
θ = √R+h
2h
θ =√ R radian
untuk mengganti satuan radian menjadi derajat, maka untuk 1 radian: 3438,
2h
θ = 3438 √ R
θ = 1,93’ √ℎ
itu jika h berupa meter, sedangkan jika h berupa satuan feet (kaki), maka:
θ = 1,06’ √ℎ
θ = 1,78’ √ℎ menit
θ = 0,98’ √ℎ menit
Practise, yaitu:141
When refraction is taken into account, the path of ray from the horizon at
T’ is cured as shown and therefore appears to come from a direction OD,
so that the distance to the horizon is greater and the angel of dip is less.
141
Ibid
94
ada persamaan dengan beberapa rumus di atas. Dip/ku yang digunakan Rinto
Anugraha, yaitu 1,93√ℎ adalah dip/ku yang belum menggunakan koreksi refraksi
di dalamnya, dan h dalam formulasi ini bersatuan meter. Untuk formulasi dip/ku
dalamnya dan h bersatuan meter. Perbedaan dua angka di belakang koma dari
yang digunakan dan ini hampir sama dengan yang digunakan oleh Muchtar
Salimi, yaitu 0,97√ℎ feet dan 1,767√ℎ meter menurut penulis karena pembulatan.
FMIPA Fisika UGM Yogyakarta, dalam bukunya Perbaiki Waktu Shalat dan
ketentuan dalam mencari dip/ku. Abdur Rachim mempunyai rumus sendiri yaitu
dalam bukunya Ilmu Falak, dijelaskan bahwa ku mar’i dapat diketahui dengan
titik antara pusat bumi, tinggi tempat dan ufuk. Sedangkan Rinto Anugraha, buku
digunakan oleh Abdr Rachim merupakan rumus paling sederhana karena masih
menggunakan rumus bidang segitiga siku-siku dan memakai data R: 6000 km.
garis; yang digunakan untuk menghitung garis lengkung antara pengamat dengan
ufuk.
dan Astronomy Principles and Practise adalah sama, hanya berbeda penggunaan
Dalam hal ini menurut penulis tidak ada larangan untuk memilih salah satu
formulasi dalam perhitungan penentuan waktu shalat. Sebab, selisih waktu shalat
yang dihasilkan dari beberapa formulasi tersebut tidak banyak, hanya sekian detik
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa selisih antara formulasi jika
tempat (Maghrib ho-1, Isya’ ho-18, Subuh ho-20) hanya sekian detik, yaitu:
Tabel 15. Daftar Selisih Antar Formulasi – Tinggi Matahari Tanpa Koreksi
Waktu Shalat 1.76 √𝒉 (m) Asal ho 1.93√𝒉 (m) √𝟑. 𝟐𝒉 (m) 0.032√𝒉 (m)
d
Maghrib 17:58:41 -38 7d 1d 7d
Isya 19:14:17 -39 d 8d 1d 7d
Subuh 04:00:02 39 d -8 d -1 d -7d
menurut penulis formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah formulasi yang
142
Data ini menggunakan h 100 meter (30,48 feet), dan menggunakan data ephemeris
pada tanggal 1 Januari 2011
97
ketinggian tempat dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan dip/ku:
1,76 √ℎ (meter) atau 0.98√ℎ. Karena pada formulasi tersebut telah ada koreksi
refraksinya. Jika kita menggunakan ku: 1,93√ℎ (meter) atau dip/ku: 1,06√ℎ (feet)
shalat antara daerah satu dengan daerah lainnya berbeda-beda. Namun, menurut
penulis, dalam penentuan jadwal waktu shalat tidak perlu menghitung satu-persatu
yang digunakan para ahli falak telah dapat mengatasi perbedaan waktu akibat
perbedaan tinggi tempat. Toleransi di sini berarti toleransi waktu yang diberikan
sebagai jalan tengah waktu shalat suatu wilayah yang mempunyai toporafi tinggi
tempat yang berbeda-beda. Ihtiyat yang diberikan oleh para ahli falak, biasanya
daerah yang tinggi atau rendah sebagai acuan, dan penggunaan penambahan
waktu ihtiyat.
original, meskipun yang digunakan ialah data rata-rata ketinggian tempat 100-200
98
meter di atas permukaan air laut. Selama ini, ketinggian tempat yang ada biasanya
yang diukur dari permukaan air laut. Hal ini didasarkan permukaan air laut
sebagai patokan karena diasumsikan bahwa permukaan air laut di semua tempat
adalah sama. Berbeda jika ketinggian tempat diukur dari ufuk. Karena setiap ufuk
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar, yaitu pohon, bukit, bahkan gedung
bertingkat.
lain yang menjadi ufuk. Beda tinggi ini dapat diukur dari Titik Tinggi Geodesi
(TTG) yang ada. Dalam suatu wilayah ada beberapa TTG yang dapat menjadi
acuan tinggi tempat dengan tanda patok sebagai pegukur untuk daerah lainnya.
Pengukuran beda tinggi antara TTG yang terdekat dengan daerah yang dihitung
Selain itu, beda tinggi antar daerah juga dapat diperoleh dengan
menghitung selisih tinggi tempat kedua daerah tersebut. Misalnya untuk mencari
tinggi tempat berdasarkan daerah lain yang menjadi ufuk karena daerah Tugu
merupakan daerah yang menjadi ufuk yang teramati dari Ngaliyan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ketinggian tempat dapat diukur dari ufuk yang berupa daerah
Oleh karena itu, pengunaan data ketinggian rata-rata 100-200 meter dinilai
tempat sebagian besar wilayah jika dihitung dari garis ufuk tidak melebihi 200 m.
koreksi dip yang dipengaruhi ketinggian tempat ini bisa diberlakukan secara lokal
sekali di wilayah puncak bukit yang langsung berhadapan dengan ufuk yang lebih
Sebagaimana yang telah penulis paparkan tentang ihtiyat pada Bab II poin
C.4, bahwa ihtiyat berdasarkan kegunaannya ada tiga, yaitu ihtiyat guna luasnya
daerah, ihtiyat guna koreksi sesaat dalam hasil hisab, dan ihtiyat guna keyakinan.
Pada pengaruh ketinggian tempat dalam waktu shalat ini, ihtiyat pertama, yaitu
ihtiyat guna luas daerah, menurut penulis telah digunakan oleh para ahli falak
sebaiknya menggunakan perhitungan dari dataran yang lebih tinggi sebagai acuan
dan patokan guna menanggulangi agar dataran tinggi tersebut tidak mengalami
143
Hasil wawancara dengan Thomas Djamaluddin via jejaring sosial facebook pada
tanggal 3 Desember 2010
100
daerah yang lebih tinggi akan melihat matahari terbenam lebih akhir daripada
yang lebih rendah. Untuk itu, agar daerah yang labih tinggi tidak masuk awal
waktu shalat sebelum semestinya, maka pada saat waktu Maghrib dan Isya’
Sedangkan untuk waktu Subuh sebaliknya. Daerah yang lebih tinggi akan
menyaksikan fajar atau terbit matahari lebih cepat daripada yang lebih rendah.
Sedangkan daerah yang lebih rendah akan menyaksikan fajar dan terbit matahari
lebih akhir. Oleh karena itu, yang dijadikan patokan dalam hal ini adalah daerah
yang lebih rendah. Sebab ini untuk menanggulangi agar daerah yang lebih rendah
Dalam penentuan jadwal waktu shalat suatu daerah, biasanya para ahli
falak telah memperhitungkan lintang antara pantai selatan dan utara, mana yang
lebih dahulu masuk pada waktunya. Seperti untuk daerah Semarang, diharapkan
memperhitungkan lintang paling utara; yaitu sekitar daerah pantai Semarang; dan
lintang paling selatan; yaitu daerah sekitar Mijen. Dari titik paling utara dan
deklinasi matahari pada waktu tertentu. Seperti pada bulan Januari dengan
deklinasi matahari berada pada sekitar -23° 01’ 45” s/d -17° 28’ 50” di sebelah
selatan, maka yang harus menjadi acuan adalah daerah paling selatan, karena
daerah paling selatan lebih akhir masuk waktu shalatnya. Sehingga dimungkinkan
agar waktu daerah selatan tidak masuk waktu shalat sebelum waktu yang
utara, maka yang dijadikan acuan adalah daerah utara, juga karena daerah utara
Semarang yang dilakukan penulis dengan pengambilan data yang dari beberapa
titik dari Google Earth menunjukkan bahwa untuk wilayah Semarang sendiri
mempunyai topografi yang sangat beragam. Daerah yang paling utara adalah
sepanjang pantai di Semarang, yang penulis ambil titik tempat PRPP Jateng Fair
dengan lintang -6° 57’ 04.74”. Sedangkan daerah paling selatan yang penulis
ambil titiknya adalah daerah Ungaran dengan lintang -7° 07’39.19”. Selisih waktu
shalat diantara kedua titik tersebut tidak begitu signifikan, hanya beberapa detik
saja.
yang terbesar mencapai 0,1° bujur saja. Sebagaimana dalam skripsi Muntoha
dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Shalat, bahwa dalam perbedaan bujur
sebesar 0,1o atau jarak tepat ke timur atau tepat ke barat sejauh 11 km berarti
perbedaan waktu sebanyak 0,4 menit atau 24 detik. Sehingga menurut penulis,
perbedaan bujur dalam satu wilayah dapat ditolerir dengan waktu ihtiyat yang
digunakan para ahli falak. Oleh karena itu, ihtiyat luas daerah yang dipakai para
ahli falak, menurut penulis telah cukup memback up perbedaan waktu antar
perbedaan waktu antar tempat tersebut tidak mencapai 3 menit. Sedangkan dari
keterangan Bab III point D menunjukkan bahwa untuk suatu wilayah dengan nilai
lintang dan bujur yang sama, pengaruh ketinggian tempat mencapai selisih 1
menit untuk perbedaan ketinggian sekitar 200 meter dan mencapai selisih 3 menit
untuk ketinggian 1000 meter. Sedangkan ikhtiyat yang dipakai rata-rata ahli falak
adalah 2 menit. Oleh karena itu, menurut penulis, ikhtiyat 2 menit ini telah
tempat.
berdasarkan pembagian wilayah kota yang terdapat pada jadwal waktu shalat pada
umumnya dapat dipergunakan jika bujur kedua tempat antara tempat markas
perhitungan dan tempat yang akan disesuaikan mempunyai lintang yang sama.
jadwal waktu shalat memperhitungkan batas wilayah jadwal yang paling dulu dan
paling lambat masuk waktu shalat. Sehingga tidak menjadikan suatu daerah yang
seharusnya belum masuk waktu shalat, tetapi dianggap telah masuk waktunya.
maka untuk mempermudah penentuan awal waktu shalat salah satunya dengan
pengganti konversi daerah untuk ketinggian tempat. Oleh karena itu, penulis
Tabel 16. Daftar Ketinggian Tempat Rata-rata untuk Suatu Wilayah Berdasarkan
Berbagai Ketinggian Tempat
Ketinggian
Ketinggian rata-rata yang
Ihtiyat (menit)
pengamat(meter) digunakan
(meter)
0 - 50 25 2 menit pembulatan detik
0 - 75 35 2 menit pembulatan detik
0 - 100 50 2 menit pembulatan detik
0 - 150 75 2 menit pembulatan detik
0 - 200 100 2 menit pembulatan detik
0 - 250 125 2 menit pembulatan detik
0 - 300 150 2 menit pembulatan detik
0 - 400 200 2 menit pembulatan detik
0 - 500 250 2 menit pembulatan detik
0 - 600 300 2 menit pembulatan detik
0 - 700 350 2 menit pembulatan detik
0 - 800 400 2 menit pembulatan detik
0 - 900 450 2 menit pembulatan detik
0 - 1000 500 2 menit pembulatan detik
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
awal waktu shalat karena terkait dengan tingkat keakurasian waktu shalat
2. Formulasi waktu shalat yang paling ideal adalah formulasi yang di dalamnya
dan rumus ku sebagai berikut: - (ku + ref + sd) dengan dip/ku: 1,76 √ℎ
dalam penyajian jadwal waktu shalat yang ideal terkait urgensinya ketinggian
diberikan oleh para ahli falak. Ihtiyat tersebut yaitu pengambilan data rata-
rata tinggi tempat dalam suatu wilayah, penggunaan daerah yang tinggi
dan menggunakan data daerah yang rendah sebagai acuan untuk waktu yang
tempat bisa diberlakukan secara lokal sekali di wilayah puncak bukit yang
104
105
langsung berhadapan dengan ufuk yang lebih rendah dari kondisi normal
dengan nilai ekstrim. Berikut tabel untuk pengambilan satu titik rata-rata
shalat:
Ketinggian
Ketinggian rata-rata yang
Ihtiyat (menit)
pengamat(meter) digunakan
(meter)
0 - 50 25 2 menit pembulatan detik
0 - 75 35 2 menit pembulatan detik
0 - 100 50 2 menit pembulatan detik
0 - 150 75 2 menit pembulatan detik
0 - 200 100 2 menit pembulatan detik
0 - 250 125 2 menit pembulatan detik
0 - 300 150 2 menit pembulatan detik
0 - 400 200 2 menit pembulatan detik
0 - 500 250 2 menit pembulatan detik
0 - 600 300 2 menit pembulatan detik
0 - 700 350 2 menit pembulatan detik
0 - 800 400 2 menit pembulatan detik
0 - 900 450 2 menit pembulatan detik
0 - 1000 500 2 menit pembulatan detik
106
B. Saran
wilayah di Indonesia secara teliti, baik diukur dari permukaan air laut rata-
rata maupun diukur dari daerah lain yang menjadi ufuk. Serta membuat daftar
3. Skripsi ini masih sangat sederhana dan banyak kekurangan sehingga masih
membutuhkan saran dan kritik yang konstruktif sehingga skripsi ini akan
lebih sempurna, yang menjadikannya karya ilmiah yang bisa bermanfaat bagi
4. Mempelajari ilmu falak adalah fardhu kifayah. Hendaknya ilmu ini tetap
C. Penutup
adanya kritik, saran konstruktif untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi
ini dapat bermanfaat serta dapat meningkatkan wawasan dan ranah keilmuan
kita, khususnya di bidang ilmu falak. Amin. Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abi al Fadhal Ahmad bin Ali bin Hajar Al Asqalani, Syekh Syihabuddin, Tahdzib al
Tahdzib, Beirut: Dar Al Kitab Al Islami, 852 H
Abi Muhammad Abd Rahman bin Abi Hatim Muhammad, Syekh Islam, Al Jarah wa
Ta’dil, Beirut: Dar Al Kutub, 1373 H
Al Husain bin Abu Al „Izz Al Hamadaniy, Al gharib fi I’rab Al Qur’ani, Qatar: Daar
Ats Tsaqafah, juz I, tt
Anugraha Rinto, Cara Menghitung Waktu Shalat, artikel ini dapat diakses di
www.eramuslim.com
Azhari, Susiknan, Awal Waktu Salat Perspektif Syar’I dan Sains, bisa diakses di
www.ilmufalak.or.id
Badan Hisab Rukyat Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyah, Jakarta: Proyek
Pembinaan Badan Peradilan Agama, 1981
Basuki, Slamet, Ilmu Ukur Tanah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006
Bukhari, Irsadul al Sara Asy Syarah Shahih Al Bukhari, Beirut: Dar Al Fikr, tt, juz 1
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan
Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang,
1997
Hadi, Dimsiki, Perbaiki Waktu Shalat dan Arah Kiblatmu!, Yogyakarta: Madania,
2010
Hambali, Slamet, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris, materi ini disampaikan dalam
pelatihan ketrampilan khusus bidang hisab-rukyah oleh Direktorat
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam
Departemen Agama RI, 2007
Ibnu Rusyd, Al Faqih Abul Wahid Muhammad Bin Ahmad Bin Muhammad,
Bidayatul Mujatahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, di terjemahkan oleh
Imam Ghazali dkk, dari Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid,
Jakarta : Pustaka Amani, 2007
Imam Muslim, Shohih Muslim, Beirut Libanon: Dar al-Kutub Ilmiah, jilid 2, 1994
Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Asy-Syafi‟i, Al-Umm, Beirut-Libanon : Dar
Al-Kitab, Juz I, tt
Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis; Metode Hisab-Rukyah Praktis dan Solusi
Permasalahannya, Semarang: Komala Grafika dengan IAIN Walisongo
Semarang, 2006
Joinil Kahar, Geodesi: Teknik kuadrat terkecil, Bandung: Penerbit ITB, 2006
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak; dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana
Pustaka, tt
KRM. Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Yogyakarta: cet I, 1957
Materi Perhitungan Waktu Shalat, yang disampaikan oleh Uzal Syahruna yang dapat
diakses dalam www.ilmmufalak.or.id
Muhammad bin Ahmad adz Dzahbi, Imam Hafiz Syamsuddin, Mizan Al I’tidal,
Beirut: Dar Al Kutub Al Islamiyah, tt
Muhammad bin Hasan ath-Thusy, Abu Ja‟far, Al-Kutub al-Arba’ah al-Ibtishar (1-4),
Qum: Muassasah Anshariyan li ath-Thiba‟ah wa an-Nasr, Cet. I, 2005
Nur „Aeni, Waktu Salat Wajib dalam Pandangan Syi'ah (Kajian Atas Hadis-Hadis
Tentang Waktu Salat Dalam Kitab Al-Kafi), Skripsi Fakultas Ushuluddin,
UIN Sunan Kalijaga, 2009
Prahasta, Eddy, Konsep-konsep Dasar Sisitem Informasi Geografis, Bandung:
Penerbit Informatika, 2002
Program Hadis Kutubus Sittah, الجامع الصحيح للترمذي, kitab abwab as-shalat, no 001
Rene R.J.Rohr; translated by Gabriel Godin, Sundial; History, Theory, & Practice,
Toronto: University of Toronto Press, 1970
Salam, Abd, Korelasi Beda Bujur Dalam Penemuan Selisih Waktu Shalat Antar
Daerah (Studi Jadwal Waktu Shalat Yang Beredar Di Jawa Timur), Sunan
Ampel, 2005
Sa‟id bin Muhammad Ba‟asyun, Busyr Al Karim Syarh Al Muqadimah Al
Hadhramiyah, Beirut: Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, tt
Salimi, Muchtar, Ilmu Falak; Peenetapan Awal Waktu,Shalat dan Arah Kiblat,
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 1997
Setyanto, Hendro, Kajian Kitab-Forum Kajian Ilmu Falak “Zenith”, Rubu’, Bandung:
Pundak Scintific, 2001
Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. Tafsir Al-Ahkam, Kencana: Jakarta, cet I, 2006
Tarmi, Moedji Raharto, op cit, yang dikutip dari Mohammad Ilyas, A Modern Guide
to Islamic Calendar, Times & Qibla, 1984
http://www.asterism.org/tutorials/tut28-1.htm.
http://www.islamicfinder.rg/athanContact.php
www.rukyatulhilal.com
Wawancara via telepon dengan Bapak Yazid (salah satu penyusun kalender Ponpes
Lirboyo yang selama ini beredar) pada tanggal 9 Maret 2010
Wawancara via telepon dengan Reza Zakariya, Ketua Tim Lajnah Falakiyah PP.
Lirboyo Kediri Jawa Timur pada tanggal 15 Januari 2011
Wawancara via jejaring sosial facebook dengan Dr. Eng. Rinto Anugraha, salah satu
pemerhati ilmu falak, yang juga dosen Fisika UGM, yang aktif menulis di
www.eramuslim.org pada tanggal 14 – 27 Desember 2010
Wawancara via jejaring sosial facebook dengan Hendro Setyanto pada tanggal 22
Februari 2011
Wawancara via email dengan Dr. Ing, Khafid pada tanggal 23 Februari 2011
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN
Yuyun Hudzaifah
NIM. 072111083