i
DAFTAR ISI
NASIONALISME DAN KARAKTER BANGSA
Abstrak
Pendidikan diyakini sebagai lembaga strategis dalam
menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan berkarakter.
Keyakinan ini melahirkan sosok pribadi yang siap melakukan
perubahan. Berangkat dari keyakinan itulah pada tahun 2045 atau
100 tahun kemerdekaan Indonesia banyak pihak meramalkan
bahwa Indonesia akan menjadi negara besar dan maju di berbagai
bidang. Dalam konteks itulah penyiapan generasi menjadi kunci
merealisasikan ramalan tentang tahun emas Indonesia. Pendidikan
diharapkan mampu melahirkan pribadi-pribadi unggul yang siap
terjun untuk melakukan perubahan dengan membangun
masyarakat secara nyata. Lembaga pendidikan bukan hanya
sekadar lembaga pembelajaran yang hanya mentransfer
pengetahuan, namun juga membentuk sikap, perilaku, dan
kepribadian. Karena itu, tepat kiranya jika diupayakan pemulihan
kembali nilai-nilai yang telah diajarkan oleh para pendiri bangsa,
sekaligus dimulainya kembali agenda berkelanjutan untuk
menyelenggarakan pendidikan dengan menekankan pada
pendidikan karakter sebagai usaha membangun karakter bangsa
(nation character building).
Kata kunci: pendidikan karakter, Indonesia 2045
PENDAHULUAN
Peningkatan anggaran pendidikan setiap tahun harus
dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Dengan anggaran pendidikan yang besar diharapkan bisa
menyiapkan generasi penerus bangsa yang memiliki sikap,
perilaku, dan kepribadian yang baik. Pengembangan SDM yang
optimal tentu akan berdampak pada kemajuan bangsa dalam
berbagai bidang. Dengan alasan tersebut, banyak yang
TUH
TUH
AN
AN
Nilai-
Nilai- YY M Nil
M
Nilai
Nilai EEMM ai-
oo Nil
DIRI
DIRI rr ai SES
SES
SEN
SEN aa AM
AM
DIRI
DIRI CHAR ll AA
ACTEKK
Nila
Nila M nn
R Nil
Nil
M Mo
Mo
i-i- oo oo ai-
ai-
ral
ral
Nila
Nila rr ww Nil
Nil
Fe
Fe
ii al ii ai
ai
al eli
eli
KEBAN
KEBAN AA nn LING
LING
ng
ng
GSAAN
GSAAN ct gg KUN
KUN
ct Nilai-
io Nilai- GAN
GAN
io Nilai
nn Nilai
Bangsa yang kuat tidak hanya dilihat dari seberapa banyak
jumlah personil militernya, seberapa banyak kapal perang dan
pesawat tempur yang dipunyai.Demikian pula tidak dilihat,
seberapa kaya sumber daya alamnya, yang dilihat terutama adalah
watak, karakter, atau moral nasionalnya, sebab sebagaimana
dikemukakan Morgenthau (1991), karakter nasional sangat
menentukan kekuatan nasional. Karakter nasional atau karakter
bangsa menurut De Vos (1968) adalah the enduring personality
characteristics and unique life style found among the population of
particular national states. Karakter bangsa sebagaimana
dikemukakan De Vos menunjukkan ciri-ciri kepribadian yang tetap
dan gaya hidup yang unik yang ditemui pada penduduk negara
bangsa tertentu.
Secara individual, boleh jadi karakter bersifat hereditas atau
bawaan, namun tidak demikian halnya dengan karakter
nasional.Karakter nasional tidak bersifat hereditas atau bawaan.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 10
Karakter nasional akan kuat jika karakter individu warga negara
juga kuat (Koellhoffer 2009). Sebagai komponen penting yang
menentukan kekuatan nasional, karakter nasional atau bangsa
harus dididikkan kepada generasi muda.Mengapa generasi muda?
Merekalah pemilik masa depan bangsa ini. Mereka tidak
mengalami langsung pahit getirnya para pendiri bangsa
mengembangkan nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi bagi
berdirinya bangsa Indonesia.Tanpa ada upaya internalisasi dan
sosialisasi nilai-nilai luhur atau karakter, dikhawatirkan para
generasi muda tidak memiliki landasan yang kokoh dalam
membangun negeri ini.Untuk itu, mereka perlu diberi pendidikan
karakter.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah kegiatan baru, karena
melewati perjalanan waktu, pendidikan karakter telah dilakukan
manusia dengan berbagai cara dan bentuknya. Pada dasarnya
makna pendidikan itu sendiri adalah kegiatan yang dilakukan oleh
manusia untuk mencapai tujuan membantu pembelajar mencapai
kecerdasan dan kearifan, sehingga mereka menjadi seorang
manusia yang cerdas dan berkarakter. Dalam kaitan dengan
pendidikan karakter, istilah pendidikan itu dimaknai sebagai proses
yang berakumulasi pada kepemilikan pemahaman, sikap, dan
tindakan baik atau berkarakter. Pendidikan adalah proses yang
berawal dari membangun kesadaran, menumbuhkan kepekaan,
niat, wawasan, pengetahuan, keyakinan, sikap, dan pembentukan
kebiasaan baik. Dengan demikian, konsep yang harus diterapkan
dalam pendidikan karakter ialah (1) karakter tidak diajarkan, tetapi
dibiasakan, sebagai contoh kita dapat menggunakan langkah
melalui empat koridor pendidikan karakter, yaitu menginternalisasi
nilai, memilih nilai-nilai yang baik, membiasakan diri, dan menjadi
teladan; (2) mendidik karakter harus menyertakan seluruh
komponen yang terkait dengan mahasiswa secara bersama-sama;
(3) dalam proses pendidikan harus diperhatikan suasana belajar,
proses belajar, bahan ajar, dan evaluasi belajar; dan (4)
pendidikan karakter adalah kegiatan never ending process.
DAFTAR PUSTAKA
Capra, Fritjof. 2002. Titik Balik Peradaban . Terjemahan M. Thoyibi.
Yogyakarta: Bentang Budaya.
Cronbach, Lee J. 1977. Educational Psychology 3rd edition. New
York: Harcourt Brace Jovanovich Inc.
DeVos, George A. 1968. “National Character”. In Sills David L
(ed).International Encyclopedia of the Social Sciences. New
York: Macmillan Company and the Free Press.
Direktorat Ketenagaan Dikti Kemdiknas. 2010. Kerangka Acuan
Pendidikan Karakter tahun anggaran 2010. Jakarta:
Direktorat Ketenagaan Dikti Kemdiknas.
Husen, Achmad, Muhammad Japar, Yuyus Kardiman. 2010. Model
Pendidikan Karakter Bangsa: Sebuah Pendekatan
Pembelajaran Monolitik di Universitas Negeri Jakarta .
Universitas Negeri Jakarta.
Kemko Kesra RI. 2010. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter
Bangsa. Jakarta.
Koellhoffer, Tara Tomczyk. 2009. Character Education Being Fair
and Honest. New York: Infobase Publishing.
Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik
Anak di Zaman Global. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Kusmin. 2010. “Mengikis Krisis Karakter Bangsa”. Dalam Koran
Sore Wawasan Sabtu Pon 11 Desember 2010 halaman 4.
Lickona, Thomas. 2003. My Thought About Character . Ithaca and
London: Cornell University Press.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 19
Morgenthau, Hans J. 1991. Politik Antar Bangsa Edisi Revisi Buku
Pertama. Terjemahan A.M. Fatwan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Naskah Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia dalam
Rangka HUT KE-67 Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia di Depan Sidang Bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia. Jakarta, 16 Agustus 2012
Naskah Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada
Upacara Peringatan HUT ke-67 RI Jumat 17 Agustus 2012
Puskur Balitbang Kemdiknas. 2010. “Pengembangan Pendidikan
Budaya dan Karakter”. Dalam Bahan Pelatihan Penguatan
Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya
untuk Membentuk Daya Saing Dan Kaarakter Bangsa .
Jakarta: Puskur Balitbang Kemdiknas
Puskur Balitbang Kemdiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah . Jakarta:
Puskur Balitbang Kemdiknas.
Rokhman, Fathur dan Amin Yusuf (Ed.). 2010. Dari Unnes untuk
Bangsa. Semarang: Unnes Press.
Suparno, Paul, Moerti Yoedho K., Detty Titisari, St. Kartono. 2002.
Pendidikan Budi Pekerti di Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
Sindhunata. 1999. Menjadi Generasi Pasca-Indonesia, Kegelisahan
Y.B. Mangunwijaya. Yogyakarta: Kanisius.
Washington, E. Y., Clark, M.A. and Dixon, A.L. 2008. “Everyone in
School Should Be Involved” Preservice Counselors’
Perceptions of Democracy and the Connections Between
Character Education and Democratic Citizenship Education”.
Journal of Research in Character Education, 6(2), pp. 63–80.
Pengantar
Artikel ini ditulis untuk dihaturkan dengan hormat kepada senior
saya Prof. Dr. Ari Tri Soegito, SH, MM. Beliau adalah pribadi yang
sabar, santun, ramah, lapang dada, dan berjiwa besar. Sebagai
bawahan ketika beliau menjabat sebagai PR I dan Rektor, saya
belum pernah melihat beliau marah atau cemberut. Beliau lebih
banyak memperlihatkan senyuman khas yang melengkapi wajah
gantengnya. Salah satu kebiasaan beliau yang sulit saya tirukan
adalah “makan tidak tanduk”. Mungkin inilah salah satu sebab
beliau ditakdirkan “tidak pernah tidak menduduki jabatan
struktural”. Selamat ulang tahun bapak, semoga selalu dimulyakan
Allah SWT di dunia dan akhirat, tetap sehat, dan semakin berguna
bagi sesamanya, khususnya di bidang pendidikan. Aamiin YRA.
1. Pendahuluan
Kemajemukan Bangsa Indonesia ditandai oleh keanekaragaman
suku, budaya, agama, dan berbagai aspek sosial politik lainnya.
Kemajemukan itu ditunjang oleh kondisi geografi Indonesia yang
berupa kepulauan terbesar di dunia sehingga penduduknya
tersebar di kawasan yang luas dan terpisah oleh laut. Sisi
negatifnya ialah memperbesar potensi konflik di antara sesama
anak bangsa. Fakta menunjukkan bahwa banyak terjadi
kerusuhan, kekerasan, tawuran, dan sebagainya. Ada indikasi akan
banyak terjadi konflik horizontal di kalangan masyarakat
Indonesia.
Lemahnya kesadaran masyarakat akan kesatuan kebangsaan dan
memudarnya wawasan kebangsaan ditunjukkan oleh gejala
perpecahan di berbagai organisasi, keinginan merdeka dari
sebagian wilayah, kekurangtaatan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat, dan sebagainya. Apabila kondisi ini dibiarkan
berlarut-larut maka akan terjadi dis-orientasi dan perpecahan
2. Kebangsaan
Kata “nation” dalam bahasa Latin berarti “lahir”. Padanan
kata tersebut dalam bahasa Indonesia ialah “bangsa”. Pengertian
bangsa memiliki unsur wilayah, kelompok, dan tujuan. Bangsa
merupakan sekelompok manusia yang memiliki identitas bersama
antara lain bahasa, wilayah, budaya, ideologi, dan sebagainya
kelompok manusia tersebut. Bangsa Indonesia terbentuk oleh
berbagai unsur seperti suku, adat-adat istiadat (seni dan budaya),
agama, dan wilayah yang luas tetapi terpisah-pisah. Nasionalisme
Bangsa Indonesia terbentuk oleh unsur-unsur kesatuan sejarah,
kesatuan nasib, kesatuan wilayah, kesatuan budaya, dan kesatuan
azas kerokhanian. Kebangsaan tidak harus memiliki kesamaan asal
ras, suku bangsa, agama, bahasa, geografi, atau hal-hal lain yang
sejenis (Bachtiar, 1987).
Kebangsaan memiliki tiga elemen, yaitu rasa kebangsaan, paham
kebangsaan, dan semangat kebangsaan (Moetodjib, 2010). Setiap
individu dalam suatu bangsa harus memiliki sikap loyal terhadap
usaha menjaga integritas dan identitas bangsanya. Individu yang
memiliki sikap seperti itu dikatakan memiliki rasa kebangsaan.
Sikap ini masuk dalam jiwa setiap anak bangsa dan terwujud
dalam semua perilakunya. Setiap individu dalam masyarakat
bangsanya memiliki tujuan bersama untuk masa depannya. Apa
dan bagaimana mewujudkan masa depan merupakan paham
kebangsaan. Bangsa Indonesia menerapkan paham kebangsaan
tergambar dalam Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara
memuat kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
pertahanan keamanan. Kata kunci Wawasan Nusantara adalah
“kesatuan”. Semangat kebangsaan merupakan sinergi dari rasa
kebangsaan dan paham kebangsaan. Cita-cita bangsa dan tujuan
nasional akan tercapai apabila bangsa yang bersangkutan memiliki
semangat kebangsaan.
7. Penutup
Kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan karakter dan
keseimbangan antara sikap, ketrampilan, dan pengetahuan akan
menjadi tantangan bagi guru dalam pelaksanaan pembelajaran.
Kurikulum juga mengamanatkan bahwa pendidikan karakter
termasuk karakter bangsa menjadi tanggungjawab semua mata
pelajaran. Pengemban tugas utama bagi pendidikan karakter
adalah mata pelajaran Agama dan PKn dengan pembelajaran
langsung (direct teaching), sedangkan mata pelajaran lain harus
menghasilkan dampak pengiring bagi pendidikan karakter melalui
pembelajaran tak langsung (indirect teaching). Pembelajaran tak
langsung pendidikan karakter dalam pembelajaran selain Agama
dan PKn dapat dilaksanakan dengan mengintegrasikan nilai-nilai
karakter dalam pembelajaran.
Pendidikan matematika akan berperan secara maksimal dalam
rangka pembentukan karakter bangsa apabila guru memahami
karakteristik dan nilai-nilai yang terkandung dalam matematika
(hakikat matematika) dan pembelajarannya. Integrasi nilai-nilai
karakter bangsa dalam pembelajaran matematika akan
mendukung terbentuknya bangsa yang memilki kemandirian (self-
reliance), martabat international (bargaining positions), persatuan
nasional (national unity), dan demokrasi (democracy).
Artikel ini memuat gagasan bahwa penanaman nilai-nilai karakter
termasuk karakter bangsa dapat dilakukan dengan
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 31
mengintegrasikannya dalam pembelajaran matematika. Integrasi
nilai-nilai karakter bangsa dalam pembelajaran matematika
merupakan tantangan yang tidak ringan bagi guru matematika.
Keberhasilan integrasi nilai karakter bangsa dalam pendidikan
matematika membutuhkan berbagai syarat. Syarat itu diantaranya
adalah guru harus memahami hakikat matematika, memahami
hakikat pendidikan matematika, memiliki kemampuan
mengimplementasikan berbagai model pembelajaran dalam
pembelajaran matematika, dan memahami nilai-nilai karakter yang
diharapkan. Model pembelajaran yang dipandang sangat
mendukung integrasi nilai karakter bangsa dalam pembelajaran
matematika ialah model pembelajaran kooperatif. Model
pembelajaraan kooperatif menghindarkan pembelajaran yang
bersifat indoktrinatif. Integrasi nilai-nilai karakter bangsa dalam
pembelajaran matematika yang dilaksanakan dengan model
pembelajaran kooperatif akan mampu mendukung pembentukan
karakter bangsa, yaitu bangsa yang antara lain memiliki rasa
kebangsaan, paham kebangsaan, dan semangat kebangsaan.
Suatu hal yang sangat penting dalam pembentukan karakter
adalah guru dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Guru pinter
menguasai materi ajar. Guru super bisa mengajar. Guru istimewa
menjadikan siswa dari pasif menjadi kreatif, dari tidak mengerti
menjadi berkompetensi, dari membenci menjadi menyenangi, dari
tak bernyali menjadi pemberani, dari rendah diri menjadi percaya
diri, dari tinggi hati menjadi rendah hati, dari sangsi menjadi
meyakini dari kufur menjadi syukur, dan dari hina menjadi
berakhlak mulia. Semoga generasi emas Bangsa Indonesia pada
tahun 2045 benar-benar terwujud. Aamiin.
Daftar Pustaka
Amin. S. M. 2010. Pembentukan Karakter Bangsa Melalui
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia. Makalah disampaikan pada
Konferensi Nasional Matematika XV, tanggal 30 Juni s/d 03
Juli 2010, Manado.
PENGANTAR
Di kalangan mahasiswa Universitas negeri Semarang, tiba-
tiba saja istilah konservasi moral menjadi bagian dari kehidupan di
kampus. Istilah ini dideklarasikan oleh mereka sendiri, atas
prakarsa mereka sendiri, yang dimotori oleh Unit Kegiatan
Kerokhanian Islam, dengan didukung oleh rokhis-rokhis seluruh
fakultas di lingkungan Unnes. Deklarasi moral ini dilakukan dalam
musyawarah akbar UKKI bulan Juli 2010. Deklarasi ini merupakan
break down dari spirit Unnes sebagai universitas konservasi, yang
dideklarasikan oleh Prof. Dr. Sudijono Sastroatmodjo, di bulan
Februari 2010. Rasanya ada kedekatan persoalan moral ini dengan
aktifitas keagamaan., atau barangkali memang moral itu
sumbernya adalah ajaran agama.
Pada saat gegap gempita deklarasi konservasi, yang berawal
mula dari relasi manusia dengan lingkungan alam, maka
mahasiswa pun tidak mau ketinggalan untuk mengambil bagian
penting dan monumental dengan mendeklarasikan konservasi
moral. Saat itu adalah hari minggu tanggal 15 Juni 2010 Jam 10.-
00 bertempat di aula FBS Universitas Negeri Semarang, hanya
berselang tiga bulan dari deklarasi Unnes sebagai universitas
konservasi.
Sejenak saya berpikir, perlukah moral itu dikonservasi.
Tetapi rasanya memang ada kandungan makna dan mnaksud yang
dalam pada konservasi moral ini.
KONSERVASI MORAL
Moral merupakan belief system yang bersisikan tata nilai
dan menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu
moralitas akan berjalan paralel dengan budaya masyarakat.
Mengingat budaya merupakan refleksi tata nilai
masyarakat yang beraneka ragam coraknya, menjadikan budaya
DAFTAR RUJUKAN
Bottomore, T.B., Karl Marx. ; Selected Writings In Sociology And
Social Philosophy. San Fransisco:Jossey-Bass.
Drijarkara, 1996, Percikan Filsafat, Jakarta: Pembangunan.
Downey, Mariel dan Kelly, A.V., 2002, Moral Education; Theory
and Practice, London: Harper and Row Publication.
Graham, Douglass.2002. Citizenship for the 21st century : An
International perspective on Education , London : Kogan
Page
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 47
Miller, Donald W., 2003. The philosophical Basis of the Conflict
Between Liberty and Statism. New York: Simon &Schuster.
Willian, Kurtines M. 2002. Morality, Moral Behavior, and Moral
Development. New York: john Wiley & Sons.
Poespoprodjo, 1996. Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan
Praktek. Bandung: Remadja Karya.
Setiadi, A. Gunawan, 2010. Dialektika Hukum dan Moral dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin, dkk. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kebung, Konrad. 2008. Filsafat Itu Indah. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher.
Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan Indonesia.
Jakarta: PT. Gramedia.
Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9.
Jakarta: Pancoran Tujuh.
Notonagoro. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila ,
Cet. 9.
Jakarta: Pantjoran Tujuh.
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta:
Rineka Cipta
Yunus. 1999. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Citra Sarana
Grafika
PENDAHULUAN
Bulan Oktober merupakan momentum penting dalam
sejarah Indonesia. Momentum itu adalah peristiwa Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Peristiwa tersebut
merupakan suatu simbol ideologis persatuan Indonesia yang di
pelopori oleh kalangan pemuda. Sejumlah pemuda dari berbagai
belahan tanah air menyatakan diri sebagai satu bangsa, satu
tanah air, dan satu bahasa.
Sumpah pemuda sesungguhnya salah satu titik kulminal
perjuangan kaum intelektual dari berbagai etnik di Hindia Belanda
untuk menyatakan diri sebgai suatu bangsa, Bangsa Indonesia.
Proses diawali dengan peristiwa yang dikenal sebagai Kebangkitan
nasional yang sudah mulai muncul pada awal abad XX dan ditandai
dengan lahirnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 2008. Sejak itu
dialog kebangsaan dikembangkan melalui pemikiran para tokoh
intelektual Indonesia yang tercerahkan akibat pendidikan Barat.
Dialog kebangsaan bergerak dari sentimen kedaerahan
seperti Jawa, Madura, Batauk, dan sebagainya menjadi sentimen
KeIndonesiaan. Lahirnya Budi Utomo dan Jong Java menunjukkan
kecintaan sekelompok pemuda terhadap pulau Jawa dan Madura
sebagai tempat kelahirannya. Demikian pula lahornya Jong
Sumatra yang digagas oleh pemuda-pemuda Sumatera juga
menunjukkan kecintaan mereka kepada puau kelahirannya, yang
disebutnya sebagai Pulau Perca. Organisasi kepemudaan lain
semua juga didasari pada kecintaan terhadap tanah kelahiran
mereka. Proses ini melahirkan sikap patriotisme. Setelah melalu
dialog dengan tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantoro, Hatta,
Sukarno, Cipto Mangun Kusumo, dan sebagainya sikap cinta tanah
kelahiran itu berubah menjadi cinta Indonesia yang mengatasi
kepentingan daerah asal mereka.
Harus ditekankan bahwa kesadaran nasional menuju
persatuan nasional Idonesia sangat dipengaruhi oleh pendidikan.
PENGANTAR
Pemuda merupakan salah satu kategori generasi bangsa
yang selalu menarik untuk dikaji. Bukan saja karena secara fisik,
pemuda dipandang memiliki vitalitas yang tinggi dibanding
kategori lainnya, tetapi juga karena ia selalu ada dan tampil dalam
membela bangsa. Ia ada karena panggilan sejarah. Ia yang
menjaga stabilitas bangsa dan negara, dan ia juga yang
menggerakkan perubahan untuk bangsa dan negaranya.
Mendiskusikan pemuda selalu saja ada nilai aktualnya,
karena pemuda merupakan bagian dari perkembangan manusia
yang memiliki daya tarik, tidak hanya karena bentuk fisik yang
menarik, tetapi juga karena pemuda memiliki daya vital,
agresivitas, dan keberanian yang berbeda dengan kelompok umur
lainnya, baik kelompok balita, remaja maupun kelompok umur
dewasa dan tua.
Oleh karena postur fisik yang segar ditambah keberanian,
menyebabkan pemuda senantiasa aktif dan mengambilbagian
secara aktif dalam setiap level kegiatan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Banyak orang muda yang mengambil peran
penting dalam kehidupan politik kenegaraan dan pemerintahan. Di
Indonesia, Soekarno dan Soeharto merupakan contoh dari pemuda
pada masanya yang mengambil peran aktif dalam kehidupan
kenegaraan dan pemerintahan. Tentu saja masih banyak tokoh
pemuda yang berperan aktif untuk kepentingan masyarakat,
namun dalam tulisan singkat ini tidak mungkin dipaparkan semua.
Tulisan ini mengkaji tentang nasionalisme pemuda Indonesia
baik pada masa lalu, dalam arti masa kolonialis, masa
kemerdekaan hingga masa Orde Baru. Kiprah pemuda pada masa
lalu tidak dibahas secara detail. Demikian pula, nasionalisme
pemuda pada masa kini atau yang dikenal dengan era reformasi
juga dibahas secara umum, tidak detail, misalnya bagaimana
PENUTUP
Prestasi membanggakan anak-anak muda Indonesia,
utamanya pada tahun-tahun belakangan ini memberi suatu
keyakinan bahwa telah terjadi kebangkitan nasional babak baru.
Kemenangan Indonesia atas Vietnam dalam final sepakbola ajang
AFF di Sidoarjo merupakan contoh heroisme pemuda era
reformasi. Tak salah ketika Bung Karno mengatakan,”beri aku 10
pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Apa yang diucapkan
Bung Karno, Sang Proklamator dan Presiden RI pertama ini
menunjukkan keyakinan beliau bahwa pemuda merupakan
kekuatan besar yang jika dibina dan dikembangkan dengan baik,
utamanya karakternya, maka apa pun bisa dilakukan untuk
memajukan bangsa dan mengharumkan nama Indonesia.
Fisik yang bagus, keberanian yng tinggi, intelektual yang
kuat, dan idealisme yang membara dari kaum muda, di bawah
arahan, bimbingan, dan keteladanan dari golongan tua, akan
mampu mengantarkan Indonesia menuju kejayaannya, baik jaya
dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan
keamanan. Indonesia sebagai bagian dari tujuh besar kekuatan
ekonomi dunia sebagaimana diramalkan McKinsey Global Institut
bukan impian kosong, jika makin banyak pemuda berkarakter yang
aktif berkiprah dalam kegiatan pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
BACAAN RUJUKAN
Anderson, Benedick. 2006. The Imagine Communities, Reflection
in The Origin, And Spread Nationalism . London, New
York:Vesco.
Dewantara. Ki Hajar. 1977. Pendidikan. Yogyakarta. Majelis Luhur
Taman Siswa.
Hamuni. 2008. Globalisasi, Nasionalisme dan Wawasan
Kebangsaan, Jurnal Selami IPS, Nomor 23 Volume 1 Tahun
XIII, April 2008.
Inkeles, Alex. 1997. National Character:A Psycho Social
Perspective. New Jersey. The Transaction Publisher.
Herkovits, Melville J. 1955. Man and His Works: The Science of
Cultural Anthropology. AA Knopf.
Kartodirdjo, Sartono -. 1994. Pembangunan Bangsa. Jogjakarta:
Aditya Media.
-------------------------, 1999, Multi Dimensi Pembangunan Bangsa,
Etos Nasionalisme dan Negara Kesatuan . Kanisius:
Yogyakarta.
Kohn, Hans. 1976. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta. PT
Pembangunan Jaya.
A. Pendahuluan
E. Kesimpulan
1. Pemilihan kepala daerah yang sangat strategis dan
menentukan nasib rakyat 5 tahun kedepan ternyata sampai
saat ini belum dipersiapkan dengan baik oleh partai politik.
Akibatnya kader partai terbaik yang ditunggu-tunggu oleh
rakyat tidak terpublikasikan atau bahkan tidak ditemukan.
2. Persyaratan untuk menjadi calon lebih bersifat administratif
dan formalistik dengan pembuktian sesaat berupa verifikasi
dokumen. Cara ini tidak memberikan jaminan apa-apa kepada
rakyat tentang calon yang diusung.
3. Logistik partai tidak tergarap dengan baik sehingga
pengusungan calon baik sendiri maupun melalui koalisi
seringkali mengorbankan ideologi, visi, misi partai.
Inkonsistensi partai seperti ini memberikan contoh yang
F. Rekomendasi
Demikian banyaknya persoalan-persoalan pemilihan kepala
daerah yang lebih banyak mengorbankan kepentingan rakyat dari
aspek sosial, politik, ekonomi dan keamanan. Untuk itu perlu
segera dilakukan telaah agar sistem pemilihan kepala daerah
menjadi forum pendidikan politik konkrit bagi rakyat. Desain
pemilihan kepala daerah yang akan datang hendaknya : 1)
disesuaikan dengan tingkat kematangan politik rakyat termasuk
elit politik dan para calon sehingga akibat-akibat negatif bagi
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 109
rakyat kebanyakan seperti berbagai konflik; politik uang; politik
transaksional, inskonsistensi ideologis dapat dicegah; 2) sosialisasi
pemilihan kepala daerah bukan hanya sekedar masalah-masalah
teknis pemungutan suara mulai awal sampai akhir tetapi juga hal-
hal yang substansiil seperti karier calon, integritas calon,
pemahaman calon terhadap potensi daerah, dll; 3) sosialisasi
substansial ini dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian
dan pelaksanaan yang profesional; 4) dilakukan secara demokratis
menurut alinea IV pembukaan UUD 1945. Demokrasi sebagaimana
diisyaratkan oleh founding fathers kita melalui alinea IV inilah yang
seharusnya kita kembangkan; 5) partai politik segera melakukan
konsolidasi internal dengan menyelenggarakan pendidikan politik
bagi pengurus dan anggota serta simpatisannya.
Daftar Pustaka
Agustino, Leo, Perihal Ilmu Politik, 2007, Graha Ilmu, Yogyakarta
Burhanuddin (editor), Mencari Akar Kultural Civil Society ,
2003.INCIS, Jakarta
Gatara, Sahid, Ilmu Politik, Memahami dan Menerapkan , 2008,
Pustaka Setia, Bandung
Nasionalisme Indonesia
Indonesia sebagai negara merdeka memiliki bentuk
nasionalisme sendiri. Bentuk nasionalisme yang dianut oleh Warga
Negara Indonesia berakar pada nilai-nilai pandangan hidup Bangsa
Indonesia, yakni Pancasila. Pada dasarnya nasionalisme yang
berdasarkan Pancasila adalah paham atau pandangan Kebangsaan
Warga Negara Indonesia pada bangsa dan tanah airnya
berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Nasionalisme Pancasila ini diarahkan untuk mencapai suatu tujuan,
yaitu :
1. Menempatkan persatuan–kesatuan, kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi
atau kepentingan golongan.
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 114
2. Menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan
bangsa dan negara.
3. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air
Indonesia serta tidak merasa rendah diri.
4. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan
kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa.
5. Menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia.
6. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
7. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
8. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
9. Senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
10. Berani membela kebenaran dan keadilan.
11. Merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari
seluruh umat manusia.
12. Menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lain
(patriotindo.wordpress.com).
Penutup
Semangat dan rasa kebangsaan (nasionalisme), menjadi hal
mutlak yang harus dipelihara secara terus menerus, benar dan
bersifat dinamis. Melalui upaya itu, maka kelangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara dapat dijamin kelestariannya. Mengingat
strategisnya peran pendidikan dan guru pada khususnya, maka
peran dan fungsinya harus terus ditingkatkan. Demikian juga
komponen yang lain, yakni semua Warga Negara Indonesia tanpa
kecuali harus memiliki tanggungjawab yang besar dan mengambil
peran secara proaktif. Kepentingan dan loyalitas kepada bangsa
dan negara harus di atas segala-galanya. Dengan mengutip
pernyataan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, yang
berasal dari Partai Republik mengatakan bahwa : My loyalty to my
party ends where my loyalty to my country begins . Jayalah
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
http://patriotindo.wordpress.com/2012/09/12/memahami-tentang-
nasionalisme-pancasila
70 Tahun Prof. Dr. H.A.T Soegito, S.H., M.M. 117
http://pangisyarwi.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=101:penguatan-
nasionalisme-kebangsaan-qnations-
stateq&catid=8:makalah&Itemid=103
Identitas Penulis
MENGISI KEMERDEKAAN
SEBAGAI BENTUK NASIONALISME GENERASI MUDA
Oleh: Dr. Suwito Eko Pramono, M.Pd.
ABSTRAK
Salah satu kekhawatiran orang tua dapat dilihat dari pernyataan
bahwa pada saat ini sikap nasionalisme generasi muda Indonesia
sudah semakin menipis. Apakah kekhawatiran itu layak dijadikan
masalah nasional? Siapakah yang paling bertanggung jawab dalam
membentuk dan meningkatkan nasionalisme generasi muda
Indonesia?
Sebagian besar orang tua pasti menyadari bahwa persoalan itu
bukan semata-mata tanggung jawab generasi muda, melainkan
tanggung jawab semua komponen bangsa. Pembentukan dan
peningkatan nasionalisme dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
saling berkaitan satu sama lainnya. Oleh karena itu, pembentukan
dan peningkatan nasionalisme generasi muda Indonesia harus
dilaksanakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan dengan
pendekatan yang sistematis dan holistik.
Perkembangan, tantangan, dan kebutuhan hidup dan kehidupan
bangsa Indonesia pada saat ini dan yang akan datang merupakan
salah satu faktor yang menentukan arti pentingnya nasionalisme
generasi muda Indonesia. Namun, pembentukan dan peningkatan
nasionalisme generasi muda Indonesia berdasarkan perspektif
kekinian dipandang kurang bijak karena bisa terjebak pada budaya
populer dan tercerabut dari akar budaya bangsanya. Artinya,
sejarah sebagai akumulasi pengalaman masa lampau merupakan
landasan pembentukan dan peningkatan nasionalisme generasi
muda Indonesia yang dapat dipertanggung-jawabkan secara
rasional dan realistis. Pemikiran itu didasarkan pada kenyataan
bahwa nasionalisme Indonesia tumbuh dan berkembang
bersamaan dengan perjalanan sejarah bangsanya.
Kata kunci: generasi muda, nasionalisme, pembentukan, sejarah.
PENDAHULUAN
Benedick Anderson memaknai istilah nasionalisme sebagai
sikap suatu komunitas yang mengutamakan kepentingan bangsa