Diusulkan Oleh :
Lady Amanda Meilia Putri Agustine (220422606244)
Merly Yunita Rahma (220421604169)
ISI
Mahasiswa menjadi bagian dari masyarakat dimana mereka memiliki posisi
yang unik karena dapat diterima di seluruh kalangan sosial. Menjadi bagian dari
civitas akademika di perguruan tinggi, mahasiswa memiliki kewajiban untuk
mempersiapkan diri sebelum terjun ke lingkungan sosial. Mulai dari kecakapan
akademik yang mendukung profesi, kepekaan terhadap isu sosial, serta ambisi
untuk mengatasi isu tersebut. Identik dengan semangat idealisme dan kemampuan
intelektual, mahasiswa mendapat kepercayaan dari kalangan sosial untuk
berinteraksi baik dengan masyarakat dan juga dengan kaum birokrat(Anwar,
Kudadiri and Wijaya, 2019). Sehingga, mahasiswa memiliki peran yang signifikan
bila menyangkut masalah sosial. Melalui perannya tersebut, mahasiswa pun
mendapat julukan sebagai “agent of change”. Agent of change sendiri diartikan
sebagai sekelompok orang yang menghendaki perubahan dan sekelompok orang
tersebut menerima kepercayaan untuk menjadi pemimpin di satu atau lebih lembaga
kemasyarakatan(Soekanto, 2013). Peristiwa reformasi pada tahun 1998 dapat
menjadi salah satu bukti konkret mahasiswa mampu berperan sebagai “agent of
change”. Dengan Kepekaan yang dimiliki mahasiswa terhadap isu sosial saat itu
serta dukungan dari masyarakat, ambisi mahasiswa dapat membuahkan hasil.
Mahasiswa saat ini yang sedang aktif didominasi oleh generasi Z (1997-
2012), dimana mereka merupakan generasi yang tumbuh ketika teknologi informasi
dan komunikasi sudah berkembang. Kedudukan pemuda sebagai agen perubahan
masih dapat memposisikan peran pemuda di lingkungan sosial masyarakat
(Suharyanto, Matondang and Hidayat, 2016). Melalui posisinya yang netral,
mahasiswa tidak hanya berperan dalam menyampaikan suara masyarakat pada
instansi tertentu, namun juga mengemban tanggung jawab untuk mampu
menghadapi berbagai tantangan (Prambudi et al., 2023). Sebagai mahasiswa yang
aktif dalam lingkungan civitas akademika, sudah sepantasnya mahasiswa untuk
memiliki kesadaran terhadap tantangan di masa depan agar dapat mempersiapkan
diri dan dapat tetap bersaing. Isu bangsa Indonesia akan mengalami bonus
demografi pada tahun 2030 mendatang menjadi salah satu isu hangat saat ini.
Generasi angkatan kerja yang mendominasi kependudukan indonesia tentunya
menimbulkan tantangan tersendiri bagi kaum pemuda khususnya, mahasiswa.
Menjadi salah satu “agent of change”, mahasiswa memiliki peran penting
dalam membawa perubahan sosial yang positif dalam lingkungan masyarakat
(Fadlillah, 2016). Tidak terkecuali terkait dengan isu bonus demografi, yang
disebabkan oleh jumlah penduduk usia produktif atau angkatan kerja mencapai dua
kali lipat dari jumlah penduduk usia tidak produktif (BPS). Tingginya angka dari
angkatan kerja tersebut sekaligus menggambarkan tingkat persaingan peluang kerja
yang tinggi. Dari data yang diungkapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia, di tahun 2022 jumlah pencari kerja mencapai angka 937.176 orang.
Jika dibandingkan dengan angka lowongan kerja di tahun yang sama, tercatat hanya
sebesar sebanyak 59.276 lowongan kerja saja (BPS), jelas terdapat ketimpangan
yang sangat besar.
Rendahnya lapangan pekerjaan dan bonus demografi tersebut menjadi
bagian dari tantangan mahasiswa, tidak terlepas dari era maupun generasi.
Ketimpangan antara angkatan kerja dengan lapangan kerja menjadi salah satu faktor
terus meningkatnya angka pengangguran intelektual. Jika tidak diatasi dengan baik,
tentu akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang berakar dari
pengangguran. Seperti, tidak tercapainya tingkat kesejahteraan yang mungkin dapat
dicapai, menurunkan jumlah pajak yang dapat diterima oleh pemerintah, hingga
menghambat pertumbuhan perekonomian negara (Samuelson and Nordaus, 2001).
Berbagai dampak dari pengangguran tersebut tentu dapat menghambat Visi
Indonesia Emas 2045 mendatang. Di mana tujuan dari visi tersebut adalah untuk
meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat dengan mencapai mutu
sumber daya manusia yang lebih baik.
Visi Indonesia emas 2045 digagas sebagai wadah untuk impian-impian
Indonesia di masa depan. Untuk mensukseskan visi Indonesia emas tidak cukup
mengandalkan peran pemerintah saja. Partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat
memiliki peran yang penting, khususnya generasi muda. Dengan adanya perubahan
pada kondisi sosial, ekonomi, serta teknologi yang terus datang, sebuah bangsa
memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas sebagai aset penting untuk
dimiliki. Karena sumber daya manusia yang berkualitas merupakan akar dari
majunya kemampuan intelektual masyarakat (Quyet, 2020). Dimana, kemampuan
intelektual masyarakat akan memberikan dampak pada lahirnya tenaga kerja yang
profesional dan berkualifikasi teknis yang dapat memberikan output yang lebih
bersaing dan berkualitas (Quyet, 2020).
Seperti yang diungkapkan oleh Menko PMK Muhadjir Effendy, Mahasiswa
yang saat ini memiliki rata-rata umur 20 tahun, di tahun 2045 mendatang akan
mencapai puncak karirnya usia 40 tahun keatas. Sebagai salah satu aktor utama dari
visi Indonesia Emas 2045 mendatang dan merupakan Agent of Change , mahasiswa
yang cerdas dan dengan semangat perubahan akan mengisi perannya sebagai
generasi emas 2045. Karena mahasiswa memiliki peran strategis dalam upaya
mewujudkan impian Indonesia tersebut.
Sebagai penerus bangsa, posisi mahasiswa sebagai agen perubahan penting
untuk disadari. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan terus membangun karakter
yang Creative, Innovative, Capable, Adaptive (CICA) Agar mahasiswa mampu
memiliki daya saing dan mampu membawa Indonesia menuju masa keemasan di
tahun 2045 mendatang.
Creative
Kreativitas dikenal sebagai kemampuan yang dapat berguna bagi seniman
atau seseorang yang bekerja di bidang kreatif. Baik digunakan untuk membuat
produk baru yang unik atau karya menarik untuk dinikmati secara massa. Karena
itu kreativitas seringkali memiliki stigma hanya dapat berguna dalam lingkungan
informal. Padahal menerapkan sikap kreatif dalam lingkungan formal seperti di
lingkup pendidikan dan tempat kerja dapat sangat bermanfaat. Terlebih lagi, di era
dimana teknologi yang mampu memunculkan banyak peluang maupun tantangan.
Kemampuan untuk berpikir kreatif menjadi salah satu hal penting untuk dimiliki
oleh kaum muda khususnya mahasiswa.
Kemampuan berpikir kreatif untuk memecahkan masalah ini dikenal
dengan sebutan Creative Problem Solving (CPS). CPS merupakan proses yang
digunakan individu untuk berurusan dengan masalah, peluang dan tantangan yang
ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu buku yang membahas CPS sebagai
salah satu metode penyelesaian masalah adalah “creative problem solving” oleh
Donald J. Treffinger bersama 2 rekannya. Di Dalam tulisannya tersebut, CPS dapat
dicapai dengan mengkolaborasikan cara berpikir kreatif (creative thinking) dan
kritis (critical thinking) (Treffinger, Isaksen and Stead-Dorval, 2023).
Dilanjutkan penjelasan di halaman yang sama, tentang perbedaan antara
cara berpikir kreatif yang memandang satu pertanyaan atau poin dengan meluas dan
bercabang dengan cara berpikir kritis yang memandang beberapa kemungkinan
yang tersedia kemudian ditinjau kembali secara terstruktur. Memadukan kedua cara
berpikir tersebut membuat seseorang memiliki perspektif yang lebih luas, baik
secara general maupun secara fokus terhadap sebuah masalah. Dengan begitu
seseorang dapat menghasilkan solusi yang lebih fleksibel dan efektif.
Penting bagi mahasiswa Indonesia untuk memiliki kemampuan berpikir
kreatif. Dengan peluang dan tantangan yang dihadapi oleh generasi muda yang terus
berganti, agar dapat bertahan dan berhasil diperlukan solusi-solusi baru yang sesuai.
Karena di tengah banyaknya persoalan yang harus diselesaikan, peralihan ke
sesuatu yang baru dalam memecahkan masalah diperlukan agar dapat terus maju ke
depan (Proctor, 2018). Dengan membangun diri menjadi seorang intelektual yang
kreatif dalam memecahkan masalah, baik di lingkungan universitas maupun
lingkungan kerja ketika lulus, akan dapat menghasilkan penyelesaian serta output
yang berkualitas dan bersaing.
Innovative
Setelah Kreatif, tentu akan menjadi lebih sempurna bila dilengkapi dengan
kemampuan untuk bersikap inovatif. Pengertian inovasi menurut Stephen Robbins
adalah sebuah gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau
memperbarui suatu produk atau proses dan jasa. Dengan kata lain, bersikap inovatif
merupakan langkah lebih lanjut dari proses berpikir kreatif, yang dilakukan dengan
mengimplementasikan hasil berpikir kreatif tersebut sebagai sebuah solusi atas
permasalahan terkait. Diungkapkan dalam beberapa studi dan penelitian,
menerapkan sikap inovatif dalam memecahkan masalah dapat memberikan
kesejahteraan psikologi (psychology well-being) (Bunce and West, 1994). Karena
dengan bersikap inovatif, individu dapat mengatasi sesuatu dengan berbagai cara
baru, dimana hal tersebut juga dapat mengurangi tingkat stres individu (de Jong and
Janssen, 2005).
Penting bagi mahasiswa untuk memiliki perilaku inovatif agar dapat
menjadi tenaga kerja yang berkualitas ketika akan masuk ke pasar tenaga kerja.
Mahasiswa sebagai civitas akademika, dapat membangun diri menjadi lebih
inovatif dengan memanfaatkan tugas kuliah ataupun hal lain seperti kompetisi dan
berorganisasi sebagai sarana untuk membiasakan diri dengan sikap yang inovatif.
Senantiasa menjunjung tinggi rasa ambisi dan semangat dalam mengemban
tanggung jawab. Sehingga mahasiswa dapat memberikan yang terbaik melalui
penguasaan individu terhadap tugas terkait dan berusaha memberikan kualitas
output yang baik pula. Jika mahasiswa sudah memiliki sikap inovatif dalam
kebiasaan individu, hal ini dapat memberikan keunggulan pada sisi
ketenagakerjaan. Sehingga mahasiswa diharapkan mampu memberikan pengaruh
(influence) yang baik sesuai dengan studi pendidikannya.
Capable
Capable dalam kamus bahasa Inggris memiliki makna kepemilikan atas
kekuatan dan kemampuan untuk melakukan sesuatu. Kapabilitas penting untuk
dimiliki agar seseorang dapat benar-benar mewujudkan atau menunjukkan potensi
dari di dalam organisasinya. Dengan ketatnya persaingan tenaga kerja saat ini,
mahasiswa tidak cukup mengandalkan nilai tinggi – dalam hal ini, kecerdasan
intelektual –- saja sebagai modal untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Di lingkungan
organisasi yang sudah modern, kecerdasan emosional (EQ) memiliki peran penting
dalam meningkatkan performa, mencapai tujuan serta keuntungan yang terukur
(Serrat, 2017). Terlebih lagi, EQ juga memiliki peran penting agar seseorang dapat
memberikan keputusan atau penyelesaian yang tepat meskipun berada dibawah
tekanan (Ritonga et al., 2023). Sehingga, mencapai EQ individu penting agar
seseorang dapat menunjukkan kapabilitasnya.
Lalu bagaimana kita dapat meningkatkan kapabilitas ? Dengan berbagai
kesempatan, peluang serta “privilege” yang didapatkan mahasiswa sebagai civitas
akademika, akan lebih baik jika mahasiswa mampu memanfaatkan hal-hal tersebut.
Seperti mengikuti organisasi, berkompetisi atau bahkan mencoba memulai bisnis.
Karena dengan kesibukan-kesibukan itulah mahasiswa dapat melatih EQ yang
penting dikuasai sebelum masuk ke dalam lingkungan profesional. Apabila
mahasiswa sudah menguasai baik kecerdasan intelektual maupun kecerdasan
emosional, maka mahasiswa juga dapat menunjukkan integritasnya (Ritonga et al.,
2023) dan juga kapabilitasnya di dalam sebuah Organisasi.
Adaptive
Dan yang terakhir adalah kemampuan mahasiswa untuk bersikap adaptif.
Adaptif di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai mudah
menyesuaikan diri dengan keadaan. Di Dalam beberapa penelitian, kemampuan
untuk bersikap adaptif disebut dengan adaptive performance atau adaptive
expertise. Namun menurut (Shoss, Witt and Vera, 2012) kemampuan adaptif
(adaptive performance) didefinisikan sebagai salah satu aspek kinerja yang
merefleksikan peningkatan kompetensi dalam merespon perubahan. Kepribadian
menjadi variabel yang paling sering dikaitkan dengan adaptive performance. (Park
and Park, 2019) menyimpulkan variabel kepribadian (personality) diantaranya
adalah keterbukaan terhadap pengalaman (openness to experience), kestabilan
emosi (emotional stability), sikap kehati-hatian (conscientious) dan tingkat
kegemaran bersosialisasi (extraversion).
Kemampuan untuk beradaptasi penting untuk dikuasai oleh mahasiswa
dalam menghadapi tantangan yang terus berubah. Karena keberhasilan sebuah
organisasi dalam menghadapi perubahan tergantung pada kemampuan sumber daya
manusia mengemban tanggung jawab personal melalui kemampuan adaptif ketika
merespon perubahan (Ghitulescu, 2013). Mahasiswa dapat menguasai kemampuan
beradaptasi dengan menanamkan kepribadian-kepribadian yang telah disebutkan
dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai generasi digital native yang sudah melalui
berbagai perubahan tren, hendaknya mahasiswa tanggap dan adaptif terhadap
perubahan yang terjadi sehingga tetap dapat bersaing
Penutup
Visi Indonesia Emas 2045 adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat dengan membangun kualitas sumber daya manusia. Mahasiswa
menjadi salah satu aktor utama karena mahasiswa memiliki peran strategis untuk
mewujudkan Impian Indonesia Emas 2045. Sebagai Agent of Change dan sebagai
generasi emas 2045, hendaknya mahasiswa terus membangun diri menjadi sumber
daya manusia yang berkualitas agar dapat melewati tantangan. Baik dalam
persaingan kerja maupun untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas, sehingga dapat memberikan output yang berkualitas pula.
Ghitulescu, B.E. (2013) ‘Making Change Happen: The Impact of Work Context on
Adaptive and Proactive Behaviors’, Journal of Applied Behavioral Science, 49(2).
Available at: https://doi.org/10.1177/0021886312469254.
de Jong, S.B. and Janssen, O. (2005) ‘Innovative Working Behavior and Stress as
a Response to Role Overload and Role Ambiguity’, Gedrag & Organisatie, 18(2).
Park, Sohee and Park, Sunyoung (2019) ‘Employee Adaptive Performance and Its
Antecedents: Review and Synthesis’, Human Resource Development Review.
Available at: https://doi.org/10.1177/1534484319836315.
Proctor, T. (2018) Creative problem solving for managers: Developing skills for
decision making and innovation fifth edition, Creative Problem Solving for
Managers: Developing Skills for Decision Making and Innovation. Available at:
https://doi.org/10.4324/9780429458255.
Suharyanto, A., Matondang, A. and Hidayat, T.W. (2016) ‘Aktualisasi dan Filosofi
Konsep Kepemimpian Tradisional bagi Generasi Muda di Bale Marojahan Medan’,
Jupiis: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial, 8(2), pp. 182–189. Available at:
https://doi.org/10.24114/jupiis.v8i2.5164.