Anda di halaman 1dari 4

PROLOG gadis biola

Desember, 1911

Riuh suara bahagia terdengar nyaring pada alun-alun lentera malam yang menyinari senyum indah nan
ramah gadis manis itu. Tak sendiri, ia diiringi oleh seorang pianis tampan dan sang tokoh utama sebenar
dalam pertunjukan ini. Tentu saja sang penarik suara yang melengking indah membelah langit
perkumpulan malam di tanah-tanah pribumi yang tegang.

Gadis manis itu segera memimpin untuk menyelesaikan pertunjukan dengan sedikit mempertontonkan
keahliannya bermain biola. Senyum merekah pada bibir tipis nan merah miliknya. Mata yang nampak
tegas bagai tatapan serigala betina terlihat sedikit melengkung melukis rona bahagia pada wajahnya.

Pertunjukan musik untuk malam ini sudah selesai dengan diakhiri tas biola sang gadis penuh dengan
recehan dan beberapa uang kertas yang diberikan oleh beberapa penonton belanda yang hadir. Tanpa sang
gadis sadari, seorang pemuda masih berdiri menjaga jarak untuk tetap memandanginya.

“Jihan, sekali lagi pemuda itu ada disini. Apa tak ada keinginan padamu untuk menghampirinya?”

Gadis itu akhirnya kembali menoleh pada arah sudut yang sama seperti malam-malam sebelumnya
dimana netra coklatnya selalu menangkap sosok pemuda tampan yang menunggunya.

“saya sudah bilang, saya terlalu pemalu untuk mendekat dan menanyakan apa keinginannya” jawab Jihan
pada Rama, seorang pianis dalam kelompok musik mereka.

“pergilah Jihan, apa kau tidak penasaran padanya? Siapa tahu dengan menghampirinya kau bisa
menyusulku dengan Rama” kali ini yang berucap adalah Andin. Sang penyanyi dan juga seorang istri dari
Rama.

Jihan tertawa. Gadis itu tampak memikirkan langkah yang akan diambilnya. Sebenarnya ia mengenal
pemuda itu seminggu yang lalu. Seorang sarjana hindia belanda yang baru saja datang dan
menghampirinya sambil menyatakan cinta padanya.

Jihan tak memberi tahu kedua temannya, ia tidak terima kata pengejekan yang pastinya akan dilontarkan
oleh Andin begitu saja padanya.

“baiklah, saya akan menghampirinya. Saya titip biola saya padamu Mas Rama. Doakan saya Andin” ucap
si gadis yang mendapat tawa dari kedua pasangan muda suami istri itu.

Jihan berjalan mendekat ke arah sang pemuda. Lelaki itu sedari tadi menunduk yang mengakibatkan
dirinya baru sadar bahwa sang pujaan hati sudah berada tepat dihadapannya. Sang gadis manis dengan
surai hitam panjang yang selalu nampak bermain biola di malam-malam indah di negeri ini.

“selamat malam Kama. Saya minta maaf seminggu ini terus menghindarimu. Saya butuh waktu”

Kama, nama sang pemuda tampan yang menjatuhkan hatinya pada gadis pribumi berbakat dan manis
bernama Jihan. Kama berpikir, namanya pun terdengar sangat indah dan manis secara bersamaan. Ia
penasaran, siapakah diantara ibu dan bapaknya yang sangat cerdas memberi nama itu. Hendak waktu itu
ia bertanya namun Jihan ternyata adalah seorang yatim piatu yang sejak kecil bertumbuh pada sebuah
rumah sanggar seni mandiri di tengah kampung.

“tidak apa-apa Jihan. Saya serius padamu dan saya akan menunggumu”

Malam itu Jihan merasa telah menempatkan kakinya pada langkah yang tepat. Keyakinan dan keseriusan
Kama untuk membangun hubungan dengannya membuat gadis itu menerima cinta yang diberikan oleh
Kama untuknya.

Malam-malam berikutnya Jihan tetap memberi senyum pada setiap penampilannya, namun ia
merekahkan senyum terbaiknya pada sang kekasih yang dulunya hanya berdiri di pojok sana
menyaksikan dan menunggu dirinya kini berdiri paling depan dengan perasaan bersyukur karena berhasil
mendapatkan hati gadis yang dicintainya dan perasaan tidak sabar ingin memilikinya seutuh-utuhnya.

Waktu demikian berlalu, malam itu Kama menceritakan sebuah mimpi aneh pada Jihan yang benar-benar
antusias ingin mendengarnya. Bahkan ia sudah menggenggam berondong jagung yang tidaklah begitu
enak di tangannya sambil memusatkan netra pada wajah tampan kekasihnya.

Kama mulai bercerita bahwa di sebuah ruangan putih yang terang benderang dengan banyak jendela di
sisi dinding kanan dan kirinya. Banyak kursi dan meja namun dengan bentuk yang tak ia kenali. Kama
yakin bahwa ia berada dalam sebuah kelas, namun ruangan itu terlalu indah untuk bisa dibilang kelas
karena sewaktu ia mahasiswa dahulu ia tidak pernah melihat kelas seindah itu di tampat belajarnya.

Kama melanjutkan bahwa ia melihat seorang lelaki yang tak bisa ia ingat dengan jelas wajahnya itu
menuliskan sesuatu di papan putih besar yang tertempel di dinding bagian depan ruangan dengan pena
yang tanpa dicelupkan terlebih dahulu pada tinta namun tetap dapat menciptakan tulisan berwarna hitam
pada papan putih besar itu.

Anehnya, Kama bisa mengingat dengan jelas apa yang ditulis lelaki berseragam putih abu-abu dalam
mimpinya itu. Kama pun sedikit menulis penggalan yang ia ingat itu pada kertas lecek dan pensil yang
selalu ia bawa-bawa.

Udara mana kini yang kau hirup?


Hujan di mana kini yang kau peluk?
Di mana pun kau kini
Rindu tentangmu tak pernah pergi

“indah, saya suka kata yang ditulis pemuda ini dalam mimpimu. Tampak kesetiaan pada siratannya” ujar
Jihan pada Kama.

Usai mengatakan hal itu tanpa sengaja Jihan dan Kama terjebak pada adu pandang yang manis diantara
keduanya. Kedua mata mereka terpejam saat kedua bibir itu saling bertemu. Tak ada tindakan lainnya,
hanya ada kecupan manis didalam sana. Takutnya hujan diluar sana tak setuju jika timbul tindakan lebih
padahal mereka belum juga menikah.
Malam itu di bulan desember 1912 yang biasa saja. Diluar sana masih dingin akibat hujan semalam. Jihan
terbangun dan langsung mencari keberadaan kekasih tampannya yang seharusnya terlelap bersamanya
semalam. Jihan sedikit tergelak sambil menyentuh lembut bibir bawahnya karena mengingat kejadian
manis semalam. Itu adalah percumbuan pertama mereka setelah setahun menjadi sepasang kekasih.
Padahal mereka berdua hanya membahas mimpi dan sebuah sajak, mengapa bisa berakhir dengan sebuah
ciuman.

Namun semua tawa Jihan harus terhenti sampai pagi tadi. Pasalnya siang ini ia mendapat kabar bahwa
Kama telah diculik oleh segerombolan tentara belanda. Bukan, bukan karena sebuah urusan negara
maupun politik. Namun Kama diculik untuk menjadi suami dari seorang perempuan saudagar belanda
bernama Arabella yang menginginkan seorang pemuda sarjana hindia belanda.

Jihan tentu saja marah. Bahkan orang-orang dari negara yang telah resmi menjajah seluruh wilayah
negaranya tahun ini telah merampas orang yang amat ia cintai. Sejak Desember itu pun Jihan tidak pernah
lagi bertemu dengan Kama.

Ia terlalu rindu dan sedih hingga terjatuh sakit dan harus beristirahat di kamar beberapa hari belakangan
ini. Karena merasa khawatir, Rama dan Andin tak memberi tahu Jihan bahwa mereka akan pergi ke acara
pernikahan Kama dan Arabella serta beberapa murid sanggar malam ini sebagai pengiring musik acara
dansa-dansa.

Kini hanya ada Jihan dan salah seorang ibu guru disana yang senantiasa merawat tubuhnya yang melemah
karena terus merindukan sosok Kama yang telah berbagi perasaan cinta bersamanya selama setahun ini.
Sekali lagi ia menangis karena tidak bisa melakukan apapun pada apa yang menimpa hubungannya dan
Kama. Ia tahu betul Kama tidak bisa lari dari pernikahan paksa itu dan ia selalu yakin bahwa Kama masih
mencintainya. Sesekali ia berpikir jahat dan berharap bahwa gadis bernama Arabella itu menemui ajalnya
dengan cepat.

Tuhan mungkin mendengar doa Jihan kala itu dan membuat Arabella kehilangan nyawa di malam pesta
pernikahannya beserta seluruh kerabat, tamu dan pelayan serta penghibur yang turut hadir pada malam
yang seharusnya indah itu. Rumah besar yang ia tempati mendapat serangan bom asap dan granat tangan.
Tak terlalu fatal pada keadaan sekitar, namun berhasil membuat sebagian besar orang-orang di dalam
sana kehilangan nyawanya.

Kini Jihan terduduk di pinggir kasur kamarnya. Sudah seminggu ia tak makan apalagi minum yang
membuatnya kini bak mayat hidup. Tak ingin menghadiri pemakaman karena ia tahu gundukan tanah itu
tak berisi mayat siapapun. Ia kehilangan beberapa adik kelas yang sangat baik padanya. Ia kehilangan
Mas Rama yang selama ini sudah menjelma menjadi seorang kakak laki-laki untuknya. Ia kehilangan Kak
Andin dan calon keponakannya yang waktu itu Jihan yakin sedang tertidur pulas di perut ibunya.

Jihan kali ini benar-benar telah kehilangan sosok pemuda kesayangannya yang ikut menemani sang istri
ke alam sana. Ia menyesal telah berharap pada tuhan untuk mengambil nyawa Arabella. Ia tidak ingin
marah pada tuhan yang mengabulkan doanya namun harus menerima beban yang lebih besar seperti itu.

Jihan rindu.

Sangat rindu.
Pada semuanya apalagi pada Kama.

Jika boleh, Jihan berharap lagi pada tuhan agar ia bisa menempuh perjalanan hidup yang lain. Ia ingin
mencari sosok Kama dan teman-temannya. Sampai kemana dan dimana pun. Jihan rindu dan ingin
bertemu. Ia tidak bisa hidup di dunia ini sendirian.

Jihan memeluk biola kesayangannya. Terus harap pada tuhan agar dipertemukan kembali oleh mereka.
Jihan tak peduli, mau bagaimana pun skenario yang telah dirancang tuhan olehnya ia tidak peduli. Ia kan
mencari sosok yang ia rindukan.

Jihan mulai memejamkan matanya. Terlelap untuk selama-lamanya membawa rindu dan masih memeluk
biola usangnya.

Udara mana kini yang kau hirup?

Apakah kau disana masih menghirup udara memangnya?


Hujan di mana kini yang kau peluk?

Apa airnya sesejuk yang pernah kita menari-nari dibawahnya?


Di mana pun kau kini
Rindu tentangmu tak pernah pergi

Kama, kenalkan namaku Jihan. Aku merindukanmu.

Anda mungkin juga menyukai