Anda di halaman 1dari 15

URGENSI PENDIDIKAN SPIRITUAL DALAM MENGHADAPI

MASYARAKAT PERSPEKTIF Dr. KH. SAID AQIL SIRAJ PADA BUKUNYA


TASAWUF SEBAGAI KRITIK SOSIAL

Qowiyudin Mulya Lubis


Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Islam Raden Rahmat Malang
E-mail: geni73825@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini berdasarkan fenomena yang diambil dari kehidupan masyarakat
modern yang tidak sedikit mengalami sebuah krisis makna hidup atau kehampaan
spiritual, dan bahkan kita sendiri terkadang sering mengalami akan hal tersebut.
Oleh karena itu penulis membawakan penelitian ini yakni urgensi pendidikan
spiritual dalam menghadapi masyarakat perspektif Dr. KH.Said Aqil Siraj pada
bukunya “tasawuf sebagai kritik sosial”. Sehubungan dengan hal ini diharapkan
dapat menjawab masalah-masalah tersebut serta dapat menjadi bekal bagi
kehidupan mendatang. Tujuan utama dari pendidikan spiritual ini ialah pembekalan
terhadap diri individu yang mengacu kepada pembentukan keharmonisan dalam
hubungan baik itu dengan dirinya, sesama manusia dan alam lingkungan maupun
dengan Allah. Implementasi pendidikan spiritual terhadap pengembangan karakter
yakni mengoptimalkan pengolahan jiwa manusia itu sendiri, tentunya sesuai
dengan teladan Rasulullah. Pengembangan karakter membutuhkan sebuah asupan
spiritual, karena hal inilah dasar dari pembinaan karakter manusia.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library reseach). Pendekatan yang
digunakan ialah pendekatan filosofis. Metode analisis data dalam penelitian ini
ialah menggunakan teknik content analisis. Pada hakikatnya di dalam kehidupan,
semuanya mengandung unsur pendidikan karena adanya interaksi dengan
lingkungan, dan hal yang penting adalah bagaimana masyarakat menyesuaikan diri
dan menempatkan diri dengan sebaik-baiknya dalam berinteraksi dengan semua itu
dan dengan siapapun. Seperti di Negara kita ini dalam faktanya ,kultur pendidikan
negara kita ini, yang , dikembangkan masih terlalu mementingkan arti akademik,
kecerdasan, dan bisa di lekatkan pada kata “jarang” yang terarah pada kecerdasan
emosi dan spiritual. Pada hakikatnya di dalam kehidupan, semuanya mengandung
unsur pendidikan karena adanya interaksi dengan lingkungan, dan hal yang penting
adalah bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dan menempatkan diri dengan
sebaik-baiknya dalam berinteraksi dengan semua itu dan dengan siapapun.
Kata Kunci: Urgensi, Pendidikan Spiritual, Masyarakat.

This research is based on a phenomenon taken from the life of modern society which
is not least experiencing a crisis of meaning in life or spiritual emptiness, and even
we ourselves often experience it. Therefore, the authors present this research,
namely the urgency of spiritual education in dealing with society from the
perspective of Dr. KH.Said Aqil Siraj in his book "Sufism as social criticism". In
this regard, it is hoped that it can answer these problems and can become a
provision for future lives. The main purpose of this spiritual education is to equip
the individual self which refers to the formation of harmony in good relations with
himself, fellow human beings and the natural environment as well as with God.
Implementation of spiritual education for character development, namely
optimizing the processing of the human soul itself, of course, is in accordance with
the example of the Prophet. Character development requires a spiritual intake,
because this is the basis of human character development.

This research is a library research (library research). The approach used is a


philosophical approach. The method of data analysis in this study is to use content
analysis techniques. In essence, in life, everything contains elements of education
because of interactions with the environment, and the important thing is how people
adapt and position themselves in the best way possible in interacting with all of that
and with anyone. As in our country, in fact, our country's educational culture, which
is being developed, is still too concerned with the meaning of academics,
intelligence, and can be attached to the word "rare" which is directed at emotional
and spiritual intelligence. In essence, in life, everything contains elements of
education because of interactions with the environment, and the important thing is
how people adapt and position themselves in the best way possible in interacting
with all of that and with anyone.
Keywords: Urgency, Spiritual Education, Society.

Pendahuluan
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan
kehidupan manusia. Mulai dari dalam kandungan sampai beranjak dewasa
kemudian tua, manusia akan mengalami proses pendidikan yang didapatkan dari
orangtua, masyarakat maupun lingkungannya. Dalam masyarakat yang dinamis,
pendidikan memegang peranan penting yang menentukan eksistensi dan
perkembangan masyarakat, karena pendidikan merupakan usaha melestarikan dan
mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek
dan jenisnya kepada generasi penerus1.

Pada hakikatnya di dalam kehidupan, semuanya mengandung unsur


pendidikan karena adanya interaksi dengan lingkungan, dan hal yang penting

1
Nur uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam,1998 (Bandung: CV Pustaka Setia), hal. 14
adalah bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dan menempatkan diri dengan
sebaik-baiknya dalam berinteraksi dengan semua itu dan dengan siapapun2.

Problemnya adalah tak jarang di dapati fakta baik dunia nyata maupun maya,
Islam termasuk pendidikan yang berada dalam naungannya acapkali dinilai dengan
sesuatu yang bersifat negatif. Islam selama ini selalu di kaitkan dengan pola
aktifitas kekerasan, anarkisme, dan sebagian yang lain mengkaitkanya dengan
agama yang bengis. Oleh karenanya asumsi demikian tidaklah di benarkan dalam
Islam, dengan bukti bahwa Rasulullah Saw sendiri ketika melepas tentara Islam
yang akan diberangkatkan untuk berperang, sudah memperingatkan para sahabat
untuk tetap menjaga etika.
Berbicara tentang urgensi pendidikan spiritual sebagai contoh sederhananya
adalah etika. Dalam Islam ketika membahas etika berarti membahas tentang misi
Islam diturunkan ke dunia ini, yakni Islam sebagai agama yang basis ataupun
outuput pendidikanya adalah rahmatan lil ‘alamin.
Dalam hadits, Nabi pernah menegaskan bahwa “ innama bu’itstu li utammima
makarimal akhlaq” (sesungguhnya aku diutus tidak lain dan tidak bukan adalah
untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia)3. Penulisan ini ingin menunjukan
sesuatu yang notabene kurang diperhatikan, diremehkan, bahkan diabaikan dalam
perbincangan tentang Islam belakangan ini, oleh khalayak manusia yang hidup di
zaman mileneal. Maraknya sejumlah aksi intimidasi, memperkosa hak-hak, dan
kekerasan yang mengatasnamakan Islam , hal ini menegaskan fakta bahwa
pendidikan, etika dan moralitas dalam agama Islam sudah terlepas jauh dari
pengalaman keagamaan manusia di bumi ini. kaitkan dengan pola aktifitas
kekerasan, anarkisme, dan sebagian yang lain mengkaitkanya dengan agama yang
bengis. Oleh karenanya asumsi demikian tidaklah di benarkan dalam Islam, dengan
bukti bahwa Rasulullah Saw sendiri ketika melepas tentara Islam yang akan
diberangkatkan untuk berperang, sudah memperingatkan para sahabat untuk tetap
menjaga etika.

2
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 2011 (Jakarta: Kalam Mulia), hal. 17
3
HR. Albazar, hd 8949, (HR. Al baihaqi hd, 21301)
Berbicara tentang urgensi pendidikan spiritual sebagai contoh sederhananya adalah
etika. Dalam Islam ketika membahas etika berarti membahas tentang misi Islam
diturunkan ke dunia ini, yakni Islam sebagai agama yang basis ataupun outuput
pendidikanya adalah rahmatan lil ‘alamin.
Dalam hadits, Nabi pernah menegaskan bahwa “ innama bu’itstu li
utammima makarimal akhlaq” (sesungguhnya aku diutus tidak lain dan tidak
bukan adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia).4 Penulisan ini ingin
menunjukan sesuatu yang notabene kurang diperhatikan, diremehkan, bahkan
diabaikan dalam perbincangan tentang Islam belakangan ini, oleh khalayak
manusia yang hidup di zaman mileneal. Maraknya sejumlah aksi intimidasi,
memperkosa hak-hak, dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam , hal ini
menegaskan fakta bahwa pendidikan, etika dan moralitas dalam agama Islam sudah
terlepas jauh dari pengalaman keagamaan manusia di bumi ini.
Masuk ke ranah ini, tasawuf penting kiranya untuk ditinjau kembali dari
dimensi partikularnya, yang hanya menjalankan ritual semata-mata dan bersifat
personal. Perlu diketahui bahwa tasawuf merupakan sebuah misi yang esensi bagi
manusia dan menggenapi misi Islam secara holistik. Mulai dari dimensi pendidikan
iman, Islam dan ihsan. Tasawuf dalam hal ini menempati posisinya pada titik ihsan
dalam aktualisasinya. Pada prakteknya di kehidupan sehari-hari dimensi ihsan
diaplikasikan dalam bentuk pola prinsip beragama yang tawasuth (modrat),
tawazun (keseimbangan), i’tidal (jalan tengah) dan tasamuh (toleran)5.
Dalam khalayak umum ketiga aspek Ahlussunah Waljama’ah ini, kadang-
kadang seseorang atau oknum daripada keagamaan hanya mengimplementasilan
dua, atau salah satu dari ketiga aspek tersebut. Oleh karenanya efek yang dihasilkan
adalah rusaknya tatanan kosmis yang seimbang dan harmonis ini. Para pemuka
agama, penganjur kesalehan, seringkali mengabaikan pendidikan di sisi batiniah
dan etis itu dalam Islam , hal ini justru dianggap sebagai melanggar sunnatullah

4
HR. Albazar, hd 8949, (HR. Al baihaqi hd, 21301)
5
Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, 2006 (Bandung, Mizan Pustaka)hal 16
yang menghendaki manusia di dunia ini hidup secara harmonis dan
berkeseimbangan.
Dari pemaparan diatas peneliti tetarik untuk sedikit mengejawantahkan
problematika mengenai urgensi pendidiakn spiritual, dengan menggunakan data
primer berupa buku karya Dr. KH. Said Aqil Siraj. Alasan peneliti menggunakan
buku tersebut, secara asumsi peneliti, buku “tasawuf sebagai kritik sosial” memang
perlu dikaji oleh karena pembahsanya mengenai kajian ala pesantren (islam klasik)
dengan menunjukan sisi kontekstual yang sangat relevan untuk di gunakan pada era
mileneal ini.

Metode Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library reseach).
Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan filosofis. Metode analisis data dalam
penelitian ini ialah menggunakan teknik content analisis. Adapun tahap-tahap
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data kepustakaan.
Data yang dikumpulkan berupa buku acuan, karya-karya ilmiah, paradigma yang
berhubungan dengan analisis teks yang bersifat spesifik, jurnal, desertasi, tesis,
artikel, dan juga data-data yang relevan dengan masalah yang yang diteliti.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas dua kategori yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer berupa perspektif Dr.
K.H Said Aqil Siraj tentang urgensi pendidikan spiritual yang dijadika barometer
pertama yaitu dalam bukunya “tasawuf sebagai kritik sosial”. Pengertian dan
perspektif urgensi pendidikan spiritual dikaji dan dipahami berdasarkan kata, frasa,
kalimat, paragraf, pemahaman dan peristiwa-peristiawa yang dijelaskan melalui
tanda-tanda terentu. Data sekunder berfungsi untuk lebih memperjelas, menguatkan
masalah yang akan dibahas.

Hasil dan Pembahasan


A. Gambaran Objek Penelitian
Buku “tasawuf sebagai kritik sosial” pada dasarnya ingin
menunjukkan sesuatu yang kurang diperhatikan dan bahkan diabaikan
dalam perbincangan tentang Islam belakangan ini di Indonesia. Maraknya
sejumlah aksi intimidasi, pemaksaan, dan kekerasanyang membawa nama
Islam, mengukuhkan kenyataan bahwa etika dan moralitas sudah terlepas
jauh dari pengalaman keagamaan umat.
Buku “tasawuf sebagai kritik sosial” juga adalah refleksi dari upaya
memperkuat pola pikir tawassuth (moderat), tawazun (keseimbangan),
i'tidal (jalan tengah), dan tasamuh (toleran) dalam Islam. Islam selama ini
dilekatkan dengan segenap aksi kekerasan dan anarkisme. Adalah sesuatu
yang memprihatinkan bagi kita apabila ada sekelompok umat Islam yang
mengangkat simbol-simbol Islam untuk membenarkan aksi kekerasan dan
perusahaan terhadap sarana publik dan tempat ibadah.
Dalam konteks inilah pentingnya tasawuf ditinjau kembali dari
dimensi partikularnya, yang hanya sebatas ritual dan asketisisme yang
bersifat personal. Asumsi dasar yang melatarbelakangi buku ini
adalahbahwa tasawuf merupakan sebuah misi kemanusiaan yang
menggenapi misi Islam secara holistik. Mulai dari dimensi iman, Islam,
hingga ihsan. Adalah sesuatu yang memprihatinkan bagi kita apabila ada
sekelompok umat Islam yang mengangkat simbol-simbol Islam untuk
membenarkan aksi kekerasan dan perusahaan terhadap sarana publik dan
tempat ibadah. slam untuk membenarkan aksi kekerasan dan perusahaan
terhadap sarana publik dan tempat ibadah.

B. Pengertian Pendidikan Spiritual


Pendidikan adalah usaha membina dan mengembangkan
kepribadian manusia baik dibagian rohani atau dibagian jasmani. Ada juga
para beberapa orang ahli mengartikan pendidikan itu adalah suatu proses
pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam
mendewasakan melalui pengajaran dan latihan. Dengan pendidikan kita
bisa lebih dewasa karena pendidikan tersebut memberikan dampak yang
sangat positif bagi kita, dan juga pendidikan tersebut bisa memberantas buta
huruf dan akan memberikan keterampilan, kemampuan mental, dan lain
sebagainya. Seperti yang tertera didalam UU No.20 tahun 2003, Pendidikan
adalah usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan, yang
diperlukan dirinya, masyarakat, dan Negara6.
Sedangkan spiritual berasal dari kata spirit yang berarti jiwa atau
sukma. Spiritual berarti kejiwaan, batin, mental atau moral7. Pendidikan
spiritual dalam kajian agama Islam pada hakikatnya merupakan sebuah
usaha konservasi (perlindungan) atas tarbiyah agama Islam dalam rangka
memupuk keimanan dan kepercayaan, yang dilakukan personal
(perorangan) atau secara komunal agama Islam yang bersangkutan.
Pendidikan spiritual merupakan usaha bagi para pemeluk untuk
memberikan respon terhadap ajaran agamanya atau pemikiran dari luar
agama yang diyakininya.
Jadi Pendidikan spiritual adalah usaha membina dan
mengembangkan kepribadian manusia berdasarkan pengalaman-
pengalaman yang dilakukan secara sadar guna mengarahkan rohani agar
tetap berjalan sesuai dengan fitrahnya yaitu beriman kepada-Nya dan
mengembangkan potensi Ilahiyah sampai puncak dari keimanan kepada
Allah SWT.

C. Pengertian Pendidikan Spiritual Menurut Dr. KH. Said Aqil Siraj


Tarbiyah merupakan salah satu sub-sistem dari semesta pendidikan
secara keseluruhan. Kedatangan islam membawa nilai-nilai universalitas
bagi kehiduoan seluruh makhluk di jagat raya ini. Oleh karena itu Islam
tidak mengenal dikotomi, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam
penidikan. Pencadengan semangat universal ntuman label islam pada
sebutan”pendidikan islam”, bagaimanapun akan menampilkan

6
Haryanto, 2012: dalam artikel “pengertian pendidikan menurut para akhli http://belajarpsikologi.
com/pengertianpendidikan-menurut-ahli/ diakes pada tanggal 9 april 2017
7
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005(Jakarta: Balai Pustaka), hal. 857.
eksklusisvme dalam islam dimana sesuatu yang seharusnya karena
bertentangan dengan semangat rahmah lil alamin.
Dan dari dialog yang dihasilkan dari membaca buku “tasawuf
sebagai kritik sosial” out put yang dituju adalah bahwa dalam buku tersebut
Dr. Said Aqil Siraj tidak secara gamblang menyebutkan pendidikan
spiritual, tapi beliau menyebutkanya sebagai “pendidikan sufistik”. Dalam
buku tersebut beliau megatakan : “Selain sebagai penyikapan yang bersifat
asketis, tasawuf juga merupakan metode pendidikan yang membimbing
manusia dalam keharmonisan dan keseimbangan total”. metode ini
bertumpu pada basis keharmonisan dan pada kesatuan dengan totalitas
alam” dalam pemaknaan tersebut cukup kiranya sebagai bukti bahwa
tasawuf bukan hanya sekedar ditinjau dari dimensi partikularnya saja, yang
hanya menjalankan ritual semata-mata dan bersifat personal. Ia hadir dalam
hiruk-pikuk masyarakat dengan tarbiyah pengklasifikasian makna alqur’an
surah (Al-Jumu’ah {62}: 2) Mulai dari dimensi pendidikan iman, islam dan
ihsan. Tasawuf dalam hal ini menempati posisinya pada titik ihsan dalam
aktualisasinya. Pada prakteknya di kehidupan sehari-hari dimensi ihsan
diaplikasikan dalam bentuk pola prinsip beragama yang tawasuth (modrat),
tawazun (keseimbangan), i’tidal (jalan tengah) dan tasamuh (toleran)8.

D. Urgensi Pendidikan Spiritual dalam Menghadapi Masyarakat


Menurut Dr. KH. Said Aqil Siraj
Pada dasarnya pendidikan sudah eksis sejak budaya dan manusia itu
lahir. Ia bahkan masuk pada relung terdalam dari sisi paling esensial yang
di alami oleh manusia. Pada hakikatnya pendidikan adalah sebuah proses
sosialisasi dan inkulturasi yang menjadi waduk pengaliran nilai-nilai
pengetahuan yang terakumulasi dalam masyarakat. Oleh karenamya
perkembangan masyarakat berkelindan melingkupi pertumbuhan proses

8
Dr. K.H Said Aqil Siraj, tasawuf sebagai kritik sosial 2006 (Bandung, PT Mizan pustaka), hal
229
sosialisasi dan inkulturasi yang nantinya bermuara pada titik optimal atau
bahkan maksimal.
Suatu orientasi tidak akan memunculkan kekuatan dan dinamikanya
tanpa diwujudkan dalam bentuk kesadaran. Dalam mengaplikasikan ilmu
pengetahuan, mengembangkan dan memafaatkan kemajuan teknologi di
zaman mileneal ini, kesadaran relejius, budaya dan ilmiah perlu di tanam,
dan ditumbuh-kembangkan secara porposional. Apa sebab, karena dengan
demikian manusia akan menjadi terarah dan akan meghasilkan output
manusia yang insan kamil.
Penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan kemajuan perkembangan
zaman dalam hal ini adalah teknologi adalah tindakan yanng nir makna
bahkan kekeliruan yang sangat tidak pantas untuk di terapkan dalam
kehidupan, oleh karena ia akan menghasilkan efek yang negatif bagi bangsa
dan negara.
Menurut hamka menyuburkan potensi moral spiritual bukan malah
menjauhkan diri bahkan menolak dari kemajuan teknologi, tetapi agama
menempatkan ilmu dan teknologi sebagai suatu metodologi, alat dan bukan
menjadikanya sebagai tujuan hidup. Sebab tujuan manusia sesuai dengan
martabatnya telah ditentukan oleh tuhanya. Jalan menujunya bisa ditempuh
dengan melakukan aktifitas yang selaras dengan Al Quran dan Hadis dalam
khazanah islam ia dikenal dengan amaliah tasawuf atau laku sufistik9.
Pendidikan tasawuf menghubungkan harmonisasi antara kehidupan
dunia dan kehidupan akhirat. Dengan demikian, bertasawuf tidak harus
meninggalkan kehidupan dunia, tetapi menjadikan kehidupan dunia sebagai
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub ila Allâh). Oleh
karena itu, dunia yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan
diri kepada Allah Swt adalah dunia yang terpuji (al-dunya al-mahmudah),
yakni dunia yang mendorong pemiliknya untuk tetap dekat dengan Allah
Swt.

9
Nur Fajari Rohmiyati, Pemikiran HAMKA Tentang Aspek Ketauhidan (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kaijaga)
Dan pada realitasnya tasawuf bukanlah suatu penyikapan pasif atau
bahkan apatis terhadap fakta sosial yang terjadi di mayapada ini. Seperti di
tegaskan oleh Dr. Abu Al-‘Ala Afifi dalam studinya “tasawuf islam kalsik”
di ejawantahkan bahwa tasafwuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah
revolusi moral-spiritual dalam masyarakat. Oleh sebab apa ia dalam hal ini
adalah (tasawuf) di atribusikan dengan hal tesebut? Suatu formulasi sosial
dalam dunia pendidikan mensyaratkan adanya sebuah dimensi yang
dijadikan sebagai pondasi untuk memunculkan ethical basic atau al-
asasitau-l-akhlaqiyah, dan jelas kedua hal tersebut diasaskan pada aspek
moral-spiritual.
Selain sebagai penyikapan yang bersifat asketis, tasawuf juga
merupakan metode pendidikan yang membimbing manusia dalam
keharmonisan dan keseimbangan total. Seperti ungkapan dalam bukunya
D.r K.H Said Aqil Siraj (tasawuf sebagai kritik sosial) “metode ini
bertumpu pada basis keharmonisan dan pada kesatuan dengan totalitas
alam”10 dalam pemaknaan tersebut cukup kiranya sebagai bukti bahwa
tasawuf bukan hanya sekedar ditinjau dari dimensi partikularnya saja, yang
hanya menjalankan ritual semata-mata dan bersifat personal. Ia hadir dalam
hiruk-pikuk masyarakat dengan tarbiyah pengklasifikasian makna alqur’an
surah (Al-Jumu’ah {62}: 2) Mulai dari dimensi pendidikan iman, islam dan
ihsan. Tasawuf dalam hal ini menempati posisinya pada titik ihsan dalam
aktualisasinya.
“Pendidikan Tasawuf Sosial lebih mengedepankan pada pembinaan
moral (al-akhlâq al-karîmah) dalam kehidupan pribadi dan sosial daripada
untuk mencapai tingkat kewalian atau keajaiban supranatural. Pengamalan
tasawuf tidak harus bertujuan untuk mencapai derajat kewalian atau menjadi
wali, atau bertujuan untuk mendapatkan keanehan-keanehan supranatural,
seperti bisa terbang, bisa berjalan di atas air, bisa memperpendek waktu

10
Dr. K.H Said Aqil Siraj, tasawuf sebagai kritik sosial 2006 (Bandung, PT Mizan pustaka), hal
54
tempuh ketempat yang jau calon nabi, karamah bagi para wali, orang shaleh,
semuanya itu datang atas izin Allah Swt. Semua itu adalah bersifat
pemberian langsung dari Allah Swt (wahbiyah), bukan bersifat hasil usaha
manusia (kasbiyah). Dengan demikian, Tasawuf Sosial lebih menekankan
pada pembinaan moral (akhlaq) sebagai tujuan utama dari pengamalan
tasawuf. Pengamalan tasawuf tidak bedrujuan untuk mencapai derajat
kewalian, atau bertujuan untuk mendapatkan keanehan”.
Bertasawuf yang benar berarti sebuah pendidikan bagi kecerdasan
spiritual (kini dikenal dengan metode “ESQ”). Intinya adalah belajar untuk
etap mingikuti tuntuan agama entah dalam keadaan di timpa musibah,
memperoleh keberuntungan, kekayaan, kemiskinan, ataupun sedang dalam
keadaan pengendalian diri.
Dalam faktanya ,kultur pendidikan negara kita ini, yang ,
dikembangkan masih terlalu mementingkan arti akademik, kecerdasan, dan
bisa di lekatkan pada kata “jarang” yang terarah pada kecerdasan emosi dan
spiritual. Dan bisa di sepakati bahwa kecerdasan emosi dan spiritual
memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah : mengajarkan integritas,
kejujuran, komitmen, kreativitas, kebijaksanaan, dan sinergitas. Dalam
tasawuf, IQ (dzaka aqli) EQ (dzaka dihni) dan SQ (dzaka qalbi) merupakan
komponen kemanusiaan yang perlu dikembangkan secara harmonis, guna
menghasilkan daya yang luar biasa, baik secara horizontal hablun-min-al-
alam maupun secara vertikal dalam relasinya dengan yang transenden
hablun-min-allah. Tanpa konsep tersebut yang timbul adalah, krisis moral,
nihilnya sumber daya manusia(SDM), dan dangkalnya cakrawala berpikir
yang akan bermuara pada pemikiran yang sempit bahkan penolakan
terhadap pluralitas.
Krisis moral yang melanda bangsa Indonesia adalah sebagai akibat
dari krisis spiritual. Sebab keberagamaan bangsa Indonesia pada umumnya,
khususnya umat Islam, lebih mementingkan agama dalam bentuknya yang
formal daripada rasa penghayatan batin terhadap agama, sehingga agama
tidak menimbulkan kesan apa-apa pada jiwa mereka. Penghayatan batin
terhadap agama dapat ditempa melalui latihan rohani “riyadhah” dan
bersungguh-sungguh berjuang mengendalikan hawa nafsu “mujahadah”,
dan tasawuf adalah sebagai salah satu solusi alternatif yang nanpaknya
efektif dalam menumbuhkan rasa penghayatan batin terhadap pengamalan
agama.
Berarti tanpa kita sadari selama ini ada jarak yang terlalu menganga-
merentang antara pendidikan khususnya sekolah dengan kehidupan. Alih-
alih cakap menghadapi dan mnghidupi hidup, sekolah justru telah
menjauhkan anak didik dari kehidupan, apalagi dalam hal keagamaan11.
Kesulitan terbesar yang di hadapi oleh para sarjana dan lulusan sekolah
adalah konkretnya pengangguran jauh lebih tinggi, apalagi untuk
menghasilkan output yang mengarah pada sisi ke religiusan.

Kesimpulan dan Saran


A. Kesimpulan
Urgensi erat kaitannya dengan suatu prioritas. Prioritas adalah
menentukan urutan mana yang lebih penting. Prioritas itu ditentukan dengan
cara membuat skala. Skala prioritas inilah yang dilihat menurut urgensinya.
Seberapa mendesak suatu masalah harus segera diselesaikan.
Seperti di Negara kita ini dalam faktanya ,kultur pendidikan negara kita
ini, yang , dikembangkan masih terlalu mementingkan arti akademik,
kecerdasan, dan bisa di lekatkan pada kata “jarang” yang terarah pada
kecerdasan emosi dan spiritual. Suatu formulasi sosial dalam dunia
pendidikan mensyaratkan adanya sebuah dimensi yang dijadikan sebagai
pondasi untuk memunculkan ethical basic atau al-asasitau-l-akhlaqiyah, dan
jelas kedua hal tersebut diasaskan pada aspek moral-spiritual. Dan pada
realitasnya tasawuf bukanlah suatu penyikapan pasif atau bahkan apatis
terhadap fakta sosial yang terjadi di mayapada ini
Selain sebagai penyikapan yang bersifat asketis, tasawuf juga
merupakan metode pendidikan yang membimbing manusia dalam

11
Achmad, Dhofir, Zuhri, Kondom Geregaji, 2018(Jakarta: PT Gramedia,), hal. 3
keharmonisan dan keseimbangan total”. metode ini bertumpu pada basis
keharmonisan dan pada kesatuan dengan totalitas alam” dalam pemaknaan
tersebut cukup kiranya sebagai bukti bahwa tasawuf bukan hanya sekedar
ditinjau dari dimensi partikularnya saja, yang hanya menjalankan ritual
semata-mata dan bersifat personal. Ia hadir dalam hiruk-pikuk masyarakat
dengan tarbiyah pengklasifikasian makna alqur’an surah (Al-Jumu’ah {62}:
2) Mulai dari dimensi pendidikan iman, islam dan ihsan. Tasawuf dalam hal
ini menempati posisinya pada titik ihsan dalam aktualisasinya. Pada
prakteknya di kehidupan sehari-hari dimensi ihsan diaplikasikan dalam
bentuk pola prinsip beragama yang tawasuth (modrat), tawazun
(keseimbangan), i’tidal (jalan tengah) dan tasamuh (toleran).
B. Saran
Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan pengetahuan terkait dengan pentingnya pendidikan spiritual
dalam hal ini adalah tasawuf untuk para penggiat ilmiah, pelajar, dan
Khususnya yang berminat untuk mengetahui lebih jauh tentang pendidikan
yang bersifat sufustik ini, maka perlu modifikasi variabel-variabel
independen baik menambah variabel atau menambah time series datanya.
Sehingga akan lebih objektif dan bervariasi dalam melakukan penelitian.

Daftar Pustaka

Abdu Ad-Daim, Abdullah, 1984, At-Tarbiyah Ibra At-Tarikh minal-Ushur Al-


Qadimah hatta ‘Awail Al Qornil ‘Isyrin (Beirut, Darul ‘Ilm)

Abdul Baqi, Muhammad Fuad, 1980, Al-Mu’jam Al-Mufahras lil Alfadhil


Qur’anil Karim (Beirut: Darul ‘Ilm lil Malayin)

Achmad, Dhofir, Zuhri, Kondom Geregaji, 2018, (Jakarta: PT Gramedia).

Al-Baidzuri, Futuhul Buldan, 1350 H, (Kairo).


Al-Raghīb Al-Ashfahani, 1961, Al-Mufradāt Fī Gharīb Al-Qur’ān (Mesir:
Mustafā).

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, (Jakarta: Balai Pustaka).


Hasyim Syah Nasution, Filsafat Islam, 2002 (Jakarta: Gaya Media Pratama).

HR. Albazar, hd 8949, (HR. Al baihaqi hd, 21301).

Ibnu Faris, 1994, Mu’jam Al-Maqāyīs Fi Al-Lughah (Beirut: Dar al-Fikri, ).

M. Quraish Shihab, 1996, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai


Persoalan Umat (Beirut: Mizan).

Nur uhbiyati, 1998, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia).

Ramayulis, 2011, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,).

Said Aqil Siraj, 2006, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, (Bandung, Mizan Pustaka).

Siraj, Said Aqil, 2011, shilatullahi bil kauni: fi at-tashawufi al-falsafi (desertasi
doktoral,) (Makkah: Umm Quro).

Anda mungkin juga menyukai