This research is based on a phenomenon taken from the life of modern society which
is not least experiencing a crisis of meaning in life or spiritual emptiness, and even
we ourselves often experience it. Therefore, the authors present this research,
namely the urgency of spiritual education in dealing with society from the
perspective of Dr. KH.Said Aqil Siraj in his book "Sufism as social criticism". In
this regard, it is hoped that it can answer these problems and can become a
provision for future lives. The main purpose of this spiritual education is to equip
the individual self which refers to the formation of harmony in good relations with
himself, fellow human beings and the natural environment as well as with God.
Implementation of spiritual education for character development, namely
optimizing the processing of the human soul itself, of course, is in accordance with
the example of the Prophet. Character development requires a spiritual intake,
because this is the basis of human character development.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup dan
kehidupan manusia. Mulai dari dalam kandungan sampai beranjak dewasa
kemudian tua, manusia akan mengalami proses pendidikan yang didapatkan dari
orangtua, masyarakat maupun lingkungannya. Dalam masyarakat yang dinamis,
pendidikan memegang peranan penting yang menentukan eksistensi dan
perkembangan masyarakat, karena pendidikan merupakan usaha melestarikan dan
mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek
dan jenisnya kepada generasi penerus1.
1
Nur uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam,1998 (Bandung: CV Pustaka Setia), hal. 14
adalah bagaimana masyarakat menyesuaikan diri dan menempatkan diri dengan
sebaik-baiknya dalam berinteraksi dengan semua itu dan dengan siapapun2.
Problemnya adalah tak jarang di dapati fakta baik dunia nyata maupun maya,
Islam termasuk pendidikan yang berada dalam naungannya acapkali dinilai dengan
sesuatu yang bersifat negatif. Islam selama ini selalu di kaitkan dengan pola
aktifitas kekerasan, anarkisme, dan sebagian yang lain mengkaitkanya dengan
agama yang bengis. Oleh karenanya asumsi demikian tidaklah di benarkan dalam
Islam, dengan bukti bahwa Rasulullah Saw sendiri ketika melepas tentara Islam
yang akan diberangkatkan untuk berperang, sudah memperingatkan para sahabat
untuk tetap menjaga etika.
Berbicara tentang urgensi pendidikan spiritual sebagai contoh sederhananya
adalah etika. Dalam Islam ketika membahas etika berarti membahas tentang misi
Islam diturunkan ke dunia ini, yakni Islam sebagai agama yang basis ataupun
outuput pendidikanya adalah rahmatan lil ‘alamin.
Dalam hadits, Nabi pernah menegaskan bahwa “ innama bu’itstu li utammima
makarimal akhlaq” (sesungguhnya aku diutus tidak lain dan tidak bukan adalah
untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia)3. Penulisan ini ingin menunjukan
sesuatu yang notabene kurang diperhatikan, diremehkan, bahkan diabaikan dalam
perbincangan tentang Islam belakangan ini, oleh khalayak manusia yang hidup di
zaman mileneal. Maraknya sejumlah aksi intimidasi, memperkosa hak-hak, dan
kekerasan yang mengatasnamakan Islam , hal ini menegaskan fakta bahwa
pendidikan, etika dan moralitas dalam agama Islam sudah terlepas jauh dari
pengalaman keagamaan manusia di bumi ini. kaitkan dengan pola aktifitas
kekerasan, anarkisme, dan sebagian yang lain mengkaitkanya dengan agama yang
bengis. Oleh karenanya asumsi demikian tidaklah di benarkan dalam Islam, dengan
bukti bahwa Rasulullah Saw sendiri ketika melepas tentara Islam yang akan
diberangkatkan untuk berperang, sudah memperingatkan para sahabat untuk tetap
menjaga etika.
2
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, 2011 (Jakarta: Kalam Mulia), hal. 17
3
HR. Albazar, hd 8949, (HR. Al baihaqi hd, 21301)
Berbicara tentang urgensi pendidikan spiritual sebagai contoh sederhananya adalah
etika. Dalam Islam ketika membahas etika berarti membahas tentang misi Islam
diturunkan ke dunia ini, yakni Islam sebagai agama yang basis ataupun outuput
pendidikanya adalah rahmatan lil ‘alamin.
Dalam hadits, Nabi pernah menegaskan bahwa “ innama bu’itstu li
utammima makarimal akhlaq” (sesungguhnya aku diutus tidak lain dan tidak
bukan adalah untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia).4 Penulisan ini ingin
menunjukan sesuatu yang notabene kurang diperhatikan, diremehkan, bahkan
diabaikan dalam perbincangan tentang Islam belakangan ini, oleh khalayak
manusia yang hidup di zaman mileneal. Maraknya sejumlah aksi intimidasi,
memperkosa hak-hak, dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam , hal ini
menegaskan fakta bahwa pendidikan, etika dan moralitas dalam agama Islam sudah
terlepas jauh dari pengalaman keagamaan manusia di bumi ini.
Masuk ke ranah ini, tasawuf penting kiranya untuk ditinjau kembali dari
dimensi partikularnya, yang hanya menjalankan ritual semata-mata dan bersifat
personal. Perlu diketahui bahwa tasawuf merupakan sebuah misi yang esensi bagi
manusia dan menggenapi misi Islam secara holistik. Mulai dari dimensi pendidikan
iman, Islam dan ihsan. Tasawuf dalam hal ini menempati posisinya pada titik ihsan
dalam aktualisasinya. Pada prakteknya di kehidupan sehari-hari dimensi ihsan
diaplikasikan dalam bentuk pola prinsip beragama yang tawasuth (modrat),
tawazun (keseimbangan), i’tidal (jalan tengah) dan tasamuh (toleran)5.
Dalam khalayak umum ketiga aspek Ahlussunah Waljama’ah ini, kadang-
kadang seseorang atau oknum daripada keagamaan hanya mengimplementasilan
dua, atau salah satu dari ketiga aspek tersebut. Oleh karenanya efek yang dihasilkan
adalah rusaknya tatanan kosmis yang seimbang dan harmonis ini. Para pemuka
agama, penganjur kesalehan, seringkali mengabaikan pendidikan di sisi batiniah
dan etis itu dalam Islam , hal ini justru dianggap sebagai melanggar sunnatullah
4
HR. Albazar, hd 8949, (HR. Al baihaqi hd, 21301)
5
Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, 2006 (Bandung, Mizan Pustaka)hal 16
yang menghendaki manusia di dunia ini hidup secara harmonis dan
berkeseimbangan.
Dari pemaparan diatas peneliti tetarik untuk sedikit mengejawantahkan
problematika mengenai urgensi pendidiakn spiritual, dengan menggunakan data
primer berupa buku karya Dr. KH. Said Aqil Siraj. Alasan peneliti menggunakan
buku tersebut, secara asumsi peneliti, buku “tasawuf sebagai kritik sosial” memang
perlu dikaji oleh karena pembahsanya mengenai kajian ala pesantren (islam klasik)
dengan menunjukan sisi kontekstual yang sangat relevan untuk di gunakan pada era
mileneal ini.
Metode Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library reseach).
Pendekatan yang digunakan ialah pendekatan filosofis. Metode analisis data dalam
penelitian ini ialah menggunakan teknik content analisis. Adapun tahap-tahap
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data kepustakaan.
Data yang dikumpulkan berupa buku acuan, karya-karya ilmiah, paradigma yang
berhubungan dengan analisis teks yang bersifat spesifik, jurnal, desertasi, tesis,
artikel, dan juga data-data yang relevan dengan masalah yang yang diteliti.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas dua kategori yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer berupa perspektif Dr.
K.H Said Aqil Siraj tentang urgensi pendidikan spiritual yang dijadika barometer
pertama yaitu dalam bukunya “tasawuf sebagai kritik sosial”. Pengertian dan
perspektif urgensi pendidikan spiritual dikaji dan dipahami berdasarkan kata, frasa,
kalimat, paragraf, pemahaman dan peristiwa-peristiawa yang dijelaskan melalui
tanda-tanda terentu. Data sekunder berfungsi untuk lebih memperjelas, menguatkan
masalah yang akan dibahas.
6
Haryanto, 2012: dalam artikel “pengertian pendidikan menurut para akhli http://belajarpsikologi.
com/pengertianpendidikan-menurut-ahli/ diakes pada tanggal 9 april 2017
7
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005(Jakarta: Balai Pustaka), hal. 857.
eksklusisvme dalam islam dimana sesuatu yang seharusnya karena
bertentangan dengan semangat rahmah lil alamin.
Dan dari dialog yang dihasilkan dari membaca buku “tasawuf
sebagai kritik sosial” out put yang dituju adalah bahwa dalam buku tersebut
Dr. Said Aqil Siraj tidak secara gamblang menyebutkan pendidikan
spiritual, tapi beliau menyebutkanya sebagai “pendidikan sufistik”. Dalam
buku tersebut beliau megatakan : “Selain sebagai penyikapan yang bersifat
asketis, tasawuf juga merupakan metode pendidikan yang membimbing
manusia dalam keharmonisan dan keseimbangan total”. metode ini
bertumpu pada basis keharmonisan dan pada kesatuan dengan totalitas
alam” dalam pemaknaan tersebut cukup kiranya sebagai bukti bahwa
tasawuf bukan hanya sekedar ditinjau dari dimensi partikularnya saja, yang
hanya menjalankan ritual semata-mata dan bersifat personal. Ia hadir dalam
hiruk-pikuk masyarakat dengan tarbiyah pengklasifikasian makna alqur’an
surah (Al-Jumu’ah {62}: 2) Mulai dari dimensi pendidikan iman, islam dan
ihsan. Tasawuf dalam hal ini menempati posisinya pada titik ihsan dalam
aktualisasinya. Pada prakteknya di kehidupan sehari-hari dimensi ihsan
diaplikasikan dalam bentuk pola prinsip beragama yang tawasuth (modrat),
tawazun (keseimbangan), i’tidal (jalan tengah) dan tasamuh (toleran)8.
8
Dr. K.H Said Aqil Siraj, tasawuf sebagai kritik sosial 2006 (Bandung, PT Mizan pustaka), hal
229
sosialisasi dan inkulturasi yang nantinya bermuara pada titik optimal atau
bahkan maksimal.
Suatu orientasi tidak akan memunculkan kekuatan dan dinamikanya
tanpa diwujudkan dalam bentuk kesadaran. Dalam mengaplikasikan ilmu
pengetahuan, mengembangkan dan memafaatkan kemajuan teknologi di
zaman mileneal ini, kesadaran relejius, budaya dan ilmiah perlu di tanam,
dan ditumbuh-kembangkan secara porposional. Apa sebab, karena dengan
demikian manusia akan menjadi terarah dan akan meghasilkan output
manusia yang insan kamil.
Penolakan terhadap ilmu pengetahuan dan kemajuan perkembangan
zaman dalam hal ini adalah teknologi adalah tindakan yanng nir makna
bahkan kekeliruan yang sangat tidak pantas untuk di terapkan dalam
kehidupan, oleh karena ia akan menghasilkan efek yang negatif bagi bangsa
dan negara.
Menurut hamka menyuburkan potensi moral spiritual bukan malah
menjauhkan diri bahkan menolak dari kemajuan teknologi, tetapi agama
menempatkan ilmu dan teknologi sebagai suatu metodologi, alat dan bukan
menjadikanya sebagai tujuan hidup. Sebab tujuan manusia sesuai dengan
martabatnya telah ditentukan oleh tuhanya. Jalan menujunya bisa ditempuh
dengan melakukan aktifitas yang selaras dengan Al Quran dan Hadis dalam
khazanah islam ia dikenal dengan amaliah tasawuf atau laku sufistik9.
Pendidikan tasawuf menghubungkan harmonisasi antara kehidupan
dunia dan kehidupan akhirat. Dengan demikian, bertasawuf tidak harus
meninggalkan kehidupan dunia, tetapi menjadikan kehidupan dunia sebagai
sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. (taqarrub ila Allâh). Oleh
karena itu, dunia yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan
diri kepada Allah Swt adalah dunia yang terpuji (al-dunya al-mahmudah),
yakni dunia yang mendorong pemiliknya untuk tetap dekat dengan Allah
Swt.
9
Nur Fajari Rohmiyati, Pemikiran HAMKA Tentang Aspek Ketauhidan (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kaijaga)
Dan pada realitasnya tasawuf bukanlah suatu penyikapan pasif atau
bahkan apatis terhadap fakta sosial yang terjadi di mayapada ini. Seperti di
tegaskan oleh Dr. Abu Al-‘Ala Afifi dalam studinya “tasawuf islam kalsik”
di ejawantahkan bahwa tasafwuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah
revolusi moral-spiritual dalam masyarakat. Oleh sebab apa ia dalam hal ini
adalah (tasawuf) di atribusikan dengan hal tesebut? Suatu formulasi sosial
dalam dunia pendidikan mensyaratkan adanya sebuah dimensi yang
dijadikan sebagai pondasi untuk memunculkan ethical basic atau al-
asasitau-l-akhlaqiyah, dan jelas kedua hal tersebut diasaskan pada aspek
moral-spiritual.
Selain sebagai penyikapan yang bersifat asketis, tasawuf juga
merupakan metode pendidikan yang membimbing manusia dalam
keharmonisan dan keseimbangan total. Seperti ungkapan dalam bukunya
D.r K.H Said Aqil Siraj (tasawuf sebagai kritik sosial) “metode ini
bertumpu pada basis keharmonisan dan pada kesatuan dengan totalitas
alam”10 dalam pemaknaan tersebut cukup kiranya sebagai bukti bahwa
tasawuf bukan hanya sekedar ditinjau dari dimensi partikularnya saja, yang
hanya menjalankan ritual semata-mata dan bersifat personal. Ia hadir dalam
hiruk-pikuk masyarakat dengan tarbiyah pengklasifikasian makna alqur’an
surah (Al-Jumu’ah {62}: 2) Mulai dari dimensi pendidikan iman, islam dan
ihsan. Tasawuf dalam hal ini menempati posisinya pada titik ihsan dalam
aktualisasinya.
“Pendidikan Tasawuf Sosial lebih mengedepankan pada pembinaan
moral (al-akhlâq al-karîmah) dalam kehidupan pribadi dan sosial daripada
untuk mencapai tingkat kewalian atau keajaiban supranatural. Pengamalan
tasawuf tidak harus bertujuan untuk mencapai derajat kewalian atau menjadi
wali, atau bertujuan untuk mendapatkan keanehan-keanehan supranatural,
seperti bisa terbang, bisa berjalan di atas air, bisa memperpendek waktu
10
Dr. K.H Said Aqil Siraj, tasawuf sebagai kritik sosial 2006 (Bandung, PT Mizan pustaka), hal
54
tempuh ketempat yang jau calon nabi, karamah bagi para wali, orang shaleh,
semuanya itu datang atas izin Allah Swt. Semua itu adalah bersifat
pemberian langsung dari Allah Swt (wahbiyah), bukan bersifat hasil usaha
manusia (kasbiyah). Dengan demikian, Tasawuf Sosial lebih menekankan
pada pembinaan moral (akhlaq) sebagai tujuan utama dari pengamalan
tasawuf. Pengamalan tasawuf tidak bedrujuan untuk mencapai derajat
kewalian, atau bertujuan untuk mendapatkan keanehan”.
Bertasawuf yang benar berarti sebuah pendidikan bagi kecerdasan
spiritual (kini dikenal dengan metode “ESQ”). Intinya adalah belajar untuk
etap mingikuti tuntuan agama entah dalam keadaan di timpa musibah,
memperoleh keberuntungan, kekayaan, kemiskinan, ataupun sedang dalam
keadaan pengendalian diri.
Dalam faktanya ,kultur pendidikan negara kita ini, yang ,
dikembangkan masih terlalu mementingkan arti akademik, kecerdasan, dan
bisa di lekatkan pada kata “jarang” yang terarah pada kecerdasan emosi dan
spiritual. Dan bisa di sepakati bahwa kecerdasan emosi dan spiritual
memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah : mengajarkan integritas,
kejujuran, komitmen, kreativitas, kebijaksanaan, dan sinergitas. Dalam
tasawuf, IQ (dzaka aqli) EQ (dzaka dihni) dan SQ (dzaka qalbi) merupakan
komponen kemanusiaan yang perlu dikembangkan secara harmonis, guna
menghasilkan daya yang luar biasa, baik secara horizontal hablun-min-al-
alam maupun secara vertikal dalam relasinya dengan yang transenden
hablun-min-allah. Tanpa konsep tersebut yang timbul adalah, krisis moral,
nihilnya sumber daya manusia(SDM), dan dangkalnya cakrawala berpikir
yang akan bermuara pada pemikiran yang sempit bahkan penolakan
terhadap pluralitas.
Krisis moral yang melanda bangsa Indonesia adalah sebagai akibat
dari krisis spiritual. Sebab keberagamaan bangsa Indonesia pada umumnya,
khususnya umat Islam, lebih mementingkan agama dalam bentuknya yang
formal daripada rasa penghayatan batin terhadap agama, sehingga agama
tidak menimbulkan kesan apa-apa pada jiwa mereka. Penghayatan batin
terhadap agama dapat ditempa melalui latihan rohani “riyadhah” dan
bersungguh-sungguh berjuang mengendalikan hawa nafsu “mujahadah”,
dan tasawuf adalah sebagai salah satu solusi alternatif yang nanpaknya
efektif dalam menumbuhkan rasa penghayatan batin terhadap pengamalan
agama.
Berarti tanpa kita sadari selama ini ada jarak yang terlalu menganga-
merentang antara pendidikan khususnya sekolah dengan kehidupan. Alih-
alih cakap menghadapi dan mnghidupi hidup, sekolah justru telah
menjauhkan anak didik dari kehidupan, apalagi dalam hal keagamaan11.
Kesulitan terbesar yang di hadapi oleh para sarjana dan lulusan sekolah
adalah konkretnya pengangguran jauh lebih tinggi, apalagi untuk
menghasilkan output yang mengarah pada sisi ke religiusan.
11
Achmad, Dhofir, Zuhri, Kondom Geregaji, 2018(Jakarta: PT Gramedia,), hal. 3
keharmonisan dan keseimbangan total”. metode ini bertumpu pada basis
keharmonisan dan pada kesatuan dengan totalitas alam” dalam pemaknaan
tersebut cukup kiranya sebagai bukti bahwa tasawuf bukan hanya sekedar
ditinjau dari dimensi partikularnya saja, yang hanya menjalankan ritual
semata-mata dan bersifat personal. Ia hadir dalam hiruk-pikuk masyarakat
dengan tarbiyah pengklasifikasian makna alqur’an surah (Al-Jumu’ah {62}:
2) Mulai dari dimensi pendidikan iman, islam dan ihsan. Tasawuf dalam hal
ini menempati posisinya pada titik ihsan dalam aktualisasinya. Pada
prakteknya di kehidupan sehari-hari dimensi ihsan diaplikasikan dalam
bentuk pola prinsip beragama yang tawasuth (modrat), tawazun
(keseimbangan), i’tidal (jalan tengah) dan tasamuh (toleran).
B. Saran
Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan pengetahuan terkait dengan pentingnya pendidikan spiritual
dalam hal ini adalah tasawuf untuk para penggiat ilmiah, pelajar, dan
Khususnya yang berminat untuk mengetahui lebih jauh tentang pendidikan
yang bersifat sufustik ini, maka perlu modifikasi variabel-variabel
independen baik menambah variabel atau menambah time series datanya.
Sehingga akan lebih objektif dan bervariasi dalam melakukan penelitian.
Daftar Pustaka
Said Aqil Siraj, 2006, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, (Bandung, Mizan Pustaka).
Siraj, Said Aqil, 2011, shilatullahi bil kauni: fi at-tashawufi al-falsafi (desertasi
doktoral,) (Makkah: Umm Quro).