Anda di halaman 1dari 115

SIMULASI PERPINDAHAN PANAS PADA PENGEREMAN

KERETA API DENGAN MENGGUNAKAN CFD

TUGAS SARJANA

Karya ilmiah yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk


memperoleh gelar Sarjana Teknik Mesin

Oleh

Satrio Wicara Putra

13109051

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2014
LEMBAR PENGESAHAN

Tugas Sarjana

SIMULASI PERPINDAHAN PANAS PADA


PENGEREMAN KERETA API DENGAN
MENGGUNAKAN CFD

Oleh

Satrio Wicara Putra

13109051

Program Studi Teknik Mesin

Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara

Institut Teknologi Bandung

Disetujui pada tanggal: 24 Februari 2014

Pembimbing

Dr. Ir. Nathanael Panagung Tandian

NIP : 19590126 198403 1001


Tugas Sarjana
Simulasi Perpindahan Panas pada Pengereman Satrio
Judul
Kereta Api dengan Menggunakan CFD Wicara Putra
Program Studi Teknik Mesin 13109051
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung
ABSTRAK
Kereta api merupakan alat transportasi darat yang efektif. Kelebihan dari
alat transportasi ini adalah dapat membawa penumpang dalam jumlah besar
dengan biaya yang relatif murah. Masalah yang dihadapi alat transportasi ini
adalah diameter roda berkurang dengan cepat akibat penggunaan kanvas rem besi
cor. Penemuan baru memungkinkan material besi cor diganti dengan komposit.
Namun, penggantian material kanvas rem kereta api dari besi cor menjadi
komposit menyebabkan retakan pada tapak roda. Retakan ini diduga terkait dengan
masalah thermal stress. Perbedaan sifat material dalam perpindahan panas diduga
menjadi penyebab dari masalah tersebut.
Pada penelitian ini, simulasi perpindahan panas saat pengereman dilakukan
dengan metode computational fluid dynamics (CFD) menggunakan perangkat
lunak Ansys Fluent 14.5. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
fenomena-fenomena yang terjadi pada pengereman kereta api dan mengetahui
perbedaan distribusi temperatur pada roda kereta yang terjadi pada penggunaan
kanvas dengan sifat yang berbeda. Simulasi dilakukan dengan memodelkan roda
dan kanvas kereta api. Perpindahan panas secara konduksi menuju rel dan
konveksi menuju udara sekitar telah dimodelkan.
Dari hasil simulasi diketahui bahwa temperatur roda kereta saat
pengereman sangat bergantung pada koefisien gesek kanvas rem. Temperatur
maksimal pada pengereman komposit mencapai 374 K dan pada besi cor mencapai
346 K. Rentang fluktuasi temperatur mencapai 35,44 K pada pengereman
komposit dan 21,24 K pada pengereman besi cor. Hasil dari penelitian ini dapat
digunakan pada analisis kekuatan roda dan kanvas rem kereta api.
Kata kunci: pengereman kereta api, perpindahan panas, temperatur roda, CFD.
Final Project

CFD Simulation of Heat Transfer During Train Satrio


Title
Braking Wicara Putra
Major Mechanical Engineering 13109051
Faculty of Mechanical and Aerospace Engineering
Intitut Teknologi Bandung
ABSTRACT
The train is an effective land transportation. The advantages of this
transport is it can carry passengers in large quantities at relatively low cost. The
problem faced is wheel diameter decreases rapidly due to the use of cast iron
brake. The new invention allows the material to be replaced with composite.
However, replacement of brake material of cast iron into composite cause cracks
on wheel tread. This cracks suspected associated with thermal stress. Differences
in heat transfer properties of materials suspected to be the cause of the problem.
In this study, simulation of heat transfer during braking is done by the
method of computational fluid dynamics (CFD) using Ansys Fuent 14.5. The
purpose of this study is to investigate the phenomena that occur on the train
braking and know the difference of temperature distribution on the wheels by
using brake block with different properties. Simulation is done by modeling the a
train wheel with two brake blocks. Heat conduction to rail and convection toward
the surrounding air has been modeled.
From the simulation results it is known that the temperature of the wheels
when braking heavily dependent on the coefficient of friction brake. The
temperature reaches a maximum at 374 K using composite and the reaches 346 K
by using cast iron. The range of temperature fluctuations reach 35.44 K using
composite and 21.24 K using cast iron. Results of this study can be used in the
analysis of the strength of train wheel and brake.

Keywords : Railway braking, heat transfer, wheel temperature, CFD.


PRAKATA
Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan
kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Sarjana
ini yang berjudul “Simulasi Perpindahan Panas pada Pengereman Kereta Api
dengan Menggunakan CFD”. Laporan Tugas Sarjana ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Program Studi Teknik Mesin
ITB. Diharapkan tugas sarjana ini dapat menambah wawasan, pengalaman, dan
latihan dalam mengaplikasikan berbagai disiplin ilmu yang telah diperoleh penulis
di bangku kuliah.

Pada kesempatan ini penulis ingin memberikan ucapan terima kasih


kepada beberapa pihak yang telah banyak membantu dan mendukung penulis
dalam menyelesaikan tugas sarjana ini, yaitu:

1. Dr. Ir. Nathanael Panagung Tandian, selaku dosen pembimbing, yang telah
memberikan banyak masukan, arahan, dan perhatian selama penulis
mengerjakan tugas sarjana ini.
2. Kedua orang tua penulis, Pak Abdul Slamet dan Bu Wiwik Hidayati, serta
adik penulis, Nugroho Permata Putra, yang senantiasa mendoakan dan
mendukung penulis dalam mengerjakan tugas sarjana ini.
3. Prof. Dr. Ir. Zainal Abidin, selaku Ketua Program Studi Teknik Mesin
ITB, yang telah memberikan banyak fasilitas dan informasi akademik
maupun nonakademik kepada penulis selama menjalani perkuliahan di
Program Studi Teknik Mesin ITB.
4. Dosen-dosen Tahap Persiapan Bersama dan dosen-dosen Program Studi
Teknik Mesin ITB yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis
mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan ilmu yang telah diajarkan.
5. Bapak Suryana dan Ibu Tuti yang telah membantu penulis dalam hal
administrasi di Program Studi Teknik Mesin dan di Laboratorium
Termodinamika ITB.

v
6. Teman-teman penulis yang telah rela meminjamkan komputernya kepada
penulis untuk simulasi selama 1 bulan : Riphaldo, Panca, dan Faisal.
7. Teman-teman asisten Laboratorium Termodinamika ITB : Rayvan, Widya,
Rusviandi, Abdul, Imam, Reza, Ilham, Cahyo, Rizza, Mada, Taufiq,
Agustinah, Yosia, Billy, Sandy, Adrian, Ilman, Nina, Wirana, dan Gea
yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.
8. Teman-teman seperjuangan dari Himpunan Mahasiswa Mesin ITB pada
umumnya dan Teknik Mesin angkatan 2009 pada khususnya yang telah
memberikan cerita dan pengalaman hidup yang tidak akan terlupakan oleh
penulis.
9. Rama, Faldi, The True Engineer Radian, Lucky Untung, Julsandi, Regy,
dan teman-teman seperjuangan CCS lainnya yang telah menghibur penulis
selama kuliah di ITB.
10. Teman-teman dari Tim Rakata yang telah memberikan penulis arti bekerja
keras dan kerja sama yang sangat mendalam: Ikhsan; Sahril; Octario;
Hizkia; Yusuf; Angga; Indra; Renaldi; Habib; dan Agung.
11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis tuliskan satu per satu yang telah
membantu dalam proses penyelesaian tugas sarjana ini.

Bandung, Maret 2014

Penulis

vi
DAFTAR ISI
PRAKATA .............................................................................................................. v

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii

DAFTAR NOTASI .............................................................................................. xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 3

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 3

1.4 Batasan Masalah ................................................................................... 4

1.5 Metode Penelitian ................................................................................. 4

1.6 Sistematika Penulisan ........................................................................... 7

BAB 2 LANDASAN TEORI .................................................................................. 9

2.1 Sistem Pengereman Kereta Api [2] ...................................................... 9

2.2 Kontak Hertz pada Roda Kereta Api [1] ............................................ 13

2.3 Perpindahan Panas .............................................................................. 15

2.4 Computational Fluid Dynamics (CFD) [7] ......................................... 25

BAB 3 PEMODELAN DAN SIMULASI ............................................................ 31

3.1 Perhitungan Kondisi Simulasi ............................................................ 33

3.2 Pemodelan Roda dan Kanvas Rem Kereta ......................................... 40

3.3 Proses Simulasi ................................................................................... 43

BAB 4 ANALISIS HASIL SIMULASI ................................................................ 56

4.1 Pengereman Kontinu........................................................................... 56

4.2 Pengereman Berkala ........................................................................... 67

vii
4.3 Perbandingan Data .............................................................................. 74

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 80

LAMPIRAN .......................................................................................................... 81

viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Diagram alir pengerjaan tugas sarjana ............................................ 5
Gambar 2.1 Skema rem udara tekan langsung [2] ............................................ 11
Gambar 2.2 Skema sistem rem udara tak langsung [2]..................................... 12
Gambar 2.3 Distribusi tegangan Hertz pada daerah kontak [4] ........................ 15
Gambar 2.4 Ilustrasi perpindahan panas dengan difusi energi akibat aktivitas
molekul [5] .................................................................................... 16
Gambar 2.5 Perpindahan panas secara konveksi [5]......................................... 17
Gambar 2.6 Perpindahan panas secara radiasi [5] ............................................ 19
Gambar 2.7 Diagram benda bebas kereta api saat pengereman berlangsung ... 21
Gambar 2.8 Lompatan temperatur akibat tahanan kontak termal [5] ............... 24
Gambar 2.9 Distribusi temperatur pada Reu = 4000 [6] ................................... 25
Gambar 2.10 Elemen fluida yang digunakan pada persamaan diskritisasi [7] ... 28
Gambar 3.1 Roda kereta api di Balai Yasa Jakarta [8] ..................................... 32
Gambar 3.2 Kanvas rem komposit untuk kereta api ......................................... 33
Gambar 3.3 Proses pembuatan model roda dan kanvas rem kereta .................. 41
Gambar 3.4 Mesh yang digunakan pada penelitian ini ..................................... 42
Gambar 3.5 Letak kondisi batas ........................................................................ 43
Gambar 3.6 Posisi point surface pada model yang dibuat ................................ 44
Gambar 3.7 Panel Fluent Launcher .................................................................. 45
Gambar 3.8 Panel pengaturan souce UDF ........................................................ 46
Gambar 3.9 Hasil keluaran fitur check mesh .................................................... 48
Gambar 3.10 Panel pemilihan solver .................................................................. 48
Gambar 3.11 Panel pemilihan satuan .................................................................. 49
Gambar 3.12 Panel energy equation ................................................................... 49
Gambar 3.13 Panel untuk mendefinisikan material ............................................ 50
Gambar 3.14 Panel pengaturan kondisi zona roda .............................................. 51
Gambar 3.15 Panel pengaturan kondisi batas ..................................................... 52
Gambar 3.16 Panel pengaturan metode penyelesaian ......................................... 52
Gambar 3.17 Panel kendali solusi dan persamaan .............................................. 53
Gambar 3.18 Panel residual monitor untuk menentukan kritria konvergensi .... 54

ix
Gambar 3.19 Panel pembuatan point surface ..................................................... 54
Gambar 3.20 Panel pengaturan pengambilan data .............................................. 55
Gambar 3.21 Panel pengaturan inkremen waktu ................................................ 55
Gambar 4.1 Grafik dengan penyajian data pada waktu yang sama .................. 56
Gambar 4.2 Sejarah temperatur pada tapak roda kereta ................................... 58
Gambar 4.3 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm ........................ 59
Gambar 4.4 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 5 mm ........................... 59
Gambar 4.5 Siklus temperatur pada tapak roda kereta ..................................... 60
Gambar 4.6 Sejarah perbedaan temperatur roda pada tapak dan kedalaman 2,5
mm ................................................................................................ 61
Gambar 4.7 Sejarah perbedaan temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm dan 5
mm ................................................................................................ 62
Gambar 4.8 Sejarah laju panas konduksi dari roda menuju rel ........................ 63
Gambar 4.9 Sejarah laju panas akibat konveksi pada permukaan roda ............ 64
Gambar 4.10 Sejarah laju panas akibat konveksi pada permukaan kanvas rem . 65
Gambar 4.11 Sejarah temperatur rata-rata roda .................................................. 66
Gambar 4.12 Sejarah temperatur rata-rata kanvas rem ....................................... 66
Gambar 4.13 Sejarah temperatur tapak roda pada tiga siklus pertama ............... 68
Gambar 4.14 Kenaikan temperatur pada pertengahan siklus pengereman ......... 68
Gambar 4.15 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm ........................ 69
Gambar 4.16 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 5 mm ........................... 69
Gambar 4.17 Sejarah perbedaan temperatur roda pada tapak dan kedalaman 2,5
mm ................................................................................................ 70
Gambar 4.18 Sejarah perbedaan temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm dan 5
mm ................................................................................................ 70
Gambar 4.19 Sejarah laju panas konduksi menuju rel ........................................ 71
Gambar 4.20 Sejarah laju panas konveksi pada roda kereta ............................... 72
Gambar 4.21 Sejarah laju panas konveksi pada kanvas rem .............................. 72
Gambar 4.22 Sejarah temperatur rata-rata roda kereta ....................................... 73
Gambar 4.23 Sejarah temperatur rata-rata kanvas rem ....................................... 74
Gambar 4.24 Pemodelan perpindahan panas metode numerik pada dinding [5] 75

x
Gambar 4.25 Sejarah temperatur pada pengereman komposit kontinu [1]......... 75
Gambar 4.26 Sejarah temperatur pada pengereman besi cor berkala [1] ........... 76
Gambar 4.27 Sejarah temperatur pada pengereman komposit berkala [1] ......... 77

xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nilai Ka dan Kb .................................................................................... 15
Tabel 3.1 Parameter pengereman kontinu ............................................................. 36
Tabel 3.2 Parameter pengereman berkala ............................................................. 38
Tabel 3.3 Daftar kondisi batas .............................................................................. 43

xii
DAFTAR NOTASI
A : faktor geometri kontak Hertz, -

a : panjang sumbu paruh longitudinal, m

B : faktor geometri kontak Hertz, -

b : panjang sumbu paruh lateral, m

E : modulus elastisitas, Pa

F : gaya kontak, N

N : gaya normal, N

m1 : konstanta material roda, -

m2 : konstanta material rel, -

k : konduktivitas termal, W/m·K

L : panjang, m

ka : koefisien geometri pada kontak Hertz, -

kb : koefisien geometri pada kontak Hertz, -

P : tegangan, Pa

q : laju kalor, W

R : radius gelinding pada arah longitudinal, m

R’ : radius profil pada arah lateral, m

T : temperatur, K

Notasi Yunani

ν : nisbah poisson, -

Φ : sudut defleksi akibat kontak Hertz, derajat

θ : sudut antara bidang kontak Hertz, derajat

xiii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar kelima di
dunia dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Negara kepulauan dengan
penduduk terbanyak ini menjadikan Indonesia negara dengan kepadatan penduduk
yang tinggi. Hal ini berdampak pada sektor transportasi. Pertumbuhan penduduk
menyebabkan kepadatan lalu lintas. Dapat diketahui pada berita bahwa kemacetan
merupakan masalah serius di Indonesia.

Transportasi massal merupakan salah satu solusi untuk mengurangi


kemacetan. Dengan begitu masyarakat diharapkan bepergian dengan alat
transportasi yang disediakan oleh pemerintah tanpa membawa kendaraan pribadi
sehingga kepadatan lalu lintas pun berkurang. Salah satu transportasi massal yang
disediakan pemerintah adalah kereta api. Beberapa kelebihan dari alat transportasi
ini adalah dapat membawa penumpang dalam jumlah besar dan biaya perjalanan
yang relatif murah.

Isu baru yang muncul pada kereta api dari beberapa tahun lalu adalah
diameter roda berkurang dengan cepat. Profil roda berubah dengan cepat karena
keausan dan harus dilakukan profil ulang sehingga mengurangi waktu pakai roda.
Perubahan profil yang cepat ini tidak terbentuk akibat kontak antara roda dengan
rel. Para ahli mengatakan hal ini merupakan akibat dari penggunaan besi cor
sebagai material kanvas rem kereta api [1]. Besi cor menyebabkan pengikisan
pada roda secara cepat sehingga material ini harus diganti.

Penemuan baru memungkinkan material besi cor diganti dengan komposit.


Keuntungan dari material ini adalah kemampuan pengereman meningkat dan
biaya pemakaian yang lebih rendah dari besi cor. Namun timbul kegagalan pada
roda seiring pergantian kanvas rem di atas. Kegagalan yang dimaksud adalah
patah pada arah radial di bagian roda. Initial crack berasal dari permukaan roda

1
menuju ke arah poros roda. Diperkirakan retakan tersebut muncul akibat sifat
pada komposit yang digunakan sebagai kanvas rem.

Salah satu perbedaan sifat komposit dan besi cor adalah konduktivitas
termal komposit lebih rendah dari besi cor. Perbedaan ini menyebabkan distribusi
panas yang timbul saat pengereman berubah. Roda kereta menerima lebih banyak
panas ketika menggunakan komposit. Temperatur permukaan roda meningkat
drastis saat pengereman terjadi.

Peningkatan temperatur menyebabkan pemuaian pada permukaan roda.


Timbul tegangan akibat pemuaian ini yang disebut tegangan termal. Perlu
diketahui panas yang tersimpan pada roda berpindah pada bagian kontak roda-rel
menuju rel sehingga temperatur berfluktuasi saat roda berputar. Oleh karena itu
tegangan termal berubah-ubah sehingga menyebabkan thermal fatigue.
Mekanisme ini yang menjadi penyebab kegagalan roda setelah penggantian
kanvas rem.

Masalah di atas dapat dianalis dengan pendekatan eksperimental atau


simulasi numerik. Simulasi numerik dipilih karena teknologi komputer sekarang
memungkinkan simulasi numerik untuk perpindahan panas dan aliran fluida
diselesaikan dalam waktu singkat dan tepat. Selain itu pendekatan eksperimental
membutuhkan waktu yang lama dengan biaya yang relatif besar. Parameter-
parameter pada simulasi numerik dapat diubah secara fleksibel sehingga
memudahkan analisis.

Penelitian awal telah dilakukan oleh Anom [1]. Pada penelitian tersebut,
roda kereta dibagi menjadi beberapa segmen yaitu dengan proses diskritisasi. Pada
perhitungan numerik yang dilakukan pada salah satu perangkat lunak pengolah
angka, Anom menggunakan persamaan semi-infinitive solid sehingga panas terus
mengalir menuju tengah roda. Hal ini menyebabkan persebaran temperatur yang
terjadi menjadi berbeda dari kondisi yang sebenarnya. Selain itu efek konveksi
pada permukaan roda diabaikan karena Anom menganggap efek konduksi menuju
rel lebih signifikan dibandingkan konveksi.

2
Proses perpindahan panas di atas dapat dievaluasi menggunakan
computational fluid dynamics (CFD) dengan perangkat lunak Ansys Fluent 14.5.
Simulasi yang dilakukan diatur agar sesuai dengan kondisi pengereman yang
terjadi pada kereta penumpang di Indonesia. Pada penelitian ini penulis
memasukkan pengaruh konveksi pada permukaan roda dan kanvas rem kereta.
Hasil perhitungan numerik yang dilakukan dengan Ansys Fluent diharapkan dapat
mendekati proses yang terjadi saat pengereman dan data yang diperoleh dapat
digunakan dalam analisis kekuatan roda kereta saat pengereman.

1.2 Perumusan Masalah


Rumusan masalah yang penulisan temukan pada penelitian tugas sarjana
ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana fenomena yang terjadi pada roda dan kanvas rem akibat proses
pengereman hingga berhenti dan pengereman untuk mempertahankan
kecepatan?
2. Parameter apa saja yang mempengaruhi fluktuasi temperatur terhadap
waktu?
3. Bagaimana perbedaan temperatur roda yang terjadi pada penggunaan
material besi cor dan komposit sebagai kanvas rem?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka ditentukan tujuan penelitian
tugas sarjana ini yaitu sebagai berikut.

1. Melakukan simulasi CFD untuk mengetahui fenomena perpindahan panas


yang terjadi pada roda dan kanvas rem kereta dalam berbagai skenario
pengereman.
2. Mengetahui parameter-parameter yang berpengaruh pada fluktuasi
temperatur saat pengereman.
3. Mengetahui perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam konteks perpindahan
panas pada penggunaan material kanvas rem yang berbeda.

3
1.4 Batasan Masalah
Dalam pengerjaan tugas sarjana ini terdapat beberapa batasan. Di bawah
ini merupakan hal-hal yang penulis tinjau. Bahasan yang tidak menjadi fokus
penulis tidak disertakan pada laporan tugas sarjana ini.

1. Evaluasi perpindahan panas dilakukan dengan computational fluid


dynamics (CFD) pada software ANSYS Fluent 14.5. Simulasi dilakukan
terhadap salah satu roda kereta yang dimodelkan sesuai kondisi
pengereman yang terjadi pada kereta penumpang di Indonesia. Hasil
simulasi dibandingkan dengan perhitungan numerik yang telah dilakukan
Anom [1].
2. Parameter-parameter yang ditinjau hanya parameter yang berhubungan
dengan pembangkitan panas dan perpindahan panas seperti konduktivitas
termal, kecepatan, hambatan termal, dan lainnya. Parameter lain seperti
kekuatan material dan sebagainya tidak dibahas.
3. Seluruh bahasan penelitian hanya ditujukan pada perpindahan panas
bagian pegereman kereta api. Hal-hal seperti analisis kekuatan dan lainnya
tidak dibahas.

1.5 Metode Penelitian


Metode yang baik dibutuhkan dalam pengerjaan penelitian ini agar didapat
hasil yang baik dan tepat sasaran. Oleh karena itu proses pengerjaan penelitian
tugas sarjana ini dibagi dalam 6 tahap yaitu studi literatur, pendefinisian strategi
dan parameter simulasi, pengaturan pre-processing, uji konvergensi, simulasi, dan
analisis hasil simulasi serta penulisan laporan. Secara umum proses pengerjaan
penelitian ini dapat dilihat pada diagram alir dalam Gambar 1.1.

4
Mulai A B

Pengaturan
Studi literatur Hasil baik?
lanjut

Pendefinisian
strategi dan Uji konvergensi Simulasi penuh
parameter dengan
simulasi beberapa mesh

Analisis dan
evaluasi hasil
Pemeriksaan simulasi
Hasil
parameter simulasi
pengaturan menuju satu
diskritisasi dan nilai? Penulisan
simulasi laporan tugas
sarjana

A B Selesai

Gambar 1.1 Diagram alir pengerjaan tugas sarjana

Penjelasan dari langkah-langkah pengerjaan penelitian tugas sarjana ini


adalah sebagai berikut.

1. Studi literatur
Studi literatur merupakan langkah pertama yang dilakukan pada penelitian
ini. Hal-hal yang dilakukan pada langkah ini adalah mencari referensi yang
berkaitan dengan penelitian ini, mempelajari teori-teori yang berkaitan,
dan mempelajari perangkat lunak Ansys Workbench, Meshing, Fluent,
serta CFD-Post. Selain itu laporan penelitian tugas sarjana Anom [1]
dipelajari pula karena penulis melanjutkan penelitian yang telah
dilakukannya.
2. Pendefinisian strategi dan parameter simulasi

5
Strategi dan parameter simulasi ditentukan pada langkah ini. Hal-hal yang
dilakukan pada langkah simulasi dipikirkan dengan cermat sehingga
proses simulasi berjalan dengan baik dan efisien. Selain itu parameter
simulasi dihitung berdasarkan data yang ada pada laporan tugas sarjana
Anom.
3. Pengaturan pre-processing
Pada langkah ini, persiapan simulasi dilakukan pada perangkat lunak
Ansys Design Modeller dan Meshing. Kegiatan yang dimaksud adalah
pembuatan model geometri roda dan kanvas rem kereta api, melakukan
proses diskritisasi pada model yang dibuat (meshing), dan penamaan
kondisi batas (zoning). Pada proses dikritisasi dilakukan pengaturan
ukuran mesh pada permukaan tapak roda dan kanvas rem sehingga
terbentuk mesh. Setelah itu mesh yang ada dicoba dengan melakukan
simulasi percobaan untuk melihat hasil simulasi dari mesh tersebut.
Apabila hasil simulasi buruk maka dilakukan pengaturan ulang pada
ukuran mesh sampai didapat hasil simulasi yang cukup baik. Selain itu
pada langkah ini persamaan-persamaan yang digunakan pada simulasi
ditulis dalam bahasa C agar dapat digunakan sebagai UDF.
4. Uji konvergensi
Hasil simulasi dari satu mesh belum dapat dianggap mendekati kenyataan
sebelum dilakukan uji konvergensi. Pada uji konvergensi, beberapa mesh
dibuat untuk dilakukan proses simulasi dengan parameter yang sama.
Hasil dari mesh dengan jumlah yang sedikit dibandingkan dan dilihat
selisihnya dengan mesh yang berjumlah lebih banyak. Mesh dengan selisih
yang kecil dipilih untuk digunakan pada langkah simulasi.
5. Simulasi
Sebelum simulasi dilakukan, pengaturan lanjut dilakukan terlebih dahulu
pada Fluent. Pengaturan yang dimaksud adalah penempatan point surface
di sekeliling roda, pengaturan penulisan data saat simulasi, dan pengaturan
auto save. Setelah itu dilakukan proses simulasi dengan beberapa
computer untuk mempersingkat waktu iterasi.

6
6. Analisis dan penulisan laporan
Pada langkah terakhir ini hasil simulasi diolah dan dianalisis. Setelah itu
seluruh langkah yang dilakukan berserta hasil analisis ditulis pada laporan
tugas sarjana.

1.6 Sistematika Penulisan


Penulisan laporan tugas sarjana dibagi menjadi lima bab. Adapun maksud
dari pembagian ini adalah untuk memudahkan pembaca untuk mengerti isi dari
laporan tugas sarjana ini. Berikut ini rincian masing-masing bab.

Bab 1 Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan


penulisan, batasan masalah, sistematika penulisan, dan metodologi penelitian.
Latar belakang menjelaskan alasan penulis memilih topik tugas sarjana ini.
Perumusan masalah berisi masalah yang penulis temui dalam tugas sarjana.
Tujuan penulisan berisi tujuan pengerjaan tugas sarjana. Batasan masalah berisi
hal-hal yang penulis kerjaan beserta batasannya. Sedangan metodologi penelitian
menjelaskan bagaimana penulis mengerjakan tugas sarjana ini.

Bab 2 Tinjauan Pustaka, berisi tentang kajian-kajian pustaka mengenai


teori yang digunakan pada tugas sarjana ini. Pada bab ini dibahas teori mengenai
system pengereman pada kereta api. Selain itu dibahas pula teori tentang
perpindahan panas seperti konveksi paksa dan konduksi serta teori tentang
computational fluid dynamics (CFD).

Bab 3 Prosedur Simulasi, membahas langkah-langkah yang diambil untuk


menyelesaikan pemodelan pada ANSYS Fluent 14.5. Bab ini diawali dengan
penjelasan bagaimana strategi dalam melakukan proses simulasi perpindahan
panas pada pengereman kereta api. Kemudian dibahas mengenai proses simulasi
yang dilakukan beserta koreksi dan optimalisasi yang dilakukan. Selain itu dalam
bab ini dibahas pula mengenai langkah-langkah post-processing yang diambil
agar hasil simulasi dapat ditampilkan dan diinterpretasikan dengan baik.

Bab 4 Analisis dan Evaluasi hasil simulasi, membahas hasil simulasi yang
telah dilakukan. Pada bab ini fluktuasi temperatur, temperatur maksimal, dan

7
distribusi temperatur yang terjadi saat proses pengereman dibahas oleh penulis.
Selain itu terdapat perbandingan hasil simulasi dengan hasil perhitungan numerik
yang telah dilakukan saudara Anom.

Bab 5 Kesimpulan dan Saran, terdiri dari kesimpulan dan saran yang
penulis dapatkan. Kesimpulan merupakan jawaban dari tujuan tugas sarjana ini
yang sesuai dengan analisis yang telah diuraikan pada Bab 4. Saran berisi
rekomendasi untuk perbaikan atau aspek lain yang perlu dikaji lebih lanjut.

8
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Sistem Pengereman Kereta Api [2]


Sistem pengereman kereta api merupakan proses kompleks yang
berkontribusi terhadap keselamatan perjalanan. Kompleksitas ini berasal dari fakta
bahwa saat pengereman terjadi beberapa fenomena yang berbeda yang meliputi
mekanikal, termal, pneumatik, elektrikal, dan lainnya. Efek dari proses tersebut
timbul di beberapa bagian kereta dengan intensitas yang bervariasi.

Tujuan dari pengereman adalah untuk mengurangi kecepatan kereta secara


terkendali, baik untuk mencapai kecepatan rendah atau membuat kereta tetap diam
pada suatu tempat. Secara umum proses ini terjadi dengan mengubah energi
kinetik dan potensial (berada pada turunan) dari kereta menjadi panas yang
dibuang ke lingkungan.

Diantara banyak konstruksi dan prinsip pengereman yang dikembangkan,


hasil studi dan pengujian menunjukkan bahwa sistem rem udara tekan tak
langsung (indirect compressed air brake system) memiliki keuntungan yang
paling banyak. Sistem ini merupakan sistem yang paling umum digunakan dan
menjadi sistem dasar serta wajib digunakan pada kendaraan rel.

2.1.1 Klasifikasi Sistem Pengereman [1]


Berbagai jenis pengereman yang diterapkan pada kendaraan rel dapat
digolongkan menjadi:

a. Rem yang mengalami aus, yaitu:


 Rem tangan
 Rem udara tekan
 Rem vakum
 Rem gesek magnetik
b. Rem yang tidak mengalami aus, yaitu:
 Rem elektrodinamik

9
 Rem elektromagnetik
 Rem hidrodinamik

Rem udara tekan (compressed air brake) merupakan jenis rem standar
pada kendaraan rel di Indonesia (PT KAI). Pada masa lalu pernah digunakan rem
vakum pada kereta namun karena banyaknya kekurangan dibandingkan rem udara
rekan, rem vakum tidak digunakan lagi. Kekurangan-kekurangan tersebut antara
lain dimensi yang dibutuhkan tabung pada rem vakum cukup besar, gaya
pengereman lebih rendah, dan sering terjadi kebocoran. Pada kereta diesel hanya
digunakan udara tekan saja sedangkan pada kereta listrik digunakan kombinasi
rem elektrodinamik pada kecepatan tinggi dan rem udara tekan pada kecepatan
rendah.

2.1.2 Sistem Pengereman Dasar


Sistem pengereman berfungsi memberikan gaya pengereman terkontrol
yang konsisten pada rentang kecepatan perjalanan, memungkinkan mengurangi
kecepatan, dan berhenti pada kemiringan. Sistem pengereman dasar terdiri dari
kanvas rem, aktuator, dan pengontrol.
Sistem rem udara tekan langsung merupakan rem kontinu paling sederhana
pada konstruksi maupun pada fungsional rem (Gambar 2.1). Instalasi rem terdiri
dari kompresor sebagai sumber udara bertekanan, tabung udara utama sebagai
tempat penyimpanan udara bertekanan, pipa rem kereta yang terdiri dari pipa rem
kendaraan, selang penghubung, dan katup isolasi. Untuk pengendali dan pengatur
rem pusat terdapat katup rem masinis yang memiliki tiga fungsi pneumatik yaitu :
menghubungkan tabung udara utama dan pipa rem kereta; menghubungkan pipa
rem kereta dengan lingkungan; dan mengisolasi pipa rem kereta terhadap tabung
udara utama dan lingkungan.
Prinsip operasi dari rem ini sederhana. Untuk mengendalikan rem, katup
rem masinis mengalirkan tekanan yang disuplai menuju pipa rem kereta sehingga
tekanan pada silinder bertambah. Silinder rem mengubah tekanan menjadi gaya.
Gaya dari silinder diteruskan oleh batang piston dan diperbesar pada tuas rem
menuju kanvas rem. Ketika gaya pengereman cukup, masinis dapat menghentikan

10
suplai udara menuju pipa rem kereta dari tabung udara utama melalui katup rem
masinis. Sistem ini sangat adaptif karena secara teoritik dengan perlakuan yang
tepat pada katup rem masinis, rentang tekanan yang besar pada silinder rem dapat
dicapai sehingga pengendalian rem dapat dilakukan dengan baik. Untuk melepas
rem, katup rem masinis diatur sehingga pipa rem kereta dan udara luar terhubung
dan tekanan pada pipa rem kereta terbuang. Dengan mengatur posisi katup rem
ini, beberapa langkah pengereman dapat dilakukan.
Jenis pengaturan rem tekan langsung telah ditinggalkan. Hal ini terjadi
karena sedikit kesalahan pada pipa rem kereta dapat mengakibatkan tekanan
keluar sehingga rem terlepas tanpa peringatan dan tanpa kemungkinan untuk
mengembalikan gaya pengereman. Rem ini berbahaya dilihat dari aspek
keselamatan perjalanan. Selain itu proses pengereman tidak terjadi serentak pada
masing-masing kendaraan karena sifat kompresibel udara. Akibat hal tersebut,
terjadi perambatan proses pengereman yang menimbulkan reaksi (gaya atau
hentakan) longitudinal yang besar yang mempengaruhi keamanan dan
kenyamanan perjalanan.

Gambar 2.1 Skema rem udara tekan langsung [2]: 1. Kompresor; 2. Tabung udara
utama; 3. Pipa rem kendaraan; 3a. Pipa rem kendaraan; 3b. Selang penghubung;
3c. Katup isolasi; 4. Katup rem masinis; 5. Silinder rem; 6. Tuas rem; 7. Kanvas
rem.

Sistem rem udara tekan tak langsung digagas untuk mengeliminasi


kekurangan utama pada sistem rem udara tekan langsung. Keistimewaan dari

11
pemakaian sistem ini adalah rem terlepas selama tekanan pipa rem kereta tetap
dipertahankan. Secara umum tekanan pada sistem pipa rem ini ditetapkan sebesar
5 bar (gage). Terdapat juga pengecualian seperti pada negara pecahan Soviet yang
menggunakan tekanan 5.5 bar atau Amerika Serikat yang menggunakan tekanan
4.8 bar, 6.2 bar, dan 7.6 bar (tergantung dari jenis kereta) yang diberlakukan oleh
AAR (Association of American Railroads).

Sistem rem udara tak langsung memiliki bagian yang sama dan dengan
fungsi yang identik dengan rem udara langsung (Gambar 2.2). Sebagai tambahan,
masing-masing kendaraan dilengkapi dengan tabung udara pembantu dan
distributor udara yang mengatur tindakan kanvas (menempel atau lepas) secara
lokal tergantung pada variasi tekanan pada pipa rem kereta.

Gambar 2.2 Skema sistem rem udara tak langsung [2]: 1. Kompresor; 2. Tabung
udara utama; 3. Pipa rem kereta; 3a. Pipa rem kendaraan; 3b. Selang penghubung;
3c. Katup isolasi; 4. Katup rem masinis; 5. Silinder rem; 6. Tuas rem; 7. Kanvas
rem; 8. Tabung udara pembantu; 9. Distributor udara rem.

Distributor udara menghubungkan pipa rem kereta dengan tabung udara


pembantu, tabung udara pembantu dengan silinder rem, dan silinder rem dengan
udara luar. Ketika tekanan pada pipa rem kereta bertambah, pada distributor udara
terjadi sambungan pneumatik dengan urutan berikut : sambungan antara tabung
udara pembantu dengan silinder rem terputus; silinder rem dengan udara luar
terhubung; dan pipa rem kereta dengan tabung udara pembantu terhubung. Dalam

12
keadaan tekanan pipa rem kereta turun, pada distributor udara terjadi sambungan
pneumatik dengan urutan sebagai berikut : sambungan antara tabung udara
pembantu dengan pipa rem kereta terputus; sambungan antara silinder rem dengan
udara luar terputus; dan tabung udara pembantu dengan silinder rem terhubung.

Keuntungan dari sistem rem udara tekan tak langsung adalah keamanan
yang lebih baik dari sistem rem udara langsung. Bila terdapat kebocoran dalam
pipa sehingga tekanan turun dengan cepat, terjadi pengereman darurat untuk
seluruh kendaraan independen terhadap kendali masinis. Selain itu kereta modern
dilengkapi dengan sistem untuk membatalkan mekanisme rem darurat untuk
menghindari kereta berhenti pada tempat yang tidak tepat. Sebagai contoh, bila
terjadi kebakaran ketika kereta melewati terowongan panjang.

2.2 Kontak Hertz pada Roda Kereta Api [1]


Kondisi kontak antara roda kereta dengan rel berbentuk bidang kecil pada
arah horizontal. Tekanan kontak pada bagian ini menyerupai konsentrasi tegangan
karena permukaan kecil tersebut menahan beban kereta akibat gravitasi, traksi,
maupun pengereman. Pengetahuan mengenai beban yang terjadi ini dibutuhkan
untuk mengetahui kesetimbangan dan perilaku dinamik perangkat roda.

Hertz menunjukkan bahwa ketika dua benda elastis ditekan satu sama lain
dengan kondisi benda tersebut bersifat elastis, permukaan kontak halus, memiliki
lengkungan dengan radius sangat besar (semi-infinitive spaces) dan tidak ada
gesekan pada daerah kontak maka permukaan kontak kedua benda tersebut
berbentuk elips dan dapat dianggap rata serta profil tekanan kontak berbentuk
semi-elipsoid [3]. Sumbu paruh elips bidang kontak dapat dihitung dengan
persamaan berikut:

Sumbu paruh longitudinal, a:

( )
√ (2.1)

Sumbu paruh lateral, b:

13
( )
√ (2.2)

Panjang sumbu di atas dapat dicari dengan menghitung faktor geometri A dan B,
konstanta material m1 dan m2, serta nilai ka dan kb dengan persamaan-persamaan
berikut:

(2.3)

(2.4)

( ) (2.5)

[( ) ( ) ( )( ) ] (2.6)

( ) (2.7)

Dengan:

R1 : radius gelinding roda pada arah longitudinal (perjalanan), m

R1’ : radius profil tapak roda pada arah lateral (melintang), m

R2 : radius gelinding rel pada arah longitudinal (memanjang), m

R2’ : radius profil rel pada arah lateral (melintang), m

: nisbah Poisson material roda, -

: nisbah Poisson material rel, -

E1 : modulus elastis material roda, Pa

E2 : modulus elastis material rel, Pa

θ : sudut antara bidang kontak, derajat

Koefisien Ka dan Kb tergantung pada rasio B terhadap A dengan Φ adalah


sudut antara bidang normal yang memuat 1/R1 dan 1/R2. Koefisien Ka dan Kb
merupakan fungsi dari Φ dan dapat diketahui dengan melihat Tabel 2.1.

14
Tabel 2.1 Nilai Ka dan Kb

Ф 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Ka 1,754 1,611 1,486 1,378 1,284 1,202 1,128 1,061 1
Kb 0,641 0,678 0,717 0,759 0,802 0,846 0,893 0,944 1

Pada daerah kontak pada roda dan rel, distribusi tegangan kontak
berbentuk semi elips seperti pada Gambar 2.3. Tegangan kontak maksimum yang
terjadi dapat dihitung dengan persamaan berikut:

(2.8)

dengan tegangan kontak rata-rata adalah gaya normal dibagi luas elips dapat
dihitung dengan persamaan berikut:

(2.9)

Gambar 2.3 Distribusi tegangan Hertz pada daerah kontak [4]

2.3 Perpindahan Panas


Perpindahan panas (atau panas) adalah energi termal yang mengalir akibat
perbedaan temperatur. Energi ini pindah dari tingkat energi tinggi menuju tingkat
energi rendah sesuai dengan konsep kesetimbangan energi. Perpindahan panas
dapat terjadi dalam tiga cara yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi.

15
2.3.1 Mekanisme Perpindahan Panas [5]

2.3.1.1 Konduksi
Konduksi adalah perpindahan energi termal yang terjadi pada suatu
medium tanpa gerakan curah dari medium tersebut (stasioner). Energi ini terkait
dengan aktivitas atom ataupun molekul seperti translasi, rotasi, dan getaran.
Perpindahan panas secara konduksi dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Ilustrasi perpindahan panas dengan difusi energi akibat aktivitas
molekul [5]

Partikel bertemperatur tinggi memiliki energi yang tinggi. Secara konstan


partikel berenergi tinggi ini bertumbukan dengan partikel berenergi rendah di
sekitarnya memindahkan sejumlah energi. Pada suatu perbedaan temperatur,
perpindahan energi pada konduksi terjadi menuju pada temperatur yang lebih
rendah.

Pada konduksi, laju perpindahan panas dinyatakan dalam hukum Fourier.


Untuk perhitungan satu dimensi, laju perpindahan panas dinyatakan dengan:

(2.10)

Flux panas qx” (W/m2) adalah laju perpindahan panas dalam arah x per satuan luas
dan laju ini sebanding dengan gradient temperatur dT/dx pada arah x. k adalah
konduktivitas termal (W/m.K) yang merupakan karakteristik material. Pada
kondisi tunak ketika distribusi temperatur linear, gradient temperatur dapat
dinyatakan dengan:

16
dengan T2 > T1 sehingga flux panas adalah sebagai berikut:

(2.11)

2.3.1.2 Konveksi
Perpindahan panas secara konveksi terdiri dari dua mekanisme, yaitu
akibat gerakan acak molekul dan gerakan curah fluida. Gerakan acak molekul
terjadi sama seperti yang terjadi pada konduksi. Gerakan curah terjadi akibat
sejumlah besar molekul yang bergerak secara kolektif membawa sejumlah kalor.
Jumlah kalor yang dipindahkan secara konveksi merupakan gabungan dari kalor
yang dibawa dua mekanisme tersebut.

Proses konveksi terjadi dalam salah satu proses yang terdapat pada
Gambar 2.5. Konveksi akibat aliran fluida yang digerakkan disebut konveksi
paksa. Apabila aliran udara tersebut terjadi akibat gaya apung yang timbul akibat
perbedaan massa jenis (perbedaan temperatur), proses tersebut dinamakan
konveksi alami. Konveksi juga terjadi pada proses penguapan dan pengembunan.

Gambar 2.5 Perpindahan panas secara konveksi [5]. (a) Konveksi paksa. (b)
konveksi alami. (c) Penguapan. (d) Kondensasi.

17
Laju perpindahan panas secara konveksi dapat dinyatakan dalam
persamaan:

( ) (2.12)
dengan q” flux panas konveksi (W/m2) sebanding dengan perbedaan antara
temperatur fluida dengan permukaan T1-T2 dimana T1>T2 dan h adalah koefisien
konveksi (W/m2.K).

2.3.1.3 Radiasi
Radiasi termal dipancarkan oleh benda yang memiliki temperatur (T>0).
Radiasi tidak hanya dipancarkan oleh benda padat saja tetapi dapat terjadi pula
pada benda cair dan gas. Energi radiasi dihantarkan oleh gelombang
elektromagnetik. Radiasi tidak membutuhkan medium untuk menghantarkan
energi. Faktanya, perpindahan energi pada radiasi berlangsung paling efektif pada
ruang vakum.

Radiasi yang dipancarkan oleh permukaan suatu benda dinyatakan oleh


Hukum Stefan-Boltzmann:

(2.13)
dengan

Eb : daya emisi, W/m2

σ : konstanta Stefan-Boltzmann = 5.67 x 10-8 W/m2 · K4

Ts : temperatur permukaan, K

Persamaan di atas berlaku untuk radiator ideal atau benda hitam. Pada permukaan
sebenarnya radiasi yang dipancarkan lebih kecil dari benda hitam pada temperatur
yang sama mengikuti persamaan:

(2.14)

18
dengan ε adalah emisivitas dengan nilai dalam rentang 0 ≤ ε ≤1. Sifat radiatif ini
menyatakan seberapa efisien sebuah permukaan memancarkan energi radiasi
relatif terhadap benda hitam.

Radiasi juga dapat diterima dari lingkungan oleh sebuah permukaan. Laju
energi radiasi yang menuju permukaan dinamakan iradiasi (Gambar 2.6a). Iradiasi
dapat diserap oleh permukaan tersebut. Laju penyerapan energi per satuan luas
permukaan dipengaruhi oleh sifat material yang disebut absorptivitas (α).
Hubungan antara energi iradiasi dan absorptivitas dinyatakan dalam persamaan
berikut:

(2.15)
dengan 0 ≤ α ≤ 1. Jika α < 1 dan permukaan buram maka sebagian iradiasi
dipantulkan. Jika permukaan semi transparan maka sebagian iradiasi diteruskan.
Pada banyak permasalahan, sebagai contoh radiasi dari matahari, cairan dapat
dianggap sebagai permukaan buram dan udara dapat dianggap sebagai permukaan
semi transparan.

Gambar 2.6 Perpindahan panas secara radiasi [5]

Terdapat kasus dimana pertukaran radiasi terjadi antara permukaan kecil


dengan permukaan isotermal yang jauh lebih besar dan mengelilingi permukaan
kecil tersebut (Gambar 2.6b). Jika permukaan diasumsikan memiliki α = ε
(permukaan abu-abu), laju perpindahan panas per satuan luas radiasi dinyatakan
dengan persamaan:

19
( ) ( ) (2.16)
Terdapat persamaan lainnya yang biasa digunakan pada perhitungan
perpindahan panas radiasi, yaitu:

( ) (2.17)
dengan

( )( ) (2.18)

2.3.2 Perpindahan Panas pada Proses Pengereman [1]


Pada saat pengereman, energi kinetik yang dimiliki kereta diubah menjadi
energi kalor pada kanvas rem. Energi kalor yang dihasilkan pada permukaan
kanvas rem saat pengereman sebanding dengan kecepatan tangensial roda sesuai
dengan persamaan berikut:

(2.19)
dengan

P : daya pengereman, Watt

Q : laju kalor pengereman, Watt

µ : koefisien gesek antara roda dan kanvas rem, -

F : gaya pengereman, N

Vt : kecepatan tangensial permukaan luar roda, m/s

Panas yang dihasilkan saat pengereman terdistribusi menuju roda dan


kanvas rem. Menurut Carslaw dan Jaeger seluruh panas terdistribusi menuju roda
dan kanvas rem sehingga dapat ditulis sebagai berikut:

(2.20)
dengan

Qw : kalor yang menuju roda kereta, Watt

Qb : kalor yang menuju kanvas rem, Watt

20
Dengan asumsi seluruh daya pengereman berubah menjadi kalor, besar
kalor pengereman yang menuju roda dapat dihitung sesuai persamaan berikut:


(2.21)
√ √
dengan

αw : difusivitas termal roda kereta, m2/s

αb : difusivitas termal kanvas rem, m2/s

kw : konduktivitas termal roda kereta, W/mK

kb : konduktivitas termal kanvas rem, W/mK

Pengereman menyebabkan kecepatan kereta berkurang. Dengan begitu


kecepatan tangensial pada diameter luar roda kereta berkurang. Hal ini
menyebabkan daya pengereman atau kalor yang dibangkitkan berkurang. Secara
sederhana ilustrasi gaya-gaya yang berkerja pada kereta saat pengereman terdapat
pada gambar 2.7.

Arah gerak

fr
Wsinθ

W
8f

8f
Gambar 2.7 Diagram benda bebas kereta api saat pengereman berlangsung

Perbedaan jenis kanvas rem yang memiliki koefisien gesek yang berbeda
menghasilkan besar perlambatan yang berbeda pula. Berdasarkan ilustrasi yang
terdapat pada gambar 2.8, besar perlambatan dapat ditulis sebagai berikut:

21
( ) (2.22)

dengan

α : perlambatan, m/s2

m : massa kereta, kg

f : gaya hambat akibat gesekan kanvas, N

fr : gaya tahanan kereta, N

g : percepatan gravitasi, m/s2

θ : kemiringan lintasan kereta, o/oo

2.3.2.1 Gaya Tahanan Kereta


Timbul gaya yang melawan gerakan ketika kereta sedang berjalan. Gaya
ini disebut gaya tahanan kereta dan besarnya dapat dihitung menggunakan
persamaan Davis sebagai berikut:

(2.23)

dengan

W : beban yang ditanggung poros roda, ton

naxle : jumlah poros roda, -

B : koefisien empirik gesekan = 0,03

C : koefisien tahanan udara = 0,00034

V : kecepatan kereta, mil/jam

A : luas penampang kereta pada arah longitudinal, ft2

22
2.3.2.2 Tahanan Kontak
Timbul tahanan kontak termal antara roda kereta dan rel akibat kekasaran
permukaan. Hal ini menyebabkan lompatan temperatur antara roda kereta dengan
rel (Gambar 2.8). Nilai tahanan kontak termal ini pada dasarnya dicari dengan
percobaan. Namun nilai tersebut dapat dicari dengan persamaan empirik yang
diajukan oleh Popov sebagai berikut:

( ) (2.24)

dengan

C’ : konduktansi termal, W/ m2K

Ks : konduktivitas termal material, W/mK

P : tegangan kontak Hertz, MPa

Z : faktor kekasaran permukaan roda, -

SB : kekuatan tekan material, MPa

Faktor Z ditentukan oleh persamaan berikut:

( ) (2.25)
( )

( ) (2.26)
( )

( ) (2.27)
( )
dengan hmax adalah kekasaran permukaan maksimum.

23
Gambar 2.8 Lompatan temperatur akibat tahanan kontak termal [5]

2.3.2.3 Konveksi Roda


Perpindahan panas pada roda berputar dalam aliran udara telah dipelajari
oleh Wiesche [6]. Beliau mengajukan beberapa korelasi untuk menentukan
koefisien konveksi pada roda berputar dalam aliran udara yang didapatkan dari
studi numerik. Dari studi numerik yang telah dilakukan, Wiesche
merekomendasikan persamaan korelasi untuk memprediksi perpindahan panas
yang terjadi pada roda berputar dalam aliran udara sebagai berikut:

Untuk 103 ≤ Reu ≤ 5 x 104:

(2.28)

(2.29)
{
Untuk Reu > 5 x 104:

√( ) ( ) (2.30)

√( ) ( ) (2.31)
{
Pada persamaan di atas, bilangan Prandtl 0.7 digunakan sesuai dengan nilai Pr
pada kondisi lingkungan dengan Reu dan Reω sebagai berikut:

(2.32)

24
(2.33)

Pada kasus dengan bilangan Reynold rotasi yang rendah (Reω ≈ 4000),
gerakan rotasi roda hampir tidak berefek pada aliran udara sehingga perpindahan
panas tetap konstan. Pada bagian roda yang bergerak searah dengan aliran udara,
kecepatan relatif roda-udara berkurang. Dengan begitu perpindahan panas pada
bagian ini berkurang. Sedangkan kecepatan relatif roda-udara bertambah pada
bagian roda yang bergerak berlawanan dengan aliran udara sehingga menambah
perpindahan panas pada bagian ini (terjadi kompensasi dengan bagian
sebelumnya). Walaupun begitu perpindahan panas total yang terjadi pada roda
tidak mengalami perubahan yang berarti.

Dengan bertambahnya nilai bilangan Reynold rotasi (Reω ≥ 10000), aliran


udara menjadi lebih turbulen dan kemudian wake yang terbentuk tidak lagi
terbatas pada permukaan roda (Gambar 2.9). Terjadi fluktuasi aliran yang kuat
pada segala arah di permukaan roda. Pada kasus ini tidak terjadi kompensasi
seperti pada kasus di atas sehingga perpindahan panas total meningkat.

Gambar 2.9 Distribusi temperatur pada Reu = 4000 [6]

2.4 Computational Fluid Dynamics (CFD) [7]


Computational Fluid Dynamics (CFD) adalah analisa sistem aliran fluida,
perpindahan panas, dan fenomena yang terkait seperti reaksi kimia dengan

25
simulasi komputer. Teknik ini digunakan secara luas baik pada bidang industri
maupun non industri. Berikut ini contoh dari penggunaan CFD:

 Aerodinamika pesawat dan kendaraan (gaya angkat dan hambatan,


optimasi proses pembakaran);
 Pembangkit daya (peningkatan efisiensi turbin);
 Perminyakan (aliran dalam pipa);
 Perkapalan (desain kapal selam);
 Medis (aliran dalam pembuluh darah); dan
 Lingkungan (penyebaran polutan di air dan udara),

CFD memiliki beberapa kelebihan dibandingkan penelitian berbasis eksperimen


yaitu:

 Mengurangi waktu dan biaya penelitian;


 Memiliki kemampuan untuk mempelajari sistem yang sulit atau tidak
dapat dilakukan secara eksperimen (sistem sangat besar dan kompleks);
 Hasil simulasi sangat detail.

Kode perangkat lunak CFD disusun dalam struktur algoritma numerik


untuk menyelesaikan permasalahan aliran fluida. Untuk memudahkan
penggunaan, semua aplikasi CFD dilengkapi dengan antarmuka untuk
memasukkan parameter penelitian dan menampilkan hasil. Oleh karena itu kode
tersebut dibagi dalam tiga bagian utama yaitu pre-processor, solver, dan post-
processor.

Pre-processor

Pre-processor terdiri dari antarmuka untuk memasukkan model dari aliran


fluida secara mudah dan mengubah model tersebut menjadi bentuk yang dapat
digunakan oleh solver. Berikut ini langkah-langkah yang dapat dilakukan dengan
pre-processor:

 pendefinisian domain yang menjadi perhatian;

26
 pembuatan mesh (bagian-bagian kecil dari domain, volume atur, sel);
 pendefinisian kondisi batas;

Solusi untuk aliran fluida didefinisikan pada titik nodal dalam tiap sel.
Akurasi hasil CFD ditentukan dari jumlah sel. Umumnya semakin banyak sel
semakin baik pula akurasi hasil simulasi. Namun semakin banyak jumlah sel
semakin besar pula biaya pengadaan piranti komputer. Mesh yang baik terkadang
tidak merata dalam artian padat pada bagian dimana variasi temperatur, tekanan,
kecepatan, dan lainnya yang besar terjadi dan jarang pada bagian dengan variasi
yang kecil.

Solver

Secara garis besar algoritma numerik terdiri dari langkah-langkah berikut :

 integrasi persamaan-persamaan pembangun aliran fluida di seluruh volume


atur;
 diskritisasi (mengubah persamaan integral menjadi persamaan aljabar);
dan
 penyelesaian persamaan aljabar dengan iterasi.

Langkah pertama yang dilakukan adalah integrasi volume atur. Hasilnya


adalah persamaan kekekalan sifat-sifat yang relevan antara algoritma numerik dan
prinsip kekekalan fisik. Kekekalan variabel aliran yang umum (Ф) seperti
kecepatan atau kalor dapat dinyatakan sebagai sebuah kesetimbangan antara
mekanisme yang berupaya mengurangi dan menambahnya. Untuk lebih jelas
pernyataan di atas dapat dinyatakan sebagai berikut:

[ ]

[ ] [ ] [ ]

27
Post-processor

Bagian ini memiliki kemampuan untuk menampilkan hasil simulasi seperti plot
grafik, plot kontur, plot vektor. Bagian ini dilengkapi pula dengan kemampuan
visual seperti animasi, particle tracking, dan lainnya.

2.4.1 Persamaan Pembangun CFD


Pada analisis aliran fluida pada ukuran makroskopik (panjang lebih dari 1
μm), struktur dan gerakan molekul dapat diabaikan. Sifat makroskopik aliran
dapat dianggap sebagai sifat rata-rata molekul dalam jumlah yang banyak. Partikel
atau suatu titik pada fluida merupakan elemen terkecil dimana sifat makroskopik
tidak terpengaruh oleh satu molekul.

Elemen kecil berbentuk kotak digunakan untuk menggambarkan perilaku


aliran dalam sifat makroskopik seperti kecepatan, tekanan, dan temperatur
(Gambar 2.10). Keenam sisi ditandai dengan N, S, E, W, T, dan B yang
merupakan singkatan dari North, South, East, West, Top, dan Bottom. Arah positif
mengikuti sumbu koordinat. Pusat dari elemen di atas terletak pada posisi (x, y,
z). Perhitungan sistematik perubahan massa, momentum dan energi dari elemen
fluida akibat aliran pada batas-batas dan bila ada, pengaruh sumber di dalam
elemen berdasar pada persamaan-persamaan pembangun.

Gambar 2.10 Elemen fluida yang digunakan pada persamaan diskritisasi [7]

2.4.1.1 Persamaan Kontinuitas


Persamaan kontinutas untuk kasus transien dan fluida kompresibel adalah
sebagai berikut:

28
(2.34)
( )

Suku pertama persamaan sebelah kiri merupakan laju perubahan massa jenis
terhadap waktu. Sedangkan suku kedua menjelaskan aliran massa yang keluar dari
elemen menembus batas dan disebut bagian konveksi.

2.4.1.2 Persamaan Momentum


Laju perubahan momentum pada arah x sama dengan total gaya yang
terjadi pada elemen pada arah x akibat tegangan permukaan dan laju pertambahan
momentum akibat sumber. Dari pernyataan tersebut dapat ditulis persamaan
momentum pada arah x sebagai berikut:

( ) (2.35)

Pernyataan di atas berlaku pula pada arah y dan z sehingga persamaan momentum
pada arah y adalah sebagai berikut:

( ) (2.36)

Dan persamaan momentum pada arah z adalah sebagai berikut:

( ) (2.37)

2.4.1.3 Persamaan Energi


Konservasi energi partikel fluida ditentukan dengan membuat persamaan
laju perubahan energi terhadap jumlah laju perubahan usaha pada partikel fluida,
laju perubahan panas pada fluida dan laju pertambahan energi akibat sumber
panas. Persamaan energi dapat ditulis sebagai berikut:

29
( )

( ) ( ) ( ) ( ) ( )
[
(2.38)
( ) ( ) ( ) ( )
]

( )
Nilai E pada persamaan di atas adalah:

( ) (2.39)

30
BAB 3
PEMODELAN DAN SIMULASI
Pada penelitian ini dimodelkan dua benda yang mengalami perubahan
temperatur yaitu roda kereta dan kanvas rem. Roda kereta yang digunakan pada
penelitian ini adalah roda kereta penumpang (Gambar 3.1). Sedangkan kanvas
rem yang digunakan merupakan kanvas rem standar dimana kanvas rem besi cor
dan komposit (Gambar 3.2) memiliki geometri yang sama. Berikut ini merupakan
data-data yang digunakan pada penelitian ini.

1. Dimensi utama:
 Diameter roda = 780 mm
 Jari-jari rel = 300 mm
 Lebar permukaan roda = 130 mm
 Lebar rem = 80 mm
 Luas permukaan rem = 0,0232 m2
 Panjang busur rem = 319 mm
 Tebal rem = 56 mm
2. Sifat material roda:
 Kekuatan tarik = 900 MPa
 Konduktivitas termal = 51.9 W/m·K
 Massa jenis = 7850 kg/m3
 Modulus elastisitas = 210 GPa
 Nisbah Poisson = 0.3
 Panas jenis = 446 J/kg·K
3. Sifat material besi cor:
 Konduktivitas termal = 51.9 W/m.K
 Massa jenis = 7300 kg/m3
 Panas jenis = 540 J/kgK
4. Sifat material komposit:
 Konduktivitas termal = 3,884 W/m·K

31
 Massa jenis = 1860 kg/m3
 Panas jenis = 836 J/kg·K
5. Sifat material udara:
 Bilangan Prandtl = 0,7
 Konduktivitas termal = 26,3 x 10-3 W/m·K
 Viskositas kinematik = 15,89 x 10-6 m2/s
6. Kondisi operasi kereta:
 Gaya pengereman = 4173.3 N
 Luas penampang kereta = 11,15 m2
 Massa kereta = 36 x 103 kg
 Temperatur lingkungan = 300 K
 Percepatan gravitasi = 10 m/s2

Gambar 3.1 Roda kereta api di Balai Yasa Jakarta [8]

Pada penelitian ini, simulasi yang dilakukan berjumlah empat kasus.


Kasus yang pertama adalah pengereman dengan kanvas komposit secara kontinu.
Kasus yang kedua adalah pengereman dengan kanvas besi cor secara kontinu.
Kasus yang ketiga adalah pengereman dengan kanvas komposit secara berkala.
Sedangkan kasus yang keempat adalah pengereman dengan kanvas besi cor secara
berkala.

32
Gambar 3.2 Kanvas rem komposit untuk kereta api

3.1 Perhitungan Kondisi Simulasi


 Kontak Hertz

Permukaan roda kereta yang menyentuh rel berbentuk elips sesuai dengan
Teori Hertz. Untuk menghitung profil kontak ini digunakan data sebagai berikut:

R1 = 390 mm

R1’ = ∞ (roda kereta dianggap sebagai silinder)

R2 = ∞ (kondisi rel dianggap datar)

R2’ = 300 mm

= 0,3

= 0,3

E1 = 210 GPa

E2 = 210 GPa

θ = 0o (bidang kontak dianggap sejajar)

Data tersebut diolah sehingga didapatkan data sebagai berikut:

( )

33

[( ) ( ) ( )( ) ]

( ) ⁄

( )

Dengan interpolasi tabel 2.1 didapatkan nilai Ka dan Kb sebagai berikut:

Permukaan kontak yang terbentuk memiliki panjang paruh pada arah longitudinal
sebesar 5,072 mm dan pada arah lateral sebesar 4,255 mm dengan luas kontak dan
tegangan rata-rata sebesar:

LUAS = πab = 6,7765 x 10-5 m2

 Tahanan Kontak

Setelah didapat tegangan rata-rata pada permukaan kontak, dapat dihitung


nilai konduktansi termal pada permukaan kontak dari persamaan (2.24). namun
sebelumnya nilai Z harus ditentukan terebih dahulu. Data yang digunakan pada
persamaan tersebut adalah:

34
Ks = 51,9 W/m.K

P = 664,06 MPa

SB = 900 MPa

Proses produksi roda kereta api adalah dengan proses forging. Menurut Anom [1]
nilai hmaks dari proses forging adalah 10 µm dan 16 µm sehingga nilai Z sesuai
dengan persamaan (2.27) adalah:

( )

Setelah itu dapat dicari nilai konduktansi termal sebagai berikut:

( )

Tahanan kontak antara roda kereta dan rel tidak dapat dimasukkan secara
langsung dalam pengaturan simulasi pada Ansys Fluent. Oleh karena itu batang
logam pendek yang menempel pada roda dibuat untuk memodelkan tahanan
kontak. Tahanan termal pada batang logam ini dibuat sesuai dengan tahanan
kontak antara roda dan rel. Tahanan termal pada batang logam ini bergantung
pada konduktivitas termal material logam. Konduktivitas termal pada batang
logam tersebut dapat ditentukan sebagai berikut:

 Persamaan Koefisien Konveksi

35
Analisis aliran udara tidak dimasukkan pada pemodelan ini. Perpindahan
panas secara konveksi yang terjadi pada permukaan roda dan kanvas rem dihitung
secara analitik berdasarkan pada persamaan korelasi yang diajukan oleh Wiesche
[6]. Oleh sebab itu nilai jari-jari roda dan viskositas udara dimasukkan pada
persamaan (2.32) dan persamaan (2.33) agar persamaan yang ada menjadi
sederhana dan mudah untuk ditulis dalam bahasa C.

(3.1)

(3.2)

3.1.1 Pengereman Kontinu


Pengereman ini terjadi pada saat kereta melakukan pengereman darurat
yaitu pengereman dilakukan hingga kereta berhenti. Kondisi yang digunakan pada
kasus ini adalah kereta bergerak dengan kecepatan 100 km/jam pada jalur datar.
Gaya hambat kereta (persamaan 2.23) diasumsikan bernilai nol sehingga seluruh
gaya pengereman dibebankan pada perangkat rem. Pengereman menggunakan dua
jenis kanvas yang berbeda yaitu besi cor dan komposit.

Tabel 3.1 Parameter pengereman kontinu

Parameter Nilai
Kecepatan awal, V0 100 km/h
Kecepatan akhir, Vt 0
Koefisien gesek komposit, μkomposit 0,25
Koefisien gesek besi cor, μbesi cor 0,15

36
Pengereman menyebabkan perlambatan pada kereta. Pergerakan kereta
yang diperlambat ini dapat dituliskan dalam persamaan di bawah ini.

 Persamaan Gerak Kanvas Besi Cor

( )

( )

(3.3)

(3.4)
 Persamaan Gerak Kanvas Komposit

( )

( )

(3.5)

(3.6)
Gesekan antara roda dengan kanvas rem menghasilkan panas. Daya
pengereman sebanding dengan kecepatan linear tapak roda. Daya pengereman
dapat dicari dalam pehitungan di bawah ini sesuai dengan persamaan (2.19).

37
 Laju Kalor Kanvas Besi Cor

( )

(3.7)
 Laju Kalor Kanvas Komposit

( )

(3.8)

3.1.2 Pengereman Berkala


Pengereman ini dilakukan untuk mempertahankan kecepatan pada saat
kereta menuruni lereng. Kondisi yang digunakan pada kasus ini adalah kereta
menuruni lereng dengan kemiringan 2 ‰. Kereta menuruni lereng dengan
kecepatan awal 50 km/jam. Kecepatan kereta bertambah akibat kemiringan lereng.
Ketika kecepatan kereta mencapai 65 km/jam, pengereman dilakukan hingga
kecepatan kereta menuju 50 km/jam kembali. Sama seperti pengereman kontinu,
gaya hambat kereta diasumsikan nol. Pengereman menggunakan dua jenis kanvas
yang berbeda yaitu besi cor dan komposit.

Tabel 3.2 Parameter pengereman berkala

Parameter Nilai
Kecepatan awal, Va 65 km/h
Kecepatan akhir, Vb 50 km/h
Koefisien gesek komposit, μkomposit 0,25
Koefisien gesek besi cor, μbesi cor 0,15
Periode siklus pengereman komposit 22,5 s
Periode siklus pengereman besi cor 29,23 s

Pada pengereman berkala terdapat dua persamaan kecepatan yang


digunakan yaitu persamaan kecepatan ketika pengereman berlangsung dan

38
persamaan kecepatan ketika kereta meluncur bebas. Waktu pengereman sebesar
16,1325 s untuk kanvas besi cor dan 9,40457 s untuk kanvas komposit dibutuhkan
untuk mencapai kecepatan 50 km/jam. Adapun lama meluncur dihitung dari
selisih antara waktu satu siklus dan waktu pengereman.

 Persamaan Gerak Kanvas Besi Cor

Persamaan kecepatan ketika pengereman berlangsung:

( )

( )

(3.9)

(3.10)
Persamaan kecepatan ketika kereta meluncur:

( )

(3.11)

(3.12)
 Persamaan Gerak Kanvas Komposit

Persamaan kecepatan ketika pengereman berlangsung:

( )

39
( )

(3.13)
Persamaan kecepatan ketika kereta meluncur pada kanvas komposit sama dengan
kanvas besi cor (Persamaan 3.12) karena memiliki kemiringan yang sama.

 Laju Kalor Kanvas Besi Cor

Laju kalor yang timbul saat kanvas besi cor menempel pada permukaan
roda pada pengereman berkala adalah sebagai berikut:

( )

(3.14)
 Laju Kalor Kanvas Komposit

Pada kanvas komposit, laju kalor yang timbul saat pengereman adalah
sebagai berikut:

( )

(3.15)

3.2 Pemodelan Roda dan Kanvas Rem Kereta


Seluruh kegiatan preprocessing dilakukan pada Workbench Ansys 14.5.7.
Hal ini dilakukan karena perangkat lunak workbench sudah terintegrasi satu sama
lain sehingga memudahkan seluruh pekerjaan.

40
Domain yang dibuat meliputi roda kereta, kanvas rem, dan kontak antara
rel dan roda. Kontak dibuat untuk memodelkan hambatan kontak yang terjadi
antara roda dan rel karena tidak ada fitur khusus pada Ansys fluent untuk
memasukkan nilai tersebut.

3.2.1 Pembuatan Model Roda dan Kanvas Kereta


Pembuatan geometri roda dan kanvas rem kereta dilakukan pada
DesignModeller. Proses ini diawali dengan membuat sketsa dua dimensi yang
kemudian dikembangkan menjadi bentuk dalam tiga dimensi. Proses yang
dilakukan meliputi extrude, revolve, substract dan lainnya seperti yang tertera
pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Proses pembuatan model roda dan kanvas rem kereta

3.2.2 Proses Diskritisasi


Proses diskritisasi dilakukan pada Ansys Meshing. Terdapat beberapa
pengaturan yang dilakukan agar didapat mesh yang baik. Pengaturan yang
dilakukan adalah sebagai berikut:

 Mesh tetrahedron untuk seluruh domain.


 Face sizing sebesar 1,9x10-3 pada permukaan roda bagian luar, kanvas rem
bagian dalam dan kontak.

41
Pengaturan di atas dipilih setelah melakukan uji konvergensi mesh dengan batas
selisih sebesar 1%.

Pada Gambar 3.4, mesh pada daerah kontak yaitu daerah tapak roda dan
kanvas rem terlihat sangat padat (berwarna hitam). Hal ini merupakan efek dari
pengaturan face sizing sebesar 1,9x10-3. Tujuan dari pengaturan tersebut adalah
agar persebaran panas pada daerah yang memiliki gradient temperatur yang tinggi
ini dihitung dengan baik. Mesh yang padat pada bagian tengah merupakan efek
samping dari pengaturan di atas.

Gambar 3.4 Mesh yang digunakan pada penelitian ini

3.2.3 Pendefinisian Kondisi Batas pada Mesh


Kondisi batas diberikan pada model yang telah dibuat untuk menentukan
variabel aliran dan termal pada batas-batas model fisik [9]. Kondisi batas diatur
sesuai dengan kondisi yang terjadi saat pengereman berlangsung. Daftar kondisi
batas terdapat pada tabel 3.3 dan letaknya dijelaskan pada Gambar 3.5.

42
Gambar 3.5 Letak kondisi batas

Tabel 3.3 Daftar kondisi batas

No. Nama Jenis


A konveksi_roda Wall, convection
B konveksi_rem_depan Wall, convection
C konveksi_rem_belakang Wall, convection
D insulasi Wall, heat flux
E temp_300 Wall, temperature

3.3 Proses Simulasi


Simulasi diawali dengan membuka CMD Shell untuk memanggil Ansys
Fluent 14.5 Launcher (Gambar 3.7). CMD Shell digunakan untuk menyatukan
fungsi pada Microsoft Visual C++ sebagai compiler dengan UDF Loader pada
Fluent. Pada Fluent Launcher, beberapa opsi dipilih seperti double precision
solver, penentuan simulasi 3D, dan jumlah process yang digunakan untuk
menyelesaikan simulasi. Kemudian lokasi folder diarahkan pada lokasi mesh
yang digunakan pada simulasi.

Simulasi yang dilakukan merupakan kasus transien karena beberapa


variabel berubah terhadap waktu. Temperatur roda yang bergesekan dengan
kanvas rem meningkat sedangkan temperatur roda yang menyentuh rel menurun.

43
Selain itu temperatur di setiap bagian roda selalu berubah karena terjadi konveksi
pada sisi-sisi roda dan akibat persebaran panas.

Informasi temperatur didapat dengan menempatkan point surface (Gambar


3.6) pada tapak roda dan bagian dalam roda. Point surface disebar dalam radius
390 mm; 387,5 mm; dan 385 mm dengan jarak antar point surface yang sama.
Posisi point surface ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

( ) (3.16)

( ) (3.17)

dengan:

r : radius pengamatan, mm

n = 1,2,3,…,N

N : jumlah point surface

Gambar 3.6 Posisi point surface pada model yang dibuat

Waktu satu langkah dalam simulasi transien diatur sedemikian rupa


sehingga ketika mesh berputar, nodal yang sama tepat mengenai salah satu point
surface. Tujuannya adalah agar sejarah fluktuasi temperatur pada suatu titik yang
berputar dapat diketahui. Agar didapat data yang baik maka point surface yang

44
disebar harus berjumlah banyak. Namun dengan bertambahnya jumlah point
surface jumlah langkah pun bertambah yang berarti waktu simulasi bertambah.
Oleh karena itu strategi yang digunakan adalah pengambilan data dilakukan
dengan point surface dengan jarak antar point surface sebesar 15o atau berjumlah
24 buah pada setiap radius pengamatan.

Gambar 3.7 Panel Fluent Launcher

3.3.1 Pendefinisian User Defined Function (UDF)


UDF merupakan fungsi dalam bahasa C yang dapat dimasukkan dalam
solver secara dinamik untuk menambah fitur pada Fluent [10]. Variabel-variabel
yang berubah terhadap waktu ataupun lainnya dapat dimasukkan pada Fluent.
Pada penelitian ini, variabel-variabel yang dimasukkan sebagai UDF pada Fluent
adalah kecepatan angular roda, laju panas pengereman, koefisien konveksi pada
roda dan kanvas rem, serta waktu yang ditempuh untuk setiap langkah iterasi
(inkremen waktu). Panel pengaturan file masukan UDF pada Fluent dapat dilihat
pada Gambar 3.8.

45
Gambar 3.8 Panel pengaturan souce UDF

Distribusi panas yang menuju kanvas rem dan roda akibat pengereman
dihitung oleh Fleunt secara otomatis. Oleh karena itu pengaturan jumlah panas
yang terbentuk dilakukan pada interface roda-rem dengan bantuan UDF. Pada
interface tersebut hanya terdapat pilihan cetusan panas sehingga persamaan laju
kalor diubah dalam bentuk cetusan panas. Dengan tebal interface sebesar 10 mm
dan luas sebesar 0,0232 m2, persamaan 2.7, 2.8, 2.14, 2.15 diubah menjadi
persamaan cetusan panas sebagai berikut.

Cetusan panas kanvas besi cor pada pengereman kontinu:

̇ (3.18)
Cetusan panas kanvas rem komposit pada pengereman kontinu:

̇ (3.19)
Cetusan panas kanvas besi cor pada pengereman berkala:

46
̇

̇ (3.20)
Cetusan panas kanvas komposit pada pengereman berkala:

̇ (3.21)
Inkremen waktu pada setiap langkah simulasi diatur dengan UDF.
Inkremen tersebut diciptakan agar suatu titik nodal tepat mengenai salah satu
point surface pada saat mesh bergerak dengan kondisi kecepatan yang berkurang.
Pengurangan kecepatan menyebabkan pertambahan waktu untuk menempuh jarak
yang sama. Inkremen waktu mengikuti persamaan sebagai berikut:

(3.22)

Terdapat perbedaan posisi antara titik nodal dengan point suface yang
disebar sekeliling roda seiring waktu bertambah. Walaupun fitur double precision
diaktifkan dan kecermatan angka pada UDF pergerakan roda ditulis hingga 9
angka di belakang koma, pergeseran tetap terjadi. Penggantian jenis data angka
pada seluruh persamaan dalam UDF menjadi “real” tidak mengatasi masalah ini.

Proses perhitungan kompleks pada Fluent menyebabkan inkremen waktu


tidak sesuai dengan yang diinginkan. Solusi dari masalah ini adalah faktor koreksi
pada persamaan 3.22 yaitu:

47
Dengan begitu persamaan 3.22 berubah menjadi:

(3.23)

3.3.2 Pengecekan Mesh


Pengecekan mesh dilakukan untuk memeriksa topologi mesh, posisi nodal,
dan mengetahui statistik mesh yang meliputi volume sel serta luas permukaan [9].
Dari hasil pengecekan mesh (Gambar 3.9) dapat diketahui bahwa mesh yang
dipakai tidak memiliki volume negatif. Dengan begitu mesh tersebut dapat dipakai
dalam simulasi.

Gambar 3.9 Hasil keluaran fitur check mesh

3.3.3 Penentuan Solver Pemodelan


Solver dipilih sesuai dengan kebutuhan simulasi. Pada panel solver
(Gambar 3.10), fitur-fitur yang dipilih adalah transient dan pressure-based solver.
Pressure-based dipilih karena persamaan pada fitur ini dapat diproses lebih cepat
dibandingkan density-based.

Gambar 3.10 Panel pemilihan solver

48
3.3.4 Penentuan Satuan Panjang pada Pemodelan
Fitur set units (Gambar 3.11) memudahkan pemasukan parameter-
parameter pada Fluent. Dengan fitur ini satuan panjang diubah menjadi mm untuk
memudahkan pengaturan point surface.

Gambar 3.11 Panel pemilihan satuan

3.3.5 Pengaktifan Persamaan Energi


Fitur energy equation (Gambar 3.12) digunakan agar perpindahan panas
pada simulasi dihitung oleh Fluent. Fitur ini diaktifkan karena pada simulasi yang
dilakukan terjadi perubahan temperatur akibat pengereman.

Gambar 3.12 Panel energy equation

3.3.6 Pendefinisian Sifat Material


Pada panel material (Gambar 3.13), sifat-sifat material dimasukkan sesuai
dengan data penelitian. Jumlah material yang dimasukkan adalah sebanyak 3 buah
pada masing-masing kasus. Material yang dimaksud adalah material roda, kanvas
rem, dan kontak antara roda dan rel. Sifat material kontak diatur agar material
kontak tidak menyimpan panas tetapi langsung menyalurkannya menuju rel yaitu

49
dengan memasukkan nilai panas jenis sebesar 1 J/kg.K dan massa jenis sebesar 1
kg/m3.

Gambar 3.13 Panel untuk mendefinisikan material

3.3.7 Pendefinisian Kondisi Zona


Pendefinisian zona dilakukan untuk mengatur jenis material dan kecepatan
gerak pada setiap zona. Pada zona roda (Gambar 3.14), fitur moving mesh motion
diaktifkan dengan UDF sebagai pengontrol pergerakan mesh. Pada zona
rem_depan dan rem_belakang, material komposit_rem dimasukkan pada kolom
material. Material kontak dimasukkan pada kolom material zona kontak.

50
Gambar 3.14 Panel pengaturan kondisi zona roda

3.3.8 Pengaturan Kondisi Batas


Kondisi batas (Gambar 3.15) diatur sesuai dengan kondisi yang terjadi saat
pengereman berlangsung. Pada dinding roda, rem depan, dan rem belakang,
konveksi dimodelkan dengan persamaan (2.28) hingga persamaan (2.31) yang
telah dimasukkan ke dalam UDF dengan temperatur lingkungan sebesar 300 K.
Pada zona yang bersebelahan, kondisi batas berupa coupled-wall dibuat oleh
Fluent secara otomatis. Kondisi batas tersebut berguna sebagai penghubung antar
zona sehingga perpindahan panas dan partikel dapat terjadi. Coupled-wall ini
digunakan untuk memasukkan panas yang muncul antara roda dan kanvas rem
saat pengereman. Agar dapat mengeluarkan panas, coupled-wall ini diberi
ketebalan 10 cm dengan UDF sebagai pengatur besar cetusan panas yang terjadi.

51
Gambar 3.15 Panel pengaturan kondisi batas

3.3.9 Penentuan Metode Penyelesaian


Metode penyelesaian yang digunakan dapat diliat pada Gambar 3.16.
Second order upwind dipilih pada kolom energy agar hasil yang didapat lebih baik
dibandingkan dengan first order upwind. Pada kolom transient formulation dipilih
first order implicit karena hanya pada fitur ini adaptive time-step dapat digunakan.

Gambar 3.16 Panel pengaturan metode penyelesaian

52
3.3.10 Pengaturan Kendali Solusi
Pada bagian ini, seluruh under-relaxation factor dibiarkan sesuai
pengaturan dari Fluent. Pada panel equations (Gambar 3.17), persamaan aliran
dimatikan karena tidak ada aliran dimodelkan pada penelitian ini. Selain itu, hal
tersebut dilakukan agar proses simulasi berjalan dengan cepat dan efisien.

Gambar 3.17 Panel kendali solusi dan persamaan

3.3.11 Pengaturan Kriteria Konvergensi


Kriteria konvergensi simulasi diatur agar hasil simulasi yang didapat
menjadi baik. Pada penelitian ini, kriteria konvergensi untuk persamaan energi
diubah menjadi 10-9 untuk kanvas komposit dan 10-11 untuk kanvas besi cor
(Gambar 3.18). Nilai tersebut didapat dari hasil uji konvergensi residu. Dengan
nilai tersebut, hasil simulasi menjadi stabil dan data fluks panas serta temperatur
menunjukkan nilai yang dapat diterima.

53
Gambar 3.18 Panel residual monitor untuk menentukan kritria konvergensi

3.3.12 Pembuatan Titik Pemantau Temperatur


Pembuatan titik pemantau temperatur atau point surface (Gambar 3.19)
dilakukan dengan koordinat yang didapat dari persamaan (3.16) dan persamaan
(3.17). Dengan adanya point surface, data mesh terdekat dengan point surface
dapat diekstrak. Point surface disebar sebanyak 24 titik untuk setiap kedalaman.

Gambar 3.19 Panel pembuatan point surface

3.3.13 Pengaturan Monitor untuk Pengambilan Data


Pengambilan data dilakukan pada setiap langkah iterasi sehingga analisis
dapat dilakukan pada seluruh waktu pengereman.. Data yang diambil adalah
temperatur pada setiap point surface dan temperatur rata-rata pada setiap zona
(Gambar 3.20). Selain itu data fluks panas pada setiap permukaan diambil untuk
mengetahui perpindahan panas pada proses konveksi (udara) dan konduksi (rel).

54
Data ditulis dalam bentuk teks sehingga dapat langsung diproses pada perangkat
lunak spreadsheet.

Gambar 3.20 Panel pengaturan pengambilan data

3.3.14 Pengaturan Time Step


Langkah pengaturan terakhir adalah pengaturan inkremen waktu. Pada
panel pengaturan inkremen waktu (Gambar 3.21), fitur adaptive time step dipilih
agar inkremen waktu pada Fluent dapat diatur dengan UDF mengikuti persamaan
(3.23).

Gambar 3.21 Panel pengaturan inkremen waktu

55
BAB 4
ANALISIS HASIL SIMULASI
Analisis pengereman dilakukan dengan membandingkan setiap parameter
pengereman dengan kanvas komposit dan besi cor. Data yang didapatkan dari
simulasi disajikan dengan rentang yang sama pada setiap grafik. Grafik yang
disajikan digunakan untuk membandingkan parameter pengereman pada energi
kinetik kereta yang sama tidak seperti pada Gambar 4.1. Dengan cara ini
perbandingan parameter pengereman dapat dilihat dengan jelas.

Perbedaan koefisien gesek menyebabkan perbedaan jarak dan waktu


pengereman. Pada pengereman kontinu, jarak pengereman adalah sebesar 832 m
dengan kanvas komposit dan 1387 m dengan kanvas besi cor. Sedangkan waktu
pengereman kontinu yang dibutuhkan adalah 59,64 s dengan kanvas komposit dan
98,35 s dengan kanvas besi cor. Namun semakin singkat waktu pengereman
berarti semakin besar panas pengereman akibat gesekan roda dengan kanvas rem.
Perbedaan-perbedaan yang didasari perbedaan sifat kanvas dibahas pada analisis
di bawah.

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor


14
12
Energi Kinetik
Kereta (MJ)

10
8
6
4
2
0
0 20 40 60 80 100
Waktu (s)

Gambar 4.1 Sejarah energi kinetik satu gerbong kereta

4.1 Pengereman Kontinu


Data temperatur suatu titik pada tapak roda terdapat pada Gambar 4.2.
Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa temperatur tapak roda pada pengereman

56
dengan kanvas komposit lebih tinggi dibandingkan pengereman dengan kanvas
besi cor. Hal ini terjadi akibat koefisien gesek komposit lebih tinggi sehingga
panas pengereman yang terjadi lebih besar. Temperatur pada pengereman besi cor
lebih rendah karena waktu pengereman lebih lama sehingga memungkinkan panas
berpindah menuju bagian roda sekitar secara konduksi maupun ke udara secara
konveksi.

Pada gambar tersebut dapat dilihat pula temperatur tapak turun saat tengah
waktu pengereman. Penurunan ini terjadi karena laju panas pengereman dari
gesekan roda dengan kanvas rem menuju roda sudah tidak dapat meningkatkan
temperatur tapak roda. Laju panas pengereman menuju roda lebih kecil dari laju
disipasi panas akibat konduksi menuju rel maupun konveksi menuju udara. Pada
pengereman komposit temperatur maksimum mencapai 373,92 K sedangkan pada
pengereman besi cor temperatur maksimum mencapai 346,15 K.

Dapat dilihat pada gambar tersebut fluktuasi temperatur permukaan roda


pada pengereman dengan kanvas komposit lebih besar dibanding pengereman
dengan kanvas besi cor. Hal tersebut terjadi akibat temperatur tapak roda pada
pengereman dengan kanvas komposit lebih tinggi daripada pengereman dengan
kanvas besi cor. Temperatur tapak roda yang tinggi turun drastis ketika
menyentuh permukaan rel bertemperatur 300 K. Rentang fluktuasi terbesar
bernilai 35,44 K pada pengereman dengan kanvas komposit dan 21,23 K pada
pengereman dengan kanvas besi cor. Frekuensi fluktuasi dipengaruhi oleh
kecepatan putar roda.

Temperatur pada kedalaman 2,5 mm dari tapak roda dapat dilihat pada
Gambar 4.3. Pada kedalaman ini temperatur pada pengereman dengan kanvas
komposit lebih tinggi dari pengereman dengan kanvas besi cor. Hal ini disebabkan
panas yang masuk menuju roda pada dengan kanvas lebih besar dari pengereman
dengan kanvas besi cor. Panas yang besar pada tapak roda mengalir menuju ke
dalam roda dalam jumlah yang besar pula.

57
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80 100
380
370
360
Temp Tapak
Roda (K)

350
340
330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.2 Sejarah temperatur pada tapak roda kereta

Fluktuasi temperatur yang terjadi pada kedalaman 2,5 mm tidak sebesar


fluktuasi pada tapak roda. Hal ini terjadi karena difusivitas termal pada roda
kereta menyebabkan perambatan panas dari permukaan menuju tengah roda
membutuhkan waktu. Berikut ini adalah perhitungan untuk mencari nilai
difusivitas termal pada roda kereta.

α = 1,482 x 10-5 m2/s

Akibat sifat tersebut, efek perubahan temperatur yang ekstrim pada tapak roda
teredam pada kedalaman 2,5 mm. Sama seperti pada tapak roda, fluktuasi
temperatur pada pengereman dengan kanvas komposit lebih tinggi dari fluktuasi
temperatur pada pengereman dengan kanvas besi cor.

58
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80 100
380
370
Ked. 2,5 mm (K)

360
Temp Roda

350
340
330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.3 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm

Gambar 4.4 berisi data temperatur pada kedalaman 5 mm dari tapak roda.
Pada gambar tersebut terlihat bahwa fluktuasi temperatur yang terjadi jauh lebih
kecil dibandingkan fluktuasi temperatur pada tapak roda. Jarak sebesar 5 mm dari
permukaan menyebabkan panas yang mampu disimpan bagian roda dari tapak
hingga kedalaman ini menjadi besar sehingga redaman fluktuasi temperatur sangat
besar. Fluktuasi temperatur pada akhir pengereman relatif besar dibandingkan
pada awal pengereman.

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80 100
370
360
Ked. 5 mm (K)
Temp Roda

350
340
330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.4 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 5 mm

59
Kontak tapak roda dengan kanvas rem dan rel menyebabkan fluktuasi
temperatur (Gambar 4.5). Berikut ini penjelasan tiap langkah pada siklus
temperatur tapak roda kereta saat pengereman:

 1 – 2 : Temperatur bagian tapak roda yang menyentuh rel menurun karena


panas pada bagian ini mengalir menuju rel.
 2 – 3 : Pergerakan tapak dari kontak rel menuju kanvas rem belakang.
Temperatur tapak naik akibat transfer panas dari bagian roda sekitar
menuju tapak roda. Pada bagian ini terjadi pula konveksi dari tapak
menuju lingkungan.
 3 – 4 : Tapak roda menyentuh kanvas rem belakang, temperatur pada
bagian tapak roda meningkat akibat panas yang timbul dari gesekan
dengan kanvas rem.
 4 – 5 : Panas pengereman disimpan sebagian, sebagian lagi diteruskan
menuju bagian roda disekitar tapak roda, dan sebagian lagi mengalir
menuju lingkungan dengan cara konveksi.
 5 – 6 : Tapak roda menyentuh kanvas rem depan.
 6 – 1 : Pergerakan tapak roda dari kanvas rem depan menuju kontak rel.

Siklus Temperatur pada Tapak Roda


339 6
338 1 1
337 4
5
Temperatur

336
335
334
333 3
332
331
2
330
17.4 17.45 17.5 17.55
Waktu 17.6 17.65 17.7

Gambar 4.5 Siklus temperatur pada tapak roda kereta

60
Dua fenomena di atas menyebabkan perbedaan temperatur antara tapak
roda dan roda bagian dalam ketika roda berputar. Pada bagian roda yang
bergesekan dengan kanvas rem, temperatur tapak roda lebih tinggi dibandingkan
temperatur pada bagian dalam. Sementara itu, temperatur dalam roda lebih tinggi
daripada temperatur pada bagian luar pada bagian roda yang menyentuh rel.
Selisih temperatur antara tapak roda dan kedalaman 2,5 mm paling besar terjadi
pada akhir pengereman, yaitu -26,29 K pada pengereman dengan kanvas komposit
dan -17,26 K pada pengereman dengan kanvas besi cor. Penyebabnya adalah
waktu kontak tapak roda dengan rel saat akhir pengereman relatif jauh lebih lama
dibandingkan pada awal pengereman sehingga temperatur pada tapak roda turun
drastis. Sedangkan selisih pada kedalaman 2,5 mm dengan 5 mm paling besar
terjadi pada awal pengereman, yaitu 8,82 K pada pengereman dengan kanvas
komposit dan 4,50 K pada pengereman dengan kanvas besi cor. Nilai selisih
positif menandakan bahwa temperatur pada roda bagian luar lebih besar daripada
roda bagian dalam . Data tentang perbedaan ini dicantumkan pada Gambar 4.6
dan 4.7.

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80 100
15
10
dan Ked. 2,5 mm (K)
Selisih Temp Tapak

5
0
-5
-10
-15
-20
-25
-30
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.6 Sejarah perbedaan temperatur roda pada tapak dan kedalaman 2,5 mm

61
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80 100
10
2,5 mm dan 5 mm (K)

8
Selisih Temp Ked.

6
4
2
0
-2
-4
-6
-8
-10
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.7 Sejarah perbedaan temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm dan 5
mm

Ketika tapak roda menyentuh rel, sebagian panas dipindahkan dari tapak
roda menuju rel secara konduksi. Besar panas yang dipindahkan menuju rel
tersebut bergantung pada temperatur tapak. Semakin tinggi temperatur tapak roda,
semakin besar panas yang dipindahkan menuju rel.

Data mengenai laju panas menuju rel terdapat pada Gambar 4.8. Pada
gambar tersebut terlihat bahwa laju panas konduksi pada pengereman dengan
kanvas komposit lebih besar dibandingkan pada pengereman dengan kanvas besi
cor. Hal ini terjadi karena pada pengereman dengan kanvas komposit kalor
pengereman yang terjadi lebih besar dari pengereman dengan kanvas besi cor
sehingga temperatur pada tapak roda lebih tinggi. Kalor besar yang tersimpan ini
kemudian mengalir menuju rel saat tapak berkontak dengan rel.

Data laju panas yang disajikan dalam Gambar 4.8 tidak berbentuk garis
melengkung melainkan dalam bentuk garis naik turun. Pergerakan mesh roda
menyebabkan mesh pada tapak roda yang berkontak dengan rel selalu berbeda
dalam satu putaran. Perbedaan ini menyebabkan karakteristik permukaan kontak
antara roda dan rel berubah dalam satu putaran sehingga fluks panas yang

62
mengalir pun mengalami perubahan. Namun fluktuasi nilai fluks panas ini dapat
ditolerir karena selisih paling besar yang terjadi tidak lebih dari 7%.

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80 100
0
-50
Konduksi Rel (W)

-100
Laju Panas

-150
-200
-250
-300
-350
-400
-450
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.8 Sejarah laju panas konduksi dari roda menuju rel

Panas konveksi yang terjadi pada permukaan roda saat pengereman dapat
dilihat pada Gambar 4.9. Pada awal pengereman terlihat bahwa laju panas
konveksi meningkat dengan bertambahnya waktu. Hal ini menandakan kenaikan
temperatur permukaan roda berlangsung dengan cepat dibandingkan penurunan
nilai koefisien konveksi akibat kecepatan kereta yang berkurang. Selain itu terlihat
pula bahwa laju panas konveksi pada pengereman dengan kanvas besi cor lebih
besar dibandingkan pada pengereman dengan kanvas komposit. Waktu
pengereman yang lebih lama pada pada pengereman dengan kanvas besi cor
menyebabkan panas pengereman menyebar hingga bagian tengah roda sehingga
temperatur permukaan roda meningkat. Hal ini berefek pada peningkatan laju
kalor akibat konveksi.

63
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80 100
0
-20
Konveksi Roda (W)

-40
-60
Laju Panas

-80
-100
-120
-140
-160
-180
-200
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.9 Sejarah laju panas akibat konveksi pada permukaan roda

Pada pengereman dengan kanvas komposit, panas pengereman yang


menuju permukaan kanvas tidak sebanyak pada besi cor. Berdasarkan perhitungan
berikut difusivitas termal yang dimiliki komposit lebih kecil dibandingkan besi
cor.

Difusivitas termal komposit:

αcomp = 2,498 x 10-6 m2/s

Difusivitas termal besi cor:

αcast = 1,316 x 10-5 m2/s

Akibatnya panas pada pengereman dengan kanvas komposit tidak tersebar pada
seluruh bagian kanvas rem melainkan terkonsentrasi di permukaan yang
bergesekan dengan tapak roda. Temperatur permukaan kanvas komposit saat

64
pengereman jauh lebih rendah dari kanvas besi cor sehingga laju panas konveksi
kanvas komposit pun jauh lebih rendah dari kanvas besi cor (Gambar 4.10).

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80 100
0
-5
Laju Panas Konveksi
Kanvas Rem (W)

-10
-15
-20
-25
-30
-35
-40
-45
-50
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.10 Sejarah laju panas akibat konveksi pada permukaan kanvas rem

Salah satu parameter yang penting pada pengereman kereta api adalah
koefisien gesek rem. Koefisien gesek rem mempengaruhi panas pengereman dan
waktu pengereman. Koefisien gesek yang tinggi pada kanvas komposit
menyebabkan panas pengereman yang timbul menjadi besar dengan waktu
pengereman yang singkat. Waktu pengereman yang singkat menyebabkan total
disipasi panas yang keluar menuju udara dan rel menjadi berkurang. Akibatnya
temperatur roda pada pengereman dengan kanvas komposit lebih besar daripada
pengereman dengan kanvas besi cor (Gambar 4.11) karena panas pengereman
lebih banyak yang tersimpan daripada yang terdisipasi.

Namun pada kanvas rem, temperatur kanvas komposit lebih rendah


dibandingkan kanvas besi cor (Gambar 4.12). Hal ini disebabkan difusivitas
termal komposit jauh lebih rendah daripada kanvas besi cor sehingga terjadi
fenomena seperti yang telah dijelaskan pada paragraf di atas. Dengan begitu dapat
dikatakan bahwa distribusi panas pengereman komposit yang menuju roda lebih
banyak dibandingkan pengereman besi cor.

65
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80 100
314
312
Temp Rata-rata

310
Roda (K)

308
306
304
302
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.11 Sejarah temperatur rata-rata roda

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80 100
330
Kanvas Rem Depan (K)

325
Temp Rata-rata

320
315
310
305
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.12 Sejarah temperatur rata-rata kanvas rem

Pada akhir pengereman, temperatur yang dimiliki roda dan kanvas rem
mencerminkan panas yang disimpan. Perhitungan panas yang disimpan pada akhir
pengereman adalah sebagai berikut:

[ ( )] [ ( )]

66
[ ( )] [ ( )]

[ ( )] [ ( )]

Berdasarkan perhitungan di atas, panas yang disimpan sistem pada pengereman


dengan kanvas komposit lebih besar 13,06% dari pengereman dengan kanvas besi
cor.

4.2 Pengereman Berkala


Pada pengereman berkala, data yang ditampilkan tidak pada energi kinetik
yang sama. Pada pengereman ini data ditampilkan dengan awal dan akhir siklus
yang sama. Dengan begitu perbedaan untuk setiap siklus pada pengereman dengan
kanvas komposit dan besi cor dapat terlihat dengan mudah.

Temperatur tapak roda pada pengereman berkala dapat dilihat pada


Gambar 4.13. Fenomena yang terjadi pada pengereman berkala sama seperti pada
pengereman kontinu seperti fluktuasi temperatur dan perbedaan besar laju panas
konveksi. Namun pada pengereman berkala terdapat kondisi dimana kanvas rem
dilepas yaitu ketika kecepetan saat menuruni lereng mencapai 65 km/jam. Ketika
kanvas rem menempel pada roda, temperatur rata-rata tapak roda naik.
Sebaliknya, ketika kanvas dilepas maka temperatur rata-rata tapak roda turun

67
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80
360
350
Temp Tapak

340
Roda (K)

330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.13 Sejarah temperatur tapak roda pada tiga siklus pertama

Seiring bertambahnya siklus pengereman, bertambahnya pula nilai


temperatur maksimum pada tapak roda. Pertambahan ini dikarenakan panas
pengereman yang diserap roda tidak sepenuhnya terbuang saat kereta
menggelinding (kanvas rem dilepas). Pada Gambar 4.14 ditampilkan data
kenaikan temperatur tapak roda dari kondisi awal pengereman hingga pertengahan
siklus pengereman (tepat saat kanvas rem terlepas) pada pengereman dengan
kanvas komposit dan besi cor.

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor


60
Kenaikan Temp (K)

50
40
30
20
10
0
0 1 2 3 4
Siklus

Gambar 4.14 Kenaikan temperatur pada pertengahan siklus pengereman

68
Temperatur pada kedalaman 2,5 mm dapat dilihat pada Gambar 4.15. dan
temperatur pada kedalaman 5 mm dapat dilihat pada Gambar 4.16. Pada kedua
gambar tersebut terlihat bahwa temperatur pada pengereman dengan kanvas
komposit lebih tinggi daripada pengereman dengan kanvas besi cor. Penyebabnya
adalah koefisien gesek komposit lebih besar sehingga panas pengereman dengan
kanvas komposit menjadi lebih besar dibandingkan panas pengereman dengan
kanvas besi cor.

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80
350
Ked. 2,5 mm (K)

340
Temp Roda

330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.15 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80
350
Ked. 5 mm (K)

340
Temp Roda

330
320
310
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.16 Sejarah temperatur roda pada kedalaman 5 mm

69
Fluktuasi temperatur pada bagian tapak menyebabkan perbedaan
temperatur antara roda bagian luar dengan roda bagian dalam. Pada Gambar 4.17
dan 4.18 terlihat perbedaan temperatur yang terjadi antara tapak roda dengan roda
pada kedalaman 2,5 mm dan roda pada kedalam 2,5 mm dengan roda pada
kedalaman 5 mm.

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80
10
Tapak dan Ked. 2,5 mm (K)

5
0
Selisish Temp

-5
-10
-15
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.17 Sejarah perbedaan temperatur roda pada tapak dan kedalaman 2,5
mm

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80
6
4
dan 5 mm (K)
Selisish Temp
Ked. 2,5 mm

2
0
-2
0 10 20 30 40 50 60
-4
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.18 Sejarah perbedaan temperatur roda pada kedalaman 2,5 mm dan 5
mm

70
Semakin tinggi temperatur tapak roda maka semakin besar panas yang
disalurkan menuju rel. Pada Gambar 4.19 terlihat bahwa laju panas konduksi
menuju rel pada pengereman dengan kanvas komposit lebih besar daripada
pengereman dengan kanvas besi cor. Hal ini terjadi karena temperatur tapak roda
pada pengereman dengan kanvas komposit lebih besar seperti yang dijelaskan
pada pengereman kontinu.

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80
0

-50
Konduksi Rel (W)

-100
Laju Panas

-150

-200

-250

-300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.19 Sejarah laju panas konduksi menuju rel

Panas konveksi pada roda untuk pengereman dengan kanvas komposit dan
besi cor tidak berbeda jauh untuk siklus pertama (Gambar 4.20). Namun satu hal
yang perlu diperhatikan adalah waktu pengereman dengan besi cor lebih lama
sehingga energi yang terdisipasi secara konveksi pada roda dengan jumlah siklus
yang sama berjumlah lebih besar.

Seperti pada pengereman kontinu, panas yang terdisipasi secara konveksi


pada kanvas besi cor jauh lebih besar daripada kanvas komposit (Gambar 4.21).
Perbedaan difusivitas termal pada kedua kanvas tersebut menyebabkan persebaran
panas sangat berbeda. Pada kanvas besi cor, temperatur permukaan lebih tinggi
karena hantaran panas yang baik pada kanvas ini.

71
Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80
0
-20
Konveksi Roda (W)

-40
-60
Laju Panas

-80
-100
-120
-140
-160
-180
-200
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.20 Sejarah laju panas konveksi pada roda kereta

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80
0
-5
Laju Panas Konveksi
Kanvas Rem (W)

-10
-15
-20
-25
-30
-35
-40
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.21 Sejarah laju panas konveksi pada kanvas rem

Peningkatan temperatur rata-rata roda pada pengereman dengan kanvas


komposit lebih besar daripada pengereman dengan kanvas besi cor. Pada Gambar
4.22 terlihat selisih temperatur roda antara pengereman dengan kanvas komposit

72
dengan pengereman dengan kanvas besi cor semakin besar seiring bertambahnya
siklus pengereman. Hal ini disebabkan karena panas pengereman dengan kanvas
komposit lebih besar dari kanvas besi cor.

Perlu diingat bahwa data yang disajikan di bawah diatur agar awal siklus
dan akhir siklus pengereman pada kedua kanvas berhimpit. Waktu satu siklus
pada pengereman komposit lebih cepat dari pengereman besi cor. Untuk
menempuh jarak yang sama, diperlukan jumlah pengereman yang lebih banyak
sehingga temperatur rata-rata roda pada pengereman dengan kanvas komposit
jauh lebih tinggi daripada pengereman dengan kanvas besi cor.

Pengereman Komposit Pengereman Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80
307
306
Temp Rata-rata

305
Roda (K)

304
303
302
301
300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.22 Sejarah temperatur rata-rata roda kereta

Temperatur rata-rata kanvas rem pada pengereman dengan kanvas besi cor
lebih tinggi daripada pengereman dengan kanvas komposit (Gambar 4.23).
Difusivitas termal lebih tinggi pada kanvas besi cor menyebabkan panas lebih
mudah menyebar sehingga temperatur rata-rata kanvas meningkat. Pada
pengereman dengan kanvas komposit, panas pengereman hanya terkonsentrasi di
sekitar permukaan gesek.

73
Temp Rem Depan Komposit Temp Rem Depan Besi Cor

Waktu Besi Cor (s)


0 20 40 60 80
320

315
Temp (K)

310

305

300
0 10 20 30 40 50 60
Waktu Komposit (s)

Gambar 4.23 Sejarah temperatur rata-rata kanvas rem

4.3 Perbandingan Data


Data temperatur tapak roda pada penelitian yang telah dilakukan Anom [1]
tedapat pada Gambar 4.25, hingga Gambar 4.27. Pada pengereman kontinu
dengan kanvas komposit (Gambar 4.24), terlihat bahwa temperatur maksimal
tapak roda lebih tinggi. Pertambahan dan pengurangan temperatur tapak roda
lebih cepat terjadi pada gambar tersebut. Hal ini terjadi pula pada pengereman
berkala.

Perbedaan data temperatur tapak roda diakibatkan dari metode dan asumsi
yang berbeda. Pada penelitian yang dilakukan oleh Anom digunakan metode
elemen hingga secara transien. Namun penelitian tersebut, perpindahan panas
pada roda dianalis sebagai konduksi satu dimensi menuju tengah roda.
Perpindahan panas pada roda dimodelkan seperti perpindahan panas pada dinding
(Gambar 4.24) dengan ketebalan dinding yang sama dengan radius roda kereta.
Selain itu terdapat asumsi bahwa konveksi tidak mempengaruhi temperatur roda
secara signifikan sehingga efek konveksi diabaikan.

74
Gambar 4.24 Pemodelan perpindahan panas metode numerik pada dinding [5]

Gambar 4.25 Sejarah temperatur pada pengereman komposit kontinu [1]

75
Gambar 4.26 Sejarah temperatur pada pengereman besi cor berkala [1]

76
Gambar 4.27 Sejarah temperatur pada pengereman komposit berkala [1]

77
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Pada pengereman kontinu, jarak pengereman adalah sebesar 832 m dengan


kanvas komposit dan 1387 m dengan kanvas besi cor. Sedangkan waktu
pengereman kontinu yang dibutuhkan adalah 59,64 s dengan kanvas
komposit dan 98,35 s dengan kanvas besi cor.
2. Pada pengereman kontinu, temperatur maksimum tapak roda tercapai pada
pertengahan waktu pengereman yaitu sebesar 374 K dengan kanvas
komposit dan 346 K dengan kanvas besi cor. Sedangkan pada pengereman
berkala temperatur maksimum tapak roda bertambah seiring bertambahnya
siklus pengereman.
3. Fluktuasi temperatur roda dipengaruhi oleh koefisien gesek, material
kanvas rem dan kecepatan putar roda. Rentang fluktuasi temperatur tapak
roda pada pengereman kontinu mencapai 35,44 K dengan kanvas komposit
dan 21,24 K dengan kanvas besi cor.
4. Perbedaan sifat kanvas besi cor dan komposit menyebabkan perbedaan
pada temperatur roda sebesar 0,61%, rentang fluktuasi temperatur sebesar
66,87 %, panas yang disimpan sistem pengereman kereta api pada akhir
pengereman sebesar 13,06%, serta laju disipasi panas.

Berdasarkan hasil analisis, terdapat beberapa saran bagi pembaca yaitu:

1. Perlu dilakukan pengembangan material komposit untuk kanvas rem


kereta api. Kanvas komposit dengan konduktivitas termal yang tinggi
dapat mengurangi temperatur roda dan rentang fluktuasi temperatur tapak
roda saat pengereman, serta panas yang disimpan roda pada akhir
pengereman.
2. Untuk penelitian selanjutnya, proses diskritisasi pada simulasi dapat
dipermudah dengan menggunakan fitur body of influence sehingga mesh
yang terbentuk tidak terlalu banyak seperti pada penelitian ini.

78
3. Perlu dilakukan eksperimen proses pengereman kereta api untuk
memastikan kebenaran hasil penelitian ini.

79
DAFTAR PUSTAKA

1. Muchsin, Fanzi Anom Syarif. Analisis Kegagalan pada Roda Kereta Akibat
Thermal Fatigue, Teknik Mesin ITB, Bandung, 2007.

2. Cruceanu, Cătălin. Reaibility and Safety in Railway : Train Braking, InTech,


Bucharest, 2012.

3. Ayasse, Jean-Bernard and Hugues, Chollet. Handbook of Railway Vehicle


Dynamics : Wheel-Rail Contact, CRC Press, Boca Raton, 2006.

4. Wikipedia. Contact Mechanics. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/


Contact_mechanics, diakses 4 Januari 2014).

5. Incropera, F. P., et al. Introduction to Heat Transfer, John Wiley & Sons Pte.
Ltd., Singapura, 2007.

6. Wiesche, Stefan aus der. Heat Transfer from a Rotating Disk in a Parallel Air
Crossflow, Science Direct, Paderborn, 2006.

7. Versteeg, H. K. and Malalasekera, W. An Introduction to Computational


Fluid Dynamics 2nd Edition, Pearson Education Limited, Harlow, 2007.

8. Antara. Perawatan Kereta Api Lebaran, (Online), (http://www.antarafoto.


com/bisnis/v1311675601/perawatan-kereta-api-lebaran, diakses 15 Januari 2014).

9. Ansys Fluent User Guide, Ansys Inc, Canonsburg, 2012.

10. Ansys Fluent UDF Manual, Ansys Inc, Canonsburg, 2012.

80
LAMPIRAN

 UDF Pengereman Komposit Kontinu:


//UNTUK PENGEREMAN KOMPOSIT KONTINU

# include "udf.h"

# include "dynamesh_tools.h"

DEFINE_ZONE_MOTION(rotation_comp,omega,axis,origin,velocity,time,dtime)

if (time < 61.512)

*omega = 71.2251 - time * 1.189;

else

*omega = 0.0;

return;

DEFINE_DELTAT(time_step_comp,d)

real time_cobaa;

real time_coba;

real deg_cobaa;

real deg_coba;

real time_step;

real timec = CURRENT_TIME;

real angspd;

real angspd1;

if (timec < 61.512)

81
angspd = (71.2251 - timec * 1.189) * 1.00040270; //kelebihan kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else

time_step = 0.;

return time_step;

DEFINE_PROFILE(brake_dis_comp,thread,i)

face_t f;

begin_f_loop(f, thread)

real timeh = RP_Get_Real("flow-time");

if (timeh < 61.512)

F_PROFILE(f, thread, i) = 123524308.2 - 2062014.332 * timeh;

else

F_PROFILE(f, thread, i) = 0;

end_f_loop(f, thread)

DEFINE_PROFILE(convection_comp,thread,i)

82
{

face_t f;

real timej = RP_Get_Real("flow-time");

real kinvis = 0.00001589;

real konair = 0.0263;

real linspd2 = 27.7778 - 0.4637 * timej;

real angspd2 = 71.2251 - 1.189 * timej;

double rew = 9572.0579 * angspd2;

double rev = 24543.7382 * linspd2;

double pangkat05 = 0.5;

double pangkat08 = 0.8;

double suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

double suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

double suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

double suku30f = sqrt (suku30);

double suku42 = 0.033 * pow (rew,pangkat05);

double suku40 = (suku1 * suku1) + (suku42 * suku42);

double suku40f = 0.000000006 * rev * rev + 0.0001 * rev + 87.912;

double suku10f = 0.0031 * rev + 19.828 - 0.00000003 * rev * rev;

begin_f_loop(f, thread)

if (timej < 42.3427)

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 42.3427 && timej < 55.5168)

F_PROFILE(f, thread, i) = suku40f * konair / 0.39;

else if (timej >= 55.5168 && timej < 61.375)

83
{

F_PROFILE(f, thread, i) = suku10f * konair / 0.39;

else

F_PROFILE(f, thread, i) = 0;

end_f_loop(f, thread)

 UDF Pengereman Besi Cor Kontinu:

//UNTUK PENGEREMAN BESI COR KONTINU

# include "udf.h"

# include "dynamesh_tools.h"

DEFINE_ZONE_MOTION(rotation_besi_cor,omega,axis,origin,velocity,time,dtime)

if (time < 100.575)

*omega = 71.2251 - time * 0.7133;

else

*omega = 0.0;

return;

DEFINE_DELTAT(time_step_besi_cor,d)

84
real time_cobaa;

real time_coba;

real deg_cobaa;

real deg_coba;

real time_step;

real timec = CURRENT_TIME;

real angspd;

real angspd1;

if (timec < 100.575)

angspd = (71.2251 - timec * 0.7133) * 1.00040270;

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else

time_step = 0.;

return time_step;

DEFINE_PROFILE(brake_dis_besi_cor,thread,i)

face_t f;

begin_f_loop(f, thread)

real timeh = RP_Get_Real("flow-time");

if (timeh < 100.575)

F_PROFILE(f, thread, i) = 74114584.86 - 742271.7969 * timeh;

85
}

else

F_PROFILE(f, thread, i) = 0;

end_f_loop(f, thread)

DEFINE_PROFILE(convection_besi_cor,thread,i)

face_t f;

real timej = RP_Get_Real("flow-time");

real kinvis = 0.00001589;

real konair = 0.0263;

real linspd2 = 27.7778 - 0.2782 * timej;

real angspd2 = 71.2251 - 0.7133 * timej;

double rew = 9572.0579 * angspd2;

double rev = 24543.7382 * linspd2;

double pangkat05 = 0.5;

double pangkat08 = 0.8;

double suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

double suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

double suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

double suku30f = sqrt (suku30);

double suku42 = 0.033 * pow (rew,pangkat05);

double suku40 = (suku1 * suku1) + (suku42 * suku42);

double suku40f = 0.000000006 * rev * rev + 0.0001 * rev + 87.912;

double suku10f = 0.0031 * rev + 19.828 - 0.00000003 * rev * rev;

begin_f_loop(f, thread)

86
if (timej < 70.5644)

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 70.5644 && timej < 92.5398)

F_PROFILE(f, thread, i) = suku40f * konair / 0.39;

else if (timej >= 92.5398 && timej < 100.067)

F_PROFILE(f, thread, i) = suku10f * konair / 0.39;

else

F_PROFILE(f, thread, i) = 0;

end_f_loop(f, thread)

 UDF Pengereman Komposit Berkala:

//UNTUK PENGEREMAN KOMPOSIT BERKALA

# include "udf.h"

# include "dynamesh_tools.h"

DEFINE_ZONE_MOTION(rotation_comp,omega,axis,origin,velocity,time,dtime)

if (time < 9.39082) //kondisi 1 ngerem

*omega = 46.28 - time * 1.1377;

87
else if (time >= 9.39082 && time < 22.4964) //kondisi 2 gelinding

*omega = 35.6125 + (time - 9.39082) * 0.8146;

else if (time >= 22.4964 && time < 31.8872) //kondisi 3 ngerem

*omega = 46.28 - (time - 22.4964) * 1.1377;

else if (time >= 31.8872 && time < 44.9927) //kondisi 4 gelinding

*omega = 35.6125 + (time - 31.8872) * 0.8146;

else if (time >= 44.9927 && time < 54.3836) //kondisi 5 ngerem

*omega = 46.28 - (time - 44.9927) * 1.1377;

else if (time >= 54.3836 && time < 67.4891) //kondisi 6 gelinding

*omega = 35.6125 + (time - 54.3836) * 0.8146;

else

*omega = 0;

return;

DEFINE_DELTAT(time_step_comp,d)

real time_cobaa;

real time_coba;

88
real deg_cobaa;

real deg_coba;

real time_step;

real timec = CURRENT_TIME;

real angspd;

real angspd1;

if (timec < 9.39082) //kondisi 1 ngerem

angspd = (46.28 - timec * 1.1377) * 1.00040270; //kelebihan kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 1, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else if (timec >= 9.39082 && timec < 22.4964) //kondisi 2 gelinding

angspd = (35.6125 + (timec - 9.39082) * 0.8146) * 1.00040270; //kelebihan


kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 2, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else if (timec >= 22.4964 && timec < 31.8872) //kondisi 3 ngerem

angspd = (46.28 - (timec - 22.4964) * 1.1377) * 1.00040270; //kelebihan


kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 3, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else if (timec >= 31.8872 && timec < 44.9927) //kondisi 4 gelinding

89
angspd = (35.6125 + (timec - 31.8872) * 0.8146) * 1.00040270; //kelebihan
kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 4, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else if (timec >= 44.9927 && timec < 54.3836) //kondisi 5 ngerem

angspd = (46.28 - (timec - 44.9927) * 1.1377) * 1.00040270; //kelebihan


kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 5, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else if (timec >= 54.3836 && timec < 67.4891) //kondisi 6 gelinding

angspd = (35.6125 + (timec - 54.3836) * 0.8146) * 1.00040270; //kelebihan


kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 6, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else

time_step = 0;

return time_step;

DEFINE_PROFILE(brake_dis_comp,thread,i)

face_t f;

90
begin_f_loop(f, thread)

real timeh = RP_Get_Real("flow-time");

if (timeh < 9.39082) //kondisi 1 ngerem

F_PROFILE(f, thread, i) = 80266031.46 - 1973076.901 * timeh;

else if (timeh >= 22.4964 && timeh < 31.8872) //kondisi 3 ngerem

F_PROFILE(f, thread, i) = 80266031.46 - 1973076.901 * (timeh -


22.4964);

else if (timeh >= 44.9927 && timeh < 54.3836) //kondisi 5 ngerem

F_PROFILE(f, thread, i) = 80266031.46 - 1973076.901 * (timeh -


44.9927);

else

F_PROFILE(f, thread, i) = 0;

end_f_loop(f, thread)

DEFINE_PROFILE(convection_comp,thread,i)

face_t f;

real timej = RP_Get_Real("flow-time");

real konair = 0.0263;

real linspd2;

real angspd2;

91
double rew;

double rev;

double suku1;

double pangkat05 = 0.5;

double pangkat08 = 0.8;

double suku32;

double suku30;

double suku30f;

begin_f_loop(f, thread)

if (timej < 9.39082) //kondisi 1 ngerem

linspd2 = 18.05 - 0.4437 * timej;

angspd2 = 46.28 - 1.1377 * timej;

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 9.39082 && timej < 22.4964) //kondisi 2 gelinding

linspd2 = 13.8889 + 0.3177 * (timej - 9.39082);

angspd2 = 35.6125 + 0.8146 * (timej - 9.39082);

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

92
suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 22.4964 && timej < 31.8872) //kondisi 3 ngerem

linspd2 = 18.05 - 0.4437 * (timej - 22.4964);

angspd2 = 46.28 - 1.1377 * (timej - 22.4964);

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 31.8872 && timej < 44.9927) //kondisi 4 gelinding

linspd2 = 13.8889 + 0.3177 * (timej - 31.8872);

angspd2 = 35.6125 + 0.8146 * (timej - 31.8872);

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 44.9927 && timej < 54.3836) //kondisi 5 ngerem

93
linspd2 = 18.05 - 0.4437 * (timej - 44.9927);

angspd2 = 46.28 - 1.1377 * (timej - 44.9927);

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 54.3836 && timej < 67.4891) //kondisi 6 gelinding

linspd2 = 13.8889 + 0.3177 * (timej - 54.3836);

angspd2 = 35.6125 + 0.8146 * (timej - 54.3836);

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else

F_PROFILE(f, thread, i) = 0;

end_f_loop(f, thread)

 UDF Pengereman Besi Cor Berkala:

94
//UNTUK PENGEREMAN BESI COR BERKALA

# include "udf.h"

# include "dynamesh_tools.h"

DEFINE_ZONE_MOTION(rotation_besi,omega,axis,origin,velocity,time,dtime)

if (time < 16.1261) //kondisi 1 ngerem

*omega = 46.28 - time * 0.6621;

else if (time >= 16.1261 && time < 29.2317) //kondisi 2 gelinding

*omega = 35.6125 + (time - 16.1261) * 0.8146;

else if (time >= 29.2317 && time < 45.3578) //kondisi 3 ngerem

*omega = 46.28 - (time - 29.2317) * 0.6621;

else if (time >= 45.3578 && time < 58.4634) //kondisi 4 gelinding

*omega = 35.6125 + (time - 45.3578) * 0.8146;

else if (time >= 58.4634 && time < 74.5895) //kondisi 5 ngerem

*omega = 46.28 - (time - 58.4634) * 0.6621;

else if (time >= 74.5895 && time < 87.695) //kondisi 6 gelinding

*omega = 35.6125 + (time - 74.5895) * 0.8146;

else

95
{

*omega = 0;

return;

DEFINE_DELTAT(time_step_besi,d)

real time_cobaa;

real time_coba;

real deg_cobaa;

real deg_coba;

real time_step;

real timec = CURRENT_TIME;

real angspd;

real angspd1;

if (timec < 16.1261) //kondisi 1 ngerem

angspd = (46.28 - timec * 0.6621) * 1.00040270; //kelebihan kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 1, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else if (timec >= 16.1261 && timec < 29.2317) //kondisi 2 gelinding

angspd = (35.6125 + (timec - 16.1261) * 0.8146) * 1.00040270; //kelebihan


kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 2, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

96
else if (timec >= 29.2317 && timec < 45.3578) //kondisi 3 ngerem

angspd = (46.28 - (timec - 29.2317) * 0.6621) * 1.00040270; //kelebihan


kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 3, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else if (timec >= 45.3578 && timec < 58.4634) //kondisi 4 gelinding

angspd = (35.6125 + (timec - 45.3578) * 0.8146) * 1.00040270; //kelebihan


kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 4, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else if (timec >= 58.4634 && timec < 74.5895) //kondisi 5 ngerem

angspd = (46.28 - (timec - 58.4634) * 0.6621) * 1.00040270; //kelebihan


kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 5, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

else if (timec >= 74.5895 && timec < 87.695) //kondisi 6 gelinding

angspd = (35.6125 + (timec - 74.5895) * 0.8146) * 1.00040270; //kelebihan


kurangin gradien

time_step = 0.2619047619047619 / angspd;

deg_cobaa = angspd * time_step;

Message("Kondisi 6, Degree = %f, Angular Speed = %f", deg_cobaa, angspd);

97
else

time_step = 0;

return time_step;

DEFINE_PROFILE(brake_dis_besi_cor,thread,i)

face_t f;

begin_f_loop(f, thread)

real timeh = RP_Get_Real("flow-time");

if (timeh < 16.1261) //kondisi 1 ngerem

F_PROFILE(f, thread, i) = 48159618.96 - 688905.4642 * timeh;

else if (timeh >= 29.2317 && timeh < 45.3578) //kondisi 3 ngerem

F_PROFILE(f, thread, i) = 48159618.96 - 688905.4642 * (timeh -


29.2317);

else if (timeh >= 58.4634 && timeh < 74.5895) //kondisi 5 ngerem

F_PROFILE(f, thread, i) = 48159618.96 - 688905.4642 * (timeh -


58.4634);

else

F_PROFILE(f, thread, i) = 0;

98
end_f_loop(f, thread)

DEFINE_PROFILE(convection_besi_cor,thread,i)

face_t f;

real timej = RP_Get_Real("flow-time");

real konair = 0.0263;

real linspd2;

real angspd2;

double rew;

double rev;

double suku1;

double pangkat05 = 0.5;

double pangkat08 = 0.8;

double suku32;

double suku30;

double suku30f;

begin_f_loop(f, thread)

if (timej < 16.1261) //kondisi 1 ngerem

linspd2 = 18.05 - 0.2582 * timej;

angspd2 = 46.28 - 0.6621 * timej;

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

99
}

else if (timej >= 16.1261 && timej < 29.2317) //kondisi 2 gelinding

linspd2 = 13.8889 + 0.3177 * (timej - 16.1261);

angspd2 = 35.6125 + 0.8146 * (timej - 16.1261);

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 29.2317 && timej < 45.3578) //kondisi 3 ngerem

linspd2 = 18.05 - 0.2582 * (timej - 29.2317);

angspd2 = 46.28 - 0.6621 * (timej - 29.2317);

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 45.3578 && timej < 58.4634) //kondisi 4 gelinding

linspd2 = 13.8889 + 0.3177 * (timej - 45.3578);

angspd2 = 35.6125 + 0.8146 * (timej - 45.3578);

rew = 9572.0579 * angspd2;

100
rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 58.4634 && timej < 74.5895) //kondisi 5 ngerem

linspd2 = 18.05 - 0.2582 * (timej - 58.4634);

angspd2 = 46.28 - 0.6621 * (timej - 58.4634);

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

else if (timej >= 74.5895 && timej < 87.695) //kondisi 6 gelinding

linspd2 = 13.8889 + 0.3177 * (timej - 74.5895);

angspd2 = 35.6125 + 0.8146 * (timej - 74.5895);

rew = 9572.0579 * angspd2;

rev = 24543.7382 * linspd2;

suku1 = 0.0127 * pow (rev,pangkat08);

suku32 = 0.015 * pow (rew, pangkat08);

suku30 = (suku1 * suku1) + (suku32 * suku32);

suku30f = sqrt (suku30);

F_PROFILE(f, thread, i) = suku30f * konair / 0.39;

101
}

else

F_PROFILE(f, thread, i) = 0;

end_f_loop(f, thread)

102

Anda mungkin juga menyukai