PESTA DEMOKRASI
KELOMPOK 6
Piki Rohmatuloh 1223050136
Navaratu Annisa Dewi 1223050129
Muhamad Rafli Alamsyah 1223050106
Nadya Oktaviani Rahma 1223050120
Mohammad Revaldo Arkeis 1223050116
Abstract: The purpose of this study is to analyze why political imagery is needed and
how the influence of political imagery in society is approaching the democratic party.
This research method uses qualitative research methods that analyze and interpret
the meaning of a phenomenon by comparing and providing credible information that
can be obtained and also taking data from published journals as one of the data
collection techniques. This study concludes or provides an illustration that there are
still many things that cannot be proven in reality in politics in Indonesia.
Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis mengapa politik pencitraan
dibutuhkan dan bagaimana pengaruh dari pencitraan politik tersebut di lingkungan
masyarakat menjelang pesta demokrasi. Metode penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif penelitian yang menganalisis dan menafsirkan makna suatu
fenomena dengan membandingkan dan memberikan informasi yang kredibel yang
dapat di peroleh dan juga mengambil data dari jurnal yang sudah publish sebagai
salah satu teknik pengumpulan datanya. Penelitian ini menyimpulkan atau
memberikan gambaran bahwa politik di Indonesia masih banyak hal-hal yang belum
bisa dibuktikan secara nyata.
Pendahuluan
Politik merupakan organisasi yang sudah ada sejak Indonesia merdeka, politik
bebas aktif merupakan gagasan yang didirikan oleh Muhammad Hatta dalam pidato
yang berjudul “mendayung diantara dua karang” pada 2 september 1948. Politik pada
saat itu di terima oleh masyarakat. karena partai politik pada saat itu yang
menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah, masyarakat menerima
dengan baik politik tersebut, partai politik yang pertama yang melaksanakan pemilu
pada tahun 1955 yang dilakukan dua kali, yang pertama tanggal 29 september 1955
untuk memilih anggota DPR, yang ke dua tanggal 15 desember 1955 untuk memilih
anggota-anggota Dewan Konstituante. Itulah politik pencitraan yang terjadi pertama
di Indonesia yang paling demokratis. Masyarakat pada saat itu menyambut dengan
baik kedatangan politik.1
Politik pencitraan merupakan kegiatan yang dilakukan partai politik untuk
mendapatkan suara yang paling banyak di masa ia menjabat sebagai pemimpim
bangsa, pencitraan politik yang terjadi pada masa pemilihan presiden tahun 2014
banyak sekali pencitraan yang dilakukan oleh para calon kandidat presiden dan wakil
presiden. Seperti yang kita ketahui paslon urut satu melakukan pencitraan politik
yang begitu menonjol contohnya paslon urut satu membuat beberapa kartu untuk
kesejahteraan masyarakat sepeerti kartu keluarga sehat, kartu Indonesia sehat, dan
kartu program harapan. Paslon urut satu juga memberikan janji kepada masyarakat
pada pilpres 2014 tetapi janji tersebut tidak dilakukan atau terbengkalai. Adapun
janji-janji paslon urut 1 yaitu akan membentuk anggota persatuan guru republic
Indonesia, sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, lalu paslon urut satu juga
berjanji akan menyelesaikan permasalahan guru honerer yang gajinya dibawah 300
ribu per bulan. Dan itulah contoh dari politik pencitraan yang dilakukan oleh paslon
nomor urut satu pada tahun 2014. Mereka memberikan sesuatu kepada rakyat
berupa materil, tenaga, uang, bahkan fasilitas yang bermanfaat untuk rakyat, rakyat
1
Santoso Minarno, ‘Strategi Pni Dalam Memenangkan Pemilihan Umum 1955 Di Jawa Tengah’, Journal
of Indonesian History, 1.1 (2012), 10–17.
dalam hal menerima suatu bantuan dari partai politik yang melalui tim sukses harus
melihat terlebih dahulu visi dan misi dari politik tersebut, agar kita tidak salah dalam
mengambil keputusan untuk masa depan. Banyak masyarakat yang tidak terjerumus
ke dalam kenikmatan yang di berikan oleh parpol untuk hal yang sementara dan
bahkan tidak ada hasilnya, bahkan pembangunan infrastuktur tidak selesai sehingga
merugikan masyarakat yang tinggal di sekitar pembangunan tersebut.
Media yang dilakukan oleh partai politik biasanya menggunakan beberapa
media seperti, media sosial, media televisi, Koran, baliho, itu merupakan suatu
kegiatan pencitraan yang biasanya dilakukan oleh partai politik untuk menambah
kepercayaan pada saat dilakukannya penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu).
Media juga sering dipakai sebagai penelitian yang dilakukan oleh partai politik untuk
menargetkan kampanye yang akan di lakukan jelang pemilihan umum (pemilu), agar
partai politik mengetahui keluh kesah masyarakat sekaligus memberi harapan untuk
permasalahan yang sadang di hadapi oleh masyarakat, sehingga masyarakat terambil
hatinya untuk memilih partai politik tersebut. namun pada zaman sekarang
masyarakat kurang percaya kepada partai politik, dikarenakan banyaknya janji manis
yang dijanjikan tetapi janji tersebut tidak dilakukan, bahkan menjadi dampak
negative pada masyarakat setelah memilih calon pemimpin yang berada di partai
politik tersebut.2
Kampanye merupakan sebuah sarana untuk menyampaikan pesan pesan
kepada masyarakat sekaligus untuk mempengaruhi dan mempersuasi khalayak luas.
Kegiatan kampanye secara umum, merupakan kegiatan persuasif (komunikasi
persuasif) yang bertujuan untuk mempengaruhi pola pikir, mendorong masyarakat
untuk menerima, dan melakukan sesuatu atas dasar sukarela dan tanpa paksaan.
Bahkan kampanye politik tersebut diharapkan mampu mengajak masyarakat untuk
memilih calon kandidat yang telah berkampanye. Jadi dalam konteks komunikasi
politik, dimaksudkan untuk memobilitasi dukungan terhadap suatu hal dan seorang
kandidat.3
Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif penelitian yang
menganalisis dan menafsirkan makna suatu fenomena dengan membandingkan dan
memberikan informasi yang kredibel yang dapat di peroleh dan juga mengambil data
2
Suyatno Kahar, ‘PENCITRAAN POLITIK PARTAI NASDEM MELALUI IKLAN DI TELEVISI Political Image of
Nasdem Party Through Advertising On Television’, Suyatno Kahar JURNAL HUMANITY, 2014, 72–84
<http://ejournal.umm.ac.id/index.php/humanity/article/view/2395>.
3
Fatmawati, ‘STRATEGI KOMUNIKASI PADA KAMPANYE POLITIK (Studi Fenomenologi Pengalaman
Strategi Komunikasi KarSa Dan Tim Sukses Pada Kampanye Politik Dalam Memenangkan Pilkada Jawa
Timur)’, Bunga Rampai Komunikasi Indonesia, 2008, 163–75.
dari jurnal yang sudah publish. Selanjutnya data yang dihimpuun disusun untuk
disimpulkan secara objektif.4 penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi
tentang pengaruh politik pencitraan terhadap masyarakat menjelang pesta
demokrasi.
6
Alif Gismunandar, ‘IMAGOLOGI POLITIK : Analisis Komparasi Kampanye Konvensional Dan Kampanye
Digital Terhadap Pencitraan Politikpada Pemilihan Walikota Makassar Tahun 2020 POLITICAL’, Kaos GL
Dergisi, 8.75 (2020), 147–54 <https://doi.org/10.1016/j.jnc.2020.125798%0Ahttps://doi.org/10.1016/
j.smr.2020.02.002%0Ahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/810049%0Ahttp://doi.wiley.com/
Dalam konteks proses pencitraan, komunikasi politik dapat dianggap sebagai
upaya untuk menciptakan citra yang paling dapat diterima oleh masyarakat sebagai
pemilih. Untuk mencapai itu, karena tidak adanya bekal kredibilitas, kapabilitas, dan
integritas yang dimiliki, maka yang ditawarkan oleh para pengagum politik pencitraan
adalah dengan memperdagangkan dirinya. Mereka bersorek ria untuk mempercantik
diri dengan memperindah kemasan-kemasan luar dari dagangnya, tetapi melupakan
isi utama di dalam kemasan-kemasan tersebut.”7
Politik pencitraan yang ada di daerah cianjur selatan, mulai dari kecamatan
tanggeng, kecamatan cibinong, kecamatan sindangbarang, dan kecamatan agrabinta
itu merupakan daerah cianjur selatan, misalnya di kecamatan Agrabinta masih ada
desa yang jalannya berbatu, ekonominya kurang dan pasilitas desanya juga tidak
memadai, disitu banyak politik pencitraan yang terjadi dan masyarakat juga
menyambut dengan baik tanpa memperhitungkan akibatnya. Mulai dari
pembangunan jalan, pembangunan irigasi, tidak hanya berupa materil yang bisa kita
rasakan manfaatnya tetapi bantuan berupa sembako yang tidak terhitung jumlahnya,
di era pemerintahan yang sekarang ini bisa kita liat dan rasakan banyak politik
pencitraan yang terjadi dan itu sudah tidak asing lagi, karena sekarang sudah mulai
mendekati pemilu pada tahun 2024 yang akan datang. Kita bisa liat di media sosial,
mulai dari instagram, fecebook, dan media lainnya, banyak pilitik pencitraan yang
terjadi.8
Terjadinya politik pencitraan bukan hanya mereka memberikan berupa materil
kepada masyarakat, tetapi dengan sikap yang baik, lemah lembut itu mereka jadikan
pencitraan dari hal kecil dan kita sebagai masyarakat harus bisa merasakan hal
tersebut. Banyak orang-orang yang tidak merasakan hal tersebut dan mereka terbawa
arus oleh prilaku yang bermuka dua dengan menginginkan suatu jabatan atau
ketenaran, harusnya kita sebagai masyarakat bisa menilai dan mempertimbangkan
hal yang akan terjadi jika kita tidak melihat lebih jelas ari dan tujuan nya tersebut.
Ada suatu contoh dari wakil rakyat, beliau wakil rakyat yang “sangat
menerima kritikikan” dari anggotanya sehingga memiute microphonenya, sama-sama
perempuan yang memiliki prinsip seperti presidn kita yang ke 5. contoh tersebut
sangat mencolok bagi orang yang paham akan perilaku tersebu, wakil rakyat tersebut
melakukan pencitraan dengan bergabung membantu rakyat dengan menanam padi di
10.1002/anie.197505391%0Ahttp://www.sciencedirect.com/science/article/pii/
B9780857090409500205%0Ahttp:>.
7
Bungin BURHAN, KOMUNIKASI POLITIK PENCITRAAN, 1st edn (KOTA TANGERANG SELATAN: Kencana,
prenada media Group, 2018) <http://opac.fidkom.uinjkt.ac.id//index.php?p=show_detail&id=9128>.
8
Syarif and others, ‘Implikasi Demokrasi Semu Dan Politik Pencitraan Berbingkai Islam Terhadap Good
Governance Mustiqowati Ummul Fitriyyah , Atika Windi Astuti , Muhammad Saiful Umam , Risma Lutfia
Wahyu Ningsih Pendahuluan ( Introduction ) Pada Beberapa Negara Berkembang , D’, Pemikiran Politik
Islam, 4.1 (2021), 1.
sawah, beliau sangat baik dan sopan pada rakyatnya untuk mendapatkan hati
rakyatnya tersebut, wakil rakyat tersebut juga tidak hanya membantu rakyat sebagai
petani saja, beliau juga memberikan berupa pakaian kepada rakyat nya tetapi cara
yang beliau gunakan tidak mencerminkan sikap kesopanan yang ada dalam pancasila
dan undang-undang dasar 1945.9
Dalam pemilihan umum di Cianjur, para elit politik biasanya bersaing untuk
mendapatkan suara terbanyak dari komunitasnya, dengan tujuan untuk
memenangkan kursi parlemen baik di pemerintah daerah maupun pusat. Untuk
membangun citra yang baik, elit politik tidak lepas dari peran media massa dalam
komunikasi politik seperti surat kabar, majalah dan televisi.Seperti halnya kampanye
dan pemilihan negara bagian sebelumnya, komunikasi politik yang terjadi biasanya
diwarnai dengan berbagai cara. Tak lupa pula senyuman ramah dan sederet gelar
agar citra yang ditampilkan kepada publik tampil profesional dan terpilih sebagai
pemimpin dalam bentuk pemasangan signage dan banner yang mengekspresikan dan
menggambarkan diri dalam jargon tertinggi. Sebagai contoh politik pencitraan yaitu
adanya kampanye baliho yang diadakan oleh partai dengan memberikan sesuatu
yang membuat masyarakat terlena dan tidak memikirkan dua kali untuk memilih
partai tersebut karena sudah diberi uang, sembako, pakaian, dan teracuni oleh
anggaran yang dijanjikan partai tersebut. Tidak hanya itu, iklan politik di baliho dan
iklan politik dalam bentuk lain memenuhi mata di sepanjang jalan yang kita lewati.
Iklan-iklan tersebut tentunya mengganggu pemandangan. Ada beberapa iklan politik
yang letaknya serampangan, mengganggu estetika, bahkan ada yang menutupi
rambu-rambu penting di jalan. Sekilas jika kita amati iklan politik tersebut, seperti
tidak ada bedanya dengan iklan produk yang menawarkan barang atau jasa,
mendorong konsumen membeli produk tersebut.Iklan politik partai ini merupakan
upaya pencitraan dalam rangka mendongkrat kekuatan politik partainya dengan cara
memperlihatkan/mengkampanyekan visi Restorasi yang dimilikinya. partai tersebut
juga menjanjikan sesuatu jika terpilih,tetapi setelah terpilih mereka menjadi lupa
akan janjinya, pencitraan inilah yang membuat mereka terpilih,dan akhirnya warga
10
pun menyesal.
Pencitraan yang terjadi di kota garut sangatlah banyak, tetapi hanya sedikit
yang terangkat oleh media, contoh nya seperti partai nasdem yang mengelar
pendidikan politik untuk ajang memperkuat sekaligus menjaga solidaritas kader
partai nasdem kab.garut jelang pemilu legislatif dan pemilukada pada 2024. Saan
mustofa berpesan, agar seluruh elemen pengurus diberbagai tingkatan bisa
9
Rembulan Randu Dahlia and Panji Anugrah Permana, ‘Oligarki Media Dalam Pusaran Pemilihan
Presiden Dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2019 Menuju 2024’, POLITICOS: Jurnal Politik Dan
Pemerintahan, 2.1 (2022), 65–81 <https://doi.org/10.22225/politicos.2.1.2022.65-81>.
10
Nobertus Ribut Santoso, ‘JURNAL POLITIK PENCITRAAN YANG CERDAS’, JURNAL POLITIK, 1.1 (2013), 7.
kerjakeras dan merebut hati masyarakat Garut agar tertarik untuk memilih partai
Nasdem dan pencitraan selanjutnya yaitu tentang pak jokowi yang memangkas
rambutnya di bagedit kab.garut.dan disindir oleh fadli zon(gerindra),bahwa iang
mengklaim hampir semua pemangkas rambut di garut justru mendukung pak
prabowo.ia pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan pak jokowi saat ada
di bagendit kab garut.11
Strategi pencitraan yang diatur sedemikian rupa agar citra politik di masing-
masing partai mempunyai tujuan yang baik, dan di sukai oleh masyarakat di daerah
pencitraan tersebut. Di balik bagusnya penampilan dan manisnya janji-janji politik
yang disampaikan seorang kandidat dalam kampanye dan iklan-iklan politiknya, ada
bahaya besar yang mengintai rakyat Indonesia. Politik pencitraan ternyata tidak
hanya sebatas untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. agar seorang kandidat
bisa terpilih dalam pemilu nanti, tapi ada bahaya terselubung yang harus segera
disadari oleh masyarakat saat ini.yaitu kesejahteran yang dijanjikantidak akan
pernah tercapai karena politik pencitraan hanya menawarkan janji janji politik yang
manis tetapi minus dalam pelaksanaanya. dengan terjadinya politik pencitraan
masyarakat akan memilih pemimpin yang menerapkan sistem penguasa akan
menjalankan aturan-aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan atau suara
terbanyak, tetapi malah menjadi batu loncatan bagi yang ingin mencalonkan diri
supaya memiliki dukungan atau suara yang sangat banyak. sehingga banyak
masyarakat yang tertipu denganjanji manis para calon pemimpin sehingga
masyarakat mendapatkan kekecewaan yang sangat besar yang di karenakan tidak
terjadinya janji janji yang ditepati,malahan masyarakat mendapatkan masalah baru
yang bisa berdampak pada perekonomian masyarakat yang menyebabkan masyarakat
tidak makmur, malahan bisa menjadi sengsara atupun bisa terjadinya perpecahan
yang dikarenakan kekecewaan yang sangat mendalam terhadap pemimpin yang
terpilih.12
11
PARTAI NASDEM, ‘PARTAI NASDEM KABUPATEN GARUT KEMBALI GELAR PENDIDIKAN POLITIK’,
PARTAI NASDEM, 2022, p. 1.
12
Insan Harapan Harahap, ‘Kampanye Pilpres 2019 Melalui Media Sosial Dan’, Komunikologi : Jurnal
Ilmiah Ilmu Komunikasi, 17.1 (2020), 1–11.
benak publik, tidak selamanya sesuai dengan realitas yang sebenarnya, karena
mungkin hanya sama dengan realitas media atau realitas buatan media , yang
disebut juga sebagai realitas tangan kedua (second hand reality). Prof. Dr. Anwar
Arifin, memaparkan tentang citra politik, karakteristik politik, dan komunikasi politik,
serta tujuan politik pencitraan yang meliputi pembentukan dukungan opini publik ,
mendorong partisipasi politik rakyat, memenangi pemilihan umum serta penentuan
kebijakan politik.
Strategi pencitraan dibuat sedemikian rupa agar citra elit politik/kandidat
yang terekam dan melekat di benak publik (dalam hal ini pemilih) adalah sesuatu
yang positif, sehingga mereka terdorong untuk mendukung dan memberikan suara
kepada kandidat tersebut dalam pemilu. Pemasaran politik masyarakat dipercayai
bahwa keinginan untuk memilih kandidat secara signifikan dipengaruhi oleh sikap
terhadap kandidat dan norma subjektif interpersonal. Pemilih tidak terlalu
memperhatikan atribut kandidat, seperti visi/misi/program kandidat. Pemilih lebih
menekankan pada perasaan simpati, senang, dan bangga terhadap seorang kandidat
ketika memilih. Jadi, proses pengambilan keputusan pemilih tidak selamanya
dipengaruhi oleh pengetahuan pemilih tentang program-program maupun informasi-
informasi yang membangun brand politik, tetapi proses itu bisa jadi dipengaruhi kuat
oleh impression (keterkesanan) dan nonrational evaluation criteria (kriteria yang tidak
rasional yang dipakai pemilih dalam mengevaluasi para kandidat).13
Di balik bagusnya penampilan dan manisnya janji-janji politik yang
disampaikan seorang kandidat dalam kampanye dan iklan-iklan politiknya, ada
bahaya besar yang mengintai rakyat Indonesia. Politik pencitraan ternyata tidak
hanya sebatas untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya agar seorang kandidat
bisa terpilih dalam pemilu nanti, tapi ada bahaya terselubung yang harus segera
disadari oleh masyarakat saat ini.
Praktik politik dalam demokrasi modern tidak bisa dipisahkan dari politik
pencitraan. Para kandidat tidak segan-segan mengeluarkan uang ratusan milyar
Rupiah, tidak hanya untuk konsultasi dan pemasaran politik, tetapi juga untuk
mengubah penampilan, gaya rambut, gaya pakaian, cara menghadapi media, teknik
meredam serangan lawan, dan sebagainya. Kalau pun politik pencitraan mulai
diterima sebagai semacam kelaziman, itu tidak berarti bahwa ia lolos dari evaluasi
kritis dan sanggahan etis kita.
Namun, politik pencitraan adalah hal yang baik secara etis. Memasangkan
seseorang yang mempunyai reputasi baik seharusnya dilihat sebagai tanggung jawab
moral memperkenalkan sosok yang layak menjadi pemimpin bangsa untuk
13
Aryadillah and Fifit Fitriansyah, ‘Strategi Kampanye Politik Anies Baswedan Dalam Membangun Citra
Politik Pada Pemilihan Presiden Tahun 2024’, Jurnal Public Relations, 2.1 (2022), 87–92
<http://jurnal.bsi.ac.id/index.php/jpr/article/view/1150>.
menghindari negara ini jatuh ke tangan orang yang buruk dan tidak bertanggung
jawab. Masalahnya, politik pencitraan sekarang, terutama dalam konteks pemasaran
politik, direduksikan hanya sebagai “branding”. Diadopsi dari dunia ekonomi,
“branding” sebenarnya adalah upaya meyakinkan publik bahwa barang dan jasa yang
dipasarkan pantas dibeli bukan pertama-tama karena kualitas, tetapi karena
kemampuan pemasar menciptakan kesan mendalam dalam kesadaran publik
mengenai barang dan jasa tersebut. Dikontekskan dalam pemasaran politik,
“branding” lalu dipahami sebagai usaha menganeksasi kesadaran publik bahwa sosok
atau tokoh tertentu adalah berbeda dari tokoh lain, khas, ideal, bukan pertama-tama
karena kualitasnya,tetapi karena kemampuannya membangkitkan kekaguman
14
publik.
Contoh dampak fenomena politik pencitraan tersebut yaitu: (1) Memunculkan
kekhawatiran terkait kontrol informasi, baik berbentuk iklan maupun pemberitaan
terkait pemilu. Politisi sekaligus pemilik media akan dengan mudah menggunakan
media sebagai alat propaganda tanpa diimbangi masukan kritis. Dampaknya,
informasi yang lahir dari media tersebut cenderung bias. Pembodohan publik terjadi
melalui media yang sudah tidak lagi berpihak kepada warga lantaran harus
melindungi kepentingan politik tertentu. (2) Kekhawatiran publik soal terkooptasinya
media oleh agenda politik pencitraan menjadi sinyal betapa publik berharap besar
pada media. Media menjadi jembatan komunikasi politik antara elite dan rakyatnya.
Iklan dan kampanye politik yang menggunakan media massa telah memanfaatkan
ruang publik yang dimiliki bersama. Jika meminjam pendekatan ini, iklan atau
kampanye politik yang banyak mengekspos citra tanpa disertai bobot visi, misi, dan
program, telah meminggirkan hak publik. Jika iklan atau kampanye politik melalui
media hanya sekadar ditujukan untuk meningkatkan citra dan performa partai
politik, bisa dikatakan ruang publik melalui media telah direbut dan dikuasai para
pelaku politik. (3) Semakin lama, pencitraan politik semakin menjadi menjadi dan
bisa dimasukan lewat apapun. Namun, masyarakat sudah semakin pintar melihat
para calon kandidat atau partai politik yang hanya mengedepankan pencitraan
politik. Masyarakat hanya menginginkan pemimpin yang kebijakannya langsung
dirasakan. (4) Membuat merasa terkucilkan karna status sosial.15
Simpulan
Politik pencitraan yang dilakukan oleh politikus memiliki bentuk dan wujud
yang bermacam-macam, mengingat sebentar lagi kita akan menyambut pemilu tahun
14
Balai Pengkajian and others, ‘DINAMIKA KOMUNIKASI POLITIK MENJELANG PEMILU 2014’, 2014.
15
Dan Nimmo, ‘KOMUNIKASI POLITIK KHALAYAK Dan EFEK’, in Komunikasi Politik (JEMBER: Institusi
Agama Islam Negeri JEMBER, 1999), p. <http://opac.iain-jember.ac.id/index.php?
p=show_detail&id=2216>.
2024. Pencitraan tersebut berupa perkenalan diri, yang meliputi kompetensi,
moralitas, kredibilita, atau ketokan yang bergambar dalam “rekam jejak”. Melalui
strategi dan kerja-kerja politik yang terukur dalam melakukan sosialisasi dengan
menggunakan media sosial maupun langsung dengan mengunjungi masyarakat
untuk mendapatkan dukungan sebanyak banyaknya. Politik pencitraan pun memang
dibutuhkan tetapi bukan segalanya, artinya ada kebutuhan lain, yaitu komunikasi
politik. Sebagai contohnya yaitu Julia Perez yang tiba tiba mencalonkan diri di
wilayah pacitan, dia baru mencari melalui internet tentang apa kebutuhan dari
wilayah pacitan, sehingga ia mau mencalonkan diri sebagai kandidat di pemilukada.
Ini adalah indikasi atas terjadinya political jumping, yang bermaksud tidak melalui
tahapan proses. Sehingga harus ada catatan, bahwa jangan sampai mereka
mencalonkan diri dalam politik, karena mereka tidak mempunyai track record.
Apabila ini terjadi maka kemungkinan masyarakat tidak akan mengalami kemajuan
yang signifikan, malahan bisa menjadi penderitaan bagi masyarakat di daerah
tersebut.16
Daftar Pustaka
Aryadillah, and Fifit Fitriansyah, ‘Strategi Kampanye Politik Anies Baswedan Dalam
Membangun Citra Politik Pada Pemilihan Presiden Tahun 2024’, Jurnal Public
Relations, 2.1 (2022), 87–92
<http://jurnal.bsi.ac.id/index.php/jpr/article/view/1150>
Dahlia, Rembulan Randu, and Panji Anugrah Permana, ‘Oligarki Media Dalam
Pusaran Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2019
Menuju 2024’, POLITICOS: Jurnal Politik Dan Pemerintahan, 2.1 (2022), 65–81
<https://doi.org/10.22225/politicos.2.1.2022.65-81>
16
Gun Gun Herianto M.Si, ‘Politik Pencitraan Dibutuhkan, Tapi Bukan Segalanya’, 17 Juni, 2010, p. 1.
54 <https://doi.org/10.1016/j.jnc.2020.125798%0Ahttps://doi.org/10.1016/
j.smr.2020.02.002%0Ahttp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/
810049%0Ahttp://doi.wiley.com/10.1002/anie.197505391%0Ahttp://
www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780857090409500205%0Ahttp:>
Gun Gun Herianto M.Si, ‘Politik Pencitraan Dibutuhkan, Tapi Bukan Segalanya’, 17
Juni, 2010, p. 1
Harahap, Insan Harapan, ‘Kampanye Pilpres 2019 Melalui Media Sosial Dan’,
Komunikologi : Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 17.1 (2020), 1–11
Hendrastomo, Grendi, ‘Demokrasi Dan Politik Pencitraan Perang Iklan Politik Menuju
Demokratisasi Di Indonesia’, Dimensia, 3.2 (2009), 1–14
Minarno, Santoso, ‘Strategi Pni Dalam Memenangkan Pemilihan Umum 1955 Di Jawa
Tengah’, Journal of Indonesian History, 1.1 (2012), 10–17
Syarif, P W Fatayat, N U Riau, and Iain Kediri, ‘Implikasi Demokrasi Semu Dan Politik
Pencitraan Berbingkai Islam Terhadap Good Governance Mustiqowati Ummul
Fitriyyah , Atika Windi Astuti , Muhammad Saiful Umam , Risma Lutfia Wahyu
Ningsih Pendahuluan ( Introduction ) Pada Beberapa Negara Berkembang , D’,
Pemikiran Politik Islam, 4.1 (2021), 1