Anda di halaman 1dari 35

TUGAS INDIVIDU

Mata Kuliah : Epidemiologi Lanjut


Dosen Pengampu : Prof. Dr. drg. Andi Zulkifli, M.Kes

MAKALAH
SKRINING EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KANGKER SERVIKS

OLEH:
RESTIDAR SOEDARTO
(K012231052)

KESMAS A
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat


penyelenggaraan-Nya makalah ini dapat terselesaikan. Adapun judul makalah ini
adalah “Makalah Skrining Epidemiologi Penyakit Kanker Serviks”. Tugas
makalah ini merupakan prasyarat penilaian dalam Mata Kuliah Epidemiologi
Lanjut.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen Mata Kuliah
Epidemiologi Lanjut yang telah membimbing dalam penulisan makalah ini. Tak
lupa pula penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini baik berupa materil maupun sumbangsih saran.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah
ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi khalayak banyak khususnya para pembaca dan pengambil
kebijakan.

Makassar, 7 November 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................1
B. Tujuan Penelitian...............................................................................................7
BAB II TELAAH PUSTAKA...............................................................................8
A. Tinjauan Umum Tentang Kangker serviks .......................................................8
B. Tinjauan Umum tentang Skrining ...................................................................13
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................19
A. Skrining Kanker Serviks..................................................................................19
B. Metode dan Tahap-Tahap Skrining Kangker Serviks......................................20
C. Telaah Jurnal....................................................................................................24
BAB IV PENUTUP..............................................................................................28
A. Kesimpulan......................................................................................................28
B. Saran.................................................................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan yang tidak normal dari sel-
sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker dan perkembangannya, sel-
sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat
menyebabkan kematian (Anies, 2018). Kanker merupakan penyakit tidak
menular (Non Communicable Disease) yang berdasarkan data World Health
Organization (WHO) (2018) penyakit kanker merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas di seluruh dunia, dengan sekitar 14 juta kasus baru di tahun
2012 dan jumlah kasus baru diperkirakan meningkat sekitar 70% selama 2
dekade ke depan. Kanker adalah penyebab utama kematian kedua di dunia dan
bertanggung jawab atas 8,8 juta kematian pada tahun 2015. Pada tahun 2017
diprediksikan hampir 9 juta orang meninggal di seluruh dunia akibat kanker
dan akan terus meningkat hingga 13 juta oang per tahun di 2030. Di Indonesia,
prevalensi penyakit kanker cukup tinggi, dimana berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi kanker di Indonesia
adalah 1,4 per 1000 penduduk atau sekitar 347.000 orang (Kementerian
Kesehatan RI, 2017a). Terdapat dua kanker yang paling dominan pada wanita
yaitu kanker payudara dan kanker serviks.
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah terjadinya pertumbuhan
sel-sel yang tidak normal pada bagian leher rahim yang menjadi kanker.
Kanker serviks merupakan salah satu kanker terbanyak pada wanita di seluruh
dunia. Penyakit ini banyak terdapat pada wanita Amerika Latin, Afrika dan
negara-negara berkembang lainnya di Asia, termasuk Indonesia. Berdasarkan
data WHO (2016) kanker serviks di seluruh dunia menempati urutan keempat
setelah kanker payudara, kolorektum dan endometrium pada wanita dengan
sekitar 530.000 kasus baru pada tahun 2012 yang dimana 7,5% menyebabkan
kematian dari semua akibat kanker pada Wanita. Dari perkiraan lebih dari
270.000 kematian akibat kanker serviks setiap tahun, lebih dari 85% ini terjadi
di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah. Angka morbiditas dan
mortalitas kanker serviks menempati urutan ke 2 setelah kanker payudara.
Berdasarkan estimasi Globocan, International Agency for Research on Cancer
(IARC) (2012), insiden kanker di Indonesia 134 per 100.000 penduduk dengan
insiden tertinggi pada wanita adalah kanker payudara sebesar 40 per 100.000
diikuti dengan kanker leher rahim 17 per 100.000 dan kanker kolorektal 10 per
100.000 wanita.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, estimasi jumlah penderita
kanker serviks terbanyak pada provinsi Jawa Timur sebesar 21.313 kasus dan
Provinsi Jawa Tengah 19.734 kasus, sementara Provinsi Sulawesi Selatan
berada pada peringkat ke 6 yaitu estimasi penderita sebanyak 3.400 kasus
(Kemenkes, 2015). Kasus kanker serviks di Sulawesi Selatan pada tahun 2015
terdapat 460 kasus dan tahun 2016 ada 319 kasus (Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan, 2017). Kasus kanker serviks di Kota Makassar pada tahun
2015 terdapat 117 kasus dan tahun 2016 ada 64 kasus yang menderita penyakit
kanker serviks (Dinas Kesehatan Kota Makassar, 2017). Data tersebut
menunjukkan adanya penurunan kejadian penderita kanker serviks namun
belum dapat ditarik kesimpulan lebih lanjut berdasarkan data terbaru
disebabkan saat ini masih banyak wanita yang takut melakukan pemeriksaan
dini. Sementara, data pasien kanker serviks yang pernah dirawat di RS Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar tahun 2015-2017 insiden kanker serviks 531
orang (9,1%).
Kanker serviks dapat diketahui pada tahap pra kanker dengan melakukan
skrining yaitu pemeriksaan tanpa menunggu keluhan yang diderita terutama
pada wanita yang telah masuk usia produktif (15-49 tahun) dan telah menikah.
Insiden kanker serviks dapat juga ditekan dengan melakukan upaya primer
seperti meningkatkan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat untuk
menjalankan pola hidup sehat, menghindari faktor risiko terkena kanker,
melakukan imunisasi dengan vaksin Human Papillomavirus (HPV) dan
melakukan deteksi dini (Febriani, 2016). Deteksi dini merupakan usaha untuk
mengidentifikasi penyakit secara klinis belum dapat didiagnosis dengan
pemeriksaan tertentu dan mengidentifikasi penyakit sedini mungkin yaitu
masih pada stadium awal sehingga diharapkan mendapat pengobatan segera.
Metode skrining dan deteksi dini kanker serviks yaitu tes Pap Smear,

Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA), Kolposkopi, Servikografi, Thin Prep dan

tes HPV. Skrining kanker serviks metode IVA merupakan salah satu

pemilihan skrining alternatif di Indonesia karena mudah, praktis dan sangat


mampu dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat

dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu serta alat-

alat yang dibutuhkan sangat sederhana (Kustiyati dan Winarni, 2011).

Cakupan deteksi dini kanker serviks metode pemeriksaan IVA di

Indonesia masih tergolong rendah. Pemeriksaan IVA di Indonesia dari tahun

2008-2016 sebanyak 1.623.913 orang (4,34%) dari total target 37,5 juta

wanita Indonesia. Pada tahun 2015 cakupan pemeriksaan IVA sebesar

1.268.333 orang (3,4%) menjadi 1.925.943 orang (5,2%) pada tahun 2016.

Pada tahun 2017 jumlah wanita yang melakukan tes IVA berjumlah 2,2 juta

orang (5%) dari seluruh populasi target 34 juta wanita. Meskipun mengalami

peningkatan pemeriksaan IVA pada tahun 2015-2016 tetapi masih jauh dari

target yang diharapkan. Target yang ditetapkan untuk skrining secara nasional

adalah 50% pada wanita usia 30-50 tahun dalam waktu 5 tahun atau sampai

tahun 2019 (Kementerian Kesehatan RI, 2017b).

Data profil kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2017, cakupan

deteksi dini metode pemeriksaan IVA pada semua wanita usia 30-50 tahun

yaitu persentase 50% Wanita Usia Subur (WUS) diperiksa, akan tetapi

cakupan pemeriksaan hanya 2,6% (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Selatan, 2017). Data dari profil kesehatan Kota Makassar tahun 2017,

cakupan pemeriksaan IVA sebesar 2803 wanita (1,03%) yang melakukan

pemeriksaan IVA dari 450.395 total target. Dari sumber yang sama,

kecamatan Rappocini merupakan kecamatan yang termasuk cakupan

pemeriksaan IVA-nya 2 terendah dari 14 kecamatan yang ada di Kota


Makassar yaitu 0,16%. Puskesmas Kassi-Kassi merupakan salah satu

puskesmas yang berada di wilayah kerja Kecamatan Rappocini dan jumlah

sasaran WUS tertinggi dari 46 puskesmas yang ada di Kota Makassar yaitu

sebanyak 14.499 orang. Dari sasaran WUS tersebut, hanya 104 (0,72%) yang

melakukan pemeriksaan IVA dan IVA positif sebanyak 6 (5,7%) pada tahun

2017. Serta Puskesmas Kassi-Kassi memiliki kunjungan wanita PUS pada

poli KIA-KB yang tertinggi dibandingkan dengan puskesmas lainnya yang

berada dalam wilayah kerja Kecamatan Rappocini (Dinas Kesehatan Kota

Makassar, 2017).

Menurut Green terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu:

faktor predisposisi (predisposing factor), faktor ini mencakup pengetahuan

dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat

terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut

masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya.

Faktor pemungkin (enabling factor) seperti ketersediaan sarana dan prasarana

atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti, puskesmas, rumah sakit,

poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek

swasta. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan

terwujudnya perilaku kesehatan dan faktor penguat (reinforcing factor),

faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama

dan para petugas kesehatan atau petuga lain, yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat (Notoatmodjo, 2014).


Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

seseorang termasuk perilaku seseorang akan pilihan hidup. Makin tinggi

tingkat pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi sehingga

makin tinggi pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya, pendidikan yang kurang

akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang

baru diperkenalkan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan

Pertiwi (2015) bahwa tingkat pendidikan dasar menempati tempat yang

paling rendah melakukan kunjungan pemeriksaan IVA yakni hanya terdapat 3

orang (6,1%) sedangkan yang tertinggi ialah pada tingkat pendidikan

menengah atas yakni terdapat 27 orang (55,2%), semakin tinggi pendidikan

semakin besar keinginan dan motivasi dalam kunjungan pemeriksaan IVA.

Penelitian yang dilakukan Ningrum dan Fajarsari (2013) bahwa tingkat

pendidikan berpengaruh terhadap motivasi ibu mengikuti deteksi dini kanker

serviks metode IVA dimana nilai p = 0,0001<0,05.

Pengetahuan merupakan dasar untuk bertindak atau berperilaku benar

atau salah dalam mencegah atau mengatasi suatu penyakit. Dengan

pengetahuan yang baik, seseorang akan mempunyai sikap yang positif

terhadap suatu hal dan akan menentukan tindakan yang perlu dilakukan

termasuk upaya untuk berperilaku menghindari hal-hal yang merugikan

kesehatan (Rasyid dan Afni, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Gustiana,

Dewi dan Nurchayati (2014) terdapat hubungan pengetahuan terhadap

perilaku pencegahan kanker serviks dengan melakukan deteksi dini melalui

pemeriksaan IVA, nilai p = 0,04 < 0,05. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Mirayashi, Raharjo dan Wicaksono (2013) bahwa terdapat

hubungan yang bermakna, nilai p = 0,009 antara tingkat pengetahuan tentang

kanker serviks dengan keikutsertaan dalam melakukan IVA sebagai perilaku

deteksi dini kanker serviks.

Penelitian yang dilakukan Dewi, Suryani dan Murdani (2013)

menemukan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan perilaku

deteksi dini melalui pemeriksaan IVA adalah sikap positif ibu dengan nilai p

= 0,014. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Silfia dan Muliati (2017) yang

menemukan bahwa ibu yang melakukan pemeriksaan IVA lebih banyak

memiliki sikap positif terhadap pemeriksaan IVA dibandingkan ibu yang

memiliki sikap negatif mayoritas tidak melakukan pemeriksaan IVA.

Dukungan suami merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perilaku

deteksi dini kanker serviks dengan meode pemeriksaan IVA. Penelitian yang

dilakukan Musyriqoh (2016) ada hubungan dukungan suami dengan perilaku

pencegahan kanker serviks pada wanita dewasa awal dengan dukungan suami

yang baik 3 kali lebih besar berperilaku baik terhadap pencegahan

dibandingkan dengan dukungan suami yang buruk. Hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2013) bahwa terdapat hubungan

dukungan suami dengan perilaku WUS dalam deteksi dini kanker serviks

dengan metode pemeriksaan IVA dimana nilai p = 0,010 dan nilai OR = 3,05

yang artinya WUS yang mendapatkan dukungan suami 3,05 kali lebih besar

mempengaruhi untuk perilaku deteksi dini daripada WUS yang tidak

mendapatkan dukungan suami dalam perilaku deteksi dini kanker serviks.


Penelitian yang dilakukan Yuliwati (2012) bahwa ada hubungan yang

signifikan antara dukungan petugas kesehatan dengan perilaku dalam deteksi

dini metode IVA dimana wanita yang dukungan petugas baik berpeluang 2,25

kali lebih besar untuk berperilaku pemeriksaan IVA baik daripada wanita

yang dukungan petugas kurang.

Berdasarkan uraian tersebut, maka diperlukan suatu proses skrining

kanker serviks yang tepat dari segi sensitivitas dan spesifitas dari alat yang

digunakan dalam mendeteksi jika seseorang terinfeksi Virus Human

Papilloma (HPV) maupun seseorang yang tidak terkena virus tersebut.

B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui metode pemeriksaan apa saja yang dapat
digunakan untuk melakukan skrining kanker serviks
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hasil dari sensitivitas dari alat untuk mendekteksi
penyakit kanker serviks
b. Untuk mengetahui hasil dari spesitifitas dari alat untuk mendekteksi
penyakit kanker serviks

BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Kanker Serviks
1. Pengertian Kanker Serviks
Kanker serviks atau yang disebut juga sebagai kanker leher rahim
merupakan jenis kanker yang menyerang organ leher rahim dan jenis tumor
ganas yang mengenai lapisan permukaan (epitel) dari leher rahim atau mulut
rahim (Savitri, 2015).
Kanker serviks merupakan salah satu penyakit kanker yang paling
banyak terjadi pada pada kaum wanita. Setiap satu jam, satu wanita
meninggal di Indonesia karena kanker serviks. Kanker serviks bisa
menyerang dengan pendarahan pada vagina, tetapi gejala kanker serviks
tidak terlihat sampai kanker memasuki stadium yang lebih jauh (Tilong,
2012).
2. Epidemiologi Kanker Serviks
Data International Agency for Research on Cancer (IARC), 85% dari
kasus kanker di dunia, yang berjumlah sekitar 493.000 dengan jumlah
273.000 kasus kematian, terjadi di negara-negara berkembang. Indonesia
sendiri tercatat sebagai salah satu negara berkembang dimana pengidap
kanker serviks terbesar kedua setelah Cina. Kanker serviks merupakan salah
satu penyebab kematian wanita yang berhubungan dengan kanker. Pada
tahun 2010 estimasi jumlah insiden kanker serviks adalah 454.000 kasus.
Data tersebut didapatkan dari registrasi kanker berdasarkan populasi.
Ditemukan sekitar 200.000 kematian terkait kanker serviks dan 46.000
diantaranya adalah wanita usia 15-49 tahun yang hidup di negara sedang
berkembang. Insiden kanker serviks adalah 100 per 100.000 penduduk per
tahun. Sedangkan Laboratorium Patologi Anatomi menemukan bahwa di
seluruh Indonesia, frekuensi kanker serviks paling tinggi diantara kanker
yang ada di Indonesia, penyebarannya terlihat bahwa 92,4% terakumulasi di
Jawa dan Bali (Savitri, 2015).

3. Faktor Risiko
Faktor-faktor yang dianggap sebagai faktor risiko terjadinya kanker
serviks menurut Subagja (2014) ialah:
a. Human Papilloma Virus (HPV). Pada kasus HPV, sistem imun tubuh
biasanya mencegah virus berkembang didalam tubuh. Akan tetapi, pada
kanker serviks, HPV bertahan hidup didalam tubuh selama bertahun-
tahun dan mengubah beberapa sel pada permukaan leher rahim menjadi
sel kanker.
b. Hubungan seksual pertama pada usia dibawah umur (kurang dari 16
tahun).
c. Pada Berganti-ganti pasangan seksual.
d. Hygiene rendah yang memungkinkan infeksi kuman.
e. Infeksi Herpes genetalis atau infeksi klamidia menahun.
4. Diagnosis Kanker Serviks
Pada dasarnya kanker serviks dapat ditegakkan dengan diagnosis
melalui beberapa pemeriksaan laboratorium. Menurut Nurwijaya, Andrijono
dan Suheimi (2010) Kanker serviks stadium awal dapat didiagnosis dengan
melakukan pemeriksaan sitologi melalui Pap smear yaitu pemeriksaan
dengan cara pengambilan lapisan dari permukaan leher rahim atau vagina
untuk menilai perubahan bentuk sel. Kedua, melakukan tes Schiller yaitu
pemerikssan dengan menggunakan larutan iodium untuk mengetahui
perubahan warna jaringan yang mengalami kelainan. Ketiga, pemeriksaan
kolposkopi dengan menggunakan alat kolposkop yang bertujuan untuk
membuktikan adanya kelainan epitel serviks dan kelainan pembuluh darah.
5. Gejala dan Tanda Kanker Serviks
Pada tahap awal penyakit kanker serviks tidak menimbulkan gejala
yang mudah diamati. Gejala fisik penyakit kanker serviks pada umumnya
hanya dirasakan oleh penderita kanker stadium lanjut, yaitu munculnya rasa
sakit dan pendarahan saat berhubungan intim, keputihan yang berlebihan
dan tidak normal, pendarahan di luar siklus menstruasi, serta penurunan
berat badan secara drastis. Menurut Tilong (2012), berikut gambaran klinis
kanker serviks:
a. Pendarahan rahim yang abnormal.
b. Siklus menstruasi yang abnormal.
c. Pendarahan vagina pada wanita setelah masa menopause.
d. Pandarahan yang sangat lama dan sering (pada wanita yang berusia
diatas 40 tahun).
e. Nyeri perut bagian bawah atau kram panggul.
f. Keluarnya cairan putih yang encer atau jernih (pada wanita pasca
menopause).
g. Nyeri atau sulit berkemih.
h. Nyeri saat melakukan hubungan seksual
6. Stadium Kanker Serviks
Sistem yang umumnya digunakan untuk pembagian stadium kanker
serviks adalah sistem yang diperkenalkan oleh International Federation of
Gynecology and Obstetrics (FIGO). Pada sistem ini, angka romawi 0
sampai IV menggambarkan stadium kanker. Semakin besar angkanya, maka
kanker semakin serius dan sudah berada dalam tahap lanjut. Dalam hal ini,
berikut tingkatan atau stadium kanker serviks (Andrijono, 2009):
a. Stadium 0: Lesi belum menembus membrana basalis.
b. Stadium I: Lesi tumor masih terbatas diserviks. Pada stadium ini terbagi
yaitu stadium IA dan IB. Pada tahap IA-1, dimana lesi telah menembus
membrana basalis kurang dari 3 mm dengan diameter permukaan tumor
< 7 mm dan IA-2, dimana lesi telah menembus membrana basalis > 3
mm tetapi < 5 mm dengan diameter permukaan tumor < 7 mm. Pada
IB-1, dimana lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer < 4 cm
dan IB-2, dimana lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer > 4
cm.

c. Stadium II: Lesi telah keluar dari serviks (meluas keparametrium dan
sepertiga proksimal vagina). Pada stadium II-A, lesi telah meluas ke
sepertiga vagina proksimal dan stadium II-B, lesi telah meluas ke
parametrium tetapi tidak mencapai dinding panggul.
d. Stadium III: Lesi telah keluar dari serviks (menyebar keparametrium
dan atau sepertiga vagina distal). Pada stadium III-A, lesi menyebar ke
sepertiga vagina distal/bawah dan stadium III-B, lesi menyebar ke
parametrium sampai dinding panggul.
e. Stadium IV: Lesi menyebar keluar dari organ genetalia. Pada stadium
IV-A, lesi meluas keluar rongga panggul dan atau menyebar ke mukosa
vesika urinaria dan stadium IV-B, lesi meluas ke mukosa rektum dan
meluas ke organ jauh.
7. Pencegahan dan Pengobatan
a. Pencegahan
Pencegahan kanker serviks yang dapat dilakukan menurut
Departemen Kesehatan RI (2009) diantaranya sebagai berikut :
1) Hal utama yang dilakukan adalah tidak berperilaku seksual berisiko

untuk terinfeksi HPV seperti tidak berganti-ganti pasangan seksual

dan tidak melakukan hubungan seksual pada usia dini (< 18 tahun).

2) Menghindari faktor risiko lain yang dapat memicu terjadinya

kanker seperti paparan asap rokok, menindak lanjuti hasil

pemeriksaan Pap smear dan IVA dengan hasil positif serta

meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan

dengan gizi seimbang dan banyak mengandung vitamin C, A dan

asam folat.

3) Melakukan skrining atau penapisan untuk menentukan apakah

mereka telah terinfeksi HPV atau mengalami lesi prakanker yang

harus dilanjutkan dengan pengobatan yang sesuai bila ditemukan

lesi.
4) Melakukan vaksinasi HPV yang saat ini telah dikembangkan untuk

beberapa tipe yaitu bivalea (tipe 16 dan 18) atau kuadrivalen (tipe

6, 11, 16, 18). Kendala utama pelaksanaan vaksin saat ini adalah

biaya yang masih mahal.

b. Pengobatan
Kanker serviks bila ditemukan pada stadium dini, kesembuhan
penyakit akan sempurna hampir 100%. Menurut Dalimartha (2004)
pengobatan stadium pra kanker dapat dilakukan dengan cara krioterapi,
vaporisasi laser, elektrokoagulasi diatermi dan konisasi. Pengangkatan
rahim (uterus) total bisa dipertimbangkan bila sudah cukup memiliki anak.
Setelah operasi pengangkatan rahim total, dilanjutkan dengan radioterapi
dan kemoterapi dilakukan pada stadium lanjut yang telah bermetastatis jauh
atau timbul kekambuhan (residif).
8. Deteksi Dini Kanker Serviks
Deteksi dini atau pencegahan sekunder merupakan pemeriksaan atau
tes yang dilakukan pada orang yang belum menunjukan adanya gejala
penyakit dengan tujuan menemukan adanya penyakit yang belum terlihat
atau masih berada pada stadium praklinik.
Secara umum kasus kanker serviks dan kematian karena kanker
serviks dapat terdeteksi dengan mengetahui adanya perubahan pada daerah
serviks dengan cara pemeriksaan sitologi menggunakan tes papsmear
ataupun melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA).
American College of Obstetrician and Gynecologist (ACOG), American
Cancer Society (ACS) dan US Preventive Task Force (USPSTF)
mengeluarkan panduan bahwa setiap wanita seharusnya melakukan tes
papsmear untuk deteksi dini kanker servik saat 3 tahun pertama dimulainya
aktivitas seksual pada saat usia 21 tahun (Rasjidi dan Sulistiyanto, 2007).
Sedangkan metode IVA merupakan metode skrining yang lain yang lebih
praktis, murah dan memungkinkan dilakukan di Indonesia. Namun dalam
pelaksanaannya metode ini masih mengalami kendala seperti keengganan
para perempuan diperiksa karena malu (Maharsie dan Indarwati, 2012).
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Orang’o et al., (2016) di Kenya
Barat mengungkapkan bahwa penghalang yang paling umum dalam
skrining kanker serviks adalah perasaan khawatir tentang kemungkinan
menerima hasil skrining atau deteksi dini yang positif kanker.
B. Tinjauan Umum tentang Skrining
1. Pengertian Skrining
Upaya pencegahan primer merupakan upaya pencegahan yang
paling baik. Namun jika upaya pencegahan primer tidak memungkinkan,
dapat dilakukan pencegahan sekunder yaitu deteksi dini dan pengobatan
yang tepat. Ada dua pendekatan dalam diagnosis dini, yaitu memberi
perhatian yang seksama pada munculnya gejala dini suatu penyakit dan
yang kedua dengan melaksanakan deteksi penyakit pada seseorang yang
tidak mempunyai gejala
Menurut Mausner dan Kramer, (1985) Skrining adalah usaha untuk
mengidentifikasi penyakit-penyakit yang secara klinis belum jelas, dengan
menggunakan pemeriksaan tertentu / prosedur lain yang dapat digunakan
untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tetapi
mempunyai kemungkinan sakit atau betul-betul sehat. Pendapat
Beaglehole dkk, (1997) adalah suatu proses dengan maksud agar penyakit
atau kelainan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi dengan
menggunakan uji-uji yang dapat diterapkan secara tepat dalam sebuah
skala yang besar. Sedangkan menurut Sutrisna, B, (1994) Skrining adalah
Penemuan penyakit secara aktif pada orang-orang yang tanpa gejala dan
nampak sehat.(Junadi, 2006)
1. Tujuan Kegiatan Skrining
a. Mendapatkan mereka yang menderita penyakit sedini mungkin
sehingga dapat dengan segara memperoleh pengobatan.
b. Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.
c. Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri
sedini mungkin.
d. Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan
tentang sifat penyakit dan untuk selalu waspada atau melakukan
pengamatan terhadap setiap gejala dini
e. Mendapat keterangan epidemiologis yang berguna bagi klinis dan
peneliti.(Noor, 1997)
Dalam epidemiologi dikenal apa yang disebut program
penyaringan dengan tes penyaringan (Screening test). Tes penyaringan
memiliki dua kategori tujuan yang berbeda yaitu penemuan kasus dan
surveilans kesehatan masyarakat. Program penyaringan itu sendiri tidak
dimaksudkan untuk mendiagnosis penyakit. Orang-orang yang ditemukan
positif dalam tes penyaringan, selanjutnya akan dievaluasi dengan
test/prosedur diagnostik (diagnostic test), untuk mengkonfirmasikan
apakah mereka memang menderita penyakit.(Murti, 2016)
Hal-hal utama yang melandasi program skrining dihubungkan
dengan karakteristik-karakteristik penyakit, pengobatan dan uji
penyaringannya. Sebaiknya dapat dibuktikan bahwa penyakit tersebut
merupakan penyakit yang serius bila tidak didiagnosis secara dini.
(Beaglehole, R. Bonita, 1997) Kriteria untuk melaksanakan sebuah
program penyaringan adalah sebagai berikut :
1. Penyakit
a. Penyakit yang diskrining adalah penyakit yang serius bila tidak
didiagnosis secara dini
b. Prevalensi tinggi pada tahap pra klinik
c. Riwayat alamiah penyakit yang dimengerti
d. Periode yang panjang diantara tanda-tanda pertama dari
timbulnya penyakit
2. Uji diagnostik
a. Sensitif dan spesifik
b. Sederhana dan murah
c. Aman dan dapat diterima
d. Reliabilitas yang tinggi
3. Diagnosis dan Pengobatan
a. Fasilitas adekuat
b. Efektif dan dapat diterima serta aman
Kriteria melakukan penjaringan atau skrining yang baik antara lain
sebagai berikut :
1. Dapat dilakukan pada sejumlah besar orang dalam masyarakat dengan
cara yang mudah, cepat dan murah.
2. Mempunyai validitas, reabilitas dan hasil yang tinggi
3. Tes tersebut harus dapat diterima oleh masyarakat umum atau sasaran
(Beaglehole, R. Bonita, 1997).
2. Macam-Macam Skrining
Sedangkan untuk macam-macam penyaringan atau skrining adalah
sebagai berikut :
a. Mass Screening atau penyaringan masal yaitu penyaringan yang
melibatkan populasi secara keseluruhan.
b. Penyaringan multiple atau atau penyaringan multiphasic yaitu
meliputi penggunaan dari berbagai uji penyaringan yang diterapkan
padasaat yang sama
c. Penyaringan yang ditargetkan pada kelompok-kelompok yang terkena
paparan yang spesifik. Sebagai contoh adalah pada pekerja-pekerja
dalam pabrik yang menggunakan bahan-bahan timbal yang seringkali
digunakan dalam kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja.
d. Penyaringan pada penemuan kasus adalah terbatas pada penderita
penderita yang berkonsultasi pada seorang praktisi kesehatan untuk
beberapa tujuan lainnya. (Beaglehole, R. Bonita, 1997)
3. Karakteristik Tes Skrining
Untuk keberhasilan suatu program skrining, ketersediaan tes
skrining juga diperlukan selain juga harus memiliki penyakit yang cocok
untuk di skrining. Tes skrining seharusnya juga tidak mahal, mudah
dilaksanakan dan memberikan kenyamanan yang minimal pada pasien.
Dan juga hasil skrining harus valid dan konsisten (Dwi, 2007).
a. Validitas
Validitas adalah derajat yang menunjukkan dimana suatu tes
mengukur apa yang hendak diukur (Sukardi, 2013). Sedangkan
menurut Saifuddin Azwar (2014) bahwa validitas mengacu sejauh
mana akurasi suatu tes atau skala dalam menjalankan fungsi
pengukurannya. Sedangkan validitas dalam skrining adalah
kemampuan dari suatu alat untuk membedakan antara orang yang
sakit dan orang yang tidak sakit. Validitas mempunyai dua komponen
yaitu :
1) Sensitivitas
Kemampuan yang dimiliki oleh alat ukur untuk
menunjukkan secara tepat individu-individu yang menderita
penyakit atau besarnya kemungkinan seseorang yang sakit akan
memberikan hasil tes positif pada tes diagnostik tersebut.
Sensitivitas merupakan true positive rate (TPR) dari suatu tes
diagnostik.
2) Spesifisitas
Kemampuan yang dimiliki alat ukur untuk menunjukkan
secara tepat individu-individu yang tidak menderita sakit. Besar
kemungkinan seseorang yang tidak sakit atau sehat akan
memberikan hasil tes negatif pada tes diagnostik. Sensitivitas
merupakan true negative rate (TNR) dari suatu tes diagnostik.
Sensitivitas dan spesifisitas merupakan komponen ukuran dalam
validitas, selain itu terdapat pula ukuran-ukuran lain dalam
validitas yaitu :
a) True positive yang menunjuk pada banyaknya kasus yang
benar-benar menderita penyakit dengan hasil tes positif
pula.
b) False positive, yang menunjukkan pada banyaknya kasus
yang sebenarnya tidak sakit tetapi test menunjukkan hasil
yang positif.
c) True negatif, menunjukkan pada banyaknya kasus yang
tidak sakit dengan hasil tes yang negatif pula.
d) False Negatif, yang menunjuk pada banyaknya kasus yang
sebenarnya menderita penyakit tetapi hasil tes negatif.
b. Reliabilitas
Groth-Marnat mendefinisikan reliabilitas suatu tes yang merujuk
pada derajat stabilitas, stabilitas, prediksi daya, dan akurasi. Ia melihat
seberapa jauh skor yang diperoleh seseorang akan menjadi sama jika
orang itu diperiksa ulang dengan tes yang sama pada kesempatan yang
berbeda. Reliabilitas skrining adalah ukuran konsistensi berdasarkan
orang dan waktu. Menurut (Growth, 2009) reliabilitas ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor berikut.
1) Keandalan alat yang dapat ditimbulkan oleh:
a) Reagen Stabilitas
b) Stabilitas alat ukur yang digunakan

Stabilitas reagen dan alat ukur sangat penting karena


membuat reagen dan alat ukur stabil, membuat pelaksanaan
pemeriksaan. Oleh karena itu, sebelum digunakan kedua hasil
tersebut ditera atau diuji ulang ketepatannya.

2) Reliabilitas orang yang diperiksa.


Kondisi fisik, psikis, stadium penyakit atau penyakit dalam
masa tunas. Misalnya lelah, kurang tidur, marah, sedih, gembira,
penyakit yang berat, penyakit dalam masa tuna. Umumnya, variasi
ini sulit diukur terutama faktor psikis.
3) Reliabilitas pemeriksa. Variasi pemeriksa dapat berupa :
a) Variasi interna, merupakan variasi yang terjadi pada hasil
pemeriksaan yang dilakukan berulang-ulang oleh orang yang
sama.
b) Variasi eksterna, merupakan variasi yang terjadi bila satu
sediaan dilakukan pemeriksaan oleh beberapa orang. Upaya
untuk mengurangi berbagai variasi diatas dapat dilakukan
dengan mengadakan:
1. Standarisasi reagen dan alat ukur.
2. Latihan intensif pemeriksa.
3. Penetapan kriteria yang jelas
4. Penerangan kepada orang yang diperiksa.
5. Pemeriksaan dilakukan dengan cepat

BAB III
PEMBAHASAN

A. Skirining Kanker Serviks


Skrining merupakan suatu usaha untuk mengidentifikasi atau
mengenali penyakit atau kelainan yang secara klinis belum jelas, dengan
menggunakan tes (uji), pemeriksaan atau prosedur tertentu yang dapat
digunakan secara tepat untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya
sehat, benar-benar sehat dan yang tampak sehat tetapi sesungguhnya
menderita kelainan (Rasjidi, 2008). Berdasarkan teori Lawrence Green
(1990) yang menyebutkan bahwa terdapat tiga faktor yang berhubungan
dengan perilaku wanita dalam melakukan deteksi dini yaitu, faktor
predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Faktor predisposisi
meliputi umur, pendidikan, pengetahuan, sikap, kepercayaan dan status
sosial ekonomi. Faktor pemungkin meliputi ketersediaan sumber daya,
akses pelayanan kesehatan dan ketersediaan informasi. Faktor pendorong
meliputi dukungan suami dan dukungan petugas kesehatan serta dukungan
teman.
Pemeriksaan pada kanker serviks bisa dilakukan dengan mendeteksi sel
kanker secara dini dengan: (Sartika & Risiko, 2020)
1. IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)
Metode pemeriksaan ini dilakukan dengan mengoleskan serviks atau
leher rahim dengan asam asetat. Kemudian, pada serviks diamati apakah
terdapat kelainan seperti area berwarna putih. Jika tidak ada perubahan
warna, dapat dianggap tidak terdapat inspeksi pada serviks. Pemeriksaan
ini dilakukan hanya untuk deteksi dini.
2. Pap smear
Metode tes pap smear yang umum, yaitu dokter menggunakan sikat
untuk mengambil sedikit sampel sel – sel serviks. Kemudian sel – sel
tersebut akan dianalisis di laboratorium. Tes itu dapat menyikapi apakah
terdapat infeksi, radang, atau sel–sel abnormal.

3. Thin Prep
Metode thin prep lebih akurat dibandingkan pap smear. Jika pap
smear hanya mengambil sebagian dari sel–sel serviks, metode thin prep
akan memeriksa seluruh bagian serviks. Hasilnya akan jauh lebih akurat
dan tepat.
4. Kolposkopi
Prosedur kolposkopi akan dilakukan dengan menggunakan alat yang
dilengkapi lensa pembesar untuk mengamati bagian yang terinfeksi.
Tujuannya untuk menentukan apakah ada lesi atau jaringan yang tidak
normal pada serviks. Jika ada yang tidak normal, biopsi (pengambilan
sejumlah kecil jaringan dari tubuh) dilakukan dan pengobatan untuk
kanker serviks segera dimulai.
5. Tes DNA-HPV
Sel serviks dapat diuji untuk kehadiran DNA dari Human Papilloma
Virus (HPV) melalui tes ini. Tes ini dapat mengidentifikasi apakah tipe
HPV yang dapat menyebabkan kanker serviks yang hadir (Rahayu,
2015).
B. Metode dan Tahap-Tahap Skrining Kanker Serviks
Teknik dan metode skrining kanker serviks selama ini dilakukan
dengan pemeriksaan sitologi berupa Pap smear atau liquid based cytology,
pemeriksaan human papillomavirus (HPV), dan pemeriksaan inspeksi visual
asetat (IVA). Namun, pemeriksaan yang paling dianjurkan oleh bermacam
studi dan asosiasi kesehatan adalah pemeriksaan HPV dan sitologi. Terkait
tahap-tahap skrining kangker serviks sebagai berikut:(Sartika & Risiko, 2020)
1. Persiapan Pasien Skrining Kangker Serviks
Secara umum, pasien harus diedukasi tentang bagaimana prosedur
skrining kanker serviks akan berlangsung, apa tujuan skrining,
bagaimana kemungkinan hasil yang bisa didapat, dan kapan pasien harus
mengulang skrining. Pasien juga perlu diinformasikan bahwa skrining
mungkin perlu diulang jika ada gambaran abnormal yang mencurigakan
dan skrining mungkin menimbulkan efek samping tertentu (misalnya
perdarahan minor). Setelah itu, pasien harus menandatangani informed
consent
Sebelum pemeriksaan, lakukan anamnesis singkat tentang ada atau
tidaknya keluhan, riwayat menstruasi, riwayat aktivitas seksual, riwayat
obstetrik, riwayat penggunaan obat-obatan, serta riwayat operasi atau
radioterapi pada organ reproduksi. Hal-hal ini mungkin memengaruhi
kualitas sampel dan hasil skrining berikut ini tahap anamnesis singkat :
a. Keluhan tertentu
Adanya infeksi pada vagina yang disertai discharge purulen
dapat menyebabkan sel-sel inflamasi menutupi tampilan sel epitel
dan menunjukkan gambaran atipik.
b. Riwayat Menstruasi
Adanya menstruasi dapat menyebabkan sel darah menutupi
tampilan sel epitel. Selain itu, atrofi genital pada wanita yang sudah
menopause juga dapat memengaruhi sampel yang digunakan untuk
skrining kanker serviks.
c. Riwayat Aktivitas Seksual
Adanya hubungan seksual dalam 24 jam terakhir juga dapat
memengaruhi sampel yang diambil dari serviks dan memengaruhi
hasil skrining.
d. Riwayat Obstetrik
Contoh faktor lain yang dapat memengaruhi hasil skrining
adalah kehamilan, masa nifas, dan pemeriksaan fisik seperti
pemeriksaan bimanual vagina.
e. Riwayat Penggunaan Obat dan Tindakan Medis
Penggunaan zat kimia dalam 48 jam terakhir, seperti
antiseptik, lubrikan, dan obat-obat intravaginal dapat memengaruhi
sampel skrining. Selain itu, pemeriksaan kolposkopi dengan asam
asetat dalam 24 jam terakhir juga bisa merusak tampilan sel,
Pemeriksaan Pap smear dalam periode 3 bulan dapat membuat lesi
hilang pada saat pengambilan sampel, sehingga akan memberikan
hasil negatif palsu. Sementara itu, pada pasien yang baru menjalani
operasi serviks dalam periode 3 bulan, proses regenerasi sel
pascaoperasi mungkin masih berlangsung dan memberikan hasil
positif palsu. Radioterapi juga dilaporkan dapat memengaruhi hasil
skrining.
2. Peralatan Yang Digunakan Dalam Skrining Kanker Serviks
Peralatan yang dibutuhkan disesuaikan dengan metode skrining
kanker serviks yang dipilih. Secara umum, peralatan yang harus
disediakan adalah kasur periksa dengan penyangga kaki, pencahayaan
yang terang, troli instrumen, spekulum vagina, sarung tangan steril dan
nonsteril, cairan antiseptik, dan lembar laporan hasil pemeriksaan
a. Peralatan yang digunakan untuk inspeksi visual asetat (IVA) adalah:
 arutan asam asetat dengan konsentrasi 3–5%
 Cotton swab
b. Peralatan yang digunakan untuk pemeriksaan sitologi adalah:
 Alat pengambil sampel (spatula dua
sisi Aylesbury dan Ayre, cytobrush atau endocervical brush,
atau cervical broom)
 Kaca preparat dan spidol untuk label nama
 Cairan fiksasi dan tabung pengawet
c. Peralatan yang digunakan untuk pemeriksaan HPV adalah:
 olymerase chain reaction assays
 Larutan saline
 Alat scraper
 Swab
 Cairan pembilas atau lavage
 Cawan berisi medium biologis
 Tempat pendingin untuk menyimpan spesimen
3. Posisi pasian
Pemeriksaan dilakukan dengan pasien dalam posisi berbaring dan
litotomi. Tulang ekor atau coccyx pasien harus berada tepat di ujung
meja pemeriksaan untuk memberikan visualisasi serviks yang adekuat
setelah spekulum dimasukkan
4. Prosudural Setiap Metode Skrining Kanker Serviks
Secara umum, tiap prosedur skrining kanker serviks diawali
dengan pengaturan posisi pasien yang tepat, penyediaan sumber cahaya
yang adekuat, pencucian tangan pemeriksa, penggunaan alat pelindung
diri, disinfeksi vulva, dan insersi spekulum ke dalam vagina hingga
mulut serviks tervisualisasi dengan jelas
a. Prosedural Inspeksi Visual Asetat (IVA)
Untuk tindakan IVA, oleskan larutan asam asetat 3–5% pada
permukaan serviks. Setelah itu, tunggu selama 30–60 detik untuk
melihat perubahan warna pada area yang dioleskan. Jika terdapat
perubahan warna menjadi putih, kemungkinan terdapat lesi
prakanker, erosi, atau peradangan
b. Prosedural Pemeriksaan Sitologi
Saat pemeriksaan Pap smear konvensional, ambil sampel
dengan alat pengambil sampel (cervical broom,
spatula, dan endocervical brush). Setelah itu, putar kuas
endoserviks ke ⅓ luar kaca preparat dalam satu olesan. Untuk
mendapatkan olesan yang tipis dan rata, hindari penekanan. Lalu,
lanjutkan dengan mengoles sampel dari spatula secara longitudinal
ke ⅓ tengah kaca preparat.
Cairan fiksasi yang sering digunakan pada Pap smear
konvensional adalah etil alkohol 95% yang diteteskan atau
disemprotkan dengan jarak 20 cm ke preparat. Selain itu, preparat
juga bisa direndam dalam cairan fiksasi. Preparat difiksasi selama
minimal 10 menit, lalu dikeringkan, ditaruh dalam wadah, dan
dikirim ke laboratorium.
Pada pemeriksaan liquid based cytology, sampel yang sudah
diambil tidak langsung dioleskan ke kaca preparat melainkan
difiksasi ke dalam tabung berisi cairan khusus terlebih dahulu. Tekan
kuat alat pengambil sampel ke bagian bawah tabung sebanyak 15–20
kali untuk memindahkan semua sel dari alat pengambil sampel ke
cairan
c. Prosedural Pemeriksaan DNA Human Papillomavirus atau HPV
Ambil sampel dengan alat pengambil sampel (cervical
broom, spatula, dan endocervical brush) lalu tempatkan alat
pengambil sampel ke dalam vial yang sudah disediakan, sesuai jenis
media koleksi dan transportasi. Sampel dapat disimpan pada suhu
ruangan selama 14 hari atau pada suhu 4 derajat Celcius selama 3
minggu hingga 3 bulan. Hal ini akan tergantung pada media koleksi
yang digunakan. Untuk waktu penyimpanan yang lebih lama, sampel
dapat dibekukan pada suhu -20 derajat Celcius
5. Follow Up Hasil Skrining kangker Serviks
Saat pasien kembali untuk mengambil hasil pemeriksaannya,
jelaskan kepada pasien apa interpretasi hasil pemeriksaan dan apa
yang harus dilakukan setelahnya. Jika hasil pemeriksaan normal,
anjurkan pasien untuk melakukan pemeriksaan HPV 5 tahun
kemudian atau pemeriksaan Pap smear 3 tahun kemudian jika tes
HPV tidak tersedia.
Pasien dengan hasil skrining abnormal perlu mendapatkan
penanganan sesuai profil risikonya masing-masing. Hasil skrining
DNA HPV, gambaran sitologi, riwayat hasil skrining sebelumnya,
serta genotipe HPV merupakan faktor penting dalam kalkulasi risiko
CIN 3+ (cervical intraepithelial neoplasia grade 3 atau lebih buruk)
dan penentuan tata laksana
C. Telaah Jurnal
Dalam penyusunan makalah ini terdapat 1 artikel yang telah dipilih
yang berhubungan dengan pengembangan skrining kangker serviks
berdasarkan dari nilai spesifitas dan sensifitasnya. Studi yang sesuai dengan
tinjauan ini diantaranya yaitu (Dini & Prakanker, 2018) Dari jurnal ini akan di
bahas mengenai tema skrining talassemia berdasarkan dari nilai spesifitas dan
sensivitasnya.
1. Nilai Sensitivitas dan Spesifisitas metode tes IVA dan Pap
Terdapat satu studi yang mengukur sensitivitas dan spesifisitas dari tes IVA
dan tes Pap, yaitu studi yang dilakukan oleh (Dini & Prakanker,
2018)sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Validitas Skrining Metode pemeriksaan IVA dengan Konsep
Sensitivitas dan Spesifisitas

Biosi
IVA
Positif Negatif Jumlah
Positif 47 7 54
Negatif 9 57 66
Jumlah 56 64 120

Sensitifitas dari pemeriksaan IVA untuk deteksi dini lesi prakanker


serviks adalah 84%, spesifisitas 89%, nilai duga positif 87%, nilai duga
negatif 86%. Hasil uji diagnostik menunjukkan bahwa pemeriksan IVA
memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi untuk digunakan sebagai
metode penapisan lesi prakanker atau keganasan serviks uteri. Nilai
diagnostik dari pemeriksaan IVA akan meningkat apabila digunakan pada
kelompok dengan kemungkinan kejadian keganasannya tinggi. Tingginya
angka positif semu (13%) menunjukkan hasil pemeriksaan IVA positif
membutuhkan pemeriksaan yang lebih lanjut untuk konfirmasi diagnosis.

Tabel 2. Validitas Skrining Metode pemeriksaan PAP dengan Konsep


Sensitivitas dan Spesifisitas

Biosi
Test PAP
Positif Negatif Jumlah
Positif 31 6 37
Negatif 25 58 83
Jumlah 56 64 120
Pada tabel 2 diketahui sensitifitas tes Pap 55% untuk deteksi lesi
prakanker dengan spesifisitas 90%, nilai duga positif 84%, nilai duga
negatif 69%. Dijumpai 25 subyek (20,8%) dengan hasil negatif semu.
Hasil uji diagnostik menunjukkan bahwa tes Pap tidak cukup sensitif untuk
digunakan sebagai metode penapisan lesi prakanker atau keganasan
serviks. Nilai diagnostik tes Pap akan meningkat apabila digunakan pada
kelompok dengan kemungkinan kejadian keganasan cukup tingg
2. Pembahasan
Hasil uji diagnostik pemeriksaan IVA menunjukkan bahwa
pemeriksaan IVA mempunyai sensitifitas (84%), spesifisitas (89%) dan
nilai duga positif (87%), serta nilai duga negatif (88%) yang tinggi.
Walaupun demikian tampak nilai spesifitas, dan nilai duga positif tidak
jauh berbeda dengan tes Pap. Temuan ini sebanding dari penelitian-
penelitian sebelumnya seperti di Jakarta
Didapatkan sensitifitas IVA 90,9%, spesifisitas 99,9%, nilai duga
positif 83,3% dan nilai duga negatif 99,8%, sedang laporan dari JHPIEGO
dan Univesitas Zimbabwe mendapatkan sensitifitas IVA 77% dengan
spesifisitas 64%.3-5 Uji diagnostik tes Pap tampak tidak cukup sensitif
(55%) tetapi memiliki spesifitas yang tinggi (90%), nilai duga positif
(84%) dan nilai duga negatif (69%). Cukup rendahnya hasil sensitifitas
disebabkan cukup tingginya nilai negatif semu (20,8%), nilai negatif semu
dari tes Pap dilaporkan antara 15%-25%.11 Untuk mendapatkan hasil tes
Pap yang baik, setiap tahap dalam pemeriksaan mulai dari pengambilan
sediaan, fiksasi, transportasi, pewarnaan dan interpretasi harus dilakukan
dengan benar, bila salah satu tahapan di atas tidak dilakukan dengan benar,
maka akan mempengaruhi hasil pemeriksaan. Tingginya negatif semu
pada penelitian ini kemung kinan disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain karena minimalnya lesi sehingga belum memberikan hasil positif pada
tes Pap, adanya eksudat inflamasi dan debris nekrotik yang dapat
mengganggu kualitas sediaan di samping faktor-faktor lain seperti di atas
yang mungkin terjadi.7-9 Walaupun demikian tingginya nilai spesifisitas
dan nilai prediksi positif dapat memberikan gambaran bahwa hasil positif
pada tes Pap adalah cukup dapat diandalkan sebagai pemeriksaan penapis.
Hasil ini sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan sensitifitas dari
pemeriksaan tes Pap yang bervariasi antara 50-98% dengan spesifisitas
93%, laporan dari JHPIEGO dan Universitas Zimbabwe mendapatkan
hasil sensitifitas tes Pap 44,3% dan spesifisitas 90,6%. Sebuah systematic
review terhadap 92 penelitian mendapatkan sensitifitas tes Pap yang
bervariasi antara 37-87% dengan spesifisitas antara 86-100%.11,12 Hasil
uji diagnostik pararel antara tes Pap dengan pemeriksaan IVA dapat
meningkatkan nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai duga positif
pemeriksaan. Berdasarkan hasil di atas, tampak bahwa pemeriksaan IVA
yang lebih sederhana dan lebih cepat memberikan hasil sensitivitas yang
tinggi sebagai penapis adanya lesi prakanker serviks. Berdasarkan hasil uji
diagnostik paralel, dianjurkan untuk melakukan paralel tes khususnya pada
kelompok yang berisiko tinggi. Apabila hasil tes paralel positif dapat
dilanjutkan dengan biopsi atau pemeriksaan lain yang spesifik.(Dini &
Prakanker, 2018)
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Screening adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi atau
mengidentificasi kelainan dalam kesehatan seseorang, menggunakan tes dan
prosedur spesifik. Faktor-faktor seperti predisposisi, faktor risiko, dan faktor
risiko dapat mempengaruhi proses mengidentifikasi kanker. Metode screening
termasuk analisis visual (IVA), pap smear, thin prep, kolposkopi, dan tes DNA-
HPV. Proses ini melibatkan pemeriksaan menyeluruh pasien, termasuk riwayat
kanker, riwayat menstruasi, aktivitas seksual, obstetrik, dan prosedur bedah.
Pasien juga harus memberikan persetujuan dan menjalani riwayat pada
berbagai faktor seperti infiltrasi genital, aktivitas menstruasi, aktivitas seksual,
obstetrik, dan faktor ginekologis.
Penggunaan berbagai metode untuk menganalisis sampel kanker,
termasuk analisis visual (IVA), citologi, dan HPV. Proses ini melibatkan posisi
sampel, menyediakan darah yang sesuai, menggunakan persiapan sampel yang
tepat, dan label sampel. Prosedur dari setiap metode didasarkan pada
kebutuhan pasien, persiapan sampel yang tepat, dan hasil yang diinginkan.
Teks ini juga menyediakan prosedur terperinci untuk melacak hasilnya.
B. Saran
1. Bagi program studi kesehatan masyarakat dapat di jadikan sebagai informasi
tambahan dan sebagai bahan referensi untuk literature review yang akan
datang dalam ruang lingkup yang sama
2. Bagi institusi pendidikan dapat memberikan referensi tentang metode
pemeriksaan yang digunakan untuk melakukan skrining kanker serviks.
Khusunya bagi mahasiswa S2 Program Studi Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin
DAFTAR PUSTAKA

Andrijono. (2009). Kanker Serviks. Divisi Onkologi Departemen Obstetri-


Ginekologi FK-UI.
Anies. (2018). Penyakit Degeneratif “Mencegah & Mengatasi Penyakit
Degeneratif Dengan Perilaku & Pola Hidup Modern yang Sehat.” Ar- Ruzz
Media.
Beaglehole, R. Bonita, T. K. (1997). Dasar-dasar epidemiologi. Gadjah Mada
University Press.
Dalimartha, S. (2004). Deteksi Dini Kanker Dan Simplisia Antikanker. Penebar
Swadaya.
Depkes. (2009). Buku Saku Pencegahan Kanker Leher Rahim & Kanker
Payudara.
Dewi, N. M. S., Suryani, N., & Murdani, P. (2013). Hubungan Tingkat
Pengetahuan dan Sikap Wanita Usia Subur (WUS) dengan Pemeriksaan
Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di Puskesmas Buleleng I. Jurnal
Magister Kedokteran Keluarga, 1(1), 57–66.
Dini, D., & Prakanker, L. (2018). Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) untuk Deteksi
Dini Lesi Prakanker Serviks. 43(18), 116–121.
Dinkes, S. S. (2017). Data Cakupan Pemeriksaan IVA Di Kota Makassar Tahun
2017.
Dwi, S. (2007). Metodologi penelitian pendidikan: kompetensi dan praktiknya.
UNSEOD PRESS.
Febriani, C. A. (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Deteksi Dini
Kanker Leher Rahim Di Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus
Lampung. Jurnal Kesehatan, 7(2), 228–237.
Globocan. (2012). Estimated Cancer Incidence, Mortality and Prevalence
Worldwide in 2012. WHO.
Growth, G. (2009). Handbook of Psychological Assessment. PustakaPelajar.
Gustiana, D., Dewi, Y. I., & Nurchayati, S. (2014). Faktor-faktor yang
Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan Kanker Serviks Pada Wanita Usia
Subur. JOM PSIK, 1(2), 1–8.
Junadi, A. (2006). Skrining Penyakit Hipertensi Pada Prajurit Tni-Ad Yang
Bertugas Di Satuan Teritorial Kodim 08.08 BLITAR. Erlangga Jurnal, 1, 1–
6.
Kemenkes. (2015). Buletin Situasi Penyakit Kanker.
https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Kemenkes RI. (2017a). Kementerian Kesehatan Ajak Masyarakat Cegah Dan
Kendalikan Kanker. In Kemenkes RI.
Kemenkes RI. (2017b). Seluruh Pegawai Kemenkes Dihimbau Lakukan Tes IVA
dan SADANIS.
Kustiyati, S., & Winarni. (2011). Deteksi Dini Kanker Leher Rahim Dengan
Metode IVA Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngoresan Surakarta. GASTER,
8(1), 681–694.
Maharsie, L., & Indarwati. (2012). Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Kanker
Serviks Dengan Keikutsertaan Ibu Melakukan IVA Test Di Kelurahan Jebres
Surakarta. GASTER, 9(2), 46–54.
Makassar, D. K. (2017). Data Cakupan Pemeriksaan IVA Di Kota Makassar
Tahun 2017.
Mirayashi, D., Raharjo, W., & Wicaksono, A. (2013). Hubungan Antara Tingkat
Pengetahuan Tentang Kanker Serviks dan Keikutsertaan Melakukan
Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat di Puskesmas Alianyang
Pontianak. 1–18.
Murti, B. (2016). Prinsip dan metode riset epidemiologi. Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Musyriqoh, S. (2016). Hubungan Dukungan Suami dengan Perilaku Pencegahan
Terhadap Kanker Serviks Pada Wanita Dewasa Awal di Desa Balung Lor
Kecamatan Balung Kabupaten Jember. Universitas Jember.
Ningrum, R. D., & Fajarsari, D. (2013). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Motivasi Ibu Mengikuti Deteksi Dini Kanker Serviks Melalui Metode
Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Di Kabupaten Banyumas Tahun 2012.
Jurnal Ilmiah Kebidanan, 4(1), 1–14.
Noor, N. N. (1997). Pengantar epidemiologi penyakit menular. Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan (Edisi 2). Rineka Cipta.
Nurwijaya, H., Andrijono, & Suheimi. (2010). Cegah dan Deteksi Kanker Serviks.
PT Elex Media Komputindo.
Orang’o, E. O., Wachira, J., Asirwa, F. C., Busakhala, N., Naanyu, V., Kisuya, J.,
Otieno, G., Keter, A., Mwangi, A., & Inui, T. (2016). Factors Associated with
Uptake of Visual Inspection with Acetic Acid (VIA) for Cervical Cancer
Screening in Western Kenya. PLOS One, 11(6), 1–12.
https://doi.org/10.17605/OSF.IO/EYQ86
Pertiwi, N. D. E. (2015). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kunjungan
Pemeriksaan IVA/Pap Smear Pada Ibu-Ibu PKK di Dusun Tajem Depok
Sleman.
Rasjidi, I. (2008). Manual Prakanker Serviks. CV Sangung Seto.
Rasjidi, I., & Sulistiyanto, H. (2007). Vaksin Human Papilloma Virus dan
Eradikasi Kanker Mulut Rahim. Sagung Seto.
Rasyid, N. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku WUS
(Wanita Usia Subur) Tentang Deteksi Dini Kanker Leher Rahim Metode IVA
(Inspeksi Visual Asam Asetat) Di Puskesmas Singgani. Jurmal Promotif,
7(1), 63–75.
Sartika, T., & Risiko, F. (2020). ANALISIS PELAKSANAAN SKRINING KANKER
SERVIKS PADA WANITA USIA SUBUR Tri Sartika Program Studi
Kebidanan ,. 5, 62–73.
Savitri, A. (2015). Kupas Tuntas Kanker “Payudara, Leher Rahim dan Rahim.”
Pustaka Baru Press.
Silfia, N. N., & Muliati, T. (2017). Hubungan Karakteristik, Pengetahuan Dan
Sikap Dengan Pemeriksaan Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) Pada Ibu
Pasangan Usia Subur di Puskesmas Talise. Jurnal CARING, 1(2), 69–83.
Subagja, H. P. (2014). Kanker-Kanker Ganas Pembunuh Wanita. FlashBooks.
Sudirohusodo, R. M. R. D. W. (2017). Laporan Tahunan Kanker Serviks di
Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2015-2017.
Tilong, A. D. (2012). Bebas Dari Ancaman Kanker Serviks (N. Sawitri (ed.)).
FlashBooks.
Wahyuni, N. S. (2013). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Deteksi Dini
Kanker Serviks Di Kecamatan Ngampel Kabupaten Kendal Jawa Tengah.
Jurnal Keperawatan Maternitas, 1(1), 55–60.
WHO. (2016). WHO | Human papillomavirus (HPV) and cervical cancer. WHO.
WHO. (2018). WHO | Cancer. In WHO. World Health Organization.
Yuliwati. (2012). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku WUS
Dalam Deteksi Dini Kanker Leher Rahim Metode IVA di Wilayah Puskesmas
Prembun Kabupaten Kebumen Tahun 2012. Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai