Anda di halaman 1dari 34

BAB II

GEREJA OESAPA DI BAWAH PELAYANAN GENERASI LAMA


1918-1984

Pada bab I kita telah mengikuti sejarah perintisan Gereja Oesapa dan pada bab ini akan
diuraikan tentang perkembangan Gereja Oesapa di bawah kepemimpinan para guru
sekolah yang merangkap sebagai Guru Jemaat. Guru sekolah yang merangkap sebagai
Guru Jemaat ini adalah tamatan Stovil (School tot Opleidig voor Inlandleraar: Sekolah
Berijazah Bagi Pengajar Pribumi) yang dibuka oleh G.J.H. le Grand, seorang pendeta
pembantu, di Baa, Rote pada tahun 1902. Di samping itu terdapat seorang yang tidak
pernah belajar teologi secara formal yaitu Pdt. P. de Haan. Di bawah ini akan diuraikan
tentang pelayanan mereka dan perkembangan Gereja Oesapa.

1. Pdt. Pieter Sahertian: 1918-1948


Telah dikatakan bahwa Sahertian ditempatkan oleh Pdt. R. W. F. Kijftenbelt, pendeta
ketua di Gereja Protestan Timor pada tahun 1918 sebagai guru sekolah dan Guru
Jemaat di Oesapa. Sebagai guru sekolah ia mengajar pada pagi hari di sekolah dan
pada sore dan malam hari ia mengerjakan pekerjaan pelayanan dalam gereja seperti
memimpin ibadat pada hari Minggu, memimpin ibadat rumah tangga, memimpin
katekisasi, perkunjungan jemaat, memberitakan Injil, menguburkan orang mati dan
sebagainya. Pelayanan sakramen seperti Baptisan dan Perjamuan Kudus dilaksanakan
oleh pendeta pembantu yang melayani dalam resort pelayanan Kupang.

Pdt. Pieter Sahertian

14
Sahertian sendiri belum diijinkan untuk melayani sakramen, karena ia masih
bersatus sebagai Inlandsleraar Tweede Klaas (Pengajar Pribumi Kelas Dua). Pendeta
Pembantu yang melayani sakramen pada Gereja Oesapa adalah Pdt. J. Hessing,
pendeta pembantu resort Kupang (1917-1923). Sejak Oktober 1918 hingga tahun
1922, dialah yang melayani Baptisan dan tentunya juga Perjamuan Kudus di Gereja
Oesapa seperti terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Daftar Baptisan Sebelum Pdt. Sahertian diijinkan Melayani Sakramen
pada tahun 1922
Anak Dewasa
Tgl/Bln/Thn Jumlah Pembaptis
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
13-10-1918 13 5 11 12 41 Pdt.J.
25-02-1919 1 2 -- -- 3 Hessing
30-07-1919 4 3 -- -- 7
06-06-1920 3 3 -- -- 6
28-12-1920 -- 1 -- -- 1
23-01-1921 2 6 -- -- 8
22-08-1921 8 7 -- -- 15
26-12-1921 1 -- -- -- 1

Jumlah 32 27 11 12 82
Sumber: Register Baptisan Gereja Oesapa
Register Baptisan mencatat bahwa Pdt. Pieter Sahertian baru mengadakan
pembaptisan pada 12 Februari 1922 atas, 4 (empat) anak laki-laki dan 2 (dua) anak
perempuan. Pembaptisan kedua diadakan pada 18 Juni 1922, atas 9 (sembilan) anak
laki-laki dan 10 (sepuluh) anak perempuan. Ini berarti Pdt. Sahertian telah diberikan
hak untuk melayani sakramen. Ia telah diangkat menjadi Pengajar Pribumi Kelas Satu
(Inlandsleraar Eerste Klaas). Sahertian adalah seorang pengajar pribumi
(Inlandsleraar) pertama yang melakukan pelayanan sakramen baptisan di Gereja
Oesapa, sekalipun ia telah menjadi guru sekolah dan merangkap sebagai Guru Jemaat
di Oesapa sejak tahun 1918. Guru Sahertian diangkat menjadi Pengajar Pribumi Kelas

15
Satu (Inlandsleraar Eeerste Klaas) dan diberi wewenang untuk melayani sakramen
sebagaimana peraturan pada masa itu.1
Sekalipun Sahertian sudah diberi wewenang untuk melayani sakramen, namun
pelayanan sakramen tidak saja dilayani oleh Pdt. Sahertian di Gereja Oesapa tetapi
masih juga dilayani oleh pendeta-pendeta Belanda dari Kupang seperti yang nampak
pada tabel di bawah ini:
Tabel 2
Daftar Baptisan Tahun 1923-1929
Anak Dewasa
Tgl/Bln/Thn Jumlah Pembaptis
Laki Perempuan Laki Perempuan
24-05-1923 14 12 -- -- 26 J. Hessing
18-04-1924 9 6 -- -- 15 J.H.Letterboer2
08-10-1924 2 4 -- -- 6 J.H. Letterboer
10-04-1927 5 22 -- -- 27 R. van Alphen3
27-05-1928 13 15 - -- 28 Sahertian
21-12-1928 9 13 -- -- 22 J. Bunte4
12-05-1929 10 4 1 1 16 J. Bunte
25-08-1929 4 5 -- -- 9 J. Bunte
29-05-1929 -- 1 -- -- 1 J. Bunte

Jumlah 66 82 1 1 150
Sumber: Register Baptisan Gereja Oesapa
Sejak 21 April 1930 pelayanan sakramen baptisan hanya dilayani oleh Pdt.
Sahertian. Pdt. Sahertian tidak melayani sakramen baptisan dalam gerejanya cukup
lama. Pertanyaan kita adalah mengapa terjadi demikian? Jawabannya adalah
pengangkatan Sahertian sebagai Pengajar Pribumi Kelas Satu dan diberi hak
pelayanan sakramen disebabkan oleh kebutuhan pelayanan. Pdt. Hessing, pendeta
resort Kupang akan dimutasikan ke Ambon sedangkan penggantinya yaitu J. H.
Letterboer belum tiba, karena itu Sahertian diberi hak melayani sakramen. Setelah
Letterboer tiba di Kupang pada tahun 1924, maka Letterboerlah yang datang

1
Peraturan yang berlaku pada masa itu adalah jika seorang guru sekolah dan Guru Jemaat yang
telah berdinas sepuluh tahun dan berkelakuan baik, maka ia diangkat menjadi Guru Pribumi Kelas Satu,
kepadanya diberi hak untuk melayani sakramen.
2
J. H. Letterboer menjadi pendeta pembantu dalam resort Kupang, 1924-1925.
3
R. van Alphen menjadi pendeta pembantu dalam resort Kupang, 1926-1927.
4
J. Bunte menjadi pendeta pembantu dalam resort Kupang dan dosen Stovil di Kupang, 1928-
1930.

16
membaptis di Gereja Oesapa. Letterboer diganti oleh R. van Alphen dan ia yang
membaptis di Oesapa. Pada tahun 1928, R. van Alphen berpindah ke Camplong dan
resort Kupang tidak mempunyai pendeta pembantu. Karena itu Pdt. Sahertian
melaksanakan baptisan di Gereja Oesapa pada Mei 1928. Pdt. J. Bunte tiba di Kupang
pada akhir tahun 1928 dan ia bekerja di Kupang hingga tahun 1930 sebagai pendeta
pembantu dalam resort Kupang serta merangkap sebagai pengajar pada Stovil di
Kupang. Dialah yang melaksanakan sakramen baptisan di Gereja Oesapa. Nampaklah
di sini akan adanya rasa superioritas barat yang juga melanda kehidupan para pendeta
Belanda. Mereka memandang bahwa yang layak melayani sakramen Baptisan dan
Perjamuan Kudus hanyalah pendeta Belanda.
Pieter Sahertian dilahirkan di Porto, Saparua, Maluku pada 19 Juli 1885. Tidak
diketahui lagi bilamana beliau datang ke Kupang, demikian pula dengan pendidikan
dasarnya, yang diketahui adalah Sahertian menempuh pendidikan keguruan dan
kependetaannya pada Stovil di Baa, Rote. Setelah ia menamatkan pendidikannya pada
Stovil di Baa, ia bekerja sebagai guru sekolah dan Guru Jemaat di Oematnunu dan di
Oeba. Kemudian Sahertian dipindahkan ke Oesapa.
Sahertian menikah pertama kali dengan Elizabeth Manuain, kakak perempuan
dari (alm). Pdt. J. E. Manuain di Baa, Rote namun kemudian istrinya ini meninggal
dunia ketika melahirkan anaknya yang pertama di Kupang. Jenazah Elizabeth
Manuain dikuburkan di Pekuburan Nunhila, Kupang. Kemudian Pieter Sahertian
menikah untuk kedua kalinya dengan Anatjie Makatita. Sahertian memperoleh tujuh
orang anak, namun dua orang di antaranya meninggal dunia. Anak-anaknya adalah
Tontjie, Petrus, Matius Markus, Wellem Ishak Benjamin Hendrik dan Anatji Katji
Sahertian.
Guru Sahertian melaksanakan tugasnya dengan tekun dan disiplin. Karena
disiplinnya yang keras itu, maka ada anggota gereja yang tidak menyukainya bahkan
ada yang hendak membunuhnya. Memang Sahertian seorang yang melaksanakan
aturan dengan ketat sekali. Praktik-praktik “kekafiran” diberantasnya dengan keras
seperti mengkeramatkan pohon-pohon besar, batu-batu besar (songgo-songgo). Ia
melarang anggota gereja berdansa pada malam Minggu yang biasa diadakan di
Oesapa. Alasannya adalah agar anggota gereja dapat mempersiapkan diri untuk

17
beribadah pada hari Minggunya. Karena itu Sahertian mengadakan Ibadah Kunci
Usbuh sebagai ibadah syukur karena Tuhan telah menyertai anggota gereja selama
seminggu dan mempersiapkan diri untuk beribadah pada hari Minggu.
Pada pagi hari, guru Sahertian mengajar di sekolah dan jam-jam yang lainnya ia
melayani Gereja Oesapa. Ia memimpin ibadah pada hari Minggu, memimpin
katekesasi, ibadat rumah tangga, mengadakan perkunjungan ke rumah-rumah tangga
dan memberitakan Injil kepada orang yang masih “kafir” dan sebagainya. Pelayanan
sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus diadakan setelah ia menjadi Guru Pribumi
Kelas Satu. Perjamuan Kudus hanya dilaksanakan sekali setahun. Wilayah pelayanan
Sahertian meliputi wilayah yang sangat luas yaitu mulai dari Kelapa Lima (sekarang
Jemaat Galed, Kelapa Lima) hingga Oebelo (Tanah Merah). Sahertian dibantu oleh
sepuluh orang “majelis” dan dua orang “penanggung jawab” (pembantu agama) yaitu
seorang di Tarus dan seorang lagi di Tanah Merah. Jumlah anggota gereja pada masa
itu sekitar 300 hingga 500 orang. Anggota gereja pada umumnya adalah nelayan dan
petani saja. Pada hari Minggu kebaktian dipusatkan di Gereja Oesapa. Dengan
demikian anggota gereja harus berjalan jauh untuk beribadah kepada Tuhan. Di Gereja
Oesapa, Pdt. Sahertian dibantu oleh anaknya, Bapak W. Benjamin dan Bapak P.F. de
Haan.
Biasanya Sahertian berjalan kaki dalam menjalankan pelayanannya. Menurut
Bapak W. Benjamin Sahertian, anak kandung Pdt. Sahertian, ayahnya tidak pernah
mengeluh dalam melaksanakan pekerjaan pelayanannya. Gaji tidak pernah
dikeluhkannya karena pemerintah Hindia Belanda membayar gajinya. Memang,
Sahertian adalah seorang pegawai negeri sehingga ia memperoleh gaji yang cukup.
Dikatakan pula bahwa pemerintah Hindia Belanda memberikan kepadanya bintang
penghargaan, karena kesetiaannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru sekolah
dan Guru Jemaat. Bintang penghargaan itu terdapat dua macam yaitu satu yang besar
dan satu lagi yang kecil. Bintang yang besar dipakai apabila menghadiri upacara-
upacara pemerintah sedangkan bintang yang kecil dipakai dalam pekerjaan dinas
sehari-hari.5

5
Wawancara dengan Bpk W. Benjamin Sahertian di Oesapa.

18
Rumah ibadah pada masa itu sudah terbuat dari tembok. Di bubungan atap
diletakkan ukiran ayam jantan.6 Untuk memanggil anggota gereja untuk beribadah
pada hari Minggu, terdapat sebuah lonceng yang terbuat dari kuningan. Bunyinya
sangat nyaring sehingga suara lonceng itu terdengar di seluruh Oesapa. Sayang
lonceng ini kemudian diserahkan kepada Jemaat Betlehem, Oesapa Barat sebagai
tanda mata pada waktu Jemaat ini dimekarkan dari Jemaat Bet’el Oesapa. Rumah
ibadat ini terletak di depan Rumah Pastori I sekarang ini. 7 Di dalam gereja ini terdapat
sebuah mimbar sebagai tempat berkhotbah serta bangku untuk majelis gereja dan
anggota gereja yang datang beribadah. Ibadah Minggu dirayakan juga dengan Paduan
Suara.
Pdt. Sahertian dan Gereja Oesapa pada Masa Jepang
Bayang-bayang akan tibanya tentara Jepang ke Timor sudah dapat diperkirakan
dengan hadirnya Tentara Australia di Kupang pada akhir tahun 1941. Penduduk
Oesapa menjadi takut dan panik dengan kehadiran tentara-tentara Australia ini.
Sekalipun demikian Gereja Oesapa masih dapat merayakan Hari Natal tahun 1941 dan
Pdt. Sahertian mengadakan Baptisan Kudus pada 28 Desember 1941 atas 6 (enam)
perempuan, 5 (lima) orang anak dan 1 (satu) orang dewasa; dan 2 (dua) orang laki-laki
(semuanya orang dewasa). Ini merupakan baptisan terakhir sebelum pendudukan
Jepang atas Kupang.
Pada 26 Januari 1942 asisten residen Timor yaitu F. Weidner dan kontrolir
Kupang, L. E. Goodhart mengontrol pertahanan Kota Kupang dari udara dengan
memakai pesawat udara. Tiba-tiba pesawat Jepang menembak pesawat Hindia
Belanda tersebut sehingga jatuh dan kedua pejabat dan awak pesawat meninggal
dunia.8
Pemerintah Hindia Belanda di Timor menyerah kepada Jepang pada 21 Februari
1942. Penduduk Oesapa mengungsi ke tempat-tempat yang aman. Orang-orang
Belanda dan pendeta-pendeta Belanda ditawan dan dikirim ke Pare-Pare, Sulawesi

6
Menempatkan ukiran ayam jantan di bubungan Gereja Protestan merupakan tradisi lama untuk
mengenang kokok ayam ketika Petrus menyangkal Tuhan Yesus. Gereja yang mempunyai ukiran ayam
seperti itu biasanya disebut Gereja Ayam.
7
Wawancara dengan Bpk. Th. K. Isliko di Oesapa. Pada waktu penggalian fondasi Pastori 1
ditemukan fondasi gedung gereja yang pertama tersebut.
8
F.D. Wellem, Sejarah Gereja Masehi Injili di Timor, Jilid 1, hal. 135.

19
Selatan. Dengan demikian Gereja Protestan di Timor kehilangan pimpinannya. Bukan
saja kehilangan pimpinannya tetapi juga tenaga-tenaga gereja tidak mendapat gaji lagi.
Pendeta dan guru-guru sekolah menderita. Tentara Jepang juga menduduki Oesapa.
Rumah Gereja dijadikan sebagai tempat penyimpanan persenjataan dan perbekalan
perang Jepang. Tentara Jepang membuat semacam rel dari pantai hingga ke rumah
gereja sehingga mempermudah pemindahan persenjataan dan perbekalan mereka.
Anggota Gereja mengungsi ke tempat yang aman dan Pdt. Sahertian sendiri
mengungsi ke Noelbaki, namun ia tetap melayani jemaatnya dengan rajin yang
tersebar di tempat pengungsian mulai dari Kelapa Lima hingga Tanah Merah.9
Pemerintah Jepang mengadakan pemisahan antara gereja dan sekolah. Sekolah
harus netral dari agama. Agama tidak boleh diajarkan di sekolah dan tanda-tanda
kekristenan tidak boleh ada di gedung sekolah. Guru-guru sekolah yang dahulunya
merangkap sebagai Guru Jemaat harus memilih apakah hendak menjadi guru sekolah
atau Guru Jemaat. Jikalau memilih menjadi guru sekolah, maka pemerintah Jepang
akan memberi mereka gaji dan jika memilih untuk menjadi Guru Jemaat (pendeta),
pemerintah Jepang tidak bertanggung jawab. Gereja harus membayar gaji pendetanya
sendiri. Pdt. Sahertian memilih untuk tetap menjadi pendeta dengan resiko
penderitaan. Ia rela untuk memikul salib Kristus. Sahertian diperhadapkan dengan
keputusan yang sulit yaitu akan meninggalkan pekerjaan Tuhan dan domba-domba
Kristus di Oesapa dan mencari keselamatan sendiri. Sahertian telah memilih yang
terbaik yaitu tetap melayani umat Kristus di Oesapa sekalipun harus memikul salib
penderitaan.
Penderitaan datang menghadang Pdt. Sahertian. Ia kehilangan gajinya. Gereja
Oesapa tidak dapat membayar gajinya karena anggota gereja sendiri berada dalam
penderitaan. Sejak Jepang menduduki Kupang hingga akhir tahun 1943 Sahertian
tidak mendapat gaji sama sekali. Barulah pada akhir tahun 1943 ia dapat menerima
sedikit gaji. Gaji itu diperolehnya dari Badan Pengurus Gereja Timor bagian Selatan
yang dibentuk pada Agustus 1943. Badan ini dipimpin oleh N. Nisnoni, Raja Kupang
namun pada praktiknya Badan ini sehari-hari dipimpin oleh Pdt. J.J. Arnoldus, pendeta
Gereja Kupang (kini Kota Kupang) dan Pdt. E.F. Tokoh, pendeta Gereja Oepura.10
9
Wawancara dengan Bpk. W. Benjamin Sahertian di Nunsui, Oesapa.
10
Ibid., hal. 158-159.

20
Pada masa Jepang, Pdt. Sahertian dicurigai oleh Jepang sebagai mata-mata
Belanda. Ia mendapat ancaman akan dibunuh oleh tentara-tentara Jepang namun
Tuhan melindunginya. Tantangan-tantangan ini tidak mengendurkan semangat
pelayanan dari Pdt. Sahertian. Ia tetap melaksanakan pelayanannya sekalipun di dalam
tantangan dan penderitaan.
Telah dikatakan di atas bahwa rumah gereja dipakai oleh Jepang sebagai gudang
persenjataan dan perbekalan Jepang, karena itu anggota gereja mengungsi ke tempat
yang aman. Untuk beberapa saat lamanya anggota gereja tidak dapat beribadah
bersama, namun pada akhir Maret 1942 pemerintah Jepang mengeluarkan Surat
Edaran yang menyerukan agar masing-masing agama melaksanakan agamanya dengan
tulus ikhlas karena Dai Nippon menghormati semua agama. Orang Jepang
memberikan losnya di Nunsui untuk dipergunakan sebagai tempat ibadah, 11 namun
tidak semua anggota gereja datang beribadah di Nunsui. Mereka yang mengungsi ke
tempat lain, ibadah dilaksanakan di sana. Pembaptisan pada masa ini dilaksanakan di
tempat-tempat pengungsian seperti yang terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3
Baptisan Pada Masa Jepang oleh Pdt. Sahertian
Anak Dewasa Tempat
Tgl/Bln/Thn Jumlah
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan Baptis
14-06-1943 7 12 -- -- 19 Nunsui
20-06-1943 4 6 -- -- 10 Oenitu
04-07-1943 3 5 -- -- 8 Baidjari
09-04-1944 1 2 -- -- 3 Baidjari
10-04-1944 5 4 2 1 12 Nunsui
18-11-1944 1 -- -- -- 1 Oenitu
24-11-1944 4 5 2 -- 11 Nunsui
26-12-1944 -- -- 2 9 11 Oenitu
31-12-1944 2 -- -- -- 2 Baidjari
21-05-1945 2 2 -- -- 4 Nunsui
Jumlah 29 36 6 10 81
Sumber: Register Baptisan Gereja Oesapa

11
Los ini adalah tempat pembekalan tentara Jepang namun diijinkan oleh pemerintah Jepang untuk
memakainya. Los ini kemudian diperbaiki seadanya. Wawancara dengan Th. K. Isliko, W. B. Sahertian
dan J. L. Makatita.

21
Pdt. Sahertian membaptis 81 (delapan puluh satu) orang selama masa
Pendudukan Jepang. Nampaklah bahwa pada masa pendudukan Jepang pelayanan
sakramen Baptisan dilaksanakan di mana saja. Selama pendudukan Jepang Pdt.
Sahertian sangat dibantu oleh Pieter F. de Haan sebagai Pembantu Agama dan
kemudian sebagai Utusan Injil. Pdt. Sahertian berdiam di Nunsui, Oesapa. Sesudah
Jepang menyerah maka rumah gereja dipindahkan ke atas tanah Keluarga Kolloh
(dekat Pasar Oesapa sekarang).
Pemerintah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 dan
Indonesia dikembalikan kepada Belanda. Pdt. Sahertian terus melayani Gereja Oesapa
hingga tahun 1948. Di bawah pimpinannya, Gereja Oesapa menjadi salah satu jemaat
mandiri dalam lingkungan Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Pdt.
Sahertian terus melayani Jemaat Oesapa dengan setia hingga ia memasuki masa
emeritusnya. Baptisan yang terakhir sebelum Pdt. Sahertian memasuki masa
emeritusnya dilayaninya pada 28 Desember 1948 atas 19 (sembilan belas) orang di
Nunsui. Pdt. Sahertian memasuki masa emeritusnya pada akhir tahun 1948 dan ia
mendapat pensiun dari pemerintah Indonesia. Sekalipun Pdt. Sahertian telah emeritus,
ia masih melaksanakan baptisan di Jemaat Oesapa pada 29 September 1963. Sinode
GMIT mengeluarkan Surat Keputusan tertanggal 18 September 1963 dengan Nomor:
667/dll/18/IX/1963. Pdt. Sahertian membaptiskan sebanyak 26 (dua puluh enam)
orang yang terdiri atas 16 (enam belas) laki-laki dan 10 (sepuluh) orang perempuan.
Ijin khusus ini diberikan kepada Pdt. Sahertian karena Jemaat Oesapa telah
ditinggalkan oleh Pdt. A. B.Thene dan Sinode belum menempatkan pendeta
pengganti.12
Pdt. P. Sahertian meninggal pada 17 Februari 1973. Ia telah berhenti dari semua
jerih payahnya dan menikmati kehidupan yang kekal di pangkuan Bapa di Surga. Pdt.
Sahertian dikuburkan di Oesapa.
Dapat dikatakan bahwa Pdt. Sahertian telah meletakkan dasar yang kokoh bagi
berkembangnya Jemaat Bet’el, Oesapa yang ada sekarang ini. Jemaat Bet’el, Oesapa
haruslah tetap mengenang jerih payah abdi Allah ini senantiasa.

12
Daftar Baptisan Jemaat Oesapa

22
2. Pdt. J. D. Ngili: 1948-1949
Pdt. Sahertian digantikan oleh Pdt. J. D. Ngili. Ia adalah tamatan Stovil di Baa,
kemudian menjadi guru sekolah dan Guru Jemaat. Pada tahun 1917, ia menjadi guru
sekolah dan Guru Jemaat di Baun. Dalam Register Baptisan di Semau tercatat bahwa
ia melaksanakan baptisan di Pulau Semau pada tahun 1931 hingga 1933. Pdt. Ngili
mulai melayani Jemaat Oesapa pada pertengahan tahun 1948 hingga tahun 1949.
Pdt. Ngili hanya 3 (tiga) kali melayani sakramen Baptisan Kudus pada Jemaat
ini seperti tertera pada tabel di bawah ini:
Tabel 4
Pelayanan Baptisan Kudus oleh Pdt. J. D. Ngili
Tgl/Bln/ Thn Anak Dewasa Jml
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
27-06-1948 12 -- -- -- 12
08-08-1948 -- -- 1 -- 1
06-07-1949 9 14 -- -- 23
Jumlah 21 14 1 -- 36

Sumber: Register Baptisan Jemaat Oesapa


Kemudian Pdt. Ngili dipindahkan dari Jemaat Oesapa. Kita tidak mempunyai
banyak informasi tentang Pdt. Ngili termasuk karya pelayanannya pada Jemaat
Oesapa.

3. Pdt. J. Manu: 1949


Kita tidak mempunyai banyak informasi tentang Pdt. Manu. Dikatakan Pdt. Manu
tidak lama melayani Jemaat Oesapa. Dalam Register Baptisan yang ada, tidak tercatat
bahwa Pdt. Manu melakukan baptisan di jemaat ini. Hal mendukung informasi bahwa
Pdt. Manu tidak lama melayani jemaat ini atau beliau hanya menjadi pendeta yang
diperbantukan sementara di Jemaat Oesapa.

4. Pdt. Petrus Paulus Poli: 1949-1950


Pdt. Poli menyelesaikan pendidikan keguruan dan kependetaannya di Stovil, Baa pada
tahun 1927. Ia menggantikan Pdt. Ngili di Jemaat Oesapa. Pdt. Poli dipindahkan dari
Jemaat Baumata. Ia digantikan oleh Pdt. J. Sine di Baumata. Pdt. Poli adalah seorang

23
pendeta yang sangat disiplin dalam melaksanakan pelayanannya. Ia melayani di
Jemaat Oesapa sejak tahun 1949 hingga 1950. Sama seperti Pdt. Ngili, kita juga tidak
mempunyai banyak informasi tentang pekerjaan pelayanannya dan keadaan Jemaat
Oesapa pada masa pelayanannya.

Pdt. Petrus P. Poli

Menurut anaknya, Pdt. A.B.E Poli, M.Th selama ayahnya melayani di Oesapa
sang ayah selalu bekerja dengan keras dan penuh disiplin. Sekalipun ayahnya
mendapat gaji dari pemerintah, namun sang ayah tetap mengiris tuak sebagaimana
kebiasaannya pada waktu masih muda di Rote. Sang ayah memberi minum tuak
kepada anak-anaknya. Dengan agak bangga Pdt. A.B.E Poli mengatakan “kami
dibesarkan dengan minum tuak di Oesapa”. Selanjutnya Pdt. A.B.E. Poli menyatakan
bahwa ayah sangat mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya sehingga dua orang
kakaknya menjadi profesor.13
Dalam Register Baptisan Jemaat Oesapa, Pdt. P.P. Poli mengadakan 3 (tiga) kali
baptisan selama pelayanannya di Jemaat Oesapa seperti tertera dalam tabel di bawah
ini:

Tabel 5
Pelayanan Baptisan Kudus oleh Pdt. P. P. Poli
Tgl/Bln/ Thn Anak Dewasa Jml
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan

13
Wawancara dengan Pdt. A. B. E. Poli. M.Th dan Ibu Nainiti-Poli. Lih juga F. D. Wellem,
Mengenang Leluhur Kami, hal. ……….

24
27-11-1949 4 8 -- -- 12
29-05-1950 5 9 -- -- 14
03-12-1950 23 16 -- -- 39

Jumlah 32 33 -- -- 65
Sumber: Register Baptisan Jemaat Oesapa
Pada masa pelayanan Pdt. Poli, Jemaat Oesapa berpindah dari tanah Keluarga
Kolloh dan membangun gedung jemaat baru di tanah Keluarga Makatita. Tanah ini
kemudian dihibahkan oleh Keluarga Makatita. Bapak Johanis Makatita mewakili
Keluarga Besar Makatita menghibahkan tanah tersebut kepada Jemaat Oesapa. Pada
waktu itu Bapak Johanis Makatita telah menjadi anggota Majelis Jemaat Oesapa. 14
Gedung ibadah ini dibangun semi permanen (setengah tembok) dan beratap
seng. Di atas tanah itu dibangun pula gedung Sekolah Rakyat Oesapa. Rumah pendeta
(pastori) dibangun di lokasi yang sekarang terletak SD GMIT Oesapa. Pdt. Poli
kemudian menjalani masa emeritusnya pada Agustus 1950 dan menerima pensiun dari
pemerintah RI.

5. Pdt. D. Bunga: 1951-1955


Pdt. Bunga menggantikan Pdt. P.P. Poli pada tahun 1951. Ternyata bahwa
beberapa bulan lamanya jemaat ini tidak mempunyai pendeta sehingga ibadah jemaat
dipimpin oleh majelis jemaat secara bergilir. Ia melayani Jemaat Oesapa hingga
pertengahan tahun 1955.15 Kita tidak mempunyai banyak informasi tentang Pdt. Bunga
ini. Dikatakan bahwa ia adalah tamatan Stovil di Kupang dan sebelum dimutasikan ke
Jemaat Oesapa ia melayani di Jemaat Nunhila. Agaknya Pdt. Bunga cukup lama
menjadi pendeta di Jemaat Oesapa. Menurut Register Baptisan yang ada, Pdt. Bunga
membaptis beberapa kali. Ia membaptis sebanyak 222 (dua ratus dua puluh dua)
orang. Semuanya anak kecil kecuali 2 (dua) orang dewasa. Daftar Baptisan dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 6
Catatan Baptisan 1951-1955 oleh Pdt. D. Bunga
Tgl/Bln/Thn Anak Dewasa Jumlah Ket.

14
Wawancara dengan Bapak J. L.Makatita di Nunsui, Oesapa.
15
Wawancara dengan Pdt. J. A. Poli dan Ibu Nainiti-Poli, anak-anak Pdt. P.P. Poli

25
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
02-06-1951 7 6 -- -- 13
04-12-1951 3 2 -- -- 5
30-11-1952 19 24 2 3 48
24-01-1953 25 24 -- -- 49
24-05-1953 10 5 -- -- 15
20-09-1953 8 7 -- -- 15
14-03-1954 14 8 1 1 24
26-09-1954 9 6 -- -- 15
26-12-1954 11 5 -- -- 16
10-04-1955 6 6 -- -- 12
29-05-1955 6 2 1 1 10

Jumlah 118 95 4 5 222


Sumber: Register Baptisan Jemaat Oesapa

Pdt. D. Bunga
Pelayanan Pdt. Bunga di Jemaat Oesapa sangat dibantu oleh Bapak Markus
Rumlaklak. Beliau menjabat sebagai Bendahara Majelis Jemaat, pemimpin Pemuda
Jemaat dan pemimpin Paduan Suara Jemaat. Keluarga Rumlaklak mempunyai
hubungan yang intim dengan Pdt. Bunga. Hal itu terbukti dengan menjadikan Pdt. D.
Bunga sebagai Bapa Serani (Saksi Baptis) dari Mel Rumlaklak, putra Bapak Markus
Rumlaklak. Kemudian Pdt. Bunga dipindahkan ke jemaat lain. Pdt. Bunga meninggal
dalam musibah tenggelamnya Kapal Tenggiri pada 29 Juli 1966 dalam perjalanannya
dari Sabu ke Kupang.16

16
Wawancara dengan L. St. Rumlaklak di Oesapa.

26
6. Pdt. Lukius Manafe: 1955-1960
Lukius Manafe dilahirkan di Diu, Rote pada 2 Januari 1911. Ia menamatkan
pendidikan keguruan dan kependetaannya pada Stovil di SoE pada tahun 1940.
Sebelum ia melayani pada Jemaat Oesapa, Pdt. Manafe pernah melayani di
Jemaat Oekabiti, Baun dan Nunhila. Pada Agustus 1955, Pdt. L. Manafe ditempatkan
di Oesapa. Pdt. Manafe menikah untuk kedua kalinya di Jemaat Oesapa dengan Sarah
Abineno, adik istrinya yang pertama yang bernama Sarlin Abineno.

Pdt. Lukius Manafe

Istri pertama meninggal pada waktu Pdt. Manafe menjadi pendeta di Jemaat
Nunhila. Pdt. Manafe membaptis dua orang anaknya yaitu Sarlin pada 4 Maret 1956
dan Paulus yang dibaptis pada 9 September 1958.17
Pdt. Manafe dan keluarga berdiam di rumah pendeta (pastori) yang terletak di
SD GMIT sekarang ini. Ia melayani Jemaat Oesapa hingga tahun 1959. Pdt. Manafe
dipindahkan ke Jemaat Oekabiti. Pdt. Manafe meninggalkan catatan sejarah yang
penting bagi generasi kemudian, yaitu ia menyalin kembali Daftar Baptisan sejak
tahun 1875 hingga masa pelayanannya September 1959. Dengan adanya Register
Baptisan kita dapat mengetahui perkembangan keanggotaan Jemaat Oesapa dan
pendeta-pendeta yang pernah melayani di sini pada masa lampau. Selama
pelayanannya pada Jemaat Oesapa, Pdt. Manafe membaptis 240 (dua ratus empat
puluh) anak kecil dan seorang dewasa seperti terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 7
Baptisan oleh Pdt. Lukius Manafe
Tgl/Bln/Thn Anak Dewasa Jumlah Ket.
Laki- Perempuan Laki-Laki Perempuan

17
Lih. Register Baptisan Jemaat Oesapa

27
Laki
18-09-1955 7 4 -- -- 11
04-12-1955 6 5 -- -- 11
04-03-1956 4 5 -- -- 9
03-06-1956 2 5 -- -- 7
10-09-1956 7 -- -- -- 7
16-09-1956 - 10 -- -- 10
09-12-1956 2 4 -- -- 6
10-03-1957 1 4 -- -- 5
02-06-1957 4 7 -- -- 11
08-09-1957 7 10 -- -- 17
08-12-1957 7 9 -- -- 16
09-03-1958 2 3 -- 1 6
01-06-1958 10 13 -- -- 23
07-09-1958 7 6 -- -- 13
07-09-1958 8 7 -- -- 15
21-12-1958 5 2 -- -- 7
01-03-1959 2 1 -- -- 3
07-06-1959 7 4 -- -- 11
08-03-1959 - 1 -- -- 1
06-09-1959 5 -- -- -- 5
06-12-1959 6 12 -- -- 18
06-03-1960 10 4 -- -- 14
04-09-1960 4 10 -- -- 14

Jumlah 113 126 -- 1 240


Sumber: Register Baptisan Jemaat Oesapa
Pada masa pelayanan Pdt. Manafe, ia sangat dibantu oleh Bpk. Markus
Rumlaklak yang sudah aktif dalam pekerjaan pelayanan jemaat sebagai bendahara
sejak masa Pdt. D. Bunga seperti yang telah disebutkan di atas. Pada tahun 1957, Bpk.
Markus Rumlaklak meninggal dunia sehingga Jemaat Oesapa kehilangan salah
seorang tokoh jemaatnya. Pdt. Manafe kemudian dimutasikan ke Jemaat Oekabiti pada
tahun 1960. Kita tidak mempunyai data berapa jumlah anggota Jemaat Oesapa pada
masa akhir pelayanan Pdt. L. Manafe.

7. Pdt. Ayub B. Thene: 1960-1962

28
Pdt. Thene menyelesaikan pendidikan kependetaannya pada Sekolah Teologi
Menengah di Makassar pada Juni 1956.18 Kemudian ia melayani sebagai pendeta di
Jemaat Manulai dan di Jemaat Oekabiti. Kemudian Pdt. A.B. Thene ditempatkan di
Oesapa pada tahun 1961. Ia menggantikan Pdt. Lukius Manafe yang dipindahkan oleh
GMIT ke Jemaat Oekabiti.

Pdt. A. B. Thene

Menurut Pdt. Thene bahwa ia tidak berbuat banyak di Oesapa karena ia tidak
lama menjadi pendeta di Jemaat ini. Selama di Jemaat Oesapa, Pdt. Thene hanya
meneruskan bentuk-bentuk pelayanan seperti yang dibuat oleh pendeta pendahulunya.
Selama masa pelayanannya di Jemaat Oesapa, ia membaptis sebanyak 99
(sembilan puluh sembilan) orang seperti yang nampak pada tabel di bawah ini:
Tabel 8
Catatan Baptisan 1960-1962 oleh Pdt. A. B. Thene
Anak Dewasa
Tgl/Bln/Thn Laki- Jumlah
Perempuan Laki-Laki Perempuan
Laki
04-12-1960 7 6 -- -- 13
19-03-1961 7 8 -- -- 15
11-06-1961 7 7 -- -- 14
17-09-1961 6 7 -- -- 13
10-12-1961 2 3 -- -- 5
11-06-1962 11 15 -- -- 26
23-09-1962 6 7 -- -- 13
Jumlah 46 53 -- -- 99

18
P.N. Holtrop, Dari Malino ke Makassar, hal. 212

29
Sumber: Register Baptisan Jemaat Oesapa
Pada tahun 1962 pemerintah Republik Indonesia membuka lamaran bagi pendeta
yang ingin menjadi pendeta yang merawat rohani Angkatan Bersenjata Repulik
Indonesia sehingga Pdt. Thene melamar dan ia diterima. Oleh karena itu Jemaat
Oesapa ditinggalkannya. Pdt. Thene menjadi pendeta TNI Angkatan Darat. Ia juga
mengatakan bahwa pada masa pelayanannya di Oesapa, ia sangat dibantu oleh Bpk.
Johanis L. Makatita dan Mayor J. Daniel. Pdt. Thene juga tidak mengetahui berapa
jumlah anggota jemaat pada masa itu.19

8. Pdt. Karel Bire Manu: 1963-1967


Sesudah Pdt. A.B. Thene meninggalkan Jemaat Oesapa maka Sinode GMIT belum
menempatkan pendeta penggantinya sehingga Majelis Jemaat secara bergantian
memimpin ibadah. Mereka itu adalah antara lain J. L. Makatita, Junus Feoh, Michael
Feo, C. Pandie dan Mathelda Mae-Messakh. Pdt. Bire Manu dipindahkan dari Jemaat
Tarus (kini Jemaat Bethesda, Tarus Tengah). Bire Manu adalah seorang tamatan
Sekolah Teologi di SoE.

Pdt. K. Bire Manu

Bire Manu bekerja pada jemaat ini hingga tahun 1966. Pada mulanya Bire Manu
tidak diterima oleh Jemaat Oesapa namun sebulan kemudian ia dapat diterima dengan
baik. Hal ini mungkin disebabkan karena Bire Manu dipandang sebagai seorang
pendatang saja. Pada mulanya Pdt. Bire Manu tinggal di rumah Bpk. M. Feo namun
kemudian ia pindah ke rumah pendeta yang ada.

19
Idem

30
Bire Manu menjalankan pelayanannya dengan baik. Ia mendapat dukungan dari
Johanis Makatita, Mikael Feo dan tokoh-tokoh dalam jemaat ini. Jemaat Oesapa tidak
dapat membayar gaji pendeta dengan uang. Karena itu jemaat memberikan dalam
bentuk natura saja seperti ikan dan garam. Anak-anaknya pergi menukarnya dengan
jagung dan ubi ke Baumata. Kita dapat memahami keadaan ini, Bire Manu melayani
jemaat ini dalam situasi yang sulit yaitu masa menjelang dan meletusnya G30S. Pada
saat itu terjadi penderitaan yang luar biasa, kelaparan terjadi di mana-mana. Untuk
memenuhi kebutuhannya dan keluarganya, Pdt. Bire Manu menempa pisau, parang
dan alat pertanian lainnya karena ia adalah seorang pandai besi.20
Pdt. Bire Manu cukup lama melayani di Jemaat Oesapa. Selama masa
pelayanannya di Jemaat Oesapa, Pdt. Bire Manu membaptis 155 orang anak seperti
yang terdapat pada tabel di bawah ini:
Tabel 9
Catatan Baptisan 1963-1967 oleh Pdt. K. Bire Manu
Anak Dewasa
Tgl/Bln/Thn Jumlah
Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
29-12-1963 7 4 -- -- 11
30-03-1964 9 8 -- -- 17
26-07-1964 5 5 -- -- 10
25-10-1964 12 7 -- -- 19
25-04-1965 13 8 -- -- 21
10-10-1965 14 10 -- -- 24
29-05-1966 3 4 -- -- 7
27-07-1966 -- -- 1 -- 1
27-11-1966 13 16 -- -- 29
26-02-1967 -- 1 -- -- 1
21-03-1967 -- 2 -- -- 2
21-05-1967 6 4 -- -- 10
26-12-1967 1 2 -- -- 3

Jumlah 83 71 1 -- 155
Sumber: Register Baptisan Jemaat Oesapa
Pada masa pelayanan Pdt. Bire Manu terjadi kericuhan dalam jemaat ini. Pada
suatu hari Minggu, Pdt. Bire Manu berkhotbah. Sementara ia berkhotbah, ada anggota

20
Wawancara dengan Pdt. J. Bire Manu, STh, anak Pdt. Bire Manu di SoE.

31
jemaat yang berkata: “Amin, Amin” menyambut setiap kalimat khotbah pendeta. Hal
ini disebabkan karena khotbahnya terlalu panjang dan lama yang membuat jemaat
bosan.21 Peristiwa ini kemudian diselesaikan oleh Majelis Sinode. Ketua Sinode pada
masa itu adalah Pdt. L. Radja Haba. Sinode memutuskan untuk mengenakan disiplin
gereja kepada Jemaat Oesapa namun disiplin ini tidak lama pekerjaan pelayanan
dalam jemaat dipimpin oleh Majelis Jemaat saja. Khotbah dipimpin secara bergilir
oleh Majelis Jemaat terutama dipimpin oleh Ibu Cornelia Pandie, Bapak Junus Foes,
Ibu Mathelda Mae-Messakh dan Bapak Johan Daniel. Johan Daniel ditunjuk sebagai
Penanggung Jawab.22
Pada pelayanan Pdt. Bire Manu telah terdapat 2 (dua) Paduan Suara yang
bernama Paduan Suara Sesawi dan Paduan Suara Gloria. Paduan suara ini dipimpin
oleh Ibu Mathelda Mae-Messakh. Paduan Suara ini aktif mengisi ibadah pada setiap
hari Minggu.23
Kemudian Pdt.Bire Manu dipindahkan menjadi pendeta pada Jemaat Bena,
Timur Tengah Selatan. Di sanalah Pdt. Bire Manu mengakhiri pelayaannya. Ia
memasuki masa emeritusnya pada tahun 1987 dan meninggal dunia pada 9 Januari
1998.24

9. Pdt. Pieter Frans de Haan: 1968-1983


Pdt. Bire Manu digantikan oleh Pdt. P.F. de Haan setelah jemaat ini mendapat disiplin
gereja selama kurang lebih dua tahun. Disiplin gereja ini dijatuhkan atas seluruh
jemaat dan bukan hanya kepada yang mengganggu jalannya ibadah. Tindakan disiplin
gerejawi seperti ini agak jarang terjadi.

21
Wawancaara dengan J. L. Makatita, B. Sahertian dan Paul Isliko di Oesapa.
22
J. G. O. Mage, Catatan Lepas, 5 Juni 2003, Oesapa Timur
23
Wawancara dengan L. St. Rumlaklak di Oesapa
24
F. D.Wellem, Op.cit, hal. 114

32
Pdt. P. F. de Haan

Menurut Pdt. de Haan, ia tidak ditempatkan oleh Majelis Sinode di Jemaat


Oesapa. Beliau sendiri mendatangi Ketua Sinode GMIT dan minta dipindahkan dari
Jemaat Tarus Barat (kini: Jemaat Ebenhaezer) ke Jemaat Oesapa. Menurut de Haan, ia
terharu dengan keadaan Jemaat Oesapa yang tidak mendapat pelayanan seorang
pendeta dan tidak mendapat pelayanan sakramen padahal anggota Jemaat Oesapa
kebanyakan adalah keluarga dan sanak saudaranya. 25 Dengan demikian Pdt. de Haan
ditempatkan di Jemaat Oesapa pada tahun 1967 dan disiplin gereja atas Jemaat Oesapa
juga berakhir.
Pieter Frans de Haan dilahirkan di Oesapa pada 9 April 1916. Ayahnya bernama
Wellem de Haan dan ibunya bernama Betji Kolloh. Ayah dan ibunya adalah penduduk
asli Oesapa, dengan demikian de Haan adalah putra asli Oesapa. Pdt. Pieter Frans de
Haan menikah dengan Elisabeth Maria Kiroyan. Pada Register Baptisan yang dimiliki
Jemaat Oesapa terdapat beberapa nama marga de Haan, seperti Susana de Haan,
Fredik de Haan, Welmintje de Haan, Pieter de Haan yang pada tahun 1875 mereka
telah dewasa, bahkan Susana dengan suaminya Abia Fudikoa membaptis anaknya
pada 18 Juli 1875. Ini menunjukkan bahwa keluarga de Haan telah lama berdiam di
Oesapa. Kemungkinan keluarga ini telah berdiam di Oesapa sejak masa VOC. Semua
keluarga de Haan telah menjadi Kristen. Oleh karena itu Pdt. Pieter Frans de Haan
sangat mengenal karakter dan kebiasaan-kebiasaan penduduk Oesapa pada masanya.26
25
Wawancara dengan Pdt. P. F. de Haan pada waktu beliau masih hidup dengan Pdt. F. D.
Wellem di Oesapa
26
Menurut tuturan Pdt. L.P.F. de Haan, putra Pdt. P.F. de Haan, moyangnya adalah seorang
Belanda. Pada masa lalu (tidak diketahui lagi secara tepat) terdapat tiga orang Belanda tiba di Kupang
(Oesapa) yaitu de Haan, de Kock dan da Silva. Kedua yang disebutkan terakhir melanjutkan perjalanannya
ke arah Timur sedangkan de Haan tinggal Oesapa dan menikah dengan penduduk Oesapa dan

33
Pendidikan dasarnya adalah tamatan Sekolah Rakyat 3 Tahun di Oesapa.
Kemudian ia bekerja sebagai tukang kayu dan tukang batu pada Dinas Pekerjaan
Umum. Di samping itu, ia membantu Pdt. Sahertian dalam pekerjaan pelayanan dalam
Jemaat Oesapa. Ia belajar teologi sendiri dan magang kepada Pdt. Sahertian. Oleh
karena kerajinan dan kepandaiannya maka Pdt. Sahertian mengangkatnya sebagai
Pembantu Agama di Jemaat Oesapa pada 1 Februari 1943 namun kemudian
ditingkatkan menjadi Utusan Injil pada 1 Agustus 1945. Pada 1 Agustus 1950 Pieter
Frans de Haan diangkat menjadi Guru Jemaat dan pada 1 April 1956 ia diberi hak
untuk melayani sakramen. Dengan demikian de Haan sebenarnya sudah menjadi
seorang yang berjabatan pendeta.27
Adapun kegiatan pelayanan Pdt. de Haan adalah sebagai berikut:
a. Pemulihan pelayanan dalam jemaat
Jemaat Oesapa telah hidup tanpa gembala selama sekitar 2 (dua) tahun lamanya.
Pelayanan dalam jemaat berlangsung dengan kocar kacir. Oleh karena itu
pelayanan pertama adalah memulihkan kembali keadaan Jemaat Oesapa. Ia
mengangkat 9 (sembilan) orang angota majelis jemaat yang membantunya dalam
pelayanan jemaat. Dengan demikian situasi pelayanan dalam jemaat berangsur-
angsur pulih kembali.
b. Nama Jemaat Oesapa
Pada mulanya jemaat ini tidak diberi nama seperti sekarang ini. Kebiasaan pada
masa lalu adalah suatu jemaat disebutkan dengan nama di mana jemaat itu berada.
Perlu dicatat bahwa pada masa lampau tidak dipakai sebutan jemaat melainkan
gereja. Hal ini mempunyai pemahaman eklesiologis tertentu yaitu bahwa suatu
gereja di suatu tempat tertentu merupakan tubuh Kristus yang utuh. Oleh karena itu
jemaat di Oesapa disebut Gereja Oesapa.
Bilamana Jemaat Oesapa diberi nama dan siapa yang memilih nama serta apa
latar belakang teologisnya tidaklah jelas bagi kita. Namun kita dapat menduganya
bahwa Pdt. de Haan yang memberi nama kepada Jemaat Oesapa ini, karena
beliaulah yang menjadi pendeta pada jemaat ini ketika jemaat ini diberi nama pada

meninggalkan keturunannya di Oesapa. Wawancara, di Oesapa.


27
F. D. Wellem, Mengenang Leluhur Kami, Riwayat Hidup Singkat Pembawa Kabar Baik di
Gereja Masehi Injili di Timor, hal. 123-124

34
tahun 1971.
Pemahaman teologis
di balik pemilihan
nama ini adalah
hendak menyatakan
bahwa rumah ini
adalah Rumah
Tuhan (Bahasa
Ibrani: Beth, artinya rumah; dan El dari kata Elohim artinya Tuhan). Anggota
jemaat yang datang adalah datang berada di Rumah Tuhan. Di rumah ini umat
Tuhan di Oesapa datang berjumpa dengan Tuhan Allah dan di tempat ini Tuhan
Allah datang menemui umat-Nya dengan Firman-Nya (lih. Kej 28:10-20).
Sejak tahun 1971 nama yang dipakai adalah Bait’el seperti yang nampak pada
tembok sebelah barat dari gedung jemaat yang baru dibangun itu (lih. foto di
bawah). Namun kemudian diubah menjadi Bet’el agar sesuai Terjemahan Baru
Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Jemaat Oesapa sejak tahun 1971
hingga tahun 1982 bernama Bait’el dan sejak tahun 1982 hingga kini bernama
Bet’el.28

Dok. Kel. Dr. H. Reenders


Gedung Jemaat Bait’el yang dibangun pada tahun 1971
c. Ibadah pada Hari Minggu
Kebaktian Utama diadakah hanya sekali saja pada Hari Minggu dengan
mempergunakan Liturgi Model I (Pertama) sekarang. Pada masa itu Model Liturgi
Pertama ini merupakan satu-satunya Liturgi Kebaktian Utama pada masa itu.
Kebaktian biasanya dilaksanakan pada jam 09.00 pagi. Ibadah harus dihadiri oleh
Majelis Jemaat. Pdt. de Haan membuat daftar absen yang harus ditandatangani oleh

28
Penyesuaian juga masih keliru. Kata yang dipakai dalam Terjemahan Baru LAI adalah Betel dan
bukan Bet’el. Sebaiknya dipergunakan nama Bet’el sehingga jelas berarti Rumah Tuhan.

35
setiap anggota Majelis Jemaat yang hadir. Anggota Majelis Jemaat yang
berhalangan hadir haruslah memberi kabar kepada Majelis Jemaat.
Sayang, kita tidak lagi mempunyai daftar Majelis Jemaat yang lengkap sejak
tahun 1968 hingga 1979. Menurut informasi yang menjadi Majelis Jemaat Bait’el
pada Periode 1979-1983 adalah sebagai berikut:
Ketua : Pdt. P.F. de Haan
Wakil Ketua : J.L. Makatita
Sekretaris : J.G.O. Mage
Pembantu Sekretaris : Petrus Lifu
Bendahara : Th.K. Isliko
Anggota-anggota : C. Pandie, Jon Tosugi, L.St. Rumlaklak, D. Amalo, Frans.
E. Kunang, D. Elliek, D. Amalo, J. Sarkim, Ch. Lopung,
Ruben Hia, A. Balla. Jes J. Sine, Ch. Pandie dan R.O.Z.
Fanggi.
Pada tahun 1982 terjadi pemekaran Jemaat Oesapa sehingga terjadi perubahan
dalam susunan Majelis Jemaat Bet’el Oesapa sebagai berikut:
Tabel 10
Susunan Majelis Jemaat Periode 1982-1983
No. N a m a Pangkat Jabatan
1. Pdt. P.F. de Haan Pendeta Ketua Majelis Jemaat
2. C. Pandie Penatua Wakil Ketua
3. John Tosugi Penatua Sekretaris
4. L.St. Rumlaklak Syamas Pembantu Sekretaris
5. Th.K. Isliko Syamas Bendahara
6. F.E. Kunang Penatua Pembantu Bendahara
7. D. Elliek Penatua Anggota
8. D. Amalo Penatua Anggota
9. J. Sarkim Penatua Anggota
10. M.L. Rumlaklak Syamas Anggota
11. L. Lelangki Penatua Anggota
Sumber: Warta Jemaat Bet’el Oesapa

36
Pemimpin ibadah biasanya dipimpin oleh Pdt. P.F. de Haan tetapi sering juga
dipimpin oleh anggota Majelis Jemaat, dosen-dosen Akademi/Sekolah Tinggi
Teologia Kupang dan mahasiswa STT Kupang tingkat terakhir.
Pada masa pelayanan Pdt. de Haan, Jemaat Oesapa ditetapkan sebagai jemaat
laboratorium teologi, artinya Jemaat Bet’el Oesapa menjadi tempat mempraktikkan
ilmu teologi yang mereka peroleh di bangku kuliah sambil mereka belajar
berjemaat. Sesudah Pdt. de Haan, Jemaat Oesapa masih berfungsi sebagai
laboratorium pada periode pelayanan pendeta-pendeta berikutnya, namun lama
kelamaan fungsi ini menjadi kabur.
Peserta ibadah pada setiap minggu berkisar dua ratusan orang saja. Di bawah ini
dikutip jumlah peserta ibadah untuk memperlihatkan jumlah peserta ibadahnya.

Tabel 11
Peserta Ibadah Utama
Juli 1982
Hari Tgl/Bln/Thn Laki-Laki Perempuan Jumlah
Minggu 04-07-1982 72 110 182
Minggu 11-07-1982 115 84 199
Minggu 18-07-1982 73 119 192
Minggu 25-07-1982 75 117 192
Sumber: Warta Jemaat Bet’el, Oesapa, Juli 1982

Tabel 12
Peserta Ibadah Utama
November 1983
Hari Tgl/Bln/Thn Laki-Laki Perempuan Jumlah
Minggu 06-11-1983 76 92 168
Minggu 13-11-1983 79 88 167
Minggu 20-11-1983 111 123 234
Minggu 27-11-1983 104 116 220

Sumber: Warta Jemaat Bet’el, Oesapa, November 1983

Berdasarkan Tabel di atas, maka tidak ada pertambahan yang mencolok dari
para peserta ibadah selama tahun 1982 dan 1983. Peserta ibadah pada setiap

37
bulanlah hanyalah berkisar 30% hingga 40%. Peserta ibadah yang terbanyak pada
umumnya adalah perempuan.

d. Ibadah Rumah tangga dan Perkunjungan Jemaat


Ibadah rumah tangga merupakan kebiasaan yang telah berlangsung dalam gereja di
mana saja. Demikian juga berlangsung di Jemaat Bait’el, Oesapa. Pada masa
pelayanan Pdt. P. F. de Haan, ibadah rumah tangga dilaksanakan dua kali seminggu
dalam setiap wilayah pelayanan. Pdt. De Haan telah menetapkan perikop Alkitab
yang dijadikan pembacaan dan renungan pada setiap kali ibadah rumah tangga dan
ibadah kunci usbu. Ibadah dipimpin oleh Majelis Jemaat wilayah pelayanan
masing-masing. Pada masa ini setiap wilayah pelayanan dilayani oleh seorang
Majelis Jemaat. Oleh karena itu kelancaran ibadah rumah tangga sangat bergantung
kepada kesempatan Majelis Jemaat. Peserta ibadah rumah tangga biasanya
hanyalah penghuni dalam rumah tangga tersebut.
Jikalau pada setiap minggu terdapat 2 (dua) rumah tangga mendapat pelayanan
ibadah rumah tangga berarti pada setiap wilayah pelayanan terdapat delapan rumah
tangga yang terlayani. Jikalau terdapat 10 (sepuluh) wilayah pelayanan, maka pada
setiap bulan terdapat 80 (delapan puluh) rumah tangga yang terlayani dengan
ibadah rumah tangga. Dalam setahun terlayani sekitar 800 (delapan ratus) rumah
tangga, yang berarti setiap rumah tangga dalam tempo setahun mendapat 2 (dua)
kali pelayanan ibadah rumah tangga. Ini berarti Majelis Jemaat mampu melayani
jemaat dengan baik sekali. Di samping itu juga dipraktikkan ibadah kunci “usbu”
yang dilaksanakan pada hari Sabtu sebagai penutup Minggu. Ini berarti tugas
seorang Majelis Jemaat tidaklah mudah.
Ibadah rumah tangga juga dipimpin oleh Pdt. de Haan. Biasanya ibadah rumah
tangga yang dipimpinnya dengan sebutan perkunjungan jemaat oleh pendeta.
Nampaknya Pdt. de Haan bukan saja datang untuk memimpin ibadah rumah tangga
tetapi sekaligus mengadakan perkunjungan jemaat. Oleh karena itu biasanya Pdt. de
Haan telah tiba di rumah jemaat yang dikunjunginya kurang lebih setengah jam
sebelum ibadah dimulai yang diisi dengan percakapan pastoral. Biasanya ia
berkujung ke rumah anggota jemaat 4 (empat) kali seminggu (Selasa, Rabu, Kamis
dan Jumat). Dengan demikian dalam setahun pelayanan semua anggota jemaat

38
sekurang-kurangnya sekali mendapat perkunjungan pendeta. Oleh karena itu Pdt.
de Haan sangat mengenal setiap anggota jemaatnya dan anggota jemaat sangat
menghormatinya. Biasanya Pdt. de Haan didampingi oleh sang istrinya.

e. Paduan Suara dan Persekutuan Doa


Sebagaimana pada jemaat-jemaat Kristen lainnya pada setiap ibadah pada Hari
Minggu selalu terdapat Paduan Suara, maka demikianlah juga dalam Jemaat
Oesapa. Paduan Suara tersebut adalah antara lain Paduan Suara Gloria dan Paduan
Suara Biji Sesawi.
Pada masa ini di Jemaat Oesapa telah terdapat Persekutuan Doa. Persekutuan
Doa tersebut bernama Persekutuan Doa Calvary. Pada mulanya Persekutuan Doa
tidak diterima namun kemudian dapat diterima juga malahan sekarang menjadi
salah satu pelayanan kategorial. Demikian juga dengan pemakaian alat musik
dalam ibadah juga dilarang. Pernah L.St. Rumlaklak, dkk. menyanyi dengan
memakai iringan gitar. Sesudah ibadah L.St. Rumlaklak, dkk. diberi peringatan
agar tidak memakai gitar dalam ibadah jemaat namun kemudian tidak dilarang
lagi.29

f. Tempat Ibadah Utama Jemaat


Pada tahun 1971 dibangun sebuah gedung ibadah yang permanen yang letaknya
tidak jauh dari gedung ibadah sekarang ini (sebelah utara). Pada tahun ini Jemaat
Oesapa diberi nama Bait’el, Oesapa yang berarti Rumah Tuhan. Peletakkan batu
pertama dilakukan oleh Drs. Anton Adi, Bupati Kabupaten Kupang. Gedung ini
dapat menampung sekitar 200 (dua ratus) peserta ibadah. Gedung ini dibangun atas
swadaya jemaat sendiri dengan bantuan teknik dari Ir. Jung, juru bangunan Kampus
Akademi Teologi Kupang. Gedung ini dibangun memanjang utara-selatan.
Terdapat 2 (dua) pintu masuk yaitu pada sebelah selatan dan barat. Pada dinding
sebelah timur bagian luar dibangun ruang konsistori. Pada tembok sebelah timur
bagian dalam terdapat sebuah mimbar untuk berkhotbah. Dengan demikian pendeta
menghadap ke arah barat ketika ia berkhotbah. Di samping kiri dan kanan mimbar

29
Wawancara dengan L.St. Rumlaklak di Oesapa

39
duduklah anggota Majelis Jemaat. Terdapat pula sebuah mimbar kecil yang
dipergunakan sebagai tempat untuk membacakan warta jemaat. Di depan mimbar
terdapat sebuah meja panjang sebagai tempat penyimpanan kantong persembahan.
Gedung jemaat ini dibangun atas swadaya jemaat sendiri.
Namun berhubungan dengan perkembangan anggota jemaat maka diadakan
pembangunan sebuah gedung baru. Gedung yang lama tidak mampu lagi
menampung anggota jemaat yang datang beribadah dan gedung itu tidak layak lagi
untuk digunakan karena sudah tua. Diperkirakan jumlah anggota jemaat telah
mencapai sekitar seribuan jiwa. Oleh karena itu dibentuk sebuah Panitia
Pembangunan pada 10 Oktober 1982. Adapun susunan Panitianya adalah sebagai
berikut:
Pelindung/Penasihat : 1. Ketua Majelis Jemaat Bait’el Oesapa
2. Lurah Oesapa
Ketua Panitia : M. M. Simorangkir
Wakil Ketua : S. A. Sitta
Sekretaris Panitia : Drs. Djidon de Haan
Penyelenggara Tata Usaha : John Tosugi
Penerangan dan Humas : Semua anggota Majelis Jemaat Oesapa
Koordinator Bagian Bangunan : D. Elliek
1. Perencana : M. Mauday
2. Kepala Tukang : Yoppie Bartels
3. Bagian Kayu : F. Kodey
4. Bagian Batu : J. Toelle
5. Bagian Gudang : Y. Fudikoa
Koordinator Bagian Keuangan : Dan Amalo
1. Bendahara : Betty MaE
2. Bagian Pengumpulan/Penerimaan Bahan: Th. K. Isliko
3. Bagian Pengumpulan Dana
3.1. Sumbangan Wajib Bulanan : Semua anggota Majelis Jemaat Oesapa
3.2. Arisan Wilayah : sda
3.3. Usaha Ternak Gereja : sda

40
3.4. Penjualan Bahan Lama, dll. : Frans E. Kunang
3.5. Penjualan Hasil Karya Wanita: Organisasi Wanita GMIT Oesapa
3.6. Urusan Sumbangan Istimewa : Sekretaris
3.7. Usaha Lain-lain : semua organisasi gerejani
Staf Pengawas : Th. Bentura, Max Kalalo, B. Munding
Bagian Keuangan : J. Timisela, D. W. de Haan, Piet Adam
Staf Pembantu Umum :
Pihak Gerejani : Semua anggota Majelis Jemaat
Pihak Pemerintah : Kepala Lingkungan III dan IV30

Majelis Jemaat mengadakan ibadah peletakkan batu pertama pembangunan


gedung ibadah yang baru ini pada 28 November 1982. Sama seperti pembangunan
gedung ibadah yang lama, pembangunan gedung yang baru ini dilaksanakan atas
swadaya jemaat sendiri. Bagi Pdt. de Haan anggota jemaatnya harus dididik untuk
mandiri. Karena itu pada setiap minggu sore setiap wilayah pelayanan di bawah
koordinasi Majelis Jemaatnya mengadakan kerja bhakti. Di samping itu diedarkan
kantong khusus untuk pembangunan gedung yang dimaksud. Ada juga anggota
jemaat yang memberi persembahan dalam bentuk hasil bumi dan kemudian dilelang
serta hasilnya digunakan untuk pembangunan gedung ibadah dimaksud. Juga sering
diadakan lelang lagu oleh Paduan Suara Pemuda, Paduan Suara Kaum Ibu. Di
samping itu diadakan aksi dana yaitu dengan mengadakan Gerakan Seribu dan
setiap rumah tangga menyumbang 2 (dua) lembar seng. Pemerintah Kota Kupang
juga turut memberikan sumbangan bagi pembangunan gedung ibadah ini
Pendeknya semua anggota jemaat dengan sukarela menyumbang demi
pembangunan gedung ibadah itu. Ketika Pdt. de Haan berpindah ke Jemaat Nazaret
tahun 1984 pembangunannya belum selesai. Penyelesaian pembangunan gedung ini
dilanjutkan pada masa kepemimpinan Pdt. F.A. Fobia-Polhaupessy, SmTh, pendeta
pengganti Pdt. de Haan di Jemaat Bet’el, Oesapa.

h. Pelayanan pada Lembaga Pemasyarakatan Penfui

30
Sumber: Warta Jemaat, 31 Oktober 1982

41
Klasis Kupang Tengah mempercayakan kepada Jemaat Bet’el Oesapa untuk
mengadakan pelayanan rohani atas para narapidana pada Lembaga
Permasyarakatan (LP) Dewasa Penfui. Penyerahan pelayanan ini disebabkan oleh
LP Penfui berada dalam lingkungan pelayanan Jemaat Bet’el, Oesapa. Majelis
Jemaat menerima tugas pelayanan ini dengan penuh tanggung jawab. Pelayanan di
Lembaga Pemasyarakatan ini biasanya dilayani oleh Pdt. de Haan setelah
memimpin ibadah utama pagi di Jemaat Oesapa. Pada tahun 1979-1983 Majelis
Jemaat menunjuk L.St. Rumlaklak sebagai koordinator pelayanan di LP hingga
pelayanan di LP Dewasa Penfui diambil alih oleh Majelis Sinode GMIT.31

i. Pemekaran Jemaat
Pdt. de Haan membuat langkah yang sangat strategis yaitu dengan memekarkan
Jemaat Oesapa. Ia memandang sangat penting untuk mempersempit wilayah
pelayanan Jemaat Oesapa sehingga anggota jemaat mendapat pelayanan yang lebih
baik. Caranya adalah dengan memekarkan Jemaat Oesapa. Sikap Pdt. de Haan ini
tidak populis pada masa itu. Para pendeta pada umumnya tidak suka memekarkan
jemaatnya, karena akan berakibatkan pada sempitnya wilayah pelayanan yang dapat
berdampak pada berkurangnya wilayah kekuasaan dan gaji mereka menjadi
berkurang pula, karena jumlah anggota jemaat yang dilayaninya menjadi
berkurang.
Pemekaran pertama yang dilakukan oleh Majelis Jemaat adalah mendewasakan
Tuaksabu. Majelis Jemaat Oesapa mengangkat Bpk. Matteos Ndun sebagai
Penanggung Jawab. Kemudian Majelis Sinode GMIT menempatkan Ny. F.A.
Fobia-Polhaupessy, SmTh sebagai vikaris di Jemaat Oesapa di bawah bimbingan
Pdt. P.F. de Haan pada tahun 1979. Setelah Ny. F.A. Fobia-Polhaupessy
menyelesaikan masa vikariatnya, ia ditahbiskan menjadi pendeta dan ditempatkan
di Jemaat Tuaksabu pada Juli 1981. Dengan demikian Jemaat Tuaksabu berdiri
sendiri dengan memakai nama Lahairoi. Dengan berdirinya Jemaat Lahairoi
Tuaksabu maka wilayah pelayanan Jemaat Oesapa menjadi sempit yaitu hanya

31
Informasi dari L.St. Rumlaklak

42
meliputi Oesapa Kecil dan Oesapa Besar, Nunsui, Tuabata,Tuahur, Pohon Kabesak
dan Oeluruk.
Pdt. de Haan terus membaca perkembangan di Oesapa. Beliau melihat perlunya
Jemaat Bet’el Oesapa dimekarkan lagi. Oleh karena itu bersama-sama dengan
Majelis Jemaat diputuskan memekarkan jemaat ini lagi yaitu wilayah pelayanan
Oesapa Kecil perlu dimekarkan. Langkah pemekaran yang kedua terrealisasi pada
23 Desember 1979. Majelis Jemaat yang melayani di wilayah pelayanan Oesapa
Kecil menjadi Majelis Jemaat Perdana dari jemaat pemekaran ini. Mereka itu
adalah antara lain Bapak. M. Long, Bapak. Mayor J. Daniel, Bapak Daniel Maakh,
Bapak Jonas Foes dan Bapak Markus Foeh. Majelis Jemaat Oesapa mengangkat
Bapak Jonas Foes sebagai Penanggung Jawab sambil menunggu Majelis Sinode
GMIT menempatkan seorang pendeta. Jemaat yang baru ini diberi nama Betlehem.
Majelis Jemaat Bait’el memberikan lonceng gereja yang terbuat dari kuningan
sebagai tanda mata kepada jemaat yang baru ini.
Pdt. de Haan tidak berhenti memekarkan jemaatnya. Sekalipun terdapat
keberatan dari beberapa anggota Majelis Jemaat, namun Pdt. de Haan tetap
berkeinginan untuk memekarkan lagi Jemaat Bet’el Oesapa ini. Pdt. de Haan sangat
percaya kepada visinya yaitu Desa Oesapa akan dibanjiri oleh banyak orang.
Penduduk Oesapa akan bertambah cepat dengan dibukanya beberapa Perguruan
Tinggi di Oesapa. Wilayah pelayanan Nunsui, Pohon Kabesak, Tuabata, Tuahur
dan Oeluruk dimekarkan menjadi satu jemaat baru. Majelis Jemaat dari wilayah
pelayanan ini akan menjadi Majelis Jemaat Perdana dari jemaat yang baru ini dan
anggota jemaat dari wilayah-wulayah tersebut akan menjadi anggota jemaat yang
baru ini. Majelis Jemaat itu adalah Bapak J.L. Makatita, Bapak G.J.O. Mage, Bapak
Ch. Lopung, Bapak Ruben Hia, Bapak A. Balla, Bapak Jes J. Sine, Bapak Ch.
Pandie, Bapak R.O.Z. Fanggi, Bapak Jan Patty dan Bapak Petrus Lifu. Dengan
demikian berdirilah sebuah jemaat baru yang merupakan pemekaran yang ketiga
dari Jemaat Bet’el Oesapa. Jemaat baru ini diberi nama Nazareth. Peresmian
berdirinya jemaat ini dilaksanakan pada 31 Oktober 1982. Dengan demkian pada
masa pelayanan Pdt. P.F. de Haan dari Jemaat Bet’el lahirlah Jemaat Lahairoi
Tuaksabu, Jemaat Betlehem Oesapa Barat dan Jemaat Nasaret Oesapa Timur.

43
Ide pemekaran di atas adalah ide yang sangat cerdas dan bijak. Pdt. de Haan
adalah seorang yang visioner. Ia melihat perkembangan jauh ke depan. Tanda-tanda
zaman dibacanya dengan cermat dan tepat. Melihat kehadiran anggota jemaat pada
ibadah utama, yang hadir hanyalah berkisar 20% hingga 30% saja. Ke manakah
anggota jemaat yang lain? Usaha untuk meningkatkan jumlah pengunjung ibadah
dengan perkunjungan pastoral kepada jemaat tidak berhasil. Pdt. de Haan melihat
kendalanya yaitu rumah jemaat jauh dari tempat ibadah (gereja). Mereka harus
berjalan kaki jauh untuk beribadah sehingga mereka malas untuk beribadah. Di
samping itu Pdt. de Haan melihat pula akan ancaman dengan masuknya dan
berkembangnya denominasi lain dan agama lainnya di desa ini. Anggota jemaat
harus dilayani dengan baik sehingga mereka tidak diombang-ambingkan oleh
pengajaran-pengaran lain. Pdt. de Haan mengadakan terobosan baru yaitu
mendekatkan pelayanan termasuk gedung gereja kepada jemaat. Gedung ibadah
harus berada di tengah-tengah dan dekat dengan anggotanya. Di samping itu akan
terdapat pertambahan jumlah penduduk yang cepat sehingga Jemaat Oesapa tidak
dapat menampung semua jemaat yang baru itu. Tanda-tandanya sudah dimulai
dengan pembukaan Akademi Teologi Kupang, Universitas Nusa Cendana dan
Akademi Manajemen Kupang (AMK). Pengamatan Pdt. de Haan ternyata sangat
tepat, jikalau kita melihat perkembangan yang terjadi sekarang ini.

j. Pelayanan Diakonia
Pelayanan diakonia merupakan tradisi gereja sepanjang abad. Jemaat Bet’el Oesapa
juga melaksanakan pelayanan diakonia bagi anggota-anggota jemaatnya yang
miskin dan membutuhkan bantuan. Pekerjaan pelayanan diakonia dilaksanakan
oleh para syamas. Adapun diakonia yang secara rutin adalah pelayanan diakonia
karitatif bulanan yaitu dengan memberikan bantuan dalam bentuk natura ataupun
sejumlah uang. Namun di samping itu diadakan juga pelayanan diakonia karitatif
pada hari-hari raya gerejawi seperti pada Hari Raya Natal.
Majelis Jemaat juga memberikan diakonia pendidikan yaitu beberapa beasiswa
bagi calon-calon pendeta yang sedang belajar pada Akademi Teologi Kupang.

44
Calon pendeta yang pernah mendapat diakonia pendidikan antara lain L.P.F. de
Haan, Selvina B. A. Tauk, dsbnya.
Di samping itu Majelis Jemaat mengadakan Pernikahan Massal. Hal ini
disebabkan oleh karena masih banyak anggota jemaat yang nikahnya belum
diberkati oleh gereja. Pada 15 Agustus 1982 terdapat 7 (tujuh) pasangan nikah yang
diberkati secara massal dengan biaya dari Majelis Jemaat Bet’el Oesapa. 32 Barulah
di kemudian hari pembiayaan nikah massal mendapat bantuan pemerintah Kota
Kupang seperti yang masih berlaku hingga sekarang ini.

k. Keuangan dan harta milik Jemaat


Ketika Pdt. de Haan memulai pelayanannya pada jemaat ini keadaan keuangan
jemaat masih menyedihkan. Gajinya tidak dapat dibayar oleh jemaat sekalipun
demikian Pdt. de Haan tidak banyak menuntut dari jemaatnya. Untuk memenuhi
kebutuhannya dan keluarga, ia bekerja kebun dan menggarap sawah di Tarus. Pada
masa itu Majelis Jemaat belum membangun pastori untuk pendetanya. Oleh karena
Pdt. de Haan berdiam di rumahnya sendiri di Tarus dan setiap melaksanakan
pelayanan ia berjalan kaki atau bersepeda saja. Namun kemudian ketika keadaan
keuangan jemaat membaik maka jemaat dapat membayarnya gajinya. Di bawah ini
kami mengutip Laporan Kolekte sebagai berikut:
Tabel 13
Laporan Kolekte Peserta Ibadah Utama
Juli 1982
Hari Tgl/Bln/Thn Besarnya Kolekte Keterangan
Minggu 04-071982 Rp, 40.400
Minggu 11-07-1982 Rp. 55. 050
Minggu 18-07-1982 Rp. 69. 570
Minggu 25-07-1982 Rp. 42.025
Jumlah Rp. 197.045
Sumber: Warta Jemaat Bet’el Oesapa, Juli 1982

Tabel 14
Laporan Kolekte Ibadah Utama
Oktober 1983
32
Warta Jemaat Bet’el, Oesapa, 15 Agustus 1982

45
Hari Tgl/Bln/Thn Besarnya Kolekte Keterangan
Minggu 06-11-1983 Rp. 69.340
Minggu 13-11-1983 Rp. 33.060
Minggu 20-11-1983 Rp. 38.225
Minggu 27-11-1983 Rp. 13.735

Jumlah Rp. 154.360


Sumber: Warta Jemaat Bet’el, Oesapa, November 1983

1. Dengan laporan di atas memperlihatkan bahwa keuangan jemaat semakin baik


sehingga dapat membayar gaji pendeta dan membiayai kegiatan jemaat
lainnya.
2. Sumber keuangan jemaat adalah berasal dari anggota jemaat sendiri. Pada
setiap ibadah diedarkan kantong persembahan dan biasanya 2 (dua) kantong
persembahan pada setiap kali ibadah pada hari Minggu. Demikian pula pada
setiap ibadah rumah tangga dan ibadah lainnya diedarkan kantong
persembahan. Semua persembahan jemaat dicatat dengan baik oleh Bendahara
Majelis Jemaat dan dipergunakan seluruhnya untuk pelayanan dalam jemaat.
Pdt. de Haan sangat ketat dalam penggunaan keuangan jemaat. Ia pernah
mengenakan disiplin (menskorsing) salah seorang anggota Majelis Jemaat
karena salah mempergunakan keuangan jemaat. Setelah ia mengakui
kesalahannya barulah yang bersangkutan dipulihkan kembali kedudukannya
sebagai anggota Majelis Jemaat.
Pada setiap ibadah minggu dilaporkan keuangan jemaat sehingga anggota jemaat
dapat mengetahui keuangan yang masuk dan yang keluar. Pdt. de Haan tidak segan-
segan mengenakan disiplin gereja kepada Majelis Jemaat yang menyalahgunakan
keuangan jemaat. Penggunaan keuangan dan harta milik jemaat haruslah mendapat
persetujuan Majelis Jemaat. Sistem kerja ini ditaati dengan baik oleh Pdt. de Haan.
Pdt. de Haan dimutasikan ke Jemaat Nazareth, Oesapa Timur berdasarkan Surat
Keputusan Majelis Sinode GMIT tertanggal 4 November 1983, Nomor:
129.A/IV.5/1983. Pdt. Ny. F.A. Fobia-Polhaupessy, SmTh. ditempatkan pada
Jemaat Bet’el Oesapa untuk menggantikan Pdt. P.F. de Haan berdasarkan Surat
Keputusan Majelis Sinode GMIT tertanggal 5 November 1983, Nomor.130.
A/IV.6/1983. Serah terima jabatan dilaksanakan pada 27 November 1983.

46
Pdt. de Haan telah melayani Jemaat Oesapa selama 16 tahun lamanya dan
menurut catatan pada Buku Register Baptisan yang ada pada jemaat ini, Pdt. P.F. de
Haan telah melakukan baptisan atas 581 orang. Ia merupakan pendeta yang kedua
yang terlama melayani Jemaat Bet’el, Oesapa. Pdt. de Haan sangat disegani dan
dihormati oleh anggota jemaat dan oleh penduduk Desa Oesapa. Pdt. de Haan
adalah seorang anak asli Desa Oesapa tetapi tidak ditolak oleh desanya. Jikalau
Tuhan Yesus ditolak oleh orang-orang Nazaret, negerinya sendiri tetapi Pdt. de
Haan tidak ditolak dari desanya, Oesapa.
Dengan berakhirnya pelayanan Pdt. de Haan pada Jemaat Bet’el Oesapa maka
berakhirlah pula pelayanan para pendeta generasi lama. Sekalipun mereka tidak
berpendidikan teologi akademik, namun Tuhan Allah telah berkenan
mempergunakan mereka menjadi alat yang berguna untuk menyebarluaskan Kabar
Baik tentang keselamatan dalam Krisus Yesus. Mereka telah meletakkan dasar
yang kokoh bagi maju dan berkembangnya Jemaat Bet’el Oesapa ke masa depan
yang penuh harapan dan tantangan-tantangan baru. Memang Sejarah Gereja
mencatat bahwa pemberita-pemberita Injil pada mulanya bukanlah orang yang
berpendidikan teologi tinggi, mereka adalah orang-orang kecil saja. Sejarah GMIT
pada umumnya dan Sejarah Jemaat Oesapa memperlihatkan hal yang sama.

47

Anda mungkin juga menyukai