TUGAS SARJANA
Oleh
13109051
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Tugas Sarjana
Oleh
13109051
Pembimbing
1. Dr. Ir. Nathanael Panagung Tandian, selaku dosen pembimbing, yang telah
memberikan banyak masukan, arahan, dan perhatian selama penulis
mengerjakan tugas sarjana ini.
2. Kedua orang tua penulis, Pak Abdul Slamet dan Bu Wiwik Hidayati, serta
adik penulis, Nugroho Permata Putra, yang senantiasa mendoakan dan
mendukung penulis dalam mengerjakan tugas sarjana ini.
3. Prof. Dr. Ir. Zainal Abidin, selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin
ITB, yang telah memberikan banyak fasilitas dan informasi akademik
maupun nonakademik kepada penulis selama menjalani perkuliahan di
Program Studi Teknik Mesin ITB.
4. Dosen-dosen Tahap Persiapan Bersama dan dosen-dosen Program Studi
Teknik Mesin ITB yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis
mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan ilmu yang telah diajarkan.
5. Bapak Suryana dan Ibu Tuti yang telah membantu penulis dalam hal
administrasi di Program Studi Teknik Mesin dan di Laboratorium
Termodinamika ITB.
v
6. Teman-teman penulis yang telah rela meminjamkan komputernya kepada
penulis untuk simulasi selama 1 bulan : Riphaldo, Panca, dan Faisal.
7. Teman-teman asisten Laboratorium Termodinamika ITB : Rayvan, Widya,
Rusviandi, Abdul, Imam, Reza, Ilham, Cahyo, Rizza, Mada, Taufiq,
Agustinah, Yosia, Billy, Sandy, Adrian, Ilman, Nina, Wirana, dan Gea
yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.
8. Teman-teman seperjuangan dari Himpunan Mahasiswa Mesin ITB pada
umumnya dan Teknik Mesin angkatan 2009 pada khususnya yang telah
memberikan cerita dan pengalaman hidup yang tidak akan terlupakan oleh
penulis.
9. Rama, Faldi, The True Engineer Radian, Lucky Untung, Julsandi, Regy,
dan teman-teman seperjuangan CCS lainnya yang telah menghibur penulis
selama kuliah di ITB.
10. Teman-teman dari Tim Rakata yang telah memberikan penulis arti bekerja
keras dan kerja sama yang sangat mendalam: Ikhsan; Sahril; Octario;
Hizkia; Yusuf; Angga; Indra; Renaldi; Habib; dan Agung.
11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis tuliskan satu per satu yang telah
membantu dalam proses penyelesaian tugas sarjana ini.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
PRAKATA .............................................................................................................. v
vii
4.3 Perbandingan Data .............................................................................. 74
LAMPIRAN .......................................................................................................... 81
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Diagram alir pengerjaan tugas sarjana ............................................ 5
Gambar 2.1 Skema rem udara tekan langsung [2] ............................................ 11
Gambar 2.2 Skema sistem rem udara tak langsung [2]..................................... 12
Gambar 2.3 Distribusi tegangan Hertz pada daerah kontak [4] ........................ 15
Gambar 2.4 Ilustrasi perpindahan panas dengan difusi energi akibat aktivitas
molekul [5] .................................................................................... 16
Gambar 2.5 Perpindahan panas secara konveksi [5]......................................... 17
Gambar 2.6 Perpindahan panas secara radiasi [5] ............................................ 19
Gambar 2.7 Diagram benda bebas kereta api saat pengereman berlangsung ... 21
Gambar 2.8 Lompatan temperatur akibat tahanan kontak termal [5] ............... 24
Gambar 2.9 Distribusi temperatur pada Reu = 4000 [6] ................................... 25
Gambar 2.10 Elemen fluida yang digunakan pada persamaan diskritisasi [7] ... 28
Gambar 3.1 Roda kereta api di Balai Yasa Jakarta [8] ..................................... 32
Gambar 3.2 Kanvas rem komposit untuk kereta api ......................................... 33
Gambar 3.3 Proses pembuatan model roda dan kanvas rem kereta .................. 41
Gambar 3.4 Mesh yang digunakan pada penelitian ini ..................................... 42
Gambar 3.5 Letak kondisi batas ........................................................................ 43
Gambar 3.6 Posisi point surface pada model yang dibuat ................................ 44
Gambar 3.7 Panel Fluent Launcher .................................................................. 45
Gambar 3.8 Panel pengaturan souce UDF ........................................................ 46
Gambar 3.9 Hasil keluaran fitur check mesh .................................................... 48
Gambar 3.10 Panel pemilihan solver .................................................................. 48
Gambar 3.11 Panel pemilihan satuan .................................................................. 49
Gambar 3.12 Panel energy equation ................................................................... 49
Gambar 3.13 Panel untuk mendefinisikan material ............................................ 50
Gambar 3.14 Panel pengaturan kondisi zona roda .............................................. 51
Gambar 3.15 Panel pengaturan kondisi batas ..................................................... 52
Gambar 3.16 Panel pengaturan metode penyelesaian ......................................... 52
Gambar 3.17 Panel kendali solusi dan persamaan .............................................. 53
Gambar 3.18 Panel residual monitor untuk menentukan kritria konvergensi .... 54
ix
Gambar 3.19 Panel pembuatan point surface ..................................................... 54
Gambar 3.20 Panel pengaturan pengambilan data .............................................. 55
Gambar 3.21 Panel pengaturan inkremen waktu ................................................ 55
Gambar 4.1 Grafik dengan penyajian data pada waktu yang sama .................. 56
Gambar 4.2 Sejarah temperatur pada tapak roda kereta ................................... 58
Gambar 4.3 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm ........................ 59
Gambar 4.4 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 5 mm ........................... 59
Gambar 4.5 Siklus temperatur pada tapak roda kereta ..................................... 60
Gambar 4.6 Sejarah perbedaan temperatur roda pada tapak dan kedalaman 2,5
mm ................................................................................................ 61
Gambar 4.7 Sejarah perbedaan temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm dan 5
mm ................................................................................................ 62
Gambar 4.8 Sejarah laju panas konduksi dari roda menuju rel ........................ 63
Gambar 4.9 Sejarah laju panas akibat konveksi pada permukaan roda ............ 64
Gambar 4.10 Sejarah laju panas akibat konveksi pada permukaan kanvas rem . 65
Gambar 4.11 Sejarah temperatur rata-rata roda .................................................. 66
Gambar 4.12 Sejarah temperatur rata-rata kanvas rem ....................................... 66
Gambar 4.13 Sejarah temperatur tapak roda pada tiga siklus pertama ............... 68
Gambar 4.14 Kenaikan temperatur pada pertengahan siklus pengereman ......... 68
Gambar 4.15 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm ........................ 69
Gambar 4.16 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 5 mm ........................... 69
Gambar 4.17 Sejarah perbedaan temperatur roda pada tapak dan kedalaman 2,5
mm ................................................................................................ 70
Gambar 4.18 Sejarah perbedaan temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm dan 5
mm ................................................................................................ 70
Gambar 4.19 Sejarah laju panas konduksi menuju rel ........................................ 71
Gambar 4.20 Sejarah laju panas konveksi pada roda kereta ............................... 72
Gambar 4.21 Sejarah laju panas konveksi pada kanvas rem .............................. 72
Gambar 4.22 Sejarah temperatur rata-rata roda kereta ....................................... 73
Gambar 4.23 Sejarah temperatur rata-rata kanvas rem ....................................... 74
Gambar 4.24 Pemodelan perpindahan panas metode numerik pada dinding [5] 75
x
Gambar 4.25 Sejarah temperatur pada pengereman komposit kontinu [1]......... 75
Gambar 4.26 Sejarah temperatur pada pengereman besi cor berkala [1] ........... 76
Gambar 4.27 Sejarah temperatur pada pengereman komposit berkala [1] ......... 77
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nilai Ka dan Kb .................................................................................... 15
Tabel 3.1 Parameter pengereman kontinu ............................................................. 36
Tabel 3.2 Parameter pengereman berkala ............................................................. 38
Tabel 3.3 Daftar kondisi batas .............................................................................. 43
xii
DAFTAR NOTASI
A : faktor geometri kontak Hertz, -
E : modulus elastisitas, Pa
F : gaya kontak, N
N : gaya normal, N
L : panjang, m
P : tegangan, Pa
q : laju kalor, W
T : temperatur, K
Notasi Yunani
ν : nisbah poisson, -
xiii
BAB 1
PENDAHULUAN
Isu baru yang muncul pada kereta api dari beberapa tahun lalu adalah
diameter roda berkurang dengan cepat. Profil roda berubah dengan cepat karena
keausan dan harus dilakukan profil ulang sehingga mengurangi waktu pakai roda.
Perubahan profil yang cepat ini tidak terbentuk akibat kontak antara roda dengan
rel. Para ahli mengatakan hal ini merupakan akibat dari penggunaan besi cor
sebagai material kanvas rem kereta api [1]. Besi cor menyebabkan pengikisan
pada roda secara cepat sehingga material ini harus diganti.
1
menuju ke arah poros roda. Diperkirakan retakan tersebut muncul akibat sifat
pada komposit yang digunakan sebagai kanvas rem.
Salah satu perbedaan sifat komposit dan besi cor adalah konduktivitas
termal komposit lebih rendah dari besi cor. Perbedaan ini menyebabkan distribusi
panas yang timbul saat pengereman berubah. Roda kereta menerima lebih banyak
panas ketika menggunakan komposit. Temperatur permukaan roda meningkat
drastis saat pengereman terjadi.
Penelitian awal telah dilakukan oleh Anom [1]. Pada penelitian tersebut,
roda kereta dibagi menjadi beberapa segmen yaitu dengan proses diskritisasi. Pada
perhitungan numerik yang dilakukan pada salah satu perangkat lunak pengolah
angka, Anom menggunakan persamaan semi-infinitive solid sehingga panas terus
mengalir menuju tengah roda. Hal ini menyebabkan persebaran temperatur yang
terjadi menjadi berbeda dari kondisi yang sebenarnya. Selain itu efek konveksi
pada permukaan roda diabaikan karena Anom menganggap efek konduksi menuju
rel lebih signifikan dibandingkan konveksi.
2
Proses perpindahan panas di atas dapat dievaluasi menggunakan
computational fluid dynamics (CFD) dengan perangkat lunak Ansys Fluent 14.5.
Simulasi yang dilakukan diatur agar sesuai dengan kondisi pengereman yang
terjadi pada kereta penumpang di Indonesia. Pada penelitian ini penulis
memasukkan pengaruh konveksi pada permukaan roda dan kanvas rem kereta.
Hasil perhitungan numerik yang dilakukan dengan Ansys Fluent diharapkan dapat
mendekati proses yang terjadi saat pengereman dan data yang diperoleh dapat
digunakan dalam analisis kekuatan roda kereta saat pengereman.
1. Bagaimana fenomena yang terjadi pada roda dan kanvas rem akibat proses
pengereman hingga berhenti dan pengereman untuk mempertahankan
kecepatan?
2. Parameter apa saja yang mempengaruhi fluktuasi temperatur terhadap
waktu?
3. Bagaimana perbedaan temperatur roda yang terjadi pada penggunaan
material besi cor dan komposit sebagai kanvas rem?
3
1.4 Batasan Masalah
Dalam pengerjaan tugas sarjana ini terdapat beberapa batasan. Di bawah
ini merupakan hal-hal yang penulis tinjau. Bahasan yang tidak menjadi fokus
penulis tidak disertakan pada laporan tugas sarjana ini.
4
Mulai A B
Pengaturan
Studi literatur Hasil baik?
lanjut
Pendefinisian
strategi dan Uji konvergensi Simulasi penuh
parameter dengan
simulasi beberapa mesh
Analisis dan
evaluasi hasil
Pemeriksaan simulasi
Hasil
parameter simulasi
pengaturan menuju satu
diskritisasi dan nilai? Penulisan
simulasi laporan tugas
sarjana
A B Selesai
1. Studi literatur
Studi literatur merupakan langkah pertama yang dilakukan pada penelitian
ini. Hal-hal yang dilakukan pada langkah ini adalah mencari referensi yang
berkaitan dengan penelitian ini, mempelajari teori-teori yang berkaitan,
dan mempelajari perangkat lunak Ansys Workbench, Meshing, Fluent,
serta CFD-Post. Selain itu laporan penelitian tugas sarjana Anom [1]
dipelajari pula karena penulis melanjutkan penelitian yang telah
dilakukannya.
2. Pendefinisian strategi dan parameter simulasi
5
Strategi dan parameter simulasi ditentukan pada langkah ini. Hal-hal yang
dilakukan pada langkah simulasi dipikirkan dengan cermat sehingga
proses simulasi berjalan dengan baik dan efisien. Selain itu parameter
simulasi dihitung berdasarkan data yang ada pada laporan tugas sarjana
Anom.
3. Pengaturan pre-processing
Pada langkah ini, persiapan simulasi dilakukan pada perangkat lunak
Ansys Design Modeller dan Meshing. Kegiatan yang dimaksud adalah
pembuatan model geometri roda dan kanvas rem kereta api, melakukan
proses diskritisasi pada model yang dibuat (meshing), dan penamaan
kondisi batas (zoning). Pada proses dikritisasi dilakukan pengaturan
ukuran mesh pada permukaan tapak roda dan kanvas rem sehingga
terbentuk mesh. Setelah itu mesh yang ada dicoba dengan melakukan
simulasi percobaan untuk melihat hasil simulasi dari mesh tersebut.
Apabila hasil simulasi buruk maka dilakukan pengaturan ulang pada
ukuran mesh sampai didapat hasil simulasi yang cukup baik. Selain itu
pada langkah ini persamaan-persamaan yang digunakan pada simulasi
ditulis dalam bahasa C agar dapat digunakan sebagai UDF.
4. Uji konvergensi
Hasil simulasi dari satu mesh belum dapat dianggap mendekati kenyataan
sebelum dilakukan uji konvergensi. Pada uji konvergensi, beberapa mesh
dibuat untuk dilakukan proses simulasi dengan parameter yang sama.
Hasil dari mesh dengan jumlah yang sedikit dibandingkan dan dilihat
selisihnya dengan mesh yang berjumlah lebih banyak. Mesh dengan selisih
yang kecil dipilih untuk digunakan pada langkah simulasi.
5. Simulasi
Sebelum simulasi dilakukan, pengaturan lanjut dilakukan terlebih dahulu
pada Fluent. Pengaturan yang dimaksud adalah penempatan point surface
di sekeliling roda, pengaturan penulisan data saat simulasi, dan pengaturan
auto save. Setelah itu dilakukan proses simulasi dengan beberapa
computer untuk mempersingkat waktu iterasi.
6
6. Analisis dan penulisan laporan
Pada langkah terakhir ini hasil simulasi diolah dan dianalisis. Setelah itu
seluruh langkah yang dilakukan berserta hasil analisis ditulis pada laporan
tugas sarjana.
Bab 4 Analisis dan Evaluasi hasil simulasi, membahas hasil simulasi yang
telah dilakukan. Pada bab ini fluktuasi temperatur, temperatur maksimal, dan
7
distribusi temperatur yang terjadi saat proses pengereman dibahas oleh penulis.
Selain itu terdapat perbandingan hasil simulasi dengan hasil perhitungan numerik
yang telah dilakukan saudara Anom.
Bab 5 Kesimpulan dan Saran, terdiri dari kesimpulan dan saran yang
penulis dapatkan. Kesimpulan merupakan jawaban dari tujuan tugas sarjana ini
yang sesuai dengan analisis yang telah diuraikan pada Bab 4. Saran berisi
rekomendasi untuk perbaikan atau aspek lain yang perlu dikaji lebih lanjut.
8
BAB 2
LANDASAN TEORI
9
Rem elektromagnetik
Rem hidrodinamik
Rem udara tekan (compressed air brake) merupakan jenis rem standar
pada kendaraan rel di Indonesia (PT KAI). Pada masa lalu pernah digunakan rem
vakum pada kereta namun karena banyaknya kekurangan dibandingkan rem udara
rekan, rem vakum tidak digunakan lagi. Kekurangan-kekurangan tersebut antara
lain dimensi yang dibutuhkan tabung pada rem vakum cukup besar, gaya
pengereman lebih rendah, dan sering terjadi kebocoran. Pada kereta diesel hanya
digunakan udara tekan saja sedangkan pada kereta listrik digunakan kombinasi
rem elektrodinamik pada kecepatan tinggi dan rem udara tekan pada kecepatan
rendah.
10
suplai udara menuju pipa rem kereta dari tabung udara utama melalui katup rem
masinis. Sistem ini sangat adaptif karena secara teoritik dengan perlakuan yang
tepat pada katup rem masinis, rentang tekanan yang besar pada silinder rem dapat
dicapai sehingga pengendalian rem dapat dilakukan dengan baik. Untuk melepas
rem, katup rem masinis diatur sehingga pipa rem kereta dan udara luar terhubung
dan tekanan pada pipa rem kereta terbuang. Dengan mengatur posisi katup rem
ini, beberapa langkah pengereman dapat dilakukan.
Jenis pengaturan rem tekan langsung telah ditinggalkan. Hal ini terjadi
karena sedikit kesalahan pada pipa rem kereta dapat mengakibatkan tekanan
keluar sehingga rem terlepas tanpa peringatan dan tanpa kemungkinan untuk
mengembalikan gaya pengereman. Rem ini berbahaya dilihat dari aspek
keselamatan perjalanan. Selain itu proses pengereman tidak terjadi serentak pada
masing-masing kendaraan karena sifat kompresibel udara. Akibat hal tersebut,
terjadi perambatan proses pengereman yang menimbulkan reaksi (gaya atau
hentakan) longitudinal yang besar yang mempengaruhi keamanan dan
kenyamanan perjalanan.
Gambar 2.1 Skema rem udara tekan langsung [2]: 1. Kompresor; 2. Tabung udara
utama; 3. Pipa rem kendaraan; 3a. Pipa rem kendaraan; 3b. Selang penghubung;
3c. Katup isolasi; 4. Katup rem masinis; 5. Silinder rem; 6. Tuas rem; 7. Kanvas
rem.
11
pemakaian sistem ini adalah rem terlepas selama tekanan pipa rem kereta tetap
dipertahankan. Secara umum tekanan pada sistem pipa rem ini ditetapkan sebesar
5 bar (gage). Terdapat juga pengecualian seperti pada negara pecahan Soviet yang
menggunakan tekanan 5.5 bar atau Amerika Serikat yang menggunakan tekanan
4.8 bar, 6.2 bar, dan 7.6 bar (tergantung dari jenis kereta) yang diberlakukan oleh
AAR (Association of American Railroads).
Sistem rem udara tak langsung memiliki bagian yang sama dan dengan
fungsi yang identik dengan rem udara langsung (Gambar 2.2). Sebagai tambahan,
masing-masing kendaraan dilengkapi dengan tabung udara pembantu dan
distributor udara yang mengatur tindakan kanvas (menempel atau lepas) secara
lokal tergantung pada variasi tekanan pada pipa rem kereta.
Gambar 2.2 Skema sistem rem udara tak langsung [2]: 1. Kompresor; 2. Tabung
udara utama; 3. Pipa rem kereta; 3a. Pipa rem kendaraan; 3b. Selang penghubung;
3c. Katup isolasi; 4. Katup rem masinis; 5. Silinder rem; 6. Tuas rem; 7. Kanvas
rem; 8. Tabung udara pembantu; 9. Distributor udara rem.
12
keadaan tekanan pipa rem kereta turun, pada distributor udara terjadi sambungan
pneumatik dengan urutan sebagai berikut : sambungan antara tabung udara
pembantu dengan pipa rem kereta terputus; sambungan antara silinder rem dengan
udara luar terputus; dan tabung udara pembantu dengan silinder rem terhubung.
Keuntungan dari sistem rem udara tekan tak langsung adalah keamanan
yang lebih baik dari sistem rem udara langsung. Bila terdapat kebocoran dalam
pipa sehingga tekanan turun dengan cepat, terjadi pengereman darurat untuk
seluruh kendaraan independen terhadap kendali masinis. Selain itu kereta modern
dilengkapi dengan sistem untuk membatalkan mekanisme rem darurat untuk
menghindari kereta berhenti pada tempat yang tidak tepat. Sebagai contoh, bila
terjadi kebakaran ketika kereta melewati terowongan panjang.
Hertz menunjukkan bahwa ketika dua benda elastis ditekan satu sama lain
dengan kondisi benda tersebut bersifat elastis, permukaan kontak halus, memiliki
lengkungan dengan radius sangat besar (semi-infinitive spaces) dan tidak ada
gesekan pada daerah kontak maka permukaan kontak kedua benda tersebut
berbentuk elips dan dapat dianggap rata serta profil tekanan kontak berbentuk
semi-elipsoid [3]. Sumbu paruh elips bidang kontak dapat dihitung dengan
persamaan berikut:
( )
√ (2.1)
13
( )
√ (2.2)
Panjang sumbu di atas dapat dicari dengan menghitung faktor geometri A dan B,
konstanta material m1 dan m2, serta nilai ka dan kb dengan persamaan-persamaan
berikut:
(2.3)
(2.4)
( ) (2.5)
[( ) ( ) ( )( ) ] (2.6)
( ) (2.7)
Dengan:
14
Tabel 2.1 Nilai Ka dan Kb
Ф 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Ka 1,754 1,611 1,486 1,378 1,284 1,202 1,128 1,061 1
Kb 0,641 0,678 0,717 0,759 0,802 0,846 0,893 0,944 1
Pada daerah kontak pada roda dan rel, distribusi tegangan kontak
berbentuk semi elips seperti pada Gambar 2.3. Tegangan kontak maksimum yang
terjadi dapat dihitung dengan persamaan berikut:
(2.8)
dengan tegangan kontak rata-rata adalah gaya normal dibagi luas elips dapat
dihitung dengan persamaan berikut:
(2.9)
15
2.3.1 Mekanisme Perpindahan Panas [5]
2.3.1.1 Konduksi
Konduksi adalah perpindahan energi termal yang terjadi pada suatu
medium tanpa gerakan curah dari medium tersebut (stasioner). Energi ini terkait
dengan aktivitas atom ataupun molekul seperti translasi, rotasi, dan getaran.
Perpindahan panas secara konduksi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Ilustrasi perpindahan panas dengan difusi energi akibat aktivitas
molekul [5]
(2.10)
Flux panas qx” (W/m2) adalah laju perpindahan panas dalam arah x per satuan luas
dan laju ini sebanding dengan gradient temperatur dT/dx pada arah x. k adalah
konduktivitas termal (W/m.K) yang merupakan karakteristik material. Pada
kondisi tunak ketika distribusi temperatur linear, gradient temperatur dapat
dinyatakan dengan:
16
dengan T2 > T1 sehingga flux panas adalah sebagai berikut:
(2.11)
2.3.1.2 Konveksi
Perpindahan panas secara konveksi terdiri dari dua mekanisme, yaitu
akibat gerakan acak molekul dan gerakan curah fluida. Gerakan acak molekul
terjadi sama seperti yang terjadi pada konduksi. Gerakan curah terjadi akibat
sejumlah besar molekul yang bergerak secara kolektif membawa sejumlah kalor.
Jumlah kalor yang dipindahkan secara konveksi merupakan gabungan dari kalor
yang dibawa dua mekanisme tersebut.
Proses konveksi terjadi dalam salah satu proses yang terdapat pada
Gambar 2.5. Konveksi akibat aliran fluida yang digerakkan disebut konveksi
paksa. Apabila aliran udara tersebut terjadi akibat gaya apung yang timbul akibat
perbedaan massa jenis (perbedaan temperatur), proses tersebut dinamakan
konveksi alami. Konveksi juga terjadi pada proses penguapan dan pengembunan.
Gambar 2.5 Perpindahan panas secara konveksi [5]. (a) Konveksi paksa. (b)
konveksi alami. (c) Penguapan. (d) Kondensasi.
17
Laju perpindahan panas secara konveksi dapat dinyatakan dalam
persamaan:
( ) (2.12)
dengan q” flux panas konveksi (W/m2) sebanding dengan perbedaan antara
temperatur fluida dengan permukaan T1-T2 dimana T1>T2 dan h adalah koefisien
konveksi (W/m2.K).
2.3.1.3 Radiasi
Radiasi termal dipancarkan oleh benda yang memiliki temperatur (T>0).
Radiasi tidak hanya dipancarkan oleh benda padat saja tetapi dapat terjadi pula
pada benda cair dan gas. Energi radiasi dihantarkan oleh gelombang
elektromagnetik. Radiasi tidak membutuhkan medium untuk menghantarkan
energi. Faktanya, perpindahan energi pada radiasi berlangsung paling efektif pada
ruang vakum.
(2.13)
dengan
Ts : temperatur permukaan, K
Persamaan di atas berlaku untuk radiator ideal atau benda hitam. Pada permukaan
sebenarnya radiasi yang dipancarkan lebih kecil dari benda hitam pada temperatur
yang sama mengikuti persamaan:
(2.14)
18
dengan ε adalah emisivitas dengan nilai dalam rentang 0 ≤ ε ≤1. Sifat radiatif ini
menyatakan seberapa efisien sebuah permukaan memancarkan energi radiasi
relatif terhadap benda hitam.
Radiasi juga dapat diterima dari lingkungan oleh sebuah permukaan. Laju
energi radiasi yang menuju permukaan dinamakan iradiasi (Gambar 2.6a). Iradiasi
dapat diserap oleh permukaan tersebut. Laju penyerapan energi per satuan luas
permukaan dipengaruhi oleh sifat material yang disebut absorptivitas (α).
Hubungan antara energi iradiasi dan absorptivitas dinyatakan dalam persamaan
berikut:
(2.15)
dengan 0 ≤ α ≤ 1. Jika α < 1 dan permukaan buram maka sebagian iradiasi
dipantulkan. Jika permukaan semi transparan maka sebagian iradiasi diteruskan.
Pada banyak permasalahan, sebagai contoh radiasi dari matahari, cairan dapat
dianggap sebagai permukaan buram dan udara dapat dianggap sebagai permukaan
semi transparan.
19
( ) ( ) (2.16)
Terdapat persamaan lainnya yang biasa digunakan pada perhitungan
perpindahan panas radiasi, yaitu:
( ) (2.17)
dengan
( )( ) (2.18)
(2.19)
dengan
F : gaya pengereman, N
(2.20)
dengan
20
Dengan asumsi seluruh daya pengereman berubah menjadi kalor, besar
kalor pengereman yang menuju roda dapat dihitung sesuai persamaan berikut:
√
(2.21)
√ √
dengan
Arah gerak
fr
Wsinθ
W
8f
8f
Gambar 2.7 Diagram benda bebas kereta api saat pengereman berlangsung
Perbedaan jenis kanvas rem yang memiliki koefisien gesek yang berbeda
menghasilkan besar perlambatan yang berbeda pula. Berdasarkan ilustrasi yang
terdapat pada gambar 2.8, besar perlambatan dapat ditulis sebagai berikut:
21
( ) (2.22)
dengan
α : perlambatan, m/s2
m : massa kereta, kg
(2.23)
dengan
22
2.3.2.2 Tahanan Kontak
Timbul tahanan kontak termal antara roda kereta dan rel akibat kekasaran
permukaan. Hal ini menyebabkan lompatan temperatur antara roda kereta dengan
rel (Gambar 2.8). Nilai tahanan kontak termal ini pada dasarnya dicari dengan
percobaan. Namun nilai tersebut dapat dicari dengan persamaan empirik yang
diajukan oleh Popov sebagai berikut:
( ) (2.24)
dengan
( ) (2.25)
( )
( ) (2.26)
( )
( ) (2.27)
( )
dengan hmax adalah kekasaran permukaan maksimum.
23
Gambar 2.8 Lompatan temperatur akibat tahanan kontak termal [5]
(2.28)
(2.29)
{
Untuk Reu > 5 x 104:
√( ) ( ) (2.30)
√( ) ( ) (2.31)
{
Pada persamaan di atas, bilangan Prandtl 0.7 digunakan sesuai dengan nilai Pr
pada kondisi lingkungan dengan Reu dan Reω sebagai berikut:
(2.32)
24
(2.33)
Pada kasus dengan bilangan Reynold rotasi yang rendah (Reω ≈ 4000),
gerakan rotasi roda hampir tidak berefek pada aliran udara sehingga perpindahan
panas tetap konstan. Pada bagian roda yang bergerak searah dengan aliran udara,
kecepatan relatif roda-udara berkurang. Dengan begitu perpindahan panas pada
bagian ini berkurang. Sedangkan kecepatan relatif roda-udara bertambah pada
bagian roda yang bergerak berlawanan dengan aliran udara sehingga menambah
perpindahan panas pada bagian ini (terjadi kompensasi dengan bagian
sebelumnya). Walaupun begitu perpindahan panas total yang terjadi pada roda
tidak mengalami perubahan yang berarti.
25
simulasi komputer. Teknik ini digunakan secara luas baik pada bidang industri
maupun non industri. Berikut ini contoh dari penggunaan CFD:
Pre-processor
26
pembuatan mesh (bagian-bagian kecil dari domain, volume atur, sel);
pendefinisian kondisi batas;
Solusi untuk aliran fluida didefinisikan pada titik nodal dalam tiap sel.
Akurasi hasil CFD ditentukan dari jumlah sel. Umumnya semakin banyak sel
semakin baik pula akurasi hasil simulasi. Namun semakin banyak jumlah sel
semakin besar pula biaya pengadaan piranti komputer. Mesh yang baik terkadang
tidak merata dalam artian padat pada bagian dimana variasi temperatur, tekanan,
kecepatan, dan lainnya yang besar terjadi dan jarang pada bagian dengan variasi
yang kecil.
Solver
[ ]
[ ] [ ] [ ]
27
Post-processor
Bagian ini memiliki kemampuan untuk menampilkan hasil simulasi seperti plot
grafik, plot kontur, plot vektor. Bagian ini dilengkapi pula dengan kemampuan
visual seperti animasi, particle tracking, dan lainnya.
Gambar 2.10 Elemen fluida yang digunakan pada persamaan diskritisasi [7]
28
(2.34)
( )
Suku pertama persamaan sebelah kiri merupakan laju perubahan massa jenis
terhadap waktu. Sedangkan suku kedua menjelaskan aliran massa yang keluar dari
elemen menembus batas dan disebut bagian konveksi.
( ) (2.35)
Pernyataan di atas berlaku pula pada arah y dan z sehingga persamaan momentum
pada arah y adalah sebagai berikut:
( ) (2.36)
( ) (2.37)
29
( )
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
[
(2.38)
( ) ( ) ( ) ( )
]
( )
Nilai E pada persamaan di atas adalah:
( ) (2.39)
30
BAB 3
PEMODELAN DAN SIMULASI
Pada penelitian ini dimodelkan dua benda yang mengalami perubahan
temperatur yaitu roda kereta dan kanvas rem. Roda kereta yang digunakan pada
penelitian ini adalah roda kereta penumpang (Gambar 3.1). Sedangkan kanvas
rem yang digunakan merupakan kanvas rem standar dimana kanvas rem besi cor
dan komposit (Gambar 3.2) memiliki geometri yang sama. Berikut ini merupakan
data-data yang digunakan pada penelitian ini.
1. Dimensi utama:
Diameter roda = 780 mm
Jari-jari rel = 300 mm
Lebar permukaan roda = 130 mm
Lebar rem = 80 mm
Luas permukaan rem = 0,0232 m2
Panjang busur rem = 319 mm
Tebal rem = 56 mm
2. Sifat material roda:
Kekuatan tarik = 900 MPa
Konduktivitas termal = 51.9 W/m·K
Massa jenis = 7850 kg/m3
Modulus elastisitas = 210 GPa
Nisbah Poisson = 0.3
Panas jenis = 446 J/kg·K
3. Sifat material besi cor:
Konduktivitas termal = 51.9 W/m.K
Massa jenis = 7300 kg/m3
Panas jenis = 540 J/kgK
4. Sifat material komposit:
Konduktivitas termal = 3,884 W/m·K
31
Massa jenis = 1860 kg/m3
Panas jenis = 836 J/kg·K
5. Sifat material udara:
Bilangan Prandtl = 0,7
Konduktivitas termal = 26,3 x 10-3 W/m·K
Viskositas kinematik = 15,89 x 10-6 m2/s
6. Kondisi operasi kereta:
Gaya pengereman = 4173.3 N
Luas penampang kereta = 11,15 m2
Massa kereta = 36 x 103 kg
Temperatur lingkungan = 300 K
Percepatan gravitasi = 10 m/s2
32
Gambar 3.2 Kanvas rem komposit untuk kereta api
Permukaan roda kereta yang menyentuh rel berbentuk elips sesuai dengan
Teori Hertz. Untuk menghitung profil kontak ini digunakan data sebagai berikut:
R1 = 390 mm
R2’ = 300 mm
= 0,3
= 0,3
E1 = 210 GPa
E2 = 210 GPa
( )
33
⁄
[( ) ( ) ( )( ) ]
( ) ⁄
( )
Permukaan kontak yang terbentuk memiliki panjang paruh pada arah longitudinal
sebesar 5,072 mm dan pada arah lateral sebesar 4,255 mm dengan luas kontak dan
tegangan rata-rata sebesar:
Tahanan Kontak
34
Ks = 51,9 W/m.K
P = 664,06 MPa
SB = 900 MPa
Proses produksi roda kereta api adalah dengan proses forging. Menurut Anom [1]
nilai hmaks dari proses forging adalah 10 µm dan 16 µm sehingga nilai Z sesuai
dengan persamaan (2.27) adalah:
( )
( )
Tahanan kontak antara roda kereta dan rel tidak dapat dimasukkan secara
langsung dalam pengaturan simulasi pada Ansys Fluent. Oleh karena itu batang
logam pendek yang menempel pada roda dibuat untuk memodelkan tahanan
kontak. Tahanan termal pada batang logam ini dibuat sesuai dengan tahanan
kontak antara roda dan rel. Tahanan termal pada batang logam ini bergantung
pada konduktivitas termal material logam. Konduktivitas termal pada batang
logam tersebut dapat ditentukan sebagai berikut:
35
Analisis aliran udara tidak dimasukkan pada pemodelan ini. Perpindahan
panas secara konveksi yang terjadi pada permukaan roda dan kanvas rem dihitung
secara analitik berdasarkan pada persamaan korelasi yang diajukan oleh Wiesche
[6]. Oleh sebab itu nilai jari-jari roda dan viskositas udara dimasukkan pada
persamaan (2.32) dan persamaan (2.33) agar persamaan yang ada menjadi
sederhana dan mudah untuk ditulis dalam bahasa C.
(3.1)
(3.2)
Parameter Nilai
Kecepatan awal, V0 100 km/h
Kecepatan akhir, Vt 0
Koefisien gesek komposit, μkomposit 0,25
Koefisien gesek besi cor, μbesi cor 0,15
36
Pengereman menyebabkan perlambatan pada kereta. Pergerakan kereta
yang diperlambat ini dapat dituliskan dalam persamaan di bawah ini.
( )
( )
(3.3)
(3.4)
Persamaan Gerak Kanvas Komposit
( )
( )
(3.5)
(3.6)
Gesekan antara roda dengan kanvas rem menghasilkan panas. Daya
pengereman sebanding dengan kecepatan linear tapak roda. Daya pengereman
dapat dicari dalam pehitungan di bawah ini sesuai dengan persamaan (2.19).
37
Laju Kalor Kanvas Besi Cor
( )
(3.7)
Laju Kalor Kanvas Komposit
( )
(3.8)
Parameter Nilai
Kecepatan awal, Va 65 km/h
Kecepatan akhir, Vb 50 km/h
Koefisien gesek komposit, μkomposit 0,25
Koefisien gesek besi cor, μbesi cor 0,15
Periode siklus pengereman komposit 22,5 s
Periode siklus pengereman besi cor 29,23 s
38
persamaan kecepatan ketika kereta meluncur bebas. Waktu pengereman sebesar
16,1325 s untuk kanvas besi cor dan 9,40457 s untuk kanvas komposit dibutuhkan
untuk mencapai kecepatan 50 km/jam. Adapun lama meluncur dihitung dari
selisih antara waktu satu siklus dan waktu pengereman.
( )
( )
(3.9)
(3.10)
Persamaan kecepatan ketika kereta meluncur:
( )
(3.11)
(3.12)
Persamaan Gerak Kanvas Komposit
( )
39
( )
(3.13)
Persamaan kecepatan ketika kereta meluncur pada kanvas komposit sama dengan
kanvas besi cor (Persamaan 3.12) karena memiliki kemiringan yang sama.
Laju kalor yang timbul saat kanvas besi cor menempel pada permukaan
roda pada pengereman berkala adalah sebagai berikut:
( )
(3.14)
Laju Kalor Kanvas Komposit
Pada kanvas komposit, laju kalor yang timbul saat pengereman adalah
sebagai berikut:
( )
(3.15)
40
Domain yang dibuat meliputi roda kereta, kanvas rem, dan kontak antara
rel dan roda. Kontak dibuat untuk memodelkan hambatan kontak yang terjadi
antara roda dan rel karena tidak ada fitur khusus pada Ansys fluent untuk
memasukkan nilai tersebut.
Gambar 3.3 Proses pembuatan model roda dan kanvas rem kereta
41
Pengaturan di atas dipilih setelah melakukan uji konvergensi mesh dengan batas
selisih sebesar 1%.
Pada Gambar 3.4, mesh pada daerah kontak yaitu daerah tapak roda dan
kanvas rem terlihat sangat padat (berwarna hitam). Hal ini merupakan efek dari
pengaturan face sizing sebesar 1,9x10-3. Tujuan dari pengaturan tersebut adalah
agar persebaran panas pada daerah yang memiliki gradient temperatur yang tinggi
ini dihitung dengan baik. Mesh yang padat pada bagian tengah merupakan efek
samping dari pengaturan di atas.
42
Gambar 3.5 Letak kondisi batas
43
Selain itu temperatur di setiap bagian roda selalu berubah karena terjadi konveksi
pada sisi-sisi roda dan akibat persebaran panas.
( ) (3.16)
( ) (3.17)
dengan:
r : radius pengamatan, mm
n = 1,2,3,…,N
44
disebar harus berjumlah banyak. Namun dengan bertambahnya jumlah point
surface jumlah langkah pun bertambah yang berarti waktu simulasi bertambah.
Oleh karena itu strategi yang digunakan adalah pengambilan data dilakukan
dengan point surface dengan jarak antar point surface sebesar 15o atau berjumlah
24 buah pada setiap radius pengamatan.
45
Gambar 3.8 Panel pengaturan souce UDF
Distribusi panas yang menuju kanvas rem dan roda akibat pengereman
dihitung oleh Fleunt secara otomatis. Oleh karena itu pengaturan jumlah panas
yang terbentuk dilakukan pada interface roda-rem dengan bantuan UDF. Pada
interface tersebut hanya terdapat pilihan cetusan panas sehingga persamaan laju
kalor diubah dalam bentuk cetusan panas. Dengan tebal interface sebesar 10 mm
dan luas sebesar 0,0232 m2, persamaan 2.7, 2.8, 2.14, 2.15 diubah menjadi
persamaan cetusan panas sebagai berikut.
̇ (3.18)
Cetusan panas kanvas rem komposit pada pengereman kontinu:
̇ (3.19)
Cetusan panas kanvas besi cor pada pengereman berkala:
46
̇
̇ (3.20)
Cetusan panas kanvas komposit pada pengereman berkala:
̇ (3.21)
Inkremen waktu pada setiap langkah simulasi diatur dengan UDF.
Inkremen tersebut diciptakan agar suatu titik nodal tepat mengenai salah satu
point surface pada saat mesh bergerak dengan kondisi kecepatan yang berkurang.
Pengurangan kecepatan menyebabkan pertambahan waktu untuk menempuh jarak
yang sama. Inkremen waktu mengikuti persamaan sebagai berikut:
(3.22)
Terdapat perbedaan posisi antara titik nodal dengan point suface yang
disebar sekeliling roda seiring waktu bertambah. Walaupun fitur double precision
diaktifkan dan kecermatan angka pada UDF pergerakan roda ditulis hingga 9
angka di belakang koma, pergeseran tetap terjadi. Penggantian jenis data angka
pada seluruh persamaan dalam UDF menjadi “real” tidak mengatasi masalah ini.
47
Dengan begitu persamaan 3.22 berubah menjadi:
(3.23)
48
3.3.4 Penentuan Satuan Panjang pada Pemodelan
Fitur set units (Gambar 3.11) memudahkan pemasukan parameter-
parameter pada Fluent. Dengan fitur ini satuan panjang diubah menjadi mm untuk
memudahkan pengaturan point surface.
49
dengan memasukkan nilai panas jenis sebesar 1 J/kg.K dan massa jenis sebesar 1
kg/m3.
50
Gambar 3.14 Panel pengaturan kondisi zona roda
51
Gambar 3.15 Panel pengaturan kondisi batas
52
3.3.10 Pengaturan Kendali Solusi
Pada bagian ini, seluruh under-relaxation factor dibiarkan sesuai
pengaturan dari Fluent. Pada panel equations (Gambar 3.17), persamaan aliran
dimatikan karena tidak ada aliran dimodelkan pada penelitian ini. Selain itu, hal
tersebut dilakukan agar proses simulasi berjalan dengan cepat dan efisien.
53
Gambar 3.18 Panel residual monitor untuk menentukan kritria konvergensi
54
Data ditulis dalam bentuk teks sehingga dapat langsung diproses pada perangkat
lunak spreadsheet.
55
BAB 4
ANALISIS HASIL SIMULASI
Analisis pengereman dilakukan dengan membandingkan setiap parameter
pengereman dengan kanvas komposit dan besi cor. Data yang didapatkan dari
simulasi disajikan dengan rentang yang sama pada setiap grafik. Grafik yang
disajikan digunakan untuk membandingkan parameter pengereman pada energi
kinetik kereta yang sama tidak seperti pada Gambar 4.1. Dengan cara ini
perbandingan parameter pengereman dapat dilihat dengan jelas.
10
8
6
4
2
0
0 20 40 60 80 100
Waktu (s)
56
dengan kanvas komposit lebih tinggi dibandingkan pengereman dengan kanvas
besi cor. Hal ini terjadi akibat koefisien gesek komposit lebih tinggi sehingga
panas pengereman yang terjadi lebih besar. Temperatur pada pengereman besi cor
lebih rendah karena waktu pengereman lebih lama sehingga memungkinkan panas
berpindah menuju bagian roda sekitar secara konduksi maupun ke udara secara
konveksi.
Pada gambar tersebut dapat dilihat pula temperatur tapak turun saat tengah
waktu pengereman. Penurunan ini terjadi karena laju panas pengereman dari
gesekan roda dengan kanvas rem menuju roda sudah tidak dapat meningkatkan
temperatur tapak roda. Laju panas pengereman menuju roda lebih kecil dari laju
disipasi panas akibat konduksi menuju rel maupun konveksi menuju udara. Pada
pengereman komposit temperatur maksimum mencapai 373,92 K sedangkan pada
pengereman besi cor temperatur maksimum mencapai 346,15 K.
Temperatur pada kedalaman 2,5 mm dari tapak roda dapat dilihat pada
Gambar 4.3. Pada kedalaman ini temperatur pada pengereman dengan kanvas
komposit lebih tinggi dari pengereman dengan kanvas besi cor. Hal ini disebabkan
panas yang masuk menuju roda pada dengan kanvas lebih besar dari pengereman
dengan kanvas besi cor. Panas yang besar pada tapak roda mengalir menuju ke
dalam roda dalam jumlah yang besar pula.
57
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor
350
340
330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Akibat sifat tersebut, efek perubahan temperatur yang ekstrim pada tapak roda
teredam pada kedalaman 2,5 mm. Sama seperti pada tapak roda, fluktuasi
temperatur pada pengereman dengan kanvas komposit lebih tinggi dari fluktuasi
temperatur pada pengereman dengan kanvas besi cor.
58
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor
360
Temp Roda
350
340
330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Gambar 4.4 berisi data temperatur pada kedalaman 5 mm dari tapak roda.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa fluktuasi temperatur yang terjadi jauh lebih
kecil dibandingkan fluktuasi temperatur pada tapak roda. Jarak sebesar 5 mm dari
permukaan menyebabkan panas yang mampu disimpan bagian roda dari tapak
hingga kedalaman ini menjadi besar sehingga redaman fluktuasi temperatur sangat
besar. Fluktuasi temperatur pada akhir pengereman relatif besar dibandingkan
pada awal pengereman.
350
340
330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
59
Kontak tapak roda dengan kanvas rem dan rel menyebabkan fluktuasi
temperatur (Gambar 4.5). Berikut ini penjelasan tiap langkah pada siklus
temperatur tapak roda kereta saat pengereman:
336
335
334
333 3
332
331
2
330
17.4 17.45 17.5 17.55
Waktu 17.6 17.65 17.7
60
Dua fenomena di atas menyebabkan perbedaan temperatur antara tapak
roda dan roda bagian dalam ketika roda berputar. Pada bagian roda yang
bergesekan dengan kanvas rem, temperatur tapak roda lebih tinggi dibandingkan
temperatur pada bagian dalam. Sementara itu, temperatur dalam roda lebih tinggi
daripada temperatur pada bagian luar pada bagian roda yang menyentuh rel.
Selisih temperatur antara tapak roda dan kedalaman 2,5 mm paling besar terjadi
pada akhir pengereman, yaitu -26,29 K pada pengereman dengan kanvas komposit
dan -17,26 K pada pengereman dengan kanvas besi cor. Penyebabnya adalah
waktu kontak tapak roda dengan rel saat akhir pengereman relatif jauh lebih lama
dibandingkan pada awal pengereman sehingga temperatur pada tapak roda turun
drastis. Sedangkan selisih pada kedalaman 2,5 mm dengan 5 mm paling besar
terjadi pada awal pengereman, yaitu 8,82 K pada pengereman dengan kanvas
komposit dan 4,50 K pada pengereman dengan kanvas besi cor. Nilai selisih
positif menandakan bahwa temperatur pada roda bagian luar lebih besar daripada
roda bagian dalam . Data tentang perbedaan ini dicantumkan pada Gambar 4.6
dan 4.7.
5
0
-5
-10
-15
-20
-25
-30
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Gambar 4.6 Sejarah perbedaan temperatur roda pada tapak dan kedalaman 2,5 mm
61
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor
8
Selisih Temp Ked.
6
4
2
0
-2
-4
-6
-8
-10
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Gambar 4.7 Sejarah perbedaan temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm dan 5
mm
Ketika tapak roda menyentuh rel, sebagian panas dipindahkan dari tapak
roda menuju rel secara konduksi. Besar panas yang dipindahkan menuju rel
tersebut bergantung pada temperatur tapak. Semakin tinggi temperatur tapak roda,
semakin besar panas yang dipindahkan menuju rel.
Data mengenai laju panas menuju rel terdapat pada Gambar 4.8. Pada
gambar tersebut terlihat bahwa laju panas konduksi pada pengereman dengan
kanvas komposit lebih besar dibandingkan pada pengereman dengan kanvas besi
cor. Hal ini terjadi karena pada pengereman dengan kanvas komposit kalor
pengereman yang terjadi lebih besar dari pengereman dengan kanvas besi cor
sehingga temperatur pada tapak roda lebih tinggi. Kalor besar yang tersimpan ini
kemudian mengalir menuju rel saat tapak berkontak dengan rel.
Data laju panas yang disajikan dalam Gambar 4.8 tidak berbentuk garis
melengkung melainkan dalam bentuk garis naik turun. Pergerakan mesh roda
menyebabkan mesh pada tapak roda yang berkontak dengan rel selalu berbeda
dalam satu putaran. Perbedaan ini menyebabkan karakteristik permukaan kontak
antara roda dan rel berubah dalam satu putaran sehingga fluks panas yang
62
mengalir pun mengalami perubahan. Namun fluktuasi nilai fluks panas ini dapat
ditolerir karena selisih paling besar yang terjadi tidak lebih dari 7%.
-100
Laju Panas
-150
-200
-250
-300
-350
-400
-450
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Gambar 4.8 Sejarah laju panas konduksi dari roda menuju rel
Panas konveksi yang terjadi pada permukaan roda saat pengereman dapat
dilihat pada Gambar 4.9. Pada awal pengereman terlihat bahwa laju panas
konveksi meningkat dengan bertambahnya waktu. Hal ini menandakan kenaikan
temperatur permukaan roda berlangsung dengan cepat dibandingkan penurunan
nilai koefisien konveksi akibat kecepatan kereta yang berkurang. Selain itu terlihat
pula bahwa laju panas konveksi pada pengereman dengan kanvas besi cor lebih
besar dibandingkan pada pengereman dengan kanvas komposit. Waktu
pengereman yang lebih lama pada pada pengereman dengan kanvas besi cor
menyebabkan panas pengereman menyebar hingga bagian tengah roda sehingga
temperatur permukaan roda meningkat. Hal ini berefek pada peningkatan laju
kalor akibat konveksi.
63
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor
-40
-60
Laju Panas
-80
-100
-120
-140
-160
-180
-200
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Gambar 4.9 Sejarah laju panas akibat konveksi pada permukaan roda
Akibatnya panas pada pengereman dengan kanvas komposit tidak tersebar pada
seluruh bagian kanvas rem melainkan terkonsentrasi di permukaan yang
bergesekan dengan tapak roda. Temperatur permukaan kanvas komposit saat
64
pengereman jauh lebih rendah dari kanvas besi cor sehingga laju panas konveksi
kanvas komposit pun jauh lebih rendah dari kanvas besi cor (Gambar 4.10).
-10
-15
-20
-25
-30
-35
-40
-45
-50
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Gambar 4.10 Sejarah laju panas akibat konveksi pada permukaan kanvas rem
Salah satu parameter yang penting pada pengereman kereta api adalah
koefisien gesek rem. Koefisien gesek rem mempengaruhi panas pengereman dan
waktu pengereman. Koefisien gesek yang tinggi pada kanvas komposit
menyebabkan panas pengereman yang timbul menjadi besar dengan waktu
pengereman yang singkat. Waktu pengereman yang singkat menyebabkan total
disipasi panas yang keluar menuju udara dan rel menjadi berkurang. Akibatnya
temperatur roda pada pengereman dengan kanvas komposit lebih besar daripada
pengereman dengan kanvas besi cor (Gambar 4.11) karena panas pengereman
lebih banyak yang tersimpan daripada yang terdisipasi.
65
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor
310
Roda (K)
308
306
304
302
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
325
Temp Rata-rata
320
315
310
305
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Pada akhir pengereman, temperatur yang dimiliki roda dan kanvas rem
mencerminkan panas yang disimpan. Perhitungan panas yang disimpan pada akhir
pengereman adalah sebagai berikut:
[ ( )] [ ( )]
66
[ ( )] [ ( )]
[ ( )] [ ( )]
67
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor
340
Roda (K)
330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Gambar 4.13 Sejarah temperatur tapak roda pada tiga siklus pertama
50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4
Siklus
68
Temperatur pada kedalaman 2,5 mm dapat dilihat pada Gambar 4.15. dan
temperatur pada kedalaman 5 mm dapat dilihat pada Gambar 4.16. Pada kedua
gambar tersebut terlihat bahwa temperatur pada pengereman dengan kanvas
komposit lebih tinggi daripada pengereman dengan kanvas besi cor. Penyebabnya
adalah koefisien gesek komposit lebih besar sehingga panas pengereman dengan
kanvas komposit menjadi lebih besar dibandingkan panas pengereman dengan
kanvas besi cor.
340
Temp Roda
330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
340
Temp Roda
330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
69
Fluktuasi temperatur pada bagian tapak menyebabkan perbedaan
temperatur antara roda bagian luar dengan roda bagian dalam. Pada Gambar 4.17
dan 4.18 terlihat perbedaan temperatur yang terjadi antara tapak roda dengan roda
pada kedalaman 2,5 mm dan roda pada kedalam 2,5 mm dengan roda pada
kedalaman 5 mm.
5
0
Selisish Temp
-5
-10
-15
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Gambar 4.17 Sejarah perbedaan temperatur roda pada tapak dan kedalaman 2,5
mm
2
0
-2
0 10 20 30 40 50 60
-4
Waktu Komposit (s)
Gambar 4.18 Sejarah perbedaan temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm dan 5
mm
70
Semakin tinggi temperatur tapak roda maka semakin besar panas yang
disalurkan menuju rel. Pada Gambar 4.19 terlihat bahwa laju panas konduksi
menuju rel pada pengereman dengan kanvas komposit lebih besar daripada
pengereman dengan kanvas besi cor. Hal ini terjadi karena temperatur tapak roda
pada pengereman dengan kanvas komposit lebih besar seperti yang dijelaskan
pada pengereman kontinu.
-50
Konduksi Rel (W)
-100
Laju Panas
-150
-200
-250
-300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Panas konveksi pada roda untuk pengereman dengan kanvas komposit dan
besi cor tidak berbeda jauh untuk siklus pertama (Gambar 4.20). Namun satu hal
yang perlu diperhatikan adalah waktu pengereman dengan besi cor lebih lama
sehingga energi yang terdisipasi secara konveksi pada roda dengan jumlah siklus
yang sama berjumlah lebih besar.
71
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor
-40
-60
Laju Panas
-80
-100
-120
-140
-160
-180
-200
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
-10
-15
-20
-25
-30
-35
-40
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
72
dengan pengereman dengan kanvas besi cor semakin besar seiring bertambahnya
siklus pengereman. Hal ini disebabkan karena panas pengereman dengan kanvas
komposit lebih besar dari kanvas besi cor.
Perlu diingat bahwa data yang disajikan di bawah diatur agar awal siklus
dan akhir siklus pengereman pada kedua kanvas berhimpit. Waktu satu siklus
pada pengereman komposit lebih cepat dari pengereman besi cor. Untuk
menempuh jarak yang sama, diperlukan jumlah pengereman yang lebih banyak
sehingga temperatur rata-rata roda pada pengereman dengan kanvas komposit
jauh lebih tinggi daripada pengereman dengan kanvas besi cor.
305
Roda (K)
304
303
302
301
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Temperatur rata-rata kanvas rem pada pengereman dengan kanvas besi cor
lebih tinggi daripada pengereman dengan kanvas komposit (Gambar 4.23).
Difusivitas termal lebih tinggi pada kanvas besi cor menyebabkan panas lebih
mudah menyebar sehingga temperatur rata-rata kanvas meningkat. Pada
pengereman dengan kanvas komposit, panas pengereman hanya terkonsentrasi di
sekitar permukaan gesek.
73
Temp Rem Depan Komposit Temp Rem Depan Besi Cor
315
Temp (K)
310
305
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)
Perbedaan data temperatur tapak roda diakibatkan dari metode dan asumsi
yang berbeda. Pada penelitian yang dilakukan oleh Anom digunakan metode
elemen hingga secara transien. Namun penelitian tersebut, perpindahan panas
pada roda dianalis sebagai konduksi satu dimensi menuju tengah roda.
Perpindahan panas pada roda dimodelkan seperti perpindahan panas pada dinding
(Gambar 4.24) dengan ketebalan dinding yang sama dengan radius roda kereta.
Selain itu terdapat asumsi bahwa konveksi tidak mempengaruhi temperatur roda
secara signifikan sehingga efek konveksi diabaikan.
74
Gambar 4.24 Pemodelan perpindahan panas metode numerik pada dinding [5]
75
Gambar 4.26 Sejarah temperatur pada pengereman besi cor berkala [1]
76
Gambar 4.27 Sejarah temperatur pada pengereman komposit berkala [1]
77
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
78
3. Perlu dilakukan eksperimen proses pengereman kereta api untuk
memastikan kebenaran hasil penelitian ini.
79
DAFTAR PUSTAKA
1. Muchsin, Fanzi Anom Syarif. Analisis Kegagalan pada Roda Kereta Akibat
Thermal Fatigue, Teknik Mesin ITB, Bandung, 2007.
5. Incropera, F. P., et al. Introduction to Heat Transfer, John Wiley & Sons Pte.
Ltd., Singapura, 2007.
6. Wiesche, Stefan aus der. Heat Transfer from a Rotating Disk in a Parallel Air
Crossflow, Science Direct, Paderborn, 2006.
80
LAMPIRAN
# include "udf.h"
# include "dynamesh_tools.h"
DEFINE_ZONE_MOTION(rotation_comp,omega,axis,origin,velocity,time,dtime)
else
*omega = 0.0;
return;
DEFINE_DELTAT(time_step_comp,d)
real time_cobaa;
real time_coba;
real deg_cobaa;
real deg_coba;
real time_step;
real angspd;
real angspd1;
81
angspd = (71.2251 - timec * 1.189) * 1.00040270; //kelebihan kurangin gradien
else
time_step = 0.;
return time_step;
DEFINE_PROFILE(brake_dis_comp,thread,i)
face_t f;
begin_f_loop(f, thread)
else
F_PROFILE(f, thread, i) = 0;
end_f_loop(f, thread)
DEFINE_PROFILE(convection_comp,thread,i)
82
{
face_t f;
begin_f_loop(f, thread)
83
{
else
F_PROFILE(f, thread, i) = 0;
end_f_loop(f, thread)
# include "udf.h"
# include "dynamesh_tools.h"
DEFINE_ZONE_MOTION(rotation_besi_cor,omega,axis,origin,velocity,time,dtime)
else
*omega = 0.0;
return;
DEFINE_DELTAT(time_step_besi_cor,d)
84
real time_cobaa;
real time_coba;
real deg_cobaa;
real deg_coba;
real time_step;
real angspd;
real angspd1;
else
time_step = 0.;
return time_step;
DEFINE_PROFILE(brake_dis_besi_cor,thread,i)
face_t f;
begin_f_loop(f, thread)
85
}
else
F_PROFILE(f, thread, i) = 0;
end_f_loop(f, thread)
DEFINE_PROFILE(convection_besi_cor,thread,i)
face_t f;
begin_f_loop(f, thread)
86
if (timej < 70.5644)
else
F_PROFILE(f, thread, i) = 0;
end_f_loop(f, thread)
# include "udf.h"
# include "dynamesh_tools.h"
DEFINE_ZONE_MOTION(rotation_comp,omega,axis,origin,velocity,time,dtime)
87
else if (time >= 9.39082 && time < 22.4964) //kondisi 2 gelinding
else if (time >= 22.4964 && time < 31.8872) //kondisi 3 ngerem
else if (time >= 31.8872 && time < 44.9927) //kondisi 4 gelinding
else if (time >= 44.9927 && time < 54.3836) //kondisi 5 ngerem
else if (time >= 54.3836 && time < 67.4891) //kondisi 6 gelinding
else
*omega = 0;
return;
DEFINE_DELTAT(time_step_comp,d)
real time_cobaa;
real time_coba;
88
real deg_cobaa;
real deg_coba;
real time_step;
real angspd;
real angspd1;
else if (timec >= 9.39082 && timec < 22.4964) //kondisi 2 gelinding
else if (timec >= 22.4964 && timec < 31.8872) //kondisi 3 ngerem
else if (timec >= 31.8872 && timec < 44.9927) //kondisi 4 gelinding
89
angspd = (35.6125 + (timec - 31.8872) * 0.8146) * 1.00040270; //kelebihan
kurangin gradien
else if (timec >= 44.9927 && timec < 54.3836) //kondisi 5 ngerem
else if (timec >= 54.3836 && timec < 67.4891) //kondisi 6 gelinding
else
time_step = 0;
return time_step;
DEFINE_PROFILE(brake_dis_comp,thread,i)
face_t f;
90
begin_f_loop(f, thread)
else if (timeh >= 22.4964 && timeh < 31.8872) //kondisi 3 ngerem
else if (timeh >= 44.9927 && timeh < 54.3836) //kondisi 5 ngerem
else
F_PROFILE(f, thread, i) = 0;
end_f_loop(f, thread)
DEFINE_PROFILE(convection_comp,thread,i)
face_t f;
real linspd2;
real angspd2;
91
double rew;
double rev;
double suku1;
double suku32;
double suku30;
double suku30f;
begin_f_loop(f, thread)
else if (timej >= 9.39082 && timej < 22.4964) //kondisi 2 gelinding
92
suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);
else if (timej >= 22.4964 && timej < 31.8872) //kondisi 3 ngerem
else if (timej >= 31.8872 && timej < 44.9927) //kondisi 4 gelinding
else if (timej >= 44.9927 && timej < 54.3836) //kondisi 5 ngerem
93
linspd2 = 18.05 - 0.4437 * (timej - 44.9927);
else if (timej >= 54.3836 && timej < 67.4891) //kondisi 6 gelinding
else
F_PROFILE(f, thread, i) = 0;
end_f_loop(f, thread)
94
//UNTUK PENGEREMAN BESI COR BERKALA
# include "udf.h"
# include "dynamesh_tools.h"
DEFINE_ZONE_MOTION(rotation_besi,omega,axis,origin,velocity,time,dtime)
else if (time >= 16.1261 && time < 29.2317) //kondisi 2 gelinding
else if (time >= 29.2317 && time < 45.3578) //kondisi 3 ngerem
else if (time >= 45.3578 && time < 58.4634) //kondisi 4 gelinding
else if (time >= 58.4634 && time < 74.5895) //kondisi 5 ngerem
else if (time >= 74.5895 && time < 87.695) //kondisi 6 gelinding
else
95
{
*omega = 0;
return;
DEFINE_DELTAT(time_step_besi,d)
real time_cobaa;
real time_coba;
real deg_cobaa;
real deg_coba;
real time_step;
real angspd;
real angspd1;
else if (timec >= 16.1261 && timec < 29.2317) //kondisi 2 gelinding
96
else if (timec >= 29.2317 && timec < 45.3578) //kondisi 3 ngerem
else if (timec >= 45.3578 && timec < 58.4634) //kondisi 4 gelinding
else if (timec >= 58.4634 && timec < 74.5895) //kondisi 5 ngerem
else if (timec >= 74.5895 && timec < 87.695) //kondisi 6 gelinding
97
else
time_step = 0;
return time_step;
DEFINE_PROFILE(brake_dis_besi_cor,thread,i)
face_t f;
begin_f_loop(f, thread)
else if (timeh >= 29.2317 && timeh < 45.3578) //kondisi 3 ngerem
else if (timeh >= 58.4634 && timeh < 74.5895) //kondisi 5 ngerem
else
F_PROFILE(f, thread, i) = 0;
98
end_f_loop(f, thread)
DEFINE_PROFILE(convection_besi_cor,thread,i)
face_t f;
real linspd2;
real angspd2;
double rew;
double rev;
double suku1;
double suku32;
double suku30;
double suku30f;
begin_f_loop(f, thread)
99
}
else if (timej >= 16.1261 && timej < 29.2317) //kondisi 2 gelinding
else if (timej >= 29.2317 && timej < 45.3578) //kondisi 3 ngerem
else if (timej >= 45.3578 && timej < 58.4634) //kondisi 4 gelinding
100
rev = 24543.7382 * linspd2;
else if (timej >= 58.4634 && timej < 74.5895) //kondisi 5 ngerem
else if (timej >= 74.5895 && timej < 87.695) //kondisi 6 gelinding
101
}
else
F_PROFILE(f, thread, i) = 0;
end_f_loop(f, thread)
102