Anda di halaman 1dari 36

library.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Sisa Makanan
a. Pengertian Sisa Makanan
Sisa makanan adalah jumlah makanan/ bahan makanan yang
tidak dimakan. Sisa makanan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Waste,
adalah bahan makanan yang tidak dapat diolah karena rusak, hilang atau
terbuang, dan 2) Plate waste, adalah sisa makanan yang terbuang karena
setelah disajikan tidak dihabiskan oleh konsumen (Soenardi & Tim
Yayasan Gizi Kuliner Jakarta, 2014).
Sisa makanan di rumah sakit didefinisikan sebagai jumlah
makanan yang disajikan yang tidak dimakan oleh pasien (Ferreira et al.,
2013; Díaz & García, 2013). Sisa makan adalah sisa makanan yang tidak
dimakan setelah disajikan kepada pasien di rumah sakit (Alshqaqeeq et
al., 2018). Sisa makanan mengacu pada makanan yang layak untuk
dikonsumsi manusia, tetapi belum dimakan karena beberapa alasan,
termasuk standar penampilan, salah pengertian, dan kelebihan pasokan
(Van Bemmel & Parizeau, 2020). Sisa makanan juga merupakan
hilangnya nutrisi berharga (baik makro-dan mikronutrien) (El Bilali,
2018).
Tingginya tingkat sisa makanan dapat menyiratkan tantangan
terkait malnutrisi di rumah sakit dan pengelolaannya dapat dikenakan
biaya keuangan dan lingkungan yang lebih besar (Goonan et al., 2014).
Menurut para ahli (Chik et al., 2019), sisa makanan dapat dinilai dengan
berbagai metodologi dan dinyatakan dalam berbagai istilah, seperti
proporsi makanan yang disajikan yang tidak dimakan, dan jumlah kalori
atau nutrisi yang tidak dimakan.
Wani et al. (2019) menyatakan sisa makanan adalah proporsi
makanan yang tidak habis, sejumlah energi maupun zat gizi yang tidak
dikonsumsi dari makanan yang telah disajikan sebelumnya. Meskipun

15
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

sisa makanan ini dipengaruhi oleh faktor individu dan variasinya dari
hari ke hari, tetap menjadi masalah yang masih susah dipecahkan di
berbagai penyelenggaraan makanan.
Penelitian di New Zealand dari Goonan et al. (2014)
menunjukkan dari total limbah yang dihasilkan di rumah sakit, hampir
50% diantaranya adalah limbah dari makanan. Limbah makanan dari
layanan makanan rumah sakit dapat dibagi menjadi limbah dapur dan
limbah piring dan sebagian besar penelitian tentang limbah makanan di
rumah sakit terutama didasarkan pada limbah piring individu terutama
karena pengaruh langsungnya terhadap hasil gizi pasien. Limbah piring
seperti di rumah sakit mengacu pada sisa makanan yang disajikan yang
ditinggalkan dan tidak dimakan oleh pasien (Alam et al., 2008;
Comstock et al., 1981; Yang et al., 2016).
b. Faktor Penyebab Sisa Makanan
Hingga saat ini, tingginya sisa makanan masih menjadi
tantangan tersendiri. Wani et al. (2019) mengungkapkan beberapa faktor
yang memengaruhinya adalah:
1) Jenis kelamin
Paling banyak ditemukan sisa makanan pada perempuan daripada
laki-laki.
2) Umur
Paling banyak ditemukan sisa makanan pada orang yang berumur di
atas 65 tahun
3) Makanan tambahan
4) Cita rasa makanan
Cita rasa makanan yang enak dapat menurunkan sisa makanan
pasien.
5) Adaptasi dengan lingkungan
Sisa makanan ditemukan lebih banyak pada orang yang tidak dapat
beradaptasi dengan lingkungan.
Syauqiyatullah et al. (2020) menyampaikan sisa makanan
dipengaruhi oleh faktor internal, eksternal dan lingkungan pasien.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

Faktor internal termasuk dalam faktor yang berasal dari dalam diri
pasien sendiri, seperti keadaan psikis, fisik, dan kebiasaan makan.
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri pasien, meliputi
penampilan makanan dan rasa makanan. Faktor terakhir, yaitu faktor
lingkungan, termasuk jadwal/waktu pemberian makanan, makanan dari
luar rumah sakit, alat makan dan keramahan penyaji/pramusaji makanan.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya sisa makanan,
seperti tampak pada gambar berikut ini:

Sumber: (Soenardi & Tim Yayasan Gizi Kuliner Jakarta, 2014)


Gambar 2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Sisa Makanan
Sisa makanan merupakan hal yang kompleks dengan faktor-
faktor yang berkontribusi dari sistem itu sendiri. Hal ini termasuk
kompleksitas klinis lingkungan yang membutuhkan banyak diet
terapeutik, sistem pemesanan menu dengan jeda yang lama antara
memesan dan makan, model layanan makanan dan desain dapur rumah
sakit yang tidak mendukung makanan berkualitas tinggi, penggunaan
makanan kontrol porsi, dan kendala sumber daya. Faktor individu yang
terkait dengan pasien juga berkontribusi terhadap sisa makan. Hal ini
termasuk nafsu makan yang buruk, lama tinggal yang singkat, dan
tantangan memenuhi kepuasan pasien dengan sistem makanan dan
layanan makanan (Porter & Collins, 2021).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

c. Pengukuran Sisa Makanan


Penilaian sisa makanan pasien penting dilakukan sebagai
indikator efisiensi operasional pelayanan makanan (Gomes & Jorge,
2012) serta menandakan kecukupan gizi di antara pasien rawat inap
(Simzari et al., 2017; Williams & Walton, 2011). Indikator sebagai tolok
ukur keberhasilan kinerja pelayanan kesehatan kepada masyarakat,
secara umum mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM
RS yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Rl. No.
129/MenKes/SK/II/2008/ antara lain adalah: sisa makanan yang tidak
dikonsumsi oleh pasien maksimal adalah 20%. KemenKes 2013 juga
telah menyatakan bahwa skor yang harus dicapai untuk sisa makanan di
piring pasien adalah kurang dari atau 20% .
Sisa makanan pasien di RS termasuk salah satu indikator mutu
pelayanan gizi dengan skor maksimum 20%. Dengan kata lain, kalkulasi
persentase makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap kali makan
minimum 80%. Apabila skor ini belum dapat dicapai harus dilakukan
identifikasi masalah dan tindak lanjutnya (Wani et al., 2019).
Metode yang paling umum digunakan untuk mengevaluasi
limbah makanan di rumah sakit adalah limbah piring, yang mengacu
pada persentase makanan yang dibuang. Umumnya, limbah piring
diukur dengan dua cara: dengan menimbang sisa makanan di piring atau
dengan perkiraan visual (Schiavone et al., 2019).
Nissa & Widyastuti (2020) mengungkapkan terdapat beberapa
metode pengukuran sisa makanan, antara lain:
1) Metode penimbangan (food weighing)
Metode penimbangan makanan merupakan salah satu
metode pengukuran konsumsi makanan secara kuantitatif pada
tingkat individu, yang digunakan untuk mengetahui jumlah
makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung asupan zat
gizinya. Prinsip dari metode ini adalah mengukur secara langsung
berat dari setiap jenis makanan yang disajikan dan selanjutnya
dihitung persentase berdasarkan rumus berikut:
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

Berat sisa makanan


Sisa makanan  100%
Berat awal makanan
Pada metode penimbangan makanan, hal pertama yang
dilakukan adalah menimbang berat awal setiap makanan lalu
menimbang berat sisa makanan kemudian hasilnya menggunakan
rumus tersebut. Kelebihan metode penimbangan adalah data yang
diperoleh lebih akurat sehingga dapat mengetahui secara pasti berat
sisa setiap jenis makanan yang disajikan. Adapun kekurangan dari
metode ini adalah memerlukan waktu yang cukup lama, mahal
karena membutuhkan peralatan, tidak praktis, memerlukan tempat
yang luas dan membutuhkan keterampilan khusus pada saat
menimbang makanan. Oleh karena itu, metode ini tidak sesuai untuk
penelitian besar.
2) Metode taksiran visual (Comstock)
Metode taksiran visual atau Comstock adalah metode survei
konsumsi makanan yang dilakukan terhadap hasil pengamatan sisa
makanan. Metode ini biasa dilakukan untuk melihat konsumsi
makanan di penyelenggaraan makanan secara massal termasuk
rumah sakit karena telah memiliki standar porsi. Prosedur
melakukan visual (Comstock) antara lain:
a) Pengukur mempersiapkan form visual comstock.
b) Isikan nomor.
c) Isikan waktu makan/ minum.
d) Isikan nama masakan/ minuman. Pengukur melakukan observasi
dan memperkirakan secara visual standar porsi makanan dan
minuman yang belum dikonsumsi (berat awal).
e) Isikan standar porsi berdasar perkiraan pengukur
f) Makanan dan minuman dikonsumsi oleh subjek.
g) Pengukur melakukan observasi pada sisa makanan dan minuman
yang telah dikonsumsi subjek serta mencatat ke dalam form
visual comstock. Dapat dibantu dengan memisahkan makanan
yang telah dicampur berdasar jenis hidangan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

h) Amati dan isikan menggunakan checklist (V) prosentase sisa


makanan ke dalam kolom untuk tiap menu ke dalam kolom sisa
makanan.
(1) 1 p = Menggambarkan makanan utuh (tidak dimakan), bila
makanan tidak dimakan
(2) ¾ p = Menggambarkan sisa makanan ¾ porsi awal
(3) ½ p = Menggambarkan sisa makana ½ porsi awal
(4) ¼ p = Menggambarkan sisa makanan ¼ porsi awal
(5) 0 p = Menggambarkan tidak ada sisa makanan.
i) Hitung berat sisa makanan dengan rumus :
Berat sisa = sisa makanan (%) * berat makanan awal
j) Hitung makanan yang dikonsumsi dengan rumus :
Berat konsumsi = berat makanan awal – berat sisa makanan
k) Lakukan pada semua makanan dan minuman yang diobservasi.
Berat sisa = sisa makanan (%) * berat makanan awal
2. Kadar Gula Darah
a. Pengertian Kadar Gula Darah
Kadar gula darah atau glukosa darah adalah istilah yang
mengacu kepada tingkat glukosa di dalam darah. Konsentrasi gula darah,
atau tingkat glukosa serum, diatur dengan ketat di dalam tubuh. Glukosa
yang dialirkan melalui darah adalah sumber utama energi untuk sel-sel
tubuh (Suryati, 2021).
Kadar gula darah adalah glukosa yang dialirkan melalui darah
sebagai sumber utama energi untuk sel-sel tubuh. Umumnya tingkat
glukosa dalam darah bertahan pada batas-batas 4-8 mmol/L/hari (70-150
mg/dl), kadar ini meningkat setelah makan dan biasanya berada pada
level terendah di pagi hari sebelum mengkonsumsi makanan (Nadrati et
al., 2021).
Kadar gula darah adalah gula yang terdapat dalam darah yang
berasal dari karbohidrat dalam makanan dan dapat disimpan dalam
bentuk glikogen di dalam hati dan otot rangka (Tandra, 2018). Menurut
Callista Roy (dalam Tandra, 2018), kadar gula darah adalah jumlah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

glukosa yang beredar dalam darah. Kadarnya dipengaruhi oleh berbagai


enzim dan hormone yang paling penting adalah hormone insulin. Faktor
yang mempengaruhi dikeluarkan insulin adalah makanan yang berupa
glukosa, manosa dan stimulasi vagal obat golongan binguanid.
b. Faktor yang Mempengaruhi Kadar Gula Darah
Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh faktor endogen dan faktor
eksogen. Faktor endogen yaitu humoral faktor seperti hormon insullin,
glukagon, kortisol, sistem reseptor di otot dan sel hati. Apabila hormon
insulin kurang dari kebutuhan, maka gula darah akan menumpuk dalam
sirkulasi darah yang mengakibatkan glukosa darah meningkat. Bila
kadar gula darah meningkat melebihi ambang ginjal, maka glukosa
darah akan dikeluarkan bersama urin. Faktor eksogen antara lain jenis
dan jumlah makanan yang dikonsumsi serta aktivitas fisik yang
dilakukan (Susanti & Firdayanti, 2021).
Suryati (2021) mengungkapkan terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi kadar gula darah. Ada beberapa hal yang menyebabkan
gula darah naik, yaitu kurang berolah raga, bertambahnya jumlah
makanan yang dikonsumsi, meningkatnya stres dan faktor emosi,
pertambahan berat badan dan usia, serta dampak perawatan dari obat,
misalnya steroid.
1) Olahraga secara teratur dapat mengurangi resistensi insulin sehingga
insulin dapat dipergunakan lebih baik oleh sel-sel tubuh. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas fisik (sekitar
30 menit/hari) dapat mengurangi risiko diabetes. Olah raga juga
dapat digunakan sebagai usaha untuk membakar lemak dalam tubuh
sehingga dapat mengurangi berat badan bagi orang obesitas.
2) Asupan makanan terutama melalui makanan berenergi tinggi atau
kaya karbohidrat dan serat yang rendah dapat mengganggu stimulasi
sel-sel beta pankreas dalam memproduksi insulin. Asupan lemak di
dalam tubuh juga perlu diperhatikan karena sangat berpcngaruh
terhadap kepekaan insulin.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

3) Interaksi antara pituitary, adrenal gland, pankreas dan liver sering


terganggu akibat stres dan penggunaan obat-obatan. Gangguan
organ-organ tersebut mempengaruhi metabolism ACTH (hormon
dari pituitary), kortisol, glucocorticoids (hormon adrenal gland),
glukagon merangsang glukoneogenesis di liver yang akhirnya
meningkatkan kadar gula dalani darah. Kurang tidur bisa memicu
produksi hormon kortisol, menurunkan toleransi glukosa, dan
mengurangi hormon tiroid. Semua itu menyebabkan resistensi
insulin dan memperburuk metabolisme.
4) Semakin bertambah usia perubahan fisik dan penurunan fungsi
tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan penyerapan zat gizi.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masalah gizi pada usia
lanjut sebagian besar merupakan masalah gizi berlebih dan
kegemukan/ obesitas yang memicu timbulnya penyakit degeneratif
termasuk diabetes mellitus.
Menurut Boku (2019), beberapa faktor yang mempengaruhi
kadar glukosa penderita diabetes mellitus tipe 2 sebagai berikut.
1) Obesitas
Obesitas mengakibatkan resistensi insulin. Jaringan lemak
merupakan bagian dari sistem endokrin yang aktif berhubungan
dengan hati dan otot (2 sasaran insulin) melalui pelepasan zat
perantara yang mempengaruhi kerja insulin dan akhimya
penumpukan jaringan lemak meningkat sehingga timbulnya
resistensi insulin. Resistensi insulin ini mengakibatkan kadar gula
darah sulit memasuki sel yang menyebabkan peningkatan kadar
glukosa darah. Obesitas yang kategori IMT yang semakin tinggi,
maka kadar glukosa darah di dalam tubuh semakin buruk.
2) Aktivitas Fisik
Kadar glukosa darah di dalam tubuh akan semakin buruk
apabila responden kurang melakukan aktivitas fisik. Namun, kadar
glukosa darah akan turun apabila melakukan aktivitas fisik seperti
berolahraga dan senam secara rutin karena ketika melakukan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

aktivitas fisik, maka otot menggunakan glukosa yang disimpannya


sehingga glukosa yang tersimpan berkurang.
3) Tingkat Stres
Stres mengakibatkan produksi kortisol berlebihan. Kortisol
merupakan hormon yang menghambat kerja insulin yang
menyebabkan tingginya glukosa darah di dalam tubuh. Tingkat stres
yang tinggi akan memicu kadar gula darah semakin meningkat.
Namun, pada saat kondisi rileks akan mengembalikan kontra-
regulasi hormon stres dan tubuh dapat menggunakan insulin lebih
efektif.
c. Pengukuran Kadar Gula Darah
Menurut Nadrati et al. (2021), terdapat 3 macam pemeriksaan
gula darah yaitu:
1) Pemeriksaan glukosa sewaktu
Pemeriksaan gula darah yang dilakukan setiap waktu
sepanjang hari tanpa memperhatikan makan terakhir yang dimakan
dan kondisi tubuh orang tersebut.
2) Pemeriksaan Glukosa Puasa
Pemeriksaan gula darah puasa adalah pemeriksaan glukosa darah
yang dilakukan setelah pasien melakukan puasa selama 8-10 jam.
3) Pemeriksaan Glukosa Darah 2 jam Post Prandial (PP)
Pemeriksaan glukosa darah 2 jam post prandial adalah
pemeriksaan glukosa yang dihitung 2 jam setelah pasien
menyelesaikan makan.
Pemeriksaan kadar gula darah dapat dilakukan melalui
laboratorium ataupun dengan glukometer. Jenis pemeriksaan yang dapat
dilakukan menurut Soegondo et al. (2015), antara lain:
1) Pemeriksaan Glukosa Urin
Pemeriksaan glukosa urin dapat dilakukan di laboratorium atau
klinik untuk mengetahui kadar gula darah dalam urin.
2) Pemeriksaan HbAlC
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang dapat
digunakan pada semua tipe diabetes melitus terutama untuk
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

mengetahui status glikemik jangka panjang karena hasilnya sangat


akurat.
3) Pemeriksaan Glukosa Plasma
Pemeriksaan ini dilakukan untnk menegakkan diagnosis
diabetes melitus. Pemeriksaan glukosa plasma dilakukan dengan
menggunakan sampel darah lengkap (whole blood), plasma dibuat
dalam tabung bekuan untuk memungkinkan terjadinya metabolisme
glukosa dalam sampel oleh sel-sel darah sampai terjadi pemisahan
melalui pemusingan (sentrifugasi). Jumlah sel darah yang tinggi
dapat menyebabkan glikolisis yang berlebihan sehingga terjadi
penurunan kadar glukosa. Untuk mencegah glikolisis tersebut,
plasma harus segera dipisahkan dari sel-sel darah. Suhu lingkungan
tempat darah disimpan sebelum diperiksa turut mempengaruhi
tingkat glikolisis. Pada suhu kamar, diperkirakan terjadi penurunan
kadar glukosa 1-2% per jam. Sedangkan pada suhu lemari pendingin,
glukosa tetap stabil selam beberapa jam di dalam darah.
Penambahan Natrium Fluoride (NaF) pada sampel darah dapat
mengliambat glikolisis sehingga kadar glukosa dapat dipertahankan
bahkan dalam suhu kamar. Pemeriksaan glukosa plasma antara lain
yaitu:
a) Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa adalah
kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
b) Pemeriksaan glukosa plasma > 200 mg/dl 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
c) Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl dengan
keluhan klasik. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ini
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir.
4) Pemeriksaan Glukometer
Pemeriksaan gula darah dengan menggunakan uji strip
glukometer dapat dilakukan dilakukan dengan cepat dan mudah
yang hasilnya dapat diketahui secara langsung oleh tenaga kesehatan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

maupun klien sehingga dapat digunakan sebagai evaluasi dalam


pengobatan. Prosedur pemeriksaan yang dilakukan adalah
pengambilan sampel darah kapiler dengen membersihkan ujung jari
klien menggnnakankapas alkohol, menusuk ujung jari menggunakan
jarum penusuk (inet), aplikasikan setetes darah pada strip
pemeriksaan, tunggu hasil kurang lebih selama 6 detik kemudian
hasil akan keluar dari glukometer tersebut. Membersihkan ujung jari
klien dengan kapas alkohol. Dengan begitu dapat diketahui hasil
gula darah klien dalam batas normal atau tidak. Pemeriksaan ini
dapat dilakukan untuk pengambilan gula darah sewaktu, gula darah
puasa, ataupun gula darah dua jam setelah makan (Smeltzer & Bare,
2008).
Menurut PERKENI (2011) kadar glukosa darah sewaktu dan
kadar glukosa darah puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
diabetes melitus.
Tabel 2.1 Klasifikasi Kadar Gula Darah (dalam mg/dl)
Keterangan Baik Sedang Buruk
Glukosa darah puasa 80-109 110-125 > 126
Glukosa darah 2 jam setelah 80-144 145-179 > 180
puasa
Sumber: (PERKENI, 2015; Sutrisno, 2007)

3. Konseling Gizi Terstandar


a. Pengertian Konseling Gizi Terstandar
Konseling gizi terstandar merupakan salah satu intervensi gizi
dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Proses Asuhan Gizi
Terstandar (PAGT). Konseling gizi terstandar adalah sebuah proses
interaktif antara klien dan konselor terlatih yang menggunakan
informasi dari penilaian gizi untuk memprioritaskan tindakan untuk
meningkatkan status gizi dan merupakan salah satu upaya untuk
mempercepat proses penyembuhan dan mencapai status gizi yang
optimal (Dieny et al., 2020).
Konseling gizi terstandar merupakan salah satu bagian dari
pendidikan gizi yang bertujuan membantu masyarakat, kelompok atau
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

individu untuk menyadari dan mengatasi masalah kesehatan dan gizi


yang dialaminya (Fanny, 2022). Lufthiani et al. (2020) menyatakan
konseling gizi merupakan asuhan gizi yang bertujuan membantu pasien
dan keluarga mendapatkan pengetahuan tentang penyakitnya dan
permasalahan gizi yang dialami pasien. Setelah pasien mendapat
konseling gizi diharapkan dapat mengambil langkah yang tepat untuk
menangani masalah gizi termasuk perubahan perilaku klien. Dengan
demikian Konseling gizi adalah suatu proses memberi bantuan klien
dalam membuat suatu keputusan atau memecahkan suatu masalah
melalui pemahaman fakta-fakta, harapan, kebutuhan dan perasaan klien.
Konseling gizi terstandar adalah serangkaian kegiatan sebagai
proses komunikasi 2 (dua) arah untuk menanamkan dan meningkatkan
pengertian, sikap dan perilaku sehingga membantu pasien / klien
mengenali dan mengatasi masalah gizi melalui pengaturan makanan dan
minuman, menolong individu dan keluarga memperoleh pengertian
yang lebih baik tentang dirinya dan permasalahan yang dihadapi.
Setelah konseling diharapkan individu dan keluarga mampu mengambil
langkah-langkah untuk mengatasi masalah gizi termasuk perubahan
pola makan serta memecahkan masalah terkat gizi kearah kebiasaan
hidup yang sehat. Konseling yang efektif adalah komunikasi dua arah
antara klien dan konselor tentang segala sesuatu yang memungkinkan
terjadinya perubahan perilaku makan klien (Ruswadi, 2022).
Konseling gizi terstandar merupakan proses pemberian
dukungan pada pasien/klien yang ditandai dengan adanya hubungan
kerjasama antara konselor dengan klien/pasien dalam menentukan
prioritas makanan, gizi dan aktivitas fisik, tujuan/target, rancangan
kegiatan yang dapat diterima dan dapat mendukung rasa tanggung jawab
untuk merawat dirinya sendiri untuk mengatasi masalah yang ada dan
untuk meningkatkan kesehatan. Konseling gizi memberikan solusi
bersama antara ahli gizi dan klien/pasien untuk permasalahan gizi yang
dialami klien/pasien sehingga diperoleh kesepakatan dalam pengaturan
makan untuk mendukung kesehatan atau kesembuhan klien/pasien
(Ba’diah, 2022).
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

Konseling gizi adalah suatu bentuk pendekatan yang digunakan


dalam asuhan gizi untuk menolong individu dan keluarga memperoleh
pengertian lebih baik tentang dirinya dan permasanlah gizi yang
dihadapi. Setelah konseling diharapkan individu dan keluarga mampu
mengambil langkah-langkah untuk mengatasi maslah gizi termasuk
perubahan pola makan serta pemecahan masalah terkait gizi ke arah
kebiasaan hidup sehat (Simbolon, 2019).
Dengan demikian konseling gizi terstandar adalah suatu proses
memberi bantuan kepada orang lain dalam membuat suatu keputusan
atau memecahkan suatu masalah melalui pemahaman fakta-fakta,
harapan, kebutuhan dan perasaan klien/pasien yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT).
b. Tujuan Konseling Gizi
Tujuan konseling gizi terstandar adalah menyelenggarakan
pendidikan gizi melalui pendekatan konseling adalah terjadinya
pemecahan masalah yang dihadapi oleh seseorang yang akan diatasi
sendiri sesuai dengan keputusan yang telah diambilnya setelah melalui
konseling yang diberikan oleh tenaga gizi (Argaheni et al., 2022).
Aldera et al. (2021) menyebutkan tujuan konseling gizi sebagai berikut:
1) Membantu klien dalam mengidentifikasi dan menganalisis masalah
klien serta memberi alternatif pemecahan masalah. Melalui
konseling klien dapat berbagi masalah, penyebab masalah dan
memperoleh informasi tentang cara mengatasi masalah.
2) Menjadikan cara-cara hidup sehat di bidang gizi sebagai kebiasaan
hidup klien. Melalui konseling klien dapat belajar mengubah pola
hidup, pola aktivitas, pola makan.
3) Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individu atau keluarga
klien tentang gizi. Melalui konseling klien mendapatkan informasi
pengetahuan tentang gizi, diet dan kesehatan.
Rasmaniar et al. (2022) menyatakan secara umum tujuan
konseling adalah membantu klien dalam upaya mengubah perilaku yang
berkaitan dengan gizi, sehingga status gizi dan kesehatan klien menjadi
lebih baik. Perilaku yang diubah meliputi ranah pengetahuan, ranah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

sikap, dan ranah keterampilan di bidang gizi. Perilaku negatif di bidang


gizi, diubah menjadi perilaku positif.
c. Langkah-Langkah Konseling Gizi
Di Indonesia saat ini berkembang langkah-langkah konseling
gizi yang sesuai dengan Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT) atau
Nutrition Care Procces (NCP). Proses PGAT adalah serangkaian
langkah-langkah yang saling berkaitan satu sama lainnya. PAGT terdiri
dari empat langkah yaitu: Pengkajian Gizi (Nutrition Assessment),
Diagnosis Gizi (Nutrition Diagnosis), Intervensi Gizi (Nutrition
Intervention), Monitoring dan Evaluasi Gizi (Nutrition Monitoring and
Evaluating). Keempat langkah tersebut disingkat dengan ADIME
(Assessment, Diagnosis, Intervention, Monitoring and Evaluating).
Fanny (2022) menyebutkan enam langkah konseling gizi secara
lebih rinci sebagai berikut:
1) Membangun Dasar-dasar Konseling
Untuk membangun dasar-dasar konseling, yang dapat
konselor lakukan adalah antara lain menyapa klien dengan ramah,
memberikan salam dengan menggunakan kata-kata yang
menyenangkan seperti, “apa yang bisa saya bantu”.
2) Menggali Permasalahan
Pada langkah ini dilakukan pengumpulan data yang bisa
dilakukan dengan wawancara atau mencatat dokumen yang dibawa
klien. Setelah data terkumpul pada langkah ini dilakukan verifikasi,
interpretasi, penentuan masalah dan penentuan penyebab masalah.
Tujuan utama pengumpulan data adalah mengidentifikasi masalah
gizi dan faktor-faktor yang menyebabkan masalah tersebut.
3) Menegakkan Diagnosis
Langkah selanjutnya adalah menegakkan diagnosis.
Menegakkan diagnosis gizi klien dilakukan berdasarkan pengkajian
masalah masalah gizi yang dihadapi klien (problem), menentukan
etiologi (penyebab masalah), menentukan tanda dan gejala masalah
tersebut. Dalam menetapkan diagnosis gizi ada tiga domain yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

harus diperhatikan oleh konselor. Ketiga domain tersebut meliputi


domain asupan zat gizi, domain klinik dan domain perilaku.
4) Rencana Intervensi Gizi
Setelah menetapkan diagnosis, maka langkah selanjutnya
adalah menentukan rencana intervensi yang akan dilaksanakan
untuk mengatasi masalah yang dialami klien. Pada langkah ini
konselor harus mulai melibatkan klien dalam perencanaan ini. Pada
langkah ini konselor perlu mempertimbangkan antara lain
identifikasi strategi pemecahan masalah dengan mempertimbangkan
masukan dari klien. Langkah awal dalam pemecahan masalah adalah
menentukan kebutuhan energi dan zat gizi lainnya serta menetapkan
preskripsi dietnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah membuat
alternatif pemecahan masalah. Dalam membuat alternatif
pemecahan masalah perlu memperhatikan potensi kekuatan yang
dimiliki klien dan faktor yang menghambat program intervensi.
5) Memperoleh Komitmen
Komitmen merupakan kunci dari keberhasilan proses
konseling. Tujuan dari langkah ini adalah memperoleh kesepakatan
antara konselor dengan klien. Kesepakatan tersebut dipakai sebagai
komitmen dalam melaksanakan presekripsi diet dan aturan lainnya.
Berikan pemahaman, dukungan, motivasi dan bangun rasa percaya
diri klien untuk melakukan perubahan diet yang sesuai anjuran dan
disepakati bersama. Perubahan yang dilakukan adalah semata-mata
untuk kebaikan kondisi klien. Lalu informasikan untuk kunjungan
konseling berikutnya untuk melihat perkembangan perubahan diet
yang dilakukan.
6) Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi adalah langkah terakhir dari suatu
proses konseling. Tujuan dari monitoring dan evaluasi konseling
adalah mengetahui pelaksanaan intervensi sesuai komitmen dan
mengetahui tingkat keberhasilan konseling. Untuk tujuan tersebut
konselor bisa melakukan diskusi dan menanyakan tentang pelaksaan
intervensi meliputi keberhasilan konseling, faktor penghambat dan
faktor pendorong dalam melaksanakan diet yang dianjurkan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

4. Konseling Gizi dengan Metode CBT (Cognitive Behaviour Therapy)


a. Pengertian Konseling Gizi dengan Metode CBT (Cognitive Behaviour
Therapy)
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah pendekatan
konseling gizi yang menitikberatkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang
merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis. CBT merupakan
konseling yang dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan
mental. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir,
merasa dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa,
pengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali.
Sedangkan, pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk
membangun hubungan yang baik antara situasi permasalahan dengan
kebiasaan mereaksi permasalahan. Tujuan dari CBT yaitu mengajak
individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan
tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas dan membantu
membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan CBT
diharapkan dapat membantu konseli dalam menyelaraskan berpikir,
merasa dan bertindak (Lesmana, 2021).
Cognitive behaviour therapy merupakan terapi yang berfokus
untuk mengubah prilaku dan pikiran individu. Cognitive behaviour
therapy telah menjadi pengobatan central dan preventif. Secara evidance
based cognitive behaviour therapy dalam jangka waktu pendek
merupakan terapi psikologis yang dapat mengubah pemikiran negatif.
Selain itu cognitive behaviour therapy dapat menolong individu
mengubah pikirannya dan membawanya ke dalam perspektif baru, dan
diajarkan juga strategi prilaku yang adaptif (Wahyuni et al., 2019).
Cognitive Behavioral Therapy adalah jenis terapi yang berfokus
pada tantangan dan perubahan pola mental yang tidak sehat, tidak
membantu, atau benar-benar berbahaya bagi pasien. Intinya, CBT
adalah tentang mengidentifikasi pola pikir negatif yang menyakiti dan
mengganggu upaya seseorang untuk menjadi lebih baik (Lindberg,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

2020). Rockefeller (2017) menyatakan sistem CBT didasarkan pada


kombinasi prinsip dari psikologi perilaku dan kognitif. Ini adalah model
yang sama sekali berbeda dari gaya terapi psikologis yang lebih lama,
seperti psikoanalisis, di mana terapis mencari makna bawah sadar di
balik perilaku dan tindakan yang dilakukan, yang mengarah pada
perumusan diagnosis. Di sisi lain, model CBT berfokus pada masalah
dan lebih berorientasi pada tindakan, karena digunakan untuk
menangani masalah spesifik yang terkait dengan gangguan mental yang
didiagnosis. Dalam CBT, fungsi terapis adalah membantu klien yang
bermasalah menemukan dan mempraktikkan beberapa strategi dalam
mengatasi tujuan terapi yang teridentifikasi dan mengurangi gejala
gangguan mental.
Berdasarkan pengertian tersebut maka didalam metode cognitive
behavioral therapy menekankan pada pengubahan perilaku dengan cara
berpikir yang sistematis, dan menitikberatkan pada restrukturisasi atau
pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang
merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis serta pendekatan ini
juga digunakan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental.
Pendekatan ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir,
merasa dan bertindak dengan menekankan otak sebagai penganlisa,
mengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali
dan aspek perilakunya diarahkan untuk membangun hubungan yang
baik antara situasi permasalahan dengan kebiasaan merespon masalah.
b. Teknik Konseling Gizi dengan Metode CBT (Cognitive Behaviour
Therapy)
Konselor atau terapis cognitive-behavior biasanya menggunakan
berbagai teknik intervensi untuk mendapatkan kesepakatan perilaku
sasaran dengan konseli. Teknik yang biasa dipergunakan oleh para ahli
dalam CBT (Lesmana, 2021) yaitu:
1) Manata keyakinan irasional.
2) Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu
yang menarik ketimbang sesuatu yang menakutkan.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

32

3) Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam


role play dengan konselor.
4) Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam
situasi ril.
5) Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas
yang dialami pada saat ini dengan skala 0-100.
6) Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran
negatif dan mengubahnya menjadi pikiran positif.
7) Desensitization systematic. Digantinya respons takut dan cemas
dengan respon relaksasi dengan cara mengemukakan permasalahan
secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut terberat
sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional
konseli.
8) Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya.
9) Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa
bertindak tegas.
10) Penugasan rumah. Memperaktikan perilaku baru dan strategi
kognitif antara sesi konseling.
11) In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah
dengan memasuki situasi tersebut.
12) Covert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan
menekankan kepada proses psikologis yang terjadi di dalam diri
individu. Peranannya di dalam mengontrol perilaku berdasarkan
kepada imajinasi, perasaan dan persepsi.
c. Tahapan Konseling Gizi dengan Metode CBT (Cognitive Behaviour
Therapy)
Tingkah laku yang bermasalah dalam pendekatan cognitive
behavioral therapy (CBT) adalah tingkah laku yang berlebihan
(excenssive) dan tingkah laku yang kurang (deficit). Tingkah laku
excenssive dirawat dengan menggunakan teknik konseling untuk
menghilangkan atau mengurangi tingkah laku, sedangkan tingkah laku
deficit diterapi dengan menggunakan teknik meningkatkan tingkah laku.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

Tahapan-tahapan yang terdapat dalam pendekatan cognitive behavioral


therapy (CBT) yang diungkapkan oleh Oemarjoedi dalam buku Putranto
(2016) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Proses Konseling Kognitif-Perilaku (Cognitive Behavior)
yang Telah Disesuaikan dengan Kultur di Indonesia
No. Proses Sesi
1 Assesmen dan Diagnosa 1
2 Mencari akar permasalahan yang bersumber dari emosi 2
negatif, penyimpangan proses berfikir, dan keyakinan
utama yang berhubungan dengan gangguan.
3 Konselor bersama konseli menyusun rencana intervensi 3
dengan memberikan konsekwensi positif-negatif kepada
konseli.
4 Formulasi status, fokus terapi, intervensi tingkah laku. 4
5 Pencegahan Relapse dan Training Self-Help 5

Keterangan:
1) Sesi 1: Asesmen dan Diagnosa Awal
Dalam sessi ini, terapis (konselor) diharapkan mampu:
a) Melakukan asesmen, observasi, anamnese, dan analisis gejala,
demi menegakkan diagnosa awal mengenai gangguan yang
terjadi
b) Memberikan dukungan dan semangat kepada klien untuk
melakukan perubahan
c) Memperoleh komitmen dari klien untuk melakukan terapi dan
pemecahan masalah terhadap gangguan yang dialami
d) Menjelaskan kepada klien formulasi masalah dan situasi kondisi
yang dihadapi.
2) Sessi 2: Mencari emosi negatif, pikiran otomatis, dan keyakinan
utama yang berhubungan dengan gangguan
Beberapa tokoh meyakini bahwa sessi ini sebaiknya
dilakukan di sessi (paling tidak) 8-10. Namun pada prakteknya sessi
ini lebih mudah dilakukan segera setelah asesmen dan diagnosa,
selain karena tuntutan klien akan gambaran yang lebih jelas dalam
waktu yang singkat, klien juga menuntut adanya manfaat terapi yang
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

dapat segera dirasakan dalam pertemuan kedua, dalam sessi ini,


terapis diharapkan mampu:
a) Memberikan bukti bagaimana sistem keyakinan dan pikiran
otomatis sangat erat hubungannya dengan emosi dan tingkah
laku, dengan cara menolak pikiran negatif secara halus dan
menawarkan pikiran positif sebagai alternatif untuk dibuktikan
bersama.
b) Memperoleh komitmen klien untuk melakukan modifikasi
secara menyeluruh, mulai dari pikiran, perasaan sampai
perbuatan, dari negatif menjadi positif.
Pada umumnya, dalam sessi ini klien cukup dapat menerima
penjelasan terapis dan tertarik untuk mencoba bereksperimen
dengan pikiran dan perasaannya. Namun seringkali, mereka
melaporkan kesulitan dalam menerapkan teknik-teknik modifikasi
pikiran dan perasaan, karena sistem keyakinan meeka sudah
membentuk semacam rajutan yang kokoh dalam ingatannya.
Semakin negatif pikiran seseorang semakin gelap dan tebal pula
rajutan distorsi kognitifnya. Oleh karena itu, hipnoterapi sudah dapat
dilkukan dalam sessi ini, karena umumnya klien akan dapat
langsung merasakan manfaat hipnoterapi segera setelah
menyelesaikan sessi ini, terutama terhadap perasaanya. Klien juga
diberikan rekomendasi untuk melakukan latihan di rumah, demi
mencapai keterampilan “auto hypnose” yang diharapkan dapat
meningkatkan potensi keberhasilan terapi.
3) Sessi 3: Menyusun rencana intervensi dengan memberikan
konsekwensi positif-konsekwensi negatif kepada klien dan kepada
“significant persons”
Pada dasamya terapis diharapkan mampu menerapkan
prinsip-prinsip teori belajar dengan memberikan penguatan
(reinforcement) dan hukuman (punishment) secara kreatif kepada
klien dan keluarganya sbagai orang-orang yang signifikan dalam
hidupnya. Terapis juga diharapkan dapat memantapkan komitmen
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

untuk mengubah tingkah laku dan keinginan untuk mengubah situasi.


Namun seringkali teijadi, istilah hukuman dan hadiah kurang dapat
diteima klien, terutama pada klien dewasa. Oleh karena itu terapis
dapat menampilkan kreativitas dengan memberikan istilah yang
lebih sesuai, misalnya istilah konsekwensi positif dan negatif.
Terapis juga perlu memperjelas hubungan antara pikiran negatif
yang menghasilkan konsekwensi negatif, dan pikiran positif yang
menghasilkan konsekwensi positif.
Klien diajak membuat komitmen tentang bagaimana ia dan
terapis menerapkan konsekwensi positif dan negatif terhadap
kemajuan proses belajamya. Keterlibatan “significant persons”
untuk turut memberi dan menerima konsekwensi yang telah
disepakati akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan terapi.
Penggunaan konsekwensi positif dan negatif ini pada tahap
selanjutnya bahkan dianggap sebagai faktor utama dalam
kemampuan klien mengatasi relapse (kekambuhan).
4) Sessi 4: Formulasi status, fokus terapi, intervensi tingkah laku
lanjutan
Pada sessi ini, formulasi status yang dilakukan adalah lebih
kepada kemajuan dan perkembangan terapi. Terapis diharapkan
dapat memberikan feed back atas hasil kemajuan dan perkembangan
terapi, mengingatkan fokus terapi, dan mengevaluasi pelaksanaan
intervensi tingkah laku dengan konsekwensi-konsekwensi yang
telah disepakati. Beberapa perubahan mungkin dilakukan untuk
memberikan efek yang lebih maksimal. Dalam sessi ini, terapis
diharapkan mampu memberikan:
a) Dukungan dan semangat kepada kemajuan yang dicapai klien
b) Keyakinan untuk tetap fokus kepada masalah utama
5) Sessi 5: Pencegahan Relapse
Pada sessi ini, diharapkan klien sudah memiliki pengalaman
yang lebih mendalam tentang Cognitive Behavior dan bagaimana
manfaat langsung dari hipnoterapi, serta pentingnya melakukan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

keterampilan “auto hypnose” untuk mencegah relapse (kembalinya


gejala gangguan). Pengetahuan umum tentang istilah relapse perlu
diperjelas oleh terapis di awal sessi untuk meyakinkan agar klien
memahami artinya dan mampu memilih tindakan yang harus
dilakukan. Dalam sessi ini, terapis diharapkan mampu memperoleh:
a) Komitmen klien untuk melanjutkan terapi dalam sessi yang lebih
jarang dan melakukan metode “self help” secara
berkesinambungan.
b) Komitmen klien untuk secara aktif membentuk pikiran-
perasaan-perbuatan positif dalam setiap masalah yang dihadapi.
5. Diabetes Mellitus (DM) Tipe 2
a. Pengertian DM Tipe 2
Diabetes mellitus diambil dari kata Yunani diabetes, yang berarti
menyedot - melewati dan kata Latin mellitus yang berarti manis.
Tinjauan sejarah menunjukkan bahwa istilah "diabetes" pertama kali
digunakan oleh Apollonius dari Memphis sekitar 250 hingga 300 SM.
Peradaban Yunani, India, dan Mesir kuno menemukan sifat manis urin
dalam kondisi ini, dan karenanya penyebaran kata Diabetes Mellitus
muncul (Sapra & Bhandari, 2022).
Penyakit Diabetes Mellitus (DM), yang juga dikenal sebagai
penyakit kencing manis atau penyakit gula darah, adalah golongan
penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam
darah, sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh,
di mana pankreas tidak mampu lagi memproduksi hormon insulin sesuai
kebutuhan tubuh. Insulin adalah salah satu hormon yang diproduksi oleh
pankreas yang bertanggung jawab untuk mengontrol jumlah/ kadar gula
dalam darah. Insulin ini juga dibutuhkan untuk mengubah (memproses)
karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi yang diperlukan tubuh
manusia (Prasetyono, 2016).
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun atau
kronis yang ditandai oleh hiperglikemia, yaitu kadar glukosa darah
melebihi nilai normal. Penyakit yang biasa disebut diabetes atau DM ini
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

akan menimbulkan komplikasi yang berakibat fatal, seperti penyakit


jantung, penyakit ginjal, kebutaan, amputasi, dan mudah mengalami
aterosklerosis jika dibiarkan tidak terkendali (Krisnatuti et al., 2014).
Teori lain menunjukkan diabetes melitus adalah sekelompok
penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia kronis akibat
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. Kelainan
metabolik pada karbohidrat, lipid, dan protein dihasilkan dari
pentingnya insulin sebagai hormon anabolik. Tingkat insulin yang
rendah untuk mencapai respons yang memadai dan/atau resistensi
insulin pada jaringan target, terutama otot rangka, jaringan adiposa, dan
pada tingkat yang lebih rendah, hati, pada tingkat reseptor insulin,
sistem transduksi sinyal, dan/atau enzim atau gen efektor bertanggung
jawab atas kelainan metabolik ini (American Diabetes Association,
2014; Kharroubi & Darwish, 2015).
DM adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein, mengarah ke hiperglikemia (kadar glukosa darah
tinggi). Diabetes mellitus (DM) terkadang dirujuk sebagai “gula tinggi”,
baik oleh klien maupun penyedia layanan kesehatan. Pemikiran dari
hubungan gula dengan DM adalah sesuai karena lolosnya sejumlah
besar urine yang mengandung gula ciri dari DM yang tidak terkontrol.
Walaupun hiperglekemia memainkan sebuah peran penting dalam
perkembangan komplikasi terkait DM, kadar yang tinggi dari glukosa
darah hanya satu komponen dari proses patologis dan manifestasi klinis
yang berhubungan dengan DM. Proses patologis dan faktor risiko lain
adalah penting, dan terkadang merupakan faktor-faktor independen.
Diabetes mellitus dapat berhubungan dengan komplikasi serius, namun
orang dengan DM dapat mengambil cara-cara pencegahan untuk
mengurangi kemungkinan kejadian tersebut (Maria, 2021).
Diabetes adalah gangguan metabolisme kompleks heterogen
yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa darah sekunder
baik resistensi terhadap aksi insulin, sekresi insulin yang tidak
mencukupi, atau keduanya. Manifestasi klinis utama dari keadaan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

diabetes adalah hiperglikemia. Namun, defisiensi insulin dan/atau


resistensi insulin juga berhubungan dengan kelainan metabolisme lipid
dan protein, dan dengan gangguan mineral dan elektrolit. Sebagian besar
pasien diabetes diklasifikasikan ke dalam salah satu dari dua kategori
besar: DM tipe 1, yang disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau
hampir absolut, atau DM tipe 2, yang ditandai dengan adanya resistensi
insulin dengan peningkatan kompensasi insulin yang tidak memadai
(Solis-Herrera et al., 2018).
American Diabetes Assosiation/World Health Organization
mengklasifikasikan 4 macam penyakit DM berdasarkan penyebabnya
(Suryati, 2021), yaitu:
1) DM Tipe 1
DM tipe 1 disebut juga dengan juvenile diabetes (diabetes
usia muda) namun ternyata diabetes ini juga dapat terjadi pada orang
dewasa, maka istilahnya lebih sering digunakan diabetes mellitus
tipe-1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) yaitu suatu
tipe diabetes mellitus di mana penderitanya akan bergantung pada
pemberian insulin dari luar.
Faktor penyebab diabetes mellitus tipe-1 adalah infeksi virus
atau auto imun (rusaknya sistem kekebalan tubuh) yang merusak sel-
sel penghasil insulin, yaitu sel β pada pankreas secara menyeluruh.
Oleh karena itu, pada tipe ini pankreas sama sekali tidak dapat
menghasilkan insulin sehingga penderitanya harus diberikan insulin
dari luar atau suntikan insulin untuk tetap bertahan hidup.
2) Diabetes Mellitus Tipe 2
DM tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin ataupun
gangguan kerja insulin (resistensi insulin) pada organ target
terutama hati dan otot. Awalnya resistensi insulin masih belum
menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta
pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu
hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau sedikit
meningkat. 90% dari kasus diabetes adalah DM tipe 2 dengan
karakteristik gangguan sensitivitas insulin dan atau gangguan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

sekresi insulin. DM tipe 2 secara klinis muncul ketika tubuh tidak


niampu lagi memproduksi cukup insulin untuk mengkompensasi
peningkatan insulin resisten (Decroli, 2019).
Penderita DM tipe 2 mempunyai risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah 2-4 kali lebih tinggi dibandingkan orang tanpa
diabetes, mempunyai risiko hipertensi dan disiplidemia yang lebih
tinggi dibandingkan orang normal. Kelainan pembuluh darah sudah
dapat terjadi sebelum diabetesnya terdiagnosis, karena adanya
resistensi insulin pada saat prediabetes (Decroli, 2019).
3) Diabetes Mellitus Gestasional (DM pada Kehamilan)
Wanita hamil yang belum pemah mengidap diabetes mellitus,
tetapi memiliki angka gula darah cukup tinggi selama kehamilan
dapat dikatakan telah menderita diabetes gestasional. Diabetes tipe
ini merupakan gangguan toleransi glukosa berbagai derajat yang
ditemukan pertama kali pada saat hamil. Biasanya diabetes mellitus
gestasional mulai muncul pada minggu ke-24 kehamilan (6 bulan)
dan akan secara umum akan menghilang sesudah melahirkan.
Namun hampir setengah angka kejadiannya diabetes akan muncul
kembali di masa yang akan datang.
4) Diabetes Mellitus Lainnya
Penyakit diabetes mellitus tipe lainnya dapat berupa diabetes
yang spesifik yang disebabkan oleh berbagai kondisi seperti
kelainan genetik yang spesifik (kerusakan genetik sel beta pankreas
dan kerja insulin), penyakit pada pankreas, gangguan endokrin lain,
infeksi, obat-obatan dan beberapa bentuk lain yang jarang terjadi.
Pada penelitian ini, jenis DM yang diteliti adalah DM tipe 2. DM
tipe 2 adalah suatu keadaan kelainan metabolik dengan karakterstik
hiperglikemia, yang terjadi akibat resistensi insulin pada sel otot dan hati.
Normalnya glukosa yang dikonsumsi akan di distribusikan ke sel otot
dan hati, pada keadaan resistensi insulin, insulin yang dihasilkan tidak
dapat mendistribusikan glukosa tersebut dari darah ke sel sehingga
terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah (hipergilikemia) dan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

dapat menjadi DM tipe 2 bila sesuai dengan kriteria diagnosis.


Resistensi insulin ini terjadi akibat jumlah reseptor insulin pada
permukaan sel kurang. Reseptor ini dapat diibarakan sebagai lubang
kunci pintu masuk dalam sel. Sedangkan insulin dianggap sebagai
kuncinya. Meskipun terdapat banyak kunci, lubang kuncinya sedikit
sehingga pintu yang membuka juga sedikit dan sedikit juga glukosa
yang akan ditransferkan ke sel (Rahman, 2021).
b. Gejala dan Tanda-tanda DM Tipe 2
Fibriana, Siyoto, Nuswantari, & Rohana (2017) mengungkapkan
dapat digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik, seperti yang
dijelaskan sebagai berikut.
1) Gejala Akut Penyakit DM Tipe 2
Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain
bervariasi bahkan, mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun
sampai saat tertentu.
a) Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak
(Poly), yaitu: banyak makan (polyphagia), banyak minum
(polydipsia), dan banyak kencing (polyuria).
b) Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang/
berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul
rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut
dengan koma diabetik.
2) Gejala Kronik DM Tipe 2
Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes
mellitus adalah sebagai berikut: a) Kesemutan, b) Kulit terasa panas,
atau seperti tertusuk-tusuk jarum, c) Terasa tebal di kulit, sehingga
kalau berjalan seperti di atas bantal atau kasur, d) Kram, e) Lelah, f)
Mudah mengantuk, g) Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata,
h) Gatal di sekitar kemaluan, terutama wanita, i) Gigi mudah goyah
dan mudah lepas, j) Kemampuan seksual menurun, bahkan impoten,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

dan k) Para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian


janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.
c. Faktor Risiko DM Tipe 2
Suryati (2021) mengungkapkan secara garis besar faktor risiko
DM Tipe 2 dibedakan menjadi 2, yaitu:
1) Faktor risiko yang tidak dapat diubah
a) Umur
Umur merupakan faktor pada orang dewasa, dengan
semakin bertambahnya umur, kemampuan jaringan mengambil
glukosa darah semakin menurun. Penyakit ini lebih banyak
terdapat pada orang yang berumur di atas 40 tahun dari pada
orang yang lebih muda.
b) Keturunan
DM Tipe 2 bukan penyakit menular tetapi diturunkan.
Namun bukan berarti anak dari kedua orang tua yang diabetes
pasti akan mengidap diabetes juga, sepanjang bisa menjaga dan
menghindari faktor risiko yang lain. Sebagai faktor risiko genetik
yang perlu diperhatikan apabila kedua atau salah seorang dari
orang tua, saudara kandung, anggota keluarga dekat mengidap
diabetes. Pola genetik yang kuat pada DM Tipe 2, seseorang yang
memiliki saudara kandung mengidap diabetes tipe 2 memiliki
risiko yang jauh lebih tinggi menjadi pengidap diabetes. Uraian
di atas telah mengarahkan kesimpulan bahwa risiko diabetes
tersebut adalah kondisi turunan.
2) Faktor risiko yang dapat diubah atau dimodifikasi
Faktor risiko yang dapat diubah merupakan faktor risiko
yang berawal dari perilaku, sehingga memiliki kemungkinan atau
memberi peluang untuk diubah atau dimodifikasi, atara lain pola
makan yang salah, aktivitas fisik kurang gerak, obesitas, stres, dan
pemakaian obat-obatan.
d. Metode Pemeriksaan DM Tipe 2
Diagnosis DM Tipe 2 ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena.


Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Kecurigaan adanya DM
Tipe 2 perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti: keluhan klasik
DM Tipe 2: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain: lemah badan,
kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulva pada wanita (Fandinata & Ernawati, 2020).
Fandinata & Ernawati (2020) menjelaskan metode pemeriksaan
dalam mendiagnosa penyakit DM Tipe 2 antara lain:
1) Pemeriksaan glukosa darah puasa > 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam. Dilakukan pengambilan
sampel darah untuk Tes gula darah puasa setelah pasien melakukan
puasa minimal 8 jam.
2) Pemeriksaan glukosa darah > 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTOG) dengan beban glukosa 75 gram. Pada tes
TTOG pasien melakukan puasa terlebih dahulu minimal 8 jam,
setelah itu diminta makan dan minum seperti biasanya. Selang
waktu 2 jam setelah itu dilakukan pengecekan kadar gula darah.
3) Pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl dengan keluhan -
keluhan (poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan).
Tes gula darah sewaktu dilakukan kapan saja tanpa
mempertimbangkan puasa dan waktu terakhir pasien makan. Tes ini
dilakukan apabila terjadi gejala-gejala DM Tipe 2 secara umum,
diantaranya poliurea (sering kencing), polifagia (cepat lapar),
polidipsi (sering haus), berat badan turun dan infeksi yang sukar
sembuh.
4) Pemeriksaan HbAlc > 6,5% dengan menggunakan metode
terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP). Tes hemoglobin terglikasi (HbAlc) adalah
pengukuran persentase gula darah yang terikat dengan hemoglobin.
Hemoglobin adalah protein yang ada dalam sel darah merah.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

Semakin tinggi hemoglogin Ale, semakin tinggi pula tingkat gula


darah.
Tabel 2.3 Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes
dan Prediabetes
Glukosa darah Glukosa plasma 2 jam
HbAlC
puasa (mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes >6,5 >126 > 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal <5,7 <100 < 140
Sumber: Fandinata & Ernawati (2020)
e. Pengendalian DM Tipe 2
Langkah pengendalian bertujuan mengurangi gejala komplikasi
sehingga penderita dapat hidup sehat dan wajar berdampingan dengan
penyakitnya. Hal yang perlu ditekankan adalah peningkatan kualitas
hidup dan mencegah selama mungkin timbulnya komplikasi kronis.
Dalimartha & Adrian (2012) menyatakan hal utama dalam
melakukan tindakan pengendalian pada penyakit DM Tipe 2 tetap
berdasarkan pada perencanaan makan, latihan jasmani, PGDM, obat
hipoglikemik, dan penyuluhan. Agar berhasil mengelola DM dengan
baik, diperlukan perencanaan yang matang berupa tujuan jangka pendek,
tujuan jangka panjang, tindakan dan kegiatan yang dilakukan,
pemeriksaan berkala, serta penyuluhan. Berikut adalah perencanaan
yang dimaksud:
1) Jangka pendek
Perencanaan jangka pendek bertujuan untuk menghilangkan
keluhan dan gejala DM Tipe 2 serta mampu mengendalikan glukosa
darah.
2) Jangka panjang
Perencanaan jangka panjang bertujuan untuk mencegah
progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan
neuropati sehingga terjadi penurunan morbiditas dan mortalitas dini
DM.
3) Tindakan
Tindakan yang dilakukan dalam perencanaan tersebut meliputi
pengendalian kadar glukosa darah, tekanan darah, profil lipid,
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

kekentalan darah, serta berat badan secara holistik dengan


perubahan perilaku dan pemeriksaan berkala.
4) Kegiatan yang dilakukan
Kegiatan yang harus dilakukan dalam perencanaan yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Pada kunjungan pertama dilakukan pemeriksaan fisik lengkap
untuk mengetahui status gizi, komplikasi yang mungkin sudah
timbul, serta adanya penyakit kronis lain. Pemeriksaan yang
umum dilakukan menyangkut hal-hal berikut.
(1) Tinggi badan (TB), berat badan (BB), dan tekanan darah
(TD).
(2) Menanyakan dan mencari tanda gangguan saraf (neuropati)
seperti rasa kesemutan, baal, dan nyeri.
(3) Memeriksa keadaan kaki dan meraba denyut nadi kaki.
(4) Merekam aktivitas jantung dengan peralatan khusus (EKG).
(5) Membuat rontgen dada.
(6) Pemeriksaan fundus mata (funduskopi).
(7) Pemeriksaan laboratorium standar meliputi darah, urin, dan
pemeriksaan laboratorium dapat ditambah sesuai dengan
penyakit kronis dan komplikasi yang ada.
b) Setiap tiga bulan dilakukan pemeriksaan A1c serta gula darah
puasa dan 2 jam setelah makan.
c) Setiap tahun dilakukan kembali pemeriksaan fisik lengkap
seperti di atas.
d) Penyuluhan tentang perencanaan makan, latihan jasmani,
mengenal penyakit diabetes mellitus dan komplikasinya,
pemeliharaan kaki, pentingnya pemantauan penyakit, dan
sebagainya. Penyuluhan diberikan oleh dokter, perawat, ahli gizi,
edukator, dan jajaran terkait lainnya.
6. Psikoneuroimunologi DM Tipe 2
Psikoneuroimunologi adalah studi tentang bagaimana proses
psikologis, saraf, dan imunologis berinteraksi dan membentuk kesehatan
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

dan perilaku manusia. Pandangan klasik tentang sistem kekebalan sebagian


besar berfokus pada bagaimana proses sistem kekebalan diatur oleh faktor-
faktor yang ada di dalam tubuh, seperti virus dan bakteri, dan sinyal kimia
yang dilepaskan selama stres atau kematian sel inang. Namun, saat ini
diakui secara luas, bahwa karakteristik lingkungan fisik dan sosial eksternal
juga dapat sangat memengaruhi aktivitas sistem kekebalan dengan
memengaruhi proses saraf dan endokrin yang mengatur dinamika sistem
kekebalan (Irwin & Slavich, 2017).
Mekanisme interaksi antara perilaku, sistem saraf dan sistem
imunitas yaitu stresor pertama kali ditangkap oleh panca indera diteruskan
ke pusat emosi dan kognitif yang terletak di sistem saraf pusat yaitu
prefrontal korteks. Di sini terjadi learning process hingga terbentuk persepsi.
Persepsi yang terbentuk akan diteruskan menuju hipotalamus dan
diteruskan ke organ tubuh melalui sistem saraf otonom untuk
mempengaruhi kerja organ tertentu. Organ yang menerima kiriman stres
adalah kelenjar penghasil hormone, sehingga terjadi perubahan
keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan
fungsional berbagai organ target (Pahlevi, 2016).
Respon pyschoneuroimmune (PNI) dapat secara luas digambarkan
sebagai komponen "berbasis otak" dari aktivasi imun bawaan. Setelah
sistem kekebalan tubuh bawaan memicu, sitokin ditimbulkan yang
mengatur perubahan fisiologis, metabolisme, perilaku dan psikologis yang
terjadi pada individu sebagai akibat dari infeksi. Kemudian, seperti
penyeimbang, regulasi negatif dari jalur ini mengembalikan keseimbangan
homeostatik. Sejumlah besar pengetahuan telah muncul menunjukkan
bahwa DM Tipe 2 (T2D) dikaitkan dengan perubahan dalam sistem
kekebalan tubuh bawaan. Selain itu, ketidakseimbangan kemiringan
proinflamasi ini berimplikasi pada perkembangan komplikasi penyakit
sekunder dan komorbiditas pada T2D, seperti penyembuhan luka yang
tertunda, aterosklerosis yang dipercepat, dan retinopati. Konsekuensi dari
proinflamasi terkait T2D pada respons PNI baru belakangan diketahui. Data
eksperimental baru dan survei kualitas hidup terkait kesehatan yang baru-
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

baru ini diterbitkan menunjukkan bahwa individu yang menderita T2D


mengalami penurunan kebahagiaan, perasaan sejahtera, dan kepuasan hidup.
Konsekuensi emosional/psikologis dari T2D ini mengarah pada perubahan
neuroimunitas sebagai komplikasi T2D (O’Connor et al., 2009).
Penelitian menunjukkan bahwa Diabetes Mellitus dianggap stressor
bagi pasien. Berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, secara integral
amigdala mengirimkan informasi kepada locus coeruleus yang memicu
sistem otonom kemudian ditransmisikan ke hipotalamus sehingga terjadi
sekresi corticotrophin releasing factor (CRF). Dalam kaitannya terhadap
kadar gula darah, sebagai respon terhadap CRF, pituitary anterior
mengeluarkan adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dalam darah. ACTH
di transportasikan menuju kelenjar adrenal. ACTH menstimulasi produksi
kortisol dalam kortek adrenal. Kortisol dikeluarkan dalam aliran darah,
menyebabkan peningkatan kadar gula darah, asam lemak dan asam amino
(Smeltzer & Bare, 2015).
Spencer & McEwen (1990) menyatakan pada pasien DM yang
mengalami gangguan regulasi glukosa darah, baik karena kekurangan
insulin maupun karena resistensi sel terhadap insulin, stresor (fisik dan
emosi) yang terjadi dalam waktu lama akan berpengaruh pada respon HPA
axis yang menghasilkan kortisol. Kortisol memiliki beberapa fungsi, dan
salah satu fungsi terkait regulasi metabolisme adalah meningkatkan kadar
glukosa darah melalui peningkatan gluconeogenesis dan menurunkan
sensitivitas sel terhadap insulin, sehingga pengambilan glukosa ke dalam sel
menurun. Hal ini dapat memperburuk kadar glukosa darah pada pasien DM.
Ketika individu dengan kondisi demikian mendapatkan terapi maka
otak akan mendapatkan suplay oksigen yang optimal. Oksigen yang
memenuhi seluruh area otak akan beredar seiring dengan denyut jantung
untuk didistribusikan ke seluruh organ tubuh. Kondisi ini akan membantu
tercapainya kestabilan kerja kelenjar adrenal untuk memproduksi hormon
penenang yang akan berdampak pada menurunkan stres. Hal ini bertolak
belakang dengan dampak dari stres itu sendiri dimana pada kondisi stres
maka kadar gula dalam darah pasien DM akan mengalami peningkatan. Jika
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

kondisi stres bisa dikendalikan maka penurunan kadar gula dalam darah
juga dapat menurun (Ekowati et al., 2013). Oleh karena itu untuk
mengontrol respon terhadap regulasi glukosa darah, diperlukan modulasi
persepsi positif. Persepsi positif kemudian akan menginduksi hipotalamus
untuk mensekresi hormon yang memodulasi sistem kekebalan. Modulasi,
pada gilirannya, menghasilkan aktivitas aksis HPA yang lebih rendah yang
mengarah ke tingkat kortisol yang lebih rendah. Penurunan kadar kortisol
mempengaruhi metabolisme yang menurunkan resistensi insulin
(meningkatkan pengambilan glukosa darah ke dalam sel dan jaringan) dan
mencegah glukogenesis. Oleh karena itu kadar glukosa darah terkontrol
(Pahlevi et al., 2017).
Cognitive-behavioral psychotherapy (CBT) adalah salah satu teknik
terapi yang digunakan dalam psikoneuroimunologi untuk menciptakan
persepsi positif. Dalam terapi yang diterapkan pada psikoneuroimunologi
ini, cara berpikir tentang respons imun dijelaskan kepada orang tersebut.
Berbagai strategi kognitif telah membantu mengidentifikasi keyakinan tidak
sehat yang mempengaruhi kondisi kesehatan individu. Secara umum, proses
terapi yang perlu diikuti yaitu: identifikasi keyakinan yang tidak sehat,
kenali hubungan antara pikiran - emosi - perilaku, periksa bukti yang
mendukung atau menentang pikiran, perbaiki pikiran yang menyimpang,
dan ganti kognisi dengan keyakinan yang sehat (Fuenmayor & de Fernandez,
2021). Dengan adanya terapi ini diharapkan pasien DM Tipe 2 dapat
mengubah perilakunya sehingga pasien mau mengatur pola makan dan
patuh terhadap diet DM Tipe 2 yang telah diterapkan rumah sakit.
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

B. Kerangka Berpikir

Faktor risiko yang DM Tipe 2 Faktor risiko yang dapat


tidak dapat diubah: diubah/ dimodifikasi:
1. Umur 1. Pola makan yang salah
2. Keturunan Psikoneuroimunologi: 2. Aktivitas fisik yang kurang
DM dianggap stressor 3. Obesitas
4. Stres
5. Pemakaian obat-obatan
Kerusakan sel beta pankreas

Penurunan sekresi insulin


(Hormon insulin menurun)

Hiperglikemia

Terapi Farmakologi Terapi Non Farmakologi

Konseling Gizi

Konseling Gizi Konseling Gizi


Metode CBT Terstandar

Penatalaksanaan Diet DM
Tipe 2

Kadar Gula Asupan Makanan


Darah

Sisa
Makanan

: Variabel yang diteliti : memengaruhi

: Variabel yang tidak diteliti : berhubungan

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir


library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

DM Tipe 2 merupakan salah satu penyakit yang memerlukan diit khusus.


DM Tipe 2 adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan
kadar gula dalam darah, sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme
dalam tubuh, di mana pankreas tidak mampu lagi memproduksi hormon insulin
sesuai kebutuhan tubuh (Prasetyono, 2016).
DM Tipe 2 bagi pasien dianggap sebagai stressor. Sehingga hal ini
mempengaruhi asupan makanan yang diterima oleh tubuh pasien. Adanya
gangguan asupan makanan maka dapat mempengaruhi kadar gula darah pasien
itu sendiri.
Program pengaturan Diet DM Tipe 2 sudah cukup luas diedukasikan
kepada para penderita, namun kenyataan dalam praktek masih banyak penderita
DM Tipe 2 yang belum dapat melaksanakannya dengan benar sesuai program
yang telah diberikan. Hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya sisa
makanan pada diet diabetes mellitus. Sisa makan adalah sisa makanan yang
tidak dimakan setelah disajikan kepada pasien di rumah sakit (Alshqaqeeq et al.,
2018). Sisa makanan dapat dilihat dari jumlah makanan yang masih ada di
piring masing-masing pasien.
Makanan yang tersisa di piring adalah suatu data kuantitatif yang bisa
digunakan untuk evaluasi apakah program pendidikan gizi sudah efektif dan diit
yang diterima pasien sudah memadai atau belum. Berkaitan dengan banyaknya
makanan pasien yang terbuang dan bisa dilihat oleh petugas berupa sisa
makanan yang masih terdapat dalam alat makan yang ditarik kembali ke dapur
setelah jam makan selesai. Banyaknya sisa makanan yang melebihi dari 20%
menunjukkan ketidakpatuhan pasien terhadap program gizi yang diberikan
maka akan mempengaruhi kadar glukosa darah pasien DM Tipe 2.
Oleh karena itu perlu adanya pemberian konseling gizi kepada pasien
agar dapat menerima makanan yang disajikan rumah sakit. Konseling dapat
dilakukan melalui konseling gizi dengan metode CBT (Cognitive Behaviour
Therapy). Diharapkan dengan adanya penerapan konseling gizi menggunakan
metode CBT dapat memodifikasi pola pikir dan perilaku pasien Diabetes
Mellitus sehingga menimbulkan konsistensi pikiran dan perilakunya dalam
melaksanakan pedoman diit. Perilaku diet pasien DM Tipe 2 yang dipengaruhi
library.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

oleh penerapan metode CBT (Cognitive Behaviour Therapy) secara tanpa


disadari sudah direpresi di alam bawah sadar sehingga pasien dapat mengatur
pola makan, sehingga hal ini akan meningkatkan kepatuhan pasien terhadap
program gizi yang diberikan dan diharapkan akan mempengaruhi pula kadar
gula darahnya sebagai standar keberhasilan program.

C. Hipotesis
1. Ada perbedaan sisa makan sebelum dan sesudah Konseling Gizi Metode
CBT (Cognitive Behaviour Therapy) pada Pasien DM Tipe 2 di RSU Islam
Klaten.
2. Ada perbedaan kadar gula darah sebelum dan sesudah Konseling Gizi
Metode CBT (Cognitive Behaviour Therapy) pada Pasien DM Tipe 2 di
RSU Islam Klaten.

Anda mungkin juga menyukai