DISUSUN OLEH :
KELOMPOK
Manuel Edward Laturama (14)
Nadiva Raya Nabila (21)
Rachmi Maulidha (28)
Rafif Hamdan Rizqullah (30)
BAB 1
PENDAHULUAN
Pikiran Andi dan Dinda melayang ke sebuah memori tiga tahun silam, hari di mana mereka
berdua terakhir kali bertemu di tempat yang sama, dengan keriuhan yang sama, dan
lengkingan panjang suara kereta api yang juga sama.
Andi hanya menjawab dengan pandangan tertunduk. Sementara kereta api Sri Tanjung yang
akan dinaikinya hendak berangkat sesaat lagi.
"Permisi, saya nomor 12 A." Sembari menunjukkan tiket, Andi meminta ruang kepada
seorang gadis muda yang duduk di kursi 12 B kereta api Bima jurusan Yogyakarta- Jakarta..
"Ah, iya. Silakan." Gadis muda bermasker itu tampak tidak siap didatangi oleh seseorang.
Namun, ia segera bertindak cepat dengan memberi ruang yang cukup untuk Andi lewati.
Setelah meletakkan koper dan tas di bagasi atas, Andi menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia
berharap dapat tidur lebih cepat. Hari sudah malam, sementara perjalanan masih panjang.
Dari jendela kereta, ia melihat tempias lampu di luar bersahutan-sahutan.
"Masnya mau ke Jakarta?" Pertanyaan gadis itu membuyarkan lamunan sekaligus rasa kantuk
yang mulai menggelayuti Andi.
"Iya. Sebenarnya tujuan saya Depok, tapi turun di Stasiun Gambir," tukas Andi dengan cepat.
"Mbak juga ke Jakarta? Atau..."
"Tapi turun di Stasiun Gambir...." sahut Andi. Kali ini ia balas memotong ucapan gadis itu.
Mata si gadis menyipit malu.
Gadis itu membuka masker yang menutupi separuh wajahnya. Sembari tersenyum, ia sedikit
mengibaskan rambut panjangnya yang bergelombang. "Namaku Dinda. Salam kenal, Andi."
Dinda tersenyum tipis, "Kata Sherlock Holmes, banyak orang yang mampu melihat, tapi
hanya sedikit orang yang mampu memperhatikan. Saat kau menunjukkan tiketmu tadi, aku
memperhatikan dan membaca namamu. Aku tidak memperhatikan yang lain selain namamu.
Sebab semua informasi dalam tiketmu, hanya nama dan nomor kartu tanda pengenalmu yang
tidak kuketahui. Selain itu, aku tahu semua. Karena aku sedang berada di dalam kereta yang
sama denganmu. Baiklah, mungkin aku pada awalnya tidak tahu di mana tempatmu duduk.
Tapi rupanya kau datang kemari dan memberikan informasi itu secara gratis kepadaku."
Andi tersenyum. Diam-diam ia mulai mengagumi Dinda. Entah karena apa. Barangkali
rambut panjang bergelombangnya. Mungkin juga cara Dinda berbicara yang blak-blakan.
Atau senyum tipisnya yang memesona. Ah, itu senyum perempuan paling manis yang pernah
Andi temui.
"Baiklah. Aku kalah," kata Andi sembari mengangkat tangan. "Satu kosong. Permulaan yang
tidak buruk bagi seorang gadis muda yang melakukan perjalanan jauh seorang diri
sepertimu."
Andi sedikit salah tingkah dengan pertanyaan menohok yang tiba-tiba dilontarkan Dinda.
"Su-ka? Kepadamu? A-ku?" jawabnya, terbata.
"Aku seorang detektif, Andi. Aku sudah memberimu sedikit teaser tentang kemampuanku.
Asal kau tahu saja, aku juga mempunyai kemampuan tajam untuk menganalisis perasaan
seseorang. Jangan coba-coba berbohong di hadapanku, ya." Dinda menggerak- gerakkan jari
telunjuknya di hadapan Andi sembari, sekali lagi, melepaskan senyum tipis yang manis.
"Oke, Ibu Detektif. Aku kalah lagi," kata Andi sembari menghela napas.
"Hitung skornya!"
"Siap. Dua kosong," jawab Andi. "Baiklah, aku akan jujur bahwa aku mulai terkesan
kepadamu. Bahwa aku mulai tertarik dan tersanjung kepadamu. Ada semacam lindu atau
guncangan kecil di dalam tubuhku yang tiba-tiba merusak ritme detak jantungku saat aku
melihatmu..."
"Laki-laki...," potong Dinda, "Selalu saja berbelit-belit dan tidak berterus terang."
"Ya, ya, ya. Aku jatuh cinta kepadamu, Dinda," ucap Andi sembari membuang muka ke
jendela, menyembunyikan rona merah di mukanya. "Tapi, apa kau juga mencintaiku?"
"Ya." Dinda menjawab dengan singkat. Andi mengalihkan pandangannya ke arah Dinda.
"Iya. Aku adalah salah satu orang yang percaya bahwa cinta bukan soal waktu. Cinta, dengan
caranya sendiri, dapat datang dan pergi dengan tiba-tiba. Cinta adalah momentum. Jika kau
kehilangan momentum itu, akan susah bagimu untuk menemukannya kembali. Dan aku tidak
akan melewatkannya kali ini," jelas Dinda.
Sejak pertemuan yang 'diatur' oleh kereta api itulah, Andi dan Dinda mulai saling mencintai.
Andi asli Banyuwangi, sementara Dinda adalah gadis Ibu Kota. Keduanya kuliah di
Yogyakarta. Meski berbeda kampus, keduanya kerap membuat janji untuk bertemu. Sebab
kata Dinda, cinta akan layu jika tidak dipupuk oleh perjumpaan.
Andi mendaku dirinya sebagai seorang pakar pengepul senyum dan ia selalu memuji Dinda
sebagai seorang wanita pemilik senyum termanis di dunia. Dinda selalu mengaku sebagai
detektif dan ia sering berkata bahwa ia tidak akan pernah gagal mengatasi kerumitan yang
mungkin timbul dalam hubungan mereka berdua.
Tanpa terasa, pertautan hati keduanya telah memasuki tahun keempat. Hari ini Dinda wisuda.
Setelah perayaan wisuda, Andi memintanya untuk datang ke Stasiun Lempuyangan. Ketika
Dinda bertanya apakah Andi akan memberinya kejutan, Andi hanya menjawab singkat:
datang saja.
"Selamat atas wisudamu, Dinda. Kelak mungkin kau benar-benar akan menjadi seorang
detektif. Namun bagiku, kau adalah stasiun dan aku adalah kereta. Dan hari ini aku harus
setuju dengan ucapan Marianne Williamson, Jika kereta tidak berhenti di stasiunmu, maka itu
bukan keretamu. Dan aku, Dinda, rupanya bukan keretamu," ucap Andi di tengah riuh calon
penumpang kereta api di Lempuyangan.
Dinda memperhatikan Andi. la paham sekali bahwa Andi sedang tidak berbohong. "Kenapa,
Andi? Katakan apa yang sedang terjadi! Jangan membuatku seperti ini..."
"Maafkan aku, Dinda." Andi berlalu tepat setelah pengeras suara mengumumkan bahwa
kereta api Sri Tanjung jurusan Yogyakarta-Banyuwangi akan berangkat sesaat lagi. Ia pergi
begitu saja. Naik ke atas kereta. Dari luar, Dinda hanya melihat siluet lelaki yang dicintainya
lenyap perlahan bersama lengkingan bel kereta api.
Di Lempuyangan, setelah tiga tahun berpisah, Andi dan Dinda kembali bertemu. Seperti
perjumpaan mereka pertama kali, pertemuan kali ini tidak pernah mereka rencanakan.
"Apa alasan sebenarnya kau melakukan itu?" tanya Dinda untuk kedua kalinya.
"Aku menikah. Tepatnya, dinikahkan oleh wanita pilihan ayahku," suara Andi terdengar serak
dan berat. "Kau masih ingat ucapanku bahwa aku adalah kereta api dan kau stasiun?
Barangkali kereta api telah jatuh cinta kepada stasiun, tapi kau tentu tahu, kereta api selalu
pergi dan tak pernah menganggap stasiun sebagai tujuan terakhir."
"Kenapa kau tidak berbicara tentang hal itu kepadaku? Kenapa kau tega membiarkanku
melewatkan tiga puluh enam purnama tanpa pernah sekalipun tersenyum...," air mata Dinda
jatuh.
"Maafkan aku, Dinda. Sebagai kereta api, aku bukan apa-apa tanpa masinis," jawab Andi,
lirih.
Hari itu Dinda menyadari, bahwa menjadi detektif tak pernah membuatnya mampu untuk
menerawang takdir.
BAB 2
ANALISIS
1. Tema : Percintaan
Tema cerpen ini adalah cinta. Tema ini dapat dilihat dari kisah Andi dan Dinda yang
saling mencintai, namun cinta mereka harus kandas karena berbagai faktor, salah
satunya adalah perbedaan latar belakang keluarga.
2. Alur : Campuran
Alur cerpen ini campuran. Alur maju menceritakan pertemuan pertama Andi dan
Dinda di kereta api, kisah cinta mereka yang berjalan selama empat tahun, dan
perpisahan mereka. Alur mundur menceritakan pertemuan kedua Andi dan Dinda tiga
tahun setelah perpisahan mereka.
Alur maju dimulai dengan pertemuan pertama Andi dan Dinda di kereta api. Andi
adalah seorang pemuda asal Banyuwangi yang kuliah di Yogyakarta, sementara Dinda
adalah seorang gadis asal Jakarta yang kuliah di Yogyakarta. Keduanya saling jatuh
cinta, dan hubungan mereka berjalan selama empat tahun. Alur mundur dimulai
dengan pertemuan kedua Andi dan Dinda tiga tahun setelah perpisahan mereka.
Keduanya bertemu secara kebetulan di Stasiun Lempuyangan. Dinda bertanya kepada
Andi mengapa ia meninggalkannya, namun Andi tidak menjawabnya. Ia hanya
meminta maaf.
3. Penokohan :
1. Dinda
- Berterus terang : dilihat dari dialog tokoh dan digambarkan oleh tokoh lain.
“Kau mulai menyukaiku, Andi?” tanya Dinda.
Andi tersenyum. Diam-diam ia mulai mengagumi Dinda. Entah karena apa.
Barangkali rambut panjang bergelombangnya. Mungkin juga cara Dinda berbicara
yang blak-blakan. Atau senyum tipisnya yang memesona. Ah, itu senyum
perempuan paling manis yang pernah Andi temui.
- Percaya diri : dilihat dari pemikiran tokoh dan dialog tokoh.
“Aku seorang detektif, Andi. Aku sudah memberimu sedikit teaser tentang
kemampuanku. Asal kau tahu saja, aku juga mempunyai kemampuan tajam
untuk menganalisis perasaan seseorang. Jangan coba-coba berbohong di
hadapanku, ya.” Dinda menggerak-gerakkan jari telunjuknya di hadapan Andi
sembari, sekali lagi, melepaskan senyum tipis yang manis.
- Cantik : digambarkan oleh tokoh lain.
Andi tersenyum. Diam-diam ia mulai mengagumi Dinda. Entah karena apa. Barang
kali rambut panjang bergelombangnya.Mungkin juga cara Dinda berbicara yang blak-
blakan. Atau senyum tipisnya yang memesona. Ah, itu senyum perempuan paling
manis yang pernah Andi temui.
- Optimis : dilihat dari pemikiran tokoh.
Dinda selalu mengaku sebagai detektif dan ia sering berkata bahwa ia tidak akan
pernah gagal mengatasi kerumitan yang mungkin timbul dalam hubungan mereka
berdua.
- Berkeyakinan kuat / punya nilai yang kuat : dilihat dari pemikiran tokoh.
Sebab kata Dinda, cinta akan layu jika tidak dipupuk oleh perjumpaan.
2. Andi
- Mudah jatuh cinta : dilihat dari dialog, tingkah laku, dan jalan pikiran tokoh.
Andi tersenyum. Diam-diam ia mulai mengagumi Dinda. Entah karena apa.
Barangkali rambut panjang bergelombangnya. Mungkin juga cara Dinda berbicara
yang blak-blakan. Atau senyum tipisnya yang memesona. Ah, itu senyum perempuan
paling manis yang pernah Andi temui.
“Ya, ya, ya. Aku jatuh cinta kepadamu, Dinda,” ucap Andi sembari membuang
muka ke jendela, menyembunyikan rona merah di mukanya.
4. Latar :
a . Latar Tempat :
• Stasiun Lempuyangan -> Meskipun Stasiun Lempuyangan riuh oleh suara
orang-orang
yang berlalu-lalang, keheningan tiba-tiba memeluk pikiran mereka,
menghentikan
putaran waktu.
• Di dalam kereta -> Karena aku sedang berada di dalam kereta yang sama
denganmu.
• Kampus -> Meski berbeda kampus, keduanya kerap membuat janji untuk
bertemu.
b . Latar Waktu :
• Malam hari -> Hari sudah malam, sementara perjalanan masih panjang.
• Tiga tahun silam -> Di Lempuyangan, setelah tiga tahun berpisah, Andi dan
Dinda
kembali bertemu.
c. Latar Suasana :
5. Gaya Bahasa :
• Personifikasi :
- Ditempat mereka terakhir kali berjumpa, takdir sekali lagi menuntun
mereka untuk bersua.
- Pikiran Andi dan Dinda melayang ke sebuah memori tiga tahun silam.
- Meskipun Stasiun Lempuyangan riuh oleh suara orang-orang berlalu-lalang,
keheningan tiba-tiba memeluk pikiran mereka, menghentikan putaran
waktu.
• Hiperbola :
- Andi mendaku dirinya sebagai seorang pengepul senyum dan ia selalu memuji
Dinda sebagai seorang wanita pemilik senyum termanis di dunia.
- Dinda memperhatikan Andi. Ia paham sekali bahwa Andi sedang tidak
berbohong.
• Metafora :
- Dan aku, Dinda, rupanya bukan keretamu,” ucap Andi di tengah riuh calon
penumpang kereta api di Lempuyangan.
- Sebab kata Dinda “Cinta akan layu jika tidak dipupuk oleh perjumpaan.”
6. Sudut Pandang :
• Sudut pandang orang ketiga karena penulis menempatkan diri di luar cerita dan
menggunakan nama nama tokoh serta menggunakan kata ganti orang ketiga
(dia).
• Sudut pandang cerpen ini adalah orang ketiga serba tahu. Sudut pandang ini
memudahkan pembaca untuk memahami cerita dan karakter-karakternya.
7. Amanat :
Bahkan orang yang mampu menebak segala sesuatu dengan tepatpun, dapat
dikalahkan oleh takdir ->karena kan si Dinda mengaku sebagai detektif yang bisa
memecahkan masalah, bahkan dalam hubungan percintaan nya sekalipun.
Meskipun kejujuran terkadang menyakitkan, tetapi itu lebih baik daripada membuat
orang lain terluka dalam waktu yang cukup lama -> karena si Andi tidak jujur kepada
Dinda apabila dia dijodohkan oleh orang lain, yang membuat Dinda tidak bisa move
on karena terus penasaran.
Amanat cerpen ini adalah bahwa cinta yang tidak direstui orang tua atau keluarga
akan sulit untuk bertahan. Amanat ini disampaikan secara tersirat melalui cerita Andi
dan Dinda. Andi dan Dinda saling mencintai, namun cinta mereka harus kandas
karena tidak direstui oleh ayah Andi.
Midadwathief, lahir di Banyuwangi. Aktif menulis puisi, cerpen, dan esai sejak SMA.
Beberapa tulisannya pernah dimuat diberbagai media, baik cetak maupun digital. Ia
juga menulis beberapa antologi cerpen. Novelnya yang berjudul Pasir yang Sama
akan terbit tahun ini.
3. Keadaan Masyarakat
4. Nilai Agama
5. Nilai Budaya
6. Nilai Sosial
7. Nilai Pendidikan
BAB 4
PENUTUP
Kesimpulan :