Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Makna Muhasabah
Kebahagiaan. Suatu kata yang mungkin diidam-idamkan oleh
seluruh makhluk. Dengan adanya kebahagiaan, menjalani berbagai aspek
kehidupan baik berupa ibadah, bekerja, mencari ilmu, ataupun yang
lainnya akan terasa indah dan nyaman. Begitu juga dengan hamba.
Puncak dari segala yang dia cari adalah memperoleh kebahagiaan, baik
yang bersifat duniawi ataupun ukhrowi. Dari berbagai amal-amal yang
dilakukan, hanya satu yang menjadi tujuannya. Yakni ridho dari Allah.
Jika amal-amal itu sudah sesuai dengan yang dituntut Allah, maka ridho
Allah akan diperolehnya, dan sebaliknya. Jika ama-amal yang
dikerjakannya itu bertentangan dengan yang dituntut Allah, maka murka
Allah yang akan di dapatkannya. Ridho Allah merupakan sebuah kunci
kebahagiaan seorang hamba. Dengan bekal ridlo-Nya, Allah akan
menunjukan jalan kebenaran bagi hambanya. Allah berfirman

ࣖ ‫َو اَّلِذ ْيَن َج اَه ُد ْو ا ِفْيَنا َلَنْه ِد َيَّنُه ْم ُسُبَلَنۗا َو ِاَّن الّٰل َه َلَمَع اْلُم ْح ِس ِنَنْي‬
“Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
(mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama
orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-Ankabut: 69)

Dalam menjalani kehidupan, seorang hamba memiliki dua amal


perbuatan yang mengitarinya. Amal baik dan buruk. Yang mana
masing-masing dari keduanya memiliki konsekuensi masing-masing.
Dengan amal baik seorang hamba akan semakin dekat dengan Allah,
sedangkan dengan amal buruk akan semakin menjauhkannya dari
Allah. Oleh sebab itu, hendaknya seorang hamba harus memikirkan
terlebih dahulu amal mana yang akan dipilihnya beserta dengan
konsekuensi yang akan didapatkannya. Adapun bentuk pengoreksian
atau pengevaluasian terhadap amal perbuatan dikenal dengan sebutan
muhasabah.

1
Muḥāsabah secara etimologi kamus arab-indonesia berasal dari
kata ‫ َحُماَسَبًة‬- ‫حاَسَب – َحُياِس ُب‬
َ yang berarti menghitung.1 Sedangkan secara
terminology syariat, muhasabah merupakan upaya mengevaluasi amal
perbuatan beserta semua aspeknya. Dalam praktek muhasabah,
seseorang dituntut untuk selalu menghisab segala amalnya agar amal
itu menjadi lebih baik dan tetap berada di jalur syariat. Bahkan Allah
juga memerintahkan untuk senantiasa melakukan muhasabah. Allah
berfirman

‫َٰٓيَأُّيَه ا ٱَّلِذيَن َءاَم ُنو۟ا ٱَّتُقو۟ا ٱلَّلَه َو ْلَتنُظْر َنْف ٌس َّم ا َقَّد َم ْت ِلَغٍدۖ َو ٱَّتُقو۟ا ٱلَّلَهۚ ِإَّن ٱلَّلَه َخ ِبي‬
‫َمِبا َتْع َم ُلون‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”2 (QS. Al-Hasyr ayat 18-19)

Adapun dalil-dalil lain tentang anjuran melakukan muhasabah,


diantaranya:
1. Ungkapan Sayyidina Umar
‫ِخَي ِحْل‬ ‫ِل‬ ‫ِس‬
‫حَا ُبوا َأْنُف َس ُك ْم َقْب َل َأْن َحُتاَس ُبْو ا َو َتَز َّيُنْو ا ْلَع ْر ِض اَألْك ِرَب َو ِإَمَّنا ُّف ا َس اُب‬
‫َيْو َم اْلِق َياَم ِة َعَلى َمْن َح اَسَب َنْف َس ُه ىِف الُّد ْنَيا‬

“Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab, dan


berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang
besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan
menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab
dirinya saat hidup di dunia.”3

2. Ungkapan H{a<ris ibn Asad

1
Taufi<qul H{a<kim Kamus at-Taufi<q (Arab – Jawa – Indonesia) (Jepara: Al-
Falah Offset, 2004)
2
al-Qur’an al-Qudus Terjemah, Ma’had Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Kudus, (CV.
Mubarokatan Thoyyibah) (2022) h. 544
3
Al-H{a<rith al-Muh{a<sibi, Risa<lah al-Mustarsyidi<n (Maktabah Syamilah)

2
‫َّط ِة‬ ‫ٍد‬ ‫ِر‬
‫ َو َأْص ُل‬،‫ "َأْص ُل ال اَع اْل َوَر ُع َو َأْص ُل اْل َوَر ِع الَّتْق َو ى‬: ‫َق اَل اَحْلا ُث ْبُن َأَس‬
‫الَّتْق َو ى َحُماَسَبُة الَّنْف ِس‬
“al-H{aris Ibn Asad berkata: Pokok dari ket}aatan
adalah wara’, pokok dari wara’ adalah taqwa, dan pokok
dari taqwa adalah muḥāsabah an-nafsi”.4
3. Ungkapan Imam al-Ghozali yang menukil sebuah hadits

‫ َس اَعٌة‬: ‫َينَبِغي ِللَعاِق ل َم ا ْمَل َيُك ْن َم ْغُلْو ًب ا َعَلى َعْق ِل ِه َاْن َيُك ْو َن َل ُه َاْر َبُع َس اَعاٍت‬
‫ِهلل‬ ‫َّك‬ ‫ِس ِف‬ ‫ِج ِف‬
‫ َو َس اَعٌة َيَتَف ُر ْيِف ُصْنِع ا َع َّز َو‬, ‫ َو َس اَعٌة َحُيا ُب يَه ا َنْف َس ُه‬,‫ُيَنا ْي ْيَه ا َر َّبُه‬
‫ اَعٌة ْخَيُلوا ِفْي ا ا ِتِه ِم ا ْط ِم ا ْش ِب‬,‫َّل‬
‫َه َحِل َج َن َمل َع َو َمل َر‬ ‫َج َو َس‬
“Orang yang berakal dan dapat mengendalikan
akalnya, seharusnya memilliki empat waktu: pertama,
waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya. Kedua, waktu
untuk mengintrospeksi diri. Ketiga, waktu untuk
memikirkan ciptaan Allah. Keempat, waktu untuk
memenuhi kebutuhan jasmani seperti makan dan
minum.”5
Mengenai muhasabah, ada beberapa tokoh yang mendifinisikan
muhasabah
1. Imam Mawardi
Dalam kitab Mausu’ah Asma’ al-Husna, Imam
Mawardi mendefiniskan muhasabah sebagai “Upaya seorang
hamba pada malam hari untuk menelaah amal-amalnya yang
telah dikerjakan dipagi harinya.”6
2. Imam al-Ghozali
Dalam karangannya yakni kitab Ihya’ Ulumuddin,
Imam al-Ghozali mendefinisikan muhasabah sebagai “Upaya
mengkalkulasi amal untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangannya.”7

4
Abu Nuaim Ahmad bin Abdillah bin Ahmad al- As}baha<ni, Hilya al-Auliya’ (10/
76) Maktabah Syamilah
5
Ima<m Abu H{a<mid Muhammad al-Ghoza< li, Mursyid al-Amin (Beirut: DKI)
h. 267
6

3
B. Konsep Muhasabah Imam al-Ghozali
Dalam pembahasan muhasabah Imam al-Ghozali tidak secara
langsung menjabarkan tentang muhasabah. Akan tetapi untuk menuju
penjelasan tentang muhasabah, Imam al-Ghozali meruntutkan perjalanan
amal-amal terlebih dahulu. Langkah awal seorang hamba melakukan
sebuah amal adalah harus tetap bersabar dan murobathoh (siap siaga).
Sabar atas melakukan amal baik yang mungkin tidak sesuai dengan yang
dikendaki oleh hawa nafsu, dan sabar agar tetap istiqomah
melakukannya. Maka disinilah letak kesulitan dalam beramal, yakni
berusaha menundukkan hawa nafsu agar mau melakukan amal-amal
baik. Kemudian disusul dengan murobathoh (siap siaga), dalam artian di
dalam melakukan sebuah amal seorang hamba harus tetap memawas diri
agar ditengah-tengah melakukan amal tidak terjerumus pada
kemaksiatan. Dalam hal ini Allah juga memberikan anjuran untuk
bersabar dan tetap bermurobathoh. Allah berfirman

‫َأُّيَه ا ٱَّلِذيَن َءاَم ُنو۟ا ٱْص ُرِبو۟ا َو َص اِبُر و۟ا َو َر اِبُطو۟ا َو ٱَّتُقو۟ا ٱلَّلَه َلَعَّلُك ْم ُتْف ِلُح وَن‬
‫َٰٓي‬

“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan


kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan
negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”8
(QS. Ali Imron: 200)
Murobathoh merupakan upaya memawas diri atau siap siaga atas
sebuah amal. Adapun untuk melakukan murobathoh atas amal harus
melewati beberapa langkah. Imam al-Ghozali menjelaskan bahwa,
langkah-langkah murobathoh adalah Pertama, musyarothoh an-nafsi.
Kedua, muroqobah. Ketiga, muhasabah. Keempat, mujahadah. Kelima,
muaqobah. Keenam, mu’atabah.
1. Musyarothoh
Musyarothoh (mengadakan pensyaratan) merupakan upaya
seorang hamba untuk memberikan syarat-syarat khusus pada diri
sendiri atas sebuah amal. Dalam hal ini, langkah awal seorang
hamba hendaknya memberikan wejangan bagi seluruh anggota
tubuhnya atas sebuah amal yang dikerjakannya, dengan cara
menjelaskan tugas-tugasnya, cara-caranya, dan sebab-sebabnya
yang tentunya sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah.
Bahkan seorang hamba juga perlu untuk menjelaskan sebab
akibat dari apa yang dikerjakan oleh anggota badannya. Seperti

4
contoh mata. Maka, dalam hal ini seorang hamba harus menjaga
matanya dari melihat orang yang bukan mahromnya, melihat
aurat orang lain, dan menjaga matanya agar tidak memandang
orang lain dengan pandangan menghina. Begitu juga dengan
perut. Maka seorang hamba harus mengekangnya dari rasa
kenyang, menyedikitkan makan, dan menjauhi makanan syubhat.
Langkah yang selanjutnya adalah memberikan wejangan terhadap
seluruh anggota tubuh agar terus melakukan ketho’atan disetiap
harinya, dan melakukan berbagai kesunahan.
Adapun pensyaratan ini hendaknya dilakukan disetiap
harinya, sebagai bentuk tarbiyyah (mendidik) atau melatih
anggota tubuh agar selalu berbuat ketaatan. Secara keseluruhan,
jika anggota badan difungsikan pada jalur yang benar, maka akan
mendapatkan pahala bahkan ridlo Allah. Sebaliknya, jika anggota
badannya difungsikan pada jalur yang salah, maka siksa Allah
akan menantinya dikemudian hari. Diriwayatkan dari ‘Ubadah
bin ash-Shamit bahwa suatu ketika ada seorang laki-laki menemui
Rosulullah dan meminta agar beliau memberinya sebuah nasihat.
Maka Rosulullah bersabda
‫ِضِه‬ ‫ِق‬
‫ِإذا أرْد َت َأْم را َفَتَد َّبْر َعا َبُتُه َفِإْن َك اَن رشدا َفَأْم َو ِإْن َك اَن غّيا َفاْنته َعنُه‬
“Apabila kamu menghendaki sebuah perkara, maka
pertimbangkan atau fikirkanlah akibatnya. Apabila perkara itu
benar, maka teruskanlah! Dan apabila perkara itu salah, maka
berhentilah!”
Dengan adanya penggambaran seperti ini, maka
musyarothoh juga bisa dinamakan dengan muhasabah qobla amal
yakni mengevaluasi diri atas amal sebelum melakukannya.
Apabila amal itu baik dan benar, maka seorang hamba bisa
meneruskannya. Dan jika amal itu salah, maka seorang hamba
harus berhenti dari melakukannya.
2. Muroqobah
Langkah selanjutnya adalah melakukan muroqobah.
Konsep muroqobah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Rosulullah yakni “Engkau menyembah Allah seakan-akan kamu
melihat Allah. Dan jika engkau tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Allah melihatmu.” Allah berfirman

5
‫اْمَل َيْع َلم ِبَأَّن ٱلَّلَه َيَر ٰى‬
“Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah
melihat segala perbuatannya?”9 (QS. Al-Alaq: 14)
Ibnu Mubarrokk berkata kepada seorang laki-laki,
“Bermuroqobahlah kepada Allah” yang mana beliau
menafsirinya dengan “Jadilah kamu seakan-akan kamu melihat
Allah”. Menurut Imam al-Muhasibi muroqobah merupakan
pengetahuan qolbu akan dekatnya Allah Yang Maha Tinggi.
Adapun muroqobah menurut Imam al-Ghozali adalah suatu
keadaan dimana qolbu menghasilkan sebuah ma’rifat. Yang mana
dengan keadaan itu menjaga qolbu agar tetap bersama Allah dan
tersibukkan dengan-Nya. Sedangkan fungsi dari ma’rifat yang
dihasilkan dalam keadaan ini adalah sebuah ilmu bahwa Allah itu
mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi, dan mengintai
samal-amal yang diperbuat seorang hamba. Oleh karena itu,
ketika beramal seorang hamba harus bermuroqobah, agar dirinya
tidak melakukan kesalahan saat beramal karena merasa diawasi
oleh Allah.
Dalam praktek muroqobah terdapat dua aspek yang
menyertainya. Yakni muroqobah sebelum beramal dan
muroqobah saat beramal. Adapun aspek yang pertama adalah
muroqobah sebelum beramal. Seorang hamba dalam melakukan
amal hendaknya berfikir apakah amal itu semata-mata untuk
Allah atau malah untuk mengikuti hawa nafsu syaitonnya.
Rosulullah bersabda

.‫ اَأْلَّو ُل َمِل‬: ‫ُيْنَش ُر لْلَعبد يِف ُك ِّل َح َر َك ة ِم ْن َح َر َك اِتِه َو ِإن َص غَر ْت َثاَل َثُة َدَو اِو يَن‬
‫ِل ِل‬
‫ َو الَّثا ث َمْن‬. ‫َو الَّثايِن َك يَف‬
“Telah disebarkan bagi hamba pada setiap gerakannya
walaupun kecil tiga catatan. Pertama adalah mengapa? Kedua,
adalah bagaimana? Ketiga, adalah untuk siapa?”
Hadis ini menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap amal
walaupun hanya kecil akan tetap dipertanggung jawabkan. Dari
amal itu akan ditanya Mengapa kamu melakukan amal itu?
9

6
Apakah memang ada syariat yang memerintahkan atau hanya
untuk memenuhi hawa nafsu. Kemudian Bagaimana kamu
melakukannya? Dengan cara bagaimana kamu melakukan amal
itu. Apakah dengan cara-cara yang sesuai dengan syariat atau
tidak. Dan yang terahir Untuk siapa kamu melakukan amal itu?
Apakah kamu melakukan amal itu memang murni untuk Allah,
atau malah untuk makhluk Allah.
Aspek yang kedua yakni muroqobah saat melakukan amal.
Hal ini bisa direalisasikan dengan cara mencari langkah-langkah
beramal yang bertujuan untuk memenuhi hak Allah, dan
membaguskan niat dalam mengerjakannya dengan sebaik
mungkin. Seperti contoh, ketika seorang hamba duduk hendaknya
duduk dengan menghadap qiblat karena berdasarkan hadis

‫َخ ْيُر اْلَمَج اِلِس َم ا اْس ُتْق ِبَل ِبِه اْلِق ْبَلَة‬
“Sebaik-baik majlis adalah yang menghadap kiblat”
Dan hendaknya tidak duduk dengan kaki bersilang. Begitu juga
ketika kseorang hamba tidur, hendaknya tidur dengan tangan
kannanya dan menghadap qiblat.
Di dalam menjalani kehidupan, seorang hamba tidak lepas
dari yang namanya perbutan thoat, maksiat, atau bahkan mubah.
Maka dalam melakukan ketiga perkara ini, harus ada bentuk
muroqobahnya. Apabila seoang hamba berbuat thoat, maka
bentuk muroqobahnya dengan berusaha ikhlas dan tetap menjaga
adab dalam amal tersebut. Apabila seorang hamba berbuat
maksiat, maka bentuk muroqobahnya dengan bertaubat. Dan
apabila seorang hamba itu berbuat mubah, maka bentuk
muroqobahnya dengan tetap memelihara adab dan tetap
bersyukur.

3. Muhasabah an-Nafsi
Langkah yang ketiga adalah muhasabah an-nafsi.
Muhasabah merupakan Upaya mengevaluasi amal dan
mengkalkulasinya agar mengetahui letak kekurangan dan
kelebihannya. Seorang hamba hendaknya di penghujung harinya
mengevaluasi amal-amal yang telah dilakukannya, agar

7
mengetahi kekurangan dan kelebihannya. Dengan adanya bentuk
pengevaluasian terhadap amal secara tidak langsung seorang
hamba telah mengurangi beban hisabnya kelak di akhirat
sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam al-Ghozali

‫فمن حاسب نفسه قبل أن حياسب خف يف القيامة حسابه‬


“Barang siapa yang menghisab dirinya sebelum dia
dihisab, maka akan ringan hisabnya kelak di hari kiamat.”

Dalam pembahasan muhasabah Imam al-Ghozali mentandzirkan


dengan seorang pedagang. Seorang pedagang disetiap tahunnya
atau bahkan disetiap harinya akan terus meninjau modal dari
perdagangannya, serta mengkalkulasi keuntungan serta
kerugiannya. Ketika dia mendapatkan keuntungan maka dia akan
bersyukur atas usahanya dan ketika dia berada dalam kerugian dia
akan berusaha menutupinya. Begitu juga dengan seorang hamba.
Modal dari seorang hamba adalah ibadah fardhu, keuntungannya
adalah ibadah sunah, dan kerugiannya adalah berbuat maksiat.
Langkah awal yang harus dilakukan seorang hamba adalah
meninjau modalnya atau ibadah fardhunya. Apabila ibadahnya
sudah dikerjakan sesuai dengan yang telah diperintahkan maka
dia bersyukur kepada Allah. Jika dia tidak mengerjakan dengan
sempurna, maka dia berusaha untuk menutupinya dengan
melakukan ibadah sunah. Sedangkan jika dia malah mengerjakan
maksiat, maka secara tidak langsung dia tengah berada dalam
kerugian yang besar. Oleh karena itu dia harus mencela dirinya
karena telah berada dalam kerugian lantas berusaha memperbaiki
poin-poin yang telah terlewatkan.

4. Mu’aqobah an-Nafsi

Anda mungkin juga menyukai