Anda di halaman 1dari 81

ANALISIS PERFORMA STEAM JET EJECTOR PADA

PLTP
STUDI KASUS PLTP KAMOJANG UNIT 3 DAN PLTP WAYANG

WINDU

TUGAS SARJANA

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana


Teknik

Oleh

Raushan Fikri
13107069

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

FAKULTAS TEKNIK MESIN DAN DIRGANTARA


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2012
TUGAS SARJANA

ANALISIS PERFORMA STEAM JET EJECTOR PADA


PLTP
STUDI KASUS PLTP KAMOJANG UNIT 3 DAN PLTP
WAYANG WINDU

Oleh

Raushan Fikri

13107069

Program Studi Teknik Mesin

Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara

Institut Teknologi Bandung

Disetujui pada Tanggal : 8 Juni 2012

Pembimbing Utama

Dr. Ir. Ari Darmawan Pasek


19590507 198702 1 001
ANALISIS PERFORMA STEAM JET
EJECTOR PADA PLTP
Judul STUDI KASUS PLTP KAMOJANG Raushan Fikri
UNIT 3 DAN PLTP WAYANG
WINDU
Program Studi Teknik Mesin 13107069

Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara


Institut Teknologi Bandung
Abstrak
Jumlah potensi daya energi panas bumi di Indonesia mencapai 5600 sampai
9790 MW sedangkan pemanfaatannya hanya sebesar 992 MW [1]. Karena itu,
penggunaan energi panas bumi sangat berpotensi untuk dikembangkan.
Kondensor pada PLTP berfungsi untuk menurunkan tekanan output turbin,
sehingga daya turbin yang diperoleh menjadi lebih besar. Adanya non condensable gas
(NCG) yang masuk ke dalam kondensor menjadikan tekanan kondensor naik yang
dapat mengakibatkan penurunan daya turbin. Sistem ekstraksi gas berfungsi untuk
mengeluarkan NCG, sehingga kevakuman kondensor dapat dijaga. Ejektor merupakan
sistem ekstraksi gas yang banyak digunakan karena murah dan mudah perawatannya.
Prestasi kerja ejektor ditentukan oleh kondisi operasi dan juga geometri ejektor itu
sendiri. Geometri yang cukup penting pada ejektor adalah area ratio, yang merupakan
perbandingan antara diameter throat diffusor dan diameter throat nozzle.
Dengan menggunakan ejektor dengan dimensi berdasarkan metode Langhaar
dan metode Watson, dan juga dari hasil rancang ulang dua ejektor yang digunakan di
PLTP Kamojang Unit 4, didapat 4 model ejektor yang akan dianalisis dalam tugas
akhir ini. Nilai area ratio tiap model divariasikan dengan mengkombinasikan nilai
diameter throat nozzle dan diameter throat diffusor. Terdapat enam variasi area ratio
untuk tiap model, dengan besar area ratio yang digunakan sebesar 6, 8, 10, 25, 30, dan
35. Tiap model disimulasikan berdasaran kondisi operasi ejektor yang digunakan di
PLTP Kamojang Unit 3 dan PLTP Wayang Windu.
Hasil simulasi CFD menunjukkan tidak ada model yang dapat memenuhi
kondisi kerja PLTP Kamojang, sementara hanya sebelas model yang mampu bekerja di
kondisi kerja PLTP Wayang Windu. Prestasi kerja terbaik dicapai oleh model ejektor 2
berdiameter throat diffusor sebesar 400 mm dan diameter throat nozzle 50 mm,
dengan entrainment ratio sebesar 1,71 dan laju massa alir hisap total sebesar 2,31 kg/s.
PERFORMANCE ANALYSIS OF
STEAM JET EJECTOR IN PLTP
Title STUDY CASE PLTP KAMOJANG Raushan Fikri
UNIT 3 AND PLTP WAYANG
WINDU
Major Teknik Mesin 13107069
Faculty of Mechanical and Aerospace Engineering
Institute of Technology Bandung
Abstract
Geothermal power potency in Indonesia is around 5600 to 9790 MW, from
which only 992 MW is being utilized. Therefore, geothermal energy is very promising
to be developed in Indonesia.
Condensor in geothermal power plant increases the power output of the
turbine by lowering its outlet pressure. The existence of non condensable gas (NCG)
that enters the condensor along with the steam can increase condensor’s pressure,
causing the decrease in turbine’s power. Gas extraction system is used to eject the
NCG, so the condensor’s pressure can be maintained. The most commonly used gas
extraction system is the steam jet ejector. It is relatively cheap and is easy to maintain.
Ejector’s performance depends on the operating conditions and its own geometry.
Geomatry parameters which are deemed important is the area ratio. Area ratio is the
ratio between diffusor throat’s diameter and nozzle throat’s diameter.
Two models are created based on the design criteria by Langhaar method and
Watson method, and two more modelsare obtained from reversing two existing
ejector’s design. The area ratio of each model is varied by combining the value of
diffusor throat’s diameter and nozzle throat’s diameter. Six variations of area ratio is
used, with its value ranging from 6, 8, 10, 25, 30, and 35. All models are simulated in
CFD using Kamojang’s and Wayang Windu’s operating conditions.
From the simulation, there’s no model which can operate under Kamojang’s
state condition. While under Wayang Windu’s operating conditions, eleven models are
working properly. The best performance is achived by ejector 1 with diffusor throat’s
diameter of 400 mm and nozzle throat’s diameter of 50mm. Its entrainment ratio is
1.71 and its total suction massflow is 2.31 kg/s.
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,


karena atas berkah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
pengerjaan tugas akhir ini sampai selesai. Tugas akhir yang berjudul “ANALISIS
PERFORMA STEAM JET EJECTOR PADA PLTP DENGAN CFD SEBAGAI
SARANA UJI” ini disusun sebagai persyaratan akademik dalam menyelesaikan
pendidikan sarjana di Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Mesin dan
Dirgantara, Institut Teknologi Bandung.
Tugas sarjana ini tidak mungkin dapat dilaksanakan dan terselesaikan bila
tanpa dukungan dan keterlibatan banyak pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua Orang Tua penulis, Bapak Akhmad Junaedi dan Ibu Sri Widadi serta
seluruh keluarga yang senantiasa mendukung dan mendoakan penulis dalam
pengerjaan tugas akhir ini.
2. Bapak Dr. Ir. Ari Darmawan Pasek sebagai dosen pembimbing yang telah
banyak bersabar dalam membimbing dan memberikan ilmu sehingga tugas
akhir ini dapat diselesaikan.
3. Seluruh pihak yang tergabung dalam PT. Indonesia Power Kamojang Unit 3
yang telah berbaik hati memberikan data yang dibutuhkan bagi penulisan
tugas akhir ini.
4. Dosen-dosen Program Studi Teknik Mesin atas segala ilmu yang telah
diajarkan.
5. Teman-teman Lab Termodinamika (Gea, Adi) yang banyak membantu dalam
penulisan dan memberikan dukungan kepada penulis.
6. Azki Bostian yang sudah banyak membantu menyelesaikan simulasi, dan
merelakan komputernya untuk diperbudak mengerjakan ratusan jam iterasi,
juga Putri Kusumawardhani, yang telah banyak berbagi data.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi perbaikan di masa
yang akan datang.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
DAFTAR SIMBOL ATAU NOTASI .................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
Bab 1 Pendahuluan.................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 2
1.3 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................ 2
1.4 Metodologi Penelitian................................................................................... 3
1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................... 5
Bab 2 Studi Literatur ............................................................................................... 6
2.1 Panas Bumi ................................................................................................... 6
2.1.1 Definisi .................................................................................................. 6
2.1.2 Sejarah Pemanfaatan Tenaga Panas Bumi ............................................ 6
2.1.3 Pemanfaatan Panas Bumi di Indonesia ................................................. 8
2.2 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi ...................................................... 9
2.2.1 Single-Flash Steam Power Plants........................................................ 10
2.2.2 Double-Flash Steam Power Plant........................................................ 11
2.2.3 Dry-Steam Power Plant ....................................................................... 12
2.2.4 Binary Cycle Power Plant ................................................................... 14
2.3 Sistem Ekstraksi Gas .................................................................................. 15
2.3.1 Fungsi Sistem Ekstraksi Gas ............................................................... 15
2.3.2 Klasifikasi Sistem Ektraksi Gas .......................................................... 18
2.4 Steam Jet Ejektor ........................................................................................ 20
2.4.1 Deskripsi ............................................................................................. 20
2.4.2 Prinsip Kerja ....................................................................................... 22
2.4.3 Latar Belakang Teoretik Ejector ......................................................... 23
2.5 Computational Fluid Dynamic ................................................................... 25
2.5.1 Autodesk Inventor ............................................................................... 25
2.5.2 Gambit ................................................................................................. 26
2.5.3 Fluent .................................................................................................. 26

ii
Bab 3 Pemodelan dan Simulasi Steam Jet Ejector ................................................ 30
3.1 Pemodelan Steam Jet Ejector ..................................................................... 30
3.1.1 Kriteria Ejektor Menurut Langhaar dan Watson ................................. 30
3.1.2 Rancang ulang Berdasarkan Ejektor Nyata......................................... 31
3.1.3 Variasi Model ...................................................................................... 33
3.1.4 Tingkat Keadaan di PLTP Kamojang Unit 3 ...................................... 35
3.1.5 Tingkat Keadaan di PLTP Wayang Windu ......................................... 39
3.1.6 Perhitungan Temperatur Outlet ........................................................... 40
3.1.7 Pembuatan Model dan Proses Diskritisasi .......................................... 42
3.1.7.1 Pemodelan Menggunakan Autodesk Inventor............... 42
3.1.7.2 Proses Diskritisasi dengan Gambit ................................. 43
3.1.7.3 Pendefinisian Kondisi Batas .......................................... 45
3.1.8 Simulasi CFD ...................................................................................... 45
3.1.8.1 Metode Simulasi ............................................................. 45
3.1.8.2 Validasi Metode Simulasi .............................................. 47
3.1.8.3 Post-Processing .............................................................. 47
Bab 4 Analisis Performa Steam Jet Ejector .......................................................... 48
4.1 Perbandingan Kondisi Operasi Antar PLTP ............................................... 48
4.2 Prestasi Kerja Ejektor Berdasarkan Hasil Simulasi .................................... 49
4.2.1 PLTP Kamojang Unit 3 ....................................................................... 49
4.2.1.1 Hubungan Antara Entrainment ratio dan Area ratio ..... 50
4.2.2 PLTP Wayang Windu ......................................................................... 51
4.2.2.1 Hubungan Antara Entrainment ratio dan Area ratio ..... 53
4.3 Analisis Pola Aliran Dalam Ejektor ........................................................... 55
4.3.1 Pola Aliran Untuk Ejektor dengan Entrainment ratio Positif ............. 55
4.3.2 Pola Aliran Untuk Ejektor dengan Entrainment ratio Negatif ........... 61
Bab 5 Kesimpulan dan Saran………………………….………………………… 70
5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 66
5.2 Saran ........................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 68

iii
DAFTAR SIMBOL ATAU NOTASI

Dd : Diameter throat diffusor (m)


Dn : Diameter throat nozzle (m)
g : Percepatan gravitasi (9,8 m/s2)
h : Entalpi (kJ/kg)
L : Panjang throat diffusor (m)
ṁ : Laju alir massa (kg/s)
P : Tekanan (bar)

Q : Laju aliran energi panas spesifik (Watt/kg)


R : Panjang bagian divergen diffusor (m)
S : Jarak dari outlet nozzle ke outlet ejektor (m)
T : Temperatur (˚C)
W : Kerja spesifik (Watt/kg)
X : Jarak dari outlet nozzle ke inlet throat diffusor (m)
x : Kualitas uap
z : Ketinggian fluida (m)
CFD : Computational Fluid Dynamic
GRS : Gas Removal System
NCG : Non Condensable Gas

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Alur kerja penelitian ............................................................................ 3


Gambar 2.1 Kolam Air Panas di Larderello Italia [3]............................................. 7
Gambar 2.2 Prince Piero Ginori Conti bersama dengan engine [3] ......................... 8
Gambar 2.3 Diagram T-s untuk single-flash steam power plant[5] ....................... 10
Gambar 2.4 Diagram skematik siklus single-flash [5] .......................................... 11
Gambar 2.5 Diagram skematik siklus double-flash [5] ........................................ 12
Gambar 2.6 Diagram skematik siklus uap kering [5] ............................................ 13
Gambar 2.7 Diagram T-s siklus uap kering [5]..................................................... 13
Gambar 2.8 Diagram skematik siklus binary sederhana [5] ................................. 15
Gambar 2.9 Skema aliran uap dan NCG pada kondensor tanpa GRS (A) dan
dengan GRS (B) .................................................................................................... 17
Gambar 2.10 Liquid Ring Vacuum Pump [12] ...................................................... 18
Gambar 2.11 Kompresor sentrifugal dengan satu intercooler [12] ...................... 19
Gambar 2.12 Skema steam jet ejector beserta komponen utama [8] .................... 20
Gambar 2.13 Distribusi kecepatan dan tekanan pada steam jet ejector[10] ........... 23
Gambar 2.14 Skema Prosedur Pengerjaan Secara Computational (Fletcher, 1987)
............................................................................................................................... 25
Gambar 3.1 Parameter geometri dalam ejektor [10] ............................................. 31
Gambar 3.2 Penampang ejektor 1 ......................................................................... 32
Gambar 3.3 Penampang ejektor 2 ......................................................................... 32
Gambar 3.4 Diagram alir proses di PLTP Kamojang Unit 3 ................................ 36
Gambar 3.5 Bagian pangkal ejektor di PLTP Kamojang Unit 3........................... 37
Gambar 3.6 Bagian tengah ejektor di PLTP Kamojang Unit 3............................. 38
Gambar 3.7 Bagian ujung ejektor di PLTP Kamojang Unit 3 .............................. 38
Gambar 3.8 Diagram alir proses di PLTP Wayang Windu ................................... 39
Gambar 3.9 Model ejektor yang dibuat dengan Autodesk Inventor ..................... 43
Gambar 3.10 Keterangan : 1. Bagian konvergen diffusor; 2. Mixing chamber; 3.
Bagian divergen diffusor; 4. Diffusor throat ......................................................... 44

v
Gambar 3.11 Keterangan : 1. Pre-nozzle; 2. Bagian konvergen dari nozzle; 3.
Nozzle throat; 4. Bagian konvergen nozzle ........................................................... 44
Gambar 4.1 Grafik entrainment ratio terhadap area ratio untuk PLTP Kamojang
Unit 3..................................................................................................................... 51
Gambar 4.2 Grafik entrainment ratio terhadap area ratio untuk PLTP Wayang
Windu .................................................................................................................... 53
Gambar 4.3 Grafik entrainment ratio terhadap area ratio ejektor dengan Dn 50
mm untuk PLTP Kamojang Unit 3 ....................................................................... 55
Gambar 4.4 Kontur bilangan Mach ejektor 1 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang
Windu .................................................................................................................... 56
Gambar 4.5 Kontur bilangan Mach ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang
Windu .................................................................................................................... 56
Gambar 4.6 Kontur bilangan Mach ejektor 3 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang
Windu .................................................................................................................... 57
Gambar 4.7 Kontur bilangan Mach ejektor 4 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang
Windu .................................................................................................................... 57
Gambar 4.8 Kontur bilangan Mach nozzle pada ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP
Wayang Windu...................................................................................................... 58
Gambar 4.9 Kontur tekanan ejektor 1 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang Windu .. 59
Gambar 4.10 Kontur tekanan ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang Windu 59
Gambar 4.11 Kontur tekanan ejektor 3 Dd 400 Dn 20 di PLTP Wayang Windu 60
Gambar 4.12 Kontur tekanan ejektor 4 Dd 400 Dn 20 di PLTP Wayang Windu 60
Gambar 4.13 Kontur tekanan nozzle pada ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP
Wayang Windu...................................................................................................... 61
Gambar 4.14 Kontur bilangan Mach ejektor 1 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang
Unit 3..................................................................................................................... 63
Gambar 4.15 Kontur bilangan Mach ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang
Unit 3..................................................................................................................... 63
Gambar 4.16 Kontur bilangan Mach ejektor 3 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang
Unit 3..................................................................................................................... 64

vi
Gambar 4.17 Kontur tekanan ejektor 1 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang Unit 3
............................................................................................................................... 64
Gambar 4.18 Kontur tekanan ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang Unit 3
............................................................................................................................... 65
Gambar 4.19 Kontur tekanan ejektor 3 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang Unit 3
............................................................................................................................... 65

vii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Daftar nilai koefisien pengali untuk dimensi utama dari beberapa
sumber (9) ................................................................................................... 30
Tabel 3.2 Besar dimensi-dimensi utama ejektor 1 dan ejektor 2 .............. 32
Tabel 3.3 Koefisien pengali parameter geometri untuk semua model ...... 33
Tabel 3.4 Daftar model ............................................................................. 34
Tabel 3.5 Tingkat keadaan operasi PLTP Kamojang Unit 3 .................... 37
Tabel 3.6 Tingkat keadaan operasi PLTP Wayang Windu ....................... 40
Tabel 4.1 Perbandingan parameter operasi PLTP ..................................... 48
Tabel 4.2 Data hasil simulasi model ejektor di PLTP Kamojang Unit 3 .. 50
Tabel 4.3 Data hasil simulasi model ejektor di PLTP Wayang Windu .... 52

viii
Bab 1
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Energi panas bumi merupakan sumber energi yang banyak terdapat di
Indonesia. Dengan jumlah potensi daya mencapai 5600 sampai dengan 9790 MW,
Indonesia menduduki peringkat pertama dalam jumlah potensi energi geotermal.
Namun, pada tahun 2007 pemanfaatannya baru mencapai 992 MW [1].
Karenanya, energi panas bumi di Indonesia sangatlah berpotensi untuk
dikembangkan lebih lanjut.
PLTP bekerja dengan memanfaatkan uap panas dari bumi untuk memutar
turbin. Besar daya yang dihasilkan turbin dipengaruhi oleh tekanan dan
temperatur uap, baik pada sisi inlet maupun pada outlet. Untuk meningkatkan
daya yang dihasilkan, dapat dilakukan modifikasi tingkat keadaan pada inlet dan
outlet. Namun, tekanan dan temperatur inlet tidak dapat diubah karena ditentukan
oleh sifat uap dari sumur. Sehingga, yang dapat dilakukan hanyalah menurunkan
tekanan dari output turbin.
Untuk menurunkan tekanan keluar turbin, digunakan kondensor. Di dalam
kondensor, uap keluaran turbin didinginkan hingga mengalami kondensasi. Akibat
kondensasi ini terjadi penurunan tekanan. Namun, pada uap panas bumi terdapat
NCG (non condensable gases), atau gas tak terkondensasi. Kondensat akan keluar
dari kondensor, sementara NCG akan terus tertahan. Jika dibiarkan, terjadi
penumpukan NCG, sehingga tekanan kondensor akan meningkat, dan daya
keluaran turbin akan menurun.
GRS (gas removal system) digunakan untuk mengeluarkan NCG dari
kondensor. Salah satu jenis GRS yang banyak dipakai di PLTP adalah steam jet
ejector. Steamjet ejector memanfaatkan energi dari uap untuk menghisap NCG.
Dengan memperbaiki performa steam ejector, diharapkan uap yang dibutuhkan
oleh steam ejector akan berkurang, sehingga terjadi peningkatan efisiensi. Uap

1
yang dihemat tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan daya di turbin,
sehingga daya keluaran turbin akan mengalami peningkatan. Peningkatan daya
turbin berakibat pada meningkatnya efisiensi total dari pembangkit, dan juga
berhubungan dengan meningkatnya profit dari PLTP tersebut. Agar performa
ejektor dapat ditingkatkan, perlu diketahui hubungan antara dimensi dengan
prestasi kerja ejektor, dan perlu diketahui juga pola aliran yang terjadi di dalam
ejektor.

1.2 Tujuan Penelitian


Adapun Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui performa model ejektor pada kondisi operasi PLTP Kamojang
Unit 3 dan PLTP Wayang Windu dengan entrainment ratio sebagai
parameter performa ejektor.
2. Mengetahui hubungan antara entrainment ratio terhadap area ratio pada
steam jet ejector.
3. Mengetahui pola aliran yang terjadi di dalam steam jet ejector.
4. Mencari model ejektor yang mampu bekerja pada kondisi operasi PLTP
Kamojang Unit 3 dan PLTP Wayang Windu.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian


Bahasan yang tercakup dalam tugas akhir ini adalah :
1. Pembuatan model ejektor berdasarkan kajian oleh Watson dan Langhaar,
dan parameter desain yang tidak tercantum akan diasumsikan.
2. Pembuatan model dengan mendasarkan pada desain 2 steam ejector yang
digunakan di PLTP Kamojang unit 4.
3. Pemberian variasi ukuran pada keempat model.
4. Perhitungan termodinamika untuk mengetahui tingkat keadaan yang tidak
tercantum dalam process flow diagram PLTP.
5. Perhitungan numerik dengan software CFD berdasarkan tingkat keadaan
pada PLTP Kamojang Unit 3.
6. Perhitungan numerik dengan software CFD berdasarkan tingkat keadaan
pada PLTP Wayang Windu sebagai pembanding.

2
7. Evaluasi hasil simulasi, termasuk di dalamnya perbandingan antara
performa ejektor di PLTP Kamojang Unit 3 dan PLTP Wayang Windu.

1.4 Metodologi Penelitian


Dalam penelitian ini, tahap awal yang dilakukan adalah pengumpulan data
tingkat keadaan pada pembangkit listrik tenaga panas bumi. Selain itu, diperlukan
juga model ejektor yang akan disimulasikan. Model tersebut didapat dari kaji
literatur dan dari perancangan balik dua ejektor yang digunakan di PLTP
Kamojang Unit 4.
Setiap model diberikan variasi ukuran, untuk kemudian dimodelkan
menggunakan software Autodesk Inventor. Setelah dimodelkan, tiap ejektor
didiskritisasi (meshed) menggunakan software Gambi.
Proses simulasi CFD dilakukan terhadap model-model tersebut dengan
menggunakan data tingkat keadaan PLTP Wayang Windu dan PLTP Kamojang
Unit 3. Software CFD yang digunakan adalah Ansys Fluent. Alur penelitian tugas
akhir ini divisualisasikan dalam skema yang tercantum pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Alur kerja penelitian

3
1.5 Sistematika Kerja

Penulisan tugas akhir ini diawali dengan pengumpulan data kondisi


operasi PLTP. Kondisi operasi tersebut disarikan dari process flow diagram PLTP
Kamojang Unit 3 dan PLTP Wayang Windu.
Pada mulanya, diinginkan simulasi dilakukan menggunakan model ejektor
sesuai dengan yang digunakan pada kedua PLTP. Namun, data teknis ejektor sulit
didapat, karena pihak PLTP sendiripun tidak menyimpan data tersebut. Data
teknis ejektor yang didapat berasal dari PLTP Kamojang Unit 4, yang sudah
dibahas dalam tugas akhir yang dijadikan referensi dalam tugas akhir ini.
Tahap berikutnya adalah pencarian mode simulasi CFD yang dapat
menggambarkan proses di dalam ejektor. Langkah pertama dalam tahap ini adalah
penguasaan dasar-dasar CFD. Setelah dasar tersebut dikuasai, dilakukan pencarian
referensi mengenai proses simulasi. Dari beberapa sumber, dilakukan beberapa
percobaan proses simulasi hingga didapat mode simulasi yang cukup
menggambarkan kondisi operasi ejektor.
Ketiadaan data teknis ejektor membuat proses pencarian mode simulasi
lebih sulit. Tidak adanya acuan validasi menyebabkan ketelitian dari mode yang
dicoba tidak dapat ditentukan. Karenanya, diadakan kerja sama dengan rekan lain
yang dalam tugas akhirnya membahas simulasi CFD di PLTP Kamojang Unit 4.
Data teknis ejektor dan data kondisi operasi di PLTP Kamojang Unit 4 cukup
lengkap, sehingga validasi mode simulasi dapat dilakukan.
Walaupun data operasi dan mode simulasi sudah didapat, proses simulasi
tidak dapat dilakukan tanpa adanya model yang akan disimulasikan. Sebagai
acuan pembuatan model, digunakan dua kriteria desain dari literatur dan
digunakan juga hasil rancang ulang ejektor yang digunakan di PLTP Kamojang
Unit 4. Setiap model divariasikan, sehingga didapat 24 buah model ejektor. Model
ejektor tersebut dibuat dengan Autodesk Inventor, dan didiskritisasi menggunakan
Gambit.
Proses simulasi CFD menggunakan software Ansys Fluent. Setiap model
disimulasikan dengan kondisi operasi PLTP Kamojang Unit 3 dan PLTP Wayang

4
Windu. Untuk 24 buah model, dilakukan 48 kali simulasi. Mode simulasi selalu
menggunakan mode yang sama dengan yang dilakukan pada saat validasi,
sehingga keterulangan proses dapat dijaga.
Tahap terakhir adalah penerjemahan hasil simulasi. Pada proses ini dilihat
prestasi kerja ejektor, dan diamati hubungan antara parameter prestasi tersebut
dengan parameter ukuran. Selain itu pola aliran yang terdapat dalam ejektor juga
diamati. Hasil analisis tersebut kemudian diringkas menjadi beberapa poin
kesimpulan.

1.6 Sistematika Penulisan


Penulisan laporan tugas akhir ini tersusun atas 5 bab, dengan penjelasan
sebagai berikut.
Bab 1 menjelaskan beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangan
penulisan laporan tugas akhir yang berupa latar belakang masalah, tujuan
penulisan, ruang lingkup penelitian, metodologi penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab 2 memuat teori-teori yang menjadi pengantar dalam pengerjaan tema
tugas akhir ini, yang antara lain mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
(PLTP), sistem ekstraksi gas, prinsip dasar ejektor sebagai peralatan vakum
(vacuum equipment), dan pengenalan perangkat lunak Fluent.
Bab 3 menjelaskan mengenai proses simulasi dengan CFD. Termasuk di
dalamnya penentuan dimensi model, pembuatan model, perhitungan tingkat
keadaan PLTP, dan proses simulasi CFD.
Bab 4 membahas hasil simulasi, termasuk di dalamnya prestasi kerja
ejektor di tiap PLTP, hubungan antara area ratio dengan entrainment ratio, dan
juga pembahasan mengenau pola aliran di dalam ejektor.
Bab 5 merupakan penutup laporan tugas akhir ini yang berisi kesimpulan
secara keseluruhan dari penelitian yang telah dilakukan dan saran terhadap
pengerjaan tema penelitian serupa.

5
Bab 2
Studi Literatur

2.1 Panas Bumi

2.1.1 Definisi
Panas bumi atau geothermal, secara harfiah terdiri dari kata geo yang
berarti bumi dan thermal yang berarti panas. Hochstein dalam Encyclopedia of
Volcanoes 2000, mendefinisikan panas bumi sebagai istilah umum yang
dideskripsikan sebagai proses transfer panas dari suatu tempat tertentu dalam
kerak bumi, dimana proses transfer terjadi dari suatu sumber panas menuju
permukaan. UU No.27 tahun 2003 menyatakan bahwa energi panas bumi adalah
sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan
mineral ikutan dan gas lainnya yang secara generik semuanya tidak dapat
dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan
proses penambangan [2].

2.1.2 Sejarah Pemanfaatan Tenaga Panas Bumi


Tenaga panas bumi pertama diketahui oleh manusia dari keberadaan
gunung berapi, mata air panas, maupun fenomena panas lain yang menyebabkan
manusia jaman dulu menyimpulkan bahwa bagian dalam bumi bersifat panas.
Pada abad 16-17, ketika manusia pertama kali menggali tambang dengan
kedalaman beberapa ratus meter, didapat informasi baru bahwa temperatur bumi
meningkat seiring dengan kedalamannya.
Sejarah mencatat, pemanfaatan tenaga panas bumi dan penelitian ilmiah
mengenai panas bumi tidak selalu berjalan bersama.
Pada 1740, pengukuran temperatur bumi dengan termometer dilakukan
untuk pertama kalinya oleh De Gensanne, di Belfort, Prancis. Metode ilmiah
modern baru digunakan pada 1870. Tetapi baru pada abad 20, dan adanya
penemuan radiogenic heat yang menjadikan kesetimbangan dan sejarah panas
bumi dapat dipahami [3].

6
Aplikasi panas bumi pada masa awal bercirikan penggunaan langsung
(direct use). Di daerah Larderello Italia, terdapat industri kimia yang mengekstrak
asam borat (boric acid) dari mata air panas. Asam borat didapat dengan
menguapkan air yang mengandung borat tersebut (boric waters) di boiler,
menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Pada 1827 Francesco Larderel
menggunakan panas dari cairan borat (boric fluids) untuk menguapkan asam
borat, menggantikan peran kayu bakar.

Gambar 2.1 Kolam Air Panas di Larderello Italia [3]

Pada masa yang sama, uap alami juga digunakan untuk menaikkan cairan
di lift gas primitif. Antara tahun 1910 dan 1940, uap bertekanan rendah di
Larderello digunakan sebagai sumber panas di industri, rumah tinggal, dan
greenhouse.
Di Boise, Idaho, energi panas bumi digunakan sebagai pemanas distrik
pada tahun 1892. Penggunaan panas bumi sebagai pemanas domestik juga
dilakukan di Iceland pada 1928.

7
Percobaan untuk menggunakan panas bumi sebagai sumber listrik pertama
kali dilakukan di Larderellp pada 1904. Percobaan tersebut dilakukan oleh Prince
Piero Ginori Conti. Percobaan tersebut cukup berhasil, dan pada 1942 dapat
menghasilkan listrik ingga 127650 kW.

Gambar 2.2 Prince Piero Ginori Conti bersama dengan engine [3]

Beberapa negara kemudian mengikuti jejak Italia. Jepang membuka sumur


panas bumi pertamanya di Beppu pada 1919. Amerika Serikat menyusul pada
1921 dengan pengeboran sumur di The Geysers, California. Pada 1958 sebuah
pembangkit listrik panas bumi mulai beroperasi di Selandia Baru. Meksiko
melakukan hal serupa pada 1959, dan diikuti Amerika Serikat pada 1960 [3].

2.1.3 Pemanfaatan Panas Bumi di Indonesia


Di Indonesia, pencarian sumber energi panas bumi dilakukan pertama kali
pada 1918 di Kamojang. Lima sumur eksplorasi dibor pada 1926 hingga 1929.
Eksplorasi secara luas baru dilakukan pada 1972. Dari eksplorasi tersebut,
ditemukan 217 prospek energi panas bumi.

8
Menurut laporan GEA 1999, potensi energi panas bumi di Indonesia
diperkirakan antara 5600 sampai dengan 9790 MW. Daya terpasang pada tahun
2000 sebesar 589.5 MW. Pada tahun 2005 daya terpasang mencapai 797 MW,
tahun 2007 sebesar 992 MW [1], dan mengalami peningkatan hingga menjadi
sebesar 1197 MW pada 2010 [4]. Saat ini Indonesia menduduki peringkat ke 3
dalam besarnya kapasitas terpasang.

2.2 Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi


Pada dasarnya PLTP (pembangkit listrik tenaga panas bumi) merupakan
PLTU (pembangkit listrik tenaga uap), dimana putaran generator berasal dari
turbin yang digerakkan uap. Perbedaan antara PLTP dan PLTU terletak pada
sumber uapnya. Uap pada PLTU didapat dari penguapan air menggunakan batu
bara, sedangkan uap pada PLTP berasal dari air bawah tanah yang diuapkan oleh
panas bumi.
Agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit daya, energi panas
bumi memerlukan sebuah sistem pengolahan fluida dari dalam bumi. Hal ini
karena, fluida panas bumi tersebut masih mengandung berbagai partikel atau gas
yang ikut terbawa keluar dari dalam perut bumi. Proses pengolahan tersebut
antara lain proses penyaringan (filtering), pemisahan (separation), dan penguapan
(flashing).
Berdasarkan proses pengolahan fluida panas bumi, sistem pembangkit
listrik tenaga panas bumi dapat dibagi menjadi beberapa siklus. Siklus tersebut
antara lain [5]:
1. Single-Flash Steam Power Plants
2. Double-Flash Steam Power Plants
3. Dry-Steam Power Plants
4. Binary Cycle Power Plants

9
2.2.1 Single-Flash Steam Power Plants
Pembangkit dengan single-flash merupakan jenis yang banyak digunakan,
terutama pada lokasi dengan kualitas uap rendah (mengandung banyak fasa cair).
Sampai dengan Mei 2007, tercatat pembangkit jenis ini menghasilkan 42% dari
total kapasitas daya PLTP diseluruh dunia. Kapasitas daya bervariasi dari 3
sampai 90 MW, dengan rerata 25.3 MW.
Pada pembangkit jenis ini, uap mengalami proses flashing, yaitu proses
perubahan dari cair bertekanan (compressed liquid) menjadi fasa campuran uap
dan air. Ini terjadi akibat penurunan tekanan menjadi di bawah tekanan jenuh
cairan tersebut. Proses flash dapat terjadi di dalam reservoir, di dalam sumur
hingga kepala sumur, maupun di inlet cyclone separator akibat proses throttling
oleh katup.
Proses penguapan tersebut dapat dijelaskan melalui diagram T-s pada
gambar berikut.

Gambar 2.3 Diagram skematik siklus single-flash [5]

Diagram di bawah menggambarkan skema PLTP jenis single-flash. Fluida


yang didominasi fasa cair mengalir dari uap menuju cyclone separator (CS).
Selain memisahkan kotoran dari fluida kerja, separator juga berfungsi sebagai
flash tank atau flash chamber. Disini juga terjadi pemisahan antara fasa uap
dengan fasa cair sisa. Fasa cair tersebut kemudian diinjeksikan kembali ke dalam
tanah, sementara fasa uap diteruskan ke mist reducer. Di mist reducer terjadi
penghilangan air akibat kondensasi yang terbawa, sehingga hanya tersisa uap
kering. Uap tersebut yang akan memutar turbin. Uap dari turbin kemudian

10
dikondensasikan, untuk kemudian didinginkan di cooling tower sebelum
diinjeksikan kembali ke bumi.

Gambar 2.4 Diagram T-s untuk single-flash steam power plant [5]

2.2.2 Double-Flash Steam Power Plant


PLTP dengan double-flash merupakan perbaikan dari siklus single-flash.
PLTP yang beroperasi dengan sistem ini memiliki kapasitas yang bervariasi, dari
4.7 sampai 110 MW, dengan kapasitas rerata sebesar 32 MW. Kapasitas sistem ini
lebih besar dari sistem single-flash karena dapat menghasilkan daya 15-25% lebih
besar dengan konsumsi uap yang sama.
Pada siklus ini, proses flash terjadi dua kali; pada Cyclone separator (CS)
dan pada Flasher (F). Flash pertama terjadi di Cyclone Separator, dimana fasa
uap diteruskan ke mist reducer, kemudian menuju turbin. Sedangkan fasa cair
akan masuk ke flasher, dan mengalami proeses flash kedua. Disini akan
dihasilkan dua fasa juga; fasa uap yang menuju turbin dan fasa cair yang
dikembalikan ke tanah lewat Injection Well (IW).
Uap hasil flashing tahap kedua lebih rendah dibanding tahap pertama,
sehingga tidak memungkingkan bila keduanya memasuki turbin secara
bersamaan. Pada gambar di bawah, aliran uap tekanan rendah (dari flasher)
memasuki turbin pada tingkat lanjut sesuai dengan tekanan uap, sehingga terjadi
penggabungan yang baik dengan uap tekanan tinggi yang telah mengalami
ekspansi di turbin tingkat awal. Uap memasuki kondensor dan mengalami

11
kondensasi. Kondensat kemudian didinginkan di menara pendingin, kemudian
disuntikkan kembali ke tanah.
Desain yang berbeda dapat digunakan, dimana tiap aliran bermuara pada
turbin yang berbeda. Turbin tekanan tinggi (high pressure turbine) untuk uap dari
flashing tahap pertama, dan turbin tekanan rendah (low pressure turbine) untuk
uap dari flashing tahap kedua. Kondenser yang digunakan dapat berupa kondenser
tunggal yang menerima uap dari kedua turbin, ataupun dua kondenser, dimana
tiap kondenser menerima uap dari satu turbin saja.

Gambar 2.5 Diagram skematik siklus double-flash [5]

2.2.3 Dry-Steam Power Plant


Pada lokasi dengan kualitas uap yang bagus (uap kering), dapat digunakan
sistem PLTP dry-steam. Uap kering merupakan uap yang berada atau diluar batas
saturasi, sehingga tidak ada fasa cair dalam uap tersebut. Hal ini mengakibatkan
proses flashing menjadi tidak diperlukan, dan jumlah komponen pun berkurang.
Karenanya, siklus ini merupakan siklus paling sederhana dan murah.
Pada siklus ini, uap dari sumur langsung dilewatkan pada separator
sehingga partikulat yang terbawa dapat disaring. Uap kering kemudian masuk dan
memutar turbin, untuk kemudian dikondensasikan, didinginkan, dan diinjeksikan
kembali ke bumi.

12
Walaupun secara ekonomi sangat menguntungkan, siklus ini sulit
diterapkan. Hal ini disebabkan keberadaan sumber panas bumi dengan uap kering
sangat sedikit di dunia. Hanya terdapat dua reservoir besar : di Larderello Italia
dan di The Geysers, Amerika Serikat. Reservoir kecil dapat ditemukan di Jepang
(Matsukawa), Indonesia (Kamojang), New Zealand (Pohipi Road di Wairakei),
dan Amerika Serikat (Cove Fort, Utah) [5].

Gambar 2.6 Diagram skematik siklus uap kering [5]

Gambar 2.7 Diagram T-s siklus uap kering [5]

13
2.2.4 Binary Cycle Power Plant
Binary cycle merupakan siklus tertutup, sehingga secara termodinamik
paling mendekati siklus Rankine pada pembangkit uap konvensional.
Karakteristik pembangkit jenis ini adalah daya keluaran yang rendah, dimana
jumlah pembangkit ini mencapai 32% dari seluruh PLTP di dunia, namun daya
yang dihasilkan hanya 4% dari keseluruhan daya PLTP. Rata-rata daya hanya
sekitar 2.3 MW per unit, namun dengan perkembangan desain siklus dapat dicapai
daya sebesar 7-10 MW.
Pada PLTP, temperatur fluida dari sumur merupakan parameter penting.
Semakin tinggi akan semakin baik. Namun, sebagian besar potensi panas bumi
memiliki temperatur yang rendah. Untuk temperatur fluida sama atau kurang dari
150˚C, penggunaan pembangkit dengan flash-steam menjadi tidak efisien. Maka,
digunakanlah fluida organik dengan titik didih lebih rendah dari temperatur uap
sebagai fluida kerja. Fluida kerja yang biasa digunakan adalah ammonia, pentana,
butana, dan berbagai refriegeran lain.
Diagram di bawah menggambarkan skema pembangkit binary sederhana.
Uap dari sumur dilewatkan separator (SR) untuk menyaring partikulat. Uap
kemudian masuk ke Evaporator (E), dimana panas uap diambil dan dipakai untuk
menguapkan fluida kerja. Uap kemudian dilewatkan melalui Pre Heater (PH),
dimana panas sisa pada uap digunakan untuk menaikkan temperatur fluida kerja
sebelum memasuki evaporator. Pada tahap ini, uap sudah berubah menjadi cair,
dan diinjeksikan ke tanah. Sedangkan fluida kerja setelah diuapkan di evaporator
akan memasuki turbin, dan dicairkan kembali di kondensor. Fluida kerja
kemudian dipompa menuju pre heater.

14
Gambar 2.8 Diagram skematik siklus binary sederhana [5]

2.3 Sistem Ekstraksi Gas

2.3.1 Fungsi Sistem Ekstraksi Gas


Pada PLTU konvensional, fluida kerja berada dalam siklus tertutup,
sehingga kemurniannya dapat dijaga. Pada PLTP, fluida dari sumur tidak hanya
tersusun dari air (H2O), baik berfasa cair maupun gas. Terdapat juga partikulat
padat, dan gas-gas lain, seperti H2S dan CO2. Komponen gas tersebut disebut juga
dengan Non Condensable Gas (NCG). Partikulat padat dan H2O cair dibuang dari
sistem oleh separator. Sedangkan komponen gas terus terbawa hingga mencapai
kondensor. Gas-gas yang biasa menyusun NCG dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 NCG pada tiga sumur di Patuha [6]

15
Prinsip kerja turbin adalah mengubah entalpi spesifik fluida menjadi kerja.
Sehingga, untuk mendapatkan kerja yang lebih besar, terdapat 3 kemungkinan
perlakuan :
1. Memperbesar laju alir massa fluida kerja
2. Memperbesar entalpi fluida kerja di inlet (tergantung dari temperatur
dan tekanan fluida kerja)
3. Memperkecil entalpi fluida kerja di outlet (tergantung dari temperatur
dan tekanan fluida kerja)

Laju alir massa dan entalpi fluida kerja di inlet tidak dapat diperbesar
sesuai keinginan, karena dibatasi oleh produksi dan tingkat keadaan uap yang
keluar dari sumur. Yang dapat dikontrol adalah entalpi fluida kerja di outlet.
Dengan memperkecil tekanan di outlet, maka kerja turbin dapat ditingkatkan.
Salah satu cara menurunkan tekanan outlet adalah dengan menggunakan
kondensor. Uap di kondensor didinginkan hingga mencapai titik jenuh cair.
Penurunan temperatur uap mengakibatkan turunnya tekanan, sehingga didapat
efek thermodynamic vacuuming. Batasan dari metode ini adalah temperatur
lingkungan, dan jika batas tersebut hendak dilewati, maka perpindahan panas dari
uap tidak dapat terjadi secara spontan, melainkan membutuhkan suatu pompa
kalor yang akan menyerap daya.
Permasalahan terjadi ketika gas-gas dari sumur tersebut ikut masuk ke
dalam kondensor. Gambar 2.9 mengilustrasikan aliran uap, NCG, dan air
pendingin kondensor. Pada Gambar 2.9A, NCG akan masuk ke dalam kondensor,
namun tidak seperti uap air yang akan terkondensasi, gas-gas tersebut akan tetap
bertahan dalam fasa gas. Jika proses berlangsung terus menerus, akan terjadi
penumpukan gas di kondensor. Hingga pada suatu titik, keberadaan gas tersebut
akan mengakibatkan meningkatnya tekanan kondensor, suatu kondisi yang
berkebalikan dari tujuan penggunaan kondensor itu sendiri. Selain meningkatkan
tekanan, NCG juga menimbulkan selimut gas pada permukaan penukar panas
yang dapat mengurangi efektifitas perpindahan panas. NCG juga bersifat korosif,

16
sehingga dapat merusak peralatan [7]. Karenanya dibutuhkan suatu sistem
ekstraksi gas untuk mengeluarkan NCG dari sistem.

Gambar 2.9 Skema aliran uap dan NCG pada kondensor tanpa GRS

Gambar 2.10 Skema aliran uap dan NCG pada kondensor dengan GRS

17
2.3.2 Klasifikasi Sistem Ektraksi Gas
Berdasarkan metode ekstraksinya, sistem ekstraksi gas diklasifikasikan
menjadi tiga jenis. Pada prakteknya, ketiga jenis ini dapat digunakan sendiri
ataupun dikombinasikan dengan jenis lain. Berikut beberapa jenis sistem ekstraksi
gas yang umum digunakan:

1. Positive Displacement Machines


Beberapa contoh jenis ini misalnya reciprocating vacuum pump dan liquid
ring vacuum pump (LRVP). Jenis positive displacement machine yang paling
banyak dipakai adalah LRVP.

LRVP merupakan kompresor dimana terbentuk cincin dari cairan, yang


mentransmisikan energi yang diperlukan untuk proses kompresi gas dan uap [7].
Lebih diutamakan untuk uap bertekanan rendah, dan lebih sering digunakan dalam
konfigurasi dua tingkat, ataupun sebagai tingkat kedua dengan ejector sebagai
tingkat pertama.

Gambar 2.11 Liquid Ring Vacuum Pump [12]

18
Ketika LRVP bekerja, terbentuk cincin dari cairan di dinding bagian dalam
pompa. Cincin ini terjadi akibat gaya sentrifugal yang mendorong cairan menjauh
dari pusat putaran (poros impeller). Ketiadaan cairan pada bilah impeller
mengakibatkan kevakuman pada sisi isap.
Poros LRVP tidak sesumbu dengan badan pompa, sehingga terdapat
perbedaan volume pada bilah impeller. Gas yang masuk pertama kali mengisi
pada bagian dengan volume terbesar. Putaran impeller membawa gas menuju sisi
keluar. Semakin mendekati sisi keluar, jarak antara cincin cairan dan dasar
impeller mengecil, sehingga gas akan terkompresi oleh cairan dan dikeluarkan
lewat outlet port.
Cairan pada LRVP selain berfungsi sebagai pengkompres gas, juga
berfungsi sebagai perapat (sealant) yang mencegah gas bocor keluar. Selain itu
cairan juga dapat mendinginkan gas, sehingga efisiensi termal kompressor
meningkat. Cairan juga dapat menangkap partikulat yang terbawa oleh gas.

2. Roto-dynamic Machines
Beberapa contoh pada jenis ini yaitu blower radial, dan kompresor
sentrifugal. Jenis ini biasanya digunakan untuk aliran gas yang besar. Gambar
2.10 merupakan contoh dari kompresor sentrifugal.

Gambar 2.12 Kompresor sentrifugal dengan satu intercooler [12]

19
3. Steam Jet Ejector
Steam jet ejector merupakan pompa vakum yang bekerja dengan
memanfaatkan prinsip venturi. Pada positive displacement machine dan roto-
dynamic machine, digunakan energi listrik untuk menggerakkan mesin. Steam jet
ejector menggunakan uap bertekanan tinggi sebagai sumber energinya. Karenanya
steam jet ejector banyak digunakan pada PLTP. Steam jet ejector akan dibahas
lebih lanjut pada Sub Bab 2.4.
Penggunaan ejector memiliki beberapa keunggulan dibanding metode lain.
Ejector tidak memiliki bagian yang bergerak (moving parts), sehingga
keandalannya lebih baik, dan lebih sederhana. Sedikitnya komponen pada ejector
juga membuat perawatan ejector menjadi lebih mudah.

2.4 Steam Jet Ejektor

2.4.1 Deskripsi
Ejector merupakan alat yang menghasilkan aliran sekunder karena adanya
transfer momentum dan energi dari aliran utama berkecepatan tinggi [9].

Gambar 2.13 Skema steam jet ejector beserta komponen utama [8]

Komponen utama ejector seperti ditunjukkan pada Gambar 2.13 :

20
1. Primary inlet (motive inlet)
Merupakan tempat masuknya motive steam. Instrumentasi kontrol
seperti katup berada pada bagian ini. Primary inlet terhubung ke well
head, yang merupakan sumber motive steam.
2. Primary nozzle
Tempat terjadinya konversi dari energi tekanan menjadi energi kinetik.
Nozzle yang digunakan berjenis De Lavall, dimana terdapat bagian
konvergen, throat, dan divergen. Nozzle jenis ini menghasilkan aliran
supersonik.
3. Secondary inlet (suction inlet)
Gas yang dihisap akan masuk melalui secondary inlet. Bagian ini
terhubung ke kondensor.
4. Mixing chamber (supersonic diffusor)
Aliran primer dari nozzle dan aliran sekunder dari secondary inlet akan
bercampur di daerah ini. Disini terjadi transfer momentum yang
menyebabkan aliran sekunder terbawa oleh aliran primer menuju
constant area section. Mixing chamber juga sekaligus berfungsi
sebagai supersonic diffusor, karena bentuknya yang mengerucut
(divergen). Pada beberapa ejector, posisi keluaran nozzle lebih
mundur, sehingga mixing chamber berada lebih dekat dengan primary
inlet. Untuk kasus seperti ini, mixing chamber dan supersonic diffusor
merupakan komponen terpisah.
5. Constant area section (throat diffusor)
Tempat terjadinya perubahan dari aliran supersonik menjadi subsonik.
6. Subsonic diffusor
Terjadi penurunan tekanan pada bagian ini. Aliran sudah bersifat
subsonik, sehingga akan diperlambat ketika memasuki bagian
divergen.
7. Outlet
Keluaran dari ejector, dapat terhubung langsung dengan lingkungan,
ataupun sistem ekstraksi gas tahap selanjutnya.

21
2.4.2 Prinsip Kerja
Steam jet ejector memanfaatkan efek venturi, yaitu penurunan tekanan
ketika suatu fluida melewati pipa yang menyempit. Pada steam jet ejector, efek
venturi terjadi pada primary nozzle, dimana uap bertekanan tinggi dari primary
inlet atau disebut juga motive inlet dipercepat hingga mencapai kecepatan
supersonik. Akibat kenaikan kecepatan tersebut, tekanan uap menurun. Dengan
kata lain, terjadi konversi dari energi tekanan menjadi energi kinetik.
Aliran uap bertekanan rendah tersebut keluar dari nozzle dan masuk ke
mixing chamber, sehingga tekanan mixing chamber menjadi lebih rendah dari
tekanan secondary inlet (suction inlet). NCG dari kondensor kemudian masuk ke
mixing chamber melalui suction inlet. Aliran NCG (secondary flow) tersebut
terbawa oleh aliran motive steam menuju diffusor.
Pada PLTP, steam jet ejector yang biasa digunakan merupakan constant
pressure ejector, dimana diffusor terdiri dari bagian konvergen, throat, dan
divergen. Aliran dari mixing chamber yang berupa aliran supersonik pertama kali
akan melewati bagian konvergen diffusor. Compressible flow dengan bilangan
Mach melebihi 1 yang melewati volume yang mengerucut (konvergen) akan
mengalami perlambatan. Sehingga aliran dari mixing chamber yang melewati
bagian konvergen diffusor mengalami penurunan kecepatan dan kenaikan tekanan.
Ketika mencapai throat, nilai Mach aliran akan sama dengan 1, dan terjadi
penyeragaman aliran. Aliran kemudian melewati bagian divergen, dimana
kecepatan aliran mengalami penurunan lebih lanjut. Ketika mencapai outlet,
kecepatan menjadi minimum, dan tekanan menjadi lebih tinggi dibandingkan
tekanan sebelum memasuki diffusor. Fenomena ini dapat dilihat pada Gambar
2.14.

22
Gambar 2.14 Distribusi kecepatan dan tekanan pada steam jet ejector [10]

2.4.3 Latar Belakang Teoretik Ejector


Dalam beroperasi, terdapat beberapa parameter yang dijadikan sebagai
acuan dalam menilai prestasi kerja ejektor. Parameter terpenting adalah
entrainment ratio. Entrainment ratio merupakan perbandingan antara laju alir
massa hisap dengan laju alir massa motive. Entrainment ratio menunjukkan
seberapa banyak uap yang dibutuhkan agar ejektor mampu memenuhi kebutuhan
hisap. Karena uap motive berasal dari sumur dan berpotensi untuk membangkitkan
daya, maka entrainment ratio dapat dijadikan sebagai indikator efisiensi ejektor.
Parameter operasi lain adalah rasio kompresi. Rasio kompresi didapat dari
perbandingan antara tekanan outlet dan tekanan hisap. Parameter ini menunjukkan
kemampuan ejektor untuk mengkonversi energi kinetik menjadi energi tekanan.
Semakin besar rasio kompresi, maka ejektor memiliki kemampuan yang makin
baik dalam menaikkan tekanan fluida.
Selain parameter operasi, terdapat juga parameter geometri. Terdapat
beberapa geometri yang memiliki pengaruh cukup besar pada ejektor. Yang
pertama adalah throat diffusor. Keberadaan throat akan menghasilkan kondisi

23
yang lebih vakum. Throat harus cukup panjang agar profil kecepatan aliran
seragam dapat terbentuk. Selain panjang, diameter juga cukup berpengaruh
terhadap entrainment ratio ejektor. Diameter throat yang terlalu besar akan
mengakibatkan fluida mengalir kembali ke dalam ejektor. Jika terlalu kecil, maka
akan terjadi choking [10].
Dimensi berikutnya adalah nozzle. Nozzle berfungsi mengubah energi
tekanan fluida motive menjadi energi kinetik. Karenanya, prestasi nozzle terukur
dari seberapa tinggi kecepatan yang dapat dihasilkan. Terdapat dua faktor pada
suatu nozzle : desain dari nozzle tersebut, dan posisi nozzle relatif terhadap sisi
masuk diffusor throat. Desain nozzle tidak terlalu banyak berpengaruh,
sebagaimana dibuktikan oleh Engdahl dan Holton pada 1943. Dalam pengujian,
nozzle dengan bagian konvergen dan sudut divergen 10 derajat hanya 3 sampai 6
% lebih baik dibandingkan lubang kecil yang dibor pada tutup pipa [10].
Sementara posisi nozzle memiliki pengaruh yang lebih signifikan. Turbulensi pada
mixong chamber berkurang jika keluaran nozzle diletakkan tepat pada sisi masuk
diffusor throat. Namun entrainment ratio akan berkurang jika nozzle digeser
mendekati mixing chamber [10]. Untuk hasil terbaik, sebaiknya posisi nozzle
dapat disesuaikan, sehingga dapat dioptimasi sesuai dengan kebutuhan di
lapangan.
Bagian konvergen pada diffusor (convergence section) berfungsi untuk
memperlambat aliran yang berupa aliran kompresibel supersonik. Bagian divergen
pada diffusor (divergence section) berfungsi untuk memperlambat aliran subsonik
yang keluar dari diffusor throat. Menghilangkan bagian divergen dapat
menurunkan entrainment ratio hingga 20% [10].
Area ratio merupakan perbandingan antara diameter throat diffusor dan
diameter throat nozzle. Area ratio yang lebih besar membuat rasio kompresi
maksimum ejektor menjadi berkurang, walaupun nilai entrainment menjadi
bertambah [11].

24
2.5 Computational Fluid Dynamic
Pemodelan aliran Computational Fluid Dynamic (CFD) biasanya
dipergunakan untuk pekerjaan perancangan. Pada penggunaannya, waktu yang
diperlukan untuk merancang lebih singkat dibandingkan dengan perancangan
konvensional. Seiring kemajuan teknologi perangkat komputer, simulasi CFD
dapat melakukan proses pekerjaan perancangan untuk bentuk geometri dan
kondisi operasional yang kompleks, dengan hasil relatif presisi. Secara
keseluruhan, penggunaan CFD dapat menurunkan biaya operasional sebuah
pekerjaan perancangan.
Pada penggunaan perangkat lunak Fluent, untuk mendapatkan hasil
simulasi suatu kasus perangkat lunak tersebut melakukan dua tahapan proses.
Pertama proses diskretisasi, dan kedua penghitungan atau penyelesaian data
descret tahap pertama dengan menggunakan solver numerik.

Gambar 2.15 Skema Prosedur Pengerjaan Secara Computational

2.5.1 Autodesk Inventor


Sebelum dilakukan pemodelan pada Gambit dan Fluent, diperlukan
pemodelan steam jet ejector tiga dimensi menggunakan perangkat lunak Autodesk
Inventor. Dengan menggunakan Autodesk Inventor dapat mempermudah dan
mempercepat pembuatan desain gambar mesin. Perangkat lunak ini berfungsi
untuk mendesain pemodelan mekanik tiga dimensi yang solid dan dapat
menciptakan prototipe digital tiga dimensi yang digunakan dalam visualisasi,
desain, dan simulasi produk.
Dalam penelitian kali ini, Autodesk Inventor digunakan dalam pemodelan
ejector tiga dimensi. Ejektor ini dirancang terlebih dahulu sebelum melakukan
meshing atau pembutan bagian-bagian kecil dari model digital dengan
menggunakan perangkat lunak Gambit. Hasil rancangan ejektor ini diekspor ke

25
dalam bentuk file CAD (Camputer-Aided Design), kemudian diimpor ke dalam
Gambit untuk diproses lebih lanjut.

2.5.2 Gambit
Gambit merupakan singkatan dari Geometry and Mesh Building Intelligent
Toolkit Gambit merupakan perangkat lunak yang digunakan dalam proses
diskritisasi model. Model yang sudah dibuat di Autodesk Inventor dibagi menjadi
volume-volume kecil, yang disebut dengan mesh. Mesh tersebut memiliki
berbagai macam variasi bentuk. Untuk mesh volume, terdapat bentuk tetrahedron,
heksahedron, piramida, dan prisma. Jenis mesh yang digunakan disesuaikan
dengan bentuk benda yang akan didiskritisasi.

Selain bentuk, ukuran mesh juga berpengaruh terhadap hasil simulasi.


Semakin kecil mesh, hasil yang didapat akan semakin teliti, namun harus dibayar
dengan tingkat kerumitan dan waktu simulasi yang makin lama. Mesh berukuran
besar dapat digunakan, namun kualitas mesh yang dihasilkan harus diperhatikan
agar tidak terjadi skewed mesh.

Gambit juga dapat mendeskripsikan elemen model. Deskripsi tersebut


tersedia baik untuk elemen garis, elemen 2 dimensi, maupun elemen 3 dimensi.
Contoh deskripsi untuk elemen garis dan 2 dimensi : wall, pressure inlet, mass
flow inlet, simmetry, outflow, dan beberapa deskripsi lain. Sedangkan elemen 3
dimensi dapat dikategorikan sebagai fluid ataupun solid. Deskripsi elemen
tersebut diperlukan agar dapat dikenali pada saat dilakukan simulasi.

2.5.3 Fluent
Fluent merupakan perangkat lunak yang menggunakan metode
Computational Fluid Dynamics (CFD) yang mampu menyelesaikan persamaan-
persamaan diferensial partial untuk hukum-hukum konservasi massa, momentum,
dan energi. Hasil mesh yang telah dibuat oleh perangkat lunak Gambit
sebelumnya, diekspor ke dalam program Fluent untuk dilakukan simulasi.

26
Manfaat utama dari penggunaan simulasi CFD dengan Fluent adalah
kemampuannya untuk memprediksi aliran sehingga dapat mengurangi waktu riset
dalam melakukan suatu percobaan.

Kelebihan Fluent yaitu :


1. Memiliki beragam solver
2. Dapat menyajikan hasil analisis yang cepat
3. Mudah untuk digunakan
4. Dapat menyajikan visualisasi yang mudah dimengerti

Proses yang dilakukan di Fluent meliputi :


1. Impor pemodelan dari perangkat lunak pre-processer
2. Pemodelan fisik
3. Penentuan kondisi batas
4. Penentuan kondisi operasi
5. Penentuan sifat material
6. Perhitungan
7. Post-processing

Metode numerik adalah metode perhitungan aproksimasi persamaan


diferensial dengan persamaan aritmatika biasa atau persamaan diskrit yang mudah
diselesaikan dan menghasilkan solusi aproksimasi pada titik-titik diskrit.
Penyelesaian permasalahan dengan metode numerik dapat dilakukan dengan
berbagai metode, yaitu metode finite-difference, finite-element, dan finite-volume.

Metode numerik finite-volume merupakan metode yang paling sesuai


untuk menyelesaikan permasalahan aliran dan energi secara tiga dimensi. Metode
numerik elemen hingga digunakan untuk menyederhanakan proses dan aplikasi
yang rumit agar dapat diselesaikan. Metode tersebut akan membagi volume sistem
baik massa atur maupun volume atur, menjadi volume kecil yang disebut mesh
atau grid.

Gambar 2.9 menunjukkan ilustrasi penerapan metode numerik pada simulasi


computational fluid dynamics (CFD). Kecepatan aliran fluida masuk elemen

27
volume atur dinyatakan diwakili dengan V1 dan kecepatan keluar diwakili dengan
V2. Perubahan tingkat keadaan fluida akan dievaluasi pada sisi masuk dan keluar
elemen volume. Tingkat keadan fluida di dalam sebuah elemen volume akan
diinterpolasi berdasarkan keadaan di sisi masuk dan keluar.

y
V1 V2

x

Gambar 2.9 Ilustrasi aliran fluida pada sebuah elemen volume atur.

Pada setiap volume atur kecil diterapkan persamaan-persamaan kekekalan


massa dan momentum, kekekalan energi, dan persamaan konsekutif lainnya
sehingga secara keseluruhan akan diperoleh sekumpulan persamaan aljabar linier.
Persamaan linier tersebut kemudian diselesaikan dengan perhitungan secara
iterasi. Hasil perhitungan iterasi terakhir, φn 1 , diperoleh apabila hasil iterasi
menunjukkan nilai yang konvergen, yaitu ketika nilai residu, ς , mendekati nol:

ς  φn1  φn  0 (2.1)

Persamaan Kekekalan Massa (Kontinuitas)


Persamaan dasar yang berlaku untuk semua jenis simulasi pada Fluent
adalah persamaan kekekalan massa dan momentum [5]. Persamaan neraca massa
pada arah i dapat dinyatakan sebagai berikut:
𝜕𝜌 𝜕
+ 𝜕𝑥 𝜌𝑣𝑖 = 𝑆𝑚 (2.2)
𝜕𝑡 𝑖

Persamaan tersebut merupakan persamaan umum kontinuitas untuk aliran


inkompresibel maupun kompresibel. Sm adalah sumber pencetusan massa (mass
source) dari fasa diskrit ataupun reaksi spesies.

28
Persamaan Kekekalan Momentum
Persamaan kekekalan momentum pada arah i dinyatakan dengan persamaan
berikut:
𝜕 𝜕 𝜕𝑝 𝜕𝜏
𝜌. 𝑣𝑖 + 𝜕𝑥 𝜌. 𝑣𝑖 . 𝑣𝑗 = − 𝜕𝑥 + 𝜕𝑥 + 𝜌𝑔𝑖 + 𝐹𝑖 (2.3)
𝜕𝑡 𝑗 𝑖 𝑗

dengan p adalah tekanan statik, ρg adalah gaya akibat percepatan gravitasi,


dan F adalah gaya luar. 𝜏 adalah tensor tegangan geser, dinyatakan dengan
persamaan berikut:
𝜕𝑣𝑖 𝜕𝑣 2 𝜕𝑣
𝜏=µ + 𝜕𝑥𝑗 − 3 ∙ 𝜕𝑥 𝑘 ∙ 𝐼 (2.4)
𝜕𝑥 𝑗 𝑖 𝑘

dengan µ adalah viskositas molekular dan I adalah tensor satuan.

Persamaan Kekekalan Energi


Persamaan energi merupakan persamaan yang perlu digunakan pada
simulasi dengan kasus perpindahan panas [5]. Persamaan energi yang digunakan
adalah:
𝜕 𝜕 𝜕 𝜕𝑇
𝜌𝐸 + 𝜕𝑥 𝑣𝑖 𝜌𝐸 + 𝑝 = 𝜕𝑥 𝑘𝑒𝑓𝑓 − 𝑗 𝑕𝑗 𝐽𝑗 + 𝜏𝑒𝑓𝑓 ∙ 𝑣𝑗 + 𝑆𝑕
𝜕𝑡 𝑖 𝑖 𝜕𝑥 𝑖

(2.5)

Dimana keff adalah konduktivitas panas efektif, keff ≈ k+kf, dengan k dan kf
berturut-turut adalah konduktivitas rata-rata dan konduktivitas termal turbulen. E
mewakili energi dalam, energi potensial, dan energi kinetik. Jj adalah fluks difusi
spesies, dan p adalah tekanan. Tiga suku di ruas kiri persamaan mewakili
perpindahan panas konduksi, difusi spesies, dan disipasi viskos. Suku Sh adalah
sumber energi yang berasal dari reaksi, radiasi, perpindahan panas antara fasa
kontinu dengan fasa diskrit, dan fluks energi.

29
Bab 3
Pemodelan dan Simulasi Steam Jet Ejector

3.1 Pemodelan Steam Jet Ejector


Analisis prestasi kerja ejektor tentunya membutuhkan suatu ejektor
sebagai obyek analisa. Namun, data desain ejektor yang digunakan baik di PLTP
Kamojang Unit 3 maupun di PLTP Wayang Windu tidak tersedia. Akibatnya,
pemodelan ejektor yang digunakan di lapangan tidak dapat dilakukan. Sebagai
penggantinya, digunakan data ejektor dari sumber lain, yaitu dari literatur dan dari
desain ejektor nyata yang dioperasikan di PLTP lain.

3.1.1 Penentuan Dimensi Ejektor Menurut Metode Langhaar dan Metode


Watson
Penelitian mengenai desain optimum ejektor telah lama dilakukan. Namun
tiap penelitian tersebut memiliki kriteria penentuan dimensi yang berbeda.
Kriteria-kriteria tersebut terangkum dalam Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Daftar nilai koefisien pengali untuk dimensi utama dari beberapa
sumber [10]

30
Dalam Tabel 3.1, dari delapan kriteria desain ejektor hanya empat yang
merupakan panduan untuk steam jet ejector. Dan dari empat kriteria desain, hanya
dua yang memiliki parameter desain yang lengkap. Karenanya, kriteria desain
yang digunakan hanyalah metode Langhaar dan metode Watson.
Kriteria desain yang digunakan menunjukkan hubungan linear antara
diameter throat diffusor dan beberapa dimensi utama. Perbedaan antar sumber
yang tercantum dalam Tabel 3.1 terletak pada nilai koefisien pengali diameter
throat diffusor. Sehingga untuk diameter throat yang sama, dimensi-dimensi
utama akan memiliki besar yang berbeda antara satu sumber dengan sumber
lainnya. Visualisasi dari dimensi-dimensi utama tersebut tercantum dalam Gambar
3.1.

Gambar 3.1 Parameter geometri dalam ejektor [10]

3.1.2 Rancang Ulang Berdasarkan Ejektor Nyata


Selain menggunakan kriteria desain dari literatur, dalam penelitian ini juga
digunakan perancangan ulang dari steam ejektor yang telah digunakan. Dimensi-
dimensi utama dari suatu ejektor dibagi dengan besar diameter throat diffusor dari
ejektor tersebut. Dari proses ini, didapat nilai faktor pengali, seperti yang terdapat
dalam Tabel 3.2.
Gambar 3.2 dan Gambar 3.3 memperlihatkan penampang dari model
ejektor yang digunakan di PLTP Kamojang Unit 4.

31
Gambar 3.2 Gambar penampang dari model ejektor 1

Gambar 3.3 Gambar penampang dari model ejektor 2


Tabel 3.2 Besar dimensi-dimensi utama ejektor 1 dan ejektor 2
Diameter
(mm) Panjang dari (mm) Sudut dari (˚)
Nozzle Nozzle
Throat Divergence outlet to outlet to Convergence Divergence
discharge throat
Ejektor 1 149.7 746 1031 2882 1105 1.42 5.71
Ejektor 2 254 1207 1492 4550 1851 1.2 4.87

32
Tabel 3.2 mencantumkan semua dimensi utama ejektor. Dengan
menggunakan Persamaan 3.1, didapat koefisien pengali dari masing-masing
dimensi utama. Nilai koefisien untuk semua model terangkum dalam Tabel 3.3.

𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑎𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙
𝑘𝑜𝑒𝑓𝑖𝑠𝑖𝑒𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑙𝑖 = (3.1)
𝐷𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑡𝑕𝑟𝑜𝑎𝑡 𝑑𝑖𝑓𝑢𝑠𝑜𝑟

Tabel 3.3 Koefisien pengali parameter geometri untuk semua model


Koefisien pengali Sudut divergence(derajat)
Nozzle
Steam jet Nozzle outlet
Throat Divergence outlet to Convergence Divergence
ejector to discharge
throat
T R S X
Ejektor 1 2.937 4.059 11.346 4.350 1.42 5.71
Ejektor 2 4.752 5.874 17.913 7.287 1.2 4.87
Ejektor 3 3 4 10 3 24 10
Ejektor 4 2 6.7 12.3 3.6 28 8

3.1.3 Variasi Model


Dalam penelitian ini, salah satu parameter dimensi yang hendak diselidiki
adalah area ratio. Area ratio merupakan perbandingan antara diameter throat
nozzle dengan diameter throat diffusor, sehingga besar area ratio tergantung dari
kombinasi kedua diameter tersebut.

Untuk mengetahui pengaruh area ratio secara lengkap, tiap model diberi
enam variasi area ratio. Nilai area ratio yang digunakan sebesar 6, 8, 10, 25, 30,
dan 35. Model dengan area ratio sebesar 6, 8, dan 10 memiliki diameter throat
nozzle (Dn) yang sama, yaitu 50 mm. Sedangkan model dengan area ratio sebesar
25, 30, dan 35 memiliki diameter throat nozzle sebesar 20 mm. Perbedaan ini
terjadi karena diameter throat diffusor berbanding lurus dengan besar area ratio,
sehingga untuk model dengan area ratio besar akan memiliki diameter throat
diffusor (Dd) yang besar pula. Ukuran model yang sangat besar, dan dengan
perbandingan ukuran antar segmen yang berbeda jauh, akan menyulitkan tahapan

33
diskritisasi dan proses simulasi. Solusi untuk masalah ini adalah dengan
menggunakan diameter nozzle yang lebih kecil. Daftar model beserta besar area
ratio, diameter throat nozzle, dan diameter throat diffusor masing-masing
tercantum dalam Tabel 3.4. Sedangkan Tabel 3.5 menunjukkan dimensi dari
ejektor dengan berbagai nilai diameter throat diffusor.

Tabel 3.4 Daftar model

Diameter
Diameter throat
throat Area ratio
No Model diffusor, Dd
nozzle, Dn (Dd/Dn)
(mm)
(mm)

1 300 50 6
2 400 50 8
3 500 20 25
Ejector 1
4 500 50 10
5 600 20 30
6 700 20 35
7 300 50 6
8 400 50 8
9 500 20 25
Ejector 2
10 500 50 10
11 600 20 30
12 700 20 35
13 300 50 6
14 400 50 8
15 500 20 25
Ejector 3
16 500 50 10
17 600 20 30
18 700 20 35
19 300 50 6
20 400 50 8
21 500 20 25
Ejector 4
22 500 50 10
23 600 20 30
24 700 20 35

34
Tabel 3.5 Daftar dimensi ejektor untuk semua nilai diameter throat
Panjang Dari (mm) Sudut Difusor (˚)
Diameter Nozzle Nozzle
throat outlet to outlet
Throat Divergen Konvergen Divergen
diffusor discharg to
(mm) e throat
Ejektor 1 300 900 1200 3000 900 24 10
Ejektor 2 300 600 2010 3690 1080 28 8
Ejektor 3 300 1425 1762 5374 2186 1.2 4.87
Ejektor 4 300 881 1217 3403 1305 1.42 5.71

Ejektor 1 400 1200 1600 4000 1200 24 10


Ejektor 2 400 800 2680 4920 1440 28 8
Ejektor 3 400 1900 2349 7165 2914 1.2 4.87
Ejektor 4 400 1174 1623 4538 1740 1.42 5.71

Ejektor 1 500 1500 2000 5000 1500 24 10


Ejektor 2 500 1000 3350 6150 1800 28 8
Ejektor 3 500 2375 2937 8956 3643 1.2 4.87
Ejektor 4 500 1468 2029 5673 2175 1.42 5.71

Ejektor 1 600 1800 2400 6000 1800 24 10


Ejektor 2 600 1200 4020 7380 2160 28 8
Ejektor 3 600 2851 3524 10748 4372 1.2 4.87
Ejektor 4 600 1762 2435 6807 2610 1.42 5.71

Ejektor 1 700 2100 2800 7000 2100 24 10


Ejektor 2 700 1400 4690 8610 2520 28 8
Ejektor 3 700 3326 4111 12539 5101 1.2 4.87
Ejektor 4 700 2055 2841 7942 3045 1.42 5.71

3.1.4 Tingkat Keadaan di PLTP Kamojang Unit 3


Dari keseluruhan komponen yang terdapat PLTP Kamojang Unit 3, hanya
ejektor yang dibahas dalam penelitian ini. Sehingga tingkat keadaan yang
diperhatikan hanyalah tingkat keadaan yang berhubungan dengan operasi ejektor.

35
Tingkat keadaan yang berpengaruh adalah tingkat keadaan pada sisi
motive inlet, suction inlet, dan outlet. Pada motive inlet, terdapat data tekanan,
temperatur, laju alir massa H2O dan CO2. Pada suction inlet, terdapat data
tekanan, temperatur, laju alir massa H2O, CO2, dan udara. Sedangkan pada outlet
terdapat data tekanan dan laju alir massa tiap komponen.
Sistem ekstraksi gas di PLTP Kamojang Unit 3 menggunakan dua tingkat
ejektor, dengan satu interkondenser. Namun hanya ejektor tahap pertama yang
diperhatikan, karena ejektor ini yang merupakan sistem ektraksi gas utama.
Fungsi ejektor tahap dua lebih dititikberatkan untuk mengurangi uap air yang ikut
terbawa dan untuk meningkatkan tekanan akhir dari sistem ekstraksi gas. Data
tingkat keadaan untuk ejektor terangkum dalam Tabel 3.6.

Gambar 3.4 Diagram alir proses di PLTP Kamojang Unit 3

36
Tabel 3.6 Tingkat keadaan operasi ejektor di PLTP Kamojang Unit 3
Satuan Motive Inlet Suction inlet Outlet
Tekanan bara 6.5 0.1 0.41
Mpa 0.65 0.01 0.041
Temperatur C 161.9 29
K 434.9 302
mass flow H2O kg/h 5900 736 6636
kg/s 1.6388 0.204 1.843
mass flow CO2 kg/h 29 1885 1914
kg/s 0.008 0.523 0.531
mass flow udara kg/h 0 290 290
mass flow total kg/h 5930.646 2911.728 8842.375
kg/s 1.6474 0.808 2.456
fraksi massa H20 0.995 0.252 0.776
fraksi massa CO2 0.004 0.647 0.223
fraksi massa udara 0 0.099 0.032

Gambar 3.5 merupakan gambar bagian pangkal dari ejektor. Pada bagian
ini terdapat nozzle, suction inlet, dan mixing chamber. Gambar 3.6 menunjukkan
bagian tengah ejektor, dimana diffusor throat berada. Sedangkan pada Gambar 3.7
terdapat sebagian diffusor throat dan bagian divergen dari diffusor.

Gambar 3.5 Bagian pangkal ejektor di PLTP Kamojang Unit 3

37
Gambar 3.6 Bagian tengah ejektor di PLTP Kamojang Unit 3

Gambar 3.7 Bagian ujung ejektor di PLTP Kamojang Unit 3

38
3.1.5 Tingkat Keadaan di PLTP Wayang Windu
Dapat terlihat pada diagram alir proses (process flow diagram) bahwa
PLTP Wayang Windu menggunakan dua tahap ejektor. Sama seperti PLTP
Kamojang Unit 3, yang masuk dalam bahasan penelitian ini hanyalah ejektor
tahap pertama. Namun, laju alir massa motive yang diketahui merupakan jumlah
total dari kedua tahap tersebut. Tidak terdapat penjelasan mengenai jumlah massa
yang memasuki tiap tahap. Karenanya, diasumsikan uap yang masuk ke tiap tahap
memiliki laju alir massa yang sama. Dengan kata lain, laju alir massa ejektor
tahap pertama adalah setengah dari laju alir massa total. Pada Tabel 3.7 dapat
dilihat tingkat keadaan operasi ejektor di PLTP Wayang Windu.

Gambar 3.8 Diagram alir proses di PLTP Wayang Windu

39
Tabel 3.7 Tingkat keadaan operasi ejektor di PLTP Wayang Windu
Satuan Motive Inlet Suction inlet Outlet
Tekanan bara 9 0.108 0.25
Mpa 0.9 0.0108 0.025
Temperatur C 180.7 27.5
K 453.7 300.5
mass flow H2O kg/h 12654 2825 15479
kg/s 3.515 0.784 4.299
mass flow CO2 kg/h 258.5 14667 14925.5
kg/s 0.071 4.074 4.146
mass flow udara kg/h 0 379 379
mass flow total kg/h 12916.086 17875.858 30791.945
kg/s 3.587 4.965 8.553
fraksi massa H20 0.979 0.158 0.509
fraksi massa CO2 0.020 0.820 0.491
fraksi massa udara 0 0.021 0.012

3.1.6 Perhitungan Temperatur Outlet


Pada PFD (process flow diagram) kedua PLTP, temperatur keluaran
ejektor tidak tercantum. Namun, simulasi dengan CFD mensyaratkan adanya data
temperatur tersebut. Karenanya temperatur keluaran ejektor harus dihitung
terlebih dahulu.
Perhitungan temperatur outlet didasarkan pada dua konsep; kekekalan
energi dan kekekalan massa. Menurut konsep kekekalan energi, jumlah total
energi yang keluar dari suatu sistem sama dengan jumlah total energi yang masuk.
Sedangkan menurut konsep kekekalan massa, nilai massa yang masuk dan keluar
sistem haruslah sama. Neraca energi untuk suatu volume atur dapat dilihat pada
Persamaan 3.2.
2 2
𝑉𝑖𝑛 −𝑉𝑜𝑢𝑡
0 = 𝑄 − 𝑊 + 𝑚 𝑕𝑖𝑛 − 𝑕𝑜𝑢𝑡 + + 𝑔 𝑧𝑖𝑛 − 𝑧𝑜𝑢𝑡 (3.2)
2

Pada ejektor tidak terjadi kerja, sehingga nilai W dapat dianggap sama
dengan nol. Karena adanya isolasi pada ejektor, sistem dapat dianggap sebagai
sistem adiabatik. Sehingga nilai Q juga dapat diabaikan. Transfer energi dari dan

40
ke lingkungan hanya terjadi melalui laju alir massa yang masuk dan keluar
ejektor. Sehingga Persamaan 3.2 berubah menjadi berikut :
0 = 𝑚 𝑕𝑖𝑛 − 𝑕𝑜𝑢𝑡 (3.3)

Pada ejektor terdapat dua inlet dan tiga outlet. Pada inlet motive mengalir H2O
dan CO2. Pada suction inlet dan juga outlet mengalir H2O, CO2, dan udara.
Persamaan 3.4 menunjukkan kekekalan massa yang terjadi di ejektor.
𝑚𝑚𝑜𝑡𝑖𝑣𝑒 + 𝑚𝑠𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 = 𝑚𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 (3.4)
Laju alir massa yang terlihat di atas merupakan laju alir massa total, yang terdiri
dari penjumlahan laju alir massa tiap komponen (H2O, CO2, dan udara).
Dengan menggabungkan Persamaan 3.3 dan Persamaan 3.4, didapat Persamaan
3.5.

𝑚𝐻2𝑂𝑚𝑜𝑡𝑖𝑣𝑒 × 𝑕𝐻2𝑂𝑚𝑜𝑡𝑖𝑣𝑒 + 𝑚𝐶𝑂2𝑚𝑜𝑡𝑖𝑣𝑒 × 𝑕𝐶𝑂2𝑚𝑜𝑡𝑖𝑣𝑒 +


𝑚𝐻2𝑂𝑠𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑕𝐻2𝑂𝑠𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 + 𝑚𝐶𝑂2𝑠𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑕𝐶𝑂2𝑠𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 +
𝑚𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑠𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑕𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑠𝑢𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 = 𝑚𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 𝑕𝐻2𝑂𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 × 𝑥𝐻2𝑂𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 + 𝑕𝐶𝑂2𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 ×
𝑥𝐶𝑂2𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 + 𝑕𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 × 𝑥𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑜𝑢𝑡𝑙𝑒𝑡 (3.5)

Karena terdapat tiga jenis fluida pada sisi keluar, maka perhitungan
temperatur dilakukan dengan menebak nilai temperatur. Untuk mempermudah,
dibuat tabel nilai entalpi total untuk berbagai temperatur. Nilai entalpi dari ruas
kiri persamaan kemudian dicocokkan dengan nilai entalpi dari tabel, dan
temperatur yang sesuai dengan nilai tersebut merupakan temperatur outlet.
Didapati nilai entalpi total keluaran outlet kedua PLTP berada diantara
nilai entalpi ketika H2O berada pada fasa uap jenuh dan fasa air jenuh. Dengan
kata lain, uap yang keluar dari ejektor berada dalam fasa uap jenuh. Temperatur
keluaran ejektor juga merupakan temperatur saturasi uap air pada tekanan operasi.
Kualitas uap dapat ditentukan, namun karena tidak dibutuhkan maka perhitungan
kualitas uap tidak dilakukan.

41
Hasil akhir perhitungan menunjukkan temperatur outlet ejektor di PLTP
Kamojang Unit 3 sebesar 76,452 ˚C, dan temperatur outlet ejektor di PLTP
Wayang Windu sebesar 64,963 ˚C.

3.1.7 Pembuatan Model dan Proses Diskritisasi


Dalam proses CFD, tahapan ini merupakan bagian dari tahap pre-
processing. Tahapan ini berfungsi untuk menyediakan dan mempersiapkan model
yang akan diuji menggunakan CFD.

3.1.7.1 Pemodelan Menggunakan Autodesk Inventor


Autodesk Inventor merupakan software CAD, dimana model dari suatu
benda dapat dibuat dengan relatif mudah. Model dibuat berdasarkan ukuran yang
telah dihitung sebelumnya. Simulasi CFD mengolah fluida yang mengalir dalam
suatu benda, sehingga model yang dibuat merupakan volume ruang yang terdapat
dalam benda.
Proses CFD Fluent memiliki fitur symmetry, dimana benda-benda yang
memiliki bidang simetri dapat disimulasikan sebagiannya saja. Steam jet ejector
memiliki geometri ruang yang dibagi dua sama besar, sehingga dapat dikatakan
memiliki bidang simetri. Karenanya, model ejektor yang dibuat hanya setengah
bagian saja. Gambar 3.9, menunjukkan model yang sudah dibelah, dengan bidang
simetri terlihat sebagai bidang datar memanjang sepanjang ejektor.

42
Gambar 3.9 Model ejektor yang dibuat dengan Autodesk Inventor

Autodesk Inventor tidak mendukung untuk digunakan dalam proses


diskritisasi dan pendefinisian elemen. Untuk proses tersebut, digunakan software
Gambit. Karenanya, model yang sudah dibuat kemudian diekspor, agar dapat
dibaca oleh Gambit.

3.1.7.2 Proses Diskritisasi dengan Gambit


Proses diskritisasi berfungsi untuk membagi volume model menjadi
banyak volume-volume kecil, atau mesh. Mesh tersebutlah yang kemudian
dijadikan batasan dalam perhitungan yang dilakukan CFD.
Ukuran mesh merupakan salah satu parameter penting dalam proses
diskritisasi. Jika terlalu besar, kualitas mesh menjadi jelek, dan jika terlalu kecil
maka jumlah mesh akan menjadi terlalu banyak dan proses perhitungan menjadi
berat.
Ejektor memiliki beberapa volume dengan luas penampang yang berbeda.
Sebagai contoh, ada ejektor dengan bagian throat nozzle berdiameter 20 mm,
sementara throat diffusor memiliki diameter sebesar 700 mm. Dengan perbedaan
diameter sedemikian rupa, dibutuhkan mesh dengan ukuran yang berbeda pula.
Karenanya, sebelum didiskritisasi model dipisah menjadi beberapa volume
terlebih dahulu.

43
Dalam pemisahan volume tersebut, yang menjadi perhatian adalah
kesamaan geometri. Sebagai contoh, diffusor pada ejektor dibagi menjadi tiga
volume: throat, bagian divergen, dan bagian konvergen. Begitu pula pembagian
volume pada nozzle.

Gambar 3.10 Volume hasil pemisahan. Keterangan : 1. Bagian konvergen


diffusor; 2. Mixing chamber; 3. Bagian divergen diffusor; 4. Diffusor throat

Gambar 3.11 Volume hasil pemisahan pada nozzle. Keterangan : 1. Pre-nozzle; 2.


Bagian konvergen dari nozzle; 3. Nozzle throat; 4. Bagian konvergen nozzle

Setelah dipisah, tiap volume didiskritisasi dengan jenis dan ukuran mesh
yang beragam. Sebagai rule of thumb, rasio ukuran mesh antar volume yang
berhimpit harus lebih kecil dari dua. Syarat ini bertujuan agar didapat mesh
dengan kualitas yang baik. Elemen mesh yang digunakan adalah Hex/Wedge tipe

44
Cooper, dan khusus untuk volume yang rumit seperti mixing chamber, digunakan
jenis Tet/Hybrid tipe Tgrid.

3.1.7.3 Pendefinisian Kondisi Batas


Setelah didiskritisasi, model hanya berupa sekumpulan mesh. Tidak ada
definisi bagian-bagian di dalamnya, padahal di dalam model terdapat berbagai
kondisi batas, seperti dinding, inlet, dan outlet. Pada tahap ini, tiap elemen akan
didefinisikan sebagai suatu kondisi batas.
Untuk motive inlet dan suction inlet, digunakan pressure inlet. Ini karena
kedua inlet diasumsikan terhubung pada suatu volume dengan tekanan konstan,
juga karena hendak dicari laju alir massa sebagai fungsi dari tekanan dan geometri
kedua inlet. Untuk outlet digunakan pressure inlet, juga karena outlet dianggap
terhubung dengan suatu volume bertekanan konstan. Bidang dimana ejektor
terbagi menjadi dua didefinisikan sebagai symmetry. Bagian dinding ejektor
didefinisikan sebagai wall.
Akibat pembagian menjadi beberapa volume, terdapat bidang-bidang
batas antar volume. Bidang ini perlu didefinisikan sebagai interior. Jika tidak
didefinisikan sebagai interior, bidang batas tersebut akan ikut terdefinisi sebagai
dinding.
Selain mendefinisikan bidang, dimensi volume juga harus didefinisikan.
Karena tidak ada bagian padat pada model, maka seluruh volume didefinisikan
sebagai fluid.

3.1.8 Simulasi CFD


Pada tahapan ini semua perhitungan dilakukan dengan menggunakan
software CFD. Software yang digunakan adalah Ansys Fluent.

3.1.8.1 Metode Simulasi


Sebelum proses perhitungan dilakukan, perlu dilakukan setting mode
simulasi yang akan digunakan. Mode ini haruslah menggambarkan kondisi dan
asumsi dari pemodelan.
Untuk simulasi ini, mode yang digunakan adalah :

45
▫ Pressure based solver, 3D

▫ Viscous : k-epsilon, realizable

▫ Energy equation aktif

▫ Species transport, mixture-template, 3 species

▫ Material species : H2O, CO2, dan udara. Penyetelan density dari


campuran ketiganya (mixture) didefinisikan sebagai ideal gas,
sementara cp menggunakan mixing law.

Tabel 3.8 dan Tabel 3.9 menunjukkan kondisi batas dari tiap PLTP. Kedua
tabel merupakan rangkuman dari tingkat keadaan tiap PLTP dan mode simulasi
yang digunakan.

Tabel 3.8 Boundary condition untuk PLTP Kamojang Unit 3


Kondisi Batas Motive Inlet Suction inlet Outlet
Pressure Pressure
Jenis Pressure inlet inlet outlet
Tekanan 6.5 bara 0.1 bara 0.41 bara
Temperatur 161.9 :C 29 :C 76.452 :C
Fraksi H2O 0.9951 0.252 0.776
Fraksi CO2 0.0049 0.647 0.223
Fraksi Udara 0 0.101 0.001

Tabel 3.9 Boundary condition untuk PLTP Wayang Windu


Kondisi Batas Motive Inlet Suction inlet Outlet
Pressure Pressure
Jenis Pressure inlet inlet outlet
Tekanan 9 bara 0.108 bara 0.25 bara
Temperatur 180.7 :C 27.5 :C 64.963 :C
Fraksi H2O 0.98 0.158 0.6438
Fraksi CO2 0.02 0.82 0.3475
Fraksi Udara 0 0.022 0.0087

46
3.1.8.2 Validasi Metode Simulasi
Akibat tidak tersedianya data teknis mengenai steam ejector yang
digunakan di PLTP Kamojang Unit 3 dan PLTP Wayang Windu, validasi metode
tidak dapat dilakukan. Namun, metode yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu kepada metode yang digunakan oleh Putri Kusumawardhani [13]. Dalam
tugas akhir tersebut, validasi dilakukan menggunakan steam jet ejector yang
digunakan di PLTP Kamojang Unit 4, berdasarkan tingkat keadaan pada PLTP
tersebut. Validasi tersebut menghasilkan tingkat kesalahan sebesar 11 % [13],
sehingga metode simulasi yang digunakan dianggap cukup dapat mewakili proses
sesungguhnya.

3.1.8.3 Post-Processing
Data hasil simulasi perlu diolah lebih lanjut agar dapat diinterpretasikan.
Data-data yang diambil antara lain adalah laju alir massa di motive inlet, suction
inlet, dan outlet. Selain data angka, tampilan grafis dari aliran juga perlu
ditampilkan agar profil aliran dapat terlihat. Profil kontur digunakan baik untuk
menunjukkan distribusi kecepatan maupun tekanan di dalam ejektor.

Data laju alir massa kemudian digunakan untuk menghitung entrainment


ratio ejektor. Data laju alir massa beserta entrainment ratio ejektor di tiap PLTP
dapat dilihat pada Tabel 4.2.

47
Bab 4
Analisis Performa Steam jet ejector

4.1 Perbandingan Kondisi Operasi Antar PLTP


Kondisi operasi PLTP cukup berpengaruh terhadap performa ejektor.
Ejektor yang sama, jika digunakan dalam kondisi yang berbeda, akan memiliki
prestasi yang berbeda pula. Karenanya, dalam perbandingan prestasi suatu ejektor,
terlebih dahulu perlu dibahas mengenai kondisi kerja PLTP.
Parameter operasi yang perlu diperhatikan adalah entrainment ratio aktual,
rasio tekanan antara suction dan motive inlet, dan rasio kompresi. Nilai tiap
parameter operasi masing-masing PLTP tercantum dalam Tabel 4.1

Tabel 4.1 Perbandingan parameter operasi ejektor di tiap PLTP


Kamojang Wayang Windu
Entrainment ratio 0,491 1.380
Ratio of suction to motive pressure 0,015 0.012
Rasio kompresi 4,1 2.314

Diantara ketiga parameter, hanya dua yang memiliki perbedaan yang


signifikan, yaitu entrainment ratio dan rasio kompresi. Rasio tekanan suction dan
motive inlet antara kedua PLTP tidak banyak berbeda.
Perbedaan yang mencolok antar kedua PLTP terletak pada rasio kompresi
keduanya. Rasio kompresi menunjukkan seberapa tinggi tingkat kompresi yang
dibutuhkan. Tentu saja angka rasio kompresi yang tinggi lebih sulit dijangkau
oleh ejektor. Jika rasio ini terlalu tinggi, dapat terjadi aliran masuk dari outlet dan
motive inlet, dan keluar melalui suction inlet. Fenomena ini sering disebut sebagai
reversed flow.
Seperti tercantum dalam tabel, rasio kompresi Kamojang jauh lebih tinggi
dibanding Wayang Windu. Namun, entrainment ratio dari Wayang Windu lebih
tinggi dibanding Kamojang. Dapat disimpulkan bahwa kedua tempat memiliki
kebutuhan ejektor yang berbeda.

48
4.2 Prestasi Kerja Ejektor Berdasarkan Hasil Simulasi
Pada bagian ini dibahas mengenai prestasi kerja ejektor. Penilaian prestasi
kerja ejektor difokuskan pada kemampuan ejektor untuk bekerja sesuai dengan
kondisi operasi dan juga besar entrainment ratio ejektor tersebut.

4.2.1 PLTP Kamojang Unit 3


Dari hasil simulasi, didapat bahwa seluruh ejektor menunjukkan fenomena
reversed flow. Terdapat tiga model yang tidak mencapai kriteria konvergensi,
sehingga tidak dapat digunakan. Dapat dilihat dalam Tabel 4.2, nilai laju alir
massa di suction inlet dan di outlet menunjukkan nilai negatif. Nilai positif
menunjukkan aliran yang seharusnya, dimana untuk inlet berarti aliran masuk, dan
untuk outlet berarti aliran keluar. Nilai negatif pada suction inlet dan outlet
menunjukkan arah aliran yang terbalik di kedua tempat. Karena laju alir massa
pada suction inlet bernilai negatif, tentunya entrainment ratio juga bernilai
negatif. Ejektor dengan nilai entrainment ratio negatif menunjukkan aliran berasal
dari outlet dan keluar melalui suction inlet. Ini berarti NCG dan udara akan
kembali masuk ke dalam kondensor, dan mengakibatkan peningkatan tekanan
kondensor.
Dari pembahasan pada Sub Bab 4.1, diketahui bahwa rasio kompresi pada
kondisi operasi PLTP Kamojang Unit 3 cukup tinggi, yaitu sebesar 4,1. Ini
menunjukkan bahwa ejektor dituntut untuk mampu menaikkan tekanan secara
signifikan. Kondisi reversed flow ini menunjukkan bahwa model yang tersedia
tidak dapat memenuhi kebutuhan operasi PLTP Kamojang Unit 3.

49
Tabel 4.2 Data hasil simulasi model ejektor di PLTP Kamojang Unit 3
Laju Alir Laju Allir
Laju Alir Massa Massa
Dd Dn Area Massa Motive Suction Outlet Entrainment
(mm) (mm) ratio (kg/s) (kg/s) (kg/s) ratio
1 300 50 6 0,997 -10,827 -9,829 -10,85
2 400 50 8 0,987 -2,312 -1,324 -2,340
3 Ejector 500 50 10
4 1 500 20 25 0,151 -4,328 -1,324 -28,503
5 600 20 30 0,149 -4,799 -4,649 -32,010
6 700 20 35 0,149 -4,853 -4,703 -32,367
7 300 50 6 1,002 -1,261 -0,258 -1,257
8 400 50 8 0,987 -2,795 -1,808 -2,830
9 Ejector 500 50 10 0,997 -3,438 -1,808 -3,445
10 2 500 20 25 0,152 -4,371 -1,808 -28,754
11 600 20 30
12 700 20 35 0,155 -4,844 -4,688 -31,115
13 300 50 6 0,987 -1,116 -0,128 -1,130
14 400 50 8 0,987 -1,931 -0,944 -1,955
15 Ejector 500 50 10 0,997 -2,910 -1,912 -2,916
16 3 500 20 25 0,150 -4,621 -4,470 -30,713
17 600 20 30 0,150 -4,789 -4,639 -31,830
18 700 20 35 0,150 -4,570 -4,419 -30,374
19 300 50 6 0,955 -1,471 -0,516 -1,540
20 400 50 8
21 Ejector 500 50 10 0,987 -3,311 -2,324 -3,352
22 4 500 20 25 0,150 -4,568 -4,418 -30,356
23 600 20 30 0,150 -4,755 -4,604 -31,596
24 700 20 35 0,150 -4,826 -4.675 -32,070

4.2.1.1 Hubungan Antara Entrainment ratio dan Area ratio


Hasil simulasi di PLTP Kamojang Unit 3 menunjukkan entrainment ratio
negatif, dengan nilai antar model yang berbeda. Secara umum, tren nilai
entrainment ratio menunjukkan penurunan ketika area ratio meningkat.
Model yang disimulasikan terbagi atas dua grup; ejektor dengan area ratio
rendah (ejektor dengan area ratio 6, 8, 10) dan ejektor dengan area ratio tinggi
(25, 30, 35). Nilai entrainment ratio antar ejektor dalam satu grup memiliki

50
perbedaan yang kecil jika dibandingkan dengan nilai entrainment ratio antara
kedua grup.
Hasil yang didapat di PLTP Kamojang Unit 3 bertentangan dengan teori,
dimana kenaikan area ratio akan diikuti kenaikan nilai entrainment ratio. Diduga,
kondisi aliran yang terbalik mengakibatkan teori tersebut menjadi tidak berlaku.
Akibatnya, tren yang terlihat pada gambar 4.1, tidak dapat disimpulkan sebagai
tren yang sebenarnya.

2
0
-2
-4
-6
-8
-10
Entrainment Ratio

-12
-14
-16 Ejector 1
-18
Ejector 2
-20
-22 Ejector 3
-24 Ejector 4
-26
-28
-30
-32
-34
-36
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38
Area Ratio (Dd/Dn)

Gambar 4.1 Grafik entrainment ratio terhadap area ratio untuk PLTP Kamojang
Unit 3

4.2.2 PLTP Wayang Windu


Hasil simulasi PLTP Wayang Windu menunjukkan sebagian model
memiliki nilai entrainment ratio positif. Ejektor yang memiliki nilai entrainment
ratio positif merupakan ejektor yang tergabung dalam grup ejekor dengan area
ratio kecil (6, 8, 10). Namun model ejektor 1 dengan area ratio 10 tidak dapat

51
mencapai kriteria konvergensi. Ejektor lain masih memiliki nilai entrainment
ratio negatif.
Tabel 4.3 Data hasil simulasi model ejektor di PLTP Wayang Windu
Laju Alir Laju Alir Laju Allir
Massa Massa Massa
Dd Dn Area Motive Suction Outlet Entrainment
(mm) (mm) ratio (kg/s) (kg/s) (kg/s) ratio
1 300 50 6 1,358 1,276 2,635 0,939
2 400 50 8 1,345 2,310 3,655 1,717
3 Ejector 500 50 10
4 1 500 20 25 0,206 -1,691 -1,484 -8,180
5 600 20 30 0,204 -1,880 -1,676 -9,209
6 700 20 35 0,204 -2,029 -1,824 -9,937
7 300 50 6 1,345 1,179 2,524 0,876
8 400 50 8 1,345 2,142 3,487 1,593
9 Ejector 500 50 10 1,358 2,193 3,552 1,614
10 2 500 20 25 0,207 -1,772 -1,565 -8,562
11 600 20 30 0,207 -1,932 -1,725 -9,335
12 700 20 35 0,212 -2,017 -1,805 -9,516
13 300 50 6 1,345 0,960 2,306 0,714
14 400 50 8 1,345 1,721 3,066 1,279
15 Ejector 500 50 10 1,358 2,069 3,428 1,523
16 3 500 20 25 0,205 -1,742 -1,537 -8,502
17 600 20 30 0,205 -1,879 -1,674 -9,174
18 700 20 35 0,205 -1,882 -1,677 -9,187
19 300 50 6 1,301 0,921 2,222 0,708
20 400 50 8 1,345 1,576 2,921 1,172
21 Ejector 500 50 10 1,345 1,917 3,262 1,425
22 4 500 20 25
23 600 20 30 0,205 -1,900 -1,695 -9,270
24 700 20 35 0,205 -1,982 -1,778 -9,674

Nilai entrainment ratio yang bernilai positif tersebut memiliki nilai


terkecil 0,708, dan nilai terbesar 1,71. Nilai entrainment ratio sesungguhnya pada
PLTP Wayang Windu sebesar 1,38, dan berada dalam rentang nilai entrainment
ratio dari hasil simulasi. Model dengan nilai entrainment ratio paling dekat
dengan nilai entrainment ratio sesungguhnya adalah model ejektor 3-Dd400-Dn
50, dengan nilai entrainment ratio sebesar 1,425.

52
Laju alir massa tertinggi didapat dari model ejektor 1 Dd 400 Dn 50,
sebesar 2,31 kg/s. Sementara laju alir massa sebenarnya pada PLTP Wayang
Windu sebesar 4,96 kg/s. Terlihat bahwa laju alir massa model jauh di bawah
kebutuhan laju alir massa. Jika model ejektor tersebut hendak digunakan pada
PLTP Wayang Windu, maka dibutuhkan 3 buah ejektor, sehingga didapatkan
kemampuan hisap total sebesar 6,93 kg/s.

4.2.2.1 Hubungan Antara Entrainment ratio dan Area ratio


Terdapat dua macam hubungan antara entrainment ratio dan area ratio.
Hubungan yang pertama adalah dimana nilai entrainment ratio berkebalikan
dengan nilai area ratio. Ini terjadi pada model dengan nilai area ratio besar, yang
juga mengalami kondisi aliran terbalik. Sementara model ejektor dengan area
ratio kecil menunjukkan nilai entrainment ratio yang meningkat mengikuti
kenaikan area ratio. Hubungan berbagai model tersebut dapat dilihat pada grafik
4.2.
3
2
1
0
-1
Entrainment Ratio

-2
-3
Ejector 1
-4
-5 Ejector 2
-6 Ejector 3
-7
Ejector 4
-8
-9
-10
-11
5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37
Area Ratio (Dd/Dn)

Gambar 4.2 Grafik entrainment ratio terhadap area ratio untuk PLTP Wayang
Windu

53
Perbedaan antara grup ejektor dengan area ratio besar, dan grup ejektor
dengan area ratio kecil terletak pada perbedaan diameter throat nozzle. Ejektor
dengan area ratio besar memiliki diameter throat nozzle atau Dn sebesar 20 mm.
Sementara ejektor dengan area ratio kecil memiliki Dn sebesar 50 mm.
Nozzle dengan diameter throat (Dn) 50 mm menghasilkan rata-rata laju
alir massa motive sebesar 1.345 kg/s, jauh lebih besar dibandingkan dengan rata-
rata laju alir massa motive pada diameter throat 20 mm sebesar 0.206 kg/s. Laju
alir massa motive yang besar ini diperkirakan berpengaruh terhadap performa
ejektor.
Laju alir massa motive yang besar memiliki energi kinetik yang lebih
besar, sehingga aliran hisap dapat lebih terdorong oleh aliran motive. Ini yang
membuat ejektor dengan Dn 50 mm dapat beroperasi dengan baik pada PLTP
Wayang Windu. Grafik hubungan antara entrainment ratio terhadap area ratio
untuk model dengan diameter throat nozzle sebear 50 mm dapat dilihat pada
Gambar 4.3.
Kenaikan entrainment ratio yang terjadi pada tiap model bervariasi dari
0,021 hingga 0,778 satuan untuk peningkatan area ratio sebesar 2 satuan.
Peningkatan paling besar terjadi pada ejektor 3, dimana terjadi peningkatan
entrainment ratio sebesar 0,808 untuk perbedaan area ratio 4.
Dari Gambar 4.3, nilai entrainment ratio terbesar diproyeksikan akan
dicapai oleh ejektor 1 dengan diameter throat diffusor 500 mm dan diameter
throat nozzle 50 mm. Namun karena simulasi model tersebut tidak mencapai
konvergensi, maka proyeksi tersebut tidak dapat dibuktikan. Dengan berdasarkan
pada hasil simulasi, maka nilai entrainment ratio terbesar dicapai oleh ejektor 1
dengan diameter throat diffusor 400 mm dan diameter throat nozzle 50 mm.
Model tersebut memiliki entrainment ratio sebesar 1,614.

54
2
1.8
1.6
1.4
Entrainment Ratio

1.2
1 Ejector 1
0.8 Ejector 2
0.6 Ejector 3
0.4 Ejector 4
0.2
0
-0.2
5 6 7 8 9 10 11
Area Ratio (Dd/Dn)

Gambar 4.3 Grafik entrainment ratio terhadap area ratio ejektor dengan Dn 50
mm untuk PLTP Kamojang Unit 3

4.3 Analisis Pola Aliran Dalam Ejektor

4.3.1 Pola Aliran Untuk Ejektor dengan Entrainment ratio Positif


Pada bagian ini, akan dilihat pola aliran yang terjadi ketika ejektor bekerja
secara normal. Dalam pembahasan ini, pola aliran dari beberapa model akan
diperbandingkan dari segi distribusi tekanan dan kecepatan.
Untuk lebih memahami perubahan tekanan yang terjadi di sepanjang
ejektor, perlu diperhatikan juga pola kecepatan aliran. Gambar 4.4 sampai dengan
Gambar 4.9 menunjukkan pola bilangan Mach aliran di dalam empat model
ejektor yang memiliki nilai entrainment ratio positif. Pada gambar-gambar
tersebut aliran subsonik dan aliran supersonik dapat dibedakan dengan jelas.
Aliran yang ditunjukkan dalam spektrum warna merupakan aliran subsonik,
sedangkan aliran supersonik digambarkan dengan warna abu-abu gelap.

55
Gambar 4.4 Kontur bilangan Mach ejektor 1 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang
Windu

Gambar 4.5 Kontur bilangan Mach ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang


Windu

56
Gambar 4.6 Kontur bilangan Mach ejektor 3 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang
Windu

Gambar 4.7 Kontur bilangan Mach ejektor 4 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang


Windu
Keempat gambar menunjukkan perubahan dari aliran subsonik menjadi
supersonik pada aliran motive terjadi di nozzle throat. Perubahan tersebut dapat
dilihat lebih jelas pada Gambar 4.8. Pada gambar tersebut terlihat bahwa nozzle
throat hanya merupakan lokasi transisi subsonik menjadi supersonik. Sementara
pertambahan bilangan Mach terjadi pada sisi divergen dari nozzle. Sebagai
contoh, ejektor 1 dengan diameter throat diffusor 400 mm dan diameter throat
nozzle 50 mm, memiliki bilangan Mach maksimum sebesar 2,4, dan tercapai

57
sesaat setelah aliran keluar dari nozzle. Aliran hisap juga terlihat memiliki
kecepatan yang cukup tinggi, walaupun masih merupakan aliran subsonik.
Perubahan dari supersonik menjadi subsonik seharusnya terjadi di dalam
diffusor throat, namun transisi pada ejektor 1, ejektor 3, dan ejektor 4 terjadi
sesaat setelah keluar dari diffusor throat. Sedangkan pada ejektor 2, transisi terjadi
di bagian konvergen. Aliran tersebut berubah menjadi subsonik, dan pada bagian
akhir dari diffusor throat kecepatan aliran kembali naik hingga menjadi
supersonik. Namun pembentukan aliran supersonik tersebut tidak sempurna, dan
aliran kembali menjadi subsonik sesaat setelah memasuki bagian divergen dari
diffusor.

Gambar 4.8 Kontur bilangan Mach nozzle pada ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP
Wayang Windu
Gambar 4.9 sampai dengan Gambar 4.12 merupakan gambar kontur
tekanan untuk keempat model ejektor di PLTP Wayang Windu dengan dimensi
utama yang sama.

58
Gambar 4.9 Kontur tekanan ejektor 1 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang Windu

Gambar 4.10 Kontur tekanan ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP Wayang Windu

59
Gambar 4.11 Kontur tekanan ejektor 3 Dd 400 Dn 20 di PLTP Wayang Windu

Gambar 4.12 Kontur tekanan ejektor 4 Dd 400 Dn 20 di PLTP Wayang Windu

Dapat dilihat, distribusi tekanan pada keempat model menyerupai satu


sama lain. Tekanan tertinggi berada pada sisi motive inlet. Sesaat sebelum
memasuki nozzle terjadi choking, sehingga tekanan pada nozzle throat sedikit
lebih tinggi dibandingkan tekanan pada motive inlet. Setelah melewati nozzle,
tekanan telah jauh berkurang, walaupun masih lebih tinggi dibandingkan tekanan
sekitar. Tidak terjadi kondisi vakuum pada sisi keluaran nozzle, dan diperkirakan

60
aliran hisap lebih dipengaruhi oleh transfer momentum dari aliran motive ke aliran
hisap. Kontur tekanan pada nozzle dapat dilihat lebih jelas pada gambar 4.5.
Aliran motive terlihat mengalir dalam bentuk semburan dengan tekanan
yang relatif konstan. Aliran ini mencapai tekanan terendahnya sesaat setelah
melewati throat diffusor. Sementara aliran hisap atau aliran sekunder, terlihat
mengalami kenaikan tekanan ketika melewati diffusor, walaupun kenaikan
tersebut relatif kecil dan tidak terlihat jelas pada gambar kontur tekanan.

Gambar 4.13 Kontur tekanan nozzle pada ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP


Wayang Windu

4.3.2 Pola Aliran Untuk Ejektor dengan Entrainment ratio Negatif


Pada ejektor yang memiliki entrainment ratio negatif, fluida masuk dari
outlet dan motive inlet, dan keluar melalui suction inlet. Karenanya pola aliran
dalam ejektor cukup berbeda dibandingkan dengan ejektor yang memiliki nilai
entrainment ratio positif.
Hasil simulasi pada PLTP Kamojang Unit 3 menunjukkan nilai
entrainment ratio negatif untuk semua jenis ejektor. Pola aliran yang terjadi pada
ejektor tersebut tentulah berbeda dengan pola aliran pada ejektor yang
disimulasikan dengan kondisi operasi Wayang Windu. Karenanya, diperlukan
analisa perbandingan hasil simulasi antara kedua PLTP. Model ejektor yang

61
dianalisa adalah ejektor yang memiliki nilai entrainment ratio positif ketika
disimulasikan pada kondisi operasi PLTP Wayang Windu.
Pola bilangan Mach aliran di dalam ejektor pada beberapa model dapat
dilihat mulai dari Gambar 4.14 sampai Gambar 4.16. Dari gambar kontur bilangan
Mach, terlihat beberapa ciri khas pada ejektor dengan entrainment ratio negatif.
Perbedaan pertama terletak pada perbedaan panjang aliran jet (jet stream). Aliran
jet pada ejektor merupakan aliran berkecepatan tinggi yang memanjang dari
keluaran nozzle. Pada ejektor dengan entrainment ratio negatif, aliran jet tersebut
relatif lebih pendek. Ini terjadi karena adanya aliran balik dari outlet yang
menabrak aliran jet tersebut. Selain itu, diperkirakan panjang jet tersebut juga
dipengaruhi oleh laju alir massa yang masuk dari motive inlet.
Perbedaan kedua terletak pada gradasi kecepatan pada bagian divergen
dari diffusor. Pada bagian ini, terlihat kecepatan aliran dari outlet semakin dalam
seiring arah aliran. Ini terjadi karena pada bagian ini terjadi peralihan fungsi dari
diffusor menjadi nozzle. Peralihan ini terjadi akibat arah aliran yang berkebalikan
dari seharusnya.
Perbedaan ketiga terletak pada kecepatan aliran pada suction inlet yang
cukup tinggi. Diperkirakan ini terjadi akibat laju alir massa yang melewati suction
inlet jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laju alir massa pada suction inlet
ejektor dengan entrainment ratio positif.

62
Gambar 4.14 Kontur bilangan Mach ejektor 1 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang
Unit 3

Gambar 4.15 Kontur bilangan Mach ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang


Unit 3

63
Gambar 4.16 Kontur bilangan Mach ejektor 3 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang
Unit 3
Gambar 4.17 sampai dengan Gambar 4.19 menunjukkan kontur tekanan
dari model yang sama dengan analisa sebelumnya. Distribusi tekanan dalam
ejektor dengan entrainment ratio negatif terlihat tidak banyak berbeda jika
dibandingkan dengan ejektor yang memiliki nilai entrainment ratio positif.

Gambar 4.17 Kontur tekanan ejektor 1 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang Unit 3

64
Gambar 4.18 Kontur tekanan ejektor 2 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang Unit 3

Gambar 4.19 Kontur tekanan ejektor 3 Dd 400 Dn 50 di PLTP Kamojang Unit 3

65
Bab 5
Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari proses analisis hasil simulasi
ejektor, didapat kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, model ejektor tidak ada
yang sesuai untuk kondisi operasi PLTP Kamojang Unit 3 karena rasio
kompresi yang terlalu tinggi. Sebelas model mampu bekerja pada
kondisi operasi PLTP Wayang Windu, sementara 12 model mengalami
kondisi aliran terbalik. Kondisi aliran terbalik tersebut terjadi akibat
kurangnya laju massa alir motive.
2. Dari hasil simulasi dengan kondisi operasi PLTP Wayang Windu,
didapati bahwa model ejektor 1 dengan diameter throat diffusor 400
mm dan diameter throat nozzle 50 mm memiliki prestasi terbaik
dengan entrainment ratio sebesar 1,71 dan laju massa alir hisap total
sebesar 2,31 kg/s. Dibutuhkan 3 buah ejektor jenis tersebut untuk
memenuhi kebutuhan operasi dengan laju massa alir hisap sebesar 4,96
kg/s.
3. Nilai entrainment ratio akan meningkat jika area ratio ejektor
diperbesar. Untuk peningkatan area ratio sebesar 2 satuan, kenaikan
entrainment ratio bervariasi dari 0,021 hingga 0,778 satuan.
4. Pola aliran di dalam ejektor tersusun atas aliran jet yang keluar dari
nozzle, aliran dari suction inlet, dan aliran di diffusor. Terjadi transisi
aliran menjadi subsonik di nozzle throat, dan transisi dari supersonik
menjadi subsonik berlangsung di diffusor. Ejektor dengan entrainment
ratio positif memiliki aliran jet yang lebih panjang, sementara ejektor
dengan entrainment ratio negatif memiliki laju aliran di suction inlet
yang lebih tinggi, serta gradasi perubahan kecepatan yang lebih jelas
terlihat pada bagian divergen diffusor. Kecepatan aliran maksimum

66
sebesar 2,4 Mach yang terjadi pada ejektor 1 dengan diameter throat
diffusor 400 mm dan diameter throat nozzle 50 mm.

5.2 Saran
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai cara kerja steam jet ejector, perlu
dilakukan beberapa hal berikut :
1. Perlu penelitian lebih lanjut mengenai rasio kompresi pada ejektor dan
faktor-faktor geometri yang mempengaruhinya.
2. Parameter goemetri seperti panjang throat diffusor, dan panjang serta
sudut dari bagian konvergen dan divergen diffusor memerlukan penelitian
lebih jauh lagi.
3. Perlu dilakukan simulasi ejektor yang digunakan di Kamojang dengan
kondisi kerja faktual. Ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik ejektor
yang dapat memenuhi kebutuhan di PLTP Kamojang Unit 3 dan
mengetahui bagaimana proses yang berlangsung di dalamnya.

67
DAFTAR PUSTAKA
1. Ruggero Bertani, World Geothermal Generation in 2007, Geo-Heat
Centre, published in Quarterly Bulletin, Oregon Institute of Technology,
Oregeon, September 2007.
2. Badan Geologi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Potensi dan
Pengembangan Sumber Daya Panas Bumi Indonesia, Kementrian Energi
dan Sumber Daya Mineral, 2010.
3. Mary H. Dickson, Mario Fanelli, What is Geothermal, Istituto di
Goscienze e Georisorse, CNR, Pisa, Italy, February 2004.
4. Alison Holm, Geothermal Energy : International Market Update,
Geothermal Energy Association, May 2010.
5. Ronald DiPippo, Geothermal Plants: Principles, Applications, Case
Studies, and Enviromental Impact, Darmouth, Massachusetts, 2007.
6. R.B. Swandaru, Thermodynamic Anaysis of Preliminary Design of Power
Plant Patuha Unit I, Jawa Barat, Indonesia, Reykjavik Icland: THE
UNITED UNIVERSITY NATIONS,2006.
7. Gulden Gokcen, Geothermal Power Plants and Gas Removal System,
Presentation, GEOCEN, Izmir Institute of Technology.
8. Dian Safarudin, Simulasi Variasi Tekanan Inlet Nozzle dan Posisi Nozzle
di Dalam Ejector Terhadap Tingkat Kevacuum-an Steam Ejector di PLTP
Kamojang IV, Tesis Magister, Teknik Mesin FTI ITS, Surabaya, 2011.
9. Chaqing Liao, Gas Ejector Modeling for Design and Analysis, Disertasi
Ph.D., Texas A&M University, 2008.
10. Somsak Watanawanavet, Optimization of a High-Efficiency Jet Ejector by
Computational Fluid Dynamics Software, Thesis, Texas A&M University,
2005.
11. R.H. Perry, D.W. Green, Perry’s Chemical Engineer’s Handbook, The
McGraw-Hill Companies, 1999.
12. DH. Freeston, Geothermal Technology: Teaching The Teacher Course
Stage, Bandung, 1996.

68
13. Putri Kusumawardhani, Analisis dan Optimasi Sistem Ekstraksi Gas Studi
Kasus pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Tugas Akhir, Teknik
Mesin, FTMD, ITB, 2012

69

Anda mungkin juga menyukai