Anda di halaman 1dari 7

TUGAS EVALUASI AKADEMIK

Nama : I Kadek Enal Megantara, A.Md.Kep

NIP : 199906182022031002

Angkatan :L

Kelompok/No. Absen : 2/14

Polemik Dana Desa yang Melahirkan Desa Fiktif

KOMPAS.com - Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan triliunan rupiah dana desa di dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN). Jumlah tersebut terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah
desa yang menerima bantuan. Tahun 2020 misalnya, dana desa yang akan dialokasikan pemerintah sebesar
Rp 72 triliun. Jumlah itu naik Rp 2 triliun bila dibandingkan alokasi pada tahun 2019.

Presiden Joko Widodo mengungkapkan, peningkatan dana desa dilakukan sebagai upaya untuk
pemberdayaan masyarakat desa dan pengembangan potensi ekonomi desa. Sehingga, diharapkan dapat
mempercepat peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat desa. "Di samping itu, dana desa
diharapkan dapat mendorong inovasi dan entrepreneur baru, sehingga produk-produk lokal yang dimiliki
oleh setiap desa dapat dipasarkan secara nasional, bahkan global melalui marketplace," ucap Jokowi saat
menyampaikan pidato nota keuangan di Kompleks Parlemen, 16 Agustus lalu.

Ironisnya, harapan peningkatan kesejahteraan itu pupus. Maraknya kabar keberadaan desa fiktif di sejumlah
wilayah Tanah Air menjadi indikasi bahwa dana desa yang selama ini dikucurkan pemerintah pusat hanya
sekedar menjadi bancakan untuk dibagi-bagi oleh oknum tidak bertanggung jawab di daerah.

Desa fiktif

Temuan desa fiktif tersebut salah satunya berada di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Kepolisian
daerah setempat memperoleh informasi adanya 56 desa yang terindikasi fiktif. Tim khusus pun telah
diterjunkan untuk melakukan pengecekan fisik di 23 desa yang tidak terdata di Kementerian Dalam Negeri
maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.

Kepala Subdit Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Polda Sultra, Kompol Dolfi Kumaseh
mengatakan, dari 23 desa yang telah dicek, dua desa di antaranya diketahui tidak memiliki penduduk sama
sekali. Namun, Dolfi masih merahasiakan identitas desa tersebut lantaran masih dalam proses penyelidikan.
"Penyidik sudah periksa saksi dari Kemendagri, kemudian ahli pidana dan ahli adiministrasi negara. Telah
dilakukan pemeriksaan fisik kegiatan dana desa bersama ahli lembaga pengembangan jasa konstruksi," ujar
Dolfi, di ruang kerjanya, Kamis (7/11/2019).

Di lain pihak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap turun tangan untuk membantu Polda Sulawesi
Tenggara menangani kasus yang terindikasi ada dugaan tindak pidana korupsi ini. "Salah satu bentuk
dukungan KPK adalah memfasilitasi keterangan para ahli pidana dan kemudian dilanjutkan gelar perkara
bersama 16 September 2019," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam keterangan tertulis, Rabu
(6/11/2019).

Dalam kasus ini, KPK mengindikasi adanya 34 desa yang bermasalah. Tiga desa fiktif, sedangkan 31
lainnya ada tapi surat keputusan pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur. Sementara, ketika desa
tersebut dibentuk sedang berlaku kebijakan moratorium dari Kemendagri. Sehingga untuk bisa
mendapatkan dana desa harus dibuat tanggal pembentukan backdate.

Perkara ini kemudian telah naik ke tahap penyidikan dan membutuhkan keterangan ahli pidana. "Akan
dilakukan pengambilan keterangan ahli hukum pidana untuk menyatakan proses pembentukan desa yang
berdasarkan peraturan daerah yang dibuat dengan tanggal mundur (backdate), merupakan bagian dari tindak
pidana dan dapat dipertanggungjawabkan atau tidak," ucap Febri.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, desa fiktif mulai bermunculan setelah pemerintah
secara rutin mengucurkan dana desa setiap tahun. Momentum inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh
oknum tidak bertanggung jawab untuk untuk membentuk desa baru. "Kami mendengar beberapa masukan
karena adanya transfer ajeg dari APBN maka sekarang muncul desa-desa baru yang bahkan tidak ada
penduduknya. Hanya untuk bisa mendapatkan (dana desa)," ujar Sri Mulyani saat rapat kerja evaluasi
kinerja 2019 dan rencana kerja 2020 bersama dengan Komisi XI DPR RI, Senin (4/11/2019).

Hingga September 2019, penyaluran dana desa baru mencapai Rp 44 triliun atau 62,9 persen dari total
alokasi Rp 70 triliun pada tahun ini. Serapan ini turun bila dibandingkan periode sebelumnya yang
mencapai 63,2 perse atau sekitar Rp 37,9 triliun.

Verifikasi lemah

Pihak Istana Kepresidenan bukannya tutup mata dan telinga melihat realita ini. Jokowi bahkan menegaskan,
akan mengejar oknum pelaku yang sengaja memanfaatkan kucuran dana desa untuk kepentingan pribadi.
"Kami kejar agar yang namanya desa- desa tadi diperkirakan, diduga, itu fiktif, ketemu, ketangkep," kata
Jokowi usai membuka acara Konstruksi Indonesia 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (6/11/2019).

Menurut Jokowi, ada oknum yang dengan sengaja menciptakan desa fiktif. Oknum tersebut memanfaatkan
celah pengelolaan yang tidak mudah dilakukan pemerintah, mengingat luasnya wilayah sebaran yang ada
yaitu dari Sabang hingga Merauke. Hingga kini, tercatat ada sekitar 78.400 desa yang tersebar di seluruh
wilayah Tanah Air. "Manajemen pengelolaan desa sebanyak itu tidak mudah. Tetapi, kalau informasi benar
ada desa siluman itu, misalnya dipakai plangnya saja, tapi desanya enggak, bisa saja terjadi," ucapnya.

Di lain pihak, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi
Jaweng menilai, munculnya kasus desa fiktif menjadi indikasi bahwa proses verifikasi di lapangan masih
lemah. Sedianya, setiap desa memiliki kode wilayah yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri. Desa
yang ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat, harus mengajukan usulan melalui pemerintah
kabupaten/kota sebelum ke Kementerian Keuangan. Adapun besaran alokasi bantuan untuk setiap wilayah
tidak sama. Tergantung dari letak geografis, jumlah penduduk, hingga tingkat kemiskinan.

"Saat masuk ke Kemenkeu, ketika memasukkan desa itu dalam variabel perhitungan kan tidak asal angkut
begitu saja. Dia harus koordinasi dengan Kemendagri yang punya kode wilayah, bahkan juga Kementerian
Desa," kata Robert saat dihubungi, Rabu (6/11/2019). "(Dengan kasus ini), berarti dari kabupaten/kota
langsung ke Kemenkeu dipakai tanpa ada koordinasi kiri-kanan dengan dua kementerian lain," imbuh dia.

Sementara itu, Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi
mengatakan, alokasi dana desa yang cukup besar memerlukan pengawalan maksimal dari seluruh elemen
masyarakat. Ia menambahkan, tidak boleh hanya sekedar menjadi penonton ketika dana desa ini mulai
dimanfaatkan. Justru, masyarakat lah yang harus berperan aktif bila ada dugaan penyelewengan dana
tersebut. "Kalau ada masalah, kita akan langsung cari dan temukan solusi untuk mengatasinya. Rakyat
jangan jadi penonton pembangunan. Pengawasan dana desa terbaik adalah lewat peran aktif masyarakat,"
ucapnya.

(Sumber: Kompas.com. Edisi 7 November 2019. Penulis: Dani Prabowo)

Soal:

1. Mendeskripsikan rumusan kasus dan/ atau masalah pokok, aktor yang terlibat dan persan setiap
aktornya berdasarkan konteks deskripsi kasus.

Rumusan Kasus:
Pemerintah mengalokasikan triliunan rupiah dana desa di dalam Anggaran pendapatan belanja
Negara (APBN). Jumlah tersebut terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah desa yang
menerima bantuan. Maraknya kabar keberadaan desa fiktif di sejumlah wilayah Tanah air menjadi
indikasi bahwa dana desa yang selama ini dikuncurkan pemerintah pusat hanya sekedar menjadi
bancakan untuk bagi - bagi oleh oknum tidak bertanggung jawab di daerah yang tidak sesuai dengan
wawasan kebangsaan. Tim khusus kepolisian pun telah diterjunkan untuk melakukan pengecekan fisik
di 23 desa yang tidak terdata di Kementerian Dalam Negeri maupun Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tenggara, hasilnya 2 desa diantaranya tidak memiliki penduduk sama sekali.
Di lain pihak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengindikasi adanya 34 desa yang
bermasalah. Tiga desa fiktif, sedangkan 31 lainnya ada tapi surat keputusan pembentukannya dibuat
dengan tanggal mundur. Hal ini terjadi karena tidak adanya rasa bela negara dari oknum tidak
bertanggungjawab yang membuat laporan tentang desa fiktif atau desa palsu (desa yang tidak memiliki
penduduk) dengan tujuan agar mendapatkan bantuan dana desa untuk kepentikan pribadi. Oknum
tersebut memanfaatkan celah pengelolaan yang tidak mudah dilakukan pemerintah, mengingat luasnya
wilayah sebaran yang ada yaitu dari Sabang hingga Merauke. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai
wawasan kebangsaan, yaitu cara pandang yang dilandasi oleh kesadaran diri dalam bertindak di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para oknum tersebut tidak memiliki rasa peduli terhadap bangsa dan negara. Oknum tersebut
membohongi diri sendiri, keluarga serta negaranya, hal ini akan merusak citra bangsa di mata dunia.
Isu kontemporer semacam ini harus ditindak secara tegas oleh pihak berwajib, permasalahan ini juga
tidak sesuai dengan manajemen ASN dimana seorang ASN seharusnya melaksanakan tugas dengan
jujur dan penuh tanggung jawab, serta bekerja secara profesional dan berkualitas. Oknum tersebut juga
menentang sikap pelayanan publik dimana seharusnya dia melayani masyarakat dengan sebaik
mungkin tetapi justru menyalahgunakan anggaran dana desa dengan laporan yang tidak sesuai.

Aktor yang terlibat serta peran berdasarkan kontekts deskripsi kasus:

1. Presiden sebagai penanggungjawab utama pengalokasian dana desa pada Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN).
2. Perangkat Desa atau oknum tidak bertanggung jawab yang berperan sebagai penggagas atau
penyusun laporan fiktif tersebut.
3. Tim Verifikasi dana desa dimana mereka tidak melakukan peran nya dengan baik. tidak melakukan
verifikasi secara akurat.
4. Kemendagri kurang teliti dalam menerapkan moratorium penyaluran dana desa.
5. Kemenkeu tidak melakukan verifikasi menyeluruh namun hanya menerima pengajuan langsung
dari pemerintah kabupaten tanpa koordinasi dengan pihak terkait.
6. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi
Jaweng berperan sebagai pengamat/penilai bahwa munculnya kasus desa fiktif menjadi indikasi
bahwa proses verifikasi di lapangan masih lemah
7. Kepala Subdit Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Polda Sultra, Kompol Dolfi Kumaseh
berperan sebagi penyidik kasus
8. Juru Bicara KPK Febri Diansyah berperan membantu Polda Sulawesi Tenggara menangani kasus
yang terindikasi ada dugaan tindak pidana korupsi
9. Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi
berperan memberikan pendapat agar lokasi dana desa yang cukup besar memerlukan pengawalan
maksimal dari seluruh elemen masyarakat.

2. Melakukan analisis terhadap: A. Bentuk penerapan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar PNS, dan
Pengetahuan tentang kedudukan dan peran PNS dan NKRI oleh setiap aktor yang terlibat berdasarkan
konteks deskripsi kasus. B. Dampak tidak diterapkannya nilai-nilai dasar PNS dan pengetahuan tentang
kedudukan dan peran PNS dalam NKRI berdasarkan konteks deskripsi kasus.
A. Pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar serta peran dan kedudukan ASN

Dari isu polemik dana desa yang menyebabkan munculnya desa fiktif dapat ditentukan nilai-nilai dasar
PNS yang tidak diterapkan yaitu nilai ASN Ber-AKHLAK, antara lain:

1. Berorientasi pelayanan
Munculnya desa fiktif disebabkan oleh tidak adanya pelayanan verifikasi yang kuat terhadap
penilaian anggaran desa yang telah dicairkan oleh tim yang bertugas dalam memberikan
pelayanan tersebut, sehingga menyebabkan pencairan dana dapat lolos dari verifikasi.
2. Akuntanbilitas
Munculnya desa fiktif disebabkan tidak ada transparansi laporan serta pertanggungjawaban
terhadap dana desa yang telah dicairkan sehingga para oknum tersebut dapat dengan leluasa
menggunakan dana desa tersebut untuk kepentingan pribadi. Ditinjau dari segi nilai
nasionalisme, tindakan atau perilaku oknum tersebut tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila
seperti keadilan sosial karena hal tersebut hanya menguntungkan diri sendiri dan tidak
mencerminkan sikap peduli terhadap bangsa dan negara.
3. Kompeten
Dilihat dari nilai Kompeten, terdapatnya oknum aparat desa yang tidak kompeten dalam
melaksankan tugas dan tidak memiliki integritas sehingga alokasi pencairan dana desa tidak
digunakan dengan baik sesuai aturan yang berlaku.
4. Harmonis
Dalam hal ini, tidak adanya sikap oknum dalam membangun kerjasama sehingga pekerjaan
menjadi tidak yang memicu oknum dapat melakukan penyalahgunaan.
5. Loyal
Dilihat dari nilai Loyal, oknum-oknum tersebut bersikap tidak jujur dalam perkataan serta
perbuatannya yakni membuat laporan palsu guna kepentingan pribadi saja. Ketidakcermatan
beberapa instansi ini disebabkan oleh masih kurang tertatanya manajemen ASN, hal ini juga
disebabkan tidak menyatunya data antar instansi pemerintahan akibat sistem whole of
government di negera kita ini masih belum maksimal.
6. Adaptif
Munculnya desa fiktif, bisa disebabkan oleh lemahnya sistem yang digunakan dalam proses
pencairan anggaran dana desa yang menyebabkan oknum dapat dengan mudah memanipulasi
laporan pertanggungjawaban dana desa.
7. Kolaboratif
Nilai kolaboratif masih belum maksimal diterapkan karena kurangnya kerjasama antara pihak-
pihak terkait dalam melakukan pengawasan peanglokasian dana desa sehingga menyebabkan
oknum dapat membuat laporan desa fiktif.

B. Dampak tidak diterapkannya nilai-nilai dasar serta peran dan kedudukan PNS
Adapun dampak yang timbul dari kasus diatas yaitu kerugian bagi pelaku karena sudah
pasti akan menerima sanksi hukum, selain itu juga merugikan masyarakat luas serta menimbulkan
ketidakpercayaan terhadap sistem pemerintahan, kerugian juga terjadi pada negara yakni, kerugian
uang negara dengan tidak tersalurkannya dana desa karena sikap korupsi oknum yang tidak
bertanggungjawab, kerugian uang negara dalam hal biaya pengusutan kasus, dan kegaduhan yang
berdampak pada opini masyarakat. Dampak-dampak tersebut seharusnya tidak terjadi jika nilai
dasar akuntabilitas, etika publik, komitmen mutu diterapkan dengan baik. Selain itu WoG juga
penting sekali untuk meminimalkan terjadinya mis komunikasi antar lembaga dan perangkat desa,
antar pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat.

3. Mendeskripsikan gagasan-gagasan alternatif pemecahan masalah berdasarkan konteks deskripsi kasus.

Berdasarkan konteks diskripsi kasus diatas yaitu terjadinya desa fiktif, hal ini dikarenakan ada unsur
praktik tindak korupsi yang dilakukan oleh pejabat atau orang yang tidak bertanggungjawab di
pemerintahan daerah. Oleh karena itu, diperlukan gagasan alternatif pemecahan masalah:
1. Memperketat sistem pengalokasian dana desa dengan setiap desa memiliki kode wilayah yang
terdaftar di Kementerian Dalam Negeri, desa yang ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah
pusat, harus mengajukan usulan melalui pemerintah kabupaten/kota sebelum ke Kementerian
Keuangan.
2. Penanaman nilai-nilai dasar ASN BerAKHLAK secara berkala kepada pejabat terkait dengan
mengadakan pelatihan khusus agar nilai-nilai dasar ASN selalu terupgrade.
3. Pengawasan yang ketat dan proses verifikasi berlapis dengan selalu melakukan koordinasi antar
lembaga, dan komunikasi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.
4. Melakukan evaluasi dampak serta manfaat dari program tersebut. Melalui sistem yang terbangun
dengan baik akan terbentuk whole of government yang efektif dan berdampak positif bagi
kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
5. Meningkatkan peran masyarakat dan LSM dalam pemantauan setiap program pemerintah untuk
terus memperbaiki setiap layanan yang diberikan pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai