Anda di halaman 1dari 4

Semua titik bahagia Jakarta

Walau intensitas gerimis sedikit lebih deras dari sebelumnya,


tidak membuat lima anak manusia ini mengurungkan niat
mereka untuk pergi ke Museum Seni Rupa Dan Keramik.
Kanya memakai baju yang memang sudah ia rencanakan
beberapa hari yang lalu bersama Nagita, Aji memakai kaos
polos putih dengan di lapisi Jaket coklat, sedangkan Adam
memilih menggunakan jaket hitamnya, suhu hari ini memang
sedikit lebih rendah dari suhu Jakarta kemarin.
Kelimanya memasuki MRT salah satu transportasi umum
kebanggaan Jakarta, dengan kecepatan tinggi serta gerbong
yang nyaman, MRT memang selalu menjadi pilihan terbaik
untuk berpergian. Gerbong yang mereka masuki jauh lebih
kosong daripada hari-hari kerja.
“Pada sarapan belom?” walau tidak boleh berbicara, Saka
bertanya pada temannya yang lain dengan suara paling rendah
yang ia punya.
Nagita dan Aji kompak mengangguk, Adam menggeleng
pasti, sedangkan Kanya hanya diam mendadak kepalanya sulit
digerakkan karena suara Saka jauh lebih dulu masuk kedalam
gendang telinganya.
“Kompak amat, beneran sih kayanya lu berdua jodoh.” Adam
berucap sedikit lebih keras. Beberapa orang di dalam gerbong
sempat menoleh memperhatikan para remaja itu sejenak.
“OGAH!!!” Ucapan bersamaan itu membuat Saka dan Adam
kompak tertawa.
Kanya tersenyum tipis melihat wajah merah Nagita yang
sebentar lagi seperti akan murka.
“Makan dulu aja.” Saka membuka ponselnya, mencari
makanan apa yang cocok untuk mereka.
“Mie Ayam mau ga?” Kanya berucap pelan bahkan lebih
mirip seperti berbisik.
Adam menjentikan jarinya, “Boleh tuh. Di deket stasiun ada
Mie Ayam enak banget. Gue sering makan.”
Saka menangguk, “Abis ini transit di Dukuh Atas?”
“Iya Sak. Terus jalan tiga menitan buat lanjut naik KRL ke
Kota.” Penjelasan Nagita itu dijawab anggukan mengerti oleh
Saka.
“Mie Ayam yang kriting itu bukan Dam?” Aji yang sedari tadi
berdiri diantara keempat temannya itu menimpali obrolan.
Adam mengangguk, “Makan dulu ya?” tanya Adam pada
keempat temannya yang lain.
Saat kereta cepat itu sampai di stasiun, Saka membiarkan
keempat temannya untuk turun lebih dulu. Memastikan tidak
ada barang tertinggal di dalam gerbong. “abis ini keluar
kemana?”
“Ke kiri Sak. Deket kok. Stasiun KRLnya juga deket dari
tempat mienya.” Jawab Aji yang berjalan di samping Nagita.
“Ji, bener-bener lu ya.” Adam yang menyadari itu hanya
geleng-geleng kepala.
“Emang parah nih si brengsek satu.” Dengan tegas, Nagita
yang menyadari langkahnya disamakan oleh Aji, menunjuk
wajah laki-laki itu dengan penuh benci.
“Nikah beneran itu Dam mereka nanti.” Saka menyamakan
langkah dengan teman-temannya. Kini lima remaja itu
kompak menuju tempat Mie Ayam untuk mengisi perutnya
yang kelaparan.
“Nya, ga pake daun bawang kan?” Kanya sempat mematung
mendengar ucapan Aji. Sebelum akhirnya mengangguk tanpa
sadar. Tatapan mata laki-laki itu selalu teduh, Kanya selalu
jatuh cinta pada mata Aji, berulang kali, seterusnya, tanpa
henti.
“Kok lu tau?” Saka menatap heran kedua temannya.
“Pernah hampir pacaran Sak. Tapi si Aji nih emang brengsek
banget sampe setan aja kalah.” Adam menjawab dengan
candaan. Menaruh beberapa gelas es teh manis yang ia pesan.
Aji mengisyaratkan untuk Adam diam dengan menutup
mulutnya menggunakan jari telunjuk. Kanya hanya terdiam
melihat sekitarnya. Sampai tanpa ia sadari, matanya terjatuh
pada objek yang lain. Pada wajah Saka yang baginya hanya
sebuah mimpi indah belaka.
Bagaimana kedua rahang bahkan sampai garis lingkar lubang
hidung milik laki-laki itu begitu mirip dengan Haechan.
Bahkan jika mungkin Kanya diberi kesempatan untuk
menghitung berapa helai bulu mata yang keduanya punya,
Kanya yakin hasilnya akan sama.
“Ganti objek dia Dam.” Aji menunjuk Kanya yang sedari tadi
tenggelam dalam pandangannya. Objek yang hari ini terlihat
begitu nyata.
Saka baru menyadari jika sedari tadi Kanya
memperhatikannya. Wajahnya yang memerah padam buru-
buru ia sembunyikan dengan berdeham dan mengalihkan
topik pembicaraan.
“Ini biasanya antree begini?” tanya Saka.
Aji mengangguk. “Kalo siang jauh lebih rame.”
“Gak heran sih, soalnya enak.” Nagita menimpali juga.
Lalu obrolan di lanjutkan dengan membahas beberapa hal
konyol yang mereka lakukan saat kelas sepuluh dulu. Atau
mereka mendengarkan Saka bercerita tentang Swiss, kota
indah impian seluruh orang di bumi untuk datang kesana.
Nagita menyingkirkan amarahnya sedikit untuk Aji, hari ini
mereka terlihat berbincang tanpa berdebat seperti hari-hari
kemarin. Kanya sesekali menimpali, namun seperti yang
sudah-sudah, ia memang lebih banyak diamnya.

Anda mungkin juga menyukai