Anda di halaman 1dari 136

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M.

i
DAFTAR ISI
NASIONALISME DAN KARAKTER BANGSA

Pendidikan Karakter untuk Generasi 2045: Gerakan


Pemantapan Karakter Bangsa Menuju Tahun Emas
Indonesia................................................................. (1 - 20)
Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum. (FBS Unnes)

Integrasi Pendidikan Karakter Bangsa


Dalam Pendidikan Matematika................................... (21 - 35)
Prof. Dr. Hardi Suyitno, M.Pd. (FMIPA Unnes)

Konservasi Moral dalam rangka Pendidikan Karakter.... (36 - 48)


Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd. (FIS Unnes)

Jujur dan Disiplin....................................................... (49 - 51)


Prof. Drs. Nathan Hindarto, Ph.D. (FMIPA Unnes)

Membangun Karakter Bangsa dalam Perspektif


Filsafat Pancasila....................................................... (52 - 55)
Prof. Dr. Suyahmo, M.Si. (FIS Unnes)

Pendidikan dan Nasionalisme..................................... (56 - 66)


Prof. Dr. Wasino, M.Hum. (FIS Unnes)

Nasionalisme Pemuda Indonesia................................ (67 - 84)


Dr. Eko Handoyo, M.Si. (FIS Unnes)

Enkulturasi Pendidikan Karakter Bangsa


Berbasis Nasionalisme............................................... (85 - 97)
Hari Wuljanto, S.Pd., M.Si. (Dinas Pendidikan Prop. Jawa Tengah)

Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dari Perspektif


Pendidikan Politik Bangsa.......................................... (98 – 111)
Sudharto

Peran Guru dalam Menumbuhkembangkan Semangat


dan Rasa Kebangsaan sebagai Tanggung Jawab Moral
Bersama................................................................... (112 – 118)
Sungkana, S.Pd., M.Si. (Dinas Pendidikan Prop. Jawa Tengah)

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. ii


Mengisi Kemerdekaan sebagai Bentuk Nasionalisme
Generasi Muda.......................................................... (119 – 133)
Dr. Suwito Eko Pramono, M.Pd. (FIS Unnes)

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. iii


PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK GENERASI 2045:
Gerakan Pemantapan Karakter Bangsa
Menuju Tahun Emas Indonesia

Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum.


Fakultas Bahasa dan Seni –
Rektor Universitas Negeri Semarang

Abstrak
Pendidikan diyakini sebagai lembaga strategis dalam
menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan berkarakter.
Keyakinan ini melahirkan sosok pribadi yang siap melakukan
perubahan. Berangkat dari keyakinan itulah pada tahun 2045 atau
100 tahun kemerdekaan Indonesia banyak pihak meramalkan
bahwa Indonesia akan menjadi negara besar dan maju di berbagai
bidang. Dalam konteks itulah penyiapan generasi menjadi kunci
merealisasikan ramalan tentang tahun emas Indonesia. Pendidikan
diharapkan mampu melahirkan pribadi-pribadi unggul yang siap
terjun untuk melakukan perubahan dengan membangun
masyarakat secara nyata. Lembaga pendidikan bukan hanya
sekadar lembaga pembelajaran yang hanya mentransfer
pengetahuan, namun juga membentuk sikap, perilaku, dan
kepribadian. Karena itu, tepat kiranya jika diupayakan pemulihan
kembali nilai-nilai yang telah diajarkan oleh para pendiri bangsa,
sekaligus dimulainya kembali agenda berkelanjutan untuk
menyelenggarakan pendidikan dengan menekankan pada
pendidikan karakter sebagai usaha membangun karakter bangsa
(nation character building).
Kata kunci: pendidikan karakter, Indonesia 2045
PENDAHULUAN
Peningkatan anggaran pendidikan setiap tahun harus
dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dengan anggaran pendidikan yang besar diharapkan bisa
menyiapkan generasi penerus bangsa yang memiliki sikap,
perilaku, dan kepribadian yang baik. Pengembangan SDM yang
optimal tentu akan berdampak pada kemajuan bangsa dalam
berbagai bidang. Dengan alasan tersebut, banyak yang

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 1


memprediksikan bahwa Indonesia pada tahun 2045 menjadi kiblat
bangsa-bangsa di dunia. Hal serupa diungkapkan presiden RI
dalam pidatonya pada tanggal 16 Agustus di DPR. Presiden SBY
memprediksi Indonesia menjadi negara yang maju dan menempati
nomor 6 dunia. Namun demikian, untuk meraih hal itu, pemerintah
harus berusaha meningkatkan derajat pendidikan dengan berbagai
cara. Di antaranya adalah peningkatan anggaran pendidikan,
reformasi pendidikan, terutama perluasan akses dan peningkatan
kualitas di seluruh jenjang pendidikan.
Hal senada diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Muhammad Nuh yang memberikan 20 alasan
untuk bangga menjadi orang Indonesia. Salah satu hal yang paling
penting dikemukakan adalah fenomena Indonesia tahun 2010 –
2035 yang dikaruniai populasi produktif. Muhammad Nuh juga
berkata bahwa dalam menyambut HUT Indonesia yang ke-100 di
tahun 2045, Indonesia telah mempunyai tanda-tanda kebesaran
yang sudah bisa dilihat oleh beberapa pemerhati politik dan
ekonomi seluruh dunia.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, rasa
optimisme menjadi pudar. Kenyataannya hingga saat ini, bangsa
Indonesia makin terpuruk dalam jurang keterbelakangan dan
ketidakberdayaan menghadapi kemajuan teknologi yang ada. Data
UNDP (United Nation Development Program ) terkait indeks
pembangunan manusia (Human Development Index Ranking)
menempatkan Indonesia di urutan ke-60 dari 72 negara yang
termasuk dalam peringkat salah satu lembaga survey international
ini. Fakta ini masih harus ditambah dengan kenyataan pahit bahwa
di tahun-tahun yang lalu, Indonesia masih menduduki posisi dua
terbawah dari 55 negara dalam peringkat daya saing antar negara.
Sementara untuk di kancah ASEAN Indonesia menempati peringkat
terbawah.
Begitu juga bidang lain memperlihatkan kondisi yang serba
chaos. Sejak krisis ekonomi pada tahun 1997, berbagai krisis terus
mendera bangsa Indonesia dan terus berlangsung dan seolah-olah
tanpa akhir. Krisis yang melanda Indonesia menyebabkan tidak
hanya lingkungan yang makin rusak dan berkurang daya
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 2
dukungnya, tetapi juga karena merosotnya kepercayaan dan
jatidiri sebagai bangsa. Hal ini ditengarai dengan adanya empat
krisis yang dihadapi bangsa Indonesia (Kusmin 2010). Pertama,
krisis jatidiri. Masyarakat Indonesia tidak lagi mampu mengenali
dirinya sebagai bangsa. Kedua, krisis ideologi. Pancasila sebagai
ideologi hanya tinggal nama, tidak lagi menjadi ideologi yang
hidup dalam perilaku sehari-hari masyarakat Indonesia. Pancasila
ditinggal dalam pojok sejarah. Ketiga, krisis kepercayaan. Sikap
curiga dan meremehkan orang lain menunjukkan betapa manusia
Indonesia telah pudar kepercayaannya kepada yang lain. Sikap
bandel, sulit diatur, dan menginjak-injak norma yang ada
menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Keempat, krisis karakter, dimana ucapan, sikap, dan perilaku
masyarakat belum mencerminkan karakter bangsa.
Kondisi tersebut tersebut makin diperparah oleh terjadinya
krisis kebudayaan. Kebudayaan tidak hanya sebatas pada seni dan
tradisi belaka, tetapi juga mencakupi berbagai kompleksitas ide
serta perilaku berpola pada warga-bangsa ini. Pertikaian di antara
sesama anak bangsa bukannya kian mereda, namun justru makin
menjadi-jadi. Berbagai tindak kekerasan, korupsi, kolusi, dan
nepotisme semakin meningkat. Sikap rukun dan hormat sebagai
budaya luhur bangsa makin luntur. Persoalan-persoalan bangsa
tersebut tidak saja terjadi pada lapisan elit politik maupun
ekonomi, tetapi juga telah merambah pada kalangan masyarakat.
Sungguh memprihatinkan, karena hal-hal tersebut terjadi juga di
kalangan perguruan tinggi yang notabene merupakan wadah
pembentuk dan pencetak calon pemimpin bangsa. Berkaitan
dengan hal ini, muncul pertanyaan, mengapa bangsa yang
memiliki warisan nilai budaya adiluhung masih mengalami krisis
yang cukup mengkhawatirkan, apalagi krisis yang mengemuka
lebih disebabkan oleh persoalan nilai budaya.
Berbagai krisis itu telah mendorong terjadinya transformasi
budaya yang dahsyat, dan transformasi ini tidak dapat dilawan.
Akan tetapi, sebaliknya harus disambut sebagai satu-satunya
pelarian dari penderitaan, kehancuran, dan kebekuan (Capra
2002:18). Upaya menghadapi transformasi budaya tersebut adalah
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 3
dengan menguji kembali premis-premis dan nilai-nilai budaya lama
dan penerimaan baru terhadap nilai-nilai yang telah ditinggalkan
atau yang baru berlangsung yang masih memiliki daya guna.
Strategi yang paling tepat untuk menghadapi hal tersebut adalah
pendidikan, khususnya pendidikan karakter.
KONDISI INDONESIA TAHUN 2045
Indonesia adalah salah satu negara emerging country yang
diramalkan memiliki prospek ekonomi yang bagus. Dengan
pertumbuhan ekonomi seperti saat ini, Indonesia bersama negara-
negara BRIC diprediksi akan mendominasi PDB dunia dengan
share lebih dari 50% pada tahun 2025. pada tahun itu Indonesia
diperkirakan mempunyai PDB perkapita sekitar US$
15.000. Prediksi positif ini juga tersirat dalam visi 100 tahun
Indonesia yang menegaskan Indonesia akan memantapkan diri
menjadi negara industri maju dunia pada tahun 2045. Indonesia
pada tahun itu akan masuk dalam negara-negara industri maju
utama dan mengambil peran sentral dalam peta politik dan
ekonomi dunia. Bahkan, menurut Buku Megachange 50 yang
diterbitkan oleh majalah The Economist, Indonesia diramalkan
akan menjadi salah satu negara maju dengan pendapatan sekitar
US $ 24.000 pada tahun 2050.
Mengapa Indonesia diprediksikan seperti itu? Hal ini karena
Indonesia punya potensi yang sangat besar. Dalam sumber daya
alam, Indonesia punya cadangan potensi mineral berlimpah, tanah
yang subur dan indah, letak geografis yang strategis serta sumber
energy yang tidak terhingga mulai dari batubara, panas bumi,
surya, angin, energy hayati (bio-energi) dan lain-lain. Indonesia
juga mempunyai potensi pasar yang sangat besar. Dengan
penduduk saat ini yang sekitar 240 juta jiwa saja, potensi pasar
Indonesia sudah termasuk pasar raksasa karena didukung oleh
pertumbuhan ekonomi yang bagus.
Tidak heran, jika bangsa Indonesia diramal pada tahun 2045
mampu menginjakkan kaki kekuasaan di tanah bangsa barat,
sehingga bangsa Indonesia menjadi bangsa adi daya yang disegani
di seluruh penjuru dunia. Bahkan, bangsa barat dapat ditaklukkan
dengan cara mudah oleh bangsa Indonesia, dan mengakibatkan
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 4
bangsa barat tunduk pada kekuasaan bangsa Indonesia. Di situlah
awal bangsa barat berdiri di bawah bendera bangsa Indonesia.
Ramalan bangsa barat di bawah bendera Indonesia
merupakan suatu ramalan yang sungguh menakjubkan. Apabila itu
benar-benar terjadi di tahun 2045, berarti terdapat pergeseran
kekuasaan di dunia yang dahulu kala ada di pusaran bangsa barat
ternyata mengalami perubahan pusat kekuasaan dan beralih
menuju bangsa Indonesia sebagai bangsa berkuasa di dunia.
Kemajuan pada tahun 2045 juga diprediksi yang dibuat oleh
Goldman Sach, Standard Chartered Bank dan Komite Ekonomi
Nasional. Pada tahun 2045 Indonesia diprediksikan masuk dalam
urutan ke-7/ke-8 dunia dengan PDB-US$ 16,6 Trilyun dan
pendapatan per kapita sebesar US $ 46.900. Begitu juga pada
tanggal 5 November 2008, Marwah Daud Ibrahim, ketua Umum
DPP PMDN (Perhimpunan Masyarakat Desa Nusantara) dan Pendiri
MHMMD (Mengelola Hidup & Merencanakan Masa Depan)
meluncuran Program Nusantara Jaya 2045. Dalam master plan
Nusantara Jaya 2045, Marwah Daud Ibrahim menawarkan empat
langkah untuk mencapai mimpi tersebut, yakni (1) define, artinya
kita harus mengetahui apa yang kita inginkan ke depan, (2)
discover, artinya kita mengetahui apa yang kita mau maka kita
harus menemukan potensi apa yang dimiliki bangsa ini, (3)
design, artinya menetapkan rencana-rencana pencapaian dari
langkah define untuk selanjutnya dilaksanakan, dan (4)
destiny, artinya kita menyerahkan semuanya kepada takdir Tuhan.
Sebelum Marwah Daud Ibrahim, gagasan ekstrim pernah
disampaikan oleh Romo Mangunwijaya tentang Indonesia 2045.
“Bila kita ingin kesatuan dan persatuan dalam arti yang benar dan
damai sejati tanpa represi besi, maka Republik Indonesia Serikat
untuk abad ke-21 sudah menjadi keharusan situasional
kondisional.” Ia membuat ancer-ancer simbolis. Bentuk Negara
serikat itu akan tercapai tahun 2045 atau 100 tahun setelah
kemerdekaan Indonesia. Lebih lanjut, dalam salah satu refleksi
kritisnya tentang masa depan bangsa Mangunwijaya menuliskan
ihwal tahun-tahun simbolis yang musti diperhatikan generasi muda
Indonesia dewasa ini, yaitu 2008, 2028, dan 2045 (dalam
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 5
Sindhunata 1999: 7). Ia merepresentasi-kan simbol tahun-tahun
tersebut bukan sebuah omong kosong. Karena bagi yang sadar
sejarah, simbol angka tersebut, khususnya 2028 dan 2045, adalah
titik pijakan—atau embrio gerakan kebangkitan nasional—bagi
bangsa Indonesia sehingga bisa terbebas dari “ketakutan-
ketakutan” akibat penjajahan. Setidaknya, dua tahun itu (1928 dan
1945) telah melahirkan spirit Indonesia baru yang gemilang.
Untuk mencapai kemajuan Indonesia tahun 2045 perlu
perubahan pola pikir ke konsep pembangunan berkelanjutan.
Artinya, pembangunan yang berbasis efisiensi penggunaan sumber
daya, pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, dengan
memasukkan biaya lingkungan dan sosial. Inilah paradigma baru
yang seharusnya bisa mengubah drastis proses pembangunan
sekaligus menuntut perubahan gaya hidup. Meski demikian,
implementasinya jelas membutuhkan kreativitas, pengetahuan,
dan kesertaan masyarakat.
Saat ini hingga 2045 Indonesia akan dikaruniai potensi
sumber daya manusia berupa populasi usia produktif terbesar
sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia. Potensi sumber daya
manusia tersebut harus dikelola dengan baik agar berkualitas
sehingga menjadi bonus demografi. Namun sebaliknya, kalau tidak
berhasil mengelolanya, justru hal itu akan menjadi bencana
demografi. Di sinilah peran penting dunia pendidikan dalam
mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Hal itu
dipertegas bahwa koefisien korelasi pendidikan terhadap indeks
pembangunan manusia (IPM) secara keseluruhan adalah 0.99.
Artinya, hampir bisa dipastikan bahwa pendidikan memiliki
kontribusi terhadap peningkatan indeks kesehatan dan indeks
kesejahteraan (pendapatan per kapita). Jadi, satu abad
kemerdekaan (tahun 2045) adalah momentum yang harus
dijadikan sebagai periode investasi besar-besaran di bidang
sumber daya manusia. Untuk itu, usaha investasi dalam
pengembangan sumber daya manusia dalam membangun sumber
daya manusia Indonesia.
Pendidikan memang merupakan sistem rekayasa sosial
terbaik untuk meningkatkan modal pengetahuan sebagai modal
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 6
utama dalam meningkatkan kesejahteraan, mencerdaskan bangsa,
serta meningkatkan harkat dan martabat sekaligus untuk
membangun peradaban yang unggul. Dengan perannya yang
sangat penting itu, pembukaan akses seluas-luasnya bagi seluruh
masyarakat sangat diperlukan, mulai dari jenjang pendidikan anak
usia dini sampai pendidikan tinggi. Segala macam hambatan
terhadap akses tersebut, mulai hambatan sosial ekonomi, budaya,
atau kewilayahan, harus dikurangi atau dihilangkan.
Pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan
telah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi hambatan
tersebut, antara lain, bantuan operasional untuk PAUD, sekolah,
dan perguruan tinggi negeri (BOP, BOS, dan BOPTN), bantuan
siswa miskin, bidik misi, pendirian sekolah atau perguruan tinggi di
daerah khusus, dan tahun 2013 dirancang pendidikan menengah
universal (PMU). PMU tersebut diharapkan dapat mempercepat
capaian angka partisipasi kasar (APK) sekolah menengah 97%
pada tahun 2020. APK tanpa program PMU tersebut baru akan
dicapai tahun 2040.
Dengan berbagai kebijakan tersebut serta partisipasi
masyarakat yang sangat tinggi, akses ke dunia pendidikan makin
luas dirasakan masyarakat Indonesia. Biarpun demikian, perluasan
akses tersebut harus disertai dengan peningkatan kualitas melalui
pemenuhan dan peningkatan delapan standar nasional
pendidikan.Untuk itu, seluruh insan pendidikan, pemerintah
daerah, organisasi yang bergerak di dunia pendidikan untuk
bersama-sama dan terus-menerus meningkatkan kualitas
pendidikan.
Sejalan dengan peningkatan kualitas tersebut, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh dalam Naskah
Sambutan pada upacara peringatan HUT ke-67 RI menyatakan
bahwa satu hal yang mendesak untuk ditanamkan dan diperkuat
melalui dunia pendidikan dan kebudayaan, terutama melalui
penguatan kultur (budaya) sekolah dan kampus untuk
membangun karakter, yaitu (1) memperkuat tradisi akademik
melalui penguatan budaya nalar dan kejujuran; (2) menamkan
nilai patriotisme dan nasionalisme; (3) menumbuhkan sikap cinta
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 7
damai, toleransi, saling menghargai, dan menghormati; (4)
menanamkan nilai-nilai demokrasi; dan (5) membudayakan
kepatuhan terhadap pranata hukum. Dengan semakin luasnya
akses dan tingginya kualitas pendidikan realitas kemajuan bangsa
Indonesia pada tahun 2045 tidak akan hanya ramalan ataupun
prediksi.
PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER
Karakter dimaknai sebagai temparemen, yang
perdefinisianya menekankan pada unsur psikososial yang dikaitkan
dengan pendidikan dan konteks lingkungan (Koesoema 2007: 79).
Karakter juga bisa dipahami dalam sudut pandang behavioral yang
menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir.
Karakter sejatinya dapat didekati dari perspektif psikologis atau
kejiwaan. Hal ini berkaitan langsung dengan aspek kepribadian,
akhlak atau budi pekerti, tabiat, watak, atau sifat kualitas yang
membedakan seseorang dengan yang lain atau kekhasan yang
dapat menjadikan seseorang terpercaya dalam kehidupan bersama
orang lain. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau
sekelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas
moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan
(Kemko Kesra 2010: 7).
Menurut Hill (2005), “character determines someone’s
private thoughts and someone’s actions done. Good character is
the inward motivation to dowhat is right, according to the highest
standard of behaviour in every situation ”. Karakter menentukan
pikiran-pikiran dan tindakan seseorang. Karakter yang baik adalah
adanya motivasi intrinsic untuk melakukan apa yang baik sesuai
dengan standar perilaku yang paling tinggi di setiap situasi.
Dalam kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa
tahun 2010, karakter diartikan sebagai nilai-nilai yang khas baik
(tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan baik,
dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam
diri dan terejawantahkan dalam perilaku (Kemko Kesra, 2010: 7).
Karakter memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta
olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Karakter
bangsa adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 8
baik yang tercermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa,
serta olahraga seseorang atau sekelompok orang. Bagi bangsa
Indonesia, karakter yang dibangun didasarkan pada falsafah
Pancasila, norma UUD 1945, prinsip Bhinneka Tunggal Ika, dan
komitmen terhadap NKRI.
Karakter berkaitan dengan keseluruhan performance
seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Oleh
karenanya, dalam karakter terkandung unsur moral, sikap, dan
perilaku. Seseorang dikatakan berkarakter baik atau buruk, tidak
cukup hanya dicermati dari ucapannya. Melalui sikap dan
perbuatan riil yang mencerminkan nilai-nilai karakter tertentu,
maka karakter seseorang akan dapat diketahui. Karakter akan
terbentuk melalui kebiasaan. Seperti diungkap Cronbach (1977:
57):
“Character is not accumulation of separate habits and ideas.
Character is an aspect of the personality. Beliefs, feelings, and
action are linked; to change character is to reorganize the
personality.tiny lessons on principles of good conduct will not
be effective if they cannot be integrated with the persons’s
system of beliefs about himself, about others, and about the
good community”.
Karakter sebagaimana dipahami Cronbach, bukan akumulasi
yang memisahkan kebiasaan dan gagasan. Karakter adalah aspek
kepribadian. Keyakinan, perasaan, dan tindakan sesungguhnya
saling berkaitan, sehingga mengubah karakter sama halnya
dengan melakukan reorganisasi terhadap kepribadian.
Berbeda dengan Cronbach, Lickona (1992:37) memahami
karakter dalam tiga hal yang saling terkait, yaitu moralknowing,
moralfeeling, dan moralaction. Berdasarkan ketiga aspek tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berkarakter baik
adalah yang mengetahui hal yang baik ( moral knowing), memiliki
keinginan terhadap hal baik (moralfeeling), dan melakukan hal
baik (moral action). Ketiga komponen tersebut akan mengarahkan
seseorang memiliki kebiasaan berpikir, kebiasaan hati, dan
kebiasaan bertindak, baik yang ditujukan kepada Tuhan YME, diri

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 9


sendiri, sesama, lingkungan, dan bangsa. Visualisasi dari kerangka
pemikiran Lickona dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

TUH
TUH
AN
AN
Nilai-
Nilai- YY M Nil
M
Nilai
Nilai EEMM ai-
oo Nil
DIRI
DIRI rr ai SES
SES
SEN
SEN aa AM
AM
DIRI
DIRI CHAR ll AA
ACTEKK
Nila
Nila M nn
R Nil
Nil
M Mo
Mo
i-i- oo oo ai-
ai-
ral
ral
Nila
Nila rr ww Nil
Nil
Fe
Fe
ii al ii ai
ai
al eli
eli
KEBAN
KEBAN AA nn LING
LING
ng
ng
GSAAN
GSAAN ct gg KUN
KUN
ct Nilai-
io Nilai- GAN
GAN
io Nilai
nn Nilai
Bangsa yang kuat tidak hanya dilihat dari seberapa banyak
jumlah personil militernya, seberapa banyak kapal perang dan
pesawat tempur yang dipunyai.Demikian pula tidak dilihat,
seberapa kaya sumber daya alamnya, yang dilihat terutama adalah
watak, karakter, atau moral nasionalnya, sebab sebagaimana
dikemukakan Morgenthau (1991), karakter nasional sangat
menentukan kekuatan nasional. Karakter nasional atau karakter
bangsa menurut De Vos (1968) adalah the enduring personality
characteristics and unique life style found among the population of
particular national states. Karakter bangsa sebagaimana
dikemukakan De Vos menunjukkan ciri-ciri kepribadian yang tetap
dan gaya hidup yang unik yang ditemui pada penduduk negara
bangsa tertentu.
Secara individual, boleh jadi karakter bersifat hereditas atau
bawaan, namun tidak demikian halnya dengan karakter
nasional.Karakter nasional tidak bersifat hereditas atau bawaan.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 10
Karakter nasional akan kuat jika karakter individu warga negara
juga kuat (Koellhoffer 2009). Sebagai komponen penting yang
menentukan kekuatan nasional, karakter nasional atau bangsa
harus dididikkan kepada generasi muda.Mengapa generasi muda?
Merekalah pemilik masa depan bangsa ini. Mereka tidak
mengalami langsung pahit getirnya para pendiri bangsa
mengembangkan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi bagi
berdirinya bangsa Indonesia.Tanpa ada upaya internalisasi dan
sosialisasi nilai-nilai luhur atau karakter, dikhawatirkan para
generasi muda tidak memiliki landasan yang kokoh dalam
membangun negeri ini.Untuk itu, mereka perlu diberi pendidikan
karakter.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah kegiatan baru, karena
melewati perjalanan waktu, pendidikan karakter telah dilakukan
manusia dengan berbagai cara dan bentuknya. Pada dasarnya
makna pendidikan itu sendiri adalah kegiatan yang dilakukan oleh
manusia untuk mencapai tujuan membantu pembelajar mencapai
kecerdasan dan kearifan, sehingga mereka menjadi seorang
manusia yang cerdas dan berkarakter. Dalam kaitan dengan
pendidikan karakter, istilah pendidikan itu dimaknai sebagai proses
yang berakumulasi pada kepemilikan pemahaman, sikap, dan
tindakan baik atau berkarakter. Pendidikan adalah proses yang
berawal dari membangun kesadaran, menumbuhkan kepekaan,
niat, wawasan, pengetahuan, keyakinan, sikap, dan pembentukan
kebiasaan baik. Dengan demikian, konsep yang harus diterapkan
dalam pendidikan karakter ialah (1) karakter tidak diajarkan, tetapi
dibiasakan, sebagai contoh kita dapat menggunakan langkah
melalui empat koridor pendidikan karakter, yaitu menginternalisasi
nilai, memilih nilai-nilai yang baik, membiasakan diri, dan menjadi
teladan; (2) mendidik karakter harus menyertakan seluruh
komponen yang terkait dengan mahasiswa secara bersama-sama;
(3) dalam proses pendidikan harus diperhatikan suasana belajar,
proses belajar, bahan ajar, dan evaluasi belajar; dan (4)
pendidikan karakter adalah kegiatan never ending process.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 11


EKSPEKTASI MODEL PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk
memanusiakan manusia. Melalui pendidikan generasi bangsa dapat
dipersiapkan dengan baik menjadi manusia-manusia berkarakter
untuk menjaga dan melakukan perubahan bagi pembangunan
peradaban yang lebih baik. Transformasi budaya tersebut perlu
dilakukan secara terencana dan akuntabel. Lebih-lebih warga
sekolah/perguruan tinggi merupakan garda depan dalam setiap
perubahan sebuah bangsa. Karena itu, dari lembaga pendidikanlah
diharapkan lahir pribadi-pribadi unggul yang siap terjun untuk
melakukan perubahan dengan membangun masyarakat secara
nyata. Keterbentukan pribadi unggul mensyaratkan pembangunan
karakter. Dalam hubungan ini, Dodi Nandika (dalam Fathur
Rokhman dan Amin Yusuf (Ed). 2008) menyatakan bahwa di balik
sebuah lembaga pendidikan, ada mandat untuk berbudaya luhur
ber-akhaqul karimah. Misi yang paling dalam bagi seorang
guru/dosen bukan mengajar, melainkan menghimpun,
memelihara, dan mentransfer nilai-nilai dan budaya. Misi ini baru
dilakukan oleh sebagian sekolah/perguruan tinggi. Namun jika
yang lebih banyak dilakukan hanya mentransfer pengetahuan,
namanya bukan lagi lembaga pendidikan melainkan lembaga
pengajaran.
Sebenarnya cikal bakal pendidikan adalah ketika
menghimpun proses berpikir dengan akhlak mulia. Profil
guru/dosen adalah pribadi yang santun, ikhlas, dan penuh kasih
dalam melayani peserta didik. Begitu juga peserta didik, meraka
juga merupakan pribadi yang santun, kritis, dan juga cerdas. Tidak
ketinggalan pegawai-pegawainya juga demikian. Itulah sebenarnya
misi sebuah sekolah/perguruan tinggi. Karena itu, tepat kiranya
jika diupayakan pemulihan kembali nilai-nilai yang telah diajarkan
oleh para pendiri bangsa, sekaligus dimulainya kembali agenda
berkelanjutan untuk menyelenggarakan lembaga pendidikan
dengan menekankan pada pendidikan karakter sebagai usaha
membangun karakter bangsa (nation character building).
Agar pendidikan karakter memenuhi arah dan harapan
bangsa Indonesia, Character Education Quality Standards (dalam
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 12
Husen, Japar, dan Kardiman, 2010: 29-30) merekomendasikan 11
prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif
sebagai berikut.
1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
2. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya
mencakup pemikiran, perasaan dan perilaku.
3. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif
untuk membangun karakter.
4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
5. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan
perilaku yang baik.
6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan
menantang yang menghargai semua siswa, membangun
karakter mereka dan membantu mereka untuk sukses.
7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para siswa.
8. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral
yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan
setia kepada nilai dasar yang sama.
9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas
dalam membangun inisiatif pendidikan karakter.
10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai
mitra dalam usaha membangun karakter.
11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai
guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam
kehidupan siswa.
Sementara itu, Pusat kurikulum Badan Penelitian dan
pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 11-14)
dan Ditnaga Dikti Kemdikbud (2010: 11-14) lebih ringkas
menyatakan bahwa ada empat prinsip yang digunakan dalam
pengembangan pendidikan karakter. Keempat prinsip tersebut
diuraikan sebagai berikut.
1. Berkelanjutan mengandung makna bahwa proses
pengembangan nilai-nilai karakter merupakan sebuah proses
panjang dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai
dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses tersebut
dimulai dari TK/RA berlanjut ke kelas satu SD/MI atau tahun
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 13
pertama dan berlangsung paling tidak sampai kelas 9 atau
kelas terakhir SMP/MTs. Pendidikan karakter di SMA/MA atau
SMK/MAK adalah kelanjutan dari proses yang telah terjadi
selama 9 tahun. Sedangkan pendidikan karakter di Perguruan
Tinggi merupakan penguatan dan pemantapan pendidikan
karakter yang telah diperoleh di SMA/MA, SMK/MAK.
2. Melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri,
dan budaya satuan pendidikan mensyaratkan bahwa
proses pengembangan karakter dilakukan melalui setiap mata
pelajaran, dan dalam setiap kegiatan kurikuler, ekstra kurikuler
dan kokurikuler. Pengembangan nilai-nilai tersebut melalui
keempat jalur pengembangan karakter melalui berbagai mata
pelajaran yang telah ditetapkan dalam standar Isi.
3. Nilai tidak diajarkan tapi dikembangkan melalui proses
belajar (value is neither cought nor taught, it is learned)
(Hermann, 1972) mengandung makna bahwa materi nilai-nilai
karakter bukanlah bahan ajar biasa. Tidak semata-mata dapat
ditangkap sendiri atau diajarkan, tetapi lebih jauh
diinternalisasi melalui proses belajar. Artinya, nilai-nilai
tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan
seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori,
prosedur, atau pun fakta seperti dalam mata kuliah atau
pelajaran agama, bahasa Indonesia, sejarah, matematika,
pendidikan jasmani dan kesehatan, seni, ketrampilan, dan
sebagainya. Materi pelajaran biasa digunakan sebagai bahan
atau media untuk mengembangkan nilai-nilai karakter peserta
didik. Oleh karena itu pendidik tidak perlu mengubah pokok
bahasan yang sudah ada tetapi menggunakan materi pokok
bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai karakter. Juga,
pendidik tidak harus mengembangkan proses belajar khusus
untuk mengembangkan nilai. Suatu hal yang selalu harus
diingat bahwa satu aktivitas belajar dapat digunakan untuk
mengembangkan kemampuan dalam ranah kognitif, afektif,
konatif, dan psikomotor. Konsekuensi dari prinsip ini nilai-nilai
karakter tidak ditanyakan dalam ulangan ataupun ujian.
Walaupun demikian, peserta didik perlu mengetahui
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 14
pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan
pada diri peserta didik. Peserta didik tidak boleh berada dalam
posisi tidak tahu dan tidak paham makna nilai tersebut.
4. Proses pendidikan dilakukan peserta didik secara aktif
dan menyenangkan. Prinsip ini menyatakan bahwa proses
pendidikan karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh
pendidik. Pendidik menerapkan prinsip ‖tut wuri handayani‖
dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip
ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam
suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak
indoktrinatif. Diawali dengan perkenalan terhadap pengertian
nilai yang dikembangkan maka pendidik menuntun peserta
didik agar secara aktif (tanpa mengatakan kepada peserta
didik bahwa mereka harus aktif tapi pendidik merencanakan
kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif
merumuskan pertanyaan, mencari sumber informasi dan
mengumpulkan informasi dari sumber, mengolah informasi
yang sudah dimiliki, merekonstruksi data/fakta/nilai,
menyajikan hasil rekonstruksi/proses pengembangan nilai)
menumbuhkan nilai-nilai karakter pada diri peserta didik
melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, satuan
pendidikan, dan tugas-tugas di luar satuan pendidikan.
Keberhasilan dalam menyelenggarakan dan menanamkan
nilai-nilai kehidupan melalui pendidikan karakter dapat pula
dipengaruhi oleh cara atau pendekatan yang dipergunakan dalam
menyampaikan. Menurut Suparno, Paul, Moerti, Titisari, Kartono
(2002: 42-44), ada empat model pendekatan penyampaian
pendidikan karakter. Uraian keempat model pendidikan karakter
tersebut dipaparkan sebagai berikut.
1. Model sebagai Mata Pelajaran Tersendiri (monolitik)
Dalam model pendekatan ini, pendidikan karakter
dianggap sebagai mata pelajaran tersendiri. Karena itu, pendidikan
karakter memiliki kedudukan yang sama dan diperlakukan sama
seperti pelajaran atau bidang studi lain. Dalam hal ini, guru bidang
studi pendidikan karakter harus mempersiapkan dan
mengembangkan kurikulum, mengembangkan silabus, membuat
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 15
Rancangan Proses Pembelajaran (RPP), metodologi pembelajaran,
dan evaluasi pembelajaran. Konsekuensinya pendidikan karakter
harus dirancangkan dalam jadwal pelajaran secara terstruktur.
Kelebihan dari pendekatan ini antara lain materi yang disampaikan
menjadi lebih terencana matang/terfokus, materi yang telah
disampaikan lebih terukur. Sementara kelemahan pendekatan ini
adalah sangat tergantung pada tuntutan kurikulum, kemudian
penanaman nilai-nilai tersebut seolah-olah hanya menjadi
tanggung jawab satu orang guru semata, demikian pula dampak
yang muncul pendidikan karakter hanya menyentuh aspek kognitif,
tidak menyentuh internalisasi nilai tersebut.
2. Model Terintegrasi dalam Semua Bidang Studi
Pendekatan yang kedua dalam menyampaikan pendidikan
karakter adalah disampaikan secara terintegrasi dalam setiap
bidang pelajaran, dan oleh karena itu menjadi tanggung jawab
semua pendidik (Washington, Clark, and Dixon 2008). Dalam
konteks ini setiap pendidik dapat memilih materi pendidikan
karakter yang sesuai dengan tema atau pokok bahasan bidang
studi. Melalui model terintegrasi ini maka setiap guru adalah
pengajar pendidikan karakter tanpa kecuali.
Keunggulan model terintegrasi pada setiap bidang studi
antara lain setiap pendidik ikut bertanggung jawab akan
penanaman nilai-nilai hidup kepada semua siswa, di samping itu
pemahaman akan nilai-nilai pendidikan karakter cenderung tidak
bersifat informatif-kognitif, melainkan bersifat aplikatif sesuai
dengan konteks pada setiap bidang studi. Dampaknya siswa akan
lebih terbiasa dengan nilai-nilai yang sudah diterapkan dalam
berbagai seting.
Sisi kelemahannya adalah pemahaman dan persepsi
tentang nilai yang akan ditanamkan harus jelas dan sama bagi
semua guru. Namun, menjamin kesamaan bagi setiap guru adalah
hal yang tidak mudah, hal ini mengingat latar belakang setiap guru
yang berbeda-beda. Di samping itu, jika terjadi perbedaan
penafsiran nilai-nilai di antara guru sendiri akan menjadikan siswa
justru bingung.
3. Model di Luar Pengajaran
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 16
Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter dapat juga
ditanamkan di luar kegiatan pembelajaran formal. Pendekatan ini
lebih mengutamakan pengolahan dan penanaman nilai melalui
suatu kegiatan untuk dibahas dan kemudian dibahas nilai-nilai
hidupnya. Model kegiatan demikian dapat dilaksanakan oleh
pendidik yang diberi tugas tersebut atau dipercayakan kepada
lembaga lain untuk melaksanakannya. Kelebihan pendekatan ini
adalah peserta didik akan mendapatkan pengalaman secara
langsung dan konkrit. Kelemahannya adalah tidak ada dalam
struktur yang tetap dalam kerangka pendidikan dan pengajaran di
sekolah, sehingga akan membutuhkan waktu yang lebih lama dan
biaya yang lebih banyak.
4. Model Gabungan (Integratif)
Model gabungan adalah menggabungkan antara model
terintegrasi dan model di luar pelajaran secara bersama. Model ini
dapat dilaksanakan dalam kerja sama dengan tim baik oleh
pendidik maupun dalam kerja sama dengan pihak luar sekolah.
Kelebihan model ini adalah semua pendidik terlibat, di samping itu
guru dapat belajar dari pihak luar untuk mengembangkan diri dan
peserta didik. Peserta didik menerima informasi tentang nilai-nilai
sekaligus juga diperkuat dengan pengalaman melalui
kegiatankegiatan yang terencana dengan baik. Mengingat
pendidikan karakter merupakan salah satu fungsi dari pendidikan
nasional, maka sepatutnya pendidikan karakter ada pada setiap
materi pelajaran. Karena itu, pendekatan secara terintegrasi
merupakan pendekatan minimal yang harus dilaksanakan semua
tenaga pendidik sesuai dengan konteks tugas masing-masing di
tingkat satuan pendidikan. Namun, bukan berati bahwa
pendekatan yang paling sesuai adalah dengan model integratif.
Pendekatan gabungan tentu akan lebih baik lagi karena peserta
didik bukan hanya mendapatkan informasi semata melainkan juga
peserta didik menggali nilai-nilai pendidikan karakter melalui
kegiatan secara kontekstual sehingga penghayatan siswa lebih
mendalam dan tentu saja lebih menggembirakan peserta didik.
Dari perspektif ini maka konselor satuan pendidikan dituntut untuk
dapat menyampaikan informasi serta mengajak dan memberikan
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 17
penghayatan secara langsung tentang berbagai informasi nilai-nilai
karakter.
Dari keempat model pendekatan pendidikan karakter
tersebut yang paling ideal adalah model gabungan yaitu
pendidikan karater terintegrasi ke dalam mata pelajaran maupun di
luar pelajaran. Dengan kata lain, secara prinsipil pengembangan
karakter tidak hanya dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi
terintegrasi kedalam mata pelajaran, pengembangan diri dan
budaya satuan pendidikan. Karena itu, pendidik dan satuan
pendidikan perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang dikembangkan
dalam pendidikan karakter ke dalam kurikulum, silabus yang sudah
ada. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pengembangan
pendidikan karakter mengusahakan agar peserta didik mengenal
dan menerima nilai-nilai karakter sebagai milik peserta didik dan
bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui
tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian,
dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan
diri. Dengan prinsip ini peserta didik belajar melalui proses
berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan
untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam
melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk
melihat diri sendiri sebagai makhluk sosial.
PENUTUP
Visi Indonesia pada tahun 2045 menjadi negara maju dan
adi daya merupakan suatu tekad yang perlu mendapat dukungan.
Meski kondisi saat ini belum menguntungkan, setidaknya ada
harapan bagi generasi penerus jika para generasi penerusnya
dikembangkan dan ditingkatkan. Pemberian akses pendidikan dan
peningkatan kualitas pendidikan menjadi penentu dalam melihat
sumber daya manusia di masa yang akan datang. Sehubungan
dengan hal tersebut satu hal yang mendesak untuk ditanamkan
dan diperkuat melalui dunia pendidikan dan kebudayaan, terutama
melalui penguatan kultur (budaya) sekolah dan kampus untuk
membangun karakter, yaitu (1) memperkuat tradisi akademik
melalui penguatan budaya nalar dan kejujuran; (2) menamkan
nilai patriotisme dan nasionalisme; (3) menumbuhkan sikap cinta
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 18
damai, toleransi, saling menghargai, dan menghormati; (4)
menanamkan nilai-nilai demokrasi; dan (5) membudayakan
kepatuhan terhadap pranata hukum. Dengan semakin luasnya
akses dan tingginya kualitas pendidikan, realitas kemajuan bangsa
Indonesia pada tahun 2045 tidak akan hanya ramalan ataupun
prediksi. Model pelaksanaan pendidikan karakter yang paling ideal
adalah model pendidikan integratif (gabungan). Artinya,
pendidikan karater terintegrasi ke dalam mata pelajaran maupun di
luar pelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Capra, Fritjof. 2002. Titik Balik Peradaban . Terjemahan M. Thoyibi.
Yogyakarta: Bentang Budaya.
Cronbach, Lee J. 1977. Educational Psychology 3rd edition. New
York: Harcourt Brace Jovanovich Inc.
DeVos, George A. 1968. “National Character”. In Sills David L
(ed).International Encyclopedia of the Social Sciences. New
York: Macmillan Company and the Free Press.
Direktorat Ketenagaan Dikti Kemdiknas. 2010. Kerangka Acuan
Pendidikan Karakter tahun anggaran 2010. Jakarta:
Direktorat Ketenagaan Dikti Kemdiknas.
Husen, Achmad, Muhammad Japar, Yuyus Kardiman. 2010. Model
Pendidikan Karakter Bangsa: Sebuah Pendekatan
Pembelajaran Monolitik di Universitas Negeri Jakarta .
Universitas Negeri Jakarta.
Kemko Kesra RI. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter
Bangsa. Jakarta.
Koellhoffer, Tara Tomczyk. 2009. Character Education Being Fair
and Honest. New York: Infobase Publishing.
Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik
Anak di Zaman Global. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Kusmin. 2010. “Mengikis Krisis Karakter Bangsa”. Dalam Koran
Sore Wawasan Sabtu Pon 11 Desember 2010 halaman 4.
Lickona, Thomas. 2003. My Thought About Character . Ithaca and
London: Cornell University Press.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 19
Morgenthau, Hans J. 1991. Politik Antar Bangsa Edisi Revisi Buku
Pertama. Terjemahan A.M. Fatwan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Naskah Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia dalam
Rangka HUT KE-67 Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia di Depan Sidang Bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia. Jakarta, 16 Agustus 2012
Naskah Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada
Upacara Peringatan HUT ke-67 RI Jumat 17 Agustus 2012
Puskur Balitbang Kemdiknas. 2010. “Pengembangan Pendidikan
Budaya dan Karakter”. Dalam Bahan Pelatihan Penguatan
Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya
untuk Membentuk Daya Saing Dan Kaarakter Bangsa .
Jakarta: Puskur Balitbang Kemdiknas
Puskur Balitbang Kemdiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah . Jakarta:
Puskur Balitbang Kemdiknas.
Rokhman, Fathur dan Amin Yusuf (Ed.). 2010. Dari Unnes untuk
Bangsa. Semarang: Unnes Press.
Suparno, Paul, Moerti Yoedho K., Detty Titisari, St. Kartono. 2002.
Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
Sindhunata. 1999. Menjadi Generasi Pasca-Indonesia, Kegelisahan
Y.B. Mangunwijaya. Yogyakarta: Kanisius.
Washington, E. Y., Clark, M.A. and Dixon, A.L. 2008. “Everyone in
School Should Be Involved” Preservice Counselors’
Perceptions of Democracy and the Connections Between
Character Education and Democratic Citizenship Education”.
Journal of Research in Character Education, 6(2), pp. 63–80.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 20


INTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA
Prof. Dr. Hardi Suyitno, M.Pd.
FMIPA Universitas Negeri Semarang

Pengantar
Artikel ini ditulis untuk dihaturkan dengan hormat kepada senior
saya Prof. Dr. Ari Tri Soegito, SH, MM. Beliau adalah pribadi yang
sabar, santun, ramah, lapang dada, dan berjiwa besar. Sebagai
bawahan ketika beliau menjabat sebagai PR I dan Rektor, saya
belum pernah melihat beliau marah atau cemberut. Beliau lebih
banyak memperlihatkan senyuman khas yang melengkapi wajah
gantengnya. Salah satu kebiasaan beliau yang sulit saya tirukan
adalah “makan tidak tanduk”. Mungkin inilah salah satu sebab
beliau ditakdirkan “tidak pernah tidak menduduki jabatan
struktural”. Selamat ulang tahun bapak, semoga selalu dimulyakan
Allah SWT di dunia dan akhirat, tetap sehat, dan semakin berguna
bagi sesamanya, khususnya di bidang pendidikan. Aamiin YRA.

1. Pendahuluan
Kemajemukan Bangsa Indonesia ditandai oleh keanekaragaman
suku, budaya, agama, dan berbagai aspek sosial politik lainnya.
Kemajemukan itu ditunjang oleh kondisi geografi Indonesia yang
berupa kepulauan terbesar di dunia sehingga penduduknya
tersebar di kawasan yang luas dan terpisah oleh laut. Sisi
negatifnya ialah memperbesar potensi konflik di antara sesama
anak bangsa. Fakta menunjukkan bahwa banyak terjadi
kerusuhan, kekerasan, tawuran, dan sebagainya. Ada indikasi akan
banyak terjadi konflik horizontal di kalangan masyarakat
Indonesia.
Lemahnya kesadaran masyarakat akan kesatuan kebangsaan dan
memudarnya wawasan kebangsaan ditunjukkan oleh gejala
perpecahan di berbagai organisasi, keinginan merdeka dari
sebagian wilayah, kekurangtaatan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat, dan sebagainya. Apabila kondisi ini dibiarkan
berlarut-larut maka akan terjadi dis-orientasi dan perpecahan

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 21


bangsa, yang pada gilirannya akan mengancam keutuhan NKRI.
Hal ini bertentangan dengan tekad para perintis kemerdekaan
yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda yang salah satunya
adalah “KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE
BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA”
Mulai 2013, secara bertahap, Pemerintah Indonesia
memberlakukan Kurikulum 2013. Pengembangan Kurikulum 2013
memperhatikan peningkatan dan keseimbangan soft skills dan
hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan,
dan pengetahuan. Kurikulum 2013 memberi arahan agar kurikulum
dapat menjadi media untuk internalisasi nilai-nilai pembentuk
karakter dan peningkatan kerekatan bangsa. Nilai-nilai yang
sudah teridentifikasi antara lain adalah religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Semua kegiatan
kurikuler harus dapat menjadi media internalisasi nilai-nilai
pembentuk karakter bangsa ( nation and character building ).
Pentingnya karakter tercermin dalam pernyataan “knowledge is
power, but character is more”.
Pembentukan karakter bangsa merupakan bagian dari pendidikan
karakter. Salah satu prinsip pengembangan pendidikan karakter
adalah melalui semua mata pelajaran, pengembangan diri, dan
budaya sekolah (Koesuma, 2007). Matematika merupakan mata
pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan.
Matematika juga dapat dimanfaatkan sebagai faktor kerekatan
bangsa (Hardi Suyitno, 2012). Dengan demikian, matematika juga
memikul tanggungjawab terhadap keberhasilan pembentukan
karakter bangsa. Pada umumnya, orang berpendapat bahwa
pembelajaran matematika berguna untuk penumbuhan
kemampuan berpikir kritis, sistematis, dan logis, tetapi jarang yang
berpendapat bahwa matematika juga dapat menjadi faktor perekat
bangsa. Masalahnya adalah mungkinkah mengintegrasikan nilai-
nilai karakter bangsa dalam pembelajaran matematika dan

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 22


bagaimana menjadikan pembelajaran matematika menarik dan
relevan bagi pembentukan karakter bangsa.

2. Kebangsaan
Kata “nation” dalam bahasa Latin berarti “lahir”. Padanan
kata tersebut dalam bahasa Indonesia ialah “bangsa”. Pengertian
bangsa memiliki unsur wilayah, kelompok, dan tujuan. Bangsa
merupakan sekelompok manusia yang memiliki identitas bersama
antara lain bahasa, wilayah, budaya, ideologi, dan sebagainya
kelompok manusia tersebut. Bangsa Indonesia terbentuk oleh
berbagai unsur seperti suku, adat-adat istiadat (seni dan budaya),
agama, dan wilayah yang luas tetapi terpisah-pisah. Nasionalisme
Bangsa Indonesia terbentuk oleh unsur-unsur kesatuan sejarah,
kesatuan nasib, kesatuan wilayah, kesatuan budaya, dan kesatuan
azas kerokhanian. Kebangsaan tidak harus memiliki kesamaan asal
ras, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, atau hal-hal lain yang
sejenis (Bachtiar, 1987).
Kebangsaan memiliki tiga elemen, yaitu rasa kebangsaan, paham
kebangsaan, dan semangat kebangsaan (Moetodjib, 2010). Setiap
individu dalam suatu bangsa harus memiliki sikap loyal terhadap
usaha menjaga integritas dan identitas bangsanya. Individu yang
memiliki sikap seperti itu dikatakan memiliki rasa kebangsaan.
Sikap ini masuk dalam jiwa setiap anak bangsa dan terwujud
dalam semua perilakunya. Setiap individu dalam masyarakat
bangsanya memiliki tujuan bersama untuk masa depannya. Apa
dan bagaimana mewujudkan masa depan merupakan paham
kebangsaan. Bangsa Indonesia menerapkan paham kebangsaan
tergambar dalam Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara
memuat kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
pertahanan keamanan. Kata kunci Wawasan Nusantara adalah
“kesatuan”. Semangat kebangsaan merupakan sinergi dari rasa
kebangsaan dan paham kebangsaan. Cita-cita bangsa dan tujuan
nasional akan tercapai apabila bangsa yang bersangkutan memiliki
semangat kebangsaan.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 23


3. Pembentukan Karakter Bangsa
Ide awal berkenaan dengan pembentukan karakter
bangsa meliputi kemandirian (self-reliance), martabat international
(bargaining positions), persatuan nasional (national unity), dan
demokrasi (democracy) (Hadi, 2011). Penyelenggaraan negara
yang baik memerlukan kemandirian. Suatu bangsa akan memiliki
kemandirian apabila ia juga memiliki kecerdasan, kepandaian,
keahlian, keuletan dan ketangguhan. Bangsa yang bermartabat
internasional akan selalu menjaga dirinya untuk tidak kehilangan
kedaulatannya dan agar mendapatkan prestise, pengakuan, dan
kewibawaan dalam pergaulan internasional. Ia berani menentang
hegemoni suatu negara terhadap negara lain. Martabat merupakan
sikap yang mendasari “ nation and character building.” Cita-cita
nasional suatu bangsa akan terwujud apabila terbangun persatuan
nasional, sedangkan toleransi merupakan salah satu syarat perlu
bagi terwujudnya persatuan nasional. Dengan demikian, apabila
bangsa Indonesia ingin mewujudkan cita-citanya, maka toleransi
harus menjadi karakter bangsa.
Indonesia sebagai negara demokrasi membawa
konsekuensi bahwa setiap warga terlibat dalam proses politik dan
pengambilan keputusan dalam rangka untuk mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran. Tegaknya kontitusi membutuhkan
kesepakatan-kesepakatan yang meliputi tujuan dan cita-cita
bersama, aturan hukum, dan bentuk lembaga serta prosedur
ketatanegaran (Andrews 1968). Menurut (Assiddiqie, 2005),
kesepakatan mengenai tujuan dan cita-cita bersama ( the general
goal of society) memerlukan rumusan tentang cita-cita dan tujuan
(filsafat kenegaraan). Filsafat kenegaraan Republik Indonesia
adalah Pancasila. Pancasila harus diterima dan dianggap benar
oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian Pancasila.
memuat nilai-nilai yang harus menjadi karakter bangsa Indonesia.
Kesepakatan aturan hukum (the rule of law) sebagai dasar
penyelenggaraan negara (the basis of goverment) adalah
kesepakatan tentang aturan hukum dan konsitusi. Kesepakatan ini
digunakan sebagai pedoman untuk penyelenggaraan negara
berupa hukum dasar yang tertulis (Undang Undang Dasar 1945)
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 24
maupun yang tak tertulis. Kesepakatan tentang bentuk-bentuk
lembaga negara beserta prosedur ketatanegaraan (the form of
institution and the procedure) berkaitan dengan struktur organisasi
pemerintahan beserta pembagian kekuasaan, hubungan antara
lembaga negara, dan hubungan lembaga negara/pemerintahan
dengan warga negara. Nilai-nilai yang juga diharapkan dimiliki oleh
setiap anak bangsa antara lain religius, jujur, toleransi, disiplin,
kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, konsisten, taat azas, dan tanggung
jawab.

4. Nilai-nilai Matematika dan Pembelajarannya


Beberapa alasan mendasari pentingnya matematika diajarkan di
semua jenjang pendidikan sekolah, antara lain matematika sangat
berguna dalam kehidupan, matematika mendisiplinkan pikiran,
matematika itu indah, matematika membimbing manusia untuk
memahami pikiran Tuhan (Role, 1993). Matematika merupakan
hasil dari kegiatan manusia yang terorganisir, suatu konstruksi
sosial, suatu hasil budaya (Ernest, 1998). Matematika memiliki ciri
antara lain umum, objektif, rational, dan sangat terkait dengan
justifikasi (Ernest, 1991). Konsep epistemologis matematika adalah
self evidensi dan kebenaran yang tidak mutlak (Wittgenstein dalam
Hardi Suyitno, 2008). Matematika juga dapat dipandang sebagai
suatu permainan yang hanya taat kepada syarat formal yaitu
“konsistensi” (Kattsoff, 1949). Matematika merupakan kumpulan
dari tata permainan bahasa (language game) yang kebenaran,
kesalahan, dan bukti tergantung pada penerimaan atas aturan
kesepakatan bahasa (Wittgenstein dalam Hardi Suyitno, 2008).
Kesepakatan memiliki makna sangat penting dalam matematika,
dalam arti bahwa setiap orang yang belajar matematika harus juga
belajar mentaati kesepakatan. Menurut Gagne dalam Bell (1983),
aspek kognitif matematika yang utama adalah fakta, konsep,
aturan, dan skill. Sistem matematika harus taat dan konsisten
dengan definisi dan aksioma. Semua pernyataan matematika harus

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 25


taat kepada definisi dan aksioma, serta tidak boleh terjadi
pernyataan yang kontradiksi dengan keduanya. Keduanya
merupakan hasil kesepakatan sosial para matematika-wan.
Soedjadi (2007) menyimpulkan bahwa nilai-nilai yang terkandung
dalam matematika meliputi kesepakatan, kebebasan, konsisten,
kesemestaan, dan ketat. Dengan demikian, orang yang belajar
matematika akan memiliki karakter mentatati kesepakatan,
menghargai kebebasan, konsisten terhadap kebenaran yang
diyakini, menghargai konteks atau lingkungan, dan disiplin tinggi
dalam mengikuti suatu aturan atau prosedur. Nilai-nilai ini sangat
relevan dengan pembentukkan karakter bangsa.
Belajar matematika menuntut kemampuan berpikir logis, analitis,
sistematis, kritis, kreatif, dan inovatif serta menekankan pada
penguasaan konsep dan algoritma di samping pemecahan masalah
(BSNP, 2006). Nilai-nilai dalam pembelajaran matematika
merupakan sikap yang ditanamkan dalam pendidikan melalui
materi matematika di sekolah (Bishop,1999). Pendidikan
matematika memuat nilai accuracy, clarity, conjecturing, creativity,
consistency, effective, organization, efficient working, enjoyment,
flexibility, open mindedness, presistensce , dan sistematic working
(Seah dan Bishop dalam Dede, 2006). Nilai-nilai terkandung dalam
matematika maupun pembelajarannya dapat ditumbuhkan melalui
pelaksanaan proses belajar mengajar (Ontario Ministry of
Education, 1985). Pendidikan karakter yang diintegrasikan kedalam
pembelajaran matematika harus termuat dalam bahan ajar dan
dalam proses belajar mengajar. Suasana kelas, aturan dan
prosedur administratif, bahasa, dan model pembelajaran
melahirkan nilai-nilai (Roulet, 1995). Pendidikan karakter dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam matematika dan pendidikan
matematika harus diwujudkan dalam proses belajar mengajar dan
materi ajar matematika. Dengan demikian pembelajaran
matematika dapat dimanfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai
yang diarahkan kepada masalah-masalah sosial, moral, politik,
agama, kebangsaan, kenegaraan dan sebagainya.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 26


5. Relevansi Nilai-nilai Matematika dan Pendidikan
Karakter Bangsa
Kesepakatan adalah kata kunci untuk mewujudkan demokrasi
(Andrew, 1968), di lain pihak kesepakatan merupakan landasan
kebenaran matematika. Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai
taat azas dan sikap menghargai kesepakatan dapat diintegrasikan
dalam pembelajaran matematika. Pancasila adalah filsafat
kenegaraan Republik Indonesia yang dapat dipandang sebagai
suatu kesepakatan nasional yang harus diterima dan dianggap
benar oleh semua lapisan masyarakat. Apabila Pancasila
diintegrasikan dalam pembelajaran matematika sedemikian rupa
sehingga kedudukannya diletakkan setara dengan aksioma, maka
peserta didik akan menyikapi nilai-nilai Pancasila sebagaimana
mereka taat dan patuh terhadap definisi atau aksioma. Konsistensi
terhadap nilai-nilai Pancasila akan membangun karakter bangsa
yang berjiwa Pancasila.
UUD 1945 beserta derivasinya yang berupa peratuan
perundang-undangan merupakan aturan permainan (rule of the
game) dalam penyelenggaraan negara. Semua peraturan
perundang-undangan harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga
tidak saling bertentangan atau terjadi kontradiksi. Sistem
perundang-undangan dalam suatu negara tidak boleh terjadi
adanya kontradiksi antar undang-undang atau peraturan di tingkat
manapun. Konsistensi perundang-udnagan dalam suatu Negara
serupa dengan konsistensi dalam matematika. Apabila dalam
penyusunan suatu perundang-undangan Pancasila ditempatkan
sebagaimana aksioma dalam matematika dan UUD 1945
sebagaimana teorema, maka semua peraturan perundang-
undangan tidak akan bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945. Semua peraturan perundang-undangan bersumber pada
Pancasila. Dengan demikian, pembentukan sikap konsisten dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan dapat diintegrasikan
ke dalam pembelajaran matematika. UUD 1945 dan semua
peratuan perundang-undangan merupakan aturan permainan
(rule of the game) yang harus ditaati oleh aparat pemerintah di
tingkat manapun.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 27


Apabila semua orang memiliki karakter taat azas sebagaimana
ketaatan azas dalam matematika, maka penyelenggaraan
pemerintahan di tingkat manapun akan berjalan dengan baik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan tanpa adanya
penyimpangan-penyimpangan. Selanjutnya jika setiap WNI
menempatkan falsafah kenegaraan Pancasila sebagaimana
aksioma dalam sistem matematika dan UUD 1945 beserta
peraturan perundang-undangan derivasinya sebagaimana definisi
dalam sistem matematika, maka bangsa ini akan merasa dalam
suatu sistem yang sama yang harus ditaati dan dikembangkan
bersama untuk mencapai tujuan yang sama. Rasa kebersamaan
ini akan meningkatkan rasa persatuan pada diri bangsa Indonesia
(national unity).
Matematika dan logika merupakan sebagian alat utama dan alat
fundamental untuk menyusun dan mendisiplinkan pemikiran,
sehingga pemikiran memiliki sifat yang jelas, tepat, singkat, dan
teratur (Santoso, 1983). Berpikir jelas, tepat, singkat, teratur, dan
sahih merupakan prasyarat bagi terbentuknya manusia yang
memiliki kemandirian. Kemandirian meningkatkan rasa percaya diri
dan daya tawar (bargaining position). Bangsa yang memiliki
kemandirian dan daya tawar yang tinggi, maka ia akan memiliki
martabat internasional yang tinggi pula.

6. Pembelajaran Matematika dan Pembentukan Karakter


Bangsa
Pandangan social constructivism sangat mewarnai
pelaksanaan pembelajaran matematika masa kini. Pandangan ini
membawa implikasi pedagogis yaitu pembelajaran matematika
harus memuat secara eksplisit nilai-nilai yang dikaitkan dengan
matematika dan penerapannya dalam masyarakat atau secara
sosial, sedangkan peserta didik harus menghargai pesan-pesan
sosial dalam kurikulum matematika dan harus memiliki konfidensi,
pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat dipahami masyarakat
pengguna matematika (Hardi Suyitno, 2011). Nilai epistemologis
pendidikan matematika termuat bersama ujian dan tugas-tugas,
karakteristik matematika, aspek-aspek proses belajar-mengajar

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 28


matematika (ketelitian, rasional, sistematis, logis, kritis) dan
kemahiran (Sam dan Ernest, http://www.bsrlm.org.uk/IPs/ip17-
12/BSRLM-IP-17-12-7.pdf). Nilai personal pendidikan matematika
bagi peserta didik memuat antara lain keyakinan diri, kesabaran,
dan kreatifitas. Nilai sosial dan budaya matematika mendukung
masyarakat dan yang sangat memperhatikan tugas individual
kepada masyarakat yang dikaitkan dengan pendidikan matematika.
Pendidikan matematika memiliki hidden curriculum yang
dapat menanamkan sikap demokratis melalui situasi belajar
mengajar (Skovemose, 1990). Belajar matematika sangat relevan
dengan belajar demokrasi. Nilai atau sikap demokratis dapat
dintegrasikan dalam pembelajaran matematika misalnya dalam
pemilihan penggunaan simbol matematika, penentuan letak titik
pangkal dari koordinat Kartesius, pendefinisian suatu operasi
bilangan, dan sebagainya. Penggunaan model pembelajaran
kooperatif akan sangat membantu terhadap tumbuhnya nilai-nilai
kerjasama, menghargai pendapat orang lain, dan demokrasi. Di
lain pihak, penggunaan metode pembelajaran yang bersifat
indoktrinatif dapat menumpulkan daya kreatifitas anak. Tidak
berkembangnya daya kreatifitas kontradiksi dengan salah satu
karakter yang harus dimiliki anak bangsa.
Penanaman sikap toleran dapat dintegrasikan dalam pembelajaran
aritmetika jam. Dengan berbagai sistem aritmetika jam yang
berbeda akan dapat memperlihatkan bahwa jawaban yang tidak
sama dapat semuanya bernilai benar. Misalkan dalam kelas, guru
membagi kelas menjadi lima kelompok dan setiap kelompok diberi
tugas menyusun tabel penjumlahan aritmetika jam. Kelompok I
sampai dengan kelompok V berturut-turut untuk jam empatan, jam
limaan, jam enaman, jam tujuan dan jam delapanan. Hasil
penjumlahan untuk kelompok I adalah 4 + 4 = 4, untuk kelompok
II adalah 4 + 4 = 3 untuk kelompok III adalah 4 + 4 = 2, untuk
kelompok IV adalah 4 + 4 = 1, dan untuk kelompok V adalah 4 +
4 = 8. Mereka tidak dapat saling menyalahkan, sebab masing-
masing kelompok menggunakan aturannya sendiri-sendiri (Hardi
Suyitno, 2011). Mereka dapat memahami dan menghargai
jawaban kelompok lain tanpa menyalahkan.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 29
Setiap langkah dalam proses menyelesaikan soal matematika,
selalu dituntut justifikasinya. Pembelajaran ini dapat digunakan
untuk mengintegrasikan nilai taat azas, taat peraturan, dan taat
perundang-undangan. Proses penyelesaian soal juga memuat
proses manipulasi dan operasi. Proses manipulasi dalam
matematika selalu didasarkan atas hukum/kesepakatan (definisi,
aksioma, teorema) sehingga perubahan tidak merubah nilai. Nilai
kejujuran dapat dintegrasikan dalam proses manipulasi. Proses
operasi dalam matematika harus mengikuti algoritma tertentu.
Nilai disiplin dapat diintegrasikan dalam melaksanakan algoritma.
Kebiasaan melakukan operasi dengan algoritma yang benar akan
menanamkan sikap disiplin terhadap prosedur kerja yang telah
dibakukan.
Pembelajaran konsep pecahan dalam arti pecahan sebagai suatu
pembagian, dapat dimanfaatkan untuk menanamkan rasa keadilan
(Hardi Suyitno, 2011). Pembelajaran matematika dengan
pendekatan PMRI melatih siswa untuk mengasah kemampuannya
dalam hal kedisiplinan, kemandirian, bernegosiasi, dan menghargai
pendapat orang lain (Amin, 2010). Strategi pemecahan masalah
dapat membantu tumbuhnya kreatifitas, keuletan, dan
ketangguhan; proses belajar mengajar dengan nuansa kolaboratif
dapat membantu tumbuhnya sikap mau dan dapat bekerja sama;
dan proses belajar mengajar dengan nuansa kompetitif dapat
membantu tumbuhnya sikap berani menghadapi tantangan dan
meningkatkan daya saing (Hardi Suyitno, 2011). Nilai-nilai
kreatifitas, ulet, tangguh, dan berpandangan luas, dapat dibangun
dengan mengintegrasikannya dalam pemecahan masalah open
ended.
Matematika dan pembelajaran yang sarat dengan nilai yang
relevan dengan pembentukan karakter bangsa tidak akan memberi
kontribusi yang maksimal, apabila pembelajarannya tidak
dilaksanakan dengan tepat. Salah satu hal yang penting yang
mempengaruhi keberhasilan pembelajaran matematika ialah
bagaimana menjadikan pembelajaran matematika relevan dan
menarik bagi pendidikan karakter termasuk pembentukan karakter
bangsa. Matematika yang dianggap menakutkan harus ditampilkan
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 30
sebagai matematika yang humanistik sesuai dengan pandangan
bahwa matematika adalah hasil dari kegiatan manusia yang
terorganisir, suatu konstruksi sosial, dan suatu hasil budaya.
Menurut Role (1993), salah satu cara untuk membuat mata
pelajaran matematika relevan dan menarik dengan memasukkan
perspektif sejarah matematika dalam proses belajar mengajar. Ia
menyarankan penggunaan model pembelajaran kooperatif agar
suasana belajar menyenangkan. Model pembelajaran kooperatif
dapat menumbuhkan kebiasaan bekerjasama dan membangun
komunitas (Lickona, 2013). Kedua hal tersebut sangat bermanfaat
bagi pengembangan jiwa demokrasi.

7. Penutup
Kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan karakter dan
keseimbangan antara sikap, ketrampilan, dan pengetahuan akan
menjadi tantangan bagi guru dalam pelaksanaan pembelajaran.
Kurikulum juga mengamanatkan bahwa pendidikan karakter
termasuk karakter bangsa menjadi tanggungjawab semua mata
pelajaran. Pengemban tugas utama bagi pendidikan karakter
adalah mata pelajaran Agama dan PKn dengan pembelajaran
langsung (direct teaching), sedangkan mata pelajaran lain harus
menghasilkan dampak pengiring bagi pendidikan karakter melalui
pembelajaran tak langsung (indirect teaching). Pembelajaran tak
langsung pendidikan karakter dalam pembelajaran selain Agama
dan PKn dapat dilaksanakan dengan mengintegrasikan nilai-nilai
karakter dalam pembelajaran.
Pendidikan matematika akan berperan secara maksimal dalam
rangka pembentukan karakter bangsa apabila guru memahami
karakteristik dan nilai-nilai yang terkandung dalam matematika
(hakikat matematika) dan pembelajarannya. Integrasi nilai-nilai
karakter bangsa dalam pembelajaran matematika akan
mendukung terbentuknya bangsa yang memilki kemandirian (self-
reliance), martabat international (bargaining positions), persatuan
nasional (national unity), dan demokrasi (democracy).
Artikel ini memuat gagasan bahwa penanaman nilai-nilai karakter
termasuk karakter bangsa dapat dilakukan dengan
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 31
mengintegrasikannya dalam pembelajaran matematika. Integrasi
nilai-nilai karakter bangsa dalam pembelajaran matematika
merupakan tantangan yang tidak ringan bagi guru matematika.
Keberhasilan integrasi nilai karakter bangsa dalam pendidikan
matematika membutuhkan berbagai syarat. Syarat itu diantaranya
adalah guru harus memahami hakikat matematika, memahami
hakikat pendidikan matematika, memiliki kemampuan
mengimplementasikan berbagai model pembelajaran dalam
pembelajaran matematika, dan memahami nilai-nilai karakter yang
diharapkan. Model pembelajaran yang dipandang sangat
mendukung integrasi nilai karakter bangsa dalam pembelajaran
matematika ialah model pembelajaran kooperatif. Model
pembelajaraan kooperatif menghindarkan pembelajaran yang
bersifat indoktrinatif. Integrasi nilai-nilai karakter bangsa dalam
pembelajaran matematika yang dilaksanakan dengan model
pembelajaran kooperatif akan mampu mendukung pembentukan
karakter bangsa, yaitu bangsa yang antara lain memiliki rasa
kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan.
Suatu hal yang sangat penting dalam pembentukan karakter
adalah guru dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Guru pinter
menguasai materi ajar. Guru super bisa mengajar. Guru istimewa
menjadikan siswa dari pasif menjadi kreatif, dari tidak mengerti
menjadi berkompetensi, dari membenci menjadi menyenangi, dari
tak bernyali menjadi pemberani, dari rendah diri menjadi percaya
diri, dari tinggi hati menjadi rendah hati, dari sangsi menjadi
meyakini dari kufur menjadi syukur, dan dari hina menjadi
berakhlak mulia. Semoga generasi emas Bangsa Indonesia pada
tahun 2045 benar-benar terwujud. Aamiin.

Daftar Pustaka
Amin. S. M. 2010. Pembentukan Karakter Bangsa Melalui
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia. Makalah disampaikan pada
Konferensi Nasional Matematika XV, tanggal 30 Juni s/d 03
Juli 2010, Manado.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 32


Andrews, W.G. 1968. Contitutions and Contitutionalism . New
Yersey: Van Nostrand Company
Assiddiqie, J. 2005. Konstitusi dan Konstitutionalisme Indonesia .
Jakarta: Konstitusi Press.
Bachtiar, Harsja W. 1992. Wawasan Kebangsaan Indonesia:
Gagasan dan Pemikiran Badan Komunikasi Penghayatan
Kesatuan Bangsa. Jakarta: Bakom PKB Pusat.
Bell, F. H. 1981. Teaching and Learning Mathematics . Dubuque,
Iowa: WCB.
Bishop, A.J. 1999. Mathematics Teaching and Values Educations:
an intersection in need of research. Zentralblatt fuer
Didaktik der Mathematik, 31(1), 1-4.
Bishop, A.J. et. al. Values in Mathematics Education: Making
Values Teaching Explicit in the Mathematics Classroom.
(http://www.aare.edu.au/99pap/bis99188.htm)
BSNP. 2006. Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan .
Jakarta: Depdiknas.
Dede, Y. 2006. Mathematics Educational Values of College
Studedn’tTowards Function Consept. Eurasia Journal of
Mathematics, Science, and Technologi Education . Vol 2.
No. 1, Feb. 2006 (www.ejmste.com)
Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Education . Bristol:
The Falmer Press.
Ernest, P. 1998. Social Contructivsm as a Philosophy of
Mathematics. Albany, NY: State University of New York
Press.
Ernest, P. What is the philosophy of Mathematics Education?
(http://130.203.133.150)
Hadi, O.H. t.th. Nation and Character Building Melalui Pemahaman
Wawasan Kebangsaan. Diskusi reguler Direktorat Politik,
Komunikasi dan Informasi Bappenas,
(http://www.bapenas.go.id/get-file-server/node/8543/ diunduh
tanggal 18 September 2012)
Hardi Suyitno. 2008. Epistemologi Logika Matematika menurut
Wittgenstein. Disertasi:

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 33


Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Hardi Suyitno. 2010. Matematika sebagai bahasa. Makalah
disampaikan pada Konferensi Nasional Matematika XV,
tanggal 30 Juni s/d 03 Juli 2010, Manado, Sulawesi Utara.
Hardi Suyitno. 2011. Nilai-nilai Matematika dan Relevansinya
dengan PKn. Pidato Pengukuhan Guru besar di Universitas
Negeri Semarang pada tanggal 16 Maret 2011.
Hardi Suyitno.2012. Nilai-nilai Pendidikan Matematika bagi
Pembentukan Karakter Bangsa.
Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika
dengan tema Peran Matematika dalam Implementasi Nilai-
nilai Karakter Bangsa di Jurusan Matematika
FMIPA UNNES pada tanggal 13 Oktober 2012
Kattsoff, L. O. 1949. A Philosophy of Mathematics. Ames, Iowa: The
Iowa State College Press.
Koesuma, D. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di
Zaman Global. Jakarta: Grasindo
Lickona, T. 2013. Pendidikan Karakter (Lita S. – Penerjemah).
Bandung: Penerbit Nusa Media
Moetodjib. 2010. Refleksi dan Aksi Kebangsaan di tengah
Modernitas Global. Makalah diseminarkan dalam Seminar
NasionalRefleksi dan Aksi Kebangsaan di tengah
Modernitas Global di Fakultas Filsafat UGM pada 7 Agustus
2010.
Ontario Ministry of Education. 1985. Curriculum guideline:
Mathematics: Intermediate and senior divisions. Toronto:
Queen's Printer for Ontario.
Jean Paul van Bendegem - ed.). New York: Springer
Role, E. M. 1993. Interating Christian Values and Learning in the
Teaching of Mathematics. Institute for Christian Teaching.
Vol 11CC:133-152
Roulet, G. 1995. Mathematics and values education. Ontario
Mathematics Gazette, 34(2), 5-9.
Sam, C.L. and Ernest, P. Values in Mathematics Education: What is
Planned and What is Espoused?

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 34


(http://www.bsrlm.org.uk/IPs/ip17-12/BSRLM-IP-17-12-7.pdf,
diunduh 26 September 2012)
Santoso, S.I. 1983. Fungsi Bahasa, Matematika, dan Logika Untuk
Ketahanan Indonesia dalam Abad 20 di Jalan Raya Bangsa-
bangsa. Ilmu dalam Persepektif (Ed. Jujun S.
Suryasumantri). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan
Leknas LIPI
Skovsmose, O. 1990.Mathematical education and democracy.
Educational Studies in Mathematics.Volume 21, Number 2
(1990), 109-128, DOI:10.1007/BF00304897
Soedjadi, R. 2007. Masalah Konstekstual sebagai Batu Sendi
Matematika Sekolah.
Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah (PSMS).
Volmink, J. 1994. Mathematics by All. Cultural Perspectives on the
Mathematics Classroom (S. Lerman-Ed). Dordecht: Kluwer
Academic Publisher p. 51-68
Wittgenstein, L. 1978. Remarks on the Foundation of Mathematics
(Revised Edition). Cambridge: Massahusetts Institute of
Technology Press.
(http://www.filsafatmatematika.com/dokumen_detail.asp?ID=28 ).

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 35


KONSERVASI MORAL
DALAM RANGKA PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh: Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd.
Fakultas Ilmu Sosial Unnes
Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Unnes

PENGANTAR
Di kalangan mahasiswa Universitas negeri Semarang, tiba-
tiba saja istilah konservasi moral menjadi bagian dari kehidupan di
kampus. Istilah ini dideklarasikan oleh mereka sendiri, atas
prakarsa mereka sendiri, yang dimotori oleh Unit Kegiatan
Kerokhanian Islam, dengan didukung oleh rokhis-rokhis seluruh
fakultas di lingkungan Unnes. Deklarasi moral ini dilakukan dalam
musyawarah akbar UKKI bulan Juli 2010. Deklarasi ini merupakan
break down dari spirit Unnes sebagai universitas konservasi, yang
dideklarasikan oleh Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, di bulan
Februari 2010. Rasanya ada kedekatan persoalan moral ini dengan
aktifitas keagamaan., atau barangkali memang moral itu
sumbernya adalah ajaran agama.
Pada saat gegap gempita deklarasi konservasi, yang berawal
mula dari relasi manusia dengan lingkungan alam, maka
mahasiswa pun tidak mau ketinggalan untuk mengambil bagian
penting dan monumental dengan mendeklarasikan konservasi
moral. Saat itu adalah hari minggu tanggal 15 Juni 2010 Jam 10.-
00 bertempat di aula FBS Universitas Negeri Semarang, hanya
berselang tiga bulan dari deklarasi Unnes sebagai universitas
konservasi.
Sejenak saya berpikir, perlukah moral itu dikonservasi.
Tetapi rasanya memang ada kandungan makna dan mnaksud yang
dalam pada konservasi moral ini.
KONSERVASI MORAL
Moral merupakan belief system yang bersisikan tata nilai
dan menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu
moralitas akan berjalan paralel dengan budaya masyarakat.
Mengingat budaya merupakan refleksi tata nilai
masyarakat yang beraneka ragam coraknya, menjadikan budaya

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 36


itu pun beraneka ragam. Itulah sebabnya diskursus tentang moral
sejak lama telah melahirkan paham-paham yang berbeda.
Dalam kajian historis, telah lama terjadi perdebatan panjang
antara paham moral relative dengan moral absolute. Kelompok
pertama dimotori oleh Hegel, sedangkan kelompok kedua dimotori
oleh Arthur Schopenhauer.
Bagi kaum Hegelian, nilai adalah relatif, karena berkenaan
dengan kesadaran kelompok manusia melalui dialektika yang
panjang, berawal dati tesa, antitesa, dan sintesa. Kelak pun
sintesa yang ditemukan akan berproses menjadi tesa baru. Titik
akhir pencarian kebenaran bagi kelompok ini adalah ketika tercipta
kesadaran akan sebuah kebenaran, yang merupakan kebutuhan
bersama. Dalam konteks ini Hegel (dalam Bottomore, 2006)
menyatakan: “It is not the consciousnessness of men that
determines their existence, but on the contrary, their social
existence determines their consciousnessness”.
Paham moral relative ini menjadikan tiadanya standar nilai
yang berlaku secara universal. Dapat dibayangkan, apa yang akan
terjadi di tengah masyarakat, manakala nilai itu relatif, dan oleh
karenanya kebenaran dan keadilan pun menjadi relatif.
Adalah Willian Kilpatrick (2002) yang mengkritik dengan
tajam budaya orang Amerika, yang menurutnya, akibat paham
Hegelian lah menjadikan masyarakat Amerika mengalami
kemorosotan moral yang dahsyat.
Sedangkan kubu moral absolute menegaskan adanya
standar nilai yang berlaku secara universal, untuk menjadi
pedoman kehidupan masyarakat. Standar nilai ini bersumberkan
pada ajaran agama, hukum, kesepakatan, adat istiadat, dan
sebagainya. Schopenhauer sebagai tokohnya, menegaskan bahwa
ada kecenderungan dasar untuk berbuat baik, yang dimiliki oleh
seluruh manusia dari berbagai latar belakang yang berbeda.
Menurutnya, compassion adalah sebagai titik awal dari
perbuatan manusia yang bermoral. Salah satu ungkapan
Schopenhauer yang menarik, seperti yang dikutip oleh Miller
(2003) adalah : “whoever is filled with compassion will assuredly
injure no one, do harm to no one, encroach on no man’s right, he
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 37
will rather have regard for anyone, forgive everyone as far as he
can, and all of this actions wil bear the stamp of justice and loving
kindness”
Karena sifatnya yang universal, moralitas akan berlaku
untuk seluruh kehidupan pada berbagai budaya dan tradisi
masyarakat.
Perbedaan antara dua paham di atas sesungguhnya hanya
persoalan perspektif saja. Yang pertama berkenaan dengan praksis
moral dalam kehidupan masyarakat yang mau tidak mau pasti
bersinggungan dengan budaya ( what it is). Sedangkan yang kedua
berkenaan dengan idealism moralitas yang seharusnya terjadi
dalam relasi kehidupan (what should be). Akan tetapi menjadi
sebuah realitas di masyarakat , bahwa moralitas lebih cenderung
mengikuti dinamika budaya, ketimbang sebaliknya. Itulah
sebabnya sejarawan Inggris Arnold J. Toynbee memberikan
warning persoalan ini melalui teorinya “radiasi budaya”.
Inti dari teori tersebut adalah bahwa keberadaan beraneka
budaya dimuka bumi ini saling memberikan imbas dan intervensi.
Intervensi yang paling mudah dilakukan adalah pada aspek budaya
yang kandungan nilainya rendah, sedangkan sebaliknya akan sulit
dilakukan intervensi dari satu budaya ke budaya lainnya pada
aspek budaya yang kandungan nilainya tinggi.
Dalam konteks inilah betapa kemudian konservasi moral
memiliki makna yang dalam. Moralitas masyarakat yang
berbasiskan nilai dan budaya luhur bangsa hendaknya dilinungi,
dipelihara, dan diberdayakan secara bijak, untuk menjadi pedoman
kehidupan masyarakat.
KOMPLEKSITAS MORAL
Secara etimologis istilah moral berasal dari Bahasa Latin
mores yang berarti adat isitiadat, kebiasaan, cara hidup.
Pengertian tersebut mirip dengan kata ethos dari Bahasa Yunani,
yang kemudian dikenal dengan etik. Yang terakhir ini pun
mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan (Poespoprodjo, 1996).
Ada pula kata lain yang mempunyai arti yang sama yaitu Akhlaq
(Bahasa Arab), yang berasal dari kata khalaqa (khuluqun) yang
berarti tabi’at, adat istiadat, atau kholqun yanng berarti kejadian
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 38
atau ciptaan. Jadi akhlak ini merupakan perangai atau sistim
perilaku yang dibuat, dan oleh karena itu keberadaannya bisa baik
dan bisa pula jelek, tergantung pada tata nilai yang dijadikan
rujukannya (Daradjat, 2004).
Dalam perbendaharaan kata-kata Bahasa Indonesia, banyak
istilah yang memiliki pertautan makna dengan moralitas ini, seperti
susila, budi pekerti, kepribadian, dan sebagainya. Manakala
disebut salah satu atribut di atas dari seseorang maka sebutan itu
terkait dengan masalah moralitas. Namun padanan kata yang
sering digunakan untuk moralitas ini adalah etika. Bahkan kedua
kata ini lazim dijadikan sebagai sinonim antara sesamanya.
Meskipun secara etimologis istilah moral mengandung arti
adat istiadat, kebiasaan, atau cara hidup, namun secara substantif
tidak sekedar bermakna tradisi kebiasaan belaka melainkan
berkenaan dengan baik buruknya manusia sebagai manusia.
Dengan kata lain moralitas ini merupakan tolok ukur untuk
menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari
sisi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai peelaku
peran tertentu. Dengan demikian moral mengandung muatan nilai
dan norma yang bersumberkan pada hati nurani manusia. Hal ini
seperti ditegaskan oleh Setiadi (2010): “... maksudnya bukan
sekedar apa yang biasa dilakukan oleh orang atau sekelompok
orang itu, melainkan apa yang menjadi pemikiran dan pendirian
mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik,
mengenai apa yang patut dan yang tidak patut untuk dilakukan
perbuatan insani/actus humanus”.
Poespoprodjo (1996) pun menegaskan tentang subtansi
moralitas senada dengan penegasan di atas sebagai berikut: “...
kebiasaan yang lebih fundamental, berakar pada sesuatu yang
lengket pada kodrat manusia sepertri mengatakan kebenaran,
membayar hutang, menghormati orangtua, dan sebagainya.
Perbuatan-perbuatan tersebut bukan sekedar kebiasaan atau adat
semata, melainkan perbuatan yang benar, dan jika menyeleweng
dari padanya berarti salah”.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa moral merupakan
standar kualitas perbuatan manusia yang dengannya dapat
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 39
dikatakan bahwa perbuatan tersebut benar atau salah, baik atau
buruk, dalam ukuran tata nilai yang bersumberkan pada hati
nurani manusia. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
tata nilai yang bersumberkan pada hati nurani manussia, dengan
demikian dikatakan sebagai perbuatan moral.
Orang yang bermoral adalah orang yang memenuhi
ketentuan-ketentuan kodrat yang tertanam dalam dirinya sendiri.
Pengejawantahannya adalah mulai dari munculnya kehendak yaitu
kehendak yang baik sampai kepada adanya tingkah laku dan
tujuan yang baik pula. Predikat moral mensyarat akan adanya
kebaikan yang berkesinambungan, sejak munculnya kehendak
yang baik sampai kepada tingkah laku dalam mencapai tujuan
yang juga baik, dan karena itu orang-orang yang bertindak atau
bertingkah laku baik kadang-kadang belum dapat disebut sebagai
orang yang bermoral.
Meskipun kebenaran tata nilai bersifat relatif antar beberapa
kelompok masyarakat, namun kebenaran moralitas lebih bersifat
universal. Hal ini dikarenakan pada karakteristik moral itu sendiri
yang bersumberkan pada suara hati nurasi manusia. Pada
dasarnya ada dua macam suara hati murni, yaitu suara hati nurani
yang mengarah pada kebaikan dan suara was-was yang mengarah
pada kebaikan dan suara was-was yang mengarah pada
keburukan. Jika keinginan berbuat baik ditekan, dalam arti
meninggalkan untuk berbuat baik sesuai denga norma yang
berlaku, maka suara hati memanggil-memanggil dan ingin
mengarahkan pada hal-hal yang baik dan benar. Suara batin ini
mengingatkan bahwa perbuatan itu kurang baik atau tidak baik.
Suara itu berupa seruan dan himbauan yang memaksa untuk
didengarkan (Drijarkara, 1996). Kehadiran suara hati nurani ini
bahkan datangnya secara tiba-tiba dan kuat sekali pengaruhnya
pada diri seseorang. Martin Heidegger mengungkapkannya, es ruft
widererwaarten und gaar widerwillen, der ruf kommt aus mich und
doch uber mich.
Suara hati nurasi berfungsi untuk menahan manusia untuk
tidak melakukan perbuatan yang tercela. Keberadaannya cukup
kuat dalam diri seseeorang sehingga meskipun manusia mencoba
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 40
untuk mengabaikan atau menindasnya, tetap saja suara hati
nurani berseru dan terdengar agar manusia tidak berbuat yang
menyimpang dari prinsip-prinsip kesuliaan. Suara hati nurani ini
terdengar barik sebelum seseorang berbuat sesuatu, sedang
berbuat maupun setelah selesai berbuat. Jika perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan jahat dalam arti tidak sesuai dengan
kodrat kemanusiaan, maka suara hati nurani ini menuduh-nuduh.
Oleh karen aitu betapa pun jahatnya manusia, tatkala melakukan
suatu perbuatan yang buruk, pasti ada setitik kesadaran bahwa
perbuatannya itu keliru. Sebagai ekspresinya mungkin dia merasa
rendah diri, merasa berdosa terus menerus, atau bahkan
melakukan bunuh diri. Hal ini terjadi karena merasa tertekan oleh
peringatan-peringatan yang diserukan oleh suara hati nurani.
Suara hati nurani ini mengajak manusia agar sadar untuk
melakukan perbuatan yang susila. Kesadaran ini merupakan
kesadaran moral yang menuntut tidak sekedar pengertian akal,
melainkan pengertian dari seluruh pribadi manusia yang bersifat
batiniah dan mendalam.
Jadi suara hati nurani ini ada pada setiap orang, sebagai
bekal kodrat kemanusiaannya. Oleh karena itu pada dasarnya
setiap orang itu baik, setiap orang adalah bermoral, sesuai dengan
kodrat kemanusiaannya. Namun karena kehidupan manusia terkait
dengan banyak variabel baik yang bersifat intern datang dari diri
manusia itu sendiri maupun yang bersifat ekstern datang dari
lingkungan kehidupannya, maka keberadaan suara hati nurani
dalam diri manusia ini beragam keadaannya, ada yang kuat ada
pula yang lemah. Drijarkara (1996) menegaskan, meskipun pada
dasarnya manusiaitu selalu cenderung berbuat baik, tetapi
kesadaran moral tidaklah datang dengan sendirinya. Kesusilaan
harus diajarkan dengan contoh yang baik, sehingga dengan
demikian dapatlah terbentuk manusia susila lahir dan batin.
Jika ditarik pembicaraan ini dalam monteks keislaman maka
suara hati itu pada dasarnya iman, karena salah satu pilar
keimanan adalah pembenaran dalam hati dengan suara hati
(tashdiqun fil qolb).

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 41


Dalam kaitan dengan keberadan iman dalam diri manusia
ini, Nabi Muhammad sudah diperingatkan melalui salah satu
haditsnya, hadits tersebut menyuratkan secara tegas, bahwa
keberadaan keimanan dalam diri manusia itu dapat sangat kuat
sehingga seluruh perilaku dan pola fikirnya dilandaskan pada
keimanan kepada Tuhan, dapat juga iman itu lemah, bahkan dapat
pula iman tersebut terkubur oleh faktor lain yang bertentangan
dengan iman itu sendiri.
Selain menunjukkan eksistensi iman dalam hati manusia,
hadits itu pun mengisyaratkan perlunya pemupukan dan
pembinaan keimanan agar terpelihara dari kerusakannya
(kekufuran). Upaya-upaya pemupukan dan pembinaan ini tidak
lain adalah pendidikan dalam arti luas. Dalam pola pemikiran
demikian, maka menurut hemat penulis proses-proses pendidikan
dalam kajian ini khususnya pendidikan moral merupakan fitrah
keagamaan (Islam). Dan oleh karena itu dalam kehidupan
keluarga, orang tua wajib melakukan pendidikan moral bagi anak-
anaknya, sebagai bekal untuk mereka dalam menjalankan
kehidupan di masa mendatang. Tentang pendidikan moral dalam
keluarga ini akan dibicarakan pada bagian mendatang.
Dari paparan di atas dapat ditarik benang merah bahwa
moralitas yang merupakan dasar kodrat kemanusiaan senantiasa
berinteraksi dengan banyak faktor, baik yang muncul dari dalam
individu maupun yang datang dari lingkungan, di mana faktor-
faktor ini mengandung muatan nilai yang bertentangan dengan
moralitas (counter values). Oleh karena itu moralitas seseorang
dengan sendirinya merupakan resultante dari interaksi antara
suara hati nurani manusia dengan banyak faktor yang bersifat
kontra dengan suara hati nurani tersebut, itulah sebabnya secara
empiris antara beberapa masyarakat dengan strata sosial yang
berbeda memiliki moralitas yang berbeda pula. Orang-orang miskin
dengan kebudayaan kemiskinannya pun dengan demikian memiliki
moralitas tersendiri.
Tentang karakteristik manusia yang bermoral, banyak para
ahli memberikan pendapat akan hal ini. Downey dan Kelly (2002)

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 42


mengemukakan kualifikasi a moral educated person, sebagai
berikut:
“1. Aware of the need to take account of such factual
evidence in reaching his conclutions, 2. aware that moral
learning is a function of every thing, 3. his moral autonomy
able to make dicessions and choices, 4. able to act in moral
way, know and understand the feeling of otther, 6. have a
positive commitment towards the value of morality and other
people’s feelings, 7. his humanities and enables live as a
moral being”.
Sedangkan Aristoteles melukiskan orang yang bermoral ialah
orang yang sosok dirinya menampilkan hal-hal berikut: couraage,
temperance, liberality, magnificience, high mindedness,
gentleness, truthfulness, wittness, and justice (Poespoprodjo,
1996).
Selanjutnya Higgins (2001) mengemukakan profil orang
bermoral yang dasarnya adalah tanggung jawab. Tanggung jawab
yang dimaksud menurutnya meliputi: 1. needs and welfaare of the
individual and others, 2. the of other, 3. moral worth atau perfect
character, 4. intrinsic value of social relationship.
Dari beberapa pendapat mengenai karakteristik manusia
bermoral, terdapat benang merah, bahwa kualifikasi karakteristik
tersebut menunjuk pada kebaikan dalam segala kompleksitas
kehidupan, dimana kebaikan ini tidak saja termanifestasikan dalam
bentuk perilaku, tetapi sejak munculnya kehendak, dengan
didasari oleh solidaritas kelompok.
MORAL OPTIMIS SEBAGAI DASAR KARAKTER BANGSA
Akhir-akhir ini kita merasa risau dengan pemberitaan dua
sumber pemberitaan yaitu lembaga internasional The Found for
Peace (Dana untuk Perdamaian) dan majalah Foreign Policy
(Kebijakan Luar Negeri) tenrtang Indonesia. Keduanya
berpangkalan di Amerika. Menurut kedua sumber pemberitaan
tersebut dinyatakan bahwa Indonesia masuk kategori warning
(peringatan) untuk menjadi sebuah Negara yang gagal ( the failed
state).

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 43


Kedua sumber pemberitaan tersebut menyajikan list tentang
negara-negara di dunia, yang terkategorikan menjadi waspada,
peringatan, moderat, dan berkelanjutan. Dengan mengambil
variable kehidupan social, ekonomi, dan politik, kedua sumbver
tersebut memaparkan list klasifikasi seluruh Negara di dunia atas
dasar kategori itu. Indonesia masuk kategori warning (peringatan)
bersama-sama dengan Israel tepi barat, Bolivia, Gmbia, Tanzania,
dan sebagainya (http://en.wikipedia.org/wiki /List_of_countries
by_Failed _States_Index).
Beberapa tokoh intelektual kerapkali menyampaikan sajian
data dari sumber tersebut pada berbagai seminar dengan amat
bersemangat, seolah menemukan data otentik bahwa bangsa
Indonesia ini sedang menuju kegagalan, tinggal sekian persen lagi.
Tidak merasa canggung juga mereka mengolok-olok bangsa
sendiri beserta pemerintahannya. Kondisi yang demikian sudah
tentu sangat kontra produkti dengan upaya membangun karakter
bangsa.
Sajian data The Found for Peace dan majalah Foreign Policy
tentang Indonesia sudah tentu masih debatable. Sebab hasil
survey lain yang disajikan oleh The McKenzie Institute
International yang juga berpangkalan di Amerika, menunjukkan
data tentang Indonesia yang sangat positif (lihat
http://www.mckenziemdt.org).
Siapapun kita, akan sadar sepenuhnya bahwa kondisi
masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang sangat
memprihatinkan. Setiap hari kita menyaksikan masyarakat
bergolak dalam perilaku-perilaku yang tidak simpatik. Berbagai
media pun, baik cetak maupun elektronik dalam kesehariannya
selalu menyajikan berita-berita yang membuat hati para pemirsa
semakin miris. Sejak berita tentang tawuran yang dilakukan oleh
anak-anak pelajar, perampokan dan pemerkosaaan yang dilakukan
oleh anak-anak di bawah umur, sampai pada perilaku korupsi yang
dilakukan oleh orang-orang terhormat di negeri ini. Rasanya kita
sudah terlalu jenuh dengan berita-berita semacam itu.
Pada tataran yang agak konseptual, perilaku masyarakat
pun mengalami degradasi kehidupan yang sungguh luar biasa.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 44
Perilaku-perilaku santun, toleransi, solidaritas, kepedulian sosial,
gotong royong, kerja keras dan semacamnya sebagai atribut good
citizenship, tergantikan oleh budaya barbarian; berupa
kecurigaan, egoisme, anarkisme dan semacamnya.
Dalam kondisi seperti ini, bersikap arif adalah sebuah
keniscayaan. Bersikap arif adalah menyadari akan kekurangan
bangsa kita, untuk pada saat yang sama dengan penuh optimisme
memberikan kontribusi pada kebangkitan kembali, sesuai profesi
masing-masing.
Kita menyadari betapa Indonesia sebagai negara besar
dengan jumlah penduduk yang besar juga, memiliki kemajemukan
dalam berbagai hal, mulai dari etnis, budaya, bahasa, keyakinan,
dan tradisi. Kepentingannya pun sudah pasti bermacam-macam.
Apalagi secara geografis negara kita yang terdiri atas ribuan pulau
ini disatukan oleh laut yang sangat luas. Yang terakhir ini
menjadikan komunikasi dan konsolidasi antar bagian di Indonesia
sangatlah mahal.
Secara demografis Indonesia menempati posisi empat besar
(242.968.342), setelah Cina (1.330.141.295), India
(1.173.108.018), dan Amerika Serikat (310.968.342). Bandingkan
dengan Perancis (64.768.389), Inggris (62.348.447), apalagi
Malaysia (23.674.332) dan Singapura (4.701.069) (sumber diolah
dari lpkjababeka.blogspot.com). Begitu pula dengan luas
wilyahnya, Indonesia pun berada di posisi 15 besar (1.904.569),
setelah Amerika Serikat (9.826.675), Cina (9.596.960), Australia
(7.686.850), dan India (3.287.590). Hanya saja Indonesia memiliki
keunikan yang tidak dipunyai negara lain, yaitu sebagai negara
kepulauan.
Dari data di atas ditunjukkan betapa kompleksitas negara
Indonesia sangatlah tinggi. Oleh karena itu dapat diapresiasi
betapa sulitnya pengelolaan negara yang amat majemuk, dengan
penduduk besar dan gelaran geografisnya yang sangat luas.
Kita tahu bersama, bahwa sesungguhnya Indonesia adalah
negara yang sangat kaya akan berbagai potensi, baik sumber daya
alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya pendukung.
Sumber daya alam sangat berlimpah ruah. Tanah kita subur
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 45
dengan pencahayaan matahari yang sangat berkecukupan
sepanjang tahun. Itulah sebabnya hutan, kebun, sawah, tambang,
kekayaan laut, semua kita miliki. Begitu juga dengan sumber daya
manusia, yang menempati posisi empat besar di dunia. Tidak kalah
penting adalah juga sumber daya pendukung. Kekayaan adat
istiadat, agama, budaya, bahasa, sejarah, dan sejenisnya
merupakan pendukung penting dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Lebih dari segalanya, kita memiliki Pancasila. Para the
founding father’s bangsa mewariskan Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai dasar negara dan
filosofi bangsa, memiliki nilai-nilai luhur yang digali dari bumi
Indonesia, dan mampu menyatukan kemajemukan bangsa.
Seluruh agama, kebudayaan, etnis, yang ada di muka bumi
Indonesia ini dapat bernaung di bawah Pancasila, hidup dan
berkembang bersama dengan menjumjung tinggi kebersamaan,
keselarasan, dan keserasian.
Inilah modal penting bagi bangsa Indonesia untuk kembali
bangkit meraih harga diri dan martabat yang sempat memudar.
Jika pun generasi sekarang ini belum sempat untuk menata diri
memainkan peran secara luhur dalam menjalankan amanah akibat
konflik-konflik kepentingan yang begitu tajam, atau terlalu
mengedepankan kepentingan diri dan kelompoknya dengan
mengkhianati amanah bangsa, kita masih optimis bahwa generasi
sesudahnya bisa melakukan perubahan dan perbaikan kehidupan
bangsa secara mendasar. Yang dimaksud generasi sesudahnya
adalah kaum muda, para pelajar dan mahasiswa yang saat ini
sedang menempa dirinya di sekolah dan kampus-kampus, untuk
tumbuh dan berkembang menjadi sosok yang paripurna.
PESAN BAGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN KARAKTER
Secara substantive pendidikan karakter berkenaan dengan
pendidikan afektif. Aspek afektif merupakan aspek yang berkenaan
dengan apa-apa yang terdapat dalam diri peserta didik (the
internal side), sehingga keberadaannya selalu tersembunyi. Dia
berkenaan dengan dunia kejiwaan, cita-cita dan rasa, citra, serta
keyakinan manusia. Seperti dikatakan oleh Graham (2002):

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 46


“Affectife Learning deals with the emotional aspect of one’s
behavior, the influences on our choice of goals, and the
means we choose for attaining them. Those aspects include
our emotions themselves, our tastes and preferences, attitude
and values, morals and character, and our philosophies of life,
or guading principles”
Aspek yang keberadaanya tersembunyi dan berada dalam
diri peserta didik sangat sulit untuk diketahui dan diukur, apalagi
untuk dibina dan diarahkan melalui proses belajar mengajar di
dalam kelas. Namun demikian, dengan semakin berkembangnya
dunia psikologi pendidikan diperoleh suatu adagium bahwa
keyakinan akan sesuatu yang paling baik hendaknya merupakan
hasil belajar (Learned Behavior), sebagai hasil dari proses
internalisasi secara nalar dari para peserta didik terhadap nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan. Oleh karena itu proses pembelajaran
yang terselenggara harus sampai pada aras proses komunikasi
yang berkarakteristikkan interaksi edukatif, sehingga merangsang
timbulnya dialog internal dalam diri peserta didik.
Berkaitan dengan hal tersebut, perencanaan pesan-pesan
pembangunan karakter dalam proses pembelajaran sangat
diperlukan. Perencanaan dimaksud disesuaikan kejiwaan anak-
anak. Perencanaan yang baik akan menghasilkan proses-proses
pembelajaran yang kondusif bagi terjadinya dialog antara peserta
didik dengan sumber belajar yang ada, yang pada gilirannya akan
tertanam konsep-konsep pembangunan karakter dalam
tingkatannya yang sangat sederhana dan konkrit.

DAFTAR RUJUKAN
Bottomore, T.B., Karl Marx. ; Selected Writings In Sociology And
Social Philosophy. San Fransisco:Jossey-Bass.
Drijarkara, 1996, Percikan Filsafat, Jakarta: Pembangunan.
Downey, Mariel dan Kelly, A.V., 2002, Moral Education; Theory
and Practice, London: Harper and Row Publication.
Graham, Douglass.2002. Citizenship for the 21st century : An
International perspective on Education , London : Kogan
Page
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 47
Miller, Donald W., 2003. The philosophical Basis of the Conflict
Between Liberty and Statism. New York: Simon &Schuster.
Willian, Kurtines M. 2002. Morality, Moral Behavior, and Moral
Development. New York: john Wiley & Sons.
Poespoprodjo, 1996. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan
Praktek. Bandung: Remadja Karya.
Setiadi, A. Gunawan, 2010. Dialektika Hukum dan Moral dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 48


JUJUR DAN DISIPLIN
Oleh: Prof. Drs. Nathan Hindarto, Ph.D
FMIPA Universitas Negeri Semarang

Perenungan ini berawal dari pengalaman beberapa puluh


tahun yang lalu ketika penulis masih belajar di salah satu
perguruan tinggi di Australia Barat. Kami acapkali menggunakan
bis kota untuk sarana transportasi dari rumah ke kampus, dan di
dalam perjalanan inilah kami mendapat pembelajaran.
Sebagai orang yang sering menggunakan bis kota, kami
membeli kartu tiket berlangganan yang dapat dipakai untuk 10
kali perjalanan. Pada umumnya pengguna bis kota menggunakan
kartu prabayar ini, sehingga transaksi dengan uang langsung di
dalam bis sangatlah jarang. Setiap kali kami naik bis, kami harus
memasukkan kartu itu ke suatu mesin di pintu depan bis, dekat
pengemudi. dan mesin ini akan berdenting dan melubangi kartu
serta mencetak tanggal dan jam awal perjalanan. Melalui
dentingan ini si pengemudi dapat mengetahui penumpang yang
naik bayar atau tidak. Pada suatu saat kami ”belajar”, kalau kartu
itu dimasukkan dengan posisi agak miring, mesin berdenting,
tetapi tidak melubangi dengan sempurna, sehingga kalau kami
tetap masuk ke dalam bis, tentu si pengemudi mengira kami sudah
bayar. Kejadian ini memunculkan ”akal bulus” kami untuk
memperdayai pengemudi dan naik bis secara gratis.
Pada suatu hari, ketika kami sudah duduk di dalam bis,
naiklah seorang anak sekolah. Menilik tubuhnya yang belum tinggi,
sehingga susah memasukkan kartu ke mesin, mungkin usianya
baru 8 – 9 tahun. Anak ini memasukkan kartunya berulang-ulang,
walaupun mesin sudah berdenting. Ternyata ia melakukan hal ini
karena mengetahui bahwa kartunya belum terlubangi oleh mesin
secara sempurna, dia belum melakukan hal yang seharusnya
dilakukan.
Mengamati apa yang dilakukan oleh anak kecil itu,
muncullah rasa malu dan tanda tanya dihati. Anak itu melakukan
hal yang seharusnya, sedangkan saya yang lebih dewasa
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 49
memanfaatkan situasi yang tidak benar untuk mendapat
keuntungan pribadi, naik bis secara ”gratis” walaupun sebagai
mahasiswa telah mendapat potongan harga khusus. Muncullah
pertanyaan yang mengusik: apakah anak kecil itu menghayati nilai
kejujuran ataukah ia terlatih, terbiasakan untuk disiplin
mengerjakan segala sesuatu dengan seharus, Do it properly!
Sebagai orang yang menekuni Fisika, kami terbiasa untuk
berfikir dalam hubungan sebab akibat. Maka pertanyaannya
menjadi: Apakah karena disiplin menimbulkan kejujuran atau
karena jujur menimbulkan kedisiplinan. Pertanyaan ini sempat
kami pertanyakan kepada berbagai pihak dengan berbagai
latarbelakangnya, ternyata tidak menghasilkan satu simpulan
jawaban. Ada yang berpendapat bahwa orang yang disiplin akan
berujung dengan kejujuran, karena ia akan mengerjakan segala
sesuatu dengan lurus sesuai aturan dan kesepakatan yang ada,
tidak melakukan rekayasa demi kepentingan tertentu. Sebagian
orang berpendapat orang yang jujur akan membuahkan
kedisplinan. Karena jujur, seseorang akan mengerjakan sesuatu
dengan lugas tanpa penyimpangan, sesuai dengan pemahamannya
tentang perilaku jujur.
Di tengah pemikiran sebab akibat, disiplin jujur atau jujur
disiplin, kami ingat asas komplementaritas dalam fisika. Ibarat
sekeping mata uang, ia mempunyai dua sisi yang berbeda. Ketika
satu sisi kelihatan sisi yang lain tidak terlihat, tetapi kedua sisi ini
penting dan itulah yang memberi makna pada keping itu. Agaknya
masalah kedisiplinan dan kejujuran harus dipandang dalam
konteks ini, kedisplinan dan kejujuran ibarat dua sisi dari sekeping
mata uang, bukan dua hal yang terpisah. Bukankah sekeping mata
uang menjadi tidak ada artinya ketika ia hanya mempunyai satu
sisi.
Mudah-mudahan asas komplementaritas ini menjadi
inspirasi bagi para pendidik dalam mengembangkan karakter
siswa. Karakter jujur dapat dikembangkan dari kebiasaan untuk
mengerjakan segala sesuatu dengan benar. Peran contoh dan
keteladanan sangat penting agar siswa melihat dan tahu
bagaimana melakukan sesuatu dengan benar. Dari kebiasaan baik
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 50
yang tertanam inilah akan muncul nilai nilai yang akan
mengejawantah sebagai karakter dalam diri siswa. Nilai nilai
kejujuran juga perlu ditanamkan dalam diri siswa melalui
penyampaiam pesan-pesan moral dalam setiap kegiatan
pembelajaran, internalisasi nilai nilai kejujuran akan memberi
landasan dan motivasi siswa dalam mengerjakan/melakukan
sesuatu secara benar. Perdebatan jujur disiplin atau disiplin jujur
tidak terlalu penting lagi. Karena kedua nilai ini harus secara
integral terbangun dan ada dalam diri siswa. Ibarat keping mata
uang, ia bernilai ketika kedua sisinya ada.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 51


MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PANCASILA
Prof. Dr. Suyahmo, M.Si.
Jurusan Politik dan Kewarganegaraan FIS Unnes

Pembangunan karakter bangsa merupakan gagasan besar


yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia, karena
sebagai bangsa yang multikultur, yang terdiri atas berbagai suku
bangsa dengan nuansa kedaerahan yang kental, bangsa Indonesia
membutuhkan kesamaan pandangan tentang budaya dan karakter
yang holistik sebagai bangsa. Hal itu sangat penting karena
menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak
langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran
seluruh rakyat Indonesia.
Pembangunan karakter bangsa bertujuan untuk membina
dan mengembangkan karakter warga negara sehingga mampu
mewujudkan masyarakat yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan
Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karakter bangsa
adalah kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang khas baik yang
tecermin dalam kesadaran, pemahaman, rasa, karsa, dan perilaku
berbangsa dan bernegara sebagai hasil olah pikir, olah hati, olah
rasa dan karsa, serta olah raga seseorang atau sekelompok orang.
Pembangunan Karakter Bangsa sebagai upaya kolektif-
sistemik suatu negara kebangsaan untuk mewujudkan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan dasar dan ideologi,
konstitusi, haluan negara, serta potensi kolektifnya dalam konteks
kehidupan nasional, regional, dan global yang berkeadaban untuk
membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia,
bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis,
berbudaya, dan berorientasi Ipteks berdasarkan Pancasila dan
dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 52


Karakter yang berlandaskan falsafah Pancasila artinya
setiap aspek karakter harus dijiwai ke lima sila Pancasila secara
utuh dan komprehensif yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Bangsa yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan
adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai
Makhluk Tuhan yang Maha Esa. Karakter Ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa seseorang tercermin antara lain hormat dan bekerja
sama antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan,
saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya itu; tidak memaksakan
agama dan kepercayaannya kepada orang lain.
2. Bangsa yang Menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Dalam sila ini terkandung nilai-nilai bahwa negara harus
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk beradab. Karakter kemanusiaan seseorang tercermin
antara lain dalam pengakuan atas persamaan derajat,hak,
dan kewajiban; saling mencintai; tenggang rasa; tidak
semena-mena; terhadap orang lain; gemar melakukan
kegiatan kemanusiaan; menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
3. Bangsa yang Mengedepankan Persatuan dan Kesatuan
Bangsa
Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara adalah sebagai
penjelmaan sifat kodrat manusia monodualis yaitu sebagai
makhluk individu dan makhluk social. Komitmen dan sikap
yang selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan
Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan
golongan merupakan karakteristik pribadi bangsa Indonesia.
Karakter kebangsaan seseorang tecermin dalam sikap
menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan
keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau
golongan; rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan
negara.
4. Bangsa yang Demokratis dan Menjunjung Tinggi Hukum dan
Hak Asasi Manusia

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 53


Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya adalah bahwa
hakikat negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat
manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Karakter kerakyatan seseorang tecermin dalam perilaku yang
mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara; tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain; mengutamakan
musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan
untuk kepentingan bersama.
5. Bangsa yang Mengedepankan Keadilan dan Kesejahteraan
Nilai filosofis yang terkandung di dalamnya adalah nilai
keadilan yang harus terwujud dalam kehidupan
bersama(kehidupan sosial). Karakter berkeadilan sosial
seseorang tecermin antara lain dalam perbuatan yang
mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong
royongan.

Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya


merupakan sistem filsafat, yang merupakan suatu kesatuan
bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerjasama untuk
tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan
yang utuh. Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada
hakikatnya merupakan suatu kesatuan organis. Artinya, antara
sila-sila Pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan
saling mengkualifikasi. Pemikiran dasar yang terkandung dalam
Pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia yang berhubungan
dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan
masyarakat bangsa yang nilai-nilai itu dimilikinya. Inti sila-sila
Pancasila tersebut meliputi:
- Tuhan, yaitu sebagai kausa prima
- Manusia, yaitu makhluk individu dan makhluk sosial
- Satu, yaitu kesatuan memiliki kepribadian sendiri
- Rakyat, yaitu unsur mutlak negara, harus bekerja sama dan
gotong royong
- Adil, yaitu memberi keadilan kepada diri sendiri dan orang lain
yang menjadi haknya.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 54


Membahas Pancasila sebagai filsafat berarti
mengungkapkan konsep-konsep kebenaran Pancasila yang bukan
saja ditujukan pada bangsa Indonesia, melainkan juga bagi
manusia pada umumnya sedangkan Wawasan filsafat meliputi
bidang atau aspek penyelidikan ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Ketiga bidang tersebut dapat dianggap mencakup
kesemestaan.Secara filosofis pancasila sebagai suatu kesatuan
sistem filsafat memiliki dasar ontologis,dasar epistemologis,dan
dasar aksiologis berbeda dengan sistem filsafat lainnya,misalnya
materialisme, liberalism, pragmatisme, komunisme, idealism dan
paham lain filsafat di dunia. Dengan demikian membangun
karakter bangsa adalah suatu proses atau usaha yang dilakukan
untuk membina, memperbaiki dan atau membentuk tabiat, watak,
sifat kejiwaan, ahlak (budi pekerti), insan manusia (masyarakat)
sehingga menunjukkan perangai dan tingkah laku yang baik
berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin, dkk. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kebung, Konrad. 2008. Filsafat Itu Indah. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher.
Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan Indonesia.
Jakarta: PT. Gramedia.
Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9.
Jakarta: Pancoran Tujuh.
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila ,
Cet. 9.
Jakarta: Pantjoran Tujuh.
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta:
Rineka Cipta
Yunus. 1999. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Citra Sarana
Grafika

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 55


PENDIDIKAN DAN NASIONALISME
Oleh: Wasino
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri semarang

PENDAHULUAN
Bulan Oktober merupakan momentum penting dalam
sejarah Indonesia. Momentum itu adalah peristiwa Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Peristiwa tersebut
merupakan suatu simbol ideologis persatuan Indonesia yang di
pelopori oleh kalangan pemuda. Sejumlah pemuda dari berbagai
belahan tanah air menyatakan diri sebagai satu bangsa, satu
tanah air, dan satu bahasa.
Sumpah pemuda sesungguhnya salah satu titik kulminal
perjuangan kaum intelektual dari berbagai etnik di Hindia Belanda
untuk menyatakan diri sebgai suatu bangsa, Bangsa Indonesia.
Proses diawali dengan peristiwa yang dikenal sebagai Kebangkitan
nasional yang sudah mulai muncul pada awal abad XX dan ditandai
dengan lahirnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 2008. Sejak itu
dialog kebangsaan dikembangkan melalui pemikiran para tokoh
intelektual Indonesia yang tercerahkan akibat pendidikan Barat.
Dialog kebangsaan bergerak dari sentimen kedaerahan
seperti Jawa, Madura, Batauk, dan sebagainya menjadi sentimen
KeIndonesiaan. Lahirnya Budi Utomo dan Jong Java menunjukkan
kecintaan sekelompok pemuda terhadap pulau Jawa dan Madura
sebagai tempat kelahirannya. Demikian pula lahornya Jong
Sumatra yang digagas oleh pemuda-pemuda Sumatera juga
menunjukkan kecintaan mereka kepada puau kelahirannya, yang
disebutnya sebagai Pulau Perca. Organisasi kepemudaan lain
semua juga didasari pada kecintaan terhadap tanah kelahiran
mereka. Proses ini melahirkan sikap patriotisme. Setelah melalu
dialog dengan tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantoro, Hatta,
Sukarno, Cipto Mangun Kusumo, dan sebagainya sikap cinta tanah
kelahiran itu berubah menjadi cinta Indonesia yang mengatasi
kepentingan daerah asal mereka.
Harus ditekankan bahwa kesadaran nasional menuju
persatuan nasional Idonesia sangat dipengaruhi oleh pendidikan.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 56


dalam proses pendidikan ini peranan guru atau dosen sangatlah
penting. Kelompok sosial ini secara tidak langsung membukakan
pintu bagi tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai kebangsaan dan
integrasi bangsa.
BANGSA (NATION) DAN NASIONALISME
Konsep bangsa yang merupakan terjemahan dari kata
”nation” mengundang perdebatan di kalangan para ahli ilmu sosial.
Perbedaan itu terkait dengan pendekatan yang digunakan. Ada
yang menggunakan pendekatan politik dan ada yang
menggunakan pendekatan budaya.
Pabotinggi (dalam Dhakidae: 2002:xxix) mengemukakan
bahwa bangsa merupakan kolektivitas politik egaliter-otosentris
yang koterminus dengan wilayah politiknya serta lahir dari atau
dirujukkan bersama pada rangkaian serta aksiden sejarah yang
sarat makna dengan proyeksi eksistensial tanpa batasan waktu ke
masa depan. Menurutnya, nation berbeda dengan nasionalisme.
Nation adalah kolektivitas politik nyata dengan wilayah politik yang
nyata juga. Berdasarkan konsepsi ini, Bangsa Indonesia meliputi
suatu wilayah dari Sabang sampai Merauke, suatu wilayah bekas
jajahan Belanda. Sementara itu nasionalisme dipandang sebagai
impian dari suatu kolektivitas politik.
Pendekatan politik sangat berbeda dengan konsep bangsa
dalam pengertian budaya yang disampaikan oleh Anderson (2002).
Menurut ahli ini, bangsa adalah komunitas politik terbayang ( the
imagined political community). Para anggota masyarakat yang
mendiami suatu wilayah yang luas tidak bakal selalu saling tahu
dan tak kenal sebagian anggota lain, tidak akan saling bertatap
muka, tetapi mereka memiliki bayangan yang sama tentang
“nation” mereka. Munculnya kesadaran menjadi bangsa berjalan
melalui proses sejarah yang panjang.
Dalam realitas sejarah Indonesia, munculnya bangsa
Indonesia memang berasal dari komunitas terbayang. Ia muncul
dari kesadaran etnis, kedaerahan, paham agama, budaya, hingga
akhirnya berkembang menjadi kesadaran yang lebih luas yaitu
kebangsaan. Hal ini tercermin dari munculnya keasadaran diri
masyarakat nusantara yang sama-sama di bawah penjajahan
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 57
Belanda yang kemudian merasa senasib untuk hidup bersama
dalam suatu komunitas luas yang dinamakan Bangsa Indonesia.
Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini proses menjadi
Indonesia belum selesai. Proklamasi kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945 hanyalah sebuah pertanda lahirnya
“Negara” (state) baru yang berbeda dengan Hindia Belanda dan
Bala Pemerintahan Jepang. Sementara bangsa Indonesia yang
lahir jauh sebelum proklamasi, yakni telah dibayangkan sejak awal
abad XX masih mengalami proses dialog hingga saat ini. Banyak
anggota masyarakat yang secara kultural baru menyadari bahwa
dirinya bagian dari bangsa Indonesia dalam proses sejarah
(Wasino, 2005).
Nasionalisme (Hans Kohn, 1976) dimaknai sebagai paham
yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus
diserahkan kepada negara kebangsaan. Kesetiaan muncul karena
mereka memiliki faktor objektif tertentu yang membuat merelaka
berbeda dengan bangsa lain. Akan tetapi unsur terpenting adalah
adanya kemauan bersama dalam kehidupan nyata. Kemauan itulah
yang disebut sebagai nasionalisme.
Kemauan hidup bersama merupakan proses mental yang
terus menerus harus dipupuk. Seperti kata Asvi arman Adam
(2008), nasionalime itu mengalami proses pasang surut dalam diri
seseorang, kadang-kadang tebal, kadang-kadang tipis, seperti
keimanan seseorang terhadap Tuhan dan agamanya. Untuk itu
nasionalisme Indonesia di kalangan anak negeri harus selalu
disegarkan agar kemauan menjadi Bangsa Indonesia selalu kuat
mengakar dalam kalbu kita.
NASIONALISME INDONESIA AKIBAT PROSES
PENDIDIKAN
Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, gelora untuk
menempuh pendidikan di kalangan penduduk Bumiputra,
Indonesia cukup kuat. Dorongan ini didasarkan paling tidak oleh
dua hal, yaitu kebijakan Etis (Politik Kolonial Etis) yang
digelindingkan di Hindia Belanda salah satu program terpenting
adalah pendidikan. Kedua, aspek eksternal tentang syarat
pendidikan bagi tenaga kerja Indonesia untuk dapat direkrut dalam
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 58
dunia kerja Kolonial, bail dalam jajaran birokrasi pemerintahan
maupun swasta.
Politik Etis yang dilaksanakan sejak awal abad XX
mengembangkan pendidikan tidak hanya bagi kaum Eropa dan
Timur Asing, tetapi juga kaum bumiputra. Pemerintah Kolonial
menyediakan dana yang cukup besar, paling tidak sampai dengan
tahun 1920-an untuk membangun sekolah-sekolah dari sekolah
dasar bumiputra hingga perguruan tinggi.
Lapisan Sosial Bumiputra yang berpeluang pertama untuk
mengenyam pendidikan Barat anak-anak dari golongan priyayi.
Mula-mula golongan priyayi yang mengenyam pendidikan adalah
priyayi geneaologis, yaitu para priyayi yang lahir dari darah
bangsawan. Ada sejumlah alasan mengapa kaum priyayi yang
pertama kali menempuh pendidikan Barat. Pemerintah Hindia
Belanda pada akhir abad XIX memang mensyaratkan anak-anak
bangsawan yang dapat masuk jajaran birokrasi kolonial mulai dari
bupati hingga wedana haruslah yang memiliki ijazah sekolah
pejabat (hoofden schoolen). Sekolah untuk pejabat yang bernama
Osvia, kemudian berubah menjadi Mosvia merupakan sekolah
bergengsi kaena hanya dapat dimasuki oleh bangsawan kelas atas
(priyayi luhur). Setelah Indonesia merdeka, lembaga ini berubah
nama menjadi Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN), dan
kini berubah menjadi Sekolah Pemerintahan Dalam Negeri
(STPDN). Anak-anak raja, anak-anak bupati banyak yang di
sekolahkan di lembaga ini. Produk dari pendidikan Barat ini adalah
lahirnya golongan bangsawan yang menjadi pengabdi birokrasi
Kolonial dalam tataran yang lebih rendah dengan nama Indladsche
Bestuur.
Golongan priyayi ke dua adalah priyayi rendahan (priyayi
andap). Mereka adalah para mantri, guru, lurah, dan sebagainya.
Anak-anak dari kalangan priyayi rendahan ini menempuh jalur
pendidikan yang berbda dengan priyayi luhur. Banyak di antara
anak-anak mereka memasuki pendidikan dokter pribumi, yang
dikenal dengan nama Stovia.
Anak-anak priyayi yaang menempuh pendidikan Sekolah
Dokter Pribumi secara sosial memiliki prestis yang lebih rendah
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 59
dibandingkan dengan sekolah pejabat. Jabatan dokter, apalagi
dokter dari kalangan bumiputra bukanlah jabatan yang bergengsi.
Gajinya rendah dan penghargaan dari pemerintah kurang baik
karena dibedakan dengan dokter orang Eropa. Berdasarkan
perasaan rendah diri inilah maka lahirlah perasaan nasionalisme di
kalangan para mahasiswa dari sekolah dokter. Budi Utomo yang
dianggap sebagai tonggak lahirnya pergerakan nasional (yang
diperingati sebagai hari kebangkitan nasional) didirikan oleh para
mahasiswa di sekolah dokter (Stovia) yang didorong oleh
profesornya, Wahidin Sudirihusodo. Pada pendirinya adalah:
Sutomo,Gunawan,Suraji, dan Gumbreg adalah para mahasiswa
yang sedang menempuh pendidikan di lembaga kedokteran
pribumi tersebut.
Tentu saja di luar sekolah dokter, masih ada sejumlah
sekolah bagi kalangan elite bumiputra yang mendorong
nasionalisme Indonesia. Perguruan Teknik di Bandung ( THS) telah
melahirkan para insinyur bumiputra yang menjadi penggerak
nasionalisme Indonesia. Sebut saja Ir. Sukarno yang menjadi
pendiri Organisasi Politik Pergerakan, Partai Nasional Indonesia
adalah salah satu dari kelompok intelektual yang berasal dari
sekolah tinggi teknik. Semula mereka bergabung dalam studieclub-
studieclub, baik di Bandung maupun di Surabaya yang kemudian
menjadi protagonis nasionalisme Indonesia.
Kelompok elite bumiputra yang belajar ke luar negeri,
terutama di negeri Belamda juga terpatri pemikiran nasionalisme
Indonesia. Pendidikan Barat yang mereka peroleh tidaklah
membuat mereka menjadi “orang Barat”, tetapi justru melahirkan
rasa kebanggaan terhadap Indonesia. Hal ini muncul baik dari
kalangan priyayi Jawa maupun kalangan terpelajar dari luar Jawa.
Perhimpunan Indonesia (PI) yang semula berasal dari Indische
Vereeneging didirikan oleh para pelajar yang studi di negeri
Belanda. Hatta merupakan tokoh terpenting dalam pembentukan
organisasi ini. Hatta yang sedang menempuh pendidikan di bidang
ekonomi justru melahirkan kesadaran kuat tentang ke
Indonesiaan. Nama atau istilah “Indonesia” digelindingkan oleh
para mahasiswa ini melalui jurnal yang sangat terkenal “Hindia
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 60
Putra”.. Organisasi yang pada tahun 1924 secara tegas mengubah
dirinya menjadi Perhimpunan Indonesia ini pada tahun 1925
membuat sebuah manifesto yang cukup keras karena menjelaskan
cita-cita bersama, yaitu Indonesia Merdeka. Gagasan itu yang
menjadi landasan para pemuda mengadakan konggres 1926 dan
1928 dengan ending “Sumpah Pemuda”, sebuah simbol puncak
nasionalisme Indonesia.
Pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam “Hindia Putra”
yang kemudian menjadi “Indonesia Merdeka” telah mengubah
pemikiran politik para pejuang pergerakan Indonesia. Mereka
mengubah orientasi pergerakan yang semula kesukubangsaan
(etnik), dan agama menjadi “kebangsaan Indonesia”. Hampir
semua organisasi politik di Indonesia tidak ragu-ragu
menggunakan kata Indonesia di tengah kekuasaan Kolonial
Belanda yang masih kuat.
Di luar Pendidikan Barat, nasionalisme Indonesia digerakkan
dari pendidikan Timur Tengah. Para pelajar yang pulang dari timur
tengah, terutama mesir dan mereka yang pulang haji telah
melahirkan ksadaran nasionalisem Baru. Maka lahirlah organisasi
Sarikat Islam, Muhammadiyyah, Nahdatul Ulama, dan sebagainya
yang juga berperan dalam sejarah kebangkitan kebangsaa
Indonesia.
GURU DAN NASIONALISME INDONESIA
Dalam pentas sejarah Indonesia peran guru (termasuk
dosen) sebagai aktor penebar semangat kebangsaan dan
integrasi bangsa tak diragukan lagi. Willem Iskandar seorang
guru dari Tapanuli pada akhir abad XIX merupakan tokoh Bumi
Putra yang mengembangkan pendidikan untuk masa depan
bangsanya. Kepeloporannya tidak hanya dikenal di tanah Batak,
tetapi menyebar ke daerah-darah lain, termasuk Semarang. Dalam
surat Kabar De Locomotief yang terbit di Semarang bulan
Agustus tahun 1876 disebutkan bahwa almarhum Willem Iskandar
merupakan sosok guru, pionir pendidikan Bumi Putra.
Dalam suasana bangsa terjajah, Willem Iskandar menjalin
komunikasi dengan teman-teman sejawat sesama guru dari etnis
lain untuk memikirkan kemajuan bangsanya. Perhatiannya
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 61
terhadap pendidikan yang begitu besar ia mengajukan usul kepada
pemerintah Kolonial agar diadakan peningkatan mutu terhadap
sekolah-sekolah guru Bumi Putra, salah satunya adalah pemberian
beasiswa terhadap guru-guru muda. Berkat usahanya yang gigih,
sejumlah guru Bumi Putra dari beberapa etnis, yaitu Banas Lubis
(Batak Mandailing), Raden Mas Surono (Surakarta/Jawa), dan Ardi
Sasmita (Sunda) berhasil mendapatkan beasiswa untuk
melanjutkan studi ke Belanda. (www. Mandailing.org). Peristiwa itu
menunjukkan adanya jalinan guru antar etnis yang membangun
fondasi integrasi bangsa.
Di tanah Jawa banyak guru yang semasa pergerakan
nasional menjadi protagonis nasionalisme Indonesia. Ki Hajar
Dewantoro yang merupakan peletak dasar pendidikan Nasional
Indonesia adalah seorang guru. Dalam suasana alam penjajahan
ia berusaha melawan penindasan dengan mendirikan lembaga
pendidikan Taman Siswa. Melalui lembaga pendidikan ini ia dapat
membangun semangat kebangsaan dengan cara mendidik kaum
muda anak negeri yang tak terakomodasi dalam pendidikan
Kolonial.
Sebagai seorang guru, Ki Hajar Dewantoro ingin
memadukan antara pendidikan Timur yang lebih menekankan
aspek spiritual dengan pendidikan Barat yang menekankan aspek
akademik. Sebutan dirinya sebagai Ki Hajar sudah menunjukkan
bahwa ia mengambil konsep guru dari tradisi orang Jawa.
Sebagaimana tertuang dalam asas-asas pendidikan Taman Siswa,
ia ingin mendidik manusia Indonesia “utuh” (pen) yang dapat
hidup mandiri. Murid-murid harus dididik agar dapat “berperasaan,
berpikiran, dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan
mencapai tertib damai hidup bersama”. Guru tidak selayaknya
memaksakan siswa harus menguasai semua tujuan pembelajaran
yang dirumuskan oleh kurikulum, tetapi biarlah siswa belajar
menurut kodrat alam. Sistem ini dalam dunia pendidikan dikenal
dengan “Sistem Among”. Dalam sistem among, guru ideal
digambarkan sebagai “tut wuri handayani” selain juga harus
memiliki karakter “ing ngarsa sung tuladha dan “ing madyo
mangun karsa”. Menurut sejumlah pakar pendidikan sistem among
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 62
ini ternyata merupakan salah satu model pendidikan kecakapan
hidup (life skill) yang pernah dicanangkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional Indonesia pada masa menteri Abdul Malik
Fajar dan dilanjutkan oleh Bambang Sudibyo sebagaimana
tertuang dalam PP 19 pasal 13.
Ki Guru Dewantoro ternyata membangun pendidikan tidak
terlepas dari agendanya dalam membangun semangat
kebangsaan atau nasionalisme Indonesia yang semula
diperjuangkannya melalui jalur politik (Indische Partij). Dalam
sebuah pernyataanya ia mengatakan bahwa ada hubungan antara
gerakan politik (kebangsaan) dengan pendidikan taman siswa.
“Taman Siswa dan segala lapangan usaha sosial lainnya
merupakan ladang atau sawah, di mana orang memupuk apa yang
perlu bagi keperluan hidupnya. Gerakan politik merupakan pagar
yang melindungi ladang dari gangguan binatang-binatang buas
yang akan memakan dan menginjak-injak tunas-tunas tanaman”
(Poeponegoro, Notosoesanto, 1993: 244-350; Surjomihardjo,
1986).
Tan Malaka yang lebih banyak dikenal sebagai tokoh
pergerakan nasional berhaluan sosialis juga seorang guru. Semula
ia merupakan guru pada sekolah yang diadakan oleh Deli &
Svembah Maatschappij. Pada bulan Juni tahun 1921 ia bersama
teman-temannya di organisasi Sarikat Islam (SI) di Semarang
mendirikan sekolah dengan menggunakan ruang sidang gedung
SI-Semarang sebagai ruang belajar. Murid pertamanya berjumlah
50 orang. Sekolah ini dihambat oleh residen Semarang karena para
gurunya dianggap berhaluan komunis yang dianggap
membahayakan pemerintah Kolonial Belanda dan pemilik modal di
Semarang. Tan Malaka yang menjadi kepala sekolah tersebut
kemudian menggalang dana masyarakat sekitarnya dengan jalan
masuk kampung ke luar kampung dengan baju putih dan
berselempang merah yang bertuliskan ’ Rasa Kamardikan’.
Terlepas dari pro kontra tentang sosok tan Malaka dalam pentas
politik, harus diakui bahwa sang guru ini turut andil menebarkan
semangat kebangsaan melalui lembaga pendidikan ketika
kekuasaan Kolonial Belanda masih kuat di bumi nusantara.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 63
Tidak hanya guru-guru yang berasal dari etnis di nusantara
yang turut membangun semangat kebangsaan. E.F.E. Douwes
Dekker atau yang dikenal sebagai Dr. Danudirjo Setiabuddhi yang
dikenal sebagai tokoh Indische Partij adalah juga seorang guru.
Tokoh blasteran Belanda-Indonesia (Indo-Belanda) ini bekerja
sebagai guru pada sekolah swasta di jalan Kelapa 17 Bandung
pada tahun 1921, sekolah milik Ny. Meayer-Elenbaas, setelah
organisasi politik tempat ia berjuang dibubarkan. Dari sekolah ini
muncul Preanger Instituut van de Vereeneging Volksonderwijs
(Lembaga Priangan dari Perhimpunan Guru-guru Sekolah Rakyat),
dan Douwes Dekker berkedudukan sebagai kepala sekolah MULO
(SMP). Meskipun sekolah tersebut diawasi ketat oleh Pemerintah
Kolonial Belanda, ia tetap mengobarkan semangat kebangsaan
kepada murid-muridnya, salah satunya dengan mengadakan
peringatan wafatnya Pangeran Diponegoro tanggal 8 Januari
1924. Peristiwa seperti ini jelas menunjukkan suatu simbol
semangat kebangsaan karena Diponegoro dianggap sebagai tokoh
pemberontak yang paling disegani oleh pemerintah Kolonial
Belanda pada abad XIX (Poeponegoro, Notosoesanto, 1993: 244-
350).
Kalangan pendidik pasti tidak akan lupa tentang Lembaga
pendidikan Kayutanam (INS Kayutanam) di Sumatra Barat.
Lembaga ini dibangun oleh seorang guru yang berpandangan maju
dan memiliki kaitan dengan pergerakan nasional, yaitu Mohammad
Syafei (1897-1969). Syafei menolak model pendidikan Barat yang
ketika itu hanya menekankan kecakapan intelektual. Ia
menginginkan anak didiknya menjadi murid ideal, yakni cinta
kebenaran dalam hatinya, dan dalam pengetahuan intelektualnya.
(Poeponegoro, dan Notosoesanto, 1993:271). Guru Syafei yang
merupakan putra dari tokoh pergerakan politik NIP di Padang,
Marah Sutan melanjutkan cita-cita perjuangan orang tuanya
melalui bidang pendidikan. Pendidikan yang dibangunnya dapat
menciptakan manusia yang rajin dan ulet serta memiliki
kecakapan yang dibutuhkan sebagai bangsa yang memiliki
kecintaan sesama manusia. (Ali Akbar Navis dalam Prisma, April
1987: 78-960.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 64
Tentu masih banyak sekali guru yang berperan dalam dalam
sejarah perjalanan bangsa yang tak tercatat dalam sejarah, atau
tak sempat dikemukakan satu-per satu dalam uraian ini. Guru-guru
dari perguruan Muhammadiyyah, Nahdatul Ulama, Pendidikan
Zending, Missie, bahkan guru-guru yang bekerja di lingkungan
pemerintahan Kolonial Belanda banyak yang berperan dalam
menumbuhkan semanagat kebangsaan dan integrasi bangsa.
Semangat itu mudah-mudahan masih bergelora hingga masa kini.
Sisa-sisa semangat altruistik para guru di masa pergerakan
nasional tampaknya masih bisa kita temui di masa sekarang,
meskipun banyak guru yang bekerja sebagai kepanjangan tangan
kapitalisme global dan layaknya buruh belaka.
PENUTUP
Di luar pendidikan umum tersebut masih ada lembaga
pendidikan yang melahirkan nasionalisme Indonesia, yaitu
pendidikan militer. Pendidikan militer yang banyak diajarkan pada
masa pendudukan Jepang dan pascakemerdekaan Indonesia telah
melahirkan tafsir sendiri tentang “nasionalisme”. Jika pendidikan
Barat telah melahirkan semangat nasionalisme “politik” , maka
pendidikan militer telah melahirkan nasionalisme “milter” yang
maknanya menjadi berbeda setelah Indonesia merdeka.
Terlepas dari perbedaan dua akar nasionalisme itu, pada
akhir tulisan ini ada baiknya dilakukan refleksi historis terhadap
hubungan antara pendidikan dan nasionalisme kita. Refleksi ini
penting untuk melangkah ke depan agar kita menjadi yakin bahwa
pilihan menjadi orang Indonesia bukan suatu yang salah.
Berdasarkan catatan historis, pendidikan memiliki arti
penting dalam proses nasionalisme Indonesia. Kelompok-kelompok
sosial tertentu yang bergelut dalam dunia pendidikan ternyata
terasah oleh situasi zaman dan melahirkan semangat kebangsaan
Indonesia (nasionalisme Indonesia). Kelompok sosial yang
dominan adalah kalangan elit yang menempuh pendidikan tinggi,
yaitu kedokteran, teknik, ekonomi, sastra, dan sebagainya.
Pertanyaannya adalah apakah kelompok-kelompok sosial
yang dibesarkan dalam ruang pendidikan di Indonesia kini
melahirkan kelompok sosial yang memiliki jiwa nasionalisme
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 65
Indonsia . Apakah dokter-dokter Indonesia memiliki rasa
nasionalisme yang kuat untuk bersaing dengan dokter-dokter
bangsa lain. Apakah justru sebaliknya menjadi konsumen dari
produk intelektual luar negeri. Demikian pula para sarjana
ekonomi, teknik, hukum, dan humaniora apakah memiliki kemauan
yang kuat untuk membesarkan daya saing bangsa Indonesia.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu tentu ada di lubuk hati
kita sebagai penyelenggara institusi pendidikan di Indonesia. Yang
jelas banyak cerdik pandai dan teknokrat kita lebih senang menjadi
kuli bangsa lain dan mengagung-agungkan kebesaran bangsa lain
tanpa ada usaha untuk memperbaiki diri agar harga diri bangsa
meningkat. Saya ingat ketika tiga orang peneliti sejarah dari Korea
Selatan meminta diantar ke Ambarawa meneliti kekejaman Jepang
terhadap Korea selama Perang Dunia II. Tujuan terpenting dari
penelitian itu adalah untuk menimbulkan kebanggan Bangsa Korea
menentang Jepang yang dirfelksikan di masa kini dengan
menentang produk-produk Jepang yang akan di jual di Korea. Lalu
bagaimana dengan sejarawan kita, ternyata berkutat pada
persoalan konflik antar sesama anak bangsa yang kurang
memberkan pencerahan bagi nasionalisme kita. Sementara itu
bangsa kita telah menjadi bangsa buruh dan konsumtif di negeri
sendiri seperti halnhya pada abad XIX, sebelum pergerakan
nasional lahir.
Dalam memperingati hari kebangkitan nasional kiranya
harus dipetik makna terpenting yaitu meningkatkan hargadiri
bangsa melalui peningkatan daya saing. Peningkatan daya saing
dapat dilakukan dengan pendidikan yang berkualitas, maju, dan
Cinta Indonesia. Selamat ulang tahun 100 tahun Kebangkitan
Nasional, semoga jiwa kita tak pernah padam dari kebangkitan
tersebut.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 66


NASIONALISME PEMUDA INDONESIA
Oleh: Dr. Eko Handoyo, M.Si.
Fakultas Ilmu Sosial Unnes

PENGANTAR
Pemuda merupakan salah satu kategori generasi bangsa
yang selalu menarik untuk dikaji. Bukan saja karena secara fisik,
pemuda dipandang memiliki vitalitas yang tinggi dibanding
kategori lainnya, tetapi juga karena ia selalu ada dan tampil dalam
membela bangsa. Ia ada karena panggilan sejarah. Ia yang
menjaga stabilitas bangsa dan negara, dan ia juga yang
menggerakkan perubahan untuk bangsa dan negaranya.
Mendiskusikan pemuda selalu saja ada nilai aktualnya,
karena pemuda merupakan bagian dari perkembangan manusia
yang memiliki daya tarik, tidak hanya karena bentuk fisik yang
menarik, tetapi juga karena pemuda memiliki daya vital,
agresivitas, dan keberanian yang berbeda dengan kelompok umur
lainnya, baik kelompok balita, remaja maupun kelompok umur
dewasa dan tua.
Oleh karena postur fisik yang segar ditambah keberanian,
menyebabkan pemuda senantiasa aktif dan mengambilbagian
secara aktif dalam setiap level kegiatan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Banyak orang muda yang mengambil peran
penting dalam kehidupan politik kenegaraan dan pemerintahan. Di
Indonesia, Soekarno dan Soeharto merupakan contoh dari pemuda
pada masanya yang mengambil peran aktif dalam kehidupan
kenegaraan dan pemerintahan. Tentu saja masih banyak tokoh
pemuda yang berperan aktif untuk kepentingan masyarakat,
namun dalam tulisan singkat ini tidak mungkin dipaparkan semua.
Tulisan ini mengkaji tentang nasionalisme pemuda Indonesia
baik pada masa lalu, dalam arti masa kolonialis, masa
kemerdekaan hingga masa Orde Baru. Kiprah pemuda pada masa
lalu tidak dibahas secara detail. Demikian pula, nasionalisme
pemuda pada masa kini atau yang dikenal dengan era reformasi
juga dibahas secara umum, tidak detail, misalnya bagaimana

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 67


nasionalisme pemuda masa pemerintahan Habibi, masa Gus Dur,
masa Megawati, dan masa Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Setelah mengetengahkan sekelumit informasi tentang
nasionalisme pemuda pada masa lalu dan kini, tulisan ini juga
menjelaskan bagaimana nasionalisme pemuda pada eranya
senantiasa memberi warna terhadap perjuangan heroik bangsa
Indonesia menuju kejayaannya.
Sebelum ditutup, tulisan ini diakhiri dengan kajian tentang
bagaimana membangun karakter nasionalis pemuda Indonesia
agar mereka tetap memiliki identitas dan kepribadian sendiri
(Pancasila), tetapi tetap mampu berperan aktif dalam memajukan
bangsanya dalam konstelasi internasional.
Sebelum sampai pada pembahasan nasionalisme pemuda
secara utuh, tulisan ini juga menguraikan apa yang dimaksud
dengan nasionalisme pemuda, dengan menelusuri arti kata
nasionalisme dan siapa yang dapat dimasukkan dalam kategori
pemuda. Selain itu juga diutarakan tanggung jawab dan peran
pemuda sebagaimana ditetapkan secara normatif dalam Undang-
Undang nomor 40 tahun 2009.
Smith (2003) dalam buku berjudul Nationalism, Theory,
Ideology, and History, mengutarakan lima definisi tentang
nasionalisme, tetapi yang dipandang relevan dengan tulisan ini
adalah definisi kedua, yaitu “suatu sentimen atau kesadaran
memiliki bangsa”. Definisi ini masih terlalu umum, sehingga dalam
bukunya, Smith (2003) memberikan definisi kerja nasionalisme
sebagai berikut.
Suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan
mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas sebagai
suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk
membentuk suatu bangsa yang aktual maupun bangsa yang
potensial.
Definisi kerja nasionalisme tersebut hendak menyatakan
bahwa nasionalisme sebuah bangsa berakar pada sistem nilai yang
dibangun sendiri, bukan menjiplak sistem nilai bangsa lain. Itulah
sebabnya, nasionalisme sebagai gerakan ideologis ingin
mewujudkan dan mempertahankan otonomi, kesatuan dan
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 68
identitasnya sendiri. Sebagai sebuah sentimen atau kesadaran
kebangsaan, nasionalisme berakar dari kata nasion atau bangsa,
merujuk pada perspektif historis, yaitu sebuah ingatan yang
dibagikan di antara masing-masing dari banyak individu yang
merupakan anggota bangsa mengenai masa lalu bangsanya,
termasuk mengenai komunitas asal mulanya (Grosby 2011). Oleh
Ben Anderson, ingatan historis ini dipahami sebagai sebuah
komunitas yang dibayangkan (imagined community).
Dalam hal nasionalisme Indonesia, yang ingin diwujudkan
bangsa Indonesia dalam kehidupan nasionalnya adalah
nasionalisme Pancasila. Nasionalisme Pancasila ini dalam
realitasnya dikembangkan lagi dalam wujud empat pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila sebagai pilar pertama,
dilanjutkan dengan UUD 1945 sebagai pilar kedua, serta NKRI dan
Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilar ketiga dan keempat. Semua
pilar tersebut, dijadikan sebagai acuan untuk mempertahankan
identitas Indonesia dan mengikat persatuan Indonesia, baik dalam
kehidupan bidang politik, sosial budaya, ekonomi, dan pertahanan
keamanan.
Dalam UU Nomor 40 Tahun 2009, yang dimaksud pemuda
adalah warga negara Indonesia yang berusia antara 16 hingga 30
tahun. Sebelum UU tersebut terbit, mereka yang berusia 40 tahun
juga digolongkan sebagai pemuda, sehingga banyak pengurus
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang usianya berkisar
antara 30 hingga 40 tahun. Tulisan ini tidak mengacu sepenuhnya
definisi pemuda dengan pengkategorian usia maksimal 30 tahun
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2009, karena
dalam realitasnya banyak orang Indonesia yang usianya di atas 30
tahun hingga 40 tahun yang memiliki kiprah luar biasa yang
membanggakan bangsanya.
Profil pemuda seperti apakah yang akan dibangun? UU
Nomor 40 Tahun 2009 menjelaskan bahwa pemuda yang hendak
dibangun adalah pemuda yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, kreatif,
inovatif, mandiri, demokratis, bertanggungjawab, berdaya saing,
serta memiliki jiwa kepemimpinan, kewirausahaan, kepeloporan,
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 69
dan kebangsaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Jelas
dalam UU tersebut bahwa sistem nilai (ideologi) yang dijadikan
acuan dalam membangun pemuda adalah Pancasila, karena itulah
identitas keindonesiaan yang tidak bisa ditawar lagi.
Pemuda memiliki tanggung jawab besar terhadap
keberlangsungan kehidupan bangsa. Dalam UU Nomor 40 Tahun
2009, tanggung jawab pemuda meliputi: (1) menjaga Pancasila
sebagai ideologi negara; (1) menjaga tetap tegak dan utuhnya
Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) memperkukuh persatuan
dan kesatuan bangsa; (4) melaksanakan konstitusi, demokrasi,
dan tegaknya hukum; (5) meningkatkan kecerdasan dan
kesejahteraan masyarakat; (6) meningkatkan ketahanan budaya
nasional; dan (7) meningkatkan daya saing dan kemandirian
ekonomi bangsa.
Karena tanggung jawab yang besar ini, maka pemuda
memiliki peran normatif yang besar pula demi menjaga
keberlangsungan dan kemajuan bangsa Indonesia. Peran itu
meliputi peran pemuda sebagai kekuatan moral, pemuda sebagai
kontrol sosial, dan pemuda sebagai agen perubahan sosial.
Peran pemuda sebagai kekuatan moral diwujudkan dengan
menumbuhkembangkan aspek etik dan moralitas dalam bertindak
pada setiap dimensi kehidupan kepemudaan, memperkuat iman
dan takwa, dan memperkokoh ketahanan mental-spiritualnya.
Pemuda sebagai kontrol sosial mengandung arti bahwa
pemuda harus mampu membangkitkan kesadaran atas
tanggungjawab, hak, dan kewajiban sebagai warga negara;
membangkitkan sikap kritis terhadap lingkungan dan penegakan
hukum; serta meningkatkan partisipasi dalam perumusan
kebijakan publik.
Pemuda sebagai agen perubahan sosial harus bersikap
demokratis, terdidik secara politik, memiliki kepedulian terhadap
masyarakat, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
berkiprah dalam aktivitas olahraga, seni, dan budaya, mempunyai
kepedulian terhadap lingkungan hidup, serta memiliki jiwa
kepemimpinan, kepeloporan, dan kewirausaan sebagai pemuda.
NASIONALISME PEMUDA MASA LALU DAN MASA KINI
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 70
Bangsa yang besar tidak akan pernah melupakan sejarah
masa lalunya dan peran para pendahulunya. Bung Karno pernah
mengatakan “JASMERAH”, jangan sekali-kali melupakan sejarah.
Hal itu memberikan pelajaran bahwa sejarah masa lalu ibarat
cermin yang harus dilihat apa, mengapa, dan bagaimana sejarah
kehidupan bangsa Indonesia pada masa lalu, utamanya sebelum
Indonesia diterpa krisis pada tahun 1997/1998 yang lalu.
Peran para pendahulu, utamanya mereka yang tergolong
dalam usia muda tidak bisa dilupakan. Perjuangan para pemuda
melalui organisasinya masing-masing, terutama ketika menghadapi
pihak kolonialis Belanda begitu heroik tanpa ada pamrih sedikit
pun untuk meraih kekuasaan setelah mereka berjuang melawan
dan mengusir penjajah.
Tonggak awal nasionalisme pemuda adalah gerakan yang
dilakukan oleh dr. Sutomo dan kawan-kawan dalam wadah
organisasi Budi Utomo. Berdirinya Budi Utomo menandai
perkembangan baru dalam sejarah bangsa Indonesia (Moedjanto
1988). Organisasi ini dinamai Budi Utomo yang dalam bahasa Jawa
berarti “budi ingkang utami”, karena kata “budi” dari kata
Sansekerta “buddhi”, mengandung makna keterbukaan jiwa,
pikiran, akal, dan kesadaran; sedangkan utama dari kata “ uttama”,
artinya tingkat pertama atau sangat baik (Nagazumi 1989). Ini
berarti Budi Utomo adalah jiwa, kesadaran, akal, dan pikiran yang
sangat baik. Orang yang berbudi mampu menjaga keseimbangan
dan keutuhan, karena budi akan memberi cahaya terang kepada
orang yang menggunakannya. Budi Utomo didirikan dimaksudkan
agar dapat menjaga keseimbangan dan cahaya penerang bagi
kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Budi Utomo
semula bersifat kedaerahan, karena keanggotaannya terbatas
pada kalangan elit dan priyayi Jawa dan orientasi kegiatannya
terbatas pada sosial kultural untuk membangun masyarakat Jawa-
Madura. Dalam perkembangannya, setelah memperoleh masukan
dari Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasional Indonesia (PNI)
pada tahun 1927, sifat kedaerahan Budi Utomo sirna. Tahun 1931
dalam kongresnya di Jakarta, diputuskan bahwa Budi Utomo
terbuka untuk seluruh bbangsa Indonesia dan kongres Budi Utomo
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 71
di Solo pada tahun 1932 diputuskan mempertegas tujuan Budi
Utomo, yaitu Indonesia Merdeka (Moedjanto 1988).
Pemuda yang tergabung dalam Sarikat Dagang Islam,
Sarekat Islam, Muhammadiyah, Indische Partij, Perhimpunan
Indonesia, Partai Nasional Indonesia, dan yang lain, juga
menunjukkan jiwa nasionalismenya yang tidak kalah heroik dengan
roh nasionalisme para tokoh Budi Utomo.
Tonggak kedua adalah kongres Pemuda tahun 1928, yang
kemudian menghasilkan keputusan penting yang menjadi peletak
batu pertama perasaan nasionalisme Indonesia atau persatuan
Indonesia. Kongres itu menelorkan ikrar atau sumpah suci yang
menunjukkan identitas keindonesiaan. Ikrar yang kemudian
dikenal sebagai Sumpah Pemuda menghasilkan keputusan para
pemuda untuk berbangsa yang satu, bertanah air yang satu, dan
berbahasa yang satu, yaitu Indonesia. Nama Indonesia yang
diperkenalkan oleh Adolf Bastian dan Logan, dari kata Indos dan
Nesos, menjadi simbol persatuan bangsa, tanah air, dan bahasa
yang digunakan seluruh komponen bangsa yang menempati
wilayah Nusantara.
Tonggak ketiga adalah Proklamasi Kemerdekaan yang
diucapkan tokoh dwitunggal bangsa Indonesia, yaitu Sekarno dan
Hatta. Kedua tokoh ini tergabung dalam organisasi tunggal yang
menyiapkan kemerdekaan Indonesia, yaitu Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pemuda memiliki andil besar bagi
kemerdekaan Indonesia. Kemerdekaan tersebut tidak akan
diproklamasikan jika pemuda tidak bertindak cepat dan berani,
dengan membawa Bung Karno ke Rengas Dengklok untuk
menghindarkan pengaruh Jepang. Hal ini sebagaimana dikatakan
Chaerul Saleh: ,”Bung Karno dan Bung Hatta kita angkat saja.
Malam ini juga kita selamatkan mereka dari tangan Jepang dan
laksanakan proklamasi tanggal 16 Agustus 1945” (Yunarti 2003).
Bung Karno menolak memproklamasikan kemerdekaan pada
tanggal 16 Agustus, karena belum menanyampaikan kepada
seluruh anggota PPKI. Melalui perjuangan hebat, tidak kenal lelah,
dan diselingi perdebatan atau perbedaan pendapat antara
golongan tua yang diwakili Soekarno, dkk. dan golongan muda
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 72
yang diwakili Chaerul Saleh, dkk. akhirnya terjadi kesepakatan
bahwa kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang berisi dua kalimat
suci. Pertama, pernyataan bangsa Indonesia tentang kemerdekaan
Indonesia. Kedua, tindakan cepat untuk merealisasikan sekaligus
melengkapi bangunan Indonesia. PPKI bertindak cepat untuk
menindaklanjuti kemerdekaan, dengan bersidang tanggal 18
Agustus 1945. Keputusan penting dari sidang tersebut adalah
mengangkat Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan
Wakil Pertama Republik Indonesia, mengesahkan rancangan
Pembukaan dan batang tubuh UUD menjadi Pembukaan dan UUD
1945, serta membentuk sebuah komite, yaitu Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Pada sidang-sidang berikutnya, PPKI juga
menetapkan daerah provinsi dan kementerian dalam pemerintahan
Indonesia. Lengkap sudah Indonesia sebagai negara merdeka,
baik secara de facto maupun secara de jure.
Setelah merdeka, Indonesia mengalami ujian besar dengan
kembalinya tentara Sekutu untuk menguasai Indonesia. Sekutu
menganggap kemerdekaan Indonesia tidak sah dan mereka
kembali ingin menancapkan kuku kekuasaannya di bumi nusantara
atas dasar kemenangannya terhadap Jepang. Keinginan kolonialis
direspons para pemuda dengan melakukan perlawanan, seperti
yang ditunjukkan arek-arek Surabaya di bawah komando Bung
Tomo. Sebelum pecah pertempuran di Surabaya pada tanggal 10
November 1945, tanggal 19 September di hotel Yamato, seorang
pemuda dengan gagah berani memanjat tiang bendera Belanda
dan menyobek bagian bendera yang berwarna biru (Moedjanto
1988). Peristiwa tersebut kemudian diikuti dengan perkelahian
massal antara orang-orang Belanda dan IndoBelanda melawan
pemuda-pemuda Indonesia. Pertempuran antara kolonialis dengan
pemuda Indonesia di Surabaya berlangsung hingga bulan
November 1945. Perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialis
juga berlangsung di daerah lain, seperti di Bandung, di Ambarawa,
di Magelang, di Surakarta, di Yogyakarta, di Semarang, dan di
daerah lainnya.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 73
Pemerintahan Soekarno mengalami pasang surut selama
hampir 22 tahun. Pergolakan daerah berlangsung cukup gencar.
Stabilitas politik dan pemerintahan terganggu, ditandai dengan
sering berganti kabinet. Keamanan terganggu, karena pemerintah
selain menghadapi pemberontakan dari dalam negeri, juga
menghadapi provokasi dari luar negeri. Kehidupan ekonomi
mengalami kemerosotan. Inflasi yang tinggi dan harga-harga
membumbung tinggi, dan peristiwa G30S-PKI menandai
berakhirnya kekuasaan Soekarno. Menjelang berakhirnya
pemerintahan Soekarno, anak-anak muda, seperti Akbar Tanjung
dan Rahman Tolleng melakukan aksi protes terhadap
memburuknya kinerja pemerintah Orde Lama.
Pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto berkuasa
menggantikan Soekarno yang dinilai MPR tidak mampu lagi
menjalankan kekuasaannya (tidak lagi dipercaya rakyat melalui
MPR). Semula pemerintah bertindak prorakyat, apalagi pemerintah
Orde Baru memandang dirinya sebagai Orde Pengkoreksi dan Orde
Pembangunan. Berdasarkan GBHN yang ditetapkan MPR dan
Repelita yang ditetapkan pemerintah, pemerintah Orde Baru
berhasil mengangkat kehidupan rakyat dari kemiskinan,
keterbelakangan, dan kekurangan. Pada awal pemerintahan Orde
Baru, Soeharto berhasil menekan angka inflasi, yakni 68% pada
tahun 1968 dari hyper inflasi pada tahun 1965 sebesar 1000%
(Ariadi, Nanang E. dan Dwi Sugiarti 1999:34). Jumlah penduduk
miskin yang pada tahun 1970 berjumlah 70 juta pada tahun 1993
tinggal 25,9 juta (Ariadi, Nanang E. dan Dwi Sugiarti 1999:34).
Demikian pula, pendapatan rata-rata per jiwa pada tahun 1970
sekitar US$ 70 dan menjelang akhir PJP I menjadi US$ 700. Laju
pertumbuhan produksi nasional dengan harga konstan selama 25
tahun terakhir rata-rata tumbuh 6,0% setiap tahun, sedangkan
laju pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8% setiap tahun.Tahun
1980-an menjadi era emas pemerintah Orde Baru, karena saat itu
terjadi oil-boom. Naiknya harga minyak tersebut memberi berkah
bagi pembangunan di Indonesia.
Pada awal pemerintahan Soeharto tidak berarti tidak ada
perlawanan dari pemuda. Patut dicatat, misalnya demonstrasi yang
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 74
dilakukan Hariman Siregar, dkk. (terkenal dengan peristiwa
MALARI) menentang masuknya modal asing ke Indonesia dengan
menolak kedatangan PM Jepang Tanaka, menunjukkan betapa
pemuda tidak pernah hilang gairah nasionalismenya.
Hingga awal tahun 1997, kegiatan pembangunan berhasil
menaikkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan
mulai terasa. Namun krisis moneter pada pertengahan tahun 1997
membuka mata bangsa Indonesia betapa fundamen ekonomi
Indonesia tidak kuat, karena sebagian besar biaya pembangunan
nasional ditopang oleh hutang luar negeri. Kebijakan prokapitalis
inilah yang menyebabkan ekonomi Indonesia ambruk, hingga pada
bulan Mei atas desakan para mahasiswa, pelajar, dan kelompok
pemuda lainnya, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan
Presiden republik Indonesia. Peristiwa tahun 1998 tersebut
menandai dimulainya era reformasi.
Keberanian para mahasiswa dan pemuda menolak
kepemimpinan Soeharto tersebut menandakan betapa
nasionalisme pemuda masih tinggi. Mereka dengan jiwa
idealismenya, mengusung perubahan, tidak hanya kepemimpinan
nasional, tetapi perubahan lainnya, seperti perubahan terhadap
struktur ABRI, perbaikan ekonomi (penurunan harga barang), dan
lainnya.
Nasionalisme pemuda pada era reformasi yang juga dikenal
sebagai era demokratisasi, juga menampakkan wujudnya melalui
sikap kritis mereka terhadap pemerintah, baik terhadap
pemerintah era Habibi, era Gus Dur, era Megawati,maupun era
SBY. Sikap kritis dan kontrol mereka terhadap kebijakan
pemerintah yang tidak prorakyat mereka lakukan semata-mata
untuk membantu rakyat bahagia hidupnya. Kemiskinan,
pengangguran, keterbelakangan, dan korupsi menjadi isu utama
kaum muda dalam mengkritik dan mengontrol kebijakan
pemerintah. Selain sebagai kekuatan kontrol agen perubahan
sosial, pemuda juga aktif dalam mengisi kemerdekaan dan
pembangunan sesuai bakat, minat, dan bidang yang mereka
geluti. Banyak di antara mereka yang meraih prestasi pada usia
muda, baik prestasi politik, ekonomi, seni budaya dan olahraga.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 75
Nama-nama, seperti Rama Pratama, Chris John, Anis Baswedan,
Andrea Hirata, Anne Ahira, Mohammad Ahsan, Hendra Setiawan,
Tontowi Ahmad, dan Liliyana Natsir merupakan anak-anak muda
yang berhasil dan berprestasi di bidangnya masing-masing,
merupakan realisasi positif dari nasionalisme pemuda masa kini.
PEMUDA DAN KEJAYAAN INDONESIA
Indonesia bukan negeri kecil, seperti halnya Vatikan City
dengan luas wilayah 0,44 km² dengan jumlah penduduk hanya
800 jiwa, Monaco dengan luas wilayah 1,95 km² dengan jumlah
penduduk 32.000 jiwa, dan Nauru dengan luas wilayah 21 km²
dengan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebanyak 14.014 jiwa.
Jika dibandingkan dengan Vatikan City, Monaco, dan Nauru,
Indonesia terlalu besar. Dibandingkan dengan negara-negara di
Asia Tenggara, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina,
Brunai, Laos, Vietnam, Kamboja, dan Burma, Indonesia masih
lebih besar utamanya dilihat dari luas dan jumlah penduduknya.
Bahkan dibandingkan dengan negara-negara Eropa, seperti
Belanda, Belgia, Luxemburg, Kroasia, Lithuania, Swedia, Norwegia,
Indonesia masih lebih besar. Indonesia merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah penduduk menempati
ranking keempat di dunia, setelah China, India, dan Amerika
Serikat. Meskipun bukan negara yang berdasarkan agama tertentu,
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk beragama
Islam terbesar di dunia.
Indonesia dengan 17.504 pulau memiliki 3 pulau besar,
yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua, merupakan tiga dari enam
pulau terbesar di dunia. Indonesia merupakan negara maritim
terbesar di dunia. Suku bangsa yang dimiliki Indonesia, yaitu 740
suku bangsa merupakan negara dengan suku bangsa terbanyak di
dunia. Indonesia memiliki 583 bahasa daerah, merupakan negara
dengan bahasa daerah terbanyak di dunia. Indonesia merupakan
pengekspor LNG terbesar di dunia. Indonesia memiliki hutan bakau
terbesar di dunia. Indonesia merupakan satu-satunya negara yang
memiliki bunga Rafflesia terbesar di dunia. Indonesia merupakan
satu-satunya negara yang memiliki binatang purba yang masih
hidup, yaitu komodo di Nusa Tenggara. Indonesia memiliki candi
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 76
Budha (Borobudur) terbesar di dunia. Indonesia memiliki
biodiversitas anggrek terbesar di dunia. Indonesia mempunyai
spesies hiu terbanyak di dunia. Indonesia merupakan negara
pengekspor kayu lapis terbesar di dunia. Yang tidak kalah
menariknya, Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia
yang pernah keluar dari PBB.
Kebesaran Indonesia itu juga dapat ditelusuri dari kejayaan
Indonesia masa lalu, utamanya pada masa Sriwijaya dan
Majapahit, yang tidak hanya menjadi pusat keunggulan budaya
dan teknologi, tetapi juga menjadi pusat perekonomian di wilayah
Asia Tenggara. Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang besar dan
menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, sedangkan
Majapahit yang terkenal dengan komoditas pertaniannya, dalam
masa keemasannya ditengarai menguasai wilayah yang sangat
luas dan diduga memiliki daerah taklukan hingga ke luar wilayah
nusantara (Moedjanto 1989). Kebesaran Indonesia secara historis
ini selalu menjadi sumber motivasi dan inspirasi bagi masyarakat
Indonesia untuk membangun kejayaan Indonesia di masa
mendatang.
Beberapa lembaga independen asing, satu di antaranya
adalah McKinsey Global Institut memprediksi bahwa Indonesia
bakal menjadi kekuatan besar ekonomi dunia pada tahun
2030.McKinsey Global Institut (Anonimous 2012) dalam rilis
laporannya pada bulan September 2012 meramalkan bahwa pada
tahun 2030, Indonesia akan menjadi 7 besar kekuatan ekonomi
dunia. Hal ini didukung oleh prediksi berikutnya, yakni (1)
sebanyak 135 juta orang sebagai consuming class, (2) 71%
penduduk kota menghasilkan 86% GDP, (3) 113 juta pekerja
terampil bergerak dalam kegiatan ekonomi, dan (4) sebanyak $1,8
trillion merupakan peluang pasar dalam pelayanan konsumen,
pertanian dan perikanan, sember daya dan pendidikan.
Kejayaaan yang akan terjadi pada tahun 2030 tersebut,
hanya dapat dicapai oleh kerja keras dan kerja cerdas seluruh
komponen bangsa, utamanya para pemuda. Jika ditilik
perkembangan pemuda Indonesia sekarang ini, ramalan kejayaan
Indonesia tahun 2030 tersebut bukan khayalan. Kiprah dan
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 77
prestasi membanggakan pemuda Indonesia pada era ini
memberikan sinyal positif bahwa kejayaan tersebut akan tiba.
Prestasi yang ditorehkan para pelajar, mahasiswa, dan pemuda
Indonesia dalam kancah internasional secara hipotetis dapat
menjadi peluang, modal dasar, dan kekuatan bangsa untuk
mewujudkan kejayaan Indonesia. Beberapa prestasi
membanggakan yang dapat dicatat di sini di antaranya adalah
prestasi Anne Ahira sebagai salah satu marketer terbaik dunia,
Sandhy Sandoro sebagai juara International Contest of Young Pop
Singer (2009) di Latvia, Johny Setiawan sebagai astronom
Indonesia penemu 8 planet baru, Annisa Fitri H siswa SD juara
International Ice Skating, Chris John juara kelas bulu WBA dengan
mempertahankan gelar terbanyak, sehingga mendapat
penghargaan Champion dari WBA, dan Nelson Tansu, orang
Indonesia sebagai profesor termuda di Amerika Serikat (Anonim
2011; Alfan dan Savitri 2013). Nelson Tansu merupakan anak
muda yang membanggakan, karena ia dalam usia 25 tahun sudah
meraih gelar doktor di Amerika dan setahun setelah itu diangkat
sebagai profesor di Lehigh University (Anonim 2011). Kecintaannya
kepada Indonesia ditunjukkan dengan penolakan terhadap
pemerintah Amerika Serikat yang memintanya untuk menjadi
warga negara Amerika. Kata Tansu,”saya sangat cinta tanah
kelahiran saya dan saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk
Indonesia” (Anonim 2011).
Prestasi membanggakan anak-anak muda Indonesia masih
banyak lagi yang belum dicatat di sini, misalnya prestasi dalam
kontes robot, lomba olimpiade matematika, fisika, dan informatika,
serta prestasi bidang seni dan olahraga yang patut dijadikan
sumber motivasi bagi anak-anak muda Indonesia untuk meraih
prestasi lebih banyak lagi dalam kompetisi internasional.

MEMBANGUNAN KARAKTER NASIONALIS PEMUDA


Seorang koki atau chef mudah sekali untuk memasak suatu
makanan tertentu, selama ia mempunyai resep masakan. Resep
masakan apa saja, apakah masakan Indonesia asli, misalnya
memasak nasi Padang, memasak nasi liwet ala Solo, memasak
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 78
soto Betawi, ataukah masakan ala Eropa, seperti hamburger, piza,
dan spageti, akan sangat mudah dimasak karena sudah jelas
resepnya. Membangun karakter itu ibarat memasak suatu
makanan, seperti halnya tugas seorang koki. Hanya saja, bagi
koki, memasak makanan itu tidak beitu sulit, sementara bagi
seseorang yang ingin membangun karakter orang terlebih anak
muda tidak segampang membuat nasi goreng. Membangun
karakter membutuhkan pengetahuan dan seni tersendiri dan
hasilnya tidak bisa dilihat seketika, seperti halnya kalau memasak
nasi goreng. Orang Jawa berkata,”watuk kuwi olehe obate
gampang, ananging nek watak elek olehe ndandani kuwi angel”
(orang yang sakit batuk mudah mengobatinya, tetapi kalau orang
memiliki watak buruk sulit mengubahnya).
Sebagaimana diungkapkan Smith bahwa orang berjiwa
nasionalis jika ia memiliki sentimen atau kesadaran memiliki
bangsa. Anak-anak muda akan memiliki kesadaran berbangsa
Indonesia jika mereka memiliki karakter kuat untuk itu. Karakter
kuat yang dimaksud di sini adalah karakter positif sebagaimana
ditentukan dalam UU Nomor 40 Tahun 2009 seperti yang sudah
diutarakan sebelumnya. Membangun jiwa nasionalisme sama
halnya dengan membangun watak atau karakter pemuda, karena
karakter yang baik itulah yang bisa mengantarkan mereka hidup
bahagia dalam sebuah negara ideal Indonesia.
Thomas Lickona (2012), memberikan beberapa kiat untuk
membangun karakter anak-anak muda. Ada 16 langkah atau
strategi untuk membangun karakter, namun dalam tulisan ini
dijelaskan 10 di antaranya. Pertama, adalah mengajarkan
mengapa karakter itu penting. Caranya adalah anak muda
dilibatkan dalam perenungan yang akan membantu mereka sampai
pada jawaban yang mendalam mengapa karakter itu sangat
penting. Hal ini sejalan dengan riset Tony Devine (dalam Lickona
2012) yang menemukan bahwa kebahagiaan otentik akan
terwujud jika orang memilkiki kematangan karakter, mempunyai
hubungan penuh cinta, dan memberi kontribusi kepada
masyarakat.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 79


Kedua adalah mengajarkan bahwa tak seorang pun dapat
membangun karakter untuk anda. Menyemangati anak muda
untuk bertanggungjawab terhadap karakternya akan membantu
mereka mengerti dan menyadari bahwa mereka benar-benar
bertanggungjawab untuk jenis pribadinya kelak. Caranya, orangtua
harus dapat meyakinkan bahwa orangtua bisa memberi contoh
baik, mengajarkan moral dan etika, dan mungkin memaksakan
berlakunya suatu peraturan atau norma, tetapi untuk masuk ke
dalam diri anak muda adalah tidak mungkin, karena membangun
karakter merupakan pekerjaan dalam batin dan hal itu merupakan
tanggungjawab pribadi yang berlangsung seumur hidup.
Ketiga adalah mengajarkan bahwa kita menciptakan
karakter kita melalui pilihan-pilihan yang kita buat. Karakter
dibentuk melalui pilihan yang dibuat. Pilihan-pilihan yang baik akan
membantu menciptakan kebiasaan-kebiasaan dan karakter yang
baik. Jika anak muda melihat diri mereka sedang membuat pilihan-
pilihan, maka mereka lebih mungkin untuk mengambil
tanggungjawab untuk pilihan-pilihan mereka. Masing-masing kita,
demikian pesan karakter, bertanggungjawab untuk menciptakan
karakter kita melalui keputusan sehari-hari yang kita buat. Untuk
membuat pilihan baik dan benar, Deb Brown dalam bukunya
Growing Character, mendidik anak-anak dengan pepatah-pepatah
bijak yang dapat diambil dari dongeng atau pun kisah kehidupan
sendiri. Pepatah-pepatah bijak tersebut dapat digunakan untuk
membuat keputusan yang baik.
Keempat adalah mempelajari pribadi-pribadi berkarakter.
Anak-anak muda dapat dimotivasi untuk memikirkan karakter dan
jenis karakter yang ingin mereka miliki dengan memperkenalkan
kepada mereka pribadi-pribadi berkarakter. Caranya, anak-anak
muda diminta membaca biografi tokoh berkarakter, mendengarkan
sebuah ceritera, atau menonton film (video) pribadi-pribadi masa
lalu dan masa kini yang karakternya dikagumi secara luas. Setelah
membaca atau menonton, orangtua atau guru/dosen dapat
menanyai anak muda (mahasiswa), misalnya sifat, karakter, atau
kualitas apa yang ingin dicontoh dari tokoh berkarakter yang telah
dibaca atau ditonton. Setelah itu, anak muda bisa ditanyai, kualitas
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 80
apa yang bisa dikembangkan dari karakter tokoh tersebut, yang
kemudian menjadi penguat karakter anak muda.
Kelima, anak muda diminta melakukan wawancara karakter
dengan tokoh teladan. Mereka bisa orangtua sendiri, guru, dosen,
pengusaha, artis, pemuka agama, seniman, olahragawan, dan lain-
lain. Caranya, anak muda diminta membuat pedoman wawancara,
lalu mewawancarai tokoh berkarakter, dan selanjutnya hasil
wawancara ditulis dan kalau perlu dipajang di rumah atau di
sekolah dan kampus.
Keenam, anak muda diminta untuk menilai karakter mereka
sendiri. Untuk mempermudah penilaian karakter, dapat digunakan
daftar pertanyaan yang disusun Barbara Lewis, yang didasarkan
pada dua puluh sembilan kebajikan. Barbara menulis pernyataan
yang berpasangan dan anak muda dapat mencentang pernyataan
yang menggambarkan pribadinya, bisa salah satu atau dua-
duanya. Salah satu pernyataan dapat dijadikan contoh.
 Saya memiliki keberanian untuk melakukan dan menjadi apa
yang keuinginkan (…….)
 Aku ingin menjadi lebih berani (……..)
Selain itu, anak-anak muda juga dapat diminta untuk
menulis apa karakternya, yang diawali dengan menukis ciri-ciri
seorang yang berkarakter sebelum menulis karakternya sendiri.
Misalnya, dulu saya sering berbohong kepada orangtua, tetapi
sekarang saya tidak lagi berbohong.
Ketujuh, mengajarkan penetapan tujuan harian. Penetapan
tujuan harian dan penilaian diri sendiri merupakan pendekatan
yang efektif. Benyamin Franklin pernah menulis 13 kebajikan untuk
memperkuat karakternya. Lima di antaranya adalah makan tidak
sampai kekenyangan (pembatasan diri), jangan membicarakan
selain hal yang menguntungkan orang lain atau dirimu sendiri
(diam), biarkan semua barang-barang berada di tempatnya
(keteraturan), bertekad untuk melaksanakan apa yang harus kamu
kerjakan (ketetapan hati), dan jangan memboroskan apa pun
(hemat). Catatan kebaikan tersebut ditulis di buku harian kebaikan
dan anak-anak muda dapat menilai perkembangannya dari waktu
ke waktu.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 81


Kedelapan, anak muda diajari untuk membuat jalur tujuan.
Jalur tujuan membantu anak muda untuk menetapkan tujuan
spesifik yang ingin mereka capai dalam periode tertentu. Mengacu
pada pandangan Michele Borba (dalam Lickona 2012), anak muda
diminta menulis dengan huruf tebal “saya akan”, lalu menulis “apa
yang akan aku lakukan”, dan menulis “kapan aku melakukannya”.
Tulisan-tulisan dapat dituangkan dalam potongan-potongan kertas
atau pada media lain. Kalau bisa diusahakan media yang menarik
dan menyenangkan.
Kesembilan, membantu anak muda mengkaitkan kebajikan
dengan kehidupan. Patricia Cronin berujar bahwa kita perlu
membantu orang muda melihat bagaimana kebajikan-kebajikan
berhubungan dengan kehidupan nyata (Lickona 2012). Misalnya,
anak muda membutuhkan persahabatan dalam hidupnya. Untuk
menjalin dan mempertahankan persahabatan, maka anak muda
bisa diajari dengan nilai-nilai kebajikan, seperti empati, simpati,
kesetiaan, kesabaran, kesediaan mendengarkan, dan saling
menghormati.
Kesepuluh, menilai level tanggungjawab. Orangtua, guru,
atau dosen meminta anak muda menulis dan menilai level
tanggungjawab. Tanggungjawab dapat ditulis dalam beberapa
level, yang tertinggi adalah level 4. Level tanggung jawab
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Level Tanggung Jawab


Level Deskripsi Nilai Level yang sesuai
Kebajikan keadaan
sesungguhnya
(beri tanda centang)
4 Bersikap hormat
Bertanggungjawab
Membantu orang lain
3 Bersikap hormat
Bertanggung jawab
2 Bekerja bila diingatkan
1 Tidak bekerja
0 Mengganggu orang lain

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 82


Sumber: diadaptasi dari Lickona (2012)

PENUTUP
Prestasi membanggakan anak-anak muda Indonesia,
utamanya pada tahun-tahun belakangan ini memberi suatu
keyakinan bahwa telah terjadi kebangkitan nasional babak baru.
Kemenangan Indonesia atas Vietnam dalam final sepakbola ajang
AFF di Sidoarjo merupakan contoh heroisme pemuda era
reformasi. Tak salah ketika Bung Karno mengatakan,”beri aku 10
pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Apa yang diucapkan
Bung Karno, Sang Proklamator dan Presiden RI pertama ini
menunjukkan keyakinan beliau bahwa pemuda merupakan
kekuatan besar yang jika dibina dan dikembangkan dengan baik,
utamanya karakternya, maka apa pun bisa dilakukan untuk
memajukan bangsa dan mengharumkan nama Indonesia.
Fisik yang bagus, keberanian yng tinggi, intelektual yang
kuat, dan idealisme yang membara dari kaum muda, di bawah
arahan, bimbingan, dan keteladanan dari golongan tua, akan
mampu mengantarkan Indonesia menuju kejayaannya, baik jaya
dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan
keamanan. Indonesia sebagai bagian dari tujuh besar kekuatan
ekonomi dunia sebagaimana diramalkan McKinsey Global Institut
bukan impian kosong, jika makin banyak pemuda berkarakter yang
aktif berkiprah dalam kegiatan pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA

Alfan, Muhamad dan Arimy Adi Savitri. 2013. Indonesia Bangga 30


Anak Muda Indonesia dengan Prestasi Dunia. Klaten: Caesar
Media Pustaka.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 83


Anonim. 2011. Indonesia Proud Kumpulan Tulisan yang
Membanggakan tentang Indonesia Buku Pertama . Jakarta:
Indonesiaproud.wordpress.com.
Anonimous. 2012. The Archipelago Economy: Unleasing
Indonesia’s Potential. McKinsey Global Institut.
Ariadi, Nanang E. dan Dwi Sugiarti. 1999. “Studi Sistem Ekonomi
Islam sebagai Sistem Ekonomi Alternatif (Telaah Kritis
terhadap Pola Kebijakan Ekonomi Orde Baru)”. Dalam
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni 1999.
Halaman 23-46.
Grosby, Steven. 2011. Sejarah Nasionalisme Asal Usul Bangsa dan
Tanah Air. Terjemahan Teguh Wahyu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Lickona, Thomas. 2012. Pendidikan Karakter. Terjemahan Saut
Pasaribu. Bantul: Kreasi Wacana.
Moedjanto, G. 1988. Indonesia Abad ke-20 Dari Kebangkitan
Nasional sampai Linggarjati. Jilid1. Yogyakarta: Kanisius.
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia Budi
Utomo 1908-1918. Terjemahan KITLV-LIPI. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
Smith, Anthony D. 2003. Nasionalisme, Teori, Ideologi, Sejarah .
Terjemahan Frans Kowa. Jakarta: Erlangga.
Yunarti, D. Rini. 2003. BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

ENKULTURASI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA


BERBASIS NASIONALISME
Oleh : Hari Wuljanto, S.Pd., M.Si.
Dinas Pendidikan Proponsi Jawa Tengah

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 84


Pendahuluan
Pembangunan karakter bangsa telah menjadi isu penting di
tengah gelombang globalisasi. Pendidikan karakter bangsa
berbasis nasionalisme merupakan kebutuhan asasi dalam proses
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan diyakini
merupakan wahana efektif dalam pembentukan karakter bangsa.
Menyadari hakikat pendidikan merupakan pembudayaan, maka
pembangunan karakter bangsa berbasis nasionalisme akan efektif
melalui proses pembudayaan (enkulturasi).
Paradigma konvergensi budaya dalam teori globalisasi
menyatakan bahwa semua kebudayaan mengalami perubahan
sebagai akibat globalisasi (George Ritzer, 2012 : 992). Paradigma
ini menunjukkan bahwa globalisasi berdampak terhadap
pergeseran nilai, pendidikan dan pendidikan nilai (Winarno
Narmoatmodjo, 2010:6-8). Nilai-nilai baru menggeser nilai-nilai
lama seperti memudarnya penghargaan pada nilai budaya dan
bahasa, nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, gotong royong,
rasa cinta tanah air serta berbagai perilaku yang kurang sesuai
dengan nilai, norma dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Di
samping itu, orientasi pendidikan dewasa ini cenderung mengarah
pada pengajaran sehingga mengabaikan pendidikan nilai. Pada
kerangka pendidikan nilai, saat ini pendidikan karakter bangsa
belum sepenuhnya dijadikan sebagai ukuran kinerja pendidikan di
satuan pendidikan.
Satu dasawarsa terakhir ini, pembinaan karakter bangsa
berbasis nasionalisme dirasakan mengalami kemerosotan. Kondisi
tersebut didorong tekanan globalisasi, euphoria reformasi dan
demokratisasi serta melemahnya pembinaan pendidikan karakter
Fakta adanya satuan pendidikan yang tidak mau
melaksanakan upacara bendera, menyanyikan Lagu Kebangsaan
Indonesia Raya dan membacakan teks Pancasila yang terjadi di
Sekolah Dasar Matesih Karanganyar dan Sekolah Menengah
Pertama Al Irsyad Tawangmangu Karanganyar (Solo Pos, 7 Juni
2011) merupakan peringatan serius tentang hal ini. Padahal
sangat mungkin fakta tersebut sebagai ”fenomena gunung es”

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 85


yang mengindikasikan perlunya pembinaan karakter bangsa
berbasis nasionalisme dilaksanakan lebih intensif di sekolah.
Substansi yang dibahas pada tulisan ini adalah (a) mengapa
pembinaan pendidikan karakter bangsa berbasis nasionalisme
perlu terus dilaksanakan secara sistematis, intensif dan
berkelanjutan di satuan pendidikan? (b) seberapa pentingkah
pendidikan karakter berbasis nasionalisme melalui proses
enkulturasi di satuan pendidikan? (c) bagaimanakah mengelola
pendidikan karakter bangsa berbasis nasionalisme melalui
enkulturasi di satuan pendidikan?
Lingkup bahasan yang dikaji pada tulisan ini difokuskan
pada proses enkulturasi pendidikan karakter bangsa berbasis
nasionalisme pada jalur pendidikan formal sebagai upaya
penguatan karakter bangsa pada peserta didik.

Pembinaan Nation and Character Building


Thomas Lickona (2012:14-22) seorang ahli psikologi
perkembangan dari State University New York, pada tahun 1996
telah mengemukakan fenomena kemerosotan karakter di
kalangan masyarakat dan remaja Amerika Serikat yang
diindikasikan sebagai kemunduran suatu bangsa. Kecenderungan
tersebut meliputi : kekerasan dan vandalisme, pencurian, perilaku
curang, tidak menghormati figur otoritas (orang tua dan guru),
kekejaman terhadap teman sebaya, meluasnya kefanatikan,
penggunaan bahasa yang kasar, pelecehan dan perkembangan
seksual yang terlalu cepat dan perilaku merusak diri, meningkatnya
sifat mementingkan diri sendiri dan menurunnya tanggungjawab
sebagai warga negara. Fenomena ini jelas sangat
mengkhawatirkan kalangan pendidik, karena tanda-tanda tersebut
tampaknya juga terjadi di Indonesia.
Kekhawatiran tersebut sangat beralasan, karena selain
beragam fenomena kekerasan dan penyimpangan perilaku di
masyarakat, di kalangan peserta didik, saat ini muncul gejala
sikap radikalisme. Penelitian Profesor Bambang Pranowo, Guru
Besar Universitas Negeri Jakarta pada tahun 2011 menunjukkan
krisis toleransi dan ideologi di kalangan peserta didik yang

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 86


mengindikasikan bahwa pembentukan karakter sebuah bangsa
dalam bahaya.

Radikalisme di Kalangan Siswa SMP dan SMA


No Isu Siswa
SMP/SMA
1 Bersedia aksi kekerasan berbasis agama 48, 90 %
2 Bersedia ikut penyegelan /perusakan 41,10 %
rumah/fasilitas milik agama lain
3. Membenarkan aksi bom oleh Imam 14,20 %
Samudra, Amrozi, Noordin M Top dll.
4 Setuju syariat Islam diberlakukan 84,80 %
5 Pancasila tidak relevan sebagai dasar 25,80 %
negara
(Sarlito Wirawan Sarwono, 2012: 87)

Menguatnya sikap radikalisme tersebut semakin jelas


dengan ditangkapnya enam pelaku yang diduga terlibat dalam
terorisme dari SMK Negeri 2 Klaten pada tanggal 26 Januari 2011
(Jawa Pos, 27 Januari 2011). Fakta ini menegaskan bahwa
pembinaan karakter bangsa berbasis nasionalisme melalui jalur
pendidikan formal di satuan pendidikan semakin penting dan
dibutuhkan agar generasi muda bangsa mampu memiliki
semangat cinta tanah air yang didasari kesadaran bela negara.
Sartono Kartodirdjo (1999 : 11) menangkap melunturnya
rasa kebangsaan generasi muda yang dirasakan semakin
memprihatinkan melalui penggambarkan sebagai berikut:
”Berbicara tentang nasionalisme pada zaman dunia dilanda
globalisasi terdengar terlalu ganjil atau orang bilang
”nonsens”, tanpa makna sama sekali. Ada pula kelompok
generasi muda yang beranggapan bahwa nasionalisme
sudah termasuk fenomena yang sama sekali tidak ada
relevansinya dengan permasalahan masa kini. Lebih aneh
lagi ucapan yang menyatakan bahwa nasionalisme
mencelakakan saja. Meskipun berbeda-beda bunyinya, yaitu
bahwa ketiganya merupakan pernyataan yang lepas dari

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 87


perspektif historis atau menunjuk konsep yang diberi arti
terlepas dari konteksnya sama sekali”.
Padahal nasionalisme dalam konteks pembangunan bangsa
memiliki urgensi yang sangat kuat bagi keberlangsungan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Etos nasionalisme yang
terbukti efektif dalam meraih kemerdekaan, masih tetap
dibutuhkan sebagai spirit dalam pembangunan bangsa. Sejak
awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah bertekad menjadikan
pembangunan karakter bangsa sebagai bagian penting dan tidak
terpisahkan dari pembangunan nasional. Semangat nasionalisme
dalam kerangka pembangunan karakter bangsa tersebut, sangat
penting karena di dalamnya mencakup penguatan identitas
bangsa, pemantapan kesadaran nasional, peningkatan persatuan
nasional dan pemupukan kebanggaan nasional yang dapat menjadi
modal sosial penting bagi kemajuan bangsa.
David Miller (1995 : 22-26), telah mengembangkan teori
sosial tentang identitas nasional (social theory of national
identity) yang menyatakan bahwa dalam konteks membangun
identitas nasional terdapat lima aspek identitas penting yang harus
ditumbuhkan dan dipelihara, meliputi (a) keyakinan adanya suatu
komunitas nasional (b) adanya suatu identitas untuk mewujudkan
kesinambungan sejarah (c) adanya masyarakat nasional yang
merupakan komunitas aktif (d) identitas tersebut berada dalam
suatu kawasan geografis tertentu dan (e) adanya budaya politik
yang sama dengan keyakinan yang sama. Dengan keyakinan itu,
orang-orang dengan identitas nasional harus ”mengenali satu
sama lain sebagai rekan”.
Pemahaman terhadap identitas nasional ini sejalan dengan
pandangan Benedick Anderson (1991:6) yang menyatakan bahwa
bangsa merupakan komunitas yang terbayangkan. Sekalipun
orang-orang dalam suatu komunitas bangsa tersebut berbeda-
beda dan beragam, baik ciri maupun latar belakangnya, namun
mereka merasa memiliki ikatan yang sama sebagai suatu
komunitas bangsa dan merasa ada persaudaraan yang kuat
melalui simbol-simbol lagu kebangsaan, bendera, bahasa, tradisi,
semangat dan kepercayaan. Komunitas bangsa yang terbayangkan

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 88


ini akan menciptakan rasa baru yang melintasi perbedaan yang
sering disebutkan dengan ”membangkitkan perasaan sesama”.
Miller dan Anderson telah menggagas tentang identitas
nasional (national identity) sebagai identitas inhern sosial. Orang-
orang akan melihat diri mereka terjalin dengan orang lain dalam
suatu komunitas bangsa dan berbagi ikatan yang sama
--sepenanggungan dan sependeritaan-- dalam suatu rasa bersama.
Aspek-aspek itulah yang akan menguatkan sendi-sendi kehidupan
bangsa yang perlu terus dibina dan dipelihara sekaligus diwariskan
secara turun temurun kepada generasi bangsa. Identitas nasional
tersebut pada akhirnya akan membentuk suatu karakter
nasional (national character) yang oleh Alex Inkeles (1977 : 5)
didefinisikan sebagai cara untuk melihat budaya dan perilaku
budaya individu yang terpola, atau sebagai cara tertentu
memeriksa koherensi nilai budaya atau pola perilaku.
Nasionalisme memiliki beragam pandangan. Anthony Smith
(2001 : 84) menekankan nasionalisme sebagai ideologi dan
gerakan yang menjadi bendera untuk mengupayakan kesatuan,
identitas dan otonomi bangsa. Sedangkan Hans Kohn mengartikan
nasionalisme sebagai suatu paham yang berpendapat bahwa
kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan. Kemauan inilah yang dinamakan nasionalisme, yakni
suatu faham yang memberi ilham kepada sebagian besar
penduduk dan yang mewajibkan dirinya untuk mengilhami
segenap anggota-anggotanya (Hans Kohn, 1976:11 – 12).
Konsepsi ini diperjelas oleh Soekarno yang mengartikan
nasionalisme atau paham kebangsaan sebagai suatu itikad,
suatu keinsyafan rakyat. Rakyat dalam konteks ini adalah suatu
golongan yang berkembang dan berpangkal tolak pada persatuan
dan kesatuan bangsa yang mengatasi semua paham.
Atas dasar uraian tentang konsep nasionalisme tersebut,
rasa kebangsaan atau nasionalisme hakikatnya merupakan
persatuan dan kesatuan secara alamiah karena adanya
kebersamaan sosial yang tumbuh lewat sejarah dan inspirasi
perjuangan masa lampau serta kebersamaan dalam menghadapi
tantangan sejarah masa kini. Oleh karena itu dalam wawasan

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 89


kebangsaan terkandung adanya suatu tuntutan suatu bangsa
untuk dapat mewujudkan jati dirinya serta mengembangkan
tata lakunya sebagai bangsa yang meyakini nilai-nilai luhur
budaya yang lahir dan tumbuh subur sebagai penjelmaan
kepribadiannya (Sumanjoko dalam HAT Soegito, 2012 : 4).
Namun demikian, pada kenyataannya rasa kebangsaan dan
nasionalisme Indonesia sebagai bagian utama wawasan
kebangsaan tidak lahir begitu saja, tetapi harus ditumbuhkan dan
dikembangkan dalam hidup berbangsa dan bernegara. Rasa
kebangsaan tersebut hakikatnya merupakan perekat paling dasar
dari segenap anggota masyarakat bangsa yang karena sejarah dan
budaya memiliki dorongan untuk menjadi satu dan bersatu tanpa
pamrih di dalam satu wadah negara bangsa (nation state).
Disinilah pentingnya penyelenggaraan secara terus menerus
terhadap usaha pembinaan kebangsaan. Hasil yang diharapkan
adalah lahirnya rasa solidaritas sebagai satu bangsa, yaitu
bangsa Indonesia (Hamuni, 2008 : 83).

Enkulturasi Pendidikan Karakter Bangsa Berbasis


Nasionalisme
Pembinaan karakter bangsa dalam rangka nation and
character building memerlukan proses yang terus menerus dan
berkesinambungan melalui pendidikan. Ki Hajar Dewantara telah
meletakkan pondasi pendidikan nasional Indonesia, bahwa
pendidikan hakikatnya adalah pembudayaan. Dalam
perspektif paedagogik kontemporer, pendidikan didudukkan
sebagai proses pembudayaan yaitu terbinanya subjek yang kreatif
dan produktif sebagai aktor dari kebudayaan yang dinamis
(Tillaar, 2009 : 49). Pendidikan dengan demikian, bukan sekedar
sebagai transmisi kebudayaan atau mempersiapkan warga negara
untuk masa depan, tetapi terutama sebagai proses penyadaran
individu sebagai pendukung dan pembaru kebudayaan.
Melville J Herkovits pada tahun 1948 pertama kali
menjelaskan pengertian enkulturasi sebagai proses sosialisasi ke
dalam dan pemeliharaan norma-norma budaya asli seseorang,
seperti nilai-nilai penting, ide-ide, dan konsep. Ini juga mencakup

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 90


belajar karakteristik budaya seperti bahasa dan tradisi dan
kebiasaan yang membedakan satu kelompok orang dengan yang
lainnya. Adapun Nobuo Shimahara (1970 : 143) lebih menekankan
konsepsi enkulturasi pada pembentukan pola perilaku yang
dinyatakan sebagai berikut:
Enculturation is the process which the individual acquires
the culture of his group, class, segment or society. Since we
assume an ideational definition of culture, the procees is
limited to the acquiring of pattern for behavior, including
language, meta-language, belief, values and role definition
among other phenomena in this order.

Dalam perspektif yang lebih luas, Herkovit (1955 : 327)


mendefinisikan enkulturasi adalah proses pengalaman belajar,
sehingga pada dasarnya merupakan proses sadar maupun tidak
sadar yang merupakan penyesuaian sosial untuk hidup sebagai
anggota masyarakat. Proses enkulturasi dimulai dari masa kanak-
kanak melalui proses pengkondisian kebiasaan mendasar seperti
makan, tidur, bicara dan kebersihan pribadi yang terbukti
membentuk kepribadian dan membentuk kebiasaan orang dewasa
di kemudian hari. Proses alam bawah sadar (unconscious) dalam
bentuk pengkondisian kebiasaan ini membentuk perilaku dan
kepribadian yang relatif permanen.
Namun demikian, proses enkulturasi tidak hanya berhenti
sampai di situ, karena sebagai individu yang menuju dewasa,
mereka melanjutkan dengan proses belajar. Pembelajaran secara
sadar (conscious) ini telah membentuk stabilitas sosial dan
kebiasaan yang lebih menetap. Dalam tahun-tahun sesudahnya
individu telah mampu menetapkan perilaku rutin hariannya dan
secara sadar belajar tentang perilaku yang diterima dan tidak
diterima oleh masyarakat yang diperolehnya melalui pendidikan
baik informal, non formal dan formal.
Internalisasi nilai-nilai karakter bangsa berbasis nasionalisme
akan efektif melalui proses enkulturasi sehingga mampu
melembaga pada setiap individu secara lebih stabil dan relatif
permanen. Pada tahap awal proses pembiasaan terhadap nilai-nilai

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 91


karakter harus terus dikomunikasikan, disosialisasikan dan
diinternalisasikan melalui pembiasan. Konsepsi tentang bahasa
nasional, simbol-simbol negara, cita-cita bangsa, lagu-lagu,
budaya daerah dan berbagai tradisi / kearifan lokal perlu
diperkenalkan dan dipromosikan kepada peserta didik melalui
proses pendidikan yang menarik dan menantang sehingga
membangkitkan kesadaran, kepercayan diri dan kebanggaan yang
akhirnya membentuk suatu identitas bersama. Selanjutnya pada
tahap sadar, peserta didik akan belajar melalui model
pembelajaran karakter bangsa yang lebih terstruktur, sistematis,
komprehensif dan berkelanjutan melalui struktur kurikulum, ko
kurikuler, ekstrakurikuler, pembiasaan dan upaya pemberian
keteladanan dalam iklim budaya sekolah yang berkarakter.
Sekolah perlu menyiapkan dan menata aspek kelembagaan,
sarana dan prasarana, kurikulum, pembinaan siswa dan kesiapan
pendidik/tenaga kependidikan yang mendukung pewujudan
lingkungan sekolah berkarakter bangsa. Pengelolaan perilaku
(manajement of behavior) siswa di satuan pendidikan melalui
pembiasaan positif dalam kerangka membangun karakter bangsa
berbasis nasionalisme, perlu terus didorong, dikuatkan dan
memperoleh dukungan orang tua dan masyarakat.
Enkulturasi pendidikan karakter bangsa berbasis
nasionalisme melalui pendidikan formal menjadi semakin penting
dan utama, karena institusi ini memiliki kurikulum yang terstruktur,
jam belajar yang pasti, pola pendidikan yang mengarah pada
tujuan nasional dan pendidik yang disiapkan untuk membangun
karakter peserta didik baik melalui aktivitas kurikuler, ko-kurikuler
maupun ekstrakurikuler. Penguatan pendidikan formal dalam
internalisasi karakter bangsa berbasis nasionalisme ini perlu terus
dikembangkan melalui penciptaan lingkungan dan budaya sekolah
berkarakter kebangsaan. Harapannya, peserta didik mampu
menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, cerdas
secara intelektual, seat, mandiri yang didasari oleh semangat cinta
tanah air.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 92


Peranan Satuan Pendidikan dalam Proses Enkulturasi
Karakter Bangsa Berbasis Nasionalisme
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah sebagai lembaga
pendidikan, efektif mengembangkan pendidikan karakter bangsa.
Lembaga pendidikan formal atau sekolah dikonsepsikan
mengemban fungsi konservatif (penyadaran), fungsi
reproduksi (progresif) dan fungsi mediasi secara simultan
(Sudarwan Danim, 2006 : 2). Fungsi reproduksi ini terkait dengan
tugas konservasi nilai-nilai budaya dan transmisi kebudayaan.
Penyadaran bermakna bahwa satuan pendidikan
bertanggungjawab untuk mempertahankan nilai-nilai budaya
masyarakat dan membentuk kesejatian diri sebagai manusia.
Pendidikan sebagai instrumen penyadaran bermakna bahwa
sekolah berfungsi membangun kesadaran untuk tetap berada
pada tataran sopan santun, beradab, bermoral, cinta tanah air
yang mana hal tersebut menjadi tugas semua warga negara.
Fungsi reproduksi atau disebut sebagai fungsi progresif
merujuk pada eksistensi satuan pendidikan sebagai pembaru atau
pengubah kondisi masyarakat keninian ke sosok yang lebih maju.
Selain itu, fungsi ini juga berperan sebagai wahana
pengembangan reproduksi dan diseminasi ilmu pengetahuan dan
teknologi. Di samping itu, satuan pendidikan akan lebih lengkap
jika melakukan fungsi mediasi yaitu menjembatani fungsi
konservatif dan fungsi progresif. Hal-hal yang terkait dengan
fungsi mediasi adalah kehadiran institusi pendidikan sebagai
wahana sosialisasi, pembawa bendera moralitas, wahana proses
pemanusiaan dan kemanusiaan umum serta pembinaan idealisme
sebagai manusia pembelajar.
Dalam perspektif sosiologi, fungsi satuan pendidikan terbagi
dalam fungsi manifes dan fungsi laten (Miflen, 1986 : 441-446
dalam Didin Saripudin, 2010 : 143). Dalam fungsi manifest,
satuan pendidikan memiliki fungsi untuk belajar kognitif dan fungsi
transmisi kebudayaan. Hal ini mengarah pada fungsi satuan
pendidikan sebagai fungsi sosialisasi atau pengkulturalisasi atau
pembudayaan. Sekolah tidak hanya berfungsi untuk menambah
pengetahuan baru, melainkan juga berfungsi untuk meneruskan

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 93


nilai dan sistem normatif. Satuan pendidikan, menurut Emile
Durkheim erupakan tempat untuk sosialisasi moral, sehingga atas
nama negara berfungsi untuk menanamkan kepada para peserta
versi ideal nilai-nilai dalam masyarakat.
Menurut James Arthur dikutip Tillaar (2007:196-199), dalam
kerangka pendidikan karakter bangsa, satuan pendidikan memiliki
fungsi (a) mempromosikan hak dan tanggungjawab warga negara
(b) mempromosikan pengertian kebaikan bersama. Partisipasi
bersama demi kepentingan dan tujuan bersama mengajarkan
perlunya pertimbangan antara hak individu dengan kepentingan
yang lebih besar. (c) memiliki perpspektif komunalitas terhadap
kelompok dan budaya lokal dalam masyarakat (d) melatih sikap
terbuka terhadap keberagaman dalam pola kehidupan di berbagai
sector kehidupan masyarakat lingkungannya. (d) mengakomodasi
struktur demokratis dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Dalam konteks pendidikan karakter bangsa, satuan
pendidikan tentu diharapkan mampu menanamkan dan
memperkuat (a) kesadaran berbangsa dan bernegara (b)
kecintaan terhadap tanah air (c) keyakinan Pancasila sebagai
pandangan hidup, ideologi dan dasar negara (d) kerelaan
berkorban demi bangsa dan negara serta (e) kesiapan awal bela
negara. Pencapaian aspek-aspek tersebut dikembangkan melalui
aktivitas fisik, spiritual, kepribadian, pengembangan emosional dan
sosial yang sesuai usia dan kematangan psikologis peserta didik
serta didasarkan prinsip penghargaan atas perilaku baik sebagai
pelaksanaan prinsip pendidikan.
Kepala Sekolah perlu menyiapkan manajemen
penyelenggaraan enkulturasi pendidikan karakter bangsa berbasis
nasionalisme baik pada aspek perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan supervisi maupun evaluasinya, mencakup aspek
kelembagaan, sarana dan prasarana, pengembangan kurikulum,
pembinaan siswa dan kompetensi pendidik dan tenaga
kependidikannya. Para guru disiapkan untuk mampu membimbing
para siswa dalam proses enkulturasi melalui cara-cara yang penuh
unsur edukasi baik melalui proses pembelajaran, ko kurikuler,
ekstrakurikuler, pembiasaan dan keteladanan sehari-hari dalam

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 94


bingkai manajemen perilaku berkarakter bangsa sesuai prinsip-
prinsip pendidikan.
Agar terbentuk dan terwujudnya perilaku berkarakter
bangsa ini, para siswa disiapkan acuan pelaksanaan enkulturasi
sebagai intrumen yang digunakan untuk mengelola, memantau,
memotivasi dan membimbing sikap dan perilakunya, sehingga
mereka dapat melakukan perbuatan baik setiap hari secara terukur
dan terbiasa. Agar pelaksanaan pembiasaan perilaku positif di
sekolah dapat melembaga kepada peserta didik, maka disiapkan
instrumen bagi orang tua dalam ikut serta berperan serta
mendampingi proses enkulturasi pendidikan karakter bangsa di
keluarga, sehingga hubungan antara sekolah dan orang tua dalam
proses enkulturasi semakin sinergis.
Mengimplementasikan manajemen perilaku (managemen
behavior) melalui model manajemen enkulturasi semacam ini
diharapkan lebih mampu memberikan penguatan terhadap perilaku
peserta didik yang didasari oleh nilai-nilai karakter kebangsaan.
Tidak hanya pada aspek pengetahuan baik (moral knowing) saja,
melainkan menyentuh penghayatan (moral feeling) dan pada
akhirnya menjadi pembiasaan perilaku positif (moral action).
Dengan memahami urgensi, proses dan tahap-tahap
enkulturasi, diharapkan semua komponen mengambil prakarsa dan
tanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan karakter bangsa
berbasis nasionalisme ini. Harapannya tentu satuan pendidikan
menjadi agen penting dalam pelestarian empat pilar kebangsaan
yang menjadi pondasi kehidupan bangsa dan negara sekarang dan
di masa depan. Dengan demikian, harapan Wage Rudolf
Supratman untuk terus membangun jiwanya dan badannya untuk
Indonesia Raya dapat diwujudkan melalui proses enkulturasi
pendidikan karakter bangsa berbasis nasionalisme.
Penutup
Pendidikan karakter bangsa telah menjadi kebutuhan yang
jelas dan mendesak. Tugas ini bukan hanya menjadi
tanggungjawab satu komponen saja, melainkan telah menjadi
tugas peradaban agar generasi bangsa menjadi berkualitas dan
bermartabat. Peran satuan pendidikan telah menjadi semakin

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 95


penting sebagai institusi pendidik karakter bangsa, karena
tantangan eksternal yang semakin besar di satu sisi dan dukungan
keluarga yang semakin berkurang dari waktu ke waktu. Disadari
dukungan terhadap penerapan pendidikan karakter semakin
menguat, namun tetap dibutuhkan manajemen yang efektif
bagi satuan pendidikan dalam melaksanakannya.
Dengan menyadari bahwa pendidikan adalah proses
pembudayaan, maka enkulturasi pendidikan karakter bangsa
menjadi satu hal yang perlu segera dikembangkan. Komitmen
yang tegas dan tidak malu-malu dari semua komponen masyarakat
dan stakeholder pendidikan akan sangat membantu satuan
pendidikan dalam memperbaiki kinerjanya terkait dengan
pendidikan moral, nilai dan karakter kebangsaan. Harus diyakini
bahwa pendidikan adalah kinerja yang nyata dan penguatan
karakter bangsa melalui manajemen enkulturasi sangat mungkin
dilakukan untuk menjamin masa depan bangsa yang semakin
berkualitas dan bermartabat.

BACAAN RUJUKAN
Anderson, Benedick. 2006. The Imagine Communities, Reflection
in The Origin, And Spread Nationalism . London, New
York:Vesco.
Dewantara. Ki Hajar. 1977. Pendidikan. Yogyakarta. Majelis Luhur
Taman Siswa.
Hamuni. 2008. Globalisasi, Nasionalisme dan Wawasan
Kebangsaan, Jurnal Selami IPS, Nomor 23 Volume 1 Tahun
XIII, April 2008.
Inkeles, Alex. 1997. National Character:A Psycho Social
Perspective. New Jersey. The Transaction Publisher.
Herkovits, Melville J. 1955. Man and His Works: The Science of
Cultural Anthropology. AA Knopf.
Kartodirdjo, Sartono -. 1994. Pembangunan Bangsa. Jogjakarta:
Aditya Media.
-------------------------, 1999, Multi Dimensi Pembangunan Bangsa,
Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan . Kanisius:
Yogyakarta.
Kohn, Hans. 1976. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta. PT
Pembangunan Jaya.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 96


Lickona, Thomas.2012. Educating for Character Mendidik Untuk
Membentuk Karakter (terjemahan) Jakarta. Bumi Aksara.
---------------------. 2012. Character Matter, Persoalan Karakter.
Bagaimana Membantu Anak Mengembangkan Penilaian Yang
Baik, Integritas dan Kebajikan Penting Lainnya (terjemahan).
Jakarta: Bumi Aksara.
----------------------. 2013. Pendidikan Karakter Panduan Lengkap
Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik .Bandung : Nusa
Media.
Miller, David. 1995. On Nationality. Oxford: Oxford University
Press.
Narmoatmodjo, Winarno. 2010. Pendidikan Nilai Di Era Global.
Makalah. Disampaikan Pada Seminar Regional Implementasi
Pendidikan Nilai di Era Global Pada Tanggal 22 September
2010 di Unissri Surakarta.
Ritzer, George. 2011. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saripudin, Didin dan Udin S Winataputra. 2010. Interpretasi
Sosiologis Dalam Pendidikan. Bandung. Karya Putra Darwati.
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2012. Terorisme di Indonesia dalam
Tinjauan Psikologi. Tangerang: Pustaka Alphabeth.
Shimahara, Nobuo. 1970. Enculturation:Reconsideration. Journal.
Current Anthropology. Volume 11 Nomor 2 April 1970.
Smith, Anthony D, 2002. Nasionalisme, Teori, Ideologi Sejarah .
(terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Soegito, HAT. 2012. Wawasan Kebangsaan. Makalah. Disajikan
pada Workshop Penguatan Wawasan Kebangsaan di Institut
Sepuluh Nopember pada tanggal 13 Desember 2012.
Tillar, HAR. 2007. Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa
Indonesia Tinjauan Dari Perspektif Ilmu Pendidikan . Jakarta.
Rineka Cipta
----------------. 2009. Kekuasaan Dan Pendidikan Manajemen
Pendidikan Nasional Dalam Pusaran Kekuasaan . Jakarta.
Rineka Cipta.

PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG


DARI PERSPEKTIF PENDIDIKAN POLITIK BANGSA
Oleh: Sudharto

A. Pendahuluan

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 97


Demokratisasi yang sudah dan tengah berjalan di Indonesia
pada awalnya memberikan harapan-harapan yang cerah bagi
seluruh rakyat Indonesia untuk menikmati kehidupan yang lebih
baik. Gerakan reformasi pada tahun 1998 telah dengan cepat
merumuskan agenda reformasi komprehensif yang mencakup
bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hamkamnas.
Demokratisasi yang akan dibangun dan ditegakkkan bukan hanya
sekedar demokrasi yang mengejar civil liberties (kebebasan sipil),
political rights (hak-hak politik), human rights (hak-hak asasi
manusia), tetapi demokrasi yang mampu menjamin pertumbuhan
ekononi dan kemajuan bangsa sejajar dengan bangsa-bangsa
maju di dunia. (Azra, A. dalam Burhanudin; 2003: 57).
Terlaksananya sitem pemerintahan yang lebih demokratis
bukanlah tujuan akhir bangsa Indonesia meraih kemerdekaan.
Demokratisasi harus dimaknai sebagai sarana untuk mencapai
kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sebagaimana diamantkan
oleh UUD 1945. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa
kemajuan dalam kehidupan berdemokrasi yang memperoleh pujian
dunia internasional melalui survey mereka ternyata tidak
berkorelasi positif dengan kondisi penduduk miskin yang
jumlahnya tidak kurang dari 35.000.000 orang (Media Indonesia,
2011: 6).
Kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
daerah dalam sistem pemerintahan apapun adalah warga
masyarakat pilihan yang mengemban tugas seperti raja pada era
kejayaan raja-raja Nusantara. Dalam sistem tata nilai masyarakat
Jawa kedudukan dan peran kepala daerah relatif tidak berbeda
dengan raja. Dalam bukunya yang berjudul “ The Concept of Power
in Javanese Culture” G.Moejanto menulis : “...that the king was
made as the deputy of God Almighty. It was his duty to establish
law and juctice.” (1990: 107). Ia adalah sosok “kinarya wakiling
Hyang Agung” sebagaimana disebut dalam serat Wulang Reh
karya sastra Raja Surakarta Sri Paku Buwana IV. Dalam konteks ini
rajalah yang harus menegakkan hukum dan keadilan, menjamin
ketenteraman dan ketertiban serta menciptakan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat secara merata dan adil serta menebar
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 98
kasih sayang kepada rakyatnya sebagai tangan panjang Tuhan
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikianlah
seharusnya juga seorang kepala daerah.
Demikian menentukan peran kepala daerah sehingga
sepatutnya para calon kepala daerah dihadirkan dengan jaminan
bahwa kelak sesudah memangku jabatan akan menjadi pemimpin
yang mengayomi, menyejahterakan dan menenteramkan.
Bagi rakyat kebanyakan sesungguhnya cara pemilihan
kepala daerah itu tidaklah terlalu penting, yang lebih penting
adalah bahwa sejak awal rakyat telah memperoleh keyakinan
bahwa pemimpin yang akan dipilih itu adalah the best di antara
komunitas mereka. Kepala daerah semestinya bukan saja terbiasa
dekat dengan rakyat tetapi juga terbiasa berada di tengah-tengah
rakyat pada saat rakyat sedang menderita. Hal ini seperti yang
dicontohkan oleh Sultan Agung dalam penuturan serat Wedhatama
pupuh Sinom yang beberapa gatranya menyatakan bahwa
Panembahan Senopati nama lain dari Sultan Agung: " tanapi ing
siyang ratri, amemangun karyenak tyasing sasama " (setiap siang
maupun malam selalu membuat kenyamanan bagi sesama
manusia). (Sabdacarakatama, 2010: 15). Pada era sesudah
kemerdekaan seperti juga yang diperlihatkan oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono IX sebagaimana dituturkan dalam biografinya
yang berjudul "Tahta untuk Rakyat".
Memilih raja termasuk pemimpin dapat dianalogikan dengan
memilih jodoh. Dalam sistem tata nilai dan tradisi Jawa berlakulah
kriteria jodoh yang baik yaitu yang memenuhi matra: bobot, bibit,
dan bebed : kekayaan, kepandaian dan keturunan (Purwadi,
2005:399).
Pertanyaan yang perlu diutarakan sebagai awal dari sebuah
pencarian alternatif untuk menata kehidupan berdemokrasi yang
lebih baik termasuk dalam memilih kepala daerah adalah: apakah
sistem pemilihan yang sedang berjalan sampai sekarang ini
mampu memberikan jaminan bagi rakyat kecil bahwa kepala
daerah yang terpilih memiliki ciri, watak, sikap, dan perilaku,
seperti yang diuraikan dalam alinea-alinea terdahulu. Jika
jawabannya tidak atau belum tentu, seminar ini perlu
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 99
membedahnya dan melalui tangan-tangan tertentu menuntut agar
produk legislatif yang akan keluar dalam waktu dekat dapat
memberikan jaminan bagi rakyat kecil sebagaimana disebutkan di
atas.

A. Status dan Peran Kepala Daerah


Kepala daerah menurut UUD Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah penguasa daerah yang memiliki
kewenangan yang sangat besar karena kewenangannya mencakup
urusan pemerintahan yang sangat luas. Kewenangan itu meliputi
semua urusan pemerintahan minus kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter
dan fiskal, agama, dan kewenangan bidang lain seperti kebijakan
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara
makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara
dan lembaga perekonomian negara, pendayagunaan sumber daya
alam, dll (Sarundajang, 1999:134-135).
Di atas hal-hal tersebut kepala daerah (Gubernur,
Bupati/Walikota) terikat oleh kewajiban untuk menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping tunduk atas
kebijakan pemerintah untuk bidang-bidang yang menjadi urusan
pemerintah pusat, Gubernur menjadi wakil pemerintah pusat di
daerah yang selain melakukan koordinasi antar para bupati juga
melakukan pengawasan terhadap peran dan fungsi Bupati dan
Walikota.
Mengingat status dan peran kepala daerah tersebut UU No
32 tahun 2004 menetapkan 16 macam persyaratan kepala daerah
seperti: 1) bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa; 2) setia
kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, UUD 1945, cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan
Republik Indonesia serta Pemerintah; 3) berpendidikan sekurang-
kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat; 4)
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun; 5) sehat rohani
dan jasmani ; 6) tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena
melakukan tindak pidanayang diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau lebih; 7) tidak sedang dicabut hak
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 100
pilihnya ; 8) mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di
daerahnya; 9) tidak memiliki tanggungan utang secara perorangan
dan/atau secara badan hukum; 10) tidak pernah melakukan
perbuatan tercela, dll.
Sayangnya sebagian besar dari persyaratan tersebut
pembuktiannya hanya dengan cara yang terlalu simpel, tidak
akuntabel, bersifat administratif bahkan formalitas. Mengingat
status, tugas, dan kewajiban kepala daerah demikian strategis dan
luas serta menjadi kunci terciptanya masyarakat sosial, mandiri,
bermartabat, mandiri dan berdaya saing, persyaratan untuk
menjadi kepala daerah tidak cukup hanya dengan bukti-bukti
administratif yang dapat diamati sesaat. Untuk memberikan
jaminan mutu terhadap bakal calon kepala daerah diperlukan
peranserta seluruh masyarakat melalui lembaga politik,
keagamaan, sosial kemasyarakatan dan profesi dengan cara yang
terpercaya dan tingkat kejujuran yang tinggi. Hasil penelusuran
jejak karier, riwayat pendidikan, riwayat pekerjaan, aktivitas
organisasi menjadi persyaratan penting. Yang tidak kalah penting
adalah proses rekruitmen politik bakal calon. Perlu ditanamkan
kesadaran yang tinggi dalam mencari sosok bakal calon kepala
daerah karena hasilnya akan menentukan " to be or not to be" nya
masyarakat madani yang bermartabat.
Kepala daerah dituntut untuk memiliki keterpaduan potensi
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual yang dapat dijabarkan ke dalam 9 (Sembilan) indikator
utama yaitu 1) kekuatan lahiriah dan batiniah (strong leader); 2)
dapat dipercaya; 3) professional; 4) memiliki kemampuan
managerial dalam skala besar; 5) memiliki integritas diri, jujur dan
mampu manjadi martabat; 6) berwawasan kebangsaan; 7)
memahami persoalan ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan; 8) bersih dari KKN; 9) mampu
menerapkan sifat-sifat pemimpin menurut ajaran Astha Brata
sebagai kearifan lokal (local wisdom) yang masih efektif (Sudharto,
2007: 6).
Di samping itu, diperlukan cara tepat untuk meyakinkan
bahwa bakal calon kepala daerah mengenali benar karakter
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 101
masyarakatnya, kondisi lingkungan alam serta kandungan sumber
daya pada bumi dan air di daerahnya serta masalah-masalah
utamanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 58H Undang-
Undang No. 32 tahun 2004. Rekruitmen kepala daerah harus
diaarahkan pada sistem rekruitmen yang mampu menyeleksi calon
yang benar-benar memiliki kualifikasi yang dapat diandalkan dalam
memacu perkembangan dan pembangunan daerahnya
(Sarundajang, 2002: 135).

B. Pendidikan Politik Sebagai Sarana Membangun Etika


dan Moralitas Politik
Cita-cita nasional bangsa Indonesia seperti tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 adalah menjadi bangsa yang cerdas,
bangsa yang bersatu padu, bangsa yang makmur berkeadilan,
bangsa yang ikut berperan dalam kehidupan antarbangsa.
Salah satu upaya yang tepat adalah melalui pendidikan
termasuk pendidikan politik. Arah Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional 2005-2025 adalah terwujudnya Indonesia yang
demokratis berlandaskan hukum dan berkeadilan yang ditandai
dengan: 1. memperkuat kelembagaan demokrasi, 2. memperkuat
peran masyarakat sipil dan partai politik dalam kehidupan politik,
3. memantapkan pelembagaan nilai-nilai demokrasi.
Melalui pendidikan politik akan diciptakan masyarakat sipil,
masyarakat politik yang menjunjung hak azasi manusia dan
memiliki kesadaran politik yang tinggi. Dalam masyarakat tersebut
setiap anggotanya faham terhadap hak politik, pemikiran politik,
teori politik, ideologi, sistem kepartaian, perilaku dan partisipasi
politik, kewajiban warga negara, hak asasi manusia, etika dan
moralitas politik, pembangunan politik, dan lain-lain (Gatara,
Sahid, 2009: 14-15).
Pendidikan politik adalah bagian dari sistem pendidikan
nasional yang merujuk pada 4 pilar pendidikan menurut UNESCO
yaitu learning to know, learning to do, learning to learn, dan
learning to life together. Pendidikan mencakup aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor. Pendidikan secara filosofi merupakan
proses memanusiakan manusia lewat pembudayaan yang juga
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 102
disebut proses huminisasi dan humanisasi. Secara etis pendidikan
merupakan proses transfer nilai-nilai (moral/etika) untuk mencapai
manusia susila. Sedangkan secara politis pendidikan dimaksudkan
untuk mendidik warga negara yang baik yang sering disebut
dengan civic education (Sugeng, A.Y 2009: 5-6). Pendidikan politik
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional perlu merujuk pada
hal-hal tersebut di atas. Dalam konteks kedua macam pendidikan
tersebut ajaran Ki Hajar Dewantara harus menjadi pegangan yaitu
ing ngarsa sung tuladha ing madya mangun karsa tut wuri
handayani.
Terkait dengan hal-hal tersebut diatas perlu menjadi bahan
kajian apakah pemilihan kepala daerah seperti sekarang ini sudah
menjadi “alat peraga” untuk proses pendidikan politik bangsa
Indonesia yang tepat.
Pendidikan politik adalah pendidikan demokrasi untuk
mewujudkan masyarakat demokratis yaitu masyarakat yang
memiliki kebebasan dalam menyatakan dan/atau memperoleh hak-
hak politiknya. Pendidikan politik yang baik adalah pendidikan
politik yang menggunakan pendekatan, tehnik dan prinsip
pendidikan pada umumnya. Sasaran akhir pendidikan politik bukan
saja terciptaya masyarakat yang memahami, menghayati dan
melaksanakan hakekat partisipasi politik, pembangunan politik,
budaya politik, etika dan moralitas politik melainkan yang lebih
penting adalah terciptanya masyarakat yang memiliki etika dan
moralitas politik yang tinggi.
Sesungguhnya pendidikan politik telah menjadi bagian dari
kurikulum dalam rangka pelaksanaan UU No 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nsional. Dalam tingkat pemahaman
kognitif peserta didik dan generasi muda menunjukkan daya serap
yang menggembirakan. Namun demikian setelah masuk ke dalam
wilayah partisipasi politik ternyata yang diperoleh selama masa
pendidikan tidak terwujudkan dalam perilaku dan praktik politik
sesuai status dan peran masing-masing dalam arena politik yang
digelutinya. Tidak terkecuali hal-hal yang diperlihatkan dalam
pemilihan kepala daerah sejak menyiapkan bakal calon sampai
terpilih. Lebih parah lagi ketika hampir semua partai politik tidak
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 103
menyelenggarakan pendidikan politik yang terencana, sistemik,
dan berkelanjutan.
Di bawah ini adalah potret implementasi demokrasi di
Indonesia termasuk sistem pemilihan kepala daerah yang perlu
dicermati dan ditelaah.

C. Praktik Demokrasi dan Pemilihan Kepala Daerah


1. Persepsi dan sikap masyarakat yang keliru terhadap hak asasi
manusia dibumbui dengan perilaku aktor dan elit politik tanpa
lambaran moralitas politik yang tinggi dalam menjalankan
kekuasaannya akhirnya menciptakan demokrasi paradoksal
yaitu demokrasi yang dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak
demokratis. Di hampir setiap sudut tanah air Indonesia terjadi
fenomena ini yang selanjutnya menimbulkan berbagai wabah
sosial seperti; pemaksaan kehendak, konflik; baik horizontal
maupun vertikal, arogansi, seperti kekerasan, rekrutmen politik
yang berbasis KKN, politik transaksional, menjamurnya partai
massa, merebaknya LSM yang tidak berkualitas, sulitnya
koordinasi antarberbagai lembaga pemerintah dan
antarpemerintah daerah, sikap kecurigaan yang tidak
proporsional, dll. Kesemuanya menimbulkan kegaduhan politik
yang sangat berpotensi menguras perhatian dan kekuatan
masyarakat untuk hal-hal yang tidak terkait dengan
kesejahteraan rakyat.
Secara teoritik sistem politik yang demokratis pada hakekatnya
memerlukan 3 prinsip dasar seperti : Pertama, tegaknya etika
dan moralitas politik sebagai landasan kerja politik, ekonomi,
dan sosial. Kedua, tegaknya prinsip konstitusionalisme secara
tegas melalui internalisasi dasar negara dan pandangan hidup
bangsa serta pelaksanaan dan kepatuhan terhadap supremasi
hukum dalam masyaraka. Ketiga, diberlakukan dan
dilaksanakannya mekanisme akuntabilitas publik yakni
mekanisme pertanggungjawaban pejabat publik pada
masyarakat (Agustinus, Leo 2007:85-86). Jika diukur dari ketiga
matra ini maka implementasi sistem politik negara Indonesia
jauh dari nilai-nilai substansial demokrasi.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 104
2. Rekruitmen politik tidak berbasis karier politik melainkan
berdasarkan politik transaksional dan berbasis primordialisme.
Akibatnya pemahaman para aktor dan elit politik terhadap nilai-
nilai demokrasi sangat tidak memadai, karena mereka
merupakan tokoh instan dengan pengalaman politik yang
minim dan integritas pribadi yang rendah. Ambisi mewakili
kepentingan kelompoknya amat sangat menonjol. Para
pemangku jabatan politik yang dipasok dari partai politik pada
tingkat manapun belum mampu menjadi pelayan publik yang
sesungguhnya. Itulah sebabnya mereka lebih banyak menjadi
sumber masalah dan sumber konflik.
3. Moralitas politik tidak menjadi basis sikap, perilaku, dan
tindakan para elite politik. Akibatnya perilaku korupsi, kolusi,
dan nepotisme tumbuh bak cendawan di musim hujan. Data
BPK menunjukkan semenjak era otonomi daerah korupsi dan
amburadulnya pengelolaan keuangan negara di daerah semakin
meningkat.
4. Muara dari semua sikap elit politik dan partisipasi politik adalah
kebebasan bertanggung jawab setiap individu insan politik
kapanpun dan di manapun (Rush, Michael 2007: 110-112).
Telah menjadi rahasia umum bahwa kebebasan bertanggung
jawab sebagai sikap kunci dalam berdemokrasi yang beradab
dan berkualitas sangat tidak dipahami, dihayati, apalagi
diamalkan oleh para elite politik.
5. Ketidakmampuan partai politik menyelenggarakan pendidikan
politik yang sistemik dan berkelanjuatan mengakibatkan
partisipasi politik masyarakat nyaris tidak terdengar, etika dan
moralitas politisi di Indonesia meperihatinkan. Akibatnya
penyalahgunaan kekuasaan ,KKN dan berbagai perilaku tidak
patut oleh penguasa di hampir setiap lini sistem ketatanegaraan
Indonesia semakin terbuka.
6. Sistem Multi Partai
Undang-undang tentang partai politik melahirkan banyak partai
yang umumnya tidak berbasis kader (Agustinus, Leo 2007: 85).
Hampir semua partai adalah partai massa, partai berlatar
belakang agama, etnis dan primordial yang lain. Sangat sedikit
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 105
pengurus partai, kader partai yang menghayati nilai dan prinsip
demokrasi. Dalam memilih calon kepala daerah seringkali tidak
ada konsistensi ideologi partai. Pilihan terhadap tokoh calon
kepala daerah sering tidak masuk akal dalam konteks ideologi,
visi, dan misi partai. Demikian juga halnya ketika harus
membangun koalisi.
7. Di tengah-tengah kondisi sistem multi partai, rekrutmen
politik, moralitas politik dan kualitas partai politik seperti
diuraikan di atas potret pemilihan kepala daerah dapat
dipaparkan sebagai berikut.
a. Persyaratan dan kondisi bakal calon
1) Sangat bersifat administratif dan formalitas; tidak
substansial. 2) Siapapun orangnya asal bisa
menyerahkan "kebutuhan vital" partai tentu bisa
menjadi calon. Hal ini berarti orang yang tidak
dikenal secara utuh oleh publik setempat bisa saja
menjadi calon. 3) Kemampuan menyediakan
political cost atau "money politic" atau apapun
istilahnya menjadi faktor penentu. 4)Tidak perlu
memiliki ideologi yang jelas, termasuk petahana.5)
Penyampaian visi dan misi di hadapan partai
pengusung kurang akuntabel. 6) Peluang untuk
menjadi "bajing loncat" sangat terbuka, tidak
terkecuali calon petahana. 7) Sejarah karier dan
riwayat hidup tidak menjadi faktor penentu calon.
b. Partai Pengusung. Sampai saat ini kondisi riel partai
politik tidak bisa menjadi quality assurance calonnya.
Partai politik ternyata:
1) Tidak "well planned"; tidak serius dan tidak sistemik
membina kader partai untuk menjadi calon. 2) Karakter
dan perilaku partai massa menjadi penyumbang terbesar
langkanya kader partai menjadi calon. 3) Logistik
partai tidak pernah dikelola dengan baik: sumbangan
pemerintah, sumbangan individual masih menjadi teknik
yang sangat dominan. 4) Akibat dari butir (3) partai tidak
mampu membiayai kader untuk bertarung dalam pilkada.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 106
5) Partai lebih bersifat pragmatis materialistik daripada
ideologis idealistik.6) Koalisi partai pengusung calon
seringkali membingungkan rakyat khususnya mereka
yang memiliki idealisme yang kuat.
c. Masa Sosialisasi
1) Pemerintah tidak melakukan upaya yang sungguh-
sungguh dalam menyebarluaskan informasi akan
diselenggarakannya pemilihan kepala daerah.
Akibatnya rakyat tidak menyambut dengan antusias
peristiwa pergantian kepala daerah padahal
pergantian ini akan menentukan nasib rakyat kecil
lima tahun kedepan. Dampak lain yang muncul: a)
tingkat partisipasi dalam pemilihan kepala daerah
rendah, b) tidak ada hubungan emosional antara
pemilih dan yang dipilih.
2) KPU kurang memberdayakan organisasi sosial
kemasyarakatan yang ada untuk sosialisasi pilkada
d. Masa dan pelaksanaan kampanye
1) Partai pengusung calon sering tidak mampu
mengendalikan ulah para pendukung akibatnya sering
terjadi konflik bahkan meningkat menjadi brutalisme
dan vandalisme. 2) Berbagai forum kampanye tidak
mampu meningkatkan kesadaran politik para pemilih.
Forum-forum pertemuan lebih banyak sekedar
mengumpulkan massa untuk bergembira ria. 3)Yang
lebih parah adalah massa peserta kampanye justru
membangun fanatisme untuk calon yang didukung.
Sering menimbulkan akibat fatal. 4) Berbagai
pelanggaran peraturan perundang-undangan terjadi
pada saat kampanye. Ada kesan aparat melakukan
pembiaran terhadap pelanggaran peserta kampany.
5) kampanye terbatas yang memungkinkan terjadinya
diskusi terhadap visi, misi dan program calon tidak
pernah terjadi.
e. Pasca pencoblosan

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 107


1) Pengumuman hasil pemungutan suara sering
disambut sorak sorai kemenangan bagi yang calonnya
memperoleh suara unggul tapi sebaliknya tidak jarang
disambut dengan sorak sorai kegeraman bagi yang
calonnya kalah. Isu-isu negatif bermunculan dan sulit
dihindari perdebatan, pertengkaran, dan tuding
menuding, yang berlanjut dengan konflik fisik antara
kedua belah fihak. Hampir semua kejadian ini tidak
dapat ditangani dengan baik oleh aparat. Kebrutalan,
vandalisme berupa perusakan, pembakaran fasilitas
publik menjadi pemandangan yang biasa setelah
pemilihan kepala daerah.
2) Kematangan politik yang rendah mengakibatkan
pemenang pemilihan kepala daerah melakukan politik
balas dendam melalui kebijakan kepegawaian yang
menimbulkan banyak korban. Tingginya semangat
balas budi kepala daerah terpilih terpaksa
mengabaikan prinsip profesionalisme dalam menata
birokrasi. Akibatnya kinerja birokrasi tidak optimal
bahkan jauh di bawah standar.

E. Kesimpulan
1. Pemilihan kepala daerah yang sangat strategis dan
menentukan nasib rakyat 5 tahun kedepan ternyata sampai
saat ini belum dipersiapkan dengan baik oleh partai politik.
Akibatnya kader partai terbaik yang ditunggu-tunggu oleh
rakyat tidak terpublikasikan atau bahkan tidak ditemukan.
2. Persyaratan untuk menjadi calon lebih bersifat administratif
dan formalistik dengan pembuktian sesaat berupa verifikasi
dokumen. Cara ini tidak memberikan jaminan apa-apa kepada
rakyat tentang calon yang diusung.
3. Logistik partai tidak tergarap dengan baik sehingga
pengusungan calon baik sendiri maupun melalui koalisi
seringkali mengorbankan ideologi, visi, misi partai.
Inkonsistensi partai seperti ini memberikan contoh yang

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 108


kurang baik bagi generasi muda yang sedang belajar untuk
mengelola masa depan melalui partai politik.
4. Sosialisasi pemilihan kepala daerah sering hanya menyentuh
hal-hal yang bersifat teknis administratif seperti gambar, tata
cara mencoblos yang benar, penghitungan suara, dan lain-
lain. Hal-hal yang lebih substansial seperti mengenai visi, misi,
program, karier calon, riwayat aktivitas dalam organisasi,
integritas pribadi calon, sangat minim diinformasikan kepada
pemilih. Demikian juga persoalan-persoalan masyarakat yang
sangat krusial seperti pengangguran, kemiskinan, kebodohan,
tidak pernah didiskusikan penyelesaiannya secara baik antara
calon dan rakyat.
5. Konflik fisik yang berkembang menjadi brutalisme dan
vandalisme pasca penghitungan suara menimbulkan citra
buruk bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan
mengesankan bahwa demokrasi di negara kita bukanlah
demokrasi yang taat hukum dan bermartabat.
6. Nampak dengan jelas sebagai akibat masih rendahnya tingkat
pendidikan kebanyakan masyarakat Indonesia, maka
demokrasi Indonesia baru sebatas demokrasi prosedural
(yang demokratis baru prosedurnya) bahkan demokrasi
paradoksal. Nilai demokrasi yang substansial belum dipahami,
dihayati dan mempribadi pada setiap aktor politik apalagi
rakyat kebanyakan.Dalam kondisi seperti ini sungguh mustahil
demokrasi bisa menjadi sarana fungsional untuk mencapai
kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.

F. Rekomendasi
Demikian banyaknya persoalan-persoalan pemilihan kepala
daerah yang lebih banyak mengorbankan kepentingan rakyat dari
aspek sosial, politik, ekonomi dan keamanan. Untuk itu perlu
segera dilakukan telaah agar sistem pemilihan kepala daerah
menjadi forum pendidikan politik konkrit bagi rakyat. Desain
pemilihan kepala daerah yang akan datang hendaknya : 1)
disesuaikan dengan tingkat kematangan politik rakyat termasuk
elit politik dan para calon sehingga akibat-akibat negatif bagi
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 109
rakyat kebanyakan seperti berbagai konflik; politik uang; politik
transaksional, inskonsistensi ideologis dapat dicegah; 2) sosialisasi
pemilihan kepala daerah bukan hanya sekedar masalah-masalah
teknis pemungutan suara mulai awal sampai akhir tetapi juga hal-
hal yang substansiil seperti karier calon, integritas calon,
pemahaman calon terhadap potensi daerah, dll; 3) sosialisasi
substansial ini dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian
dan pelaksanaan yang profesional; 4) dilakukan secara demokratis
menurut alinea IV pembukaan UUD 1945. Demokrasi sebagaimana
diisyaratkan oleh founding fathers kita melalui alinea IV inilah yang
seharusnya kita kembangkan; 5) partai politik segera melakukan
konsolidasi internal dengan menyelenggarakan pendidikan politik
bagi pengurus dan anggota serta simpatisannya.

Semarang, 4 Agustus 2013


Sumbangan untuk acara “70 tahun Prof.Dr.AT Soegito,S.H.,M.M.”
diambil dari makalah penulis dalam Seminar Nasional
Memperingati Harkitnas tanggal
15 Mei 2013 di Semarang.

Daftar Pustaka
Agustino, Leo, Perihal Ilmu Politik, 2007, Graha Ilmu, Yogyakarta
Burhanuddin (editor), Mencari Akar Kultural Civil Society ,
2003.INCIS, Jakarta
Gatara, Sahid, Ilmu Politik, Memahami dan Menerapkan , 2008,
Pustaka Setia, Bandung

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 110


---------------, Sosiologi Politik, Konsep dan Dinamika
Perkembangan Kajian, 2007, Pustaka Setia, Bandung
Moedyanto, G, The Concept of Power in Javanese Culture , 1990,
Yogyakarta
Purwadi, Insiklopedi Kebudayaan Jawa , 2005. Bina Media,
Yogyakarta
Rush, Michael, Pengantar Sosiologi Politik, 2007,Raja Grafindo
Persada,Jakarta
Sabdacarakatama, Ki; Wedhatama, 2010, Narasi, Yogyakarta
Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah , 2002,
Muliasari, Jakarta
Soegeng, AY. Pengantar Ilmu Pendidikan, 2009. FIP IKIP PGRI
Semarang, Semarang
Sudharto, Memilih Gubernur yang Merakyat, 2007, Makalah FGD
PWI di Banaran

........................, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah
........................, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025
Mahendra, A.A, Oka, Pilkada di Tengah Konflik Horizontal , 2005,
Millenium Publisher, Jakarta

PERAN GURU DALAM MENUMBUHKEMBANGKAN


SEMANGAT DAN RASA KEBANGSAAN SEBAGAI
TANGGUNGJAWAB MORAL BERSAMA
Sungkana, S.Pd, M.Si
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 111


Pendahuluan
Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia dalam meraih
kemerdekaan telah membuktikan bahwa dengan semangat dan
rasa kebangsaan yang kuat, mampu mengobarkan kekuatan
perjuangan dalam rangka melepaskan diri dari belenggu penjajah.
Berbagai ide, cara, dan bentuk perjuangan muncul dari segenap
lapisan masyarakat secara iklas dan pantang menyerah, dan
akhirnya tercapailah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945.
Hal ini membuktikan bahwa semangat dan rasa kebangsaan
(nasionalisme), menjadi hal mutlak yang harus dipelihara secara
terus menerus; baik dengan cara memasyarakatkan sejarah
pertumbuhan kesadaran kebangsaan kepada generasi berikutnya,
maupun dengan mewujudkan cita-cita nasional melalui
berfungsinya seluruh komponen sistem nasional berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memelihara kadar
dan kualitas nasionalisme. Namun demikian tidak bisa dipungkiri
bahwa melalui jalur pendidikan, upaya itu dapat dilakukan secara
lebih efektif. Oleh karena itu semua komponen pendidikan dan
guru pada khususnya, dituntut untuk mau dan mampu menjadi
garda terdepan dalam menanamkan nilai nasionalisme kepada
generasi muda.
Sejalan dengan tantangan yang dihadapi, upaya
menanamkan nilai nasionalisme harus dilakukan secara terus
menerus, benar dan bersifat dinamis, sehingga setiap generasi
akan memiliki pemahaman, penghayatan dan pengamalan yang
benar, sejalan dengan arah dan tujuan berdirinya Bangsa
Indonesia sebagaimana yang telah dirumuskan dan ditetapkan
oleh para pendiri bangsa. Komitmen ini harus dapat dilakukan,
karena disitulah jaminan terhadap kelestarian kehidupan bangsa
dan negara Indonesia dipertaruhkan. Oleh karena itu, upaya
menumbuhkembangkan semangat dan rasa kebangsaan harus
menjadi tanggungjawab moral bersama.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 112


Masalah dan Tantangan Saat Ini
Disadari atau tidak, saat ini Bangsa Indonesia sedang
menghadapi masalah yang sangat serius, yakni terkait dengan
ancaman disintegrasi bangsa yang hingga saat ini masih belum
mereda. Melalui proses pembentukan persatuan bangsa dengan
semboyan Bhineka Tunggal Ika, kita telah membangun suatu
bangsa dan mencapai integrasi nasional. Namun demikian harus
diakui bahwa kita masih menyimpan banyak masalah yang harus
diselesaikan. Seiring dengan dinamika perkembangan lingkungan
strategis, telah membawa nuansa baru terhadap kadar interaksi,
interelasi dan interdependensi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Faktor penyebabnya antara lain adalah
telah bergesernya nilai nasionalisme yang semula lebih berorientasi
kepada nilai politik dan geo-politik bergeser menuju nilai ekonomi
dan geo-ekonomi (pangisyarwi.com). Pergeseran nilai ini dari yang
semula berorientasi kepada pentingnya kesatuan persatuan untuk
membentuk masyarakat bangsa yang kuat, menjadi berorientasi
kepada aksesibilitas profesionalisme untuk meningkatkan
kesejahteraan dan keamanan demi kelangsungan hidupnya. Pada
posisi ini, ikatan kepada kadar kesatuan persatuan bangsa, dapat
dikalahkan oleh kepentingan yang lebih bersifat pribadi.
Masalah subtansi lain yang juga kita hadapi saat ini adalah,
adanya fenomena dan fakta terhadap merosotnya pemahaman,
penghayatan dan pengamalan nilai Pancasila; baik sebagai dasar
negara maupun pandangan hidup bangsa Indonesia. Survei dari
Pusat Studi Pancasila menyebutkan bahwa mata pelajaran
pendidikan kewarganegaraan (PKn) seolah-olah hanya pelengkap
kurikulum, dan tidak dipelajari serius oleh peserta didik. Pelajar
dan guru hanya mengejar mata pelajaran-mata pelajaran yang
menentukan kelulusan. Temuan ini menegaskan hasil survei
lembaga-lembaga lain pada tahun 2006-2007, yang menunjukkan
bahwa pengetahuan masyarakat mengenai Pancasila merosot
tajam (pangisyarwi.com). Sejak reformasi berlangsung masyarakat
telah mengalami perubahan radikal, yang menghantarkan bangsa
pada dunia baru yang sama sekali lain: terbuka dan liberal, di
tengah arus yang disebut globalisasi. Masalah globalisasi bukan
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 113
hanya mengubah selera dan gaya hidup bangsa menjadi sama
dengan bangsa lain, melainkan juga menyatukan orientasi dan
budaya menuju satu budaya dunia (world culture).
Disamping ke 2 (dua) masalah pokok di atas, saat ini kita
juga menghadapi tantangan terkait dengan pergantian generasi.
Telah terjadi alih generasi, kususnya para pemimpin bangsa; dari
generasi pejuang kemerdekaan kepada generasi muda
selanjutnya. Kondisi ini menjadi tantangan yang harus mampu
dijawab dengan tepat oleh generasi muda saat ini. Sebagaimana
telah sering kita dengar nasehat, bahwa pemuda saat ini adalah
pemimpin masa depan. Bahkan Presiden RI pertama Soekarno
pernah mengatakan beri aku 10 pemuda maka akan aku
goncangkan dunia. Oleh sebab itu keberadaan kaum muda sangat
vital dalam mengawal keberlanjutan negara Indonesia. Inilah
peluang yang mesti dijemput oleh kaum muda saat ini. Sebuah
peluang untuk mempertemukan berakhirnya umur generasi
pendahulu dengan muara dari gerakan kaum muda untuk
menyambut pergantian generasi dan menjaga perputaran sejarah
dengan ukiran-ukiran prestasi baru. Maka, harapannya adalah
bagaimana kaum muda tidak membiarkan begitu saja sejarah
melakukan pergantian generasi itu tanpa kaum muda menjadi
subjek di dalamnya.

Nasionalisme Indonesia
Indonesia sebagai negara merdeka memiliki bentuk
nasionalisme sendiri. Bentuk nasionalisme yang dianut oleh Warga
Negara Indonesia berakar pada nilai-nilai pandangan hidup Bangsa
Indonesia, yakni Pancasila. Pada dasarnya nasionalisme yang
berdasarkan Pancasila adalah paham atau pandangan Kebangsaan
Warga Negara Indonesia pada bangsa dan tanah airnya
berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Nasionalisme Pancasila ini diarahkan untuk mencapai suatu tujuan,
yaitu :
1. Menempatkan persatuan–kesatuan, kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi
atau kepentingan golongan.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 114
2. Menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan
bangsa dan negara.
3. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air
Indonesia serta tidak merasa rendah diri.
4. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan
kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa.
5. Menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia.
6. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
7. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
8. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
9. Senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
10. Berani membela kebenaran dan keadilan.
11. Merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari
seluruh umat manusia.
12. Menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lain
(patriotindo.wordpress.com).

Peran Pendidikan dan Guru


Sebagaimana telah diungkapkan di depan, bahwa dalam
rangka menumbuhkembangkan semangat dan rasa kebangsaan,
tidak ada upaya yang paling efektif, kecuali melalui jalur
pendidikan. Untuk itu, beberapa hal penting yang harus
memperoleh perhatian dan prioritas dalam penyelenggaraan
proses pendidikan yaitu :
1. Keselarasan dan keseimbangan
pertumbuhan/perkembangan antara ranah cipta, rasa dan
karsa bagi peserta didik dalam proses pendidikan yang
bertumpu pada nilai-nilai Pancasila harus menjadi orientasi
utama pembangunan pendidikan.
2. Mengingat ada tiga jalur pendidikan,
yaitu pendidikan formal (sekolah), non formal (masyarakat)
dan informal (keluarga); maka ketiga-tiganya harus maju
bersama untuk memainkan perannya masing-masing secara
baik. Tri Pusat pendidikan dimaksud harus saling bersinergi
dan berkomunikasi, harus memiliki semangat dan jiwa yang
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 115
sama untuk bersama-sama membangun generasi muda agar
berjiwa dan berkarakter Indonesia.
3. Peran Guru :
Dalam proses pendidikan guru, memiliki peran sentral
dan menjadi faktor yang menentukan. Untuk itu guru harus
mampu tampil sebagai figur yang dapat diguru dan ditiru.
Dengan figur tersebut, secara langsung maupun tidak
langsung, artinya telah terjadi proses pendidikan kepada
peserta didik. Agar dapat tampil sebagai figur yang dapat
digugu dan ditiru, maka guru dituntut untuk a) Menghayati
dan bangga dengan profesinya, b) mampu tampil secara fisik
dan batiniah secara prima, dan c) mampu menguasai metode
dan materi yang diajarkan.
Tugas pokok dan fungsi guru tidak hanya sekedar
mengajar, tetapi yang lebih penting dan substansi adalah
tugas mendidik. Hal ini membawa beberapa konsekuensi
penting yang perlu menjadi acuan kita bersama dan Guru
pada khususnya. Konsekuensi dimaksud adalah : pertama,
kehadiran guru memiliki kewajiban yang melekat, untuk mau
dan mampu membangun pribadi siswa agar tumbuh dan
berkembang sebagai pribadi yang utuh; kedua, hubungan
guru dengan siswa harus dibangun atas dasar fungsi profesi
dan bukan atas dasar jalinan kepentingan sesaat; ketiga,
guru sebagai profesi melekat secara utuh, baik guru sebagai
pribadi, guru dalam keluarga, guru dalam sekolah, guru
sebagai anggota masyarakat dan bahkan guru sebagai hamba
Tuhan Yang Maha Esa; serta keempat, kewibawaan guru
akan ditentukan oleh kemampuannya untuk selalu
membawakan diri sesuai dengan predikatnya yang luhur,
yakni sebagai figur yang dapat “digugu dan ditiru”.
Disamping hal-hal di atas, ada 3 (tiga) kunci sikap dasar
yang harus mampu dilakukan oleh setiap Warga Negara Indonesia,
agar dapat memberikan kontribusinya bagi upaya
menumbuhkembangkan semangat dan rasa kebangsaan, yaitu :
1. Menemukenali; bahwa baik secara pribadi
maupun kelompok, kita dituntut mampu menemukan serta
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 116
memahami terhadap adanya ancaman, tantangan, gangguan
dan hambatan yang dihadapi terkait dengan penghayatan dan
pengamalan wawasan kebangsaan kita saat ini.
2. Berempati; bahwa secara pribadi maupun
kelompok, kita dituntut untuk memiliki kepedulian (berempati)
terhadap masalah bangsa yang kita hadapi saat ini.
3. Melakukan aksi; bahwa sikap peduli yang
sudah kita miliki, harus kita perkaya dengan memberikan
kontribusi secara nyata untuk bersama-sama membantu
memecahkan masalah bangsa yang dihadapi saat ini secara
konstruktif dan bertanggungjawab.

Penutup
Semangat dan rasa kebangsaan (nasionalisme), menjadi hal
mutlak yang harus dipelihara secara terus menerus, benar dan
bersifat dinamis. Melalui upaya itu, maka kelangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara dapat dijamin kelestariannya. Mengingat
strategisnya peran pendidikan dan guru pada khususnya, maka
peran dan fungsinya harus terus ditingkatkan. Demikian juga
komponen yang lain, yakni semua Warga Negara Indonesia tanpa
kecuali harus memiliki tanggungjawab yang besar dan mengambil
peran secara proaktif. Kepentingan dan loyalitas kepada bangsa
dan negara harus di atas segala-galanya. Dengan mengutip
pernyataan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, yang
berasal dari Partai Republik mengatakan bahwa : My loyalty to my
party ends where my loyalty to my country begins . Jayalah
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

http://patriotindo.wordpress.com/2012/09/12/memahami-tentang-
nasionalisme-pancasila
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 117
http://pangisyarwi.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=101:penguatan-
nasionalisme-kebangsaan-qnations-
stateq&catid=8:makalah&Itemid=103

Identitas Penulis

Nama : Sungkana, S.Pd, M.Si


Jabatan : Kasi Pengembangan Pendidik dan
Tenaga Kependidikan
Pendidikan Menengah (PPTK Dikmen)
Unit Kerja : Bidang PPTK Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Tengah
Alamat Unit Kerja : Jl. Pemuda 134 Semarang
Alamat Rumah : Delikrejosari, RT. 03, RW. III,
Kalisegoro, Gunungpati,
Kota Semarang
Telepon : (024) 8508316 / 081328163272
Email : notoprabowo85@yahoo.com
Keterangan :
Alumni PPKn IKIP Semarang, Diploma III Lulus Tahun 1991
Alumni PPKn IKIP Semarang, S1 Lulus Tahun 1993

MENGISI KEMERDEKAAN
SEBAGAI BENTUK NASIONALISME GENERASI MUDA
Oleh: Dr. Suwito Eko Pramono, M.Pd.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 118


Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang

ABSTRAK
Salah satu kekhawatiran orang tua dapat dilihat dari pernyataan
bahwa pada saat ini sikap nasionalisme generasi muda Indonesia
sudah semakin menipis. Apakah kekhawatiran itu layak dijadikan
masalah nasional? Siapakah yang paling bertanggung jawab dalam
membentuk dan meningkatkan nasionalisme generasi muda
Indonesia?
Sebagian besar orang tua pasti menyadari bahwa persoalan itu
bukan semata-mata tanggung jawab generasi muda, melainkan
tanggung jawab semua komponen bangsa. Pembentukan dan
peningkatan nasionalisme dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berkaitan satu sama lainnya. Oleh karena itu, pembentukan
dan peningkatan nasionalisme generasi muda Indonesia harus
dilaksanakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan
pendekatan yang sistematis dan holistik.
Perkembangan, tantangan, dan kebutuhan hidup dan kehidupan
bangsa Indonesia pada saat ini dan yang akan datang merupakan
salah satu faktor yang menentukan arti pentingnya nasionalisme
generasi muda Indonesia. Namun, pembentukan dan peningkatan
nasionalisme generasi muda Indonesia berdasarkan perspektif
kekinian dipandang kurang bijak karena bisa terjebak pada budaya
populer dan tercerabut dari akar budaya bangsanya. Artinya,
sejarah sebagai akumulasi pengalaman masa lampau merupakan
landasan pembentukan dan peningkatan nasionalisme generasi
muda Indonesia yang dapat dipertanggung-jawabkan secara
rasional dan realistis. Pemikiran itu didasarkan pada kenyataan
bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan perjalanan sejarah bangsanya.
Kata kunci: generasi muda, nasionalisme, pembentukan, sejarah.

PENDAHULUAN
Benedick Anderson memaknai istilah nasionalisme sebagai
sikap suatu komunitas yang mengutamakan kepentingan bangsa

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 119


dan negara dari pada kepentingan pribadi atau golongan.
Sedangkan komunitas diimajinasikan atau dibayangkan sebagai
satu kesatuan orang yang menetap di suatu wilayah tertentu dan
sebagai bagian dari apa yang disebut bangsa, meskipun di antara
mereka ada perbedaan bahasa, etnis, agama, dan kebudayaan.
Mengapa nasionalisme Indonesia tumbuh dan berkembang sangat
kuat pada awal sampai pertengahan abad XX? Mengapa mereka
sebagai suatu komunitas memiliki emosi kolektif yang sama?
Nasionalisme sebagai aliran kebangsaan tidak hanya
representasi kolektifitas kehidupan suatu masyarakat, tetapi
merupakan representasi emosi masyarakat yang berkembang
melalui tahapan yang sistematis dan dipengaruhi oleh kondisi
sosial psikologis kehidupan masyarakat yang melingkupi. Artinya,
nasionalisme bukan paham atau aliran yang tumbuh dan
berkembang secara alami, melainkan karena dipengaruhi oleh
kondisi internal dan eksternal dari kehidupan masyarakat yang
bersangkutan. Sekurang-kurangnya, ada 2 (dua) faktor umum
yang memungkinkan nasionalime berkembang menjadi kesadaran
kolektif (Anderson, 2006), yaitu:
Pertama, adanya perasaan yang sama seperti perasaan
senasib, seperjuangan, dan sepenanggungan yang dialami suatu
masyarakat. Ketika kehidupan mereka didominasi oleh komunitas
lain sebagai akibat penjajahan, maka meraka kehilangan
kebebasan dalam beraktifitas. Hak-hak politik mereka dirampas,
hasil kerja keras mereka tidak dapat dinikmati secara utuh, dan
kedudukan sosial mereka sebagai warga masyarakat tidak dihargai
dan tidak dihormati. Perasaan disubordinasi dalam kehidupan telah
mendorong mereka melakukan perlawanan secara kolektif.
Keadaan semacam itu merupakan tempat yang subur bagi tumbuh
dan berkembangnya rasa nasionalisme. Apabila dicermati,
terbentuknya nasionalisme Indonesia pada awal abad XX berada
dalam katagori ini, yaitu adanya perasaan senasib, seperjuangan,
dan sepenanggungan.
Kedua, adanya perasaan unggul yang dialami suatu
kelompok atau warga masyarakat terhadap kelompok lain. Ketika
mereka mampu menjajah secara fisik, mengembangkan teknologi
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 120
dan ekonomi untuk mengendalikan bangsa lain, atau secara
kultural menjadi rujukan komunitas lain, maka mereka berusaha
untuk mempertahankan keunggulannya, sekaligus menggunakan
keunggulan itu untuk mendominasi kelompok lain. Kebangkitan
nasionalisme di beberapa negara Eropa Barat seperti Inggris,
Jerman, Perancis, atau Italia termasuk dalam katagori ini.
Demikian juga nasionalisme Amerika Serikat tumbuh dan
berkembang karena didorong oleh keunggulan ekonomi dan
teknologi. Oleh karena itu, nasionalisme mereka cenderung
menjadi sumber kocongkakan dalam pergaulan antar bangsa.
Terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi atau
mendorong tumbuh dan berkembangnya nasionalisme Indonesia,
maka dalam perkembangannya muncul semacam kesepahaman
bahwa nasionalisme dipahami sebagai paham, ajaran, atau aliran
kebangsaan yang harus ditanamkan dan ditumbuhkembangkan
dalam setiap generasi muda. Mengapa demikian? Apakah generasi
muda sekarang tidak memiliki rasa nasionalisme? Jika benar,
bagaimanakah strategi atau langkah-langkah yang harus ditempuh
dalam menanamkan dan menumbuhkembangkan nasionalisme
pada setiap generasi muda Indonesia? Jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan itu diharapkan dapat memberikan perspektif yang logis
dan realistis tentang nasionalisme generasi muda Indonesia dan
strategi pengembangannya.
NILAI-NILAI NASIONALISME
Nasionalisme sebagai suatu paham, ajaran, atau aliran
kebangsaan merupakan suatu konsep yang bermakna strategis
dalam pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara yang
mandiri, adil, dan makmur. Kemandirian suatu bangsa merupakan
modal dasar yang harus diaktulisasikan dalam pembangunan
nasional. Artinya, apa yang ingin kita wujudkan harus disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemampuan diri sebagai suatu bangsa.
Oleh karena itu, kemandirian suatu bangsa sangat bergantung
pada perasaan dan kesadaran masing-masing warga negara dalam
memandang diri sendiri dalam kaitannya dengan kepentingan
bangsa dan negaranya. Kepercayaan terhadap kekuatan sendiri
merupakan akumulasi perasaan dan kesadaran setiap warga
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 121
negara dalam melihat potensi bangsa dan negaranya. Potensi itu
merupakan modal dasar yang berharga dalam pelaksanaan
pembangunan nasional.
Pemikiran di atas sangat bertolak belakang dengan realita
yang terjadi dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Hampir semua warga negara Indonesia percaya dan sependapat
bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki potensi sumber
daya alam yang melimpah sebagai sumber kekuatan dalam
mewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang mandiri, adil, dan
makmur. Namun dalam kenyataannya, potensi sumber daya alam
yang melimpah tidak dapat menjamin kehidupan bangsa dan
negara Indonesia yang lebih baik. Bandingkan dengan Singapura
sebagai negara dengan wilayah dan sumber daya alam yang
terbatas, tetapi dapat mewujudkan kehidupan bangsa dan negara
yang lebih baik. Bahkan, dalam percaturan politik dan ekonomi di
antara negara-negara Asia Tenggara, Singapura memiliki pengaruh
yang lebih kuat dibandingkan dengan Indonesia.
Apabila dicermati, kenyataan di atas bersumber dari
kemandirian, keadilan, dan kemakmuran bangsa dan negara
Singapura yang lebih baik dari pada Indonesia. Oleh karena itu,
kemandirian bangsa harus menjadi prioritas pembangunan
nasional Indonesia. Persoalan ini harus dilaksanakan secara
terencana dan terarah melalui penanaman dan
penumbuhkembangan rasa nasionalisme di kalangan generasi
muda Indonesia. Sedangkan keberhasilan penanaman dan
penumbuhkembangan rasa nasionalisme di kalangan generasi
muda dapat dilihat atau diukur dari nilai-nilai nasionalisme seperti
patriotisme, cinta terhadap budaya Indonesia, bangga sebagai
bangsa Indonesia, dan sebagainya (Kohn, 1984).
Patriotisme merupakan sikap dan semangat yang tinggi
dalam mencintai tanah airnya sehingga seorang patriotik berani
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negaranya. Berbagai
kasus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir merupakan bukti
rendahnya patriotisme masyarakat Indonesia. Di Mesuji, sejumlah
orang tewas karena bentrokan antar sesama warga masyarakat.
Ada yang meninggal karena digorok lehernya, beberapa rumah
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 122
yang dibakar, dan sejumlah orang mengungsi karena ketakutan. Di
Sape Bima, beberapa orang yang berusaha menguasai pelabuhan
tewas ditembak aparat keamanan. Kisah pun berlanjut, warga
masyarakat yang marah membakar kantor bupati dan
membebaskan para tahanan dari penjara.
Kedua kasus di atas bersumber pada masalah ‘pertanahan’.
Masyarakat Mesuji marah karena hak-haknya sebagai penggarap
lahan diserobot oleh sekelompok orang yang bertindak atas nama
sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Di Sape, jumlah
warga masyarakat yang melakukan perlawanan atas usaha
pertambangan yang merusak lingkungan semakin banyak dan
berani. Kedua kasus itu berawal dari kebijakan kepala daerah
setempat yang memberikan izin kepada para investor untuk
mengembangkan usaha perkebunan dan pertambangan.
Apakah tindakan-tindakan yang terjadi pada kedua kasus
tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan seorang patriotis?
Tentu bisa dan sangat bergantung pada sudut pandang masing-
masing pihak. Upaya masyarakat Mesuji mempertahankan hak-
haknya atas lahan ‘garapan’ maupun masyarakat Sape yang
berusaha menjaga kelestarian lingkunganya dapat dipandang
sebagai tindakan seorang patroitis, meski dalam arti yang sempit.
Tindakan seorang patriotis tidak selalu berkaitan dengan
kepentingan bangsa dan negara secara absolut karena tindakan
seseorang membela kepentingan diri dan masyarakat yang
didasarkan pada kebenaran dapat dikatakan sebagai seorang
patriotis (Smith, 2002).
Sedangkan tindakan kepala daerah yang memberikan izin
usaha perkebunan dan pertambangan dapat dikatakan sebagai
tindakan patriotis apabila didasarkan pada argumen yang rasional
dan realistis serta untuk kepentingan pemerintah daerah dan
masyarakat sekitarnya. Namun dalam kenyataannya, izin usaha
yang diberikan kepala daerah kepada para investor biasanya untuk
kepentingan pribadi. Oleh karena itu, pencabutan izin usaha
pertambangan oleh Bupati Bima merupakan bukti bahwa izin
usaha pertambangan itu tidak didasarkan pada argumen yang
rasional dan realistis. Dengan demikian, tindak kepala daerah yang
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 123
berkaitan dengan kedua kasus di atas tidak dapat dikatagorikan
sebagai tindakan seorang patriotis.
Kasus lain yang dapat digunakan sebagai indikator
nasionalisme adalah sikap dan perilaku masyarakat di daerah
perbatasan Kalimantan maupun masyarakat di Papua. Ada kesan
bahwa masyarakat Entikong, Nunukan, Sebatik, dan masyarakat di
wilayah perbatasan lainnya ingin segera menjadi warga negara
Malaysia sehingga mereka dianggap tidak memiliki sikap
nasionalisme Indonesia yang kuat. Kesan itu tidak benar karena
mereka masih sangat mencintai Indonesia, meskipun mereka
selalu menggunakan produk-produk Malaysia untuk memenuhi
kebutuhan sehari-harinya. Mereka hanya membutuhkan perhatian
dari pemerintah Indonesia, terutama dalam menyediakan saran
dan prasarana kehidupan sehingga mereka lebih mudah untuk
menjalin hubungan dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Keadaan yang hampir mirip dengan kehidupan masyarakat
di perbatasan Kalimantan adalah kehidupan masyarakat Papua.
Mereka hidup di dearah yang kaya bahan tambang seperti emas
dan tembaga, tetapi mereka tidak dapat menikmati kekayaan itu.
Mereka menganggap hasil perusahaan pertambangan ‘Freeport’
hanya untuk kepentingan perusahaan asing dan pemerintah
Indonesia. Sedangkan perhatian pemerintah Indonesia terhadap
kehidupan masyarakat Papua dirasa masih sangat kurang dan
terbatas. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila mereka
memiliki kecenderungan untuk berseberangan dengan pemikiran
pemerintah Indonesia. Bandingkan ketaatan mereka kepada para
misionaris. Bahkan, untuk berhubungan dengan masyarakat Papua
di pedalaman akan terasa lebih mudah dan nyaman apabila
dilakukan bersamaan dengan para mosionaris dari pada
bersamaan dengan aparat pemerintah.
Pendek kata, pembentukan dan pengembangan sikap
nasionalisme tidak semata-mata dapat dilakukan berdasarkan
perasaan senasib dan sepenanggungan, tetapi dapat dilakukan
melalui perbaikan kehidupan secara ekonomis. Cinta budaya dan
produk Indonesia maupun rasa bangga sebagai bangsa Indonesia
merupakan indikator-indikator yang dapat digunakan sebagai
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 124
parameter nasionalisme generasi muda. Namun, semua itu tidak
dapat berkembang secara instan. Artinya, untuk mewujudkan
harapan-harapan tersebut diperlukan adanya sentuhan dan usaha-
usaha yang terencana, terarah, dan berkesinambungan sehingga
kehidupan mereka akan semakin membaik. Masyarakat Indonesia
di daerah perbatasan Kalimantan yang mengomsumsi produk
Malaysia bukan berarti tidak cinta produk Indonesia, melainkan
karena tidak ada produk Indonesia yang dijumpai di pasar atau
toko-toko di daerah perbatasan.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat 2 (dua) konsep dasar
yang tidak boleh dilupakan dalam memahami nasionalisme, yaitu
perasaan dan kesadaran. Perasaan sebagai bentuk ikatan
emosional merupakan salah satu dasar terbentuknya nasionalisme
pada masing-masing individu. Sedangkan kesadaran sebagai
akumulasi logika merupakan salah satu sumber kekuatan untuk
bertindak. Oleh karena itu, kedua konsep dasar itu tidak dapat
dipisahkan karena nasionalisme yang kuat tidak dapat dibentuk
tanpa ikatan emosional, dan nasionalisme tidak dapat
diimplemntasikan secara sungguh-sungguh tanpa adanya
kesadaran. Dengan demikian, nasionalisme merupakan akumulasi
dari perasaan dan kesadaran masing-masing warga masyarakat
terhadap kepentingan bangsa dan negaranya.
Di samping menggambarkan perasaan dan perilaku untuk
bangsa dan negara, nasionalisme menggambarkan pribadi-pribadi
yang memiliki jiwa rela berkorban, baik jiwa, raga, maupun harta.
Sepak terjang Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah
Belanda merupakan ciri seorang yang berjiwa nasionalis sejati. Ia
rela menanggalkan kemewahan hidup dalam istana, sekaligus
mengabaikan kepentingan dan keselamatan pribadinya. Ia rela
hidup menderita dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain untuk
membela rakyat melawan pemerintah kolonial Belanda. Ia rela
hidup dalam tahanan dan diperlukan secara tidak hormat oleh
antek-antek Belanda.
Tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Pangeran
Diponegoro, adalah apa yang dilakukan tokoh-tokoh pemuda pada
awal abad ke 20, seperti Soetomo, Wahidin Sudirohusodo,
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 125
Gunawan Mangoenkoesoemo, dan lain sebagainya. Mereka
mendirikan organisasi-organisasi pergerakan untuk menginspirasi
warga masyarakat agar tidak takut melawan kezaliman pemerintah
kolonial Belanda. Meskipun Boedi Oetomo dianggap sebagai
organisasi elite Jawa, tetapi mereka berjuang untuk kepentingan
seluruh warga masyarakat seperti organisasi-organisasi sosial-
politik yang didirikan sesudahnya.
Pada waktu revolusi kemerdekaan, tak terhitung jumlah
pemuda yang ikut memanggul senjata dan menjadi korban
perjuangan. Pengorbanan mereka tidak dapat diukur atau dinilai
dengan harta. Semua itu, dilakukan karena mereka tidak ingin
kehidupan masyarakat Indonesia hanya objek eksploitasi untuk
kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Itulah salah satu faktor
yang mendorong lahirnya rasa kebangsaan yang terus
berkembang subur dengan satu tujuan, yaitu mengusir penjajah
dari bumi pertiwi. Saya merasa yakin bahwa generasi muda
Indonesia sekarang ini memiliki jiwa, semangat, dan sikap
nasionalisme seperti para pemuda Indonesia yang hidup pada
semester pertama abad ke 20.
Namun, setelah beberapa dekade republik ini berdiri,
generasi muda Indonesia yang pertama-tama didakwa bahwa
nasionalisme mereka telah luntur. Mereka dituduh bergaya hidup
hura-hura, pragmatis, individualistis, hedonis, dan materialis.
Apabila dianalisis dakwaan itu tidak realistis karena persoalan dan
tantangan hidup yang mereka hadapi di era milenium baru ini
sudah sangat berbeda. Persoalan dan tantangan hidup generasi
muda Indonesia sekarang ini adalah persaingan teknologi,
ekonomi, dan budaya pada tataran global.
Teknologi berkembang sangat pesat dan terus berubah
serta ekonomi pasar menerabas batas geografis, administratif, dan
politik negara-bangsa. Indonesia telah menjadi bagian dari proses
globalisasi, di mana kita sudah memasuki dan mengoperasikan
teknologi informatika sampai pada tingkat entitas rumah tangga
dan perseorangan (televisi, internet, dan telepon seluler). Produk
pangan, sandang, serta kebutuhan pribadi dan rumah tangga dari
luar negeri telah masuk sampai ke pelosok desa sebagai akibat
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 126
dari ekonomi pasar yang terus berkembang. Cara berpakaian,
menikmati hiburan, dan selera makan sebagai bagian dari gaya
hidup budaya populer di antara penduduk desa dan kota sudah
tidak begitu jauh berbeda.
Sayangnya, partisipasi bangsa Indonesia dalam proses
globalisasi masih sebatas sebagai resipein dan bukan sebagai
donor (agen). Dalam globalisasi bangsa Indonesia hanya
menerima dan melaksanakan apa yang masuk dari luar negeri dan
belum banyak memberikan kontribusi. Itulah tantangan yang harus
dicermati dan disikapi, meskipun kebijakan pemerintah lebih
banyak mendorong pada posisi sebagai resipeien dari pada
sebagai donor (agen) dalam keseluruhan pelaksanaan globalisasi.
MENGISI KEMERDEKAAN
Berbagai indikator nasionalisme yang dikemukanakan para
ahli harus dipahami dan diaktualisasikan sesuai dengan
konteksnya. Masing-masing indikator nasionalisme tidak dapat
dipaksakan penggunaannya sebagai media pembentukan
nasionalisme generasi muda karena adanya perubahan kebutuhan
dan tantangan kehidupan masyarakat. Namun demikian,
pembentukan atau pengembangan nasionalisme di kalangan
generasi muda harus tetap dilanjutkan. Salah satu indikator
nasionalisme yang paling penting bagi bangsa dan negara
Indonesia pada saat ini adalah sikap dan kesadaran masyarakat
dalam mengisi kemerdekaan.
Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan pada tanggal 17
Agustus 1945, Bung Karno mengatakan bahwa kemerdekaan yang
diperoleh ini barulah kemerdekaan politik. Artinya, kita baru bebas
dari belenggu penjajahan. Sedangkan kemerdekaan sebagai
‘declaration of independence’ harus dimaknai sebagai kebebasan
dari ketakutan dan kemiskinan serta kebebasan berekspresi dan
berserikat. Meskipun demikian, kemerdekaan politik memiliki arti
penting karena merupakan ‘jembatan emas’ untuk menuju
masyarakat yang adil dan makmur. Sedangkan masyarakat adil
dan makmur merupakan perwujudan dari kemerdekaan ekonomi
yang dapat dicapai melalui pembangunan. Pendek kata, indikator
paling penting dari nasionalisme adalah mengisi kemerdekaan.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 127
Pada awal kemerdekaan, Sutan Syahrir, pendiri Partai
Sosialis Indonesia (PSI) pernah menuntut pelaksanaan
kemerdekaan politik secara penuh. Ia melihat adanya
kecenderungan berkembangnya pemerintahan yang otoriter dan
kolektivisme yang ditandai dengan gejala sistem partai tunggal,
yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah kepemimpinan dwi
tunggal Soekarno-Hatta. Kekhawatiran Syahrir harus dijawab
secara bijak agar tidak terjadi perbedaan pendapat yang bisa
merugikan arti kemerdekaan itu sendiri.
Maklumat Wakil Presiden Nomor X/1946 merupakan
jawaban atas tuntutan Syahrir, sekaligus sebagai pernyataan
kemerdekaan kedua yang menghasilkan sistem politik multipartai
atau parelementer. Namun, secara politik RI baru merdeka secara
de facto sehingga bangsa Indonesia harus berjuang untuk
mempertahankan kemerdekaan itu, baik melalui perjuangan
bersenjata maupun perjuangan diplomasi. Kemerdekaan secara
penuh baru diperoleh setelah adanya pengakuan kedaulatan
sebagai hasil Konferensi Meja Bundar, tanggal 29 Desember 1949.
Pengakuan kemerdekaan oleh dunia internasional telah mengakhiri
perjuangan bersenjata dan diplomasi.
Kemerdekaan ekonomi mulai terwujud, ketika Syafrudin
Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Syahrir III
mengeluarkan Oeang Republik Indonesia (ORI). Kenyataan itu
merupakan awal kemerdekaan ekonomi karena perekonomian
Indonesia terbebas dari uang Jepang maupun NICA. Rintisan lain
kemerdekaan ekonomi terjadi ketika Wakil Presiden Moh. Hatta
menugaskan Margono Djojohadikusumo untuk mendirian Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral Indonesia. Bank Negara Indonesia
(BNI) yang didirikan pada tahun 1946 belum dapat berfungsi
sebagai bank sentral karena kekurangan modal. Secara de facto
maupun de jure, Bank Sentral Indonesia adalah De Javaschebank,
sebuah bank swasta Belanda.
Kemerdekaan ekonomi tahap kedua semakin nyata, ketika
De Javaschebank dinasionalisasikan pada tahun 1952 (Kabinet
Sukiman). Meskipun demikian, Bung Karno mengatakan bahwa
Indonesia belum merdeka secara ekonomi karena perekonomian
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 128
Indonesia masih dikuasai oleh neokolonialisme, yaitu perusahaan
asing Belanda. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kemerdekaan
ekonomi pada tahun 1957 dilakukan nasionalisasi total terhadap
semua perusahaan asing. Namun, lagi-lagi Bung Karno merasa
belum puas dan mengatakan bahwa Indonesia belum merdeka.
Untuk itulah, Bung Karno mengatakan ‘revolusi belum selesai’
melalui Manifesto Politik-nya.
Bagi Bung Karno, kemerdekaan penuh baru bisa dicapai
apabila Indonesia telah mencapai atau memasuki tahap sosialisme.
Simpulan ini dapat ditarik dari langkah-langkah yang ditempuh
Bung Karno, terutama setelah Indonesia kembali ke Kabinet
Presidential. Salah program Bung Karno yang sangat terkenal
adalah ‘revolusi nasional demokrasi’ yaitu program yang
bertujuan untuk membongkar sisa-sisa feodalisme dan
imperialisme menuju Sosialisme Indonesia. Ketika itu, filosofi
kemerdekaan dirumuskan berdasarkan 3 (tiga) sendi
kemerdekaan, Trisakti, yaitu kedaulatan di bidang politik,
berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang
kebudayaan.
Apabila dicermati ketiga sendi kemerdekaan tersebut telah
dirumuskan secara komprehensif dalam Mukadimah UUD 1945,
yaitu ‘terwujudnya negara RI yang merdeka, berdaulat, adil, dan
makmur’. Secara ekspisit, kemedekaan harus didukung dengan 4
(empat) pilar, yaitu kedaulatan, persatuan, keadilan, dan
kemakmuran. Secara implisit, dalam anak kalimat tersebut
terdapat makna bahwa merdeka berarti tegaknya Trisakti.
Berkaitan dengan pemikiran tersebut, maka nasionalisme harus
menjadi pilar pelaksanaan dan perwujudan Trisakti.
Dalam pengertian liberalisme politik dari John Rawls,
kebebasan adalah pilar utama dari keadilan. Sebaliknya, keadilan
adalah syarat kebebasan. Tanpa keadilan, maka tidak ada
kebebasan suatu konsep yang dapat menjelaskan pengertian
keadilan dalam Mukadimah UUD 1945 sebagai salah satu pilar
kemerdekaan. Di Indonesia, kemerdekaan mengandung konotasi
positif. Sedangkan kebebasan sebagai nilai utama liberalisme
politik mengandung makna pejoratif karena dipahami dalam
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 129
konteks kapitalisme. Oleh karena itu, penggunaan istilah
kemerdekaan dianggap lebih tepat dari pada penggunaan istilah
kebebasan. Perbedaan makna yang terdapat dalam kedua istilah
itu sebenarnya tidak bersifat hakiki, tetapi karena adanya
perspektif politik yang dianut masyarakat Indonesia.
Dalam konteks zaman kontemporer, bahkan dalam era
global seperti sekarang ini, makna positif kebebasan dapat
dijelaskan dengan teori filsuf India, yaitu Amartya Kumar Sen.
Menurut dia, kebebasan memiliki 2 (dua) arti. Pertama, well-being
freedom, yaitu kondisi yang mengandung peluang untuk memilih
yang terbaik tanpa adanya pencegahan atau hukuman. Kedua,
agency freedon, yaitu kapabilitas untuk merealisasikan diri. Apabila
dicermati, apa yang dipikirkan Amartya Kumar Sen tidak jauh
berbeda dengan tegaknya Trisakti.
Pada awal abad ke-21, Indonesia masih terus berjuang
untuk mendapatkan kebebasan dalam arti yang sesungguhnya.
Gerakan reformasi pada tahun 1997/1998 merupakan proses
demokratisasi menuju kebebasan yang hakiki. Sayangnya, proses
itu dibarengi dengan gerakan radikal yang menggunakan
kekerasan dan terorisme dalam mencapai tujuan sehingga
menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat. Berbagai bentuk
ancaman terjadi di mana-mana, baik yang dilakukan perorangan
secara insidental maupun yang dilakukan kelompok melalui
organisasi yang teratur dan terencana. Di samping itu, lahir politik
identitas yang telah melahirkan kekerasan oleh mayoritas terhadap
minoritas seperti yang dialami kelompok Ahmadiyah di berbagai
daerah maupun kelompok Syiah di Sampang, Madura.
Sementara, kemiskinan merupakan kondisi yang
menghambat perkembangan kapabilitas masyarakat. Rendahnya
kapabilitas bangsa Indonesia dalam mengelola sumber daya alam
membawa implikasi terhadap terhadap kemerdekaan masyarakat
Indonesia di bidang ekonomi. Ketergantungan pada teknologi dan
dominasi modal asing merupakan efek dari mutu sumber daya
manusia yang rendah. Di samping itu, ketergantungan pada
import kebutuhan bahan pokok, terutama energi dan pangan

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 130


merupakan bukti bahwa masyarakat Indonesia belum memperoleh
kemerdekaan di bidang ekonomi.
Untuk mencapai kemerdekaan sebagai kebebasan modern,
baik dalam arti kebebasan individual maupun kebebasan kolektif,
maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah pembangunan
sumber daya manusia Indonesia. Keberhasilan pembangunan
sumber daya manusia dapat dimaknai sebagai pemberdayaan
ekonomi nasional atau ekonomi rakyat. Dengan demikian,
perspektif nasionalisme pada abad ke-21 harus dimaknai sebagai
upaya mengisi kemerdekaan sebagai upaya untuk mewujudkan
kedaulatan di bidang politik, kemandirian di bidang ekonomi, dan
berkepribadian di bidang kebudayaan. Seiring dengan pemikiran
itu, maka nilai-nilai patriotisme, cinta tanah air, cinta produk dalam
negeri, cinta pada budaya bangsa tetap penting sekaligus sebagai
pilar dalam mengisi kemerdekaan yang nyata.
Dalam keseluruhan konteks pembentukkan nasionalisme
generasi muda, maka pendidikan pada umumnya, pendidikan
sejarah pada khususnya memiliki peranan yang sangat strategis.
Pemikiran ini sesuai dengan kenyataan bahwa nasionalisme dapat
tumbuh dan berkembang sebagai akibat tantangan kehidupan
yang sedang dihadapi maupun sebagai akibat akumulasi
pengalaman masa lampau. Misalnya, globalisasi dengan berbagai
dimensinya seperti internasionalisasi, universalisasi, liberalisasi,
westernisasi, dan deteritoralisasi tidak dapat diterima atau ditolak
begitu saja, tetapi harus dikritisi secara logis dan realistis.
Menerima globalisasi tanpa dasar pertimbangan yang rasional bisa
menyebabkan bangsa Indonesia terjebak pada budaya populer dan
tercerabut dari nilai-nilai budaya bangsanya. Sebaliknya, menolak
globalisasi dapat diartikan sebagai upaya untuk menjauhkan diri
dari pergaulan antara bangsa.
Berkaitan dengan kenyataan di atas, maka pendidikan
sejarah harus diaktualisasikan agar mampu memberikan wawasan
dan perspektif kepada generasi muda dalam menghadapi
perkembangan global, tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai
budaya bangsa sendiri. Berbagai pengalaman pada masa lampau
dapat digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan kesadaran
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 131
generasi muda dalam membangun kehidupan yang berorientasi
pada kemerdekaan individu maupun kemerdekaan kolektif sebagai
bangsa Indonesia. Di samping itu, perasaan senasib dan
seperjuangan yang pernah dialami bangsa Indonesia pada masa
lampau dapat dijadikan landasan dalam memperkuat nasionalisme
Indonesia.
PENUTUP
Dalam sejarah bangsa Indonesia, nasionalisme dengan
berbagai nilai-nilainya telah menjadi landasan dalam mencapai
kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya, yaitu kedaulatan di
bidang politik, kemandirian di bidang ekonomi, dan kepribadian di
bidang kebudayaan. Sedangkan kemerdekaan yang diperoleh pada
tanggal 17 Agustus 1945 yang dikenal sebagai ‘declaration of
independence’ baru merupakan kemerdekaan dari penjajahan.
Oleh karena itu, kemerdekaan 17 Agustus 1945 sering disebut
sebagai ‘jembatan emas’ untuk mencapai kemerdekaan dalam arti
luas, kemerdekaan yang sesungguhnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemerdekaan 17 Agustus
1945 dapat tercapai berkat adanya beberapa nilai dasar yang
berhasil dikembangkan bangsa Indonesia, di antaranya
nasionalisme. Oleh karena itu, nasionalisme harus
ditumbuhkembangkan di kalangan generasi muda melalui berbagai
berbagai bentuk yang telah disesuaikan dengan perkembangan
dan kebutuhan hidup pada saat ini. Patriotisme, cinta tanah air,
cinta produk dalam negeri, cinta budaya bangsa merupakan nilai-
nilai dasar nasionalisme yang harus dipertahankan, tetapi cara
mempertahankannya harus disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Berdasarkan kenyataan yang ada, maka mengisi
kemerdekaan merupakan cara penanaman nasionalisme di
kalangan generasi muda yang paling tepat. Apalah arti patriotisme,
cinta tanah air, cinta produk dalam negeri, atau cinta budaya
bangsa Indonesia apabila tidak pernah dipraktikan dalam
kehidupan nyata. Dengan demikian, mengisi kemerdekaan
merupakan bentuk nasionalisme yang paling nyata dan karena itu,
penanaman nasionalisme bukan hnya dalam bentuk konsep atau
sikap, melainkan harus dalam bentuk perilaku yang nyata.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 132
Daftar Pustaka
Anderson, Benedick. 2006. The Imagine Communities, Reflection
in The Origin, and Spread Nationalism. New York: Vesco.
Kohn, Hans. 1984. Nasionalisme, Arti, dan Sejarahnya. Terjemahan
Sumantri Mertodipuro. Jakarta: PT Pembangunan Jaya.
Muljana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional dari Kolonialisme
sampai Kemerde-kaan I. Yogyakarta: PT LKiS.
Reid, Anthony J.S. 1996. Revolusi Nasional Indonesia. Terjemahan
Pericles G. Katoppo. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Smith, Anthony D. 2002. Nasionalisme, Teori, Ideologi Sejarah.
Terjemahan. Jakarta: Erlangga.
Wardaya, Baskara T. 2008. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen,
CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G. 30 S. Yogyakarta:
Galang Press.

70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 133

Anda mungkin juga menyukai