Anda di halaman 1dari 15

REVITALISASI BERPIKIR KRITIS DALAM PENDIDIKAN PASCA

PANDEMI COVID-19 UNTUK MEMPERSIAPKAN


GENERASI EMAS 2045: SEBUAH PENINJAUAN KEMBALI

Abdul Basith
Universitas KH. Abdul Wahab Hasbulloh Jombang
Tim Ahli di Indonesia Genetic and Biodiversity Community (IGBC)
ORCID ID: 0000-0002-1091-3351, Scopus Author ID: 57204554477
Surel: golden_bee46@yahoo.com

Abstract
In the year 2045, Indonesia is poised to experience a demographic bonus, with
approximately 70% of its population falling within the productive age group of
15-64 years, while the remaining 30% constitutes non-productive age groups.
However, if this demographic bonus is not harnessed effectively, it could lead to
social repercussions such as poverty, deteriorating health, unemployment, and
heightened crime rates. Consequently, Indonesia cannot afford to overlook these
challenges. To realize its vision of becoming the golden generation of 2045,
concerted efforts are required to cultivate a generation characterized by
intelligence, innovation, social harmony, good health, and superior civilization
right from an early age. One key component in achieving this vision through
education is the empowerment of critical thinking skills in a deliberate,
evaluative, collaborative, and sustainable manner. This paper revisits the
significance of empowering critical thinking skills in the realm of education. The
discussion also encompasses the growth of open science, which requires citizen
scientists capable of critical thinking and the development of a professional
learning community (PLC) to produce educators capable of teaching critical
thinking continuously.

Keywords: demographic bonus, golden generation 2045, critical thinking


skills, social challenges, empowerment of future generations

PENDAHULUAN
Tahun 2045 dianggap sebagai tonggak sejarah bagi Indonesia, karena pada saat itu
negara ini akan merayakan 100 tahun kemerdekaannya. Pada periode ini, diprediksi bahwa
Indonesia akan mengalami bonus demografi yang signifikan, dengan sekitar 70% dari populasi
berada dalam kelompok usia produktif, yaitu usia 15 hingga 64 tahun. Potensi bonus demografi
ini dapat memberikan kontribusi penting dalam pembangunan negara jika dikelola dengan
optimal. Namun, harus diingat bahwa jika bonus demografi ini tidak dimanfaatkan secara
efektif maka dapat memunculkan dampak negatif, seperti peningkatan kemiskinan, tingkat
kriminalitas yang lebih tinggi, pengangguran, dan masalah kesehatan yang serius di
masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk merencanakan strategi yang tepat dalam rangka
memaksimalkan potensi bonus demografi ini.

Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional bertema “Inovasi Pendidikan Berkarakter Menciptakan
Generasi Emas 2045” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Biologi Universitas PGRI
Silampari pada tanggal 27 September 2023.
Salah satu strategi terbaik dalam memaksimalkan potensi bonus demografi ini adalah
dengan mengoptimalkan pengembangan kemampuan berpikir kritis baik di lingkungan formal
(sekolah) maupun di lingkungan non formal (di luar sekolah). Makalah ini ditulis untuk
memaknai kembali tentang pentingnya variabel kemampuan berpikir kritis pada peserta didik,
baik di tingkat sekolah maupun di tingkat perguruan tinggi, melalui model-model dan strategi-
strategi pembelajaran yang terbukti secara empiris mampu mengembangkan variabel
tersebut, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu sesuai dengan situasi dan
kondisi sekolah atau ruang kelas masing-masing setelah pandemi COVID-19. Selain itu,
makalah ini menekankan bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan variabel penting yang
tidak akan pernah usang (atau bertahan sepanjang masa) untuk dibahas dalam program studi-
program studi kependidikan dalam bentuk perkuliahan dan/atau penelitian tugas akhir
(misalnya skripsi, tesis, dan disertasi) termasuk penerapannya di ruang-ruang kelas oleh para
pendidik atau guru.

PEMBAHASAN
A. Berpikir Kritis Merupakan Bagian Utama Pembangun Generasi Emas 2045
Konsep Generasi Emas Indonesia 2045 merujuk pada upaya membangun generasi
unggul dalam rentang waktu seratus tahun sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945
hingga 2045. Generasi ini memainkan peran yang sangat penting dalam mewujudkan
kehidupan ideal bagi masyarakat Indonesia di berbagai aspek kehidupan negara dan bangsa.
Namun, tantangan besar akan dihadapi oleh Generasi Emas Indonesia 2045. Sebagai contoh,
Maftuh (2008) menyoroti dampak budaya asing terhadap masyarakat Indonesia dalam
konteks globalisasi, yang menjadi salah satu fokus utama dalam mencapai visi Generasi Emas
Indonesia pada tahun 2045. Oleh karena itu, menjadi tugas bersama untuk mengatasi kendala
ini dan mewujudkan Generasi Emas Indonesia pada tahun 2045.
Telah ada studi yang mengeksplorasi Generasi Emas Indonesia, yang berfokus pada
meningkatkan kesadaran Generasi Emas Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0
melalui inovasi platform digital www.indonesia2045.org. Studi tersebut menunjukkan bahwa
Revolusi Industri 4.0 memberikan peluang dan tantangan bagi Generasi Emas Indonesia dalam
merealisasikan visi Indonesia pada tahun 2045 (Hasudungan & Kurniawan, 2018). Selain itu,
Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat di
dunia. Era Revolusi Industri 4.0, yang ditandai dengan ekonomi digital akan sangat
dipengaruhi oleh kesiapan Generasi Emas Indonesia 2045. Untuk mencapai kesiapan ini,
diperlukan kebijakan yang konkrit dan relevan. Studi mengenai Generasi Emas 2045 di
Indonesia menunjukkan pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan dalam mempersiapkan
generasi ini menghadapi tantangan global seperti intoleransi dan ideologi. Generasi Emas 2045

2
disebut sebagai harapan masa depan Indonesia yang harus memiliki karakter holistik dan
berlandaskan Pancasila (Abi, 2017; Irfani dkk., 2021). Selanjutnya, Sunjaya dan Ardiansyah
(2021) menyoroti perlunya menghadapi penyakit menular dan dampak gaya hidup, serta
meningkatkan sistem kesehatan Indonesia agar menjadi tangguh, adil, dan adaptif untuk
mencapai Indonesia Emas 2045. Ini juga mencakup upaya memberikan layanan kesehatan
yang komprehensif kepada semua warga, tanpa memandang status sosial.
Apakah hubungan antara berpikir kritis dan upaya menyambut Generasi Emas 2045?
Pertanyaan tersebut setidaknya akan terjawab dalam rangkaian penjelasan berikut ini. Definisi
berpikir kritis menurut Heard dkk. (2020) adalah melakukan analisis dan evaluasi terhadap
informasi, penalaran, dan situasi sesuai dengan standar yang tepat, dengan tujuan untuk
membentuk pengetahuan, pemahaman, hipotesis, dan keyakinan baru yang kokoh dan
mendalam. Berpikir kritis mencakup kemampuan seseorang untuk memproses dan
mensintesis informasi dengan cara yang memungkinkan mereka mengaplikasikannya secara
bijak dalam tugas-tugas untuk pengambilan keputusan yang berdasar informasi dan
pemecahan masalah yang efektif (Gambar 1).

Gambar 1. Kerangka kerja pengembangan berpikir kritis (Heard dkk., 2020)

3
Duron dkk. (2006) atas dasar Hatcher dan Spencer (2005) menekankan bahwa
kemampuan berpikir kritis memiliki signifikansi yang besar, terutama dalam konteks
pekerjaan. Ini adalah kemampuan yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi tantangan mental
dan spiritual, serta digunakan untuk mengevaluasi individu, kebijakan, lembaga, dan bahkan
untuk mencegah masalah sosial. Selanjutnya, Bart (2010) juga menggarisbawahi pentingnya
berpikir kritis dengan alasan berikut: 1) kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu
kompetensi yang sangat relevan dalam era abad ke 21, 2) berpikir kritis merupakan tujuan
utama dalam pendidikan, dan 3) berpikir kritis adalah hasil inti yang diinginkan dari proses
pembelajaran dalam era abad ke 21. Berdasarkan pada rangkaian penjelasan tersebut maka
kemampuan berpikir kritis―bersama dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi
lainnya―dapat dikategorikan sebagai salah satu ciri utama yang harus dimiliki oleh generasi
emas 2045, atau dengan kata lain sebagai kecakapan hidup di abad ke 21 yang dibutuhkan oleh
peserta didik.

B. Kemampuan Berpikir Kritis di Era Pasca Pandemi COVID-19: Perubahan Dramatis


Proses Pembelajaran di Sekolah
Perkembangan sains dan teknologi di era Revolusi Industri 4.0 telah mengubah
berbagai aspek kehidupan, terutama pola pendidikan, interaksi sosial, dan budaya dalam
masyarakat untuk menuju masyarakat 5.0. Situasi ini mendorong lembaga pendidikan tinggi
sebagai salah satu elemen pendidikan untuk merespons melalui transformasi pendidikan
menuju generasi unggul yang memiliki daya saing global namun tetap memiliki karakter yang
berakar pada budaya bangsa yang mulia (Listianingsih dkk., 2021). Terutama ketika
menghadapi dampak pandemi COVID-19, pendidikan pasca pandemi perlu menjadi perhatian
utama dalam memastikan bahwa transformasi pendidikan mencakup kesiapan menghadapi
tantangan dan perubahan dalam dunia pendidikan, termasuk pembelajaran jarak jauh dan
adaptasi terhadap teknologi digital sebagai bagian integral dari proses pembelajaran. Dengan
demikian, pendidikan pasca COVID-19 harus menjadi bagian dari strategi pendidikan yang
berfokus pada pembentukan generasi masa depan yang tangguh, kompeten secara global,
namun tetap menghormati dan melestarikan nilai-nilai budaya dan identitas nasional.
Berbagai faktor mempengaruhi kecenderungan dan perilaku belajar peserta didik
selama pandemi COVID-19 dan setelahnya. Berdasarkan hasil penelitian Sharma dan Alvi
(2021) dan Lee dan Jung (2021) minat peserta didik terhadap pembelajaran yang sepenuhnya
daring lebih rendah dibandingkan dengan pembelajaran luring atau tatap muka maupun
pembelajaran bauran (blended learning). Hal ini mengindikasikan bahwa peran pendidik atau
guru betul-betul dibutuhkan secara luring. Kepekaan dalam memilih strategi yang tepat,
walaupun pembelajaran berlangsung secara daring, khususnya ketika pandemi COVID-19

4
masih berlangsung juga merupakan tugas berat yang harus diemban oleh pendidik atau guru.
Namun, memberdayakan kemampuan berpikir kritis dalam situasi yang seperti demikian itu
bukanlah hal yang mustahil walaupun banyak keterbatasan. Sabur dkk. (2021) telah
melaporkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) dalam
pembelajaran yang sepenuhnya daring dalam konteks situasi pandemi COVID-19 telah
berhasil meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada peserta didik. Sejalan dengan hasil
penelitian tersebut, Zulhafizh dan Permatasari (2020) melaporkan bahwa peserta didik yang
mampu berpikir kritis dan kreatif dapat meningkatkan dan mempertahankan kualitas
pembelajarannya sendiri dalam konteks situasi pandemi COVID-19.

C. Karakter, Resiliensi, dan Kemampuan berpikir kritis: Sebuah Interkorelasi


Corebima (2016) menyatakan bahwa pembelajaran Biologi di Indonesia bukan untuk
hidup. Penjelasan tersebut didasari atas banyak pendidik atau guru yang menggunakan
“unnamed learning” atau “anonymous learning” dalam mengajar. Umumnya, di dalam
“unnamed learning”, pendidik hanya berceramah dan tidak menggunakan model-model atau
strategi-strategi pembelajaran yang runtut dan terukur. Pendekatan pembelajaran "unnamed
learning" ini sebaiknya tidak dipertahankan atau dihapuskan karena memiliki tingkat
akuntabilitas yang rendah dan memiliki potensi yang sangat terbatas dalam mengembangkan
keterampilan yang dibutuhkan di abad ke 21, termasuk kemampuan berpikir kritis.
Sebaliknya, disarankan untuk mengadopsi model-model atau strategi-strategi pembelajaran
inovatif yang memiliki potensi yang lebih besar dalam mengembangkan kemampuan-
kemampuan yang relevan dengan tuntutan zaman.
Berdasarkan pada penjelasan Corebima (2016), dapat diduga bahwa tidak banyak
pendidik atau guru yang membelajarkan atau melatihkan kemampuan berpikir kritis secara
terencana, terukur, terkolaborasi, dan berkelanjutan. Padahal para pendidik atau guru pada
umumnya telah cukup lama memahami bahwa kemampuan berpikir kritis―dan kemampuan
berpikir tingkat tinggi lainnya―merupakan kemampuan yang dibutuhkan peserta didik dalam
menjalani kehidupan sesuai dengan zamannya, baik dalam situasi normal maupun situasi tidak
normal, misalnya dalam situasi bencana global pandemi COVID-19.
Penjelasan Corebima (2016) tersebut mungkin lebih mudah dipahami relevansinya
melalui penjelasan berikut ini. Penelitian Adhawiyah dkk. (2021) telah menemukan bahwa
peserta didik di Indonesia telah mengalami penurunan semangat belajar setelah munculnya
pandemi COVID-19. Penurunan semangat belajar peserta didik ini telah menyebabkan banyak
permasalahan dalam belajar, seperti menjadi malas, menunda pekerjaan, meremehkan tugas,
dan banyak permasalahan lainnya. Lantas apakah ada keterkaitannya dengan membelajarkan

5
kemampuan berpikir kritis? Tentu ada, telah lama diketahui pula bahwa kemampuan berpikir
kritis berkaitan dengan karakter dan resiliensi (daya tahan) mental seseorang.
Karakter merupakan pondasi penting dalam kehidupan sosial dan memiliki peran
kunci dalam dunia pendidikan (Pala, 2011. Karakter juga berperan dalam membentuk
kemampuan akademik peserta didik (Visser dkk., 2018; Jamaluddin dkk., 2021). Akib (2016)
menjelaskan bahwa modernisasi dan pandemi telah menjadi faktor yang berdampak negatif
pada karakter peserta didik, sehingga berpotensi mempengaruhi masa depan Indonesia.
Selanjutnya tentang resiliensi (daya tahan) mental. Resiliensi (daya tahan) mental adalah
kemampuan seseorang untuk bangkit kembali dari situasi yang sulit, suram, atau buruk.
Pernyataan ini sejalan dengan penelitian yang menyatakan bahwa resiliensi (daya tahan)
adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi dengan peristiwa atau masalah yang
terjadi dalam kehidupan seseorang. Newman dan Dantzler (2015) mengemukakan bahwa
resiliensi (daya tahan) memiliki korelasi positif dengan rasa percaya diri. Rasa percaya diri
yang cukup dapat memberikan nilai positif dalam pembentukan resiliensi (daya tahan) peserta
didik, dan juga sebaliknya.
Jamaluddin dkk. (2023) pada telah membuktikan bahwa terdapat korelasi positif
antara karakter peserta didik, daya tahan, dan kemampuan berpikir kritis. Dalam konteks ini,
"korelasi positif" mengacu pada hubungan dimana ketika satu faktor (misalnya karakter
peserta didik) meningkat, maka faktor-faktor lainnya (daya tahan dan berpikir kritis) juga
cenderung meningkat. Sebaliknya, jika salah satu faktor mengalami penurunan, maka faktor-
faktor lainnya cenderung juga mengalami penurunan. Dengan kata lain, karakter yang kuat
dapat berdampak positif pada daya tahan peserta didik dan kemampuan mereka dalam
berpikir kritis, dan sebaliknya, peningkatan dalam daya tahan dan berpikir kritis juga dapat
mempengaruhi perkembangan karakter peserta didik secara positif. Penelitian tersebut telah
dilakukan pada konteks mahasiswa program Sarjana Biologi.
Ada berbagai sudut pandang dalam menilai kemampuan berpikir kritis, salah satunya
adalah disposisi berpikir kritis. Berdasarkan berbagai sumber, Emiliannur dkk. (2023)
menjelaskan bahwa disposisi berpikir kritis dapat didefinisikan sebagai kecenderungan untuk
melakukan sesuatu dalam kondisi tertentu. Hal ini mencakup kecenderungan terhadap pola
perilaku intelektual tertentu. Disposisi berpikir kritis dijelaskan sebagai motivasi internal
seseorang untuk berpikir secara kritis ketika menghadapi dan menyelesaikan masalah,
mengevaluasi ide, atau membuat keputusan. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa
disposisi atau kecenderungan harus muncul terlebih dahulu sebelum seseorang menggunakan
kemampuan berpikir kritis. Ini menekankan pentingnya motivasi internal dalam
memunculkan kemampuan berpikir kritis. Hasil penelitian oleh Sk & Halder (2021)
mengungkapkan bahwa ada korelasi positif antara disposisi berpikir kritis, resiliensi (daya

6
tahan) mental, dan kecerdasan emosional (Gambar 2). Sebagai tambahan, Danil dkk. (2023)
telah mengungkap hubungan antara kemampuan berpikir kritis dengan retensi (daya ingat)
peserta didik tingkat SMA pada pembelajaran Biologi.

Gambar 2. Diagram yang menunjukkan ringkasan korelasi positif antara disposisi berpikir
kritis, kecerdasan emosional, dan resiliensi (daya tahan) mental (Sk & Halder,
2021)

D. Kemampuan Berpikir Kritis dalam meningkatkan kualitas Sains Warga (Citizen


Science) untuk Mendukung Eksplorasi Keilmuan di Indonesia
Pada bagian ini, kemampuan berpikir kritis akan ditinjau dari sudut pandang sikap.
Atabaki dkk. (2015) memaparkan bahwa dalam konteks berpikir kritis, sikap-sikap (attitudes)
yang ditunjukkan oleh seseorang yang berpikir kritis adalah elemen penting yang mencakup
berbagai aspek. Pertama adalah kemampuan untuk mencari fakta (searching the fact), yang
mencerminkan minat untuk mendapatkan informasi yang tepat dan keberanian untuk
mengajukan pertanyaan yang relevan. Kedua adalah kesadaran untuk berpikiran terbuka
(open minds), yang artinya bersedia menerima pandangan yang berbeda dan menghormati
sudut pandang orang lain tanpa prasangka. Ketiga adalah kemampuan integrasi (integration),
yang mencakup upaya untuk menjaga keteraturan dalam tindakan dan pengetahuan, termasuk
kebiasaan bertanya dan ketekunan dalam mencari informasi. Keempat adalah kepercayaan
diri (self confidence) yaitu menunjukkan keyakinan pada kemampuan diri untuk mengatasi
masalah dan membuat penilaian yang tepat. Kelima adalah rasa ingin tahu (curiosity)
mencerminkan minat dalam pembelajaran dan eksplorasi pengetahuan baru. Kematangan
kognitif (cognitive maturity) yang menekankan pentingnya berpikir secara hati-hati dan
mengambil keputusan berdasarkan standar yang jelas, termasuk pemikiran logis dalam
mengevaluasi informasi. Terakhir, mentalitas skeptis (doubtfull mentality) mengajak individu
untuk selalu berpikir kritis terhadap informasi dan klaim, serta tidak dengan mudah menerima

7
sesuatu sebagai kebenaran mutlak tanpa bukti yang memadai. Semua elemen ini saling
melengkapi untuk memperkaya kemampuan seseorang dalam berpikir kritis dan membuat
keputusan yang tervalidasi. Dalam pengembangan kemampuan berpikir kritis,
mengembangkan sikap-sikap ini sangat penting. Secara ringkas disajikan dalam gambar 3.

Gambar 3. Keterkaitan antar elemen-elemen dalam membangun sikap berpikir kritis


(Atabaki dkk., 2015)

Masa depan Indonesia, khususnya dalam menyambut visi Generasi Emas 2045,
nampaknya akan ditandai dengan keterbukaan informasi, termasuk diprediksi akan
berkembangnya open science (sains terbuka atau keterbukaan ilmiah) di negara-negara
berkembang. Open science adalah sebuah pendekatan dalam praktik ilmiah yang mendorong
keterbukaan, akses terbuka, dan kolaborasi yang lebih besar dalam penelitian ilmiah. Ini
melibatkan berbagi data, metode, dan hasil penelitian dengan masyarakat umum atau
komunitas ilmiah secara luas. Dengan demikian, open science bertujuan untuk meningkatkan
transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi dalam proses penelitian. Konsep open science
mencakup berbagai inisiatif seperti akses terbuka ke publikasi ilmiah, berbagi data penelitian,
dan kolaborasi terbuka antara peneliti. Tujuannya adalah untuk mempromosikan pertukaran
pengetahuan yang lebih terbuka dan inklusif serta mempercepat kemajuan dalam ilmu
pengetahuan.
Pada era open science, citizen science atau sains warga (atau sains kemasyarakatan)
bisa jadi berperan penting. Misalnya dalam bidang Biologi, dimana keanekaragaman hayati di

8
Indonesia dan fenomena yang menyertainya masih sangat banyak yang belum terungkap dan
mendesak untuk dieksplorasi (Aripin dkk., 2021). Citizen science adalah bentuk keterlibatan
warga di mana masyarakat umum aktif berpartisipasi dalam aktivitas ilmiah, seringkali
dipimpin oleh para profesional. Akar praktik ilmiah, termasuk observasi dan pemeriksaan,
memiliki sejarah panjang dalam usaha manusia. Kemajuan dan peningkatan kehidupan
manusia telah lama terkait erat dengan metodologi ilmiah seperti penyelidikan, analisis, dan
sintesis. Meskipun konsep ilmiah awal muncul pada zaman kuno, kemajuan signifikan dalam
ilmu empiris terjadi pada abad ke-19. Identitas profesional sebagai "ilmuwan" mulai menguat
pada abad ke-20, sebelumnya, ilmu pengetahuan sering ditekuni oleh amatir bersemangat
yang dikenal sebagai "ilmuwan amatir". Pada konteks tertentu, dimana peserta didik tingkat
sarjana di perguruan tinggi dianggap sebagai citizen scientist (warga peneliti atau peneliti
amatir) maka skripsi adalah produk (science) yang dihasilkannya.

Gambar 4. Ilustrasi Hubungan antara open science dan citizen science (Schade dkk., 2021)
dimana pada bagian citizen science seyogianya diisi oleh masyarakat yang memiliki
kemampuan berpikir kritis karena telah dilatihkan secara terencana dan terukur
oleh pendidik dalam setiap pembelajaran di sekolah dan perguruan tinggi.

Konsep dan proyek citizen science bukan muncul tanpa kekhawatiran. Salah satu
kekhawatiran terkait citizen science adalah bahwa karena penelitian ini dilakukan oleh
individu yang bukan ilmuwan profesional, maka ada potensi untuk kurangnya kualitas dan
akurasi data yang dihasilkan. Selain itu, masalah privasi dan etika juga dapat muncul dalam
pengumpulan dan penggunaan data oleh partisipan non-profesional. Oleh karena itu, perlu

9
perhatian ekstra terhadap pelatihan, pengawasan, dan pengelolaan data dalam praktik citizen
science untuk memastikan hasil yang dapat diandalkan dan menjaga keamanan serta privasi
informasi yang terlibat (Aceves-Bueno dkk., 2017; Koo dkk., Koo dkk., 2022)
Dalam rangka mencapai open science yang diharapkan untuk menyambut Generasi
Emas 2045, maka citizen scientist yang memiliki kemampuan berpikir kritis memainkan peran
penting. Open science mendorong keterbukaan dan akses terbuka terhadap informasi ilmiah,
memungkinkan partisipasi luas dari masyarakat, termasuk para amatir atau non-profesional
dalam citizen scientist. Kolaborasi antara peneliti dan masyarakat ini tidak hanya memperluas
basis data dan sumber daya, tetapi juga menggalang beragam perspektif dan pendekatan
terhadap masalah ilmiah. Kemampuan berpikir kritis menjadi kunci dalam citizen science, di
mana partisipan atau citizen scientist perlu menganalisis data, mengidentifikasi pola, dan
menyusun argumen ilmiah. Dalam konteks open science, kemampuan berpikir kritis juga
penting karena memungkinkan peneliti dan masyarakat untuk mengevaluasi informasi yang
tersedia secara kritis. Dengan demikian, open science, citizen science, dan kemampuan berpikir
kritis saling melengkapi dalam memajukan pengetahuan dan pemahaman ilmiah.

E. Mengembangkan Komunitas Belajar (Learning Community) sebagai Sebuah Upaya


Berkelanjutan untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis bagi Para Pendidik
Mengajar adalah suatu kegiatan yang cenderung bersifat naluriah (instingtif), sehingga
keterampilan seorang pendidik atau guru dalam menyampaikan materi pelajaran yang efektif
dan berkomunikasi dengan baik dapat berubah-ubah dengan cepat, atau dengan kata lain tidak
konsisten, oleh karena itu model-model atau strategi-strategi pembelajaran dibutuhkan,
khususnya untuk meningkatkan konsistensi dalam proses membelajarkan peserta didik.
Dalam rangka mengevaluasi dan mensupervisi agar pendidik atau guru dapat membelajarkan
berpikir kritis adalah melalui pengembangan Professional Learning Community (PLC) atau
Komunitas Pembelajaran Profesional (Stoll dkk., 2006; Antinluoma dkk., 2021).
Meskipun sebenarnya PLC berfokus pada peningkatan profesionalisme guru secara
umum, dengan penekanan pada pengamatan mendalam terhadap kegiatan pembelajaran yang
bermakna bagi peserta didik, yang dirancang dan dievaluasi secara kolaboratif oleh rekan-
rekan guru atau sesama pendidik, proses evaluasi dan supervisi oleh sesama guru atau dengan
kolaborasi bersama perguruan tinggi mitra dapat membantu guru dalam meningkatkan
kemampuan berpikir kritis mereka. Guru yang memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik
dapat membantu peserta didik mereka mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam
berbagai situasi. Selain peran guru, peran kepala sekolah dan kebijakan pendidikan secara
keseluruhan juga memiliki dampak signifikan pada pembelajaran yang berfokus pada
pengembangan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Lebih lanjut, hubungan antara

10
komponen akademik dalam konteks PLC dapat dilihat dalam Gambar 5, dan rekomendasi serta
implementasi PLC di Indonesia dapat dibaca selengkapnya dalam Ibrohim (2023).

Gambar 5. Diagram komunitas pembelajaran profesional di mana para guru secara


kolaboratif berupaya meningkatkan pembelajaran peserta didik (diadopsi dari
Sigurðardóttir, 2010)

PENUTUP
Untuk mengakhiri tulisan ini, penting untuk diingat bahwa pengembangan
kemampuan berpikir kritis pada peserta didik tetap relevan dalam konteks pembelajaran dan
penelitian dimanapun dan sampai kapanpun, meskipun Indonesia sering mengalami
perubahan kurikulum yang cepat (dengan pergantian menteri yang berdampak pada
perubahan kurikulum). Kemampuan berpikir kritis, bersama dengan kemampuan tingkat
tinggi lainnya, dapat diajarkan kepada peserta didik melalui berbagai model atau strategi
pembelajaran yang dipilih oleh guru atau dosen baik dalam rangka menyambut generasi emas
2045 maupun untuk menyambut tujuan-tujuan penting lainnya yang berkaitan dengan
pengembangan sumber daya manusia. Pentingnya menerapkan model-model atau strategi-
strategi pembelajaran ini terletak pada kenyataan bahwa peserta didik akan
menginternalisasikan pendekatan-pendekatan ini dalam pemikiran mereka, dan kemudian
mampu mengembangkannya secara mandiri dalam aktivitas pembelajaran sehari-hari
mereka. Dengan menerapkan model-model atau strategi-strategi pembelajaran yang telah
teruji dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, maka guru-guru (yang
menggunakannya) akan terus berkembang, sementara peserta didik menjadi lebih terampil
dan menjadi pembelajar yang lebih kompeten. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Zubaidah
(2010) dan Corebima (2016).

11
Pada konteks kolaboratif, penting bagi perguruan tinggi yang memproduksi pendidik
atau guru untuk merekonstruksi skema “after sale service” dalam bentuk Professional Learning
Community (PLC) atau lebih operasional dalam bentuk Lesson Study for Learning Community
(LSLC) seperti yang direkomendasikan oleh Ibrohim (2023). Hal ini untuk meningkatkan
tanggung jawab perguruan tinggi untuk membersamai para pendidik―khususnya
lulusannya―supaya selalu termotivasi menjadi pendidik yang mampu berpikir kritis dan
membelajarkan berpikir kritis kepada peserta didiknya. Penelitian-penelitian atau tugas akhir
mahasiswa, seperti skripsi, masih memiliki relevansi yang signifikan dalam mengeksplorasi
berbagai model atau strategi pembelajaran yang mempromosikan kemampuan berpikir kritis.
Khususnya, penelitian ini dapat turut memperhatikan aspek-aspek sumber daya, situasi, dan
kondisi lokal atau regional secara lebih spesifik. Termasuk bagian penting dari membelajarkan
berpikir kritis adalah pola pengukuran dan evaluasi kemampuan berpikir kritis peserta didik
yang integral dengan proses pembelajaran sesuai rekomendasi Zubaidah dkk. (2015) dan
Mahanal (2019).

REFERENSI
Abi, A. R. (2017). Paradigma membangun Generasi Emas Indonesia Tahun 2045. Jurnal Ilmiah
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 2(2), 85-90.
https://doi.org/10.17977/um019v2i22017p085

Aceves-Bueno, E., Adeleye, A. S., Feraud, M., Huang, Y., Tao, M., Yang, Y., & Anderson, S. E.
(2017). The accuracy of citizen science data: a quantitative review. The Bulletin of
the Ecological Society of America, 98(4), 278–290.
https://doi.org/10.1002/bes2.1336

Adhawiyah, R., Rahayu, D. & Suhesty, A. (2021). The effect of academic resilience and
social support towards student involvement in online lecture. Gadjah Mada
Journal of Psychology , 7(2), 212-224. https://doi.org/10.22146/gamajop.68594

Akib, I. (2016). The description of relationship between mathematics charasteristic and


bugis culture values. Global Journal of Pure and Applied Mathematics, 12(4),
2765–2775. Diunduh dari
https://www.ripublication.com/gjpam16/gjpamv12n4_01.pdf

Antinluoma, M., Ilomäki, L. & Toom, A. (2021). Practices of professional learning


communities. Frontiers in Education, 6, 617613.
https://doi.org/10.3389/feduc.2021.617613

Aripin, I., Hidayat, T. Rustaman, N. & Riandi. (2021). Online citizen science untuk penelitian
dan pengumpulan data biodiversitas di Indonesia. Prosiding Penelitian Pendidikan
dan Pengabdian 2021, 1(1), 288–298. Diunduh dari
http://prosiding.rcipublisher.org/index.php/prosiding/article/view/150

Atabaki, A., Keshtiaray, N. & Yarmohammadian, M.H. (2015). Scrutiny of critical thinking
concept. International Education Studies, 8, 93-102.
https://doi.org/10.5539/ies.v8n3p93

12
Bart, W. M. (2010). The Measurement and Teaching of Critical Thinking Skills. Educational
Testing Research Center Report 16th Study Group. Diunduh dari
https://www.cret.or.jp/files/54685af43d68da92ec9864b1515d6fde.pdf

Corebima, A. D. (2016). Pembelajaran Biologi di Indonesia bukan untuk hidup. Prosiding


Seminar Nasional XIII Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya,
diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Biologi FKIP UNS, 13(1), 8–22.
https://jurnal.uns.ac.id/prosbi/article/viewFile/5640/5008

Danil, M., Corebima, A., Mahanal, S., & Ibrohim, I. (2023). The connection between students'
retention and critical thinking skills in diverse academic skills in biology learning.
Jurnal Pendidikan IPA Indonesia, 12(2), 241-251.
https://doi.org/10.15294/jpii.v12i2.39983

Duron, R., Limbach, B. & Waugh, W. (2006). Critical thinking framework for any discipline.
International Journal of Teaching and Learning in Higher Education, 17, 160-166.
Diunduh dari https://www.isetl.org/ijtlhe/pdf/ijtlhe55.pdf

Emiliannur, E., Hamidah, I. & Wulan, A. R. (2023). Need analysis study: critical thinking
disposition profile of science class student in high school. Pillar of Physics Education,
16(1), 83-87. http://dx.doi.org/10.24036/14479171074

Hasudungan, A. N. & Kurniawan, Y. (2018). Meningkatkan kesadaran generasi emas Indonesia


dalam menghadapi Era Revolusi Industri 4.0 melalui inovasi digital platform
www.indonesia2045.org. Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin, 1, 51–58.
Diunduh dari https://ejournal.unwaha.ac.id/index.php/snami/article/view/263

Heard J., Scoular, C., Duckworth, D., Ramalingam, D., & Teo, I. (2020). Critical thinking:
definition and structure. Australia: the Australian Council for Educational Research.
Diunduh dari https://research.acer.edu.au/ar_misc/38

Ibrohim. (2023). Pengembangan Keprofesian Guru Sains melalui Komunikas Belajar dalam
Mendukung Pendidikan Abad ke-21. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada
FMIPA Universitas Negeri Malang (UM). Malang: Universitas Negeri Malang.

Irfani, S., Riyanti, D. & Muharam, R. S. (2021). Grand design Generasi Emas 2045: tantangan
dan prospek Pendidikan Kewarganegaraan untuk kemajuan Indonesia. Jurnal
Penelitian Kebijakan Pendidikan, 14(2), 123-134.
https://doi.org/10.24832/jpkp.v14i2.532

Jamaluddin, A. B., Pratiwi, A. C., Safira, I. & Nurdiyanti, N. (2023). Character, resilience, and
critical thinking of biology students after the COVID-19 pandemic: how they are
correlated. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA, 9(4), 1585-1592.
https://doi.org/10.29303/jppipa.v9i4.1574

Jamaluddin, A. B., Zubaidah, S., Mahanal, S. & Gofur, A. (2021). Character, creative thinking
and learning achievement in higher education: How they are correlated. dalam AIP
Conference Proceedings, 2330(1), 030030. https://doi.org/10.1063/5.0043184

Koo, K.-S., Oh, J.-M., Park, S.-J., & Im, J.-Y. (2022). Accessing the accuracy of citizen science data
based on inaturalist data. Diversity, 14(5), 316.
http://dx.doi.org/10.3390/d14050316

Lee, J. & Jung, I. (2021). Instructional changes instigated by university faculty during the
COVID-19 pandemic: the effect of individual, course and institutional factors.

13
International Journal of Educational Technology in Higher Education, 18(1), 52.
https://doi.org/10.1186/s41239-021-00286-7

Listyaningsih, L., Alrianingrum, S. & Sumarno, S. (2021). Preparing independent golden


millennial generation through character education. Proceedings of the 2nd Annual
Conference on Education and Social Science, Series: Advances in Social Science,
Education and Humanities Research 556, 162-167.
https://doi.org/10.2991/assehr.k.210525.066

Maftuh, B. (2008). Internalisasi nilai-nilai pancasila dan nasionalisme melalui pendidikan


kewarganegaraan. Jurnal Educationist, 2(2), 134-144.

Mahanal, S. (2019). Asesmen keterampilan berpikir tingkat tinggi. Jurnal Penelitian Dan
Pengkajian Ilmu Pendidikan: E-Saintika, 3(2), 51–73. https://doi.org/10.36312/e-
saintika.v3i2.128

Newman, J. & Dantzler, J. (2015). Fostering individual and school resilience: when students at
risk move from receivers to givers. Journal of Community Engagement and
Scholarship, 8(1), 80-89. https://doi.org/10.54656/DLSL8671

Pala, A. (2011). The need for character education. International Journal of Social Sciences and
Humanity Studies, 3 (2), 23-32 . Diunduh dari
https://dergipark.org.tr/en/pub/ijsshs/issue/26222/276136

Sabur, A., Saepuloh, D., & Reva Triana. (2021). Improving students' critical thinking during
COVID-19 through online learning. Jurnal Pendidikan Edutama, 8(2), 61-73. Diunduh
dari https://ejurnal.ikippgribojonegoro.ac.id/index.php/JPE/article/view/1334

Schade, S., Pelacho, M., van Noordwijk, T., Vohland, K., Hecker, S., Manzoni, M. (2021). Citizen
Science and Policy. Dalam: Vohland, K. dkk. The Science of Citizen Science. Springer,
Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-030-58278-4_18

Sharma, A. & Alvi, I. (2021). Evaluating pre and post COVID 19 learning: An empirical study of
learners' perception in higher education. Education and Information Technologies,
26, 7015–7032. https://doi.org/10.1007/s10639-021-10521-3

Sigurðardóttir, A. K. (2010). Professional learning community in relation to school


effectiveness. Scandinavian Journal of Educational Research, 54(5), 395-412.
https://doi.org/10.1080/00313831.2010.508904

Sk, S. & Halder, S. (2021). Effect of emotional intelligence and critical thinking disposition on
resilience of the student in transition to higher education phase. Journal of College
Student Retention: Research, Theory and Practice. 5, 12-19.
https://doi.org/10.1177/15210251211037996

Stoll, L., Bolam, R., McMahon, AJ., Wallace, M. & Thomas, SM. (2006). Professional learning
communities: a review of the literature. Journal of Educational Change, 7(4), 221-
258. https://doi.org/10.1007/s10833-006-0001-8

Sunjaya, A. P. & Ardiansyah, S. (2021). Indonesia Emas Berkelanjutan 2045: Kumpulan


Pemikiran Pelajar Indonesia Sedunia Seri 6 Kesehatan. Jakarta: LIPI Press.
https://doi.org/10.14203/press.364

Visser, L., Korthagen, F. A. J., & Schoonenboom, J. (2018). Differences in learning


characteristics between students with high, average, and low levels of academic
procrastination: students’ views on factors influencing their learning. Frontiers in
Psychology, 9, 1-15. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00808

14
Zubaidah, S,, Corebima, A. D. & Mistianah. (2015). Asesmen berpikir kritis terintegrasi tes
essay. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi, diselenggarakan oleh
Univerisitas Ahmad Dahlan, 200-213. Diunduh dari
https://www.researchgate.net/publication/322315188_Asesmen_Berpikir_Kritis_T
erintegrasi_Tes_Essay

Zubaidah, S. (2010). Berpikir kritis: kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dapat
dikembangkan melalui pembelajaran. Prosiding Seminar Nasional Sains 2010,
diselenggarakan oleh Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya, 1-14. Diunduh dari
https://www.researchgate.net/profile/Siti-Zubaidah-
7/publication/318040409_Berpikir_Kritis_Kemampuan_Berpikir_Tingkat_Tinggi_ya
ng_Dapat_Dikembangkan_melalui_Pembelajaran_Sains/links/59564c650f7e9b591c
da994b/Berpikir-Kritis-Kemampuan-Berpikir-Tingkat-Tinggi-yang-Dapat-
Dikembangkan-melalui-Pembelajaran-Sains.pdf

15

Anda mungkin juga menyukai