Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

MATA KULIAH BLIBIOLOGI

ALKITAB DAN REFORMASI


Dosen : Pdt Samuel Coki Panjaitan M.Th

Oleh :
KELOMPOK III

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI TIBERIAS


JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan Tugas
Makalah Blibiologi dengan judul “Alkitab Dan Reformasi”. Dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Pdt Samuel Coki Panjaitan
M.Th.,selaku dosen Pengampu yang telah membantu memberikan arahan dan
pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan resensi buku ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun untuk penyempurnaan resensi buku ini. Semoga apa yang
ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan khusunya bagi
penulis dan umumnya bagi para pembaca.

Jakarta, November 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Permasalahan............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3
A. Tekanan-Tekanan Yang Menyebabkannya Adanya Keretakan Dengan
Konsepsi Tentang Wibawa Yang Umum Dalam Sistem-Sistem Teologis......3
B. Teori Yang Menafsirkan Keretakan Dengan Konsepsi Tentang Wibawa
Yang Umum Dalam Sistem-Sistem Teologis.................................................4

BAB III PENUTUP......................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hampir merupakan kebenaran yang tak dapat disangkal untuk mengatakan
bahwa studi historis modern mengenai Alkitab tidak akan lahir tanpa Reformasi.
Namun, kita janganlah terlalu menekankan hal itu. Pada abad ke-16 ada dua gerakan
besar dari manusia, bukan satu dan penafsiran historis bahkan lebih merupakan
anak Renaisans ketimbang anak Reformasi. Akan tetapi penafsiran Alkitab Protestan,
entah itu bersifat historis ataupun tidak, berhutang budi pada roh Reformasi.
Penafsiran Katolik Roma bergantung sangat kuat pada wibawa para Bapa Gereja
Gereja Katolik Roma menafsirkan Alkitab berdasarkan tradis gereja. Penafsiran
Protestan membuat titik tolak yang baru, seringkali menjungkirbalikkan keputusan-
keputusan yang dikumpulkan selama berabad-abad. Bagi jiwa Protestan, Alkitab
bukan- lah suatu hukum seperti halnya Undang-undang Dasar Amerika yang
ditafsirkan oleh keputusan-keputusan pengadilan yang me miliki kekuatan yang
mengikat. Alkitab adalah buku mengenai ke hidupan melalui mana Allah berbicara
secara langsung kepada jiwa manusia. Roh Reformasi sama sekali bertentangan
dengan pe nafsiran yang berwibawa mengenai Alkitab.
Sementara para pembaru, mulai dari John Wycliff dan seterus nya, yang
menekankan penafsiran harfiah dan gramatika dan Kitab Suci, mereka bukanlah
penemu-penemu hal itu. Sepert yang telah kita lihat, Aquinas berpegang pada
pandangan yang banyak persamaannya dengan pandangan mereka. Tetapi mereka
berbeda dari dia dan dari sejumlah terbesar penafsir kuno dalam usaha
mempertahankan hak dari teks itu, seperti yang ditafsirkan secara harfiah, untuk
tetap berdiri sendiri. Kitab Suci bagi para pembaru bukanlah satu di antara banyak
sokoguru yang menegakkan rumah iman; ia adalah fondasi satu-satunya. Dan para
pembaru berkehendak mempertahankan pengertian mereka ten- tang Alkitab, tidak
peduli apa yang para penafsir pendahulu sudah katakan, tidak peduli apakah mereka
bertentangan dengan keputusan konsili-konsili. Gereja tidaklah harus jadi hakim atas

1
arti Kitab Suci, karena justru Kitab Suci, sabda Allah, merupakan ha kim gereja. Tentu
saja para pembaru mempertahankan pengertian historis, harfiah dan gramatika dari
Alkitab, ketika mereka mempercayai bahwa satu wibawa yang baru harus ditetapkan
un- tuk menentang wibawa gereja.
Tetapi penafsiran mereka tidak pernah semata-mata historis. Dimulai pada
huruf, tetapi maju terus di bawah pimpinan Roh Kudus. Dan dengan terang Roh
Kudus, mereka percaya bahwa ni lai religius dari Kitab Suci dapat sekaligus
dirumuskan dan diteruskan. Luther mempertahankan keutamaan kitab-kitab yang
memberitakan Kristus", karena Kristus, Firman Allah itu sendiri, pada diri-Nya adalah
isi dari perkataan Allah di dalam Alkitab. Pandangan semacam itu menuntut
pengertian tipologis mengenai Perjanjian Lama, dan seringkali mengizinkan
penafsiran alegori mendirikan bukti-bukti wibawa gereja; hanya Kristus berada di
atas wibawa manusia yang mana pun. Dan tidak seorang Kristen pun yang percaya
dapat dipaksa untuk mengakui wibawa mana pun melampaui Kitab yang Suci, yang
ditanamkan secara eksklusif dengan hak ilahi, kecuali, sesungguhnya, ada penyataan
baru dan terbukti benar.

B. Permasalahan
1. Apakah tekanan-tekanan yang menyebabkannya adanya keretakan dengan
konsepsi tentang wibawa yang umum dalam sistem-sistem teologis?
2. Teori apakah yang dapat menafsirkan keretakan dengan konsepsi tentang
wibawa yang umum dalam sistem-sistem teologis ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tekanan-Tekanan Yang Menyebabkannya Adanya Keretakan Dengan Konsepsi


Tentang Wibawa Yang Umum Dalam Sistem-Sistem Teologis
Pandangan seperti itu mewakili hampir secara lengkap keretakan dengan
konsepsi tentang wibawa yang umum dalam sistem-sistem teologis yang mula-mula,
yang patut mendapatkan analisis yang cermat. Bagaimana hal itu muncul? Apakah
tekanan-tekanan yang menyebabkannya ada? Teori penafsiran apa yang merupakan
hasil akhir? Kita harus menyelidiki penafsiran Reformasi mengenai Kitab Suci seperti
yang kita temukan terutama dalam karya Martin Luther.
Harus diakui bahwa Luther punya banyak pendahulu, orang- orang yang
rindu menempatkan Alkitab ke dalam tangan orang- Wycliff adalah orang yang
seperti itu. Luther juga punya orang- orang dan menerjemahkannya ke dalam bahasa
sehari-hari.? John orang sezaman dan sesudahnya di antara para pembaru radikal
yang bertekad dalam berbagai cara tidak untuk membarui gereja, tetapi untuk
menciptakannya menjadi baru atas dasar apa yang mereka mengerti pada zaman
Perjanjian Baru. Penafsiran-penat siran yang menyangkut kerajaan seribu tahun dan
yang perfeksi nis, mengingatkan sampai titik tertentu pandangan-pandangan Gnostik
dari abad-abad permulaan, berkembang pada abad ke-16 Tetapi karya Luther,
sedikitnya untuk mayoritas sayap kanan di antara orang-orang Prostestan, lebih
berarti daripada karya mereka. Perjuangannya, yang mula-mula berhadapan hanya
de ngan pertanyaan-pertanyaan seperti keuntungan-keuntungan dari teologi
Skolastik dan penjualan surat-surat pengampunan, lambat. laun tiba pada prinsip-
prinsip penafsiran. Agaknya selama seribu tahun gereja telah menjaga sistem-sistem
teologisnya serta insti tusi-institusinya dengan penafsiran yang berwibawa dan
pengale. gorian, seringkali aneh, dari kata-kata yang kurang enak dalam Kitab Suci.
Para pembaru memukul tepat pada bagian perlengkap an baju baja gereja yang
lemah. Dia tahu kelemahannya itu dari pengalaman pribadinya :
“Ketika saya seorang biarawan, saya ahli dalam penafsiran alegori. Saya
mengalegorikan segala sesuatu. Sesudah itu, melalui Surat Roma saya sampai

3
pada beberapa penge tahuan tentang Kristus. Di sana saya melihat bahwa pe
nafsiran alegoris bukanlah apa yang Kristus maksud, te tapi apa yang Kristus
ada."

Sesudah tahun 1517, ketika hubungan Luther dengan Gereja Roma pecah
secara nyata, dia berhenti memanfaatkan pengalego- rian dan mempertahankan
perlunya "satu arti sederhana yang mendalam" untuk mempersenjatai teolog-teolog
melawan Iblis. Tetapi penafsiran historis dan penafsiran gramatika bukanlah menjadi
tujuan pada dirinya. Penafsiran-penafsiran itu merupakan alat untuk mengerti
Kristus, yang diajarkan di dalam seluruh kitab-kitab Alkitab. "Kristus adalah titik
pusat dari seluruh lingkaran itu digambar." Di sini Luther kembali sampai tingkat
tertentu pada penafsiran kristosentris yang ditemukan dalam Perjanjian Baru
sendiri. Dan dia memperkenalkan satu un- sur ke dalam penafsirannya yang
membawanya melampaui penafsiran filosofis yang "obyektif" ke dalam batas-batas
iman yang rektif. Sebab, bagaimanakah seseorang dapat menetapkan perikop-
perikop mana yang memberitakan Kristus" secara efektif dan mana yang tidak,
kecuali dengan iman? Tekanannya sendiri atas surat-surat Paulus, terutama Surat-
surat Roma dan Galatia, sebagai yang memuat Injil yang paling benar, menyatakan
penelanan dari pikirannya yang subyektif.

B. Teori Yang Menafsirkan Keretakan Dengan Konsepsi Tentang Wibawa Yang Umum
Dalam Sistem-Sistem Teologis
Unsur subyektif ini didasarkan bukan hanya dalam penerimaan atau
penolakannya mengenai kitab-kitab dari tempat pusat dalam Alkitab, tetapi juga
dalam teori penafsirannya yang umum, Pengalaman perlu untuk pengertian Firman
itu. Bukan semata-mata untuk diulang atau dikenal, tetapi untuk dihayati dan
dirasakan. Pengalaman kita di bawah pimpinan iman, memimpin kita melampaui
ilmu-ilmu menuju "penafsiran rohani" dari Alkitab. Yang kedua tidaklah menentang
yang pertama, tetapi dibangun di atasnya. Seperti Luther tuliskan, dua hari sebelum
kematiannya:
“Tidak seorang pun dapat mengerti Vergilius dalam Bucol- ica dan Georgica-
nya, kecuali selama lima tahun dia telah menjadi seorang gembala atau

4
seorang petani. Tidak seorang pun mengerti Cicero dalam surat-surat itu
(demikianlah saya anggap), kecuali untuk dua puluh tahun dia memegang
jabatan pemerintahan yang penting. Tidak seorang pun dapat berpikir bahwa
dia telah merasakan se- cara cukup Kitab yang Suci, kecuali selama seratus
tahun dia sudah memerintah gereja-gereja bersama para nabi.

Tetapi Luther tidak maksudkan sekadar bahwa pengalaman dalam agama


membawa pemahaman akan Kitab Suci. Hal itu pen- ting, tetapi Roh Kudus
membawa penerangan-Nya pada akalbudi dari penafsir yang sedang mencari arti
kristosentris. "Allah harus mengatakan kepadamu dalam hatimu: Ini adalah firman
Allah." Kita harus mengerti kata-kata Kitab Suci "dalam intinya dan me rasakannya di
dalam hati". Orang untuk dimengerti. Dan dia nampaknya berpikir bahwa ada
kemungkinan kebulatan suara dalam teori bahwa Surat Roma dan Surat Galatia, Injil
Yohanes dan Surat I Petrus berisi inti kekriste. nan. Terjemahan Alkitabnya, dengan
kebebasannya dalam meng. ungkapkannya. menunjukkan betapa kecil keraguannya
mengenai kejelasan dari artinya yang pokok. "Tidak ada buku yang lebih jelas ditulis
di atas bumi daripada Kitab Suci," katanya.
Alkitab dapat dimengerti dalam lingkupnya sendiri scriptura scripturae
interpres (Alkitab adalah penafsir Alkitab) dan tidak ada komentar Bapa Gereja yang
perlu:
“Ini adalah batu ujian yang benar dengan mana semua ki. tab harus dihakimi,
ketika seseorang melihat apakah me- reka menekankan Kristus atau tidak,
sama seperti seluruh Kitab Suci menampilkan Kristus, dan Paulus tidak akan
kenal yang lain kecuali Kristus [1 Kor. 2:2]”.

Apakah penafsiran "rohani" yang subyektif ini, kemuliaan dari Re- formasi,
secara religius berlaku? Bila berlaku, setiap orang Kristen dapat membaca Kitab Suci
di bawah pimpinan Roh Kudus. Karena penafsiran rohani didasarkan pada penafsiran
harfiah dan his- toris, maka penafsiran itu dapat memanfaatkan Bapa-bapa Gereja
sejauh mereka merupakan penafsir-penafsir yang kompeten. Mereka sama sekali
tidak mempunyai wibawa yang sah.
Tidak semua pembaru membawa prinsip-prinsip penafsiran Reformasi
sampai pada kesimpulan yang Luther capai. Yohanes Calvin, sebagai contoh,
mempertahankan dengan gigih model penafsiran yang "obyektif". Baginya, Kitab

5
Suci sendiri merupakan wibawa bagi kepercayaan Kristen, ketimbang salah satu
penaf- siran Kitab Suci yang kristosentris. Dalam bukunya Institutio Agama Kristen
Calvin mengemukakan teori penafsirannya. Seba- gaimana Aquinas, dia menolak
penggunaan pengalegorian dalam teologi dogmatika." Alkitab mendapatkan
penghargaan dan wibawa yang sama leng kap bersama orang-orang percaya, ketika
mereka dipuas- kan oleh asal-usulnya yang ilahi, seolah-olah mereka men-
dengarkan kata-kata itu diucapkan oleh Allah sendiri.
Wibawa Kitab Suci ada lebih dahulu daripada wibawa gereja, karena rasul itu
mengatakan bahwa gereja dibangun di atas pondasi para rasul dan para nabi. Oleh
sebab itu, doktrin-doktrin mereka lebih tua daripada gereja itu sendiri.
(Ketepatan pernya taan yang didasarkan pada Efesus 2:20, dapat dipertanyakan,
baik secara penafsiran maupun secara historis. Secara penafsiran, rasul itu sedang
membawa petobat-petobat kafir itu pada kekristenan, yang di bangun di atas" para
rasul dan para nabi. Secara historis, doktrin para rasul dan para nabi tidak "lebih tua"
dari gereja itu; itu adalah doktrin gereja saat itu.)
Bagaimana kita membuktikan bahwa Kitab Suci adalah Fir- man Allah? "Bukti
yang pokok mengenai Kitab Suci di mana-mana berasal dari karakter dari Pembicara
yang Ilahi" Argumen rasional tidak hanya lancang tetapi juga tidak meyakinkan. Pada
akhirnya iman harus menentukan penerimaan kita mengenai Alki- tab. Dan iman
bukanlah milik setiap orang. "Kapan saja kita diganggu oleh kekurangan orang-orang
yang percaya, marilah kita... ingat bahwa tidak seorang pun, kecuali mereka yang
kepadanya diberikan, memiliki pengetahuan tentang misteri-misteri Allah."
Kebenaran dari penafsiran mereka diteguhkan oleh "kesaksian batin dari Roh Kudus"
Dengan penerimaannya tentang keunggulan iman dalam pe- nafsiran Calvin
membuka jalan bagi subyektivisme sekalipun dia mencoba untuk mengeluarkannya.
Namun demikian, dalam prak- tek sesungguhnya, dia menolak membaca pandangan-
pandangan teologis ke dalam penafsirannya akan Kitab Suci, bahkan mengkri- tik
para penginjil untuk "pemutarbalikan" Perjanjian Lama yang nampak nyata.
Dapatlah diklaim bahwa dalam penafsiran yang dibedakan seperti itu dari teologi,

6
dia tidak bersikap benar ter- hadap prinsip Reformasi yang fundamental mengenai
teologi ber- dasarkan penafsiran. Luther secara keras menyatakan prinsip ini:
“Ini merupakan zaman emas teologi. Hal ini tidak dapat naik lebih tinggi,
karena kita telah tiba sejauh itu untuk duduk dalam penghakiman atas semua
pengajar-pengajar gereja dan menguji mereka dengan penghakiman dari
para rasul dan para nabi.

Namun demikian, Reformasi yang lebih kemudian tidak mengikuti Luther,


dan sampai pada mempertahankan prinsip tradisional dari inspirasi verbal dan
keadaan tak dapat keliru (infallibility) yang sama sekali asing bagi Luther. Kitab Suci
tidak lagi berbicara untuk hati, tetapi untuk intelek yang kritis. Kitab Suci dipakai
untuk rekonstruksi sistem-sistem dogmatika. Ortodoksi Protestan pada abad ke-17
menjadi sekaku seperti konstruksi teo- logis Abad Pertengahan mana pun.
Pada waktu Reformasi, Gereja Anglikan juga menerima prinsip baru
mengenai keunggulan Kitab Suci. Artikel nomor 6 dari Ketigapuluh Sembilan Artikel
Religi menyatakan bahwa, "Kitab Kudus berisi segala sesuatu yang diperlukan untuk
keselamatan, dan artikel nomor delapan menunjukkan keunggulan Alkitab bahkan
terhadap Pengakuan-pengakuan Iman dengan mendesak pe nerimaan mereka atas
dasar bahwa "mereka dapat dibuktikan oleh jaminan-jaminan yang pasti dari Kitab
Suci". Baik syamas maupun para imam pada waktu penahbisan dituntut mengaku
kepercayaannya atas kecukupan Kitab Suci; dan pada artikel ke Sembilan belas
dinyatakan bahwa Gereja-gereja Yerusalem, Alek sandria, Antiokhia dan Roma sudah
membuat kesalahan "dalam masalah-masalah iman". Alkitab merupakan wibawa
yang tertinggi untuk doktrin Gereja Anglikan. Khotbah yang pertama dike mukakan
pada masa pemerintahan Elizabeth menekankan perlu. nya membaca "Firman Allah"
di bawah pimpinan "beberapa pengajar yang saleh" dan Roh Kudus "Allah sendiri
dari atas akan memberikan terang kepada pikiran-pikiran kita". Khotbah yang lain
menerangkan bahwa kesulitan-kesulitan dalam Kitab Suci bukanlah tanpa arti.
"Marilah kita ... mengusahakan diri kita untuk mencari sampai menemukan hikmat
yang tersembunyi dalam kulit lahirnya Kitab Suci."
Pada saat yang sama, naik banding pada tradisi tidak diting galkan. Kata
pengantar untuk Ordinal (1550) mengklaim bahwa pelayanan tiga rangkap dari para

7
uskup, imam dan syamas diber- lakukan tidak hanya oleh Kitab Suci saja, tetapi juga
oleh "penulis-penulis kuno", atau dengan perkataan lain, oleh Bapa-bapa Gereja.
Dan kombinasi antara Kitab Suci dan penulis-penulis kuno ini harus dimengerti oleh
semua mereka yang adalah "pembaca yang rajin" dan oleh sebab itu mengetahui
bahwa pelayanan itu adalah bersifat baik apostolis maupun kontemporer.
Keutamaan Kitab Suci pada umumnya diakui; tetapi naik banding kepada para Bapa
Gereja terdapat bahkan di dalam artikel-artikel itu.
Prinsip Reformasi mengenai Kitab Suci juga mempunyai be berapa pengaruh
di kalangan Katolik Roma. Blaise Pascal tidak berdiri secara langsung di bawah
pengaruh Reformasi, namun dia bukanlah seorang Katolik yang tradisional.
Pemikiran religiusnya dibentuk oleh studinya atas Alkitab. Kita dapat menyebut dia
di sini sebagai seorang yang diuntungkan oleh karya para pembaru Dia hampir-
hampir menggemakan Luther dalam deklarasinya yang terkenal
mengenai hakikat Allah : “Allah Abraham, Allah Ishak, Allah Yakub, bukanlah Allah
para filsuf dan para sarjana”.
Allah Pascal adalah Allah yang dinyatakan dalam Kitab Suci; dan dia
menafsirkan Kitab Suci dengan hati-sanubari : “Adalah sanubari yang merasakan
Allah dan bukan akalbu- di. Itu adalah iman -- Allah dapat dirasa oleh hati, bukan
akalbudi”.
Penafsiran Kitab Suci seperti itu, seperti yang Luther lakukan pada dasarnya
bukanlah harfiah dan tidak alegoris. Dalam Alkitab "ada cukup kejelasan untuk
menerangi orang pilihan dan cukup kekaburan untuk merendahkan hati mereka".
Alkitab adalah buku yang bersifat paradoksal. Penulis-penulis biasa mempunyai satu
arti; buku itu punya satu arti juga, tetapi satu arti yang memperdamaikan semua
kontradiksi yang ada. Arti ini ditemukan dalam Yesus Kristus.
Pascal adalah seorang Katolik Roma yang sangat dipengaruhi secara dalam
oleh pembaruan rohani dari Reformasi. Dia tidak dapat mengikuti terus para
pembaru; dia tetap melekat pada wibawa gereja, bahkan dalam penafsiran Kitab
Suci. Tetapi dia menunjukkan cara anggur yang baru dari penafsiran kristosentris
dapat memperlunak tempat anggur yang lama dari penafsiran Bapa-bapa Gereja,

8
malah bagi seseorang yang tetap melekatkan diri pada penafsiran Kitab Suci yang
berwibawa. Penafsiran Alkitab Reformasi, seperti telah kita lihat, diberikan ekspresi
klasik oleh Martin Luther. Dia menolak penaf- siran tradisional, karena hal itu
menghalangi pengertian kita se- cara pribadi mengenai Kitab Suci :
“Pengajaran-pengajaran para Bapa Gereja berguna hanya untuk memimpin
kita pada Kitab Suci, sama seperti mereka telah dipimpin, dan kemudian kita
harus berpegang pada Kitab Suci itu saja.

Penafsiran yang dihasilkan tentu saja subyektif; tetapi juga obyektif. Hal ini
didasarkan pada arti harfiah dari tulisan-tulisan Alki-Tabiah :
“Tidak ada kekerasan yang dilakukan terhadap firman Allah, apakah oleh
manusia atau malaikat; tetapi mereka harus tetap dipertahankan dalam
artinya yang paling sederhana sedapat mungkin dan dimengerti dalam arti
gramatika dan harfiahnya kecuali dengan jelas konteksnys melarang, kalau-
kalau kita memberikan lawan-lawan kits kesempatan untuk mengolok-olok
seluruh Kitab Suci. Ja Origenes ditolak di masa lalu, karena dia menghina arti
gramatika dan mengubah pohon-pohon dan semua yang lain yang tertulis
mengenai Firdaus, ke dalam alegori-al gori; karena dapat disimpulkan dari
situ bahwa Allah tidak menciptakan pohon-pohon”.

Alkitab bukanlah salah satu ukuran tentang wibawa di antara yang lain,
seperti halnya pada kekatolikan Abad Pertengahan. Alkitab adalah satu-satunya
ukuran. Dan itu bukanlah ukuran obyektif, seperti bagi Thomas Aquinas. Alkitab
adalah ukuran s kaligus obyektif dan subyektif, karena di dalamnya dan mela- luinya
Allah sendiri berbicara kepada hati manusia. Alkitab men jadikan dirinya sendiri
berwibawa.

9
BAB III
PENUTUP

Dalam kegigihan Luther mempertahankan unsur subya dalam penafsiran, kita


dekat dengan teori-teori penafsiran mode yang menekankan ketidakmungkinan
yang pokok mengenai analsis "obyektif" pemikiran manusia. Pada saat yang sama
Luther menandai kembalinya pada metode penafsiran yang lebih kurang
rasionalistis. Dia memulihkan penafsiran pada tecla Dia mengusahakan untuk tidak
memberlakukan perceraian yang terjadi dalam Abad Pertengahan. Dan
sumbangannya punya nila yang tetap bagi penafsiran Kitab Suci. Tidak hanya
pengkrik abad ke-19, tetapi juga lawan-lawan mereka dapat mengklaim dia
sebagai nabi mereka.

10
DAFTAR PUSTAKA

Robert M. Grant & David Tracy, Sejarah Singkat Penafsiran Al Kitab, Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 2000.

11

Anda mungkin juga menyukai