Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN O DENGAN FRAKTUR MAXILLA BILATERAL

DI BANGSAL CENDANA I RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Disusun Oleh :

Deny Anjarwati (220300880)

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ALMA ATA

YOGYAKARTA

2023
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN. O DENGAN FRAKTUR MAXILLA BILATERAL

DI BANGSAL CENDANA 1 RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Disusun oleh :

Deny Anjarwati (220300880)

Telah mendapatkan persetujuan dan pengesahan

Pada tanggal……………………..

Preceptor Pembimbing Akademik

( Sunyar, S.Kep.,Ners) (Muhammad G.A Putra, S.Kep.,Ns.,


M.Kep.)
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Fraktur adalah
hilangnya atau putusnya
kontinuitas jaringan
keras tubuh. Fraktur
maxilla
C. terjadi ketika
maxilla menjadi retak
atau patah. Fraktur
maxilla terjadi karena
seseorag
D. mengalami cedera
pada wajah akibat dari
jatuh, kecelakaan mobil,
tertusuk, atau berlari ke
E. suatu objek. Fraktur
adalah patah tulang,
biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga
fisik.
F. Kekuatan dan sudut
dari tenaga tersebut,
keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar
tulang
G. akan menentukan
apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap
(Andreasen et
H. al., 20018).
I. Fraktur adalah
hilangnya atau putusnya
kontinuitas jaringan
keras tubuh. Fraktur
maxilla
J. terjadi ketika
maxilla menjadi retak
atau patah. Fraktur
maxilla terjadi karena
seseorag
K. mengalami cedera
pada wajah akibat dari
jatuh, kecelakaan mobil,
tertusuk, atau berlari ke
L. suatu objek. Fraktur
adalah patah tulang,
biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga
fisik.
M. Kekuatan dan sudut
dari tenaga tersebut,
keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar
tulang
N. akan menentukan
apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap
(Andreasen et
O. al., 20018).
P. Fraktur adalah
hilangnya atau putusnya
kontinuitas jaringan
keras tubuh. Fraktur
maxilla
Q. terjadi ketika
maxilla menjadi retak
atau patah. Fraktur
maxilla terjadi karena
seseorag
R. mengalami cedera
pada wajah akibat dari
jatuh, kecelakaan mobil,
tertusuk, atau berlari ke
S. suatu objek. Fraktur
adalah patah tulang,
biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga
fisik.
T. Kekuatan dan sudut
dari tenaga tersebut,
keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar
tulang
U. akan menentukan
apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap
(Andreasen et
V. al., 20018).
W. Fraktur adalah
hilangnya atau putusnya
kontinuitas jaringan
keras tubuh. Fraktur
maxilla
X. terjadi ketika
maxilla menjadi retak
atau patah. Fraktur
maxilla terjadi karena
seseorag
Y. mengalami cedera
pada wajah akibat dari
jatuh, kecelakaan mobil,
tertusuk, atau berlari ke
Z. suatu objek. Fraktur
adalah patah tulang,
biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga
fisik.
AA. Kekuatan dan sudut
dari tenaga tersebut,
keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar
tulang
BB. akan menentukan
apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap
(Andreasen et
CC. al., 20018).
DD. Fraktur adalah
hilangnya atau putusnya
kontinuitas jaringan
keras tubuh. Fraktur
maxilla
EE.terjadi ketika
maxilla menjadi retak
atau patah. Fraktur
maxilla terjadi karena
seseorag
FF. mengalami cedera
pada wajah akibat dari
jatuh, kecelakaan mobil,
tertusuk, atau berlari ke
GG. suatu objek.
Fraktur adalah patah
tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik.
HH. Kekuatan dan sudut
dari tenaga tersebut,
keadaan tulang, dan
jaringan lunak disekitar
tulang
II. akan menentukan
apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap
(Andreasen et
JJ. al., 20018).
Patah tulang atau fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang
rawan dan lempeng petumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non
trauma. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan
fraktur tidak lengkap adalah fraktur yang tidak melibatkan seluruh ketebalan
tulang. Pada beberapa keadaan trauma muskulos keletal, fraktur dan dislokasi
dapat terjadi bersamaan. Hal ini terjadi apabila kehilangan hubungan yang
normal antara kedua permukaan tulang disertai dengan fraktur persendian
tersebut. World Health Organization (WHO) mencatat pada tahun 2011 –
2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita
fraktur akibat kecelakaan lalu lintas (1).
Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan
kerja, kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Tetapi fraktur juga bisa terjadi
akibat faktor lain seperti proses degeneratif dan patologi. Fraktur os maxilla
sendiri bagian dari trauma maxillofacial cukup sering ditemukan walaupun
lebih jarang dibandingkan dengan fraktur mandibula. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab tersering fraktur maxilla maupun fraktur
wajah lainya. Pada fraktur maxilla juga dapat muncul berbagai komplikasi
yang cukup berat, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mengakibatkan kecacatan dan kematian (2).
Trauma maxillofacial cukup sering terjadi. Hampir semua dokter baik
itu dokter umum maupun dokter spesialis bedah mendapatkan pasien trauma
wajah selama prakteknya. Dokter bedah plastik yang memiliki keahlihan
khusus dalam anatomi wajah, latar belakang estetika, dan keahlihan dalam
penyembuhan luka sering kali mendapatkan rujukan untuk menangani pasien
trauma wajah.
Berdasarkan kasus tersebut penulis tertarik mengambil kasus pada
pasien yang mengalami fraktur maxilla bilateral. Laporan kasus yang akan
dipaparkan berjudul “Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Pada
Tn. O dengan Fraktur Maxilla Bilateral di Bangsal Cendana 1 RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta”.

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Tujuan laporan ini untuk mengetahui masalah kesehatan dan memberikan


gambaran tentang pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. O dengan
fraktur maxilla bilateral di Bangsal Cendana 1 RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu mengetahui landasan teoritis fraktur maxilla bilateral.


b. Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada Tn. O dengan
fraktur maxilla bilateral.
c. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada Tn. O dengan fraktur
maxilla bilateral.
d. Mahasiswa mampu menyusun intervensi pada Tn. O dengan fraktur
maxilla bilateral.
e. Mahasiswa mampu memberikan implementasi berdasarkan intervensi
yang telah disusun.
f. Mahasiswa mampu mengevaluasi hasil dari tindakan keperawatan yang
telah di lakukan.
C. Manfaat

1. Manfaat teoritis

Dapat mengetahui penatalaksanaan fraktur maxilla bilateral berdasarkan

sumber literatur sehingga dapat mengurangi kondisi yang semakin

memburuk pada pasien dengan fraktur maxilla bilateral.

2. Manfaat praktis

a. Bagi perawat

Diharapkan laporan asuhan keperawatan ini dapat menjadi tambahan

informasi mengenai penatalaksanaan dan sebagai masukan dalam rangka

meningkatkan pelayanan pada pasien dengan fraktur maxilla bilateral.

b. Bagi pasien

Diharapkan tindakan asuhan keperawatan ini mampu memantau

mempercepat proses kesembuhan pada pasien dengan fraktur maxilla

bilateral.

c. Bagi mahasiswa

Sebagai tambahan pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan ilmu

keperawatan khususnya keperawatan medikal bedah yang telah

didapatkan selama di lahan pendidikan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Fraktur Maxilla

1. Definisi Fraktur Maxilla

Patah tulang atau fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang,

tulang rawan dan lempeng petumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan

non trauma. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,

sedangkan fraktur tidak lengkap adalah fraktur yang tidak melibatkan

seluruh ketebalan tulang. Fraktur maxilla terjadi ketika rahang atas

mengalami patah atau retak. Fraktur os maxilla sendiri bagian dari trauma

maxillofacial cukup sering ditemukan walaupun lebih jarang dibandingkan

dengan fraktur mandibular (3).

2. Etiologi

a. Terjadinya fraktur pada daerah 1/3 tengah wajah adalah karena

kebanyakan kecelakaan lalu lintas.

b. Fraktur maksilofasial karena tindak kejahatan atau penganiayaan.

c. Fraktur midface karena kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh,

trauma benda tumpul lainnya (3).

3. Manifestasi Klinis
Gejala fraktur maxilla antara lain (3):
a. Mimisan
b. Memar disekitar mata
c. Bengkak pada pipi
d. Bentuk sekitar hidung tak beraturan
e. Memiliki penglihatan ganda
f. Terjadi mati rasa di daerah rahang atas
g. Mengalami kesulitan mengunyah, menelan
h. Terdapat gigi yang patah
4. Patofisiologi
Fraktur pada midface seringkali terjadi akibat kecelakan kendaraan
bermotor, terjatuh, kekerasan, dan akibat trauma benda tumpul lainnya.4
Untuk fraktur maksila sendiri, kejadiannya lebih rendah dibandingkan
dengan fraktur midface lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh
Rowe dan Killey pada tahun 1995, rasio antara fraktur mandibula dan
maksila melebihi 4:1. Beberapa studi terakhir yang dilakukan pada unit
trauma rumah sakit-rumah sakit di beberapa negara menunjukkan bahwa
insiden fraktur maksila lebih banyak terkait dengan fraktur mandibula.2
Data lainnya juga dilaporkan dari trauma centre level 1, bahwa diantara
663 pasien fraktur tulang wajah, hanya 25.5% berupa fraktur maksila.5 Di
University of Kentucky Medical Centre, dari 326 pasien wanita dewasa
dengan facial trauma, sebanyak 42.6% trauma terjadi akibat kecelakan
kendaraan bermotor, 21.5% akibat terjatuh, akibat kekerasan 13.8%,
penyebab yang tidak ingin diungkapkan oleh pasien 10,7%, cedera saat
berolahraga 7,7%, akibat kecelakaan lainnya 2,4%,dan luka tembak
sebagai percobaan bunuh diri serta akibat kecelakan kerja masing-masing
0.6%. Diantara 45 pasien korban kekerasan, 19 orang diantaranya
mengalami trauma wajah akibat intimate partner violence (IPV) atau
kekerasan dalam rumah tangga. Disamping mekanisme yang disebutkan di
atas, osteoporosis ternyata juga berpengaruh terhadap insiden fraktur
maksilofasial termasuk maksila. Hal tersebut didapatkan dari review
retrospektif yang dilakukan pada 59 pasien fraktur maksilofasial yang
berusia 60 tahun ke atas di sebuah trauma centre antara tahun 1989 dan
2000. Didapat bahwa semakin parah kondisi osteoporosis, semakin besar
kemungkinan jumlah fraktur maksilofasial yang dialami. Oleh karena itu,
benturan yang lebih ringan akibat terjatuh bisa menimbulkan fraktur
maksilofasial multipel sebagaimana yang terjadi pada kecelakaan
kendaraan bermotor jika pasien mengalami osteoporosis yang parah. (1)
5. Penatalaksanaan
a. Fiksasi Maksilomandibular. Teknik ini merupakan langkah pertama
dalam treatment fraktur maksila untuk memungkinkan restorasi
hubungan oklusal yang tepat dengan aplikasi arch bars serta kawat
interdental pada arkus dental atas dan bawah. Prosedur ini
memerlukan anestesi umum yang diberikan melalui nasotracheal tube.
Untuk ahli bedah yang sudah berpengalaman dapat pula diberikan
melalui oral endotracheal tube yang ditempatkan pada gigi molar
terakhir. Tracheostomy biasanya dihindari kecuali terjadi perdarahan
masif dan cedera pada kedua rahang, karena pemakaian fiksasi rigid
akan memerlukan operasi selanjutnya untuk membukannya.
b. Akses Fiksasi. Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada
tempat-tempat tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain
kemudahan untuk mencapainya. Untuk mencapai maksila anterior
dilakukan insisi pada sulkus gingivobuccal, rima infraorbital, lantai
orbital, dan maksila atas melalui blepharoplasty (insisi subsiliari).
Daerah zygomaticofrontal dicapai melalui batas lateral insisi
blepharoplasty. Untuk daerah frontal, nasoethmoidal, orbita lateral,
arkus zygomatic dilakukan melalui insisi koronal bila diperlukan.
c. Reduksi Fraktur. Segmen-segmen fraktur ditempatkan kembali secara
anatomis. Tergantung pada kompleksitas fraktur, stabilisasi awal
sering dilakukan dengan kawat interosseous. CT scan atau visualisasi
langsung pada fraktur membantu menentukan yang mana dari
keempat pilar/buttress yang paling sedikit mengalami fraktur harus
direduksi terlebih dahulu sebagai petunjuk restorasi yang tepat dari
panjang wajah. Sedangkan fiksasi maksilomandibular dilakukan untuk
memperbaiki lebar dan proyeksi wajah.
d. Stabilisasi Plat dan Sekrup. Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih
disukai. Pada Le Fort I, plat mini ditempatkan pada tiap buttress
nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada Le Fort II, fiksasi
tambahan dilakukan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital
(4).
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologi. Pada kecurigaan fraktur maksila yang
didapat secara klinis, pemeriksaan radiologi dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos,
namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan diagnostik. Teknik
yang dipakai pada foto polos diantaranya; waters, caldwell,
submentovertex, dan lateral view. Jika terjadi fraktur maksila, maka ada
beberapa kenampakan yang mungkin akan kita dapat dari foto polos.
Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila, pemisahan
pada rima orbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah
nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid.
Diantara pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur
maksila adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat
digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya
cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya
fraktur maksila (4).
7. Komplikasi
Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa pendarahan
ekstensif serta gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen
fraktur, edema, dan pembengkakan soft tissue. Infeksi pada luka maksilari
lebih jarang dibandingkan pada luka fraktur mandibula. Padahal luka
terkontaminasi saat tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga
mengalami fraktur. Infeksi akibat fraktur yang melewati sinus biasanya
tidak akan terjadi kecuali terdapat obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II
dan III, daerah kribiform dapat pula mengalami fraktur, sehingga terjadi
rhinorrhea cairan serebrospinal. Selain itu, kebutaan juga dapat terjadi
akibat pendarahan dalam selubung dural nervus optikus. Komplikasi akhir
dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang mengalami fraktur,
penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal, anestesia/hipoestesia
infraorbita, devitalisasi gigi, ketidakseimbangan otot ekstraokuler,
diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan wajah juga dapat berubah
(memanjang, retrusi) (4).

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Keperawatan

a. Identitas pasien.Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang

nama,umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan,

suku bangsa, bahasa yang dipakai, statuspendidikan dan pekerjaan

pasien.

b. Keluhan utamakeluhan utama merupakan faktor utama yang

mendorongpasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit.

c. Riwayat penyakit sekarang.Tanyakan riwayat atau kronologi sakit

yang dialami pasien saat ini.

d. Riwayat penyakit dahulu

Tanyakan terkait riwayat penyakit yang pernah di derita pasien pada

masa lalu.

e. Riwayat penyakit keluarga

f. Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita

penyakit - penyakit yang disinyalir sebagai penyebab.

g. Pengkajian Pola-Pola fungsi kesehatan


1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

2) Pola nutrisi dan metabolisme

3) Pola eliminasi

4) Pola aktivitas dan latihan

5) Pola tidur dan istirahat

6) Pola hubungan dan peran

7) Pola persepsi dan konsep diri

8) Pola sensori dan kognitif

9) Pola reproduksi seksual

10) Pola koping

11) Pola tata nilai dan kepercayaan (5).

2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan utama pasien

multiple myeloma meliputi (6):

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisik ditandai

dengan pasien mengeluh nyeri, meringis, tekanan darah meningkat.

b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan factor mekanis

ditandai dengan keluhan nyeri, bibir dan wajah edema, pipi dan

rahang hematom.

c. Resiko defisit nutrisi berhubungan dengan tindakan operasi

ditandai dengan BB menurun.


3. Intervensi Keperawatan

Rencana Keperawatan adalah petunjuk tertulis yang menggambarkan

secara tepat mengenai rencana Tindakan yang akan dilakukan terhadap

pasien sesuai dengan kebutuhannya, berdasarkan diagnosis keperawatan

(7).
Diagnosa Perencanaan
No TTD
Keperawatan SLKI SIKI
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nyeri (I. 08238)
selama 3x8 jam diharapkan nyeri akut dapat  Identifikasi lokasi, karakteristik,
berhubungan dengan teratasi dengan kriteria hasil : durasi, frekuensi, kualitas,
Tingkat nyeri (L.08066) intensitas nyeri
agen pencidera fisik
Outcome  Identifikasi skala nyeri
Indicator
ditandai dengan pasien Awal Akhir  Berikan teknik non farmakologi
1. Keluhan nyeri 1 4 untuk mengurangi rasa nyeri
mengeluh nyeri, 2. Meringis 1 4  Kontrol lingkungan yang
3. Tekanan darah 1 4 memperberat rasa nyeri (suhu
meringis, tekanan
Keterangan : ruangan, pencahayaan, kebisingan)
darah meningkat. 1. Meningkat  Jelaskan penyebab, periode dan
2. Cukup meningkat pemicu nyeri
3. Sedang  Kolaborasi pemberian analgetik
4. Cukup menurun
5. Menurun
Deny
2. Gangguan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan luka (I.14564)
selama 3x8 jam diharapkan gangguan  Monitor karakteristik luka
kulit berhubungan integritas dapat teratasi dengan kriteria hasil: (drainase, warna, ukuran, bau)
dengan factor mekanis Integritas kulit (L.14125)  Monitor tanda – tanda infeksi
Outcome  Berikan salep yang sesuai kulit atau
ditandai dengan Indicator
Awal Akhir lesi jika perlu
keluhan nyeri, bibir
1. Kerusakan lapisan 1 4  Pasang balutan sesuai jenis luka
kulit  Pertahankan teknik steril saat
dan wajah edema, pipi 2. Nyeri 1 5 perawatan luka
3. Kemerahan 1 3  Jelaskan tanda gejala infeksi
dan rahang hematom. 4. Hematom 1 3  Kolaborasi dengan dokter
Keterangan : pemberian antibiotik
1. Meningkat
2. Cukup meningkat
3. Sedang
4. Cukup menurun
5. Menurun Deny

3. Resiko defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen nutrisi (I.103119)
selama 3x8 jam diharapkan masalah resiko  Identifikasi status nutrisi
berhubungan dengan deficit nutrisi dapat teratasi. Dengan kriteria  Monitor asupan makanan
hasil :  Monitor berat badan
tindakan operasi
Status nutrisi (L.03030)  Berikan makanan tinggi kalori
ditandai dengan BB tinggi protein
Outcome  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
Indicator
menurun. Awal Akhir menentukan jumlah kalori dan
1. Porsi makanan yang 2 4 nutrisi yang di butuhkan
dihabiskan
2. Berat badan 2 4
3. Nafsu makan 1 3
Keterangan :
1. Menurun
2. Cukup menurun
3. Sedang
4. Cukup meningkat
5. Meningkat
Deny
4. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan

dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang

diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan

Implementasi keperawatan adalah tindakan yang sudah direncanakan

dalam rencana keperawatan. Tindakan keperawatan mencakup tindakan

mandiri dan kolaborasi (8).

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan

keadaan pasien dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap

perencanaan (8).
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2016. Prevalensi Fraktur Maxilla.


2. RISKESDAS. 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
3. Corwin. 2014. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
4. Widjanarko A, Sudoyo AW, Salonder H. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. VI. Setiati S, editor. Jakarta: InternaPublisihing; 2648 p.
5. Brunner & Suddarth.2013. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Volume
1. Jakarta:EGC
6. PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik, Edisi 1, Cetakan III. Jakarta: DPP PPNI. PPNI.
7. PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Kriteria Hasil Kepearwatan, Edisi 1, Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI. Tim
8. Pokja SDKI DPP PPNI. PPNI.11. PPNI. 2019. Standar Intervensi
Keperawatan Indonesai: Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1,
Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI. PPNI.

Anda mungkin juga menyukai