Anda di halaman 1dari 15

ALAMAN JUDUL

ANTIMICROBIAL STEWARDSHIP PROGRAM, CLINICAL


PATHWAYS, DAN PETA KUMAN

TUGAS FARMASI KLINIK

Oleh Kelompok 9:
1. Khoiriyah Haifa 172210101104
2. Novia Paramitha 172210101105
3. Nurfaidah Ayu A 172210101106

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2020
1. Antimicrobial Stewardship (AMS) program
1.1 Pengertian Antimicrobial Stewardship Program
Merupakan program yang dipercayakan sebagai perawatan pasien
dalam pengaturan layanan kesehatan sebagai alat untuk mengoptimalkan
penggunaan antimikroba. Program ini meliputi ketepatan penggunaan
antibiotik dalam hal pemilihan, dosis, cara pemberian, dan lama pemberian,
serta diharapkan akan menjadi cara terbaik untuk mengendalikan
penggunaan antibiotik di rumah sakit (CDC, 2019). Hal ini diterapkan
dalam rangka penyelenggaran tanggung jawab untuk kesehatan dan
kesejahteraan dalam suatu populasi serta membimbing sistem kesehatan di
tingkat nasional dan global. AMS menjadi salah satu dari 3 pilar dari
pendekatan terintegrasi untuk penguat sistem kesehatan. 2 pilar lainnya
adalah pencegahan serta mengontril infeksi (IPC) dan pengobatan serta
keamanan pasien. Selain itu, AMS juga membantu mengontrol AMR
(Antimicrobial Resistence). Tujuan ketiga pilar jika dihubungkan
merupakan adanya pemerataan dan perawatan kesehatan yang berkualitas
untuk mencapai jaminan kesehatan universal (Toolkit WHO, 2019).
Tujuan AMS Program menurut WHO (2019).
a. Mengoptimasi penggunaan antibiotik.
b. Mempromosikan perubahan perilaku dalam peresepan antibiotik
dan praktik dispending.
c. Meningkatkan kualitas perawatan dan outcome pasien.
d. Menghemat pengeluaran yang tidak penting dalam perawatan
kesehatan pasien.
e. Mengurangi munculnya, seleksi, dan penyebaran AMR lebih lanjut.
f. Memperpanjang umur antibiotik.
g. Membatasi dampak ekonomi yang merugikan dari AMR.
h. Membangun kapasitas praktik terbaik yang profesional dalam
perawatan kesehatan terkait penggunaan antibiotik yang rasional.
1.2 Upaya Antimicrobial Stewardship Program
Strategi utama dalam program ini pemanfaatan antimroba yang
optimal, dikarenakan dalam beberapa kasus adanya antimikroba yang
terbuang untuk mengobati demam dan leukositosis nonbakterial yang akan
menyebabkan pemborosan secara ekonomi (CDC, 2019).
Pertimbangan selanjutnya dalam upaya memilihi antimikroba yang
tepat adalah mempertimbangkan spektrum aktivitas antibiotik terhadap
mikroorganisme yang diduga patogen, terkait flora pada fokus infeksi.
Biasanya, dokter menggunakan terapi antibiotik spektrum luas, sesuai
spektrum aktivitas dan tingkat aktivitas yang tinggi terhadap patogen yang
diduga dari fokus infeksi (Doron & Davidson, 2011). Prinsip
farmakokinetik penting dalam dosis, menilai penetrasi antibiotik di lokasi
infeksi. Konsultasi dokter infeksi harus dilakukan pada kasus sulit dan
berat untuk mempertimbangankan penggunaan antibiotik sesuai
farmakokinetik. Cunha et al (2013) menyatakan peresepan tanpa
pengetahuan tentang pentingnya faktor farmakokinetik dapat menjadi
predisposisi untuk kegagalan terapi atau resistensi antibiotik di tempat
infeksi (Cunha & Opal, 2018).
1.3 Tujuan Akhir atau Strategi AMS Program
Pada tahun 2019, CDC memperbarui Core Elements rumah sakit
dalam penggunaan antibiotik yang benar dan mencegah resistensi
antibiotik (CDC, 2019). Terdapat tujuh poin dalam Core Elements of
Hospital Antibiotic Stewardship Program. Setiap Core Elements ini
berhubungan satu dan lainnya, dimana terdapat 7 inti dalam strategi ini
(gambar 2), yaitu (CDC, 2019). :
a. Hospital Leadership Commitment
Strategi ini difokuskan pada pemberdayaan sumber daya
manusia, keuangan, dan informasi rumah sakit. Dukungan
pemimpin sangat penting untuk keberhasilan program pengelolaan
antibiotik dan memberikan beberapa kebijakan, seperti :
memberikan pernyataan bahwa fasilitas mendukung dalam
meningkatkan dan pemantauan penggunaan antibiotik, membagi
tugas-tugas terkait kepengurusan dalam uraian tugas dan laporan
kinerja tahunan, memastikan staf dari departemen terkait diberikan
cukup waktu untuk berkontribusi pada kegiatan pelayanan,
memberikan pelatihan dan pendidikan , dan memastikan partisipasi
dari semua kelompok yang dapat mendukung kegiatan pengelolaan
antibiotik. Dukungan keuangan sangat membantu dalam program
pengelolaan dan penghematan dalam pengeluaran antibiotik
(Rohde et al., 2013)
b. Accountability
Pada poin ini terdapat dua program yaitu stewardship program
leader dan pharmacy leader. Stewardship program leader adalah
identifikasi satu pemimpin yang akan bertanggung jawab atas hasil
program, dimana dokter sangat efektif dalam peran ini. Pharmacy
leader adalah identifikasi satu pemimpin farmasi yang akan
berperan sebagai co-leader. Pelatihan formal dalam infeksi menular
dan penggunaan atibiotik merupakan inti dalam stewardship
program leader (CDC, 2019) . Menurut survei rumah sakit NHSN
(National Healthcare Safety Network) 2019, 59% rumah sakit di
Amerika Serikat memiliki program pengelolaan yang dipimpin
oleh dokter dan apoteker. Kepemimpinan yang efektif,
keterampilan manajemen dan komunikasi sangat penting dalam
program ASP ini (Baker et al., 2019).
c. Pharmacy expertise
Idealnya seorang apoteker sebagai co-leader program, untuk
memimpin upaya implementasi dalam meningkatkan penggunaan
antibiotik. Penting untuk mengidentifikasi seorang apoteker untuk
memimpin upaya implementasi untuk meningkatkan penggunaan
antibiotik. Apoteker pada bidang infectious disease sangat efektif
dalam meningkatkan penggunaan antibiotik dan sering membantu
memimpin program secara lebih luas serta sistem perawatan
kesehatan di rumah sakit (Heil et al., 2016).
d. Action
Intervensi dalam pengelolaan antibiotik meningkatkan
outcome. Penilaian awal resep antibiotik dapat membantu
mengidentifikasi serta target potensial untuk diintervensi. Bukti
yang dipublikasikan menunjukkan bahwa prospective audit and
feedback dan preauthorization adalah dua hal yang paling efektif
intervensi pelayanan antibiotik di rumah sakit. Prospective audit
and feedback adalah tinjauan eksternal terhadap penggunaan
antibiotik oleh ahli, disertai saran untuk mengoptimalkan
penggunaan antibiotik, meskipun obat telah diresepkan.
Preauthorization mengharuskan para pemberi resep untuk
mendapatkan persetujuan sebelum penggunaan antibiotik tertentu.
Ini dapat membantu dalam mengoptimalkan terapi awal sesuai
empiris, karena memungkinkan untuk ahli memberikan masukan
pada pemilihan dan dosis antibiotik pada infeksi yang serius seperti
sepsis. Hal ini juga dapat mencegah inisiasi antibiotik yang tidak
perlu (Barlam et al., 2016).
e. Tracking
Pengukuran sangat penting untuk mengidentifikasi peluang
untuk perbaikan dan untuk menilai dampak intervensi. Sebagai
contoh, suatu program perlu mengevaluasi apakah kebijakan dan
pedoman dijalankan sesuai yang diharapkan dan apakah intervensi
tersebut meningkatkan outcome pasien dan apa hasil dari
penggunaan antibiotik (Morgan et al., 2017).
f. Reporting
Program pengelolaan antibiotik harus melakukan peningkatan
pengetahuan terhadap dokter yang melakukan peresepan, apoteker,
serta perawat. Informasi resistensi antibiotik harus bekerja sama
dengan laboratorium mikrobiologi dan pengendalian infeksi dan
bidang epidemiologi kesehatan. Hasil evaluasi penggunaan obat
serta ringkasan masalah utama yang didapatkan selama audit
prospektif dan ulasan umpan balik serta preauthorization sangat
berguna untuk peresepan antibiotik kedepannya (Morgan et al.,
2017).
g. Education
Pendidikan adalah komponen kunci dari upaya komprehensif
untuk meningkatkan efektivitas penggunaan antibiotik di rumah
sakit, namun, pendidikan saja bukanlah satu-satunya intervensi
yang paling efektif. Banyak pilihan lain untuk mengoptimalkan
penggunaan antibiotik seperti presentasi kasus, dapat dilakukan
secara formal dan informal, edukasi melalui poster, selebaran dan
buletin, atau komunikasi elektronik kepada grup staf rumah sakit
(Barlam et al., 2016).
2. Clinical Pathways
Clinical Pathways (CP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan
terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien
berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti
dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit
European Pathways Association (EPA) pada kongresnya yang terakhir di Slovenia
telah merevisi definisi Clinical Pathways sebagai berikut: Clinical Pathways
adalah metodologi dalam cara mekanisme pengambilan keputusan terhadap
layanan pasien berdasarkan pengelompokan dan dalam periode waktu
tertentu.(Firmanda, 2016)
Clinical pathway (jalur klinis) memiliki banyak sinonim seperti care
pathway, care map, integrated pathways, multidisciplinary pathway of care,
pathway of care, collaborative care pathways. Clinical pathway dibuat untuk
memberikan rincian tindakan perawatan yang harus dilaksanakan pada kondisi
tertentu termasuk, tata laksana dari hari kehari dengan standar pelayanan yang
dianggap sesuai. Pelayanan di dalam clinical pathway bersifat multisidiplin
sehingga semua pihak yang terlibat dalam pelayanan seperti dokter/dokter gigi,
perawat, fisioterapis, nutrisionis/dietisien, apoteker, dll dapat menggunkan format
yang sama (Mutawalli, 2018)
Perjalanan klinis dan outcome penyakit yang dibuat dalam clinical
pathway dapat tidak sesuai dengan harapan karena:
a. Memang sifat penyakit pada individu tertentu;
b. Terapi tidak diberikan sesuai dengan ketentuan;
c. Pasien tidak mentoleransi obat, atau;
d. Terdapat ko-morbiditas;
Clinical pathway saat ini diimplementasikan dalam berbagai sistem
perawatan, terutama untuk meningkatkan efisiensi perawatan rumah sakit. Selain
itu, dengan adanya clinical pathaway yang digunakan sebagai standar pelayanan
kesehatan di rumah sakit, dapat meningkatkan kualitas perawatan pasien. Clinical
pathway adalah sebuah pedoman yang digunakan untuk melakukan tindakan
klinis berbasis bukti
Dalam membuat Clinical Pathways penanganan kasus pasien rawat inap di
rumah sakit harus bersifat:
a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara
terpadu/integrasi dan berorientasi focus terhadap pasien (patient
focused care) serta berkesinambungan (continuing of care)
b. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata, laboratoris
dan farmasis)
c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan
perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk periode harian
(untuk kasus rawat inap) atau jam (untuk kasus gawat darurat di unit
emergensi).
d. Pencatatan CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada
pasien secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk
dokumen yang merupakan bagian dari Rekam Medis.
e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP dicatat sebagai
varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.
f. Varians tersebut dapat terjadi karena kondisi perjalanan penyakit,
penyakit penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical
errors) dan dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan.
Pada akhirnya CP dapat merupakan suatu Standar Prosedur
Operasional yang merangkum:
a. Profesi medis: Standar Pelayanan Medis dari setiap kelompok staf
medis/staf medis fungsional (SMF) klinis dan penunjang.
b. Profesi keperawatan: asuhan keperawatan
c. Profesi farmasi: unit dose daily dan stop ordering
d. Alur Pelayanan Pasien Rawat Inap dan Operasi dari Sistem Kelompok
Staf Medis/Staf Medis Fungsional (SMF), Instalasi dan Sistem
Manajemen Rumah Sakit.
Manfaat yang diharapkan dari clinical pathway adalah adanya peningkatan
standar mutu pelayanan kesehatan lebih baik. Secara khusus, tujuan dari clinical
pathway adalah:
a. Membuat praktik medis terbaik yang dapat diimplementasikan dan
fasilitas pelayanan kesehatan setempat;
b. Pembuatan standar lama perawatan, pemeriksaan dan prosedur klinis;
c. Penyusunan strategi untuk mencapai efektivitas pelayanan;
d. Pemaparan tujuan umum pelayanan dan peran kepada seluruh staf
yang terlibat;
e. Sebagai bahan untuk dokumentasi, analisis dan evaluasi;
f. Sebagai bahan untuk edukasi kepada pasien tentang perkiraan
prosedur-prosedur apa saja yang akan dilakukan.
Clinical pathway adalah alat yang menjelaskan langkah-langkah yang
harus dilakukan dalam perawatan pasien, termasuk tes yang mungkin diperlukan,
pemantauan dan pengobatan. Dengan adanya clinical pathway dapat dibuat
pedoman dan program dalam pengendalian antibiotik. Dalam kebanyakan keadaan,
clinical pathway menyaring informasi dari pedoman klinis, agar dapat diterapkan
untuk digunakan pada titik perawatan. Informasi dari pedoman dapat ditransfer ke
jalur klinis yang dapat tersedia di titik perawatan untuk mempromosikan
penggunaan pedoman. Ketika antibiotik diresepkan, pilihan obat, dosis dan durasi,
mengikuti pedoman klinis biasanya akan mengarah pada penggunaan antibiotik
yang lebih tepat dan dapat membantu mengoptimalkan hasil klinis dan
meminimalkan konsekuensi yang merugikan termasuk pengembangan resistensi
antibiotik. (Stewardship, 2020)
Beberapa langkah yang dapat dilakukan rumah sakit dalam pengendalian
antibiotic melalui clinical pathway antara lain (Fauzia, 2017) :
a. Antimicrobial Stewardship Programme (ASP)
ASP adalah aktivitas yang dijalankan oleh institusi pelayanan
kesehatan untuk mengoptimalkan penggunaan antimikroba pada
pasien rawat inap. ASP merupakan program yang relatif baru yang
meliputi ketepatan penggunaan antibiotik dalam hal pemilihan, dosis,
cara pemberian, dan lama pemberian, dan diharapkan akan menjadi
cara terbaik untuk mengendalikan penggunaan antibiotik di rumah
sakit. Program ini mirip dengan program yang telah ada, seperti
penerapan antibiotic policies, antibiotic management programs,
antibiotic control programs. Bedanya, ASP dirancang lebih sistematis
dan komprehensif.
ASP bertujuan mengoptimalkan hasil klinis (outcome) serta
meminimalkan efek yang tidak diinginkan akibat penggunaan
antibiotik yaitu toksisitas, seleksi organisme patogen, dan resistensi.
Selain itu ASP juga bertujuan mengurangi biaya perawatan tanpa
memberikan pengaruh negative tehadap kualitas layanan, yaitu dengan
mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan,
serta mendorong peralihan terapi intravena ke terapi oral. Kombinasi
antara ASP yang efektif dengan program pengendalian infeksi yang
komprehensif terbukti mampu membatasi perkembangan dan
penyebaran bakteri yang resisten terhadap antibiotic.
b. Penyusunan Formularium (Antibiotik)
Formularium antibiotik merupakan daftar sederhana obat yang
tersedia untuk digunakan di suatu rumah sakit. Pengendalian
formularium efektif mempengaruhi peresepan antibiotik sekaligus
dapat mengurangi penggunaan dan resistensi terhadap antibiotik.
Selain itu, metode ini tidak menimbulkan dampak/efek negatif
terhadap pasien, serta memberikan edukasi positif pada dokter
pemberi resep.
c. Guidelines Penggunaan Antibiotik
Guidelines klinis penggunaan antibiotik sangat dibutuhkan sebagai
instrumen yang efektif untuk menghindari pemberian antibiotik yang
tidak perlu sekaligus juga untuk meningkatkan efektivitas antibiotik
yang diresepkan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penerapan
guidelines tersebut secara dramatis memberikan manfaat yang
bermakna dalam menghentikan kejadian resistensi terhadap antibiotic
Hal penting lain yang juga perlu diperhatikan adalah mengenai
implementasi pedoman, yang merupakan proses untuk memastikan
bahwa guidelines tersebut diterapkan dalam praktek klinis.
3. Peta kuman dan Manfaatnya
Peta kuman adalah pedoman untuk memperkirakan jenis kuman berdasarkan
infeksi sistem organ tubuh yang berbeda, dan sebagai pedoman awal dalam
memilih antimikroba untuk infeksi organ tertentu, sebelum didapatkan hasil uji
kepekaan (sensitivitas). Pola peta kuman digunakan untuk melihat distribusi jenis
kuman berdasarkan jenis spesimen yang diperiksa, melihat pola ketahanan
(resistensi) atau kepekaan (sensitivitas)nya terhadap antimikroba, dan mengetahui
apakah terjadi pergeseran pola kuman penyebab infeksi dan kepekaan
(sensitivitas) pada waktu yang berbeda (Rusli dan Arief, 2006). Pola peta kuman
berisi jenis kuman, jumlah pada waktu tertentu, sehingga dapat diketahui jenis
kuman yang paling sering menginfeksi.

Tabel 1. Profil Peta Kuman (Yulia dkk., 2017)


Tabel 2. Profil Peta Kuman (Rusli dan Arief, 2006)
Manfaat peta pola kuman adalah sebagai langkah antisipasi atau pencegahan
jika ditemukan adanya bakteri yang resistan terhadap antibiotik tertentu dan
dijadikan sebagai pedoman pengadaan obat di rumah sakit (Rusli dan Arief, 2006).
4. Studi Kasus
 Keamanan
1. Hydrochlortiazide
Hydrochlortiazide adalah obat yang diindikasikan untuk
penderita hipertensi. Obat tersebut efektif dalam menurunkan hipertensi
dan mencegah outcome kardiovaskular. Hydrochlortiazide bekerja dengan
cara menurunkan tekanan darah melalui mekanisme penurunan resistensi
perifer (Herman & Khalid, 2020). Dosis hydrochlortiazide yang biasa
digunakan untuk pengobatan hipertesi yaitu 25 mg satu kali sehari.
Penggunaan hydrochlortiazide pada wanita hamil termasuk dalam kategori
D, yang berarti obat tersebut memiliki resiko terhadap janin (DIH ed 17th).
2. Metformin
Metformin adalah agen antidiabetes yang bekerja dengan
cara menurunkan produksi glukosa di hati, menurunkan absorpsi glukosa
intestinal, dan meningkatkan sensitivitas insulin. Dosis yang biasa
digunakan pada penderita diabetes tipe 2 antara lain 500 mg dua kali
sehari atau 850 mg satu kali sehari, namun dosis yang diberikan sebagai
pemeliharan yaitu 2000 mg/hari. Penggunaan metformin pada wanita
hamil termasuk dalam kategori B, yang berarti obat tersebut
penggunaannya masih terjamin meskipun terdapat potensi resiko terhadap
janin (DIH ed 17th).
3. Atorvastatin
Atorvastatin adalah obat yang diindikasikan untuk
penderita hiperkolesterolemia yang bekerja sebagai inhibitor kompetitif
dari HMG-CoA reduktase. Sebagian besar obat tersebut bekerja di hati
dengan menurunkan konsentrasi kolesterol di hati yang menstimulasi
regulasi LDL sehingga terjadi peningkatan uptake LDL. Dosis yang biasa
digunakan antara lain 10 mg atau 20 mg satu kali sehari. Selain itu dosis
40 mg juga dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan pengurangan
lebih besar pada LDL. Penggunaan atorvastatin dikontraindikasikan untuk
wanita hamil karena kolesterol dan produk sintesis kolesterol berperan
penting dalam pertumbuhan janin (Briggs, 2005)
4. Aspirin
Aspirin adalah salah satu agen antiinflamasi non-steroid
(AINS) yang bekerja dengan cara menghalangi sintesis prostaglandin
untuk menghasilkan efek antiinflamasi dan antipiretik (DIH ed 17th).
Penggunaan aspirin pada wanita hamil tidak dikontraindikasikan. Dosis
aspirin untuk orang dewasa yang sedang menderita penyakit diabetes tipe
1 atau diabetes tipe 2 yaitu antara 75 – 162 mg satu kali sehari.
Penggunaan aspirin dalam dosis rendah masih diperbolehkan, namun
untuk kondisi kronis yang membutuhkan dosis tinggi penggunaan aspirin
harus dihindari (Briggs, 2005).
 Rekomendasi Obat
1. Ezetimibe
Penggunaan atorvastatin sebagai agen antihiperkolesterolemia
dikontraindikasikan pada wanita hamil, karena resiko hipokolesterolemia
sangat mungkin terjadi dan dapat mengganggu pertumbuhan janin.
Penggunaan atorvastatin dapat digantikan dengan ezetimibe sebagai agen
antilipemik. Antilipemik adalah obat yang dapat menurunkan kadar
kolesterol atau trigliserida darah yang tinggi. Ezetimibe dimetabolisme di
usus kecil dan hati serta memiliki waktu paruh selama 22 jam (Briggs,
2005). Setelah mengalami metabolisme di usus halus dan hati, ezetimibe
diekskresikan di empedu kemudian kembali ke lumen usus (Phan., et al,
2012). Menghentikan pengobatan hiperkolesterolemia dianggap tidak
berisiko bagi ibu hamil, namun penggunaan ezetimibe dinilai dapat
menjadi alternatif yang lebih baik daripada pengobatan dengan HMG-CoA
reduktase inhibitor atau golongan fenofibrate (Briggs, 2005).
2. Methyldopa
Penggunaan hydrochlortiazide tidak direkomendasikan untuk
wanita hamil karena tergolong dalam kategori D yang berarti memiliki
resiko terhadap janin, maka dari itu penggunaan hydrochlortiazide dapat
digantikan dengan methyldopa. Methyldopa adalah agen antiadrenergik
yang bekerja secara terpusat pada pengobatan hipertensi. Methyldopa
diubah menjadi metabolitnya, yaitu: α-methylnorepinefrin di sistem saraf
pusat. Perubahan tersebut bertujuan untuk menurunkan aliran keluar dari
adrenergik oleh agonis alfa-2 yang akan menyebabkan penurunan tekanan
darah sistemik.
Penggunaan methyldopa pada kondisi hamil dinilai aman karena
tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa obat tersebut berisiko bagi
embrio atau janin (Briggs, 2005). Pada kondisi hamil, methyldopa
melintasi plasenta dan mencapai kesetaraan konsentrasi serum pada ibu
dan janin. Dalam studi pengawasan yang melibatkan 229.101 kehamilan,
sebanyak 4,5% mengalami cacat lahir, yang terdiri dari cacat
kardiovaskular, cacat celah mulut, dan polidaktil. Data tersebut dianggap
tidak mendukung hubungan antara methyldopa dengan cacat bawaan.
Selain itu evaluasi yang dilakukan pada anak usia 4 tahun juga tidak
menunjukkan adanya hubungan antara ukuran kepala kecil dan
pertumbuhan mental yang lambat dengan penggunaan methyldopa dalam
kehamilan (Briggs, 2005).
DAFTAR PUSTAKA

Aberg, J.A., Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, M. and Lance, L.L. 2009. Drug
Information Handbook 17th Edition. American PharmacistAssociation.
Barlam, T. F., Cosgrove, S. E., Abbo, L. M., Macdougall, C., Schuetz, A. N.,
Septimus, E. J., Srinivasan, A., Dellit, T. H., Falck-Ytter, Y. T., Fishman, N.
O., Hamilton, C. W., Jenkins, T. C., Lipsett, P. A., Malani, P. N., May, L. S.,
Moran, G. J., Neuhauser, M. M., Newland, J. G., Ohl, C. A., … Trivedi, K. K.
(2016). Implementing an antibiotic stewardship program: Guidelines by the
Infectious Diseases Society of America and the Society for Healthcare
Epidemiology of America. In Clinical Infectious Diseases.
Briggs, G. 2005. Drug in pregnancy and lactation (7th Ed). California: Lippincolt
William dan Wilkins.
CDC. (2019). Core elements of hospital antibiotic stewardship programs. In US
Department of Health and Human Services, CDC.
Cunha, C. B., & Opal, S. M. (2018). Antibiotic Stewardship: Strategies to
Minimize Antibiotic Resistance While Maximizing Antibiotic Effectiveness.
In Medical Clinics of North America.
Fauzia, D. 2017. Strategi optimasi penggunaan antibiotik. Jurnal Ilmu Kedokteran.
9(2):55.
Firmanda, D. 2016. Clinical pathways kesehatan anak. Sari Pediatri. 8(3):195.
Mutawalli, L. 2018. Sistem audit clinical pathway di rumah sakit islam harapan
anda kota tegal. 85.
Morgan, D. J., Malani, P., & Diekema, D. J. (2017). Diagnostic stewardship -
leveraging the laboratory to improve antimicrobial use. In JAMA - Journal of
the American Medical Association (pp. 607–608)
Phan B.A., Dayspring T.D., Toth P.P. 2012. Terapi Ezetimibe: Mekanisme aksi
dan pembaruan klinis. Manajemen Risiko Kesehatan Vasc. 8 : 415–27.
Rusli, B. dan M. Arief. 2006. Pola kuman berdasarkan spesimen dan sensitivitas
terhadap antimikroba. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory. 13(1):13–16.
Rohde, J. M., Jacobsen, D., & Rosenberg, D. J. (2013). Role of the hospitalist in
antimicrobial stewardship: A review of work completed and description of a
multisite collaborative. In Clinical Therapeutics.
Stewardship, N. C. for A. 2020. National Centre for Antimicrobial Stewardship
Toolkit, A. W. H. O. P. 2019. Antimicrobial Stewardship Programmes in Health-
Care Facilities in Low- and Middle-Income Countries: A WHO Practical
Toolkit. 3. JAC-Antimicrobial Resistance.
Yulia, R., G. Yuaraningtiyas, dan H. Wiyono. 2017. Profil Penggunaan Antibiotik
Dan Peta Kuman Di Ruang Rawat Inap Rs Husada Utama Surabaya.
Rekernas Dan Pertemuan Ilmiah Tahun Ikatan Apoteker Indonesia. 2017

Anda mungkin juga menyukai