Anda di halaman 1dari 54

PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN PARTISIPATIF

“Arkeologi Pemberdayaan Masyarakat”

FITHRIA

G3IP22014

PROGRAM STUDI S3 ILMU PERTANIAN


PASCASARJANA
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI 2023
1. MENJADI LIMA TERBAIK DUNIA PADA 2045

Saat berusia 100 tahun pada 2045, pemerintah memperkirakan


indonesia berpeluang masuk jajaran lima besar negara dengan
perekonomian terbesar di dunia.

Delapan tantangan untuk mencapai proyeksi ekonomi 2045 yang


semua pihak perlu bergandengan tangan untuk mewujudkannya yaitu:
1) Tata kelola yang baik
2) Iptek mumpuni
3) Tata ruang wilayah
4) Sumber daya manusia berkualitas
5) Efisiensi kementrian
6) Pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan
7) Konektivitas daerah
8) Kesiapan infrastruktur

Menurut Presiden Republik Indonesia (Joko Widodo), bahwa


pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia merupakan
kombinasi yang baik untuk menjadi negara kuat secara ekonomi. Asal
jangan ada turbulensi politik, hitungan kami pada 2040-2045, indonesia
akan menjadi 4 besar negara terkuat secara ekonomi di dunia.
Presiden Joko Widodo memiliki mimpi besar untuk masuk dalam
jajaran lima besar negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada
2045 nanti, tepat 100 tahun Indonesia merdeka. Saat ini Indonesia berada
di posisi negara dengan pendapatan menengah tetapi pada 100 tahun
Indonesia merdeka di 2045 berarti kira-kira 30 tahun lagi posisi Indonesia
akan berada pada lima besar ekonomi terbesar di dunia. Di 2045,
diproyeksikan Indonesia menjadi peringkat 5 PDB di dunia dengan
nominal PDB sebesar USD 9.100 milyar, PDB per kapita USD 30.000 per
tahun, dengan jumlah penduduk mencapai 300 juta jiwa dengan penduduk
kelas menengah sebesar 82% dan penduduk usia produktif 52% dari total
populasi.Tentu saja hal itu dapat tercapai bila Indonesia mampu menjaga
inflasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi juga membenahi banyak
sektor seperti sektor infrastruktur, pengolahan dan jasa.
Pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia adalah
kombinasi yang baik untuk menjadi negara kuat secara ekonomi. Asal
jangan adaturbulensi politik, hitungan kami pada 2040-2045, Indonesia
akan menjadi 4 besar negara terkuat ekonomi dunia. Ada banyak sektor
yang perlu dibenahi. Delapan tantangan Program Indonesia Emas 2045
antara lain: Tata kelola yang baik, Iptek yang mumpuni, tata ruang
wilayah, meningkatkan kualitas SDM, efisiensi kinerja kementerian,
pengelolaan SDA berkelanjutan, konektivitas daerah dan pastinya
kesiapan infrastruktur.Proyeksi ini tentu sulit diwujudkan sendirian.
Dibutuhkan sinergi dari semua pihak terutama yang bersinggungan
langsung dengan kedelapan tantangan di atas. Bila hal ini dapat tercapai,
bukan tak mungkin Indonesia Emas 2045 dapat terlaksana.
Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Negara-
Negara Maju (OECD), memperkirakan bahwa pada tahun 2045 ekonomi
Indonesia akan mencapai U$Rp8,89 triliun dan menjadi ekonomi terbesar
ke-4 di dunia. Prediksi tersebut dilatarbelakangi, pada tahun 2030-2040,
Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jumlah penduduk Indonesia
usia produktif akan mencapai 64 persen dari total penduduk
sekitar 297 juta jiwa. Indonesia akan memiliki potensi antara lain salah
satu pasar terbesar di dunia, kualitas SDM yang menguasai teknologi,
inovatif, dan produktif; serta kemampuan mentransformasikan
ekonominya.
Bonus demografi ibarat pedang bermata dua. Satu sisi merupakan
keuntungan jika Indonesia berhasil mengkapitalisasikannya. Sebaliknya
akan menjadi “bencana” apabila kualitas manusia Indonesia tidak
disiapkan dengan baik, misalnya penduduk yang tidak berkualitas dan
produktivitas rendah; serta rasio pekerja dan lapangan pekerjaan yang
timpang. Potensi tersebut harus diwujudkan antara lain dengan
meningkatkan nasionalisme, kualitas SDM, membangun infrastruktur, dan
transformasi ekonomi. Di samping itu, seluruh komponen bangsa
(Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha, lembaga pendidikan
dan masyarakat) harus bersinergi dan berkomitmen untuk menjadikan
Indonesia Maju.
Negara Indonesia secara resmi berdiri, pada tanggal 17 Agustus
1945 dengan diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia oleh
Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Ketika mendirikan Negara Indonesia,
founding fathers telah menetapkan pondasi Negara Indonesia
yaitu Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, (sering
disebut juga 4 Pilar Kebangsaan). Dalam mewujudkan Indonesia Maju,
segenap komponen bangsa harus meningkatkan nasionalisme dan
berpegang teguh kepada 4 pilar kebangsaan dan melawan paham yang
bertentangan dengan pondasi negara. Banyak negara di dunia ini, yang
tertinggal bahkan berantakan karena mengabaikan ketetapan yang telah
disepakati dan lunturnya nasionalisme. Oleh sebab itu, kebersamaan dan
nasionalisme harus selalu ditingkatkan; dan memfokuskan energi bangsa
ini untuk membangun Indonesia. “Perjuanganku lebih mudah karena
mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan
bangsamu sendiri’ (Presiden RI, Ir. Soekarno)
Salah satu penggerak utama kemajuan bangsa adalah kualitas
SDM. Oleh sebab itu, sejak 2019, fokus utama APBN adalah
pembangunan SDM. Pembangunan SDM Indonesia seyogyanya
memfokuskan kepada karakter, pendidikan yang berorientasi kepada
keahlian dan penguasaan teknologi. Dunia pendidikan Indonesia harus
mampu mencetak SDM yang mempunyai nasionalisme dan integritas
tinggi. Lulusan pendidikan termasuk pendidikan tinggi diharapkan dapat
menciptakan lapangan kerja; terkoneksi dengan industri (link and macth);
serta mengembangkan inovasi dan kreatifitas dengan menguasai
teknologi. Non scholae sed vitae discimus (pendidikan harus memberi
bekal untuk menjalani kehidupan, bukan hanya menghasilkan ijazah).
Salah satu faktor utama untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi
(Todaro and Smith) adalah infrastruktur. Menyadari hal tersebut, semenjak
tahun 2014, Pemerintah Indonesia gencar membangun infrastruktur.
Infrastruktur akan mendorong produktivitas faktor-faktor produksi;
memperlancar arus barang/jasa dan manusia; dan membuka
keterisolasian daerah. Insfrastruktur akan menciptakan pemerataan
pembangunan dan meningkatkan daya saing investasi Indonesia.Untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, Indonesia harus
melakukan transformasi ekonomi yang dapat meningkatkan produktivitas
dan nilai tambah yang tinggi di berbagai sektor. Transformasi ekonomi
seharusnya dilakukan antara lain dengan memperkuat sektor-sektor
ekonomi prioritas, memperkuat industri manufaktur yang berorientasi
eksport, memanfaatkan teknologi informasi, meningkatkan kapasitas
ekonomi rakyat dan meningkatkan industri kreatif. Produk dalam negeri
harus mempunyai nilai tambah dan daya saing sehingga kompetitif di
pasar domestik maupun internasional. Disamping itu, seluruh komponen
bangsa harus membangun cinta produk dalam negeri.
Kebijakan menuju Indonesia Maju harus direncanakan dengan
baik. Jika bangsa Indonesia gagal dalam merencanakannya dengan baik,
sama dengan merencanakan kegagalan. Oleh sebab itu dibutuhkan
komitmen yang kuat untuk membuat perencanaan yang baik tersebut
(unless commitment is made, there are only promises and hopes…but no
plans, Peter Drucker) Di samping itu, kebijakan yang telah direncanakan
dengan baik harus dilaksanakan secara konsisten, terstruktur, sistematis
dan masif. Siapapun pemimpin bangsa ini, harus mempunyai komitmen
untuk melaksanakan kebijakan Indonesia Maju 2045, bersama-sama
dengan seluruh bangsa Indonesia. Tiada keberhasilan tanpa kerja keras,
cerdas serta kebersamaan. Dengan demikian Indonesia Maju 2045 akan
menjadi kenyataan bukan fatamorgana, ketika semakin dekat,
harapan/keindahannya akan lenyap (Nurmillah, 2021).
Sesuai Visi Indonesia 2045, Pemerintah Indonesia saat ini sedang
bekerja keras untuk mewujudkan Indonesia yang unggul, berbudaya, dan
menguasai IPTEK, sehingga dengan SDM yang berkualitas maka
ekonomi Indonesia dapat tumbuh maju dan berkelanjutan, pembangunan
semakin merata dan inklusif, dan Indonesia dapat menjadi negara yang
semakin demokratis, kuat, dan bersih. Sampai sejauh ini kita sudah on the
right track, dan mudah-mudahan ke depan kita dapat mencapai apa yang
ditargetkan di 2045.
Visi Indonesia 2045 memiliki empat pilar utama yaitu sebagai
berikut (Bappenas, 2018):
1) Pilar Pertama: Pembangunan Manusia dan Penguasaan IPTEK,
Dengan peningkatan taraf pendidikan rakyat Indonesia secara merata,
peran kebudayaan dalam pembangunan, sumbangan IPTEK dalam
pembangunan, derajat kesehatan dan kualitas hidup rakyat, serta
reformasi ketenagakerjaan. Pada 2045, total penduduk Indonesia
adalah 318,9 juta orang, dengan rasio ketergantungan 53,35 persen.
Untuk itu, Pemerintah harus memanfaatkan bonus demografi ini
dengan mengembangkan SDM berkualitas, meningkatkan
produktivitas tenaga kerja, dan mempromosikan gaya hidup sehat.
Untuk menciptakan tenaga kerja berketerampilan tinggi, fleksibel, dan
adaptif, Pemerintah mendorong pendidikan berkualitas tinggi,
meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar tidak tergantikan oleh
teknologi, serta menggalakkan pelatihan vokasi dan kewirausahaan.
Pemerintah juga meningkatkan akses universal terhadap fasilitas dan
asuransi kesehatan nasional, serta mendorong kemajuan teknologi
kesehatan untuk menciptakan personalized medicine dan teknologi
rekayasa genetika.
2) Pilar Kedua: Pembangunan Ekonomi yang Berkelanjutan,
Melalui peningkatan investasi dan daya saing ekonomi, percepatan
industri dan pariwisata, pembangunan ekonomi maritim, pemantapan
ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani, peningkatan
ketahanan energi dan air, serta komitmen terhadap lingkungan hidup.
“Pemerintah menargetkan Indonesia menjadi negara berpendapatan
tinggi pada 2036 dengan Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar
kelima dunia di tahun 2045. Untuk mencapai target ini, pertumbuhan
PDB Indonesia harus 5,7 persen per tahun, keluar dari jebakan negara
kelas menengah atau Middle Income Trap pada 2036, dan PDB per
kapita Indonesia harus menembus angka USD 23.199 pada 2045.
Selain itu, Indonesia juga harus masuk peringkat ke-10 dalam Ease of
Doing Business (EoDB), dengan kontribusi investasi terhadap PDB
Indonesia sebesar 38,1 persen. Untuk meningkatkan iklim investasi di
Indonesia, Pemerintah melakukan penguatan pada sektor bernilai
tambah tinggi, percepatan pada sektor inovasi tinggi, dan memastikan
investasi yang berkelanjutan.
Menteri Bambang juga menekankan pentingnya industri sebagai
penggerak pertumbuhan ekonomi, karena untuk menjadi negara maju
maka Indonesia harus melakukan modernisasi pada industri
pengolahan SDA. Selain itu, Revolusi industri 4.0 juga harus
disesuaikan dengan karakteristik masing-masing industri nasional,
sehingga kontribusi industri terhadap PDB sebesar 26 persen pada
2045. Pemerintah juga mendorong perdagangan luar negeri yang
terbuka dengan melakukan transformasi struktur ekspor dari komoditas
menjadi barang dan jasa (B/J) manufaktur, ekspor B/J bernilai tambah
tinggi, serta menciptakan B/J berkualitas dunia dan inovatif, sehingga
pada 2045 Indonesia menjadi bagian dari rantai nilai global dengan
pangsa pasar 2 persen dari ekspor dunia atau pengekspor terbesar ke-
10 dunia.
Terkait ekonomi kreatif dan digital, Pemerintah juga akan mendorong
pengembangan kompetensi SDM agar memiliki pemikiran kreatif dan
berpikiran maju, serta memfasilitasi pendanaan bagi start-up yang
kompetitif dan dapat diakses bagi siapa saja. Pemerintah juga akan
menjadikan Indonesia sebagai destinasi unggulan pariwisata dunia
pada 2045. “Pariwisata sebagai kekuatan ekonomi lokal Indonesia juga
merupakan salah satu kontributor utama cadangan devisa nasional
dengan pertumbuhan 10,1 persen per tahun. Potensi pariwisata
Indonesia sangat besar karena negara kita memiliki kekayaan alam
yang luar biasa, tenaga kerja produktif, harga bersaing, dan dukungan
kebijakan Pemerintah. Total wisatawan mancangera yang kita
targetkan pada 2045 adalah sebanyak 73,6 juta orang,” jelas beliau.
Kontribusi ekonomi maritim terhadap PDB meningkat dari 6,4 persen
pada 2015 menjadi 12,5 persen pada 2045. Strategi pengembangan
maritim Indonesia adalah pengembangan konektivitas laut yang efisien
dan efektif, wisata maritim yang inklusif, serta industriisasi perikanan
yang berkelanjutan dan kompetitif. Pemerintah juga menaruh perhatian
terhadap isu kelangkaan air di Jawa-Bali-Nusa Tenggara. Untuk
memastikan ketahanan air, Pemerintah melakukan rehabilitasi hutan
dan lahan di sepanjang DAS prioritas, mengembangkan teknologi
pengolahan dan peningkatan kualitas air yang murah dan ramah
lingkungan, serta kampanye "Simpan, Jaga, dan Hemat Air". Untuk
memastikan ketahanan pangan, Pemerintah memotong rantai
distribusi pasar, meningkatkan Nilai Tukar Petani (NTP), meningkatkan
kualitas SDM pertanian, serta menjalankan pertanian berbasis lahan
alternatif, sehingga produktvitas petani pada 2045 meningkat 4,3 kali
lipat dibandingkan 2015. Pemerintah juga meningkatkan peran EBT
sebagai modal pembangunan nasional. “Komitmen Indonesia terhadap
ekonomi hijau ditandai dengan ditandatangani penurunan emisi 41
persen dari baseline. Untuk memenuhi kebutuhan energi ke depan,
kita harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan hidup. Pada
2050, peran EBT akan ditingkatkan menjadi 31 persen, dengan target
39 persen bioenergi, 21 persen air, 18 persen geotermal, 9 persen
surya, dan 13 persen lainnya.
3) Pilar Ketiga: Pemerataan Pembangunan,
Dengan percepatan pengentasan kemiskinan, pemerataan
pendapatan, pemerataan wilayah, dan pembangunan infrastruktur
yang merata dan terintegrasi. “Pemerintah memperhatikan
pertumbuhan ekonomi yang merata di keseluruhan desil pendapatan,
sehingga tingkat kemiskinan Indonesia pada 2045 menuju nol atau
0,02 persen, dengan kemiskinan ekstrim bernilai nol pada 2040.
Kesenjangan pendapatan juga turun ke tingkat ideal pada 2035 dan
tetap berada pada tingkat yang aman sampai 2045. Pemerataan
pembangunan daerah juga ditingkatkan dengan mendorong
pertumbuhan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) lebih tinggi, dengan
mempertahankan momentum pertumbuhan KIB. Target pembangunan
KTI pada 2045 adalah 74,9 persen, sementara Kawasan Barat
Indonesia (KBI) adalah 25,1 persen,” kata beliau. Terkait infrastruktur,
Pemerintah akan menyelesaikan ruas utama jalan di seluruh pulau,
mendorong transportasi udara dan laut untuk mendukung mobilitas
penduduk dan distribusi barang antarwilayah, mengembangkan
kawasan aerotropolis, dan meningkatkan akses masyarakat terhadap
prasarana dasar. Pemerintah juga akan mengantisipasi megaurban
dan urbanisasi dengan membangun transportasi perkotaan berbasis
rel dan kereta cepat, karena pada 2035 hampir 90 persen penduduk
Jawa tinggal di kota.
4) Pilar Keempat: Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola
Pemerintahan,
(1) Meningkatkan demokrasi Indonesia menuju demokrasi substantif
atau mengemban amanat rakyat;
(2) Reformasi birokrasi dan kelembagaan dengan memperkuat
struktur organisasi yang adaptif, efektif, dan kolaboratif, serta tata
kelola yang terbuka, partisipatif, dan berbasis Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK);
(3) Memperkuat sistem hukum nasional dan antikorupsi dengan
mendorong masyarakat berbudaya hukum dan mengimplentasikan
masyarakat anti-korupsi;
(4) Politik luar negeri bebas aktif salah satunya dengan meningkatkan
peran Indonesia di tingkat regional, Organisasi Kerjasama Islam
(OKI), dan PBB; serta
(5) Penguatan pertahanan dan keamanan yang diwujudkan dengan
ketertiban masyarakat yang inklusif, pertahanan berdaya gentar
tinggi, dan keamanan insani yang bermartabat.

Indonesia Emas 2045, sebuah visi strategis telah berhasil


dirumuskan, bahwa ketika menginjak 100 tahun merdeka, Indonesia telah
menjadi negara berdaulat, maju, adil dan makmur. Pada waktu tersebut
Indonesia diprediksi berpenduduk 309 juta jiwa, 52 persen dari total
populasi merupakan penduduk usia produktif, 75% hidup di perkotaan,
dan 80% berpenghasilan menengah. Dari sisi ekonomi Indonesia akan
menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat dunia,
dengan income per kapita US$23.199.
Proyeksi Indonesia maju telah menjadi diskursus intelektual yang
hangat dibicarakan di forum-forum internasional, setidaknya dapat kita
cermati dari publikasi PwC dalam terbitan berkala, The Long View: How
will the global economic order change by 2050? yang memproyeksikan
Indonesia akan menjadi negara keempat terbesar dunia setelah China,
India dan Amerika Serikat pada tahun 2050.  Hal senada juga pernah
disampaikan McKinsey Global Institute (MGI) pada September 2012
dalam laporannya yang berjudul The Archipelago Economy: unleashing
Indonesia’s potential, yang isinya antara lain memprediksi hal yang sama,
yaitu peningkatan perekonomian Indonesia, dari peringkat ke-17 pada
2012 menjadi peringkat ke-7 pada 2030. Dua laporan ini mewakili begitu
banyak analisis yang optimistis terhadap masa depan perekonomian
Indonesia (Sugiarto, 2019).
Beragam pemikiran tentang optimisme perekonomian Indonesia
pada masa mendatang, tentunya membutuhkan prakondisi yang harus
segera diwujudkan sebagai pilar pendukung transformasi ekonomi menuju
Indonesia Maju. Peta jalan yang diimplementasikan secara konsisten,
dalam meningkatkan produktivitas yang salah satunya ditandai dengan
adanya peningkatan produktivitas tenaga kerja yang bertambah sekitar 60
persen pada periode 2010 hingga 2030 nanti. Peningkatan produktivitas
tenaga kerja tersebut harus tumbuh didalam ekosistem yang dirancang
kondusif untuk tumbuhkembangnya basis perekonomian yang produktif
dan berdaya saing, yang ditandai dengan peningkatan penerimaan dari
sektor manufaktur berorientasi ekspor. Diperlukan membangun basis
produksi yang kondusif terhadap peningkatan produktivitas, yang mampu
menghasilkan keluaran (output perekonomian) dari sumber daya (faktor
produksi) yang kita miliki agar mendorong bergeraknya perekonomian
produktif domestik, dengan berkembangnya sektor industri manufaktur
yang menghasilkan produk berorientasi ekspor.
Defisit neraca transaksi berjalan pada 2018 yang nilainya sangat
besar, yaitu sekitar US$ 31 miliar seyogyanya dijadikan early
warning dalam membangun perekonomian domestik. Defisit transaksi
berjalan menunjukkan ketergantungan kita pada sumber daya eksternal
dalam mendorong perekonomian kita. Dengan kata lain, jika ingin tumbuh
lebih tinggi, maka diperlukan transformasi perekonomian agar sumber
daya domestik lebih kuat. Merujuk pendapat Rosenstein-Rodan (1943),
menjadi jelaslah diperlukan suatu   kebijakan yang memiliki daya dorong
yang besar sebagai a necessary condition untuk mengatasi ketertinggalan
dengan memanfaatkan jaringan kerja melalui skala kehematan dan
cakupan (economies of scale and scope), sebagai acuan dalam mentrans-
formasi ekonomi Indonesia. Transformasi ekonomi Indonesia, antara lain
dapat dimulai dari strategi indutrialisasi pengolahan, dimana Tabel Input-
Output menunjukkan indeks daya penyebaran industri pengolahan
sebesar 1,09. Artinya, kenaikan permintaan akhir satu persen akan
meningkatkan pertumbuhan industri penghasil input penyokongnya
sebesar 1,09 persen.
Dengan kata lain langkah krusial dalam jangka pendek adalah
bagaimana mengembangkan industry pengolahan yang berbasis sumber
daya alam secara massif di seluruh sentra produksi seperti
pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian dan lainnya. Industri
pengolahan harus mampu memberi nilai tambah (value added) pada
produk-produk sektor primer. Sejalan dengan itu, hilirisasi subsektor
industri manufaktur yang memiliki keterkaitan kuat ke depan (forward
linkage) patut dijadikan prioritas. Lesson learn dari sukses transformasi
ekonomi pada beberapa negara maju, membuktikan peranan sektor
industri yang lebih dominan dibandingkan dengan sektor lainnya, sektor
industri memegang peran kunci sebagai mesin pembangunan
ekonominya. Peran strategis sektor industri sebagai mesin pembangunan
ekonomi, bukan tanpa alasan, karena sektor industri akan membawa
dampak turunan, yakni meningkatnya nilai kapitalisasi modal, kemampuan
menyerap tenaga kerja yang besar, serta kemampuan menciptakan nilai
tambah (value added creation) dari setiap input atau bahan dasar yang
diolah.
Kemajuan ekonomi China dan Korea Selatan yang menjadikan
industrialisasi sebagai salah satu pilarnya, terbukti efektif berkonstribusi
memacu tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto China yang
mencapai 10 persen setiap tahunnya dengan pertumbuhan industrinya
mencapai 17 persen.   Kehebatan ekonomi China sejatinya merupakan
buah dari program reformasi ekonomi yang dimulai pada 1979 oleh Deng
Xiaoping, yang meletakkan dasar bagi sistem ekonomi yang
memungkinkan pasar bebas dan industri kecil di pedesaan berkembang
pesat di seluruh negeri. Jauh sebelumnya, Mao Zedong dan Zhou Enlai
telah membangun fondasinya, melalui pencanangan program The Great
Leap Forward (Lompatan Besar ke Depan) pada 1958. Mereka berharap
China menjadi negara industri maju dalam waktu singkat.  Titik beratnya
adalah pembangunan ekonomi yang berfokus pada industri mesin dan
baja, juga produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan domestik
sekaligus ekspor.

a. Momentum Indonesia Maju

Kita patut bersyukur bonus demografi ("demographic


window") tengah dialami oleh bangsa Indonesia, dimana proporsi populasi
kelompok usia pekerja mengungguli populasi kelompok non-usia pekerja.
Merujuk data BKKBN, diperkirakan Indonesia akan mendapatkan bonus
demografi pada tahun 2020 hingga 2030, kondisi dimana jumlah
penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar (70 persen dari
total penduduk atau sekitar 180 juta penduduk), dibandingkan dengan
penduduk usia tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan di atas usia 65
tahun) yang hanya berjumlah sekitar 60 juta jiwa. Momentum ini harus
dapat dioptimalkan nilai tambahnya dengan menciptakan ekosistem yang
kondusif untuk berkonstribusi pada kemajuan Indonesia, agar dapat keluar
dari jebakan negara berpenghasilan menengah, khususnya dalam
mengkapitalisasi bonus demografi melalui transformasi ekonomi agar
menghasilkan pertumbuhan yang berkelanjutan, berdaya saing, dan
berkualitas.
Transformasi ekonomi merupakan suatu keniscayaan ditengah
kondisi global yang yang tengah mengalami ketidakpastian akibat
kompetisi yang semakin tajam, geostrategis ekonomi global berubah
cepat akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Selain itu penurunan harga komoditas dan volume perdagangan dunia,
serta pelonggaran kebijakan moneter yang diambil sejumlah negara
rentan terhadap negara lainnya. Kita patut mengapresiasi berbagai
langkah strategis kebijakan ekonomi Indonesia yang telah diambil
pemerintah yang mampu menciptakan kemajuan berarti ditengah
ketidakpastian ekonomi global, indikasinya terlihat dari pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang sesungguhnya masih berada pada tren positif,
bila dibandingkan negara besar lainnya.
Pada kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat
sebesar 5,05% (year on year/yoy), inflasi pun terjaga dalam rentang
target. Sejumlah indikator sosial membaik, tingkat kemiskinan yang tetap
pada level 1 (satu) digit, rasio gini dan tingkat pengangguran juga semakin
menurun. Artinya, ekonomi kita sehat dan berkualitas. Untuk
memperkokoh hal tersebut menjadi nyatalah pentingnya transformasi
ekonomi, untuk menjaga momentum positif guna dapat terus
meningkatkan kemakmuran warga negara. Transformasi ekonomi
merupakan prasyarat dari peningkatan dan kesinambungan pertumbuhan
serta penanggulangan kemiskinan, sekaligus pendukung bagi
keberlanjutan pembangunan.Transformasi ekonomi yang terjadi
diharapkan dapat menggeser struktur ekonomi yang semula berbasis
komoditas, menjadi ekonomi berbasis investasi, produksi, dan pelayanan
yang memiliki nilai tambah tinggi. Hal ini dapat meningkatkan daya saing
perekonomian Indonesia dan kualitas hidup masyarakat.
Transformasi ekonomi yang digagas seyogyanya berfokus pada
pemanfaatan potensi desa sebagai basis pertumbuhan ekonomi daerah,
yang nantinya akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup
masyarakat. Dengan transformasi ekonomi berbasis industry pertanian,
petani lebih efisien memanfaatkan infrastruktur yang memadai dan
teknologi pertanian yang maju, serta kepastian adanya offtaker yang akan
membeli produk pertaniannya dengan harga yang baik. Diperlukan upaya
mengoptimalkan manfaat yang diperoleh dari pembangunan infrastruktur
yang telah dan akan terus secara massif dilakukan pemerintahan saat ini,
sambil memperkuat implementasi Kebijakan Pemerataan Ekonomi.
Kebijakan ini diarahkan untuk mengatasi faktor-faktor ketimpangan melalui
pilar kebijakan ekonomi yang berkeadilan, melalui Reforma Agraria yang
terdiri dari Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), Perhutanan Sosial, dan
moratorium serta peremajaan perkebunan kelapa sawit. Di samping itu,
efisiensi pasar tenaga kerja dan peningkatan kualitas SDM menjadi
tantangan bagi para pemangku kepentingan, utamanya dalam
menciptakan regulasi yang mampu menyiapkan SDM berkualitas, serta
memastikan pekerja mendapat pekerjaan yang layak melalui peningkatan
keterampilan yang berkelanjutan.
Terakhir yang tak kalah penting adalah konfigurasi investasi untuk
mendukung pertumbuhan, karena saat ini ICOR Indonesia tergolong tinggi
jika dibandingkan dengan negara peers seperti Vietnam dan India. Hal ini
menandakan bahwa investasi di Indonesia secara makro kurang efisien.
Oleh karena diperlukan strategi konfigurasi investasi yang diarahkan untuk
dapat menurunkan ICOR melalui penurunan suku bunga riil, optimalisasi
investasi yang memberikan return lebih cepat dan berorientasi ekspor,
efisiensi produksi melalui pengembangan sumber energi murah,
pengembangan SDM dan reformasi pasar ketenagakerjaan, dan juga
digitalisasi untuk meningkatkan efisiensi serta optimalisasi underutilized
assets dan resources.
Bercermin dari besarnya tantangan yang dihadapi Indonesia,
menjadi jelaslah betapa pentingnya sinergi dan dukungan dari seluruh
sektor maupun stakeholder di bidang ekonomi langkah strategis dalam
mengefektifkan penguatan koordinasi dan dukungan kebijakan dari
seluruh sektor di bidang ekonomi, mulai dari kebijakan fiskal, moneter dan
keuangan, serta kebijakan dari kementerian teknis sangat diperlukan.
Kerja keras dan fokus perlu terus diupayakan agar target pertumbuhan
dan peningkatan transformasi ekonomi sebagaimana yang telah
digariskan, dapat dicapai dengan memberi perhatian khusus terhadap
peningkatan kualitas SDM melalui peran aktif menyukseskan program
pendidikan formal mapun non-formal seperti balai latihan kerja (BLK) dan
alih teknologi yang menjadi kata kunci suksesnya industrialisasi. Sikap
optimistis perlu terus ditumbuhkan, pondasi ekonomi yang telah dibangun,
agar dapat menjadi pijakan dalam transformasi ekonomi, sehingga
mampu meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia merebut peluang
pasar.
Kita tentunya  berharap dengan semangat gotong royong dan 
sinergitas dari  segenap komponen bangsa, utamanya dalam
membangun optimisme  kemajuan Indonesia melalui transformasi
ekonomi,  mimpi Indonesia  menjadi negara maju dengan pendapatan Rp
320 juta per kapita per tahun atau Rp 27 juta per kapita per bulan, Produk
Domestik Bruto Indonesia  7 triliun dollar AS dan menjadi 5 besar ekonomi
dunia, dengan kemiskinan mendekati nol persen pada  tahun 2045, akan
segera terwujud.
Penunjukan Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 (Group
of Twenty) atau forum kerja sama multilateral 19 negara utama dan Uni
Eropa, sejatinya merupakan bentuk apresiasi dan pengakuan negara-
negara besar di dunia bagi Indonesia.  Terpilihnya Indonesia sekaligus
menandakan torehan sejarah baru karena  untuk pertama kalinya
Indonesia  memegang Presidensi G20  sejak forum G20 ini dibentuk pada
tahun 1999. G20 sebagai forum yang beranggotakan sembilan belas
negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia, ditambah dengan Uni
Eropa. Dari Asia Tenggara sendiri, sejatinya telah merepresentasikan 85
persen perekonomian global, 80 persen investasi global, 75 persen
perdagangan internasional, dan 66 persen penduduk dunia. Terpilihnya
Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20, memiliki nilai strategis  bagi
pemulihan ekonomi dan pencapaian Indonesia Maju apabila kita mampu
mengkapitalisasi peluang dan tantangan  dengan kemanfaatan optimal
bagi kepentingan Indonesia. Momentum tersebut harus dapat
dimanfaatkan bagi pemulihan ekonomi dan untuk mencapai Indonesia
Maju, dengan memainkan peranan  strategis Indonesia dalam mendorong
upaya bersama untuk pemulihan ekonomi dunia. Dengan tema G20 tahun
2022 yaitu  “Recover Together, Recover Stronger”, bermakna dapat
tercipta pertumbuhan ekonomi yang inklusif, people centered, serta ramah
lingkungan, dan berkelanjutan.
Secara lebih spesifik Presidensi G20 Indonesia akan dapat
menjadi momentum untuk meningkatkan kontribusi dalam mendukung
pemulihan ekonomi domestik, dengan adanya rangkaian pertemuan yang
kumulatif menghadirkan ribuan delegasi dari seluruh negara anggota dan
berbagai lembaga internasional, terhitung mulai 1 Desember 2021 sampai
30 November 2022 mendatang. Mobilitas para delegasi dan
pendukungnya akan meningkat karena akan ada 150 kegiatan,  berupa
rapat yang terbagi dalam 2 kelompok kegiatan berbeda yakni, Sherpa
Track  dan Finance Track yang berlangsung secara marathon, mulai
dari ministerial meeting, engagement group meeting hingga rapat-rapat
setingkat eselon I,  dan mencapai puncaknya  pada event “Presidensi G20
Leader Summit”. Melalui rangkaian kegiatan panjang tersebut, dengan
kehadiran  para delegasi akan berpotensi memberi manfaat bagi
perekonomian Indonesia, baik secara langsung, terhadap sektor jasa;
perhotelan, transportasi, UMKM, dan sektor terkait lainnya, maupun
secara tidak langsung melalui dampak terhadap persepsi investor dan
pelaku ekonomi.
Presidensi G20 menjadi ajang pembuktian Indonesia bahwa di
tengah pandemi. Dunia internasional tetap memiliki persepsi yang baik
atas resiliensi ekonomi Indonesia terhadap krisis. Oleh karena itu,
momentum presidensi yang hanya terjadi satu kali setiap generasi (kurang
lebih dua puluh tahun sekali) harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin
untuk memberi nilai tambah bagi pemulihan Indonesia, baik dari sisi
aktivitas ekonomi, maupun kepercayaan masyarakat domestik dan
internasional. Presidensi G20 akan dapat menjadikan Indonesia menjadi
salah satu fokus perhatian dunia, khususnya bagi para pelaku ekonomi
dan keuangan. Kesempatan ini harus dapat  dimanfaatkan untuk
menunjukkan (showcasing) berbagai kemajuan yang telah dicapai
Indonesia kepada dunia, dan menjadi titik awal pemulihan keyakinan
pelaku ekonomi pascapandemi, baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Di samping itu, dalam pertemuan-pertemuan G20 di Indonesia
juga akan dapat menjadi sarana untuk memperkenalkan pariwisata dan
produk unggulan Indonesia kepada dunia internasional, sehingga
diharapkan dapat turut menggerakkan ekonomi Indonesia mempercepat
pemulihan ekonomi dan agar dapat berkonstribusi dalam mengakselerasi
Indonesia Maju.

b. Jadikan Momentum Pemulihan Ekonomi

G20 memiliki peranan yang sangat strategis di dalam membahas


berbagai isu global terkait pertumbuhan dan perekonomian serta stabilitas
ekonomi dan keuangan, hal ini dikarenakan  keanggotaannya yang terdiri
dari kombinasi negara maju dan berkembang, secara keseluruhan
negara-negara G20 merupakan 66 persen populasi dunia yang
menguasai 85 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Secara
langsung manfaat pada aspek ekonomi dapat dirasakan dari kunjungan
delegasi negara G20 yang dapat meningkatkan devisa negara,
menggeliatnya kembali sektor pariwisata, khususnya Bali, dan Indonesia
pada umumnya yang tertekan sangat dalam di era pandemi,  serta 
meningkatkan konsumsi domestik dengan optimalisasi peran Usaha Mikro
Kecil Menengah (UMKM), peningkatan PDB, hingga penyerapan tenaga
kerja. 
Dari pendekatan ekonomi, beberapa manfaat langsung yang
dapat diraih Indonesia adalah  peningkatan konsumsi domestik yang
diperkirakan bisa mencapai Rp1,7 triliun, penambahan PDB hingga
Rp7,47 triliun, dan pelibatan tenaga kerja sekitar 33.000 orang di berbagai
sektor. Selain itu, pertemuan ini juga dapat dijadikan momentum bagi
Indonesia untuk menampilkan keberhasilan reformasi struktural berupa
dikeluarkannya Undang-Undang Cipta Kerja dan Lembaga Pengelola
Investasi (Sovereign Wealth Fund/SWF) serta mendorong 
optimalisasi financial inclusion untuk bersama-sama melakukan
pengembangan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk UMKM meningkatkan
inklusi keuangan dan perempuan untuk  mencapai presentase 90 persen
ditahun 2024.
Kita tentunya berharap Presidensi G20 akan mendorong
pembiayaan yang ramah dan memperkuat akses pendanaan bagi UMKM
di Indonesia dengan  tersedianya  1,1 miliar dolar AS bagi Program
Produktif Usaha Mikro yang 63,5 persen di antaranya diterima pengusaha
perempuan. Khusus untuk pengusaha perempuan mikro dan ultra-mikro,
Indonesia mengembangkan skema pemodalan khusus yang disebut
program Mekaar “Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera”. Sebagaimana
kita ketahui  hingga saat ini, terdapat lebih dari 10,4 juta nasabah dengan
total pembiayaan 1,48 miliar dolar AS dan non-performing loan yang
sangat rendah, hanya 0,1 persen. Hal tersebut membuktikan kemampuan
para pengusaha perempuan yang mumpuni dan pemanfaatan Lokapasar
atau e-commerce  yang semakin meningkat di Indonesia, yang menjadi
salah satu penggerak ekonomi Indonesia di masa pandemi dengan nilai
yang akan mencapai 24,8 miliar dolar AS tahun ini. Selama pandemi, 8,4
juta UMKM Indonesia telah memasuki ekosistem digital, termasuk bagi 54
persen UMKM perempuan, oleh karena itu keberpihakan G-20 harus
mampu kita transformasikan menjadi momentum nyata bagi digitalisasi
UMKM dan perempuan. Momentum tersebut seyogyanya diikuti dengan
peningkatan pembangunan infrastruktur digital dan kerja sama teknologi,
perluasan konektivitas digital secara inklusif, serta peningkatkan literasi
digital pelaku UMKM.

c. Milestone Indonesia Maju

Kita patut  bersyukur Indonesia kini mulai menapaki tahapan


pemulihan  ekonomi dengan baik, berbagai langkah strategis tersebut
telah membawa hasil nyata yakni ekonomi Indonesia tumbuh 7,07 persen
pada triwulan II tahun ini  dan nilai ekspor tumbuh 37,7 persen. Hal ini
diikuti dengan terus membaiknya penanganan pandemi Covid-19 di
Indonesia, positivity rate di bawah 1 persen, vaksinasi dosis pertama
capai 53,62 persen, dan vaksinasi dosis lengkap capai 31,50 persen. Kita
tentunya berharap dengan Presidensi G20 akan dapat
menjadi milestone peta jalan Indonesia Maju, khususnya dengan
memastikan pengembangan pilar “Pembangunan Ekonomi yang
Berkelanjutan”  terhadap poin-poin penting seperti peningkatan investasi
dan perdagangan luar negeri, percepatan industri dan pariwisata,
pembangunan ekonomi maritim, pemantapan ketahanan pangan dan
peningkatan kesejahteraan petani, pemantapan ketahanan energi dan air,
dan komitmen terhadap lingkungan hidup.
Pemulihan ekonomi dengan mengedepankan inklusivitas penting
untuk terus dijadikan strategi pemulihan ekonomi global  untuk
menjadikan no one left behind. Presidensi G20 diarahkan agar dapat
membangun kerjasama untuk kepentingan semua, untuk negara maju dan
berkembang, Utara dan Selatan, negara besar dan kecil, negara
kepulauan dan pulau kecil di Pasifik, serta kelompok rentan yang harus
diprioritaskan. Di samping itu, juga dengan menjadikan pemulihan
ekonomi yang mendasarkan akan ekonomi hijau berkelanjutan sebagai
strategi kebijakan yang responsif terhadap isu perubahan iklim. Modal
dasar yang kita miliki yakni capaian Indonesia pada tahun 2020 yang telah
berhasil menurunkan kebakaran hutan sebesar 82 persen perlu terus
ditingkatkan demikian pula dengan laju deforestasi yang turun signifikan,
terendah dalam 20 tahun terakhir perlu menjadi fokus bersama kita.
Target Indonesia untuk menjadi negara dengan predikat maju
pada tahun 2045  dengan target pertumbuhan ekonomi minimal harus
bisa di atas 6 persen setiap tahunnya, dan Presidensi G20 atau Tahun
2022 mendatang diharapkan dapat menjadi tahun pertama bagi Indonesia
lepas dari tekanan pandemi dan merupakan tahun kunci dari pemantapan
pemulihan ekonomi menuju negara maju 2045. Kita tentunya menyadari
bahwa mewujudkan pertumbuhan ekonomi, tantangannya tidak saja
pemulihan ekonomi nasional, namun juga transformasi ekonomi dalam
jangka menengah dan panjang yang harus terus dilakukan dengan
transformasi ekonomi mengubah struktur perekonomian dari lower
productivity menjadi higher productivity sector dan meningkatkan
produktivitas masing-masing sektor.
Kita tentunya berharap  dalam mewujudkan hal tersebut, kita
mampu  bekerja bersama membangun kolaborasi dan inovasi dalam
mendukung transformasi pemulihan ekonomi dan reformasi struktural, 
utamanya dalam reformasi sistem kesehatan nasional, reformasi sistem
perlindungan sosial serta reformasi pendidikan dan keterampilan sehingga
berkolerasi dengan pemulihan ekonomi,  pemulihan daya beli dan usaha
serta diversifikasi ekonomi untuk mengakselerasi capaian Indonesia Maju.

Mega Tren Dunia 2045:


1) Demografi Global
Pada tahun 2045, penduduk dunia diperkirakan 9,45 miliar, bertambah
2,1 miliar dari tahun 2015. Lebih dari separuh pertumbuhan penduduk
dunia disumbang oleh kawasan Afrika. Penduduk Asia masih terbesar
(55 persen). Tren demografi global mendorong urbanisasi, arus
migrasi, dan penduduk usia lanjut.
2) Urbanisasi Dunia
Penduduk dunia di perkotaan diperkirakan meningkat menjadi 65
persen (2045) dengan 95 persen pertambahan terjadi di emerging
economies. Pembangunan perkotaan berperan meningkatkan daya
saing, pertumbuhan ekonomi, dan kualitas hidup masyarakat.
3) Peranan Emerging Economies
Output negara berkembang tahun 2050 diperkirakan mencapai 71
persen dari total output dunia dengan Asia sebagai pendorong utama
—mencapai 54 persen. Investasi SDM dan infrastruktur serta reformasi
struktural dan iklim usaha mendorong pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, berdaya saing, dan berkesinambungan.
4) Perdagangan Internasional
Sampai tahun 2045, perdagangan global diperkirakan tumbuh 3,4
persen per tahun. Negara berkembang menjadi poros perdagangan
dan investasi dunia dengan pertumbuhan 6 persen per tahun.
Perdagangan intra Asia meningkat dan investasi asing langsung ke
dan antar negara berkembang berlanjut.
5) Keuangan Internasional
Dominasi mata uang dunia bergeser dari dolar AS menjadi multi
currencies. Aset keuangan emerging economies tahun 2050
diperkirakan melebihi negara maju. Cina berkembang sebagai salah
satu sumber keuangan bagi pembangunan mendatang.
6) Perubahan Geopolitik
Perubahan geopolitik terus berlanjut ke depan dengan meningkatnya
peranan Cina, kerentanan di Kawasan Timur Tengah, serta
meningkatnya kelas baru dan kelompok penentu
7) Perubahan Iklim
Tantangan pemanasan global semakin besar, baik berupa kejadian
ekstrim maupun perubahan iklim jangka panjang. Tanpa usaha
menurunkan emisi, rata-rata suhu global akan meningkat 3 – 3,5
derajat celsius pada akhir abad ini.
8) Teknologi
Tren perubahan teknologi ke depan akan didominasi oleh teknologi
informasi dan komunikasi, bioteknologi dan rekayasa genetik,
kesehatan dan pengobatan, energi terbarukan, wearable devices,
otomatisasi dan robotik, serta artificial intelligence.
9) Persaingan Sumber Daya Alam
Meningkatnya peranan ekonomi Asia dan penduduk di Afrika
mendorong persaingan memperebutkan sumber daya alam (SDA).
Ketersediaan SDA diperkirakan tidak mampu memenuhi kebutuhan
permintaan yang meningkat meskipun teknologi akan meningkatkan
efisiensi SDA.
10)Kelas Menengah
Pada tahun 2050, jumlah middle dan upper income class diperkirakan
lebih dari 84 persen atau sekitar 8,1 miliar orang. Asia dan Amerika
Latin akan memiliki jumlah middle dan upper income class terbesar.

Pilar pembangunan Indonesia tahun 2045:


1) Pembangunan manusia dan penguasaan iptek;
a) Percepatan pendidikan rakyat Indonesia secara merata
b) Peningkatan peran kebudayaan dalam pembangunan
c) Peningkatan sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
pembangunan
d) Peningkatan derajat kesehatan dan kualitas hidup rakyat
e) Reformasi ketenagakerjaan
2) Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan;
a) Peningkatan investasi dan perdagangan luar neger
b) Percepatan industri dan pariwisata
c) Pembangunan ekonomi maritim
d) Pemantapan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan
petani
e) Pemantapan ketahanan energi dan air
f) Komitmen terhadap lingkungan hidup
3) Pemerataan pembangunan;
a) Percepatan pengentasan kemiskinan
b) Pemerataan kesempatan usaha dan pendapatan
c) Pemerataan pembangunan wilayah
d) Pembangunan infrastruktur yang merata dan terintegrasi
4) Pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan;
a) Demokrasi substantif
b) Reformasi kelembagaan dan birokras
c) Penguatan sistem hukum nasional dan antikorupsi
d) Politik luar negeri bebas aktif
e) Penguatan ketahanan dan keamanan

Indonesia Menuju Negara Pendapatan Tinggi dan Salah Satu PDB


Terbesar Dunia

Dalam periode 2016 – 2045, ekonomi Indonesia mampu tumbuh


5,7 persen per tahun dengan terus melakukan reformasi struktural,
memanfaatkan bonus demografi dan kemajuan teknologi, serta
meningkatkan daya saing ekonomi. Indonesia diperkirakan menjadi
negara pendapatan tinggi pada tahun 2036 dan PDB terbesar ke-5 pada
tahun 2045. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inklusif akan
meningkatkan jumlah kelas pendapatan menengah menjadi sekitar 70
persen penduduk Indonesia pada tahun 2045.

Demografi, Urbanisasi, dan Perlunya Pemindahan Pusat


Pemerintahan

Dalam periode 2010-2045, jumlah penduduk Indonesia usia


produktif besar. Rasio ketergantungan (dependency ratio) mencapai
tingkat terendah sekitar tahun 2022. Jumlah penduduk Indonesia pada
tahun 2045 mencapai 319 juta. Dalam jangka panjang, Total Fertility Rate
(TFR) dijaga pada tingkat 2,1 agar penduduk dapat tumbuh seimbang.
Pertumbuhan penduduk mendorong urbanisasi dan tumbuhnya kota kecil
dan sedang di seluruh Indonesia. Kota-kota besar dan daerah peri urban
akan membentuk mega urban. Pada tahun 2045, masyarakat yang tinggal
di perkotaan menjadi 72,8 persen. Pada tahun 2035 hampir 90%
penduduk Jawa tinggal di perkotaan. Konsentrasi penduduk perkotaan di
wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten mencapai 76 juta orang.
Daya dukung Jawa terutama Jakarta yang semakin turun memerlukan
pemindahan pusat pemerintahan ke luar Jawa. Jakarta tetap berkembang
sebagai pusat bisnis dan keuangan.

Perkembangan Teknologi

Teknologi berkembang semakin cepat dan membawa perubahan


pada semua bidang pembangunan dan kehidupan masyarakat. Tren
teknologi ke depan: teknologi digital (internet seluler, otomatisasi, dan
cloud technology), teknologi yang mengurangi keterbatasan fisik dan jarak
(IoT, transportasi dan distribusi, addictive manufacturing/3D printing, dan
nano technology), teknologi energi terbarukan (surya, angin, nuklir,
biomas, dan geothermal), dan teknologi kesehatan (genetika, pengobatan
dan pemulihan, serta pelayanan kesehatan). Disamping meningkatkan
efisiensi dan kesempatan baru, kemajuan teknologi berdampak pada
kebutuhan tenaga kerja. Pekerjaan yang sifatnya rutin, manual, dan
kognitif akan berkurang. Indonesia akan memanfaatkan kemajuan
teknologi bagi pembangunan dengan meminimalkan disrupsi. Beberapa
perkembangan teknologi ke depan: perdagangan elektronik mengubah
perdagangan konvensional menjadi elektronik; industri 4.0
mengintegrasikan proses produksi secara virtual berbasis siber dan
artificial intelligence; blockchain, perpaduan AI, big data, dan IoT, mampu
melakukan verifikasi transaksi keuangan real-time, sehingga tidak
diperlukan lagi pihak ketiga; dan rekayasa genetika meningkatkan kualitas
hidup.

Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan


Teknologi

Kualitas manusia Indonesia meningkat dengan pendidikan yang


semakin tinggi dan merata; kebudayaan yang kuat; derajat kesehatan,
usia harapan hidup, dan kualitas hidup yang semakin baik; produktivitas
yang tinggi; serta kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang luas.
1) Pendidikan dan Kebudayaan
Taraf pendidikan rakyat Indonesia ditingkatkan untuk menciptakan
SDM unggul dan berbudaya. Rata-rata lama sekolah meningkat
menjadi 12 tahun pada tahun 2045. Angka partisipasi kasar (APK)
perguruan tinggi mencapai 60 persen dan angkatan kerja lulusan
pendidikan SMA sederajat dan PT mencapai 90 persen pada tahun
2045. Peningkatan pendidikan vokasi dan penyelarasan
pengembangan ilmu di perguruan tinggi diarahkan untuk menjawab
perubahan struktur ekonomi dengan ditopang oleh kemitraan tiga
pihak (pemerintah, perguruan tinggi, dan industri) yang kuat. Tenaga
kerja terampil dengan keahlian khusus dan penguasaan bahasa asing
menjadi kebutuhan dalam pasar kerja yang kompetitif. Peran
kebudayaan dalam pembangunan ditingkatkan melalui kapitalisasi
nilai-nilai luhur budaya bangsa dan pengembangan etos kerja untuk
menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat kebudayaan dan
peradaban dunia. Jati diri bangsa Indonesia dan budaya bangsa
diperkuat untuk memperkokoh akar kebudayaan Indonesia di tengah
arus globalisasi.
Strategi Pembangunan Pendidikan:
a) Kualitas dan Layanan Pendidikan Merata
b) Peran Masyarakat dalam Pembangunan Pendidikan
c) Profesionalisme Guru dan Perubahan Metode Pembelajaran
d) Budaya Sekolah dan Baca
e) Pendidikan Vokasi, Enterpreneurship, dan Karakter
2) Kesehatan
Derajat kesehatan dan gizi masyarakat indonesia semakin baik
dengan ratarata usia harapan hidup mencapai 75,5 tahun. Penyakit
HIV/AIDS, Tubercolosis, dan penyakit tidak menular lainnya menurun.
Malaria tereliminasi di seluruh kabupaten/kota dan balita stunting
menurun menjadi 5 persen.
Strategi pembangunan kesehatan:
a) Penguasaan Teknologi Kesehatan
b) Pemahaman Perilaku Hidup Sehat
c) Fasilitas dan Jaminan Kesehatan Nasional Tertata dan
Berkelanjutan
d) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit yang Responsif
3) Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan
ditingkatkan. Pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan (R&D)
ditingkatkan dari 0,1 persen PDB (2013) menjadi 1,5-2 persen PDB
(2045) yang berasal dari swasta, pemerintah, pendidikan tinggi, dan
lembaga nonprofit. Penguatan Iptek disesuaikan dengan kebutuhan
pembangunan dengan mengembangkan teknologi sendiri (indigenous
technology) yang didukung oleh SDM Iptek (peneliti dan perekayasa).
Kolaborasi triple-helix antara perguruan tinggi, swasta, dan pemerintah
melembaga dalam setiap proses hilirisasi dan komersialisasi hasil
penelitian. Indonesia akan mengambil peran sebagai salah satu pusat
pengembangan Iptek di kawasan Asia dan dunia, terutama dalam
bidang kemaritiman, biodiversitas, teknologi material, serta
kebencanaan dan mitigasi bencana.
Strategi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi:
a) Adopsi dan Penerapan Iptek
b) Kemampuan dan Kemandirian Iptek
c) Pengembangan Dana Inovasi
d) Kerjasama Perguruan Tinggi, Swasta, dan Pemerintah
4) Ketenagakerjaan
Produktivitas tenaga kerja ditingkatkan dan kemajuan teknologi
dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Perubahan
struktur ekonomi dan kemajuan teknologi perlu diikuti dengan
perubahan struktur tenaga kerja yang semakin baik. Pasar tenaga
kerja perlu fleksibel dan adaptif. Partisipasi tenaga kerja termasuk
tenaga kerja perempuan meningkat, tingkat pendidikan tenaga kerja
membaik, peranan tenaga kerja informal menurun, dan tenaga kerja di
sektor pertanian berkurang dengan kesejahteraan yang lebih baik.
Pengangguran akan terjaga pada tingkat natural unemployment (3-4
persen).
Reformasi ketenagakerjaan ke depan diarahkan pada tiga tahap
sebagaimana bagan berikut:
Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Indonesia menjadi negara maju dan salah satu ekonomi terbesar di dunia
dengan digerakkan oleh investasi dan perdagangan; industri, pariwisata,
maritim, dan jasa; serta didukung oleh infrastruktur yang andal dan
ketahanan pangan, energi, dan air yang kuat. Komitmen terhadap
lingkungan hidup terus dijaga bagi keberlanjutan pembangunan.
1) Investasi dan Perdagangan Luar Negeri
(1) Iklim investasi Indonesia ditingkatkan menjadi salah satu yang
terbaik di kawasan Asia dan dunia. Rasio FDI Inflows terhadap
PDB diperkirakan meningkat menjadi 4,5 persen pada tahun 2045.
Rata-rata pertumbuhan investasi diperkirakan 6,4 persen per tahun
dan peranan investasi terhadap PDB meningkat menjadi 38,1
persen pada tahun 2045. Pada periode 5 tahun terakhir, Indonesia
mulai beralih menjadi net investor.
Strategi Peningkatan Iklim Investasi:
a) Penguatan Sektor Padat Karya, Berorientasi Ekspor, dan
Bernilai Tambah
b) Percepatan Investasi Pada Sektor Teknologi Maju dan Inovasi
Tinggi
c) Investasi yang Berkelanjutan dan Perlindungan Investasi di Luar
Negeri
(2) Indonesia tetap menjalankan kebijakan perdagangan luar negeri
yang terbuka dan adil. Dengan meningkatkan daya saing ekspor
serta inovasi dan teknologi, Indonesia diperkirakan menjadi negara
pengekspor terbesar ke-10 dunia pada tahun 2045 dengan pangsa
sebesar 2,0 persen dari ekspor barang dan jasa dunia, meningkat
dari urutan ke-29 dunia dengan pangsa pasar sebesar 0,9 persen
pada tahun 2015.
Strategi Perdagangan Luar Negeri:
a) Penguatan Pranata Ekspor; Perubahan Struktur Ekspor dari
Komoditas Pada Manufaktur dan Jasa
b) Percepatan Pertumbuhan Ekspor; Ekspor Barang dan Jasa
Bernilai Tambah Tinggi
c) Pemantapan Ekspor; Barang dan Jasa Berkualitas Dunia dan
Berbasis Inovasi
2) Industri dan Ekonomi Kreatif
Industri sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Modernisasi
industri difokuskan pada industri pengolahan sumber daya alam (SDA)
berbasis kawasan dan sentra industri dengan integrasi rantai pasok
dan rantai nilai dari hulu ke hilir, yang didukung oleh inovasi, sumber
daya manusia (SDM) berkualitas, dan kemitraan antara industri besar,
sedang, dan kecil. Industri didorong menjadi bagian rantai nilai global
(GVC) dengan prioritas pada industri makanan dan minuman, tekstil
dan pakaian jadi, otomotif, elektronik, serta kimia dan farmasi.
Efisiensi industri nasional ditingkatkan bertahap dengan penerapan
smart and sustainable manufacturing untuk mengantisipasi aging
population, aktivitas perkotaan yang efisien, konektivitas dan
pergerakan manusia-barang-jasa yang luas, serta kualitas lingkungan
hidup yang lebih baik. Peranan sektor industri meningkat menjadi 26,0
persen terhadap PDB pada tahun 2045. Revolusi industri hingga 4.0
didorong pemanfaatannya sesuai dengan karakteristik masing-masing
industri untuk peningkatan efisiensinya. Penguatan struktur ekonomi
kreatif dan digital di Indonesia hingga tahun 2045 difokuskan pada: (a)
peningkatan daya saing SDM dan usaha kreatif/digital; (b) penguatan
ekosistem; dan (c) pengembangan transformasi digital yang
terintegrasi untuk mendorong produktivitas dan efisiensi ekonomi.
Strategi Pembangunan Industri Pengolahan:
a) Penguatan Pilar Pertumbuhan Industri (2020)
b) Diversifikasi dan Peningkatan NIlai Tambah (2025)
c) Penguatan Basis Industri Maju (2030)
d) Penguatan Inovasi dan Peran Global (2035)
e) Peningkatan Adaptasi Industri (2040)
f) Penguatan Keberlanjutan Industri (2045)
3) Pariwisata
Indonesia menjadi salah satu destinasi unggulan pariwisata Asia dan
dunia. Keragaman Indonesia yang mencakup lebih dari 17 ribu pulau,
lebih dari 300 suku bangsa, lebih dari 700 bahasa, beberapa situs
warisan dunia, serta keanekaragaman hayati terbesar ke-3,
merupakan potensi besar bagi pengembangan pariwisata termasuk
wisata bahari. Pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar di
Indonesia dan penggerak pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan
berkelanjutan. Kontribusi pariwisata didukung peningkatan jumlah
wisatawan mancanegara hingga mencapai 73,6 juta pada tahun 2045.
Destinasi pariwisata dikembangkan dengan keragaman dan
keunggulan layanan terbaik di kawasan ASEAN, Asia, dan dunia
secara bertahap, sehingga peringkat daya saing pariwisata Indonesia
meningkat menjadi 10 besar dunia.
Strategi Pembangunan Sektor Pariwisata:
a) Pengembangan Destinasi Unggulan
b) Peningkatan Daya Saing
c) Peningkatan Keragaman Wisata
d) Peningkatan Integrasi Pariwisata Regional
e) Penguatan sebagai Destinasi Unggulan Asia
f) Penguatan sebagai Destinasi Unggulan Dunia
4) Kemaritiman
Menuju poros maritim dunia, Indonesia membangun ekonomi maritim
yang pesat, kekuatan maritim yang kokoh, dan peradaban maritim
yang kuat. Sumbangan ekonomi maritim terhadap PDB meningkat dari
6,4 persen tahun 2015 menjadi 12,5 persen tahun 2045.
Strategi pembangunan maritim;
a) Ekonomi Maritim: meningkatkan peranan ekonomi maritim
menjadi sekitar 12,5 persen PDB pada tahun 2045 dengan fokus
pada: (1) pembangunan konektivitas laut yang efisien dan efektif,
(2) industrialisasi perikanan yang berkelanjutan dan berdaya saing,
dan (3) pariwisata bahari yang inklusif.
b) Peradaban Maritim: menciptakan kualitas sumber daya manusia
maritim yang unggul, inovasi teknologi kemaritiman, dan budaya
maritim yang kuat sebagai basis peradaban bahari.
c) Kekuatan Maritim: mewujudkan kemampuan pertahanan
keamanan maritim yang kuat dan handal menghadapi tantangan
regional dan global.
5) Ketahanan Pangan dan 2.6 Kesejahteraan Petani
Ketahanan pangan ditingkatkan untuk mewujudkan sistem ketahanan
pangan mandiri dan berkelanjutan, menjaga swasembada karbohidrat
dan protein, meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian, serta
meningkatkan kesejahteraan petani. Kesejahteraan petani meningkat
dengan produktivitas petani naik menjadi 3,9 kali lipat pada tahun 2045
dibandingkan tahun 2015. Petani sebagai pengusaha atau pekerja
profesi.
Strategi Pemantapan Ketahanan Pangan:
a) Pengembangan Pusat Pendidikan dan Teknologi Pertanian (30
pusat riset basis tropika dan 10 pusat riset basis dasar)
b) Peningkatan Produktivitas, Pengendalian Konversi Lahan
Pertanian, dan Pengembangan Pertanian Maritim
c) Peningkatan Kualitas Petani dan SDM Pertanian
d) Peningkatan Investasi dan Infrastruktur Penunjang Pertanian
e) Penguatan Kelembagaan dan Kewirausahaan Petani
f) Integrasi Kebijakan Hulu sampai Hilir serta Keterkaitan Sektor
Pertanian dengan Industri dan Jasa
6) Ketahanan Air
Sumber daya air berperan penting dalam meningkatkan kualitas hidup
manusia, memenuhi kebutuhan pangan dan energi, serta pertumbuhan
ekonomi. Meski sumber daya air di Indonesia berlimpah,
ketidakseimbangan neraca air mengakibatkan kelangkaan di beberapa
wilayah dan tantangan terkait kapasitas, kualitas, kontinuitas, dan
aksesibilitas sumber daya air, serta degradasi Daerah Aliran Sungai
(DAS). Ketahanan air diarahkan untuk memantapkan kuantitas,
kualitas, kontinuitas, dan aksesibilitas sumber daya air untuk
mendukung sektor-sektor strategis, pencegahan bencana, dan
peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebelum tahun 2045, 108 DAS
Prioritas dapat dipulihkan melalui kebijakan lintas sektor.
Pembangunan sumber daya air akan menyeimbangkan pembangunan
ekonomi, infrastruktur, sosial, dan ekosistem.
Strategi Pemantapan Ketahanan Air:
a) Rehabilitasi hutan dan lahan pada DAS Prioritas
b) Pengelolaan terpadu dan berkelanjutan pada danau, rawa, situ,
sungai, dan perairan darat lainnya
c) Pembangunan hutan kota
d) Pengelolaan lahan DAS dengan masyarakat
e) Pembangunan bangunan pemanenan air (rain water harvesting)
f) Pengembangan teknologi pengolahan air dan limbah yang murah
dan ramah lingkungan
g) Kampanye “Simpan, Jaga dan Hemat Air”
h) Perbaikan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi, dan
hidrogeologi, serta pengembangan sistem monitoring kondisi DAS
dan sumberdaya air
i) Efisiensi pemanfaatan air melalui prinsip reduce, reuse, dan recycle
j) Pembangunan infrastruktur sumber daya air
k) Pembangunan prasarana pencegahan erosi dan sedimentasi
7) Ketahanan Energi
Ketahanan energi ditingkatkan dengan Energi Baru dan Terbarukan
(EBT). Peran EBT ditingkatkan menjadi 30 persen pada tahun 2045.
Pembangkit tenaga listrik ditingkatkan menjadi lebih dari 430 GW,
rasio elektrifikasi 100 persen sejak tahun 2020, dan pasokan energi
per kapita menjadi 7 ribu kWh pada tahun 2045. Pengembangan
infrastruktur ketenagalistrikan menerapkan konsep kepulauan agar
pemenuhan listrik per kapita lebih efektif. Pemenuhan kebutuhan
energi memperhatikan dampak terhadap lingkungan hidup.
Pemanfaatan energi nuklir dimungkinkan apabila sumber energi lain
tidak memenuhi.
8) Komitmen Lingkungan Hidup dan Pembangunan Rendah Karbon
Komitmen indonesia terhadap lingkungan hidup terus dijaga. Indeks
Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) meningkat menjadi lebih dari 80
didukung oleh penerapan Pembangunan Rendah Karbon. Penurunan
emisi dilanjutkan sebesar 34 - 41 persen dari skenario dasar pada
tahun 2045 melalui pengembangan EBT, perlindungan hutan dan
lahan gambut, peningkatan produktivitas lahan, dan penanganan
limbah terpadu.
Pemerataan Pembangunan

Pemerataan pembangunan semakin luas dengan pendapatan yang


semakin merata bagi seluruh lapisan masyarakat, kesenjangan
antarwilayah yang semakin kecil, infrastruktur yang terintegrasi dan
merata, serta kemiskinan akut berhasil dientaskan.
1) Pemerataan Pendapatan dan Pengentasan Kemiskinan
Kesenjangan Pendapatan dan Kemiskinan terus diupayakan
berkurang. Kebijakan redistribusi dan inklusif ditingkatkan agar
menjangkau semua kelompok masyarakat. Program Afirmasi terus
didorong terutama ke daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi seperti
di KTI. Rasio Gini diperkirakan turun ke tingkat ideal sebesar 0,34
pada tahun 2035 dan selanjutnya berada pada rentang yang
berkelanjutan. Indonesia terbebas dari kemiskinan akut pada tahun
2040.
Strategi pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan
mencakup 6 langkah pokok, yaitu: 1) meningkatkan akses dan kualitas
pelayanan dasar bagi seluruh penduduk, 2) memperluas perlindungan
sosial termasuk SJSN berkelanjutan, 3) mempermudah kepemilikan
aset dan mendorong inklusi keuangan, 4) memperluas kesempatan
usaha dan akses terhadap sumber daya produktif, 5) mempertajam
kebijakan fiskal baik belanja maupun pendapatan yang berkeadilan,
dan 6) memastikan partisipasi masyarakat dalam konteks sosial,
politik, dan ekonomi.
2) Pemerataan Pembangunan Daerah
Pemerataan pembangunan daerah terus ditingkatkan. Wilayah Luar
Jawa terutama Kawasan Timur Indonesia (KTI) didorong tumbuh lebih
tinggi dari Jawa dan Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan tetap
mempertahankan momentum pertumbuhan wilayah Jawa. Dalam 30
tahun ke depan, peranan Luar Jawa dan Kawasan Timur Indonesia
diperkirakan meningkat menjadi 48,2 persen dan 25,1 persen dari
perekonomian nasional.
3) Pembangunan dan Pemerataan Infrastruktur
Konektivitas darat diwujudkan dengan penyelesaian ruas utama jalan
di seluruh pulau; jalan tol Jawa dan Sumatera; jalan perbatasan; kereta
api di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua; serta transportasi perkotaan
berbasis rel dan kereta cepat untuk antisipasi mega urban dan
urbanisasi di Jawa. Sistem transportasi antarpulau melalui transportasi
laut dan udara diarahkan untuk mendukung mobilitas penduduk dan
distribusi barang antarwilayah. Akses perekonomian di Kawasan Timur
Indonesia diawali dengan pengembangan kota-kota pelabuhan dengan
jalur reguler ke Kawasan Barat Indonesia dan memanfaatkan potensi
jalur perdagangan internasional di wilayah tengah dan timur. Akses ke
kawasan terpencil dan terluar disediakan melalui pembangunan
pelabuhan dan bandara perintis. Biaya logistik tahun 2045 turun
menjadi 8 persen PDB. Stok infrastruktur meningkat menjadi 70 persen
PDB pada tahun 2045.
Transportasi laut sebagai unsur utama konektivitas maritim dibangun
melalui: (a) pengembangan 48 kota pelabuhan, (b) sistem pelabuhan
utama tol laut dan 7 hub internasional, (c) short sea-shipping, dan (d)
manajemen pelabuhan modern.
Pembangunan Infrastruktur ke depan diarahkan untuk:
a) Meningkatkan Konektivitas Fisik dan Virtual
b) Mendorong Pemerataan Pembangunan antar Wilayah
c) Memenuhi Prasarana Dasar
d) Mendukung Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan
e) Antisipasi terhadap Bencana Alam dan Perubahan Iklim, termasuk
Kenaikan Muka Air Laut

Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan

Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan semakin kokoh


dengan kualitas demokrasi yang semakin baik, reformasi kelembagaan
dan birokrasi, pembangunan sistem hukum nasional dan anti korupsi,
pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif, serta kemampuan
pertahanan dan keamanan yang tinggi.
1) Politik Dalam Negeri
Kualitas demokrasi indonesia terus ditingkatkan. Demokrasi yang saat
ini lebih bersifat prosedural dan formalitas diarahkan pada demokrasi
substansial, yaitu demokrasi yang mengemban amanat rakyat dengan
terwujudnya lembaga perwakilan serta sistem presidensial yang efektif.
Strategi Pemantapan Politik dalam Negeri:
a) Demokrasi Prosedural/ Transaksiona
b) Penguatan Kapasitas parpol & pranata politik
c) Revitalisasi Pancasila
d) Penguatan demokrasi di daerah & partisipasi politik
e) Pemantapan Per UU Politik
f) Lembaga perwakilan yang efektif
g) Sistem presidensial yang efektif
h) Demokrasi Substansial
2) Reformasi Birokrasi dan Kelembagaan
Reformasi birokrasi dan kelembagaan diperkuat untuk mewujudkan:
(a) peran dan fungsi pemerintah dalam pencapaian kepentingan
publik; (b) kelembagaan birokrasi yang kontekstual serta tepat fungsi
dan ukuran; (c) tatakelola pemerintahan yang efektif, inklusif,
partisipatif, dan saling menunjang antar sektor, serta (d) kelembagaan
birokrasi yang andal dan modern dengan SDM aparatur sipil negara
yang profesional, dan mampu mengelola perubahan dengan baik.
Arah Reformasi Birokrasi dan Kelembagaan 2045:
a) Kelembagaan; Kelembagaan yang adaptif; berbasis isu/tematik;
bersifat lintas sektor, people driven, dan locally empowered; serta
responsif terhadap isu.
b) Tata kelola; Tata kelola yang inklusif, dan berbasis TIK.
c) SDM Aparatur Sipil Negara; (1) Berpikir kreatif, sistemik, evidence-
based, berwawasan global, inklusif, serta mampu mengelola
perubahan, (2) Beretos kerja tinggi dan produktif , (3) Pelayanan
proaktif sesuai dengan kebutuhan publik.
3) Pembangunan Hukum serta Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
Pembangunan hukum diarahkan bagi terwujudnya masyarakat
berbudaya hukum melalui penegakan hukum yang berkualitas dan
berlandaskan HAM, peningkatan kesadaran hukum masyarakat, serta
penguatan sistem hukum nasional melalui penataan regulasi. Pada
tahun 2045, hukum warisan kolonial sudah digantikan seluruhnya oleh
hukum nasional. Pencegahan dan pemberantasan korupsi diarahkan
bagi terwujudnya masyarakat anti korupsi melalui perbaikan sistem di
semua lini layanan publik; penguatan integritas masyarakat, penegak
hukum, penyelenggara negara; serta penguatan sistem pencegahan
korupsi. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) diperkirakan meningkat menjadi
60-65 pada tahun 2045.
Sasaran Pembangunan Hukum:
a) Integritas dan kompetensi Aparat Penegak Hukum dan
Penyelenggara Negara 2025
b) Penyelenggara negara dan warga negara yang taat hukum 2035
c) Masyarakat yang berbudaya hukum 2045
Sasaran Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi:
a) Perbaikan sistem di berbagai lini layanan publik
b) Penurunan praktik dan perilaku korupsi secara signifikan
c) Masyarakat yang anti korupsi
4) Politik Luar Neger
Indonesia tetap menjalankan politik luar negeri bebas aktif untuk
mencapai kepentingan nasional, serta membangun tata dunia yang
berkeadilan sejalan dengan peningkatan peran Indonesia di Asia
Pasifik. Politik luar negeri juga diarahkan untuk mengimplementasikan
peta jalan Poros Maritim Dunia guna memberi sumbangan positif bagi
keamanan dan perdamaian dunia dan membentuk tatanan regional
dan global termasuk mempertahankan sentralitas ASEAN.
5) Pertahanan dan Keamanan
Ancaman dan tantangan mendatang tidak selalu berwujud konkret dan
perlu dihadapi dengan respon yang sesuai dengan perkembangan
zaman. Pembangunan pertahanan dan keamanan diarahkan untuk
meningkatkan kebanggaan terhadap intensitas Indonesia, kekuatan
dalam menghadapi ancaman pertahanan dan ancaman global, serta
rasa aman dan damai dalam kerangka bangsa dan negara Indonesia.
Pertahanan dan keamanan ditingkatkan untuk mewujudkan:
a) Ketertiban Masyarakat yang Inklusif; (1) Identitas Indonesia di
atas batas identitas suku bangsa, agama, ras, dan golongan; (2)
Ketertiban masyarakat yang partisipatif berlandaskan keadilan dan
kesetaraan dalam kebhinekaan dan wawasan kebangsaan.
b) Pertahanan Berdaya Gentar Tinggi; (1) Kekuatan pertahanan
berbasis smart power, didukung anggaran pertahanan sebesar
1,5% PDB; (2) TNI yang kuat dan dilengkapi alutsista dengan
teknologi modern. Industri pertahanan maju dan sehat, serta
menjadi pelaku utama global supply chain.
c) Keamanan Insani yang Bermartabat; (1) Aman dan damai hidup
di Indonesia sebagai insan yang beradab berdasarkan semangat
saling menghargai; (2) Keamanan insani yang berpadu dengan
keamanan nasional berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan dan
kemitraan seluruh komponen bangsa.
2. PENELITIAN SMERU THN 2022 SEKITAR 80% ORANG MISKIN
AKAN TETAP MISKIN, ATAU BERADA DALAM LINGKARAN
SETAN KEMISKINAN. BERIKAN PENJELASAN

Penelitian terbaru lembaga riset SMERU Institute


menunjukkan bahwa anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung
berpenghasilan lebih rendah ketika mereka dewasa. Penelitian yang telah
dipublikasikan di makalah internasional Asian Development Bank (ADB)
menunjukkan pendapatan anak-anak miskin setelah dewasa 87% lebih
rendah dibanding mereka yang sejak anak-anak tidak tinggal di keluarga
miskin. Menggunakan data yang diambil dari kehidupan rumah tangga di
Indonesia atau yang disebut dengan Indonesian Family Life Survey
(IFLS), tim peneliti SMERU Institute yang dipimpin oleh Mayang Rizky,
Daniel Suryadarma, Asep Suryahadi mengolah data dari 1.522 anak dan
membandingkan pendapatan mereka pada tahun 2000 ketika mereka
berusaha 8-17 tahun dengan pendapatan mereka pada 2014 ketika
mereka menginjak usia 22-31 tahun.
Penelitian tersebut memang bersifat kuantitatif dan tidak
menjawab mengapa anak yang tumbuh dari keluarga miskin akan
cenderung tetap miskin ketika mereka dewasa. Namun, pada 2015, saya
terlibat dalam sebuah penelitian kualitatif yang juga dilakukan SMERU
Institute  yang dapat membantu menjelaskan mengapa ini bisa terjadi.
Penelitian itu menunjukkan bahwa keluar dari jerat kemiskinan tidak
semudah yang banyak orang kira karena kemiskinan yang terjadi pada
anak-anak berkaitan dengan kondisi kemiskinan keluarganya. Kemiskinan
keluarga akan membatasi akses anak-anak mereka terhadap berbagai
kesempatan (misalnya untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan
kesehatan) yang sebenarnya diperlukan untuk memperbaiki kondisi
ekonomi mereka (Diningrat, 2019).
1. Kemiskinan Anak, Perkara Yang Kompleks
Penelitian kami tahun 2015 dilakukan di dua kelurahan yang
berbeda di Jakarta; Makassar, Sulawesi Selatan; dan Surakarta, Jawa
Tengah. Riset ini melibatkan setidaknya 250 anak laki-laki dan
perempuan dari keluarga miskin yang berusia 6-17 tahun di ketiga
kota tersebut. Dalam penelitian ini, kami ingin mengamati perspektif
subjektif anak-anak tentang kemiskinan. Kami mewawancarai anak-
anak tersebut tentang kondisi hidup mereka dan menemukan bahwa
perbedaan kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-
anaknya.
Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak rupanya sangat
mampu menjelaskan kompleksitas kemiskinan yang menjeratnya.
Mereka menyadari adanya perbedaan status sosial-ekonomi di
lingkungannya melalui hal-hal yang tampak seperti kondisi tempat
tinggal, cara berpakaian, serta kepemilikan alat komunikasi dan
kendaraan. Seorang anak bisa mengatakan mereka miskin ketika
mereka tinggal di rumah yang kecil, tidak punya banyak kamar,
lingkungan yang padat dan relatif kumuh seperti banyak sampah.
Mereka bisa mendeskripsikan teman-teman yang tidak miskin dengan
sebagai anak-anak yang memiliki telepon seluler dan kendaraan
bermotor. Dari wawancara anak-anak yang menceritakan kondisi
hidup mereka, penelitian kami menyimpulkan bahwa perbedaan
kondisi kesejahteraan orang tua menentukan nasib anak-anaknya.
Dengan kata lain, perbedaan kesejahteraan orang tua menyebabkan
kondisi ekonomi anak-anak mereka tidak berada pada garis awal yang
sejajar.
Anak yang orang tuanya memiliki aset atau sumber daya
maka akan memberikan peluang bagi anaknya untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan atau kesuksesan pada masa depan.
Misalnya, anak-anak yang lahir dari keluarga kaya memiliki peluang
jauh lebih besar untuk memperoleh pendidikan non formal, baik yang
sifatnya mendukung capaian pendidikan formal maupun yang sifatnya
mengasah keterampilan serta kemampuan emosional dan spiritual
bahkan sejak usia dini. Akses pada pendidikan yang tidak seimbang
ini menjelaskan mengapa anak miskin sulit keluar dari jerat
kemiskinan.
Contoh lain, anak-anak tidak miskin yang dibekali telepon
seluler dan kendaraan bermotor dianggap memiliki peluang lebih
besar untuk melakukan mobilitas, mendapat pengalaman baru,
termasuk berjejaring dengan orang-orang baru yang akan
memberikan peluang ekonomi yang lebih besar. Belum lagi
perbedaan pola asuh di masyarakat miskin yang cenderung otoriter
dan reaktif yang berisiko melanggengkan budaya miskin. Anak-anak
dari keluarga miskin mengaku bahwa orang tua mereka cenderung
mudah marah dan memberi hukuman saat tahu anaknya menghadapi
masalah ketimbang memiliki kesempatan untuk bercerita mengapa
masalah itu bisa terjadi dan mendapat jalan keluarnya.
Sebagai contoh, seorang anak mengaku lebih sering
menerima pukulan saat orang tuanya tahu bahwa dirinya berkelahi di
sekolah. Padahal, perkelahian tersebut karena sang anak menerima
perundungan dari teman-teman sebayanya. Tanpa kemampuan
mendengar dan mencarikan jalan keluarnya, perilaku orang tua
seperti itu hanya akan membuat sang anak semakin frustrasi
menjalani pendidikan, padahal pendidikan adalah solusi bagi
kemiskinan. Pola pengasuhan tentu sangat berkaitan dengan tingkat
pendidikan orang tua. Kita tahu, bahwa sekitar 63% penduduk miskin
di Indonesia hanya memperoleh pendidikan setara sekolah dasar atau
tidak bersekolah sama sekali.
2. Saling Melengkapi
Dalam penelitian tahun 2019, tim peneliti menyimpulkan
bagaimana anak miskin akan tetap miskin ketika dewasa setelah
menguji tujuh faktor yang mungkin berpengaruh pada peningkatan
penghasilan mereka dan menemukan bahwa kondisi anak-anak
tersebut tidak berubah setelah 14 tahun. Ketujuh hal yang
dibandingkan adalah status kemiskinan hasil tes kognitif, hasil tes
matematika, lama bersekolah, kapasitas paru-paru (untuk
menggambarkan kondisi kesehatan), koneksi pekerjaan melalui
kerabat, dan hasil tes kecenderungan depresi. Sebagai ilustrasi, salah
satu yang diuji adalah hasil tes matematika. Rupanya, walaupun ada
kesamaan nilai matematika yang diperoleh antara anak-anak yang
miskin dengan yang tidak, namun ketika mereka beranjak dewasa,
pendapatan si anak miskin tetap jauh dari pendapatan si anak tidak
miskin saat dewasa. Artinya, pendidikan (yang digambarkan melalui
hasil tes matematika) tidak berdampak signifikan pada penghasilan
anak-anak miskin pada masa depan dibandingkan anak-anak kaya.
Lewat penelitian kami tahun 2015 bisa disimpulkan bahwa hal
ini bisa terjadi karena anak-anak miskin dan anak-anak tidak miskin
memiliki modal yang tidak seimbang dari keluarganya. Hal ini yang
mengakibatkan mereka tidak berada pada garis awal yang sejajar
dalam memperoleh kesempatan ekonomi. Lalu, bagaimana dengan
berbagai intervensi pemerintah, seperti Program Keluarga Harapan
atau Kebijakan Kota dan Kabupaten Layak Anak (KLA) yang
diciptakan untuk menjamin terpenuhinya hak anak untuk hidup secara
layak, tanpa kekerasan dan diskriminasi? Pemerintah perlu melakukan
penelitian yang berkualitas baik untuk dapat mengevaluasi
efektivitasnya dan memastikan bahwa program mereka dapat
meningkatkan kesejahteraan anak-anak miskin.

Dalam berbagai studi tentang kemiskinan, kita sudah sering


mendengar frasa ”jebakan kemiskinan”, yakni adanya sebuah kondisi
struktural yang membuat seseorang atau suatu komunitas terjebak dalam
lingkaran setan kemiskinan yang sulit diputus. Namun, di tengahtengah
kisah tentang mereka yang terus terjerat dalam kemiskinan, tidak jarang
ditemukan berbagai pengalaman perempuan dan laki-laki yang dapat
melepaskan diri dari kemiskinan. Siapa mereka dan bagaimana mereka
berhasil keluar dari kemiskinan? Untuk mencari jawaban atas pertanyaan
di atas, pada 2005 dan 2006, SMERU melakukan studi ”Keluar dari
Kemiskinan” di berbagai wilayah di Indonesia untuk mengkaji bagaimana
anggota komunitas yang tadinya miskin bisa keluar dari kemiskinan dan
berhasil mempertahankan tingkat kesejahteraannya dalam konteks politik,
tata pemerintahan, dan ekonomi yang berbeda (Sri Kusumastuti Rahayu,
2019).
Mereka yang berhasil keluar dari kemiskinan adalah kelompok
yang menjadi sorotan utama dalam edisi ini. Melalui pengalaman dan
kisah-kisah hidup mereka, kita dapat mempelajari interaksi dan hubungan
antarberbagai faktor yang telah membantu membangkitkan potensi sosial-
ekonomi orang miskin dan mendorong mereka keluar dari kemiskinan.
Edisi ini juga menampilkan pola-pola mobilitas sosial perempuan
berdasarkan kisah pengalaman perempuan kepala rumah tangga miskin
di Timor Barat, NTT dan pengalaman PEKKA sebagaimana dituturkan
oleh Nani Zulminarni. Melengkapi pembahasan ini, antropolog Aris Arif
Mundayat mengurai berbagai faktor kunci dalam strategi untuk keluar dari
kemiskinan. Akhirnya, kemiskinan bisa jadi bukanlah sebuah lingkaran
setan, melainkan sebuah labirin yang sebenarnya ada jalan keluarnya.
MENGUNGKAP hasil penelitian SMERU Research Institute,
lembaga yang getol mengkaji isu-isu kemiskinan dan ketimpangan, dari
tahun 1993 sampai dengan 2014 dengan sampel 20 ribu orang Indonesia,
terungkap “sebagian besar anak orang miskin setelah dewasa akan tetap
miskin”. Lebih tepatnya 40 persen anak yang lahir dari keluarga miskin
akan tetap miskin (Pratiwi, 2023).
Data itu telah dipublikasikan dalam makalah internasional Asian
Development Bank (ADB). Menunjukkan pendapatan anak-anak miskin
setelah dewasa, 87 persen lebih rendah dibanding mereka yang sejak
anak-anak tidak tinggal di keluarga miskin. Fakta ini cukup
mengkhawatirkan. Dalam daftar 100 negara termiskin di dunia, Indonesia
menduduki peringkat 91. Maka kita harus mencari solusinya. Adapun
definisi orang miskin, ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu garis kemiskinan
ekstrem pada USD 2,15 atau setara Rp32.757,4 (dengan acuan kurs
Rp15.236) per orang per hari pada 2017.
Standar tersebut naik dibandingkan pada 2011, yaitu sebesar
USD 1,9 atau Rp28.984,4 per orang per hari. Artinya jika dalam satu
bulan, maka sekitar Rp975.000. Dan 24 persen dari jumlah penduduk
Indonesia, penghasilannya per bulan tidak sampai Rp1 juta. Bayangkan,
jumlah penduduk Indonesia saat ini 270 juta jiwa. Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) memang membuat data yang agak berbeda.
Mereka mengatakan orang miskin adalah yang penghasilannya
Rp505.000 per bulan. Ini setengah dari angka Bank Dunia. Mereka yang
penghasilannya di bawah Rp505 ribu berjumlah 26 juta orang atau sekitar
9,5 persen dari total penduduk Indonesia. Ini diukur dari kesenjangan
daya beli.
Dilihat dari data dunia ataupun BPJS, angka ini dinilai sudah
sangat mengkhawatirkan. Menjadi PR kita semua juga. Adapun laporan
terbaru dari Oxfam berjudul ‘Reward Work, Not Wealth’ mengungkap
bagaimana ekonomi global memungkinkan kelompok elit kaya untuk
mengumpulkan kekayaan yang besar, sementara ratusan juta orang
berjuang untuk bertahan hidup dalam kemiskinan. Di sini 82 persen dari
kekayaan yang dihasilkan tahun lalu, terkumpul hanya ada pada 1 persen
orang terkaya dari populasi dunia. Sementara 3,7 miliar orang yang
merupakan bagian paling miskin di dunia tidak mengalami peningkatan
kekayaan. Laporan ini diluncurkan saat elit politik dan bisnis berkumpul
pada Forum Ekonomi Dunia Davos, Swiss. Kenapa seperti ada jebakan
kemiskinan di negara kita? Kenapa tidak terjadi lompatan yang besar
untuk keluar dari garis kemiskinan? Menurut analisis Helmy Yahya,
pendapatan rendah maka daya beli juga akan menjadi rendah. Jika daya
beli rendah, maka tabungan pun rendah. Mungkin malah tidak punya
tabungan. Bisa saja malah terlilit utang. Tabungan rendah juga yang
menjadi penghalang orang miskin untuk berusaha. Jangankan untuk
berinvestasi, untuk menabung saja tidak ada. Jangankan untuk
menabung, untuk makan sehari-hari saja mungkin tidak cukup.
Hal ini juga bisa menyebabkan rendahnya dana pendidikan,
bahkan mungkin putus sekolah. Kalaupun bersekolah, mungkin hanya
bisa belajar di sekolah yang kurang kualitasnya, infrastrukturnya kurang,
sarananya kurang bagus, tenaga pengajarnya bukan guru-guru terbaik
yang juga berpenghasilan rendah. Hal ini dapat mengakibatkan sulitnya
mendapat pekerjaan yang berpenghasilan tinggi karena pendidikan yang
rendah, pengetahuan yang rendah, serta skill yang rendah. Ini penyebab
produktivitas yang rendah karena terjebak oleh profesi pekerjaan yang
tidak menghasilkan upah-upah yang tinggi. Di sini lingkaran kemiskinan
telah menjadi jebakan kehidupan.
Selain lingkaran kemiskinan, ada beberapa penyebab dari
kesulitan ekonomi yaitu:
1) Pertama, akses perbankan, sulitnya mendapatkan pinjaman sebagai
modal usaha karena tidak adanya jaminan. Akhirnya bahkan terjebak
di pinjol (pinjaman online) yang bunganya menyengsarakan.
2) Kedua, akses ke pendidikan menjadi seadanya. Ketiga, mempengaruhi
mindset (pola pikir).
Menurut SMERU Institute, justru bantuan-bantuan yang diberikan
oleh pemerintah banyak membuat orang miskin sangat mengharapkan
bantuan. Sehingga tidak menjadikan ia untuk bekerja lebih keras atau
terpikir keluar dari garis kemiskinan. Jadi di sini orang miskin sebaiknya
harus banyak berpikir sebelum mendapat bantuan, bukan malah terlena
bahkan ketergantungan terhadap setiap bantuan yang datang dari
pemerintah.
Ada beberapa kebijakan agar bisa keluar dari lingkaran
kemiskinan. Kembali menurut Helmy Yahya, bisa dengan pendidikan
digratiskan tetapi dengan fasilitas, sarana, dan tenaga pengajar yang
profesional–sama rata. Akses kredit untuk usaha dipermudah, mungkin
tidak perlu menggunakan jaminan atau dengan bunga ringan. Kemudian,
perbanyak pelatihan gratis yang terhubung dengan dunia kerja sesuai
dengan kebutuhan pasar (tenaga kerja). Mungkin beberapa hal tersebut
bisa menjadi solusi kita bersama agar bisa keluar dari lingkaran
kemiskinan.
Tidak hanya menjadi harapan saja dan cuma menjadi renungan,
tetapi sebaiknya kita bahu-membahu untuk berpegangan tangan
membantu orang di sekitar kita yang memang membutuhkan bantuan.
Bisa apa saja, bukan tentang materi saja melainkan bisa memberikan
ilmu, informasi lowongan pekerjaan, memberikan tips atau bahkan
motivasi untuk menguatkan keinginan supaya mereka bersemangat
berjuang keluar dari lingkaran kemiskinan.
Baru-baru ini ada berita yang mengkhawatirkan datang dari
hasil penelitian yang menyatakan bahwa anak yang tumbuh dari
keluarga miskin akan tetap miskin saat mereka sudah dewasa nanti.
Penelitian yang mengungkap anak dari keluarga miskin akan
tetap miskin ini, disampaikan oleh SMERU Institute yang  merupakan
sebuah lembaga yang sudah biasa meneliti kemiskinan dan
pembangunan dari sejak tahun 19982014 yang melibatkan 22.000 orang
di seluruh Indonesia. Lebih spesifiknya menurut penelitian ini hampir
separuh (40%) anak yang tumbuh dari keluarga miskin akan
tetap miskin saat mereka dewasa nanti (Yusuf, 2022).
Penelitian tersebut juga mengatakan saat anak tumbuh dewasa
nanti, pendapatan yang diperoleh orang yang tumbuh dari
keluarga miskin 87% lebih rendah dari mereka yang tumbuh dari keluarga
mampu. Untuk soal kemiskinan yang ada di Indonesia ini adalah
fenomena yang diakibatkan dari struktur sosial, seperti keluarga, dan
lingkungan yang sudah terbentuk. Dari penelitian tersebut ditemukan
faktor penyebab kemiskinan yakni adanya circle yang berakar dari
pendidikan:
a) Pendidikan rendah
b) Produktivitas rendah
c) Tabungan rendah
d) Pendapatan rendah
e) Daya beli rendah
Dari Hasil penelitian tersebut juga mengungkap bahwa  Indonesia
berada di urutan 91 dari daftar 100 negara termiskin di dunia. Yaitu
sebanyak 67 juta warga Indonesia masuk kedalam kategori miskin. Dari
Hasil penelitian tersebut juga mengungkap bahwa  Indonesia berada di
urutan 91 dari daftar 100 negara termiskin di dunia. Yaitu sebanyak 67
juta warga Indonesia masuk kedalam kategori miskin.
Selama masa pandemi Covid-19, data BPS menunjukkan angka
kemiskinan di kota Jambi meningkat menjadi 8.27 persen.  Dari total
tersebut, setengahnya masuk dalam kategori kemiskinan yang
ekstrim. Penguasa Kota mungkin berdalih, kemiskinan meningkat karena
pandemi ? Nanti dulu, jika merujuk data tahun - tahun sebelumnya,
masalah kemiskinan di Kota Jambi sudah mengkhawatirkan. Merujuk data
BPS dari tahun ke tahun kemiskinan di Kota Jambi tidak beranjak. Mulai
tahun 2013 awal Walikota Sy Fasha memimpin kemiskinan Kota Jambi
tercatat sebesar 9, 96 %,  8,94 % (2014), lalu meningkat 9,67 % (2015),
8,87 % (2016) dan 8,84 % (2017). Data BPS ini memperlihatkan jumlah
orang miskin di Kota Jambi tidak berubah, selalu berada dikisaran 8 - 9 %.
Kondisi ini menunjukkan kita terjebak pada lingkaran kemiskinan. Padahal
dalam kurun waktu itu pertumbuhan ekonomi dan besaran APBD Kota
Jambi terus meningkat, namun belum mampu membuat angka kemiskinan
turun.
Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan
pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan
yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk
yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis
kemiskinan.  Kemiskinan sering diturunkan kepada generasi penerus
karena keluarga miskin tidak mampu membiayai pendidikan dan
kesehatan yang baik bagi anak-anak mereka. Bagi keluarga sangat
miskin, memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan yang layak
menjadi sebuah tantangan besar. Tingginya biaya transportasi, peralatan
sekolah, dan layanan kesehatan sering terlalu tinggi untuk mereka
jangkau. 
Menganalisis kemiskinan di Kota Jamb ini kita merujuk pada teori
lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Situasi
keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya modal
menyebabkan rendahnya produktivitas warga. Lingkaran kemiskinan
selalu dipicu pada rendahnya tingkat pendapatan, akibatnya tingkat
permintaan (konsumsi) menjadi rendah, sehingga pada gilirannya tingkat
tabungan dan investasi pun rendah. Tingkat investasi yang rendah akan
mengakibatkan kekurangan modal dan produktivitas rendah. Produktivitas
rendah akan mengakibatkan pendapatan rendah kembali. Kondisi ini terus
berputar secara melingkar, sehingga seseorang atau sekelompok orang
tetap hidup dalam kondisi miskin.
Tingkat kemiskinan di Kota Jambi masih tinggi. Tahun 2020 lalu
saja kemiskinan meningkat sebanyak 0,15 persen dari tahun 2019, yakni
dari  8,12 persen menjadi 8,27 persen pada 2020. Data ini menunjukkan
dari 279,86 ribu orang miskin di Provinsi Jambi, 50 ribunya ada di Kota
Jambi. Setengah dari angka ini terkategori kemiskinan ekstrem.
Sedangkan untuk pendapatan masyarakat, garis kemiskinan di Jambi
pada September 2021 tercatat sebesar Rp517.722 perkapita/ bulan
dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp391.656.
Sementara garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp126.067.
Secara rata-rata rumah tangga miskin di Jambi memiliki 4,27
orang anggota rumah tangga. Jadi besarnya garis kemiskinan per rumah
tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.210.673 per rumah
tangga miskin per bulan.  Besaran garis kemiskinan ini relatip tidak terlalu
jauh dari besaran UMK Jambi pada tahun 2021 yang sebesar menjadi Rp
2,93 juta dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 2,84 juta
pada 2020. Namun yang juga perlu diingat, besaran UMK ini tidak
mengartikan orang bebas kemiskinan. Bisa di bayangkan satu keluarga
dengan orang keluarga hidup dengan pendapatan yang rata-rata kurang
dari 3 juta perbulan, kurang dari 100 ribu perhari, atau kurang dari 25 ribu
perhari. Tingkat pendapatan yang rendah akan mempengaruhi tingkat
transaksi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara rutin
salah satunya dengan Konsumsi Rumah Tangga. 
Kemiskinan Dan Kesenjangan Pendapatan Di Indonesia

A. Permasalahan Pokok

Ketimpangan yang besar dalam distribusi pendapatan


(kesenjangan ekonomi) dan tingkat kemiskinan merupakan dua masalah
besar di banyak NB, tidak terkecuali Indonesia. Dikatakan besar, jika dua
masalah ini berlarut-larut dan dibiarkan semakin parah, pada akhirnya
akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang sangat serius.
Suatu pemerintahan bisa jatuh karena amukan rakyat miskin yang sudah
tidak tahan lagi menghadapi kemiskinannya. Bahkan kejadian tragedi Mei
1998 menjadi suatu pertanyaan (hipotesis) hingga sekarang, yaitu:
andaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia sama seperti di
Swiss, mungkinkah mahasiswa akan begitu ngotot berdemonstrasi hingga
akhirnya membuat rezim Soeharto jatuh pada bulan Mei 1998?
Di Indonesia, pada awal pemerintahan Orde Baru, para pembuat
kebijaksanaan dan perencana pembangunan ekonomi di Jakarta masih
sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya
terpusatkan hanya di Jawa, khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya
di sektor-sektor tertentu saja, yang pada akhirnya akan menghasilkan apa
yang dimaksud dengan efek-efek „cucuran/tetesan ke bawah‟. Didasarkan
pada kerangka pemikiran tersebut, pada awal periode Orde Baru hingga
akhir tahun 1970-an, strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh
pemerintahan Soeharto lebih beriorentasi kepada pertumbuhan ekonomi
yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat pembangunan
ekonomi nasional dimulai di pulau Jawa dengan alasan bahwa semua
fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan, seperti pelabuhan, jalan raya dan kereta
api, telekomunikasi, kompleks industri, gedung-gedung pemerintahan/
administrasi negara, kantor-kantor perbankan, dan infrastruktur
pendukung lainnya lebih tersedia di Jawa (khususnya Jakarta dan
sekitarnya) dibandingkan di provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Pembangunan pada saaat itu juga hanya terpusatkan di sektorsektor
tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk
menghasilkan nilai tambah bruto (NTB) yang tinggi. Mereka percaya
bahwa nantinya hasil daripada pembangunan itu akan „menetes‟ ke
sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa setelah 40 tahun sejak
Pelita I tahun 1969, ternyata efek menetes tersebut kecil (dapat dikatakan
sama sekali tidak ada), karena proses mengalir ke bawahnya sangat
lambat. Akibat dari strategi tersebut dapat dilihat: pada tahun 1980-an
hingga krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997, Indonesia memang
menikmati laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun tinggi, tetapi
tingkat kesenjangan dalam pembagian PN juga semakin besar dan jumlah
orang miskin tetap banyak, bahkan meningkat tajam sejak krisis ekonomi.
Sebenarnya, menjelang akhir tahun 1970-an, pemerintah sudah
mulai menyadari buruknya kualitas pembangunan yang dihasilkan dengan
strategi tersebut. Oleh karena itu, sejak Pelita III strategi pembangunan
mulai dirubah: tidak lagi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi,
tetapi peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi tujuan utama
daripada pembangunan. Sejak itu, perhatian mulai diberikan pada usaha
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya lewat
pengembangan industri-industri padat karya, pembangunan perdesaan,
dan modernisasi sektor pertanian. Hingga menjelang terjadinya krisis
ekonomi, sudah banyak dilaksanakan program-program pemerintah yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin dan kesenjangan
pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya di tanah air.
Program-program tersebut antara lain adalah Inpres Desa Tertinggal
(IDT), pengembangan industri kecil dan rumah tangga (khususnya di
perdesaan), transmigrasi, pelatihan/pendidikan dan masih banyak lagi.
Sayangnya, krisis ekonomi tiba-tiba muncul yang diawali oleh krisis nilai
tukar rupiah pada pertengahan kedua tahun 1997, dan sebagai salah satu
akibat langsungnya, jumlah orang miskin dan gap dalam distribusi
pendapatan di tanah air membesar; bahkan menjadi jauh lebih buruk
dibandingkan dengan kondisinya sebelum krisis.

B. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Dan Distribusi Pendapatan

Data tahun 1970-an dan 1980-an mengenai pertumbuhan


ekonomi dan distribusi pendapatan di banyak NB, terutama negara-
negara yang proses pembangunan ekonominya sangat pesat dan dengan
laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seperti Indonesia, menunjukkan
seakan-akan ada suatu korelasi positif antara laju pertumbuhan ekonomi
dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan: semakin tinggi
pertumbuhan PDB atau semakin besar pendapatan per kapita, semakin
besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya. Bahkan, studi dari
Ahuja, dkk. (1997) di negara-negara di Asia Tenggara menunjukkan
bahwa setelah sempat turun dan stabil selama 1970-an dan 1980-an pada
saat negara-negara itu mengalami laju pertumbuhan ekonomi rata-rata
per tahun tinggi, pada awal 1990-an, ketimpangan dalam distribusi
pendapatan di negara-negara tersebut mulai membesar kembali. Hal ini
tidak hanya terjadi di NB, tetapi juga di NM. Studi-studi dari Jantti (1997)
dan Mule (1998) memperlihatkan bahwa perkembangan ketimpangan
dalam pembagian PN antara kelompok kaya dengan kelompok miskin di
Sweden, Inggris, AS, dan beberapa negara lainnya di zona Euro
menunjukkan suatu tren yang meningkat selama 1970-an dan 1980-an.
Misalnya, Jantti (1997) di dalam studinya membuat suatu kesimpulan
bahwa semakin membesarnya ketimpangan dalam distribusi pendapatan
di negara-negara tersebut disebabkan oleh pergeseran-pergeseran
demografi, perubahan pasar buruh dan perubahan kebijakan-kebijakan
publik. Dalam hal perubahan pasar buruh, membesarnya kesenjangan
pendapatan dari kepala keluarga dan semakin besarnya saham
pendapatan dari istri di dalam total pendapatan keluarga merupakan dua
faktor penyebab penting.
Literatur mengenai revolusi atau perubahan kesenjangan
pendapatan pada awalnya didominasi oleh apa yang disebut hipotesa
Kuznets. Dengan memakai data lintas negara dan data deret waktu dari
sejumlah survei/observasi di setiap negara, Simon Kuznets menemukan
adanya suatu relasi antara kesenjangan pendapatan dan tingkat
pendapatan per kapita yang berbentuk U terbalik. Hasil ini
diinterpretasikan sebagai evolusi dari distribusi pendapatan dalam proses
transisi dari suatu ekonomi perdesaan ke suatu ekonomi perkotaan, atau
dari ekonomi pertanian („tradisional‟) ke ekonomi industri („modern‟): pada
awal proses pembangunan, ketimpangan pendapatan bertambah besar
sebagai akibat dari proses urbanisasi dan industrialisasi, namun setelah
itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi atau „akhir‟ dari proses
pembangunan ketimpangan menurun, yakni pada saat sektor industri di
perkotaan sudah dapat menyerap sebagian besar dari tenaga kerja yang
datang dari perdesaaan (sektor pertanian), pada saat pangsa pertanian
lebih kecil di dalam produksi dan penciptaan pendapatan.
Dari periode 1970-an hingga sekarang, sudah banyak studi
empiris yang menguji hipotesa Kuznets dengan menggunakan data
agregat dari sejumlah negara. Sebagian besar studi-studi tersebut
mendukung hipotesa Kuznets; sedangkan sebagian lainnya menolak atau
tidak menemukan adanya suatu korelasi yang kuat. Walaupun secara
umum hipotesa itu diterima, namun sebagian besar dari studi-studi
tersebut menunjukkan bahwa relasi positif antara pertumbuhan ekonomi
dan pemerataan dalam distribusi PN pada periode jangka panjang hanya
terbukti nyata untuk kelompok NM (negara-negara dengan tingkat
pendapatan yang tinggi). Namun demikian, hasil dari studi-studi tersebut
memakai pendekatan lintas negara, yakni dengan memakai data panel
internasional mengenai pertumbuhan, kemiskinan dan distribusi
pendapatan dari sejumlah besar negara pada jarak waktu tertentu.
Pendekatan ini mempunyai sejumlah kelemahan, diantaranya yaitu
pendekatan tersebut tidak memasukkan pengaruh terhadap
perkembangan distribusi pendapatan di masing-masing negara secara
individu.

C. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan

Dasar teori dari korelasi antara pertumbuhan pendapatan per


kapita dan tingkat kemiskinan tidak berbeda dengan kasus pertumbuhan
ekonomi dengan ketimpangan dalam distribusi pendapatan seperti yang
telah dibahas di atas. Mengikuti hipotesis Kuznets, pada tahap awal dari
proses pembangunan, tingkat kemiskinan cenderung meningkat, dan
pada saat mendekati tahap akhir dari pembangunan jumlah orang miskin
berangsur-angsur berkurang. Tentu, seperti telah dikatakan sebelumnya,
banyak faktor-faktor lain selain pertumbuhan pendapatan yang juga
berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di suatu wilayah/negara seperti
derajat pendidikan, tenaga kerja, dan struktur ekonomi.
Sudah cukup banyak studi empiris dengan pendekatan analisa
lintas negara yang menguji relasi antara pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan, dan hasilnya menunjukkan bahwa memang ada suatu
korelasi yang kuat antara kedua variabel ekonomi makro tersebut. Akhir-
akhir ini juga cukup banyak studi yang mencoba membuktikan adanya
pengaruh dari pertumbuhan output sektoral terhadap pengurangan jumlah
orang miskin. Dengan kata lain, kemiskinan tidak hanya berkorelasi
dengan pertumbuhan output agregat atau PDB/PN, tetapi juga dengan
pertumbuhan output di sektor-sektor ekonomi secara individu. Misalnya
studi dari Ravallion dan Datt (1996) dengan memakai data dari India
menemukan bahwa pertumbuhan output di sektor-sektor primer,
khususnya pertanian, jauh lebih efektif terhadap penurunan kemiskinan
dibandingkan sektor-sektor sekunder. Sektor-sektor terakhir ini tidak
mempunyai efek yang berarti terhadap penurunan kemiskinan di
perdesaan maupun perkotaan.
Kakwani (2001) juga melaporkan hasil yang sama dari
penelitiannya untuk kasus Filipina. Dikatakan di dalam studinya bahwa,
sementara peningkatan 1 persen output di sektor pertanian mengurangi
jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sedikit di atas 1
persen, persentase pertumbuhan yang sama dari output di sektor industri
dan di sektor jasa hanya mengakibatkan pengurangan kemiskinan antara
1/4 persen hingga 1/3 persen.
Hasil-hasil penemuan di atas dapat dikatakan bahwa sektor
pertanian sangat efektif untuk mengurangi kemiskinan di NB. Bahkan hal
ini dinyatakan dengan jelas oleh Mellor (2000) sebagai berikut: there has
been a tendency to generelize that economic growth reduces poverty
when in fact is is the direct and indirect effect of agricultural growth that
accounts for virtually all the poverty decline (halaman 3). Tetapi banyak
peneliti-peneliti lain tidak sependapat dengan pandangan tersebut.
Misalnya, Hasan dan Quibria (2002) menyatakan sebagai berikut: we shall
argue that the above results-which provide a quantitative codification of
the growth-poverty linkage-are, indeed, very contextspecific (halaman 1).
Pernyataan ini didukung oleh studi dari ADB (1997) mengenai NICs di
Asia Tenggara, seperti Korea Selatan, China-Taipei dan Singapura, yang
hasil studinya menunjukkan bahwa pertumbuhan output di sektor industri
manufaktur mempunyai dampak positif yang sangat besar terhadap
peningkatan kesempatan kerja dan penurunan kemiskinan.
Hasan dan Quibria (2002) juga melakukan studi untuk menguji
secara empiris dampak dari pola pertumbuhan output menurut sektor
terhadap penurunan kemiskinan dengan menggunakan data panel dari 45
negara di Asia Timur dan Selatan, Amerika Latin dan Karibian, dan Afrika
(Sub-Sahara). Model yang digunakan untuk mengestimasi pengaruh dari
pertumbuhan PDB terhadap tingkat kemiskinan pada prinsipnya sama
seperti persamaan.
Studi-studi empiris lainnya juga membuktikan adanya suatu relasi
negatif (trade-off) yang kuat antara laju pertumbuhan pendapatan dan
tingkat kemiskinan adalah dari Deininger dan Squire (1995, 1996). Studi
mereka ini juga memakai lintas negara sangat menarik karena tidak
menemukan suatu keterkaitan yang sistematis, walaupun relasi antara
pertumbuhan PDB dan pengurangan kemiskinan positif. Lainnya,
misalnya hasil penelitian dari Ravallion dan Chen (1997) yang
menggunakan data dari survei-survei pendapatan/pengeluaran konsumsi
RT di 67 NB dan negaranegara transisi untuk periode 1981-1994 juga
menunjukkan bahwa penurunan kemiskinan hampir selalu bersamaan
dengan peningkatan pendapatan rata-rata per kapita atau standar
kehidupan, dan sebaliknya kemiskinan bertambah dengan kontraksi
ekonomi. Hasil plot antara perubahan laju kemiskinan (dalam log) dengan
rata-rata atau nilai tengah dari pengeluaran konsumsi atau pendapatan
antarsurvei menunjukkan suatu tren yang negatif. Sedangkan hasil studi
empiris yang dilakukan oleh Mills dan Pernia (1993) dengan metode yang
sama (analisa lintas negara) menunjukkan bahwa kemiskinan di suatu
negara akan semakin rendah jika laju pertumbuhan ekonominya pada
tahun-tahun sebelumnya tinggi, dan semakin tinggi laju pertumbuhan PDB
semakin cepat turunnya tingkat kemiskinan. Juga, studi yang dilakukan
oleh Wodon (1999) dengan memakai data panel regional untuk kasus
Bangladesh menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi mengurangi
tingkat kemiskinan baik di daerah perkotaan maupun daerah perdesaan.
Jadi, dalam perdebatan akademis selama ini mengenai hubungan
antara pertumbuhan dan penurunan kemiskinan , pertanyaan pokoknya
adalah: apakah pertumbuhan ekonomi memihak kepada orang miskin.
Dalam akhir 1990-an, term „pertumbuhan yang pro kemiskinan‟ (sebut
PPG) ini menjadi terkenal saat banyak ekonom mulai menganalisis paket-
paket kebijakan yang dapat mencapai penurunan kemiskinan yang lebih
cepat lewat pertumbuhan ekonomi dan perubahan distribusi pendapatan.
PPG secara umum didefinisikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang
membuat penurunan kemiskinan secara signifikan.
Dalam usaha memberikan relevansi analisis dan operasional
terhadap konsep tersebut, di dalam literatur muncul dua pendekatan.
Pendekatan pertama memfokuskan pada keyakinan bahwa orang-orang
miskin pasti mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi
walupun tidak proporsional. Artinya, pertumbuhan ekonomi memihak
kepada orang miskin jika dibarengi dengan suatu pengurangan
kesenjangan; atau dengan kata lain, pangsa pendapatan dari kelompok
miskin meningkat bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi. Pendekatan
ini disebut juga defenisi relatif dari PPG. Walaupun secara intuisi menarik,
pendekatan atau defenisi ini terbatas, terutama saaat diterapkan di dalam
suatu konteks operasional. Dalam defenisi PPG ini, pertumbuhan bisa
mengurangi kesenjangan. Tetapi dengan memfokuskan terlalu berat pada
kesenjangan, suatu paket kebijakan bisa mengakibatkan hasil-hasil yang
suboptimal bagi kedua kelompok RT: RT miskin dan RT non-miskin; atau
laju penurunan kemiskinan bisa lebih kecil.
Pendekatan kedua fokus pada percepatan laju pertumbuhan
pendapatan dari kelompok miskin lewat pertumbuhan ekonomi yang lebih
cepat dan dengan memperbesar kesempatan-kesempatan bagi orang-
orang miskin untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan, yang hasilnya
memperbesar laju penurunan kemiskinan. Bukti empiris memberi kesan
bahwa pertumbuhan ekonomi adalah penggerak utama laju PGG, tetapi
perubahan-perubahan dalam kesenjangan bisa memperbesar atau
mengurangi laju tersebut. Jadi, mempercepat laju PPG mengharuskan
tidak hanya pertumbuhan yang lebih pesat, tetapi juga upaya-upaya untuk
memperbesar kemampuan-kemampuan dari orang-orang miskin untuk
mendapatkan keuntungan dari kesempatankesempatan yang diciptakan
oleh pertumbuhan ekonomi. Dengan penekanan pada akselerasi laju
pengurangan kemiskinan, pendekatan ini konsisten dengan komitmen
masyarakat dunia terhadap sasaran pertama dari Tujuan Pembangunan
Milenium (MDG), yakni pengurangan setengah dari proporsi dari
masyarakat di dunia yang hidup kurang dari 1 dolar AS per hari
(kemiskinan ekstrim).
Hasil-hasil dari sejumlah studi di atas mengenai hubungan antara
pertumbuhan ekonomi atau peningkatan output dan kemiskinan
menghasilkan suatu dasar kerangka pemikiran, yakni efek trickle-down
dari pertumbuhan ekonomi dalam bentuk peningkatan kesempatan kerja
atau pengurangan dan peningkatan upah/pendapatan dari kelompok
miskin.
1. Kemiskinan
Kemiskinan bukan hanya masalah Indonesia, tetapi
merupakan masalah dunia. Laporan dari tahun 2005 dari Bank Dunia
menunjukkan bahwa menjelang akhir 1990-n, ada sekitar 1,2 miliar
orang miskin dari sekitar 5 miliar lebih jumlah penduduk di dunia.
Sebagian besar dari jumlah orang miskin tersebut terdapat di Asia
Selatan (43,5 persen), yang terkonsentrasi di India, Bangladesh,
Nepal, Sri Lanka, dan Pakistan. Afrika Sub-Sahara merupakan
wilayah kedua dunia yang padat orang miskin (24,3 persen).
Kemiskinan di wilayah ini terutama disebabkan oleh iklim dan kondisi
tanah yang tidak mendukung kegiatan pertanian (kekeringan dan
gersang), pertikaian yang tidak henti-hentinya antarsuku, manajemen
ekonomi makro yang buruk dan pemerintahan yang bobrok. Wilayah
ketiga yang terdapat banyak orang miskin adalah Asia Tenggara dan
Pasifik (23,2 persen). Kemiskinan di Asia Tenggara terutama
terdapat di China, Lao PDR, Indonesia, Vietnam, Thailand, dan
Kamboja, sisanya terdapat di Amerika Latin dan negara-negara
Caribbean (6,5 persen), Eropa dan Asia Tengah (2,0 persen), dan
Timur Tengah dan Afrika Utara (0,5 persen).
Laporan Bank Dunia tersebut juga menunjukkan ada dua
wilayah yang terjadi pengurangan jumlah orang miskin, yakni Asia
Tenggara dan Pasifik dan di Timur Tengah dan Afrika Utara,
walaupun wilayah terakhir ini jumlah pengurangannya sangat kecil.
Di Asia Tenggara dan Pasifik, jumlah orang miskin yang berkurang
hampir mencapai 150 juta jiwa. Pengurangan dalam jumlah yang
cukup besar ini dapat dilihat sebagai suatu konsekuensi logis dari
proses pembangunan ekonomi yang pesat di Asia Tenggara selama
1980-an. Sedangkan di wilayah-wilayah kemiskinan lainnya tidak ada
perbaikan. Di Afrika Sub-sahara, kemiskinan bahkan bertambah
lebih dari 60 juta jiwa.
Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan selama Orde Baru (1966-1998) memberi suatu
kontribusi yang besar terhadap pengurangan kemiskinan (yang
diukur dari jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan
sebagai suatu persentase dari jumlah penduduk). Seperti yang
ditunjukkan oleh statistik resmi dari BPS pada Tabel 6.1, persentase
kemiskinan pada tingkat nasional menurun secara signifikan dari
sekitar 40 persen menjadi hampir 17,5 persen selama periode 1976-
1996, dan penurunan terbesar terjadi selama tahun 1970-an hingga
awal 1980-an dengan 13 persentase poin, sedangkan selama
periode 1981-1993, laju penurunannya hanya sekitar 16 persentase
poin. Menurut wilayah, terjadi perbedaan dalam tingkat maupun laju
penurunan kemiskinan per tahun. Seperti yang dapat dilihat, pada
tahun 1976-1996 misalnya, kemiskinan lebih banyak di daerah
perdesaan daripada di daerah perkotaan, walaupun perbedaannya
hanya sekitar sedikit di atas 1 persen poin. Namun, selama periode
1976-1996, laju penurunan kemiskinan di perdesaan lebih lambat
dibandingkan di perkotaan, yang terutama disebabkan oleh lebih
banyaknya ketersediaan kesempatan kerja yang lebih produktif
(menghasilkan pendapatan riil per pekerja yang lebih tinggi) di
perkotaan (misalnya industri manufaktur) daripada di perdesaan
yang didominasi oleh sektor pertanian.
Selain tingkat kemiskinan, ada dua hal lain yang juga harus
diperhatikan dalam membahas soal kemiskinan di Indonesia, yakni
kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan. Kedalaman
kemiskinan menunjukkan rata-rata kesenjangan pengeluaran
penduduk miskin terhadap batas miskin (garis kemiskinan yang
berlaku), sedangkan keparahan kemiskinan menunjukkan
ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling miskin, atau yang
paling jatuh di bawah garis kemiskinan yang berlaku. Semakin besar
nilai kedua indeks ini disebuah Negara mencerminkan semakin
seriusnya persoalan kemiskinan di negara tersebut.
Dari sisi lain, dapat disimpulkan bahwa kondisi kemiskinan di
desa masih lebih buruk dibandingkan di kota. Sedangkan secara
umum, penurunan dari kedua indeks tersebut di kota maupun di
desa mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk
miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan dan
ketimpangan pengeluaran penduduk miskin juga semakin
menyempit.
2. Kesenjangan
Kalau dilihat pada tingkat agregat dengan memperhatikan
perkembangan sejumlah variable-variabel ekonomi makro selama
Orde Baru hingga saat ini, misalnya laju pertumbuhan PDB rata-rata
per tahun, peningkatan PN per kapita, diverivikasi ekonomi, dan
pangsa ekspor non- migas, diakui ada keberhasilan dari
pembangunan ekonomi selama ini, walaupun sempat terganggu oleh
dua kali krisis ekonomi. Akan tetapi, keberhasilan suatu
pembangunan ekonomi tidak dapat hanya diukur dari laju
pertumbuhan output atau peningkatan pendapatan secara agregat
atau per kapita. Tetapi, bahkan lebih penting, harus dilihat juga dari
pola distribusi dari peningkatan pendapatan tersebut. Misalnya,
menjelang pertengahan 1997, beberapa saat sebelum krisis
keuangan Asia terjadi, tingkat PN per kepla di Indonesia sudah
melebihi 1000 dolar AS, dan tingkat ini jauh lebih tinggi dibandingkan
30 tahun yang lalu. Atau, sekarang ini tingkat PN per kapita sudah
jauh lebih besar dibandingkan pada era Orde Baru.
Sedangkan, sisanya (80%) hanya menikmati 10 persen dari
PN. Kenaikan PN selama masa itu hanya dinikmati oleh kelompok 10
persen tersebut, sedangkan pendapatan dari kelompok masyarakat
yang mewakili 90 persen dari jumlah penduduk tidak mengalami
perbaikan yang berarti. Oleh karena itu, pola distribusi pendapatan
sebagai suatu variabel juga harus diamati perkembangannya selama
proses pembangunan berjalan. Dengan mengikutsertakan distribusi
pendapatan dalam analisa keberhasilan pembangunan ekonomi,
maka pembangunan ekonomi di Indonesia selama itu dapat
dikatakan berhasil sepenuhnya apabila tingkat kesenjangan ekonomi
antara kelompok masyarakat miskin dengan kelompok masyarakat
kaya bias diperkecil.
Studi-studi mengenai distribusi pendapatan di Indonesia
pada umumnya menggunakan data BPS mengenai pengeluaran
konsumsi RT dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), dan
alat ukur/indikator yang umum digunakan adalah koefisien Gini yang
nilainya antara 0 (tidak ada kesenjangan) dan 1 (kesenjangan
penuh). Data pengeluaran konsumsi dipakai sebagai suatu
pendekatan (proksi) untuk mengukur distribusi pendapatan
masyarakat. Dapat diakui bahwa cara ini sebenarnya mempunyai
kelemahan yang serius: data pengeluaran konsumsi bias
memberikan informasi yang tidak tepat mengenai pendapatan, atau
tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya. Jumlah
pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan
jumlah pendapatan yang diterimanya, bias lebih besar atau lebih
kecil. Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti
pengeluaran konsumsinya juga besar, karena ada tabungan.
Sedangkan,jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti
jumlah konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai
kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi tertentu,
misalnya untuk membeli rumah dan mobil, dan untuk membiayai
sekolah anak atau bahkan untuk liburan.
Sejarah perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa
pemerintahan Orde Baru selain berhasil menekan angka kemiskinan,
juga berhasil menjaga tingkat kesenjangan dalam
distribusipendapatan untuk tidak meningkat secara berarti pada saat
ekonomi mengalami pertumbuhan pesat, yang biasanya terjadi pada
awal periode pembangunan. Selama 1965-1970, rata-rata laju
pertumbuhan PDB di Indonesia masih sangat rendah sekitar 2,7
persen, dan koefisien Gini rata- rata per tahun sebesar 0.35. Selama
1971-1980 laju pertumbuhan PDB jauh lebih besar, rata-rata 6
persen per tahun dengan koefisien Gini rata- rata per tahun sedikit di
atas 0,4. Hal ini berarti selama periode itu, pertumbuhan memang
sangat baik namun kesenjangan pendapatan yang diukur dengan
distribusi pengeluaran konsumsi semakin memburuk. Sedangkan
selama 1981-1990 pertumbuhan PDB 5,4 persen per tahun dan
koefisien Gini rata-rata per tahun sedikit diatas 0,3.
Secara teoretis, perubahan pola distribusi pendapatan di
pedesaan di Indonesia selama ini dapat disebabkan oleh faktorfaktor
berikut ini:
1) Akibat arus penduduk/tenaga kerja perdesaan ke perkotaan yang
selama Orde Baru berlangsung sangat pesat. Sesuai teori A.
Lewis (1954), perpindahan orang dari pedesaan ke perkotaan
memberi suatu dampak positif terhadap terhadap perekonomian
di pedesaan: kesempatan kerja produktif, tingkat produktivitas
dan pendapatan rata- rata masyarakat di pedesaan meningkat.
Sedangkan, ekonomi perkotaan pada suatu saat akhirnya tidak
mampu menampung suplai tenaga kerja yang meningkat terus
setiap tahunnya, yang sebagian besar adalah pendatang dari
perdesaan, yang akhirnya berakibat pada peningkatan
pengangguran, di satu pihak, dan menurutnya laju pertumbuhan
tingkat upah/gaji, di pihak lain.
2) Struktur pasar dan besarnya distorsi yang berbeda di perdesaan
dengan di perkotaan. Di pedesaan, jumlah sektor relatif lebih kecil
dibandingkan di perkotaan, dan sektor-sektor yang ada di
perdesaan lebih kecil (dilihat dari jumlah unit usaha di dalam dan
output yang dihasilkan oleh sektor) dibandingkan sektor-sektor
yang sama di perkotaan. Perbedaan ini ditambah dengan tingkat
pendapatan per kapital di pedesaan yang lebih rendah dari pada
di perkotaan membuat struktur pasar di perdesaan jauh lebih
sederhana daripada di perkotaan. Struktur pasar yang sederhana
ini membuat distorsi pasar juga relatif lebih kecil (kesempatan
berusaha bagi individu lebih besar) di perdesaan dibandingkan di
perkotaan.
3) Dampak positif dari proses pembangunan ekonomi nasional.
Dampak tersebut bisa dalam beragam bentuk, di antaranya:
(a) Semakin banyak kegiatan- kegiatan ekonomi di perdesaan di
luar sektor pertanian seperti industri manufaktur (kebanyakan
dalam skala kecil, atau industri rumah tangga, perdagangan,
perbengkelan dan jasa lainnya, dan bangunan);
(b) Tingkat produktivitas dan pendapatan riil tenaga kerja di
sektor pertanian meningkat, bukan saja akibat arus manusia
dari sektor tersebut ke sektorsektor lainnya di perkotaan
(seperti di dalam teori A. Lewis), tetapi juga akibat
penerapan/pemakaian teknologi baru dan penggunaan input-
input yang lebih baik, misalnya pupuk hasil pabrik dan
permintaan pasar domestic dan ekspor terhadap komoditas-
komoditas pertanian meningkat;
(c) Potensi SDA yang ada di perdesaan semakin baik
dimanfaatkan oleh penduduk desa (pemakaian semakin
optimal).

Selain kesenjangan pendapatan, ketimpangan ekonomi


antar wilayah, misalnya provinsi, di Indonesia juga terjadi. Proses
transisi ekonomi menuju ekonomi modern atau perkotaan yang
membuat sektor- sektor produktif semakin mendominasi ekonomi
nasional di satu sisi, dan semakin terpusatnya kegiatan-kegiatan dari
sektor-sektor tersebut di wilayah-wilayah tertentu karna kondisi dari
wilayah-wilayah itu paling menguntungkan (karena ketersediaan
infrastruktur, SDM, sumber modal, dan prasarana pendukung utama
lainnya), di sisi lain, membuat terjadinya ketimpangan ekonomi antar
wilayah/provinsi di Indonesia.
Pada saat belanda meninggalkan Indonesia, pulau Jawa
merupakan wilayah Indonesia yang paling maju dalam banyak hal,
termasuk pembangunan infrastruktur dan SDM, serta administrasi
pemerintahan. selain itu, pemerintah Indonesia juga meneruskan
tradisi kolonialisasi yang menjadikan Jakarta sebagai pusat
pemerintahan, perdagangan dan keuangan. Sejarah dunia
menunjukkan bahwa wilayah- wilayah yang menjadi pusat
peerintahan, perdagangan dan keuangan lengkap dengan segala
macam prasarana pendukungnya seperti bank, pelabuhan, jalan
raya, dan jaringan komunikasi, secara alami akan menarik kegiatan-
kegiatan ekonomi ke wilayah-wilayah tersebut. Jadi, dalam kasus
Indonesia, pulauJawa dan DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya, yakni
Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek) pada khususnya
merupakan magnet ekonomi yang keutamaannya semakin lama
semakin dahsyat bagi pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia.
Daya tarik yang semakin kuat ini juga membuat minat investasi
langsung, baik dari dalam negeri (PMDN) maupun luar negeri (PMA),
terkecuali yang sifatnya lokal spesifik seperti investasi di sektor
pertambangan. Sementara, wilayah-wilayah lain hanya berfungsi
sebagai pendukung kegiatan di Jawa atau Bodetabek terutama
dalam penyediaan bahan baku dan tenaga manusia.

D. Tujuan Pembangunan Milenium

Pada bulan September 2020, perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


mendeklarasikan apa yang disebut dengan Tujuan Pembangunan
Milenium (MDGs), yang harus dicapai 191 negara anggotanya pada tahun
2015. Ada delapan sasaran, masing-masing dengan target tertentu yang
harus dicapai, dan sasaran pertama adalah mengurangi kemiskinan dan
orangorang yang mengalami kelaparan, kedelapan sasaran tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Menurunkan kemiskinan dan kelaparan ekstrem (hingga setengahnya).
2) Mencapai pendidikan dasar untuk semua
3) Mengurangi angka kematian anak (hingga duapertiganya)
4) Memperbaiki kesehatan ibu (hingga tiga-perempatnya)
5) Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit-penyakit menular lainnya.
6) Menjamin kelestarian lingkungan hidup
7) Membentuk sebuah kerja sama global untuk pembangunan

E. Kebijakan Anti Kemiskinan

Untuk mengetahui kenapa diperlukan kebijakan anti kemiskinan


dan pemerataan distribusi pendapatan, perlu diketahui terlebih dahulu
bagaimana pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi, kebijakan
pemerintah, kelembagaan, dan penurunan kemiskinan. Bagaimana faktor-
faktor ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya, berkenaan dengan
pengurangan kemiskinan. Kebijakan mempengaruhi kemiskinan, baik
langsung maupun tidak langsung, lewat sejumlah faktor-faktor yang
memengaruhinya. Kebijakan-kebijakan langsung adalah kebijakan-
kebijakan dalam berbagai macam program yang khusus dibuat untuk
mengurangi kemiskinan, jadi sasarannya adalah penduduk miskin.
Sedangkan kebijakan-kebijakan secara langsung, yakni kebijakan-
kebijakan ekonomi yang sasarannya bukan penduduk miskin, tetapi
mempunyai pengaruh positif terhadap pengurangan kemiskinan. Misalnya,
kebijakan perdagangan yang membatasi impor suatu produk dengan
harapan industri dalam negeri yang membuat produk tersebut bisa
berkembang pesat, dan yang pada akhirnya menciptakan banyak
kesempatan kerja dan menurunkan kemiskinan, atau kebijakan moneter
yang menurunkan suku bunga dengan harapan investasi di dalam negeri
akan meningkat, yang selanjutnya menambah kesempatan kerja dan
berarti juga mengurangi jumlah orang miskin.
Tahun 1990, Bank Dunia lewat laporannya Worl Development
Report On Poverty mendeklarasikan bahwa suatu peperangan yang
berhasil melawan kemiskianan perlu dilakukan secara serentak pada tiga
front;
1) Pertumbuhan ekonomi yang luas dan padat karya yang menciptakan
kesempatan kerja dan pendapatan bagi kelompok miskin;
2) Pengembangan SDM (pendidikan, kesehhatan, dan gizi), yang
memberi mereka kemampuan yang lebih baik untuk memanfaatkan
kesemptan- kesempatan yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi;
dan
3) Membuat suatu jaringan pengaman sosial untuk mereka di antara
penduduk miskin yang sama sekali tidak mampu mendapatkan
keuntungankeuntungan dari pertumbuhan ekonomi dan kesempatan
pengembangan SDM akibat dari ketidakmampuan fisik dan mental,
bencana alam, konflik sosial, dan terisolasi secara fisik.

Pada tahun 2000, Bank Dunia muncul dengan suatu kerangka


kerja analisis yang baru untuk memerangi kemiskinan yang dibangun di
atas tiga pilar, yakni pemberdayaan, keamanan, dan kesempatan.
Pemberdayaan adalah proses peningkatan kapasitas dari penduduk
miskin untuk mempengaruhi lembaga-lembaga pemerintah yang
mempengaruhi kehidupan mereka, dengan memperkuat partisipasi
mereka di dalam proses-proses politik dan pengambilan keputusan pada
tingkat lokal. Keamanan adalah proteksi bagi orang miskin terhadap
goncangan-goncangan yang merugikan lewat menajemen yang lebih baik
dalam menangani goncangan-goncangan ekonomi makro dan juga
jaringan-jaringan pengaman yang lebih komprehensif, sedangkan
kesempatan adalah proses peningkatan akses dari kaum miskin terhadap
dua aset penting, yakni modal fisik dan modal manusia (SDM) dan
peningkatan tingkat dari pengembalian dari aset-aset tersebut.
Sedangkan strategi pengentasan kemiskinan dari ADB walaupun
secara luas sama seperti strategi dari Bank Dunia, memperhitungkan
secara eksplisit pentingnya pemerintahan, yakni
1) Pertumbuhan berkelanjutan yang pro-kemiskinan,
2) Pengembangan sosial yang terdiri dari pengembangan SDM, modal
sosial, perbaikan status dari perempuan, dan perlindungan sosial;
3) Manajemen ekonomi makro dan pemerintahan yang baik, yang
dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan dari dua pilar pertama.

Sebagai tambahan, pendekatan ADB ini juga menekankan


pentingnya pemehaman dari relasi antara kemiskinan dan lingkungan.
Dua dari isu-isu utama lingkungan adalah:
1) Pengotoran udara dan air di kotakota besar yang mempengaruhi
orang-orang miskin secara disproporsional (pernia, 1994); dan
2) Penggundulan hutan, kehabisan SDA, dan penurunan tanah yang
dapat memperdalam kemiskinan.
Untuk mendukung strategi yang tepat dalam memerangi
kemiskinan, diperlukan investasi-investasi pemerintah yang sesuai
dengan sasaran atau tujuan perantaranya dapat dibagi menurut waktu,
yakni jangka pendek, dan jangka panjang. Investasi jangka pendek adalah
terutama pembangunan sektor pertanian, usaha kecil dan ekonomi
pedesaan. Hal ini sangat penting melihat kenyataan bahwa di satu pihak,
hingga saat ini sebagian besar wilayah Indonesia masih pedesaan dan
sebagian besar penduduk bekerja atau mempunyai sumber pendapatan di
pertanian dan usaha kecil di sektor-sektor lain. Di pihak lain, terutama
pada awalnya, sumber utama kemiskinan berasal dari pedesaan. Seperti
yang dijelaskan dalam teori A. Lewis pada awalnya penduduk di pedesaan
lebih padat dari di perkotaan, yang membuat tingkat kemiskinan di
pedesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan, akibat ketimpangan ini
terjadilah migrasi dan urbanisasi, yang sebenarnya adalah perpindahan
sebagian dari kemiskinan di pedesaan ke perkotaan. Pembangunan
pertanian, usaha kecil dan ekonomi pedesaan dapat didorong melalui
pemberian kredit miksro dan fasilitas-fasilotas lainnya yang
mempermudah proses produksi, penyediaan bahan baku dan input-input
produksi lainnya dan pemasaran; dan pengembangan proyek-proyek yang
selain padat karya juga mempeunyai keterkaitan produksi ke belakang
maupun ke depan dengan sektor pertanian pada khususnya dan
perekonomian pada umunya.
Intervensi lainnya yang bisa dimasukkan dalam kategori investasi
jangka pendek adalah manejemen lingkungan dan SDA. Hal ini sangat
penting karena hancurnya lingkungan dan habisnya SDA akan dengan
sendirinya menjadi faktor pengerem proses pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga sumber peningkatan kemiskinan.
Pembangunan transportasi, komunikasi, energi dan keuangan,
peningkatan keikutsertaan masyarakat sepenuhnya dalam pembangunan,
dan proteksi sosial termasuk pembangunan sistem jaminan sosial juga
merupakan investasi jangka pendek yang sangat penting.
Sedangkan intervensi jangka menengah dan panjang yang
penting adalah sebagai berikut:
1) Pembangunan/penguatan sektor swasta
Peranan aktif sektor ini sebagai motor utama penggerak
ekonomi/sumber pertumbuhan dan penentu daya saing perekonomian
nasional harus ditingkatkan.
2) Kerja sama regional
Hal ini menjadi sangat penting dalam kasus Indonesia sehubungan
dengan pelaksanaan ekonomi daerah. Kerja sama yang baik
dalamsegala hal baik bidang ekonomi, industri dan perdagangan.
Maupun non-ekonomi seperti pembangunan sosial bisa memperkecil
kemungkinan meningkatnya gap antara provinsi-provinsi yang kaya
dan provinsi-provinsi yang tidak punya (miskin) SDA.
3) Manajemen pengeluaran pemerintah (APBN) dan administrasi
Perbaikan manajemen pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan
publik, termasuk juga sistem administrasinya sangat membantu usaha
untuk meningkatkan efektivitas biaya dari pengeluaran pemerintah
untuk membiayai penyediaan/ pembangunan/penyempiurnaan
fasilitas- fasilitas umum seperti pendidikan, kesehtan, olah raga dan
lain-lain.
4) Desentralisasi
Tidak hanya desentralisasi fiskal, tetapi juga dalam penentuan
strategi/kebijaksanaan pembangunan ekonomi dan sosial di daerah
sangat membantu usaha pengurangan kemiskinan di dalam begeri,
karena hal ini memberi suatu kesempatan besar bagi masyarakat
daerah untuk aktif berperan dan dapat menentukan sendiri stratrgi atau
pola perkembangan ekonomi dan sosial di daerah sesuai faktor-faktor
keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki masing-masing
daerah.
5) Pendidikan dan kesehatan
Tidak diragukan lagi pendidikan dan kesehatan yang baik bagi semua
anggota masyarakat di suatu negara merupakan pra-kondisi bagi
keberhasilan dari kebijakan anti-kemiskinan dari pemerintah negara
tersebut. Oleh karena itu, penyediaan pendidikan terutama dasar dan
pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab mudah dari pemerintah,
dimanapun juga, baik di negara-negara maju maupun NSB. Pihak
swasta bisa membantu dalam penyediaan tersebut, tetapi tidak
mengambil alig peranan pemerintah tersebut.
6) Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
Semua seperti penyediaan pendidikan dasar dan kesehatan,
penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan, terutama
pembangunan fasilitas-fasilitas umum/utama seperti pemukiman dan
perumahan bagi kelompok masyarakat miskin, fasilitas transportasi,
sekolah, kompleks olahraga, dan infrastruktur fisik seperti jalan raya,
waduk, listrik dan sebagainya, merupakan investasi yang efektif untuk
mengurangi tingkat kemiskinan terutama di perkotaan.
7) Pembagian tanah pertanian yang merata
Pembagian tanah yang merata atau dikenal dengan land reform,
terutama sangat krusial di NB karena sebagai suatu sumber penting
bagi kehidupan di pedesaan. Lagi pula, banyak studi telah
membuktikan bahwa pemilikpemilik kecil lebih efisien dalam
menggunakan tanah di bandingkan pemilik-pemilik besar, dan sistem
bagi hasil, seperti yang di praktikan secara luas di Indonesia, kurang
efisien di bandingkan pengelolaan oleh pemilik sendiri.

Sejak pemerintah Orde Baru hingga sekarang ini, sudah banyak


upaya/intervensi pemerintah untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia.
selama pemerintah SBY, ada 12 program utama pengurangan
kemiskinan, yakni sebagai berikut:
1) Bantuan langsung tunai (BLT),
2) Beras untuk rakyat miskin (raskin),
3) Bantuan untuk sekolah/pendidikan,
4) Bantuan kesehatan gratis,
5) Pembangunan perumahan rakyat,
6) Pemberian kredit mikro,
7) Bantuan untuk petani dan peningkatan produksi pangan,
8) Bantuan untuk nelayan dan program sektor perikanan,
9) Peningkatan kesejahteraan pegawai negeri sipil (PNS) termasuk
prajurit (TNI) dan polisi (Polri),
10)Peningkatan kesejahteraan buruh,
11)Bantuan untuk penyandang cacat (jaminan sosial), dan
12)Pelayanan publik cepat dan murah.

Untuk menjalankan semua program ini, pemerintah sudah banyak


mengeluarkan dana setiap tahunnya, yang pada tahun 2009, berdasarkan
data dari menteri keuangan (Menkeu) mencapai 71 Triliun rupiah dan
menurut rencana anggaran pendapatan dan belanja negara tahun
(RAPBN) 2010 mencapai hampir 65 triliun rupiah. Sedangkan
berdasarkan informasi dari Menteri Koordinasi Kesejahteraan Sosial
( Menkokersa ) dan BPS, pada tahun tersebut jumlah anggaran untuk
menanggulangi kemiskinan tercatat sebanyak 94 triliun rupiah.
Kombinasi (plot) antara jumlah pengeluaran pemerintah untuk
membiayai program-program penanggulangan kemiskinan memberi suatu
kesan bahwa program-program anti kemiskinan di dalam negeri.Namun
demikian, anggapan seperti ini perlu di tanggapi dengan kritis, karena
sebagian besar dari 12 program tersebut sebenarnya bukan untuk
mengurangi jumlah orang miskin melainkan untuk mengurangi beban
orang miskin. Misalnya pembangunan perumahan rakyat atau raskin tidak
mengurangi jumlah orang miskin. Pembagian BLT secara teori bisa
mengurangi jumlah orang miskin apabila bantuan itu di gunakan untuk
tujuan produktif, misalnya menambah modal usaha atau di tabung dan
setelah cukup banyak digunakan untuk buka usaha kecil, misalnya buka
warung. Demikian juga bantuan sekolah unttuk jangka pendek, hanya
mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin untuk pendidikan anak,
tetapi dalam jangka panjang bisa mengurangi jumlah orang miskin setelah
anak-anak yang dapat bantuan tersebut selesai sekolah dan bekerja di
sektor-sektor produktif.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kebijakan-
kebijakan mengurangi kemiskinan sudah cukup?, Jawabannya yaitu sama
sekali tidak cukup, karena adanya pembenahan kelembagaan. Dengan
kata lain, kebijakankebijkaan khusus untuk mengurangi kemiskinan akan
efektif apabila kelelbagaan ditata dengan baik. Yang dimaksud dengan
kelembagaan di sini adalah sebagai regulasi perilaku atau aturan main
yang diterima secara umum oleh semua anggota masyarakat, termasuk
pelaku ekonomi. Sama seperti perilaku setiap anggota masyarakat di
dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan pada norma-norma tertentu
yang diterima oleh semua anggota masyarakat yang membedakan antara
baik dan buruk. Kegunaan kelembagaan yang baik di dalam
perekonomian Indonesia, termasuk untuk memerangi kemiskinan adalah
penciptaan hambatan bagi pelaku ekonomi untuk bermain curang/tidak
adil.
Pentingnya kelembagaan yang baik untuk bisa memerangi
kemiskinan dapat dikutip dari pernyataan Yustika (2009) sebagai berikut,
……fenomena kemiskinan bisa dilokalisir menjadi persoalan
kelembagaan. Pertama, ternyata tidak ada keselarasan kekuatan antar
pelaku ekonomi……..Kedua, ketidaksejajaran kemmapuan untuk
melakukan “ manipulasi” terhadap kebijakan publik…..Ketiga, interaksi
yang asimetris antara principal dan agent untuk membuat kesempatan
ikatan kerja….Keempat, ketimpangan kekuatan dalam mendesakkan dan
memengaruhi kebijakan publik. Untuk kasus pertama tersebut, Yustika
memberi contoh misalnya relasi antara petani, peminjam modal atau yang
dikenal di pedesaan dengan sebutan tengkulak, dan pemilik took.
Di dalam hubungan bisnis ini, petani sellau menjadi pihak yang
dirugikan karena mendapat harga paling murah, sedangkan pemberi
modal dan pemilik toko adalah pihak yang selalu diuntungkan. Untuk
kasus kedua dan keempat tersebut, Yustika memberi contoh pengusaha-
pengusaha besar yang bisa mempengaruhi pengambil-pengambil
kebijakan sedangkan pengusaha kecil sama sekali tidak memiliki
kekuatan untuk bisa mempengaruhi proses pengambilan kebijakan-
kebijakan ekonomi. Untuk kasus ketiga tersebut, contoh konkrit yang
diberikan oleh Yustika adalah hubungan antara pengusaha dan buruh
yang dikneal dengan sebutan hubungan industrial, dimana buruh selalu
menjadi pihak yang tertekan. Dalam undang-undang ketenagakerjaan
yang berlaku saat ini di Indonesia, pengusaha semakin bebas dari
kewajiban memberikan pekerjaan tetap bagi karyawannya.
Menurut Sayogyo, tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah
pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram
konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan
perkotaan (Namaha, 2019).
1) Daerah pedesaan:
(a) Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 320 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
(b) Miskin sekali, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 240 kg
nilai tukar beras per orang per tahun.
(c) Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 180
kg nilai tukar beras per orang per tahun.
2) Daerah perkotaan:
(a) Miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 480 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
(b) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 380 kg
nilai tukar beras per orang per tahun.
(c) Paling miskin, bila pengeluaran keluarga lebih kecil daripada 270
kg nilai tukar beras per orang per tahun.

Bank Dunia mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dari


perspektif akses dari individu terhadap sejumlah aset yang penting dalam
menunjang kehidupan, yakni aset dasar kehidupan (misalnya kesehatan
dan ketrampilan/pengetahuan), aset alam (misalnya tanah pertanian atau
lahan olahan), aset fisik (misalnya modal, sarana produksi dan
infrastruktur), aset keuangan (misalnya kredit bank dan pinjaman lainnya)
dan aset sosial (jaminan sosial dan hakhak politik). Ketiadaan akses dari
satu atau lebih dari aset-aset diatas adalah penyebab seseorang jatuh
terjerembab kedalam kemiskinan.  Menurut Samuelson dan Nordhous
bahwa penyebab dan terjadinya penduduk miskin dinegara yang
berpenghasilan rendah adalah karena dua hal pokok yaitu rendahnya
tingkat kesehatan dan gizi, dan lambatnya perbaikan mutu pendidikan.
Menurut Nasikun dalam Chriswardani Suryawati, beberapa sumber dan
proses penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu:
1) Policy Induces Process Policy induces process yaitu proses
pemiskinan yang dilestari kan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu
kebijakan, diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi
relitanya justru melestarikan.
2) Socio-Economic Dualism Socio-Economic Dualism, negara bekas
koloni mengalami kemiskinan karena poal produksi kolonial, yaitu
petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani
sekala besar dan berorientasi ekspor.
3) Population Growth Population growth adalah prespektif yang didasari
oleh teori Malthus , bahwa pertambahan penduduk yang cepat yang
jauh melebihi oeningkatan produktifitas pangan.
4) Resources Management and The Environment, Resources
management and the environment adalah unsur mismanagement
sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang
asal tebang akan menurunkan produktivitas.
5) Natural Cycle and Processes Natural cycle and process adalah
kemiskinan terjadi karena siklus alam. Misalnya tinggal dilahan kritis,
dimana lahan itu jika turun hujan akan terjadi banjir, akan tetapi jika
musim kemarau kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan
produktivitas yang maksimal dan terus-menerus.
6) The Marginalization Of Woman The marginalization of woman ialah
peminggiran kaum perempuan karena masih dianggap sebagai
golongan kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja
yang lebih rendah dari laki-laki.
7) Cultural and Ethnic Factors Cultural and ethnic factors, bekerjanya
faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya pada
pola konsumtif pda petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat
istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan.
8) Exploatif Intermediation, Exploatif intermediation, keberadaan
penolong yang menjadi penodong, seperti rentenir.
9) Internal Political Fragmentation and Civil Stratfe Internal political
fragmentation and civil stratfe ialah suatu kebijakan yang diterapkan
pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi
penyebab kemiskinan.
10)International process International process, bekerjanya sistem
internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara
menjadi miskin.
DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. (2018). Menteri Bambang Brodjonegoro: PDB Indonesia


Terbesar Kelima Dunia di Tahun 2045.
https://bappenas.go.id/id/berita/menteri-bambang-brodjonegoro-
pdb-indonesia-terbesar-kelima-dunia-di-tahun-2045. di akses pada
tanggal 4 Mei 2023.

Diningrat, R. A. (2019). Mengapa Anak dari Keluarga Miskin Cenderung


akan Tetap Miskin Ketika Dewasa: Penjelasan Temuan Riset
SMERU. https://smeru.or.id/id/article-id/mengapa-anak-dari-
keluarga-miskin-cenderung-akan-tetap-miskin-ketika-dewasa-
penjelasan. di akses 4 Mei 2023.

Namaha. (2019). Ukuran Kemiskinan dan Penyebab Kemiskinan.


https://konsultasiskripsi.com/tag/ketahanan/. di akses tanggal 5
Mei 2023.

Nurmillah, A. (2021). Indonesia Maju 2045: Kenyataan atau Fatamorgana.


https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13781/Indonesia-
Maju-2045-Kenyataan-atau-Fatamorgana.html. di akses pada
tanggal 4 Mei 2023.

Paolo, A. W. (2022). Menjadi Lima Terbaik Dunia Pada 2045.


https://indonesiabaik.id/infografis/menjadi-lima-terbaik-dunia-pada-
2045. di akses pada tanggal 4 Mei 2023.

Pratiwi, R. E. (2023). Lingkaran Setan Kemiskinan.


https://radarbanjarmasin.jawapos.com/opini/17/01/2023/lingkaran-
setan-kemiskinan/. di akses pada tanggal 4 Mei 2023.

Sri Kusumastuti Rahayu, d. (2019). Keluar dari Kemiskinan: Pengalaman


Individu dan Komunitas. https://smeru.or.id/id/publication-id/keluar-
dari-kemiskinan-pengalaman-individu-dan-komunitas. di akses
pada tanggal 4 Mei 2023.

Sugiarto, E. C. (2019). Transformasi Ekonomi Menuju Indonesia Maju.


https://www.setneg.go.id/baca/index/transformasi_ekonomi_menuj
u_indonesia_maju. di akses pada tanggal 4 Mei 2023.

Sugiarto, E. C. (2021). Presidensi G20 Pemulihan Ekonomi dan Indonesia


Maju.
https://www.setneg.go.id/baca/index/presidensi_g20_pemulihan_e
konomi_dan_indonesia_maju. di akses pada tanggal 4 Mei 2023.

Yusuf, D. (2022). Menurut Penelitian SMERU Institute: Anak dari Keluarga


Miskin Akan Tetap Miskin Ketika Dewasa.
https://www.bonsernews.com/news/pr-4795314769/menurut-
penelitian-smeru-institute-anak-dari-keluarga-miskin-akan-tetap-
miskin-ketika-dewasa. di akses 4 Mei 2023.

Anda mungkin juga menyukai