ABSTRAK
Bell’s Palsy adalah kelemahan otot wajah yang disebabkan oleh keterlibatan saraf
fascialis idiopatik di luar sistem saraf pusat, dengan tanpa adanya penyakit neurologi lainnya.
Insiden ini mempengaruhi 11-40 orang per 100.000 setiap tahun. Hipotesis mengenai
keterlibatan infeksi virus herpes simpleks telah diterima secara luas. Umunya gejala penyakit ini
ringan dengan pemulihan sempurna dalam 2-3 minggu. Risiko seumur hidup terhadap pasien ini
adalah 2%. Bell’s Palsy dapat mengenai pria dan wanita dengn perbandingan sama dari usia 10-
40 tahun dan mengenai wajah sisi kanan dan kiri, dengan kasus sama banyak. Program
fisioterapi bermanfaat untuk meningkatkan kekuatan otot-otot wajah yang mengalami
kelemahan serta meningkatkan aktivitas fungsional dan mengurangi resiko disabilitas.
ABSTRACT
Bell's palsy is weakness of the facial muscles caused by involvement of the idiopathic facial
nerves outside the central nervous system, in the absence of other neurological diseases. These
incidents affect 11-40 people per 100,000 each year. The hypothesis regarding the involvement
of herpes simplex virus infection has been widely accepted. Generally, the symptoms of this
disease are mild with complete recovery in 2-3 weeks. The lifetime risk for this patient is 2%.
Bell's palsy can affect men and women in equal proportions from the age of 10-40 years and
affect the right and left side of the face, with the same number of cases. Physiotherapy programs
are useful for increasing the strength of facial muscles that experience weakness as well as
increasing functional activity and reducing the risk of disability.
Presentasi Kasus:
Pemeriksaan Subjektif
Pasien mengeluhkan adanya rasa kaku pada wajah sebelah kanan, kelemahan otot wajah
sebalah kanan, serta pasien merasa tidak nyaman pada area mata sebelah kanan karena mata
kanan pasien berair. Keluhan menjadi lebih buruk saat pasien berada pada suhu maupun
ruangan yang dingin, sehingga menyebabkan pasien merasakan kaku pada wajah sebelah
kanan. Pada saat keluhan sedang kambuh disaat bersamaan pasien merasakan adanya rasa
nyeri pada area belakang telinga sebelah kanan. Keluhan pasien akan berkurang saat pasien
beristirahat dan memberikan kompres hangat pada area belakang telinga sebelah kanan.
Riwayat personal pasien, pasien merupakan seorang sopir, sehingga pasien sering terpapar
udara dingin pada saat melakukan pekerjaannya sebagai sopir.
Tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan kekuatan otot-otot wajah sebelah kanan,
mengurangi nyeri dibelakang telinga, serta meningkatan aktivitas fungsional sehari-hari
dalam aktivitas pekerjaan.
Pemeriksaan Fisik
Kajian pemeriksaan fisik dasar meliputi aspek tanda-tanda vital, inspeksi, palpasi,.
Berdasarkan temuan inspeksi didapatkan tidak adanya bengkak dan deformitas pada bagian
tertentu. Berdasarkan kajian palpasi ditemukan adanya nyeri tekan pada area belakang telinga
serta otot-otot muka sebelah kanan terasa kaku (spasme).
temuan dalam pemeriksaan vital sign menunjukkan kondisi yang normal pada semua aspek
(tekanan darah, frekueni pernafasan, frekuensi nadi/jantung, temperatur).
1. M. Frontalis
2. M. Corrugator Supercili
3. M. Orbicularis Oculi
5. M. Orbicularis Oris
6. M. Mentalis
Pemeriksaan kemampuan motorik wajah dengan skala ugo fisch, pengukuran kekuatan otot
wajah dengan menggunakan manual muscle testing (MMT) wajah, dan pengukuran nyeri
dengan Verbal Descriptive Scale (VDS).
Pengukuran kemampuan motorik wajah dilakukan dengan Skala Ugo Fisch. Instrumen ini
melibatkan 5 aspek penilaian motorik, antara lain yaitu saat menutup mata, saat istirahat,
mengertukan dahi, tersenyum, dan bersiul. Ada empat penilaian dalam % untuk posisi tersebut
antara lain :
a) 0% (zero) : Asimetris komplit, tidak ada gerakan volunteer sama
sekali
b) 30% (poor) : Simetris ringan, kesembuhan cenderung ke asimetris, ada
gerakan volunter
c) 70% (fair) : Simetris sedang, kesembuhan cenderung normal
d) 100% (normal) : Simetris komplit (normal)
Pengukuran kekuatan otot-otot wajah dilakukan dengan menggunakan Manual Muscle Testing
(MMT) Wajah. Instrumen ini untuk mengetahui nilai kemampuan seseorang dalam
mengkontraksikan otot wajahnya. Terdapat 4 kategori penilaian, yaitu :
1) 0 : Zero, tidak ada kontraksi
2) 1 : Trace, kontraksi minimal
3) 3: Fair, kontraksi dilakukan dengan susah payah
4) 5 : Normal, kontraksi terkontrol
Pengukuran nyeri dilakukan dengan menggunakan Verbal Descriptive Scale). Instrumen ini
memberikan kesempatan pasien untuk mengekspresikan nyeri dan keluhan yang dialaminya
dan memberikan deskripsi klasifikasi nyeri yang terdiri dari tanpa nyeri (1), nyeri ringan (2),
nyeri sedang (3), nyeri hebat (4), sangat nyeri (5) dan nyeri berkelanjutan
Pada pemeriksaan kekuatan otot-otot wajah dilaporkan bahwa sebagaian besar kekuatan otot
pada wajah mengalami kelemahan seperti pada M. Frontalis, M. Coorugator Supercili, M.
Orbicularis Oculi, M. Zygomaticum mayor & minor, M. Orbicularis Oris, dan M, Mentalis
terdapat nilai 1.
Pada pemeriksaan fungsi motorik otot-otot wajah dilaporkan bahwa sebagaian besar
kemampuan fungsi motorik wajah pada saat saat menutup mata, saat istirahat, mengertukan
dahi, tersenyum, dan bersiul didapatkan total nilai 30%.
Pada pengukuran nyeri, dilaporkan bahwa nyeri tekan di belakang telinga yang dirasakan
oleh pasien terdapat nilai nilai 2 (nyeri sedang).
Rencana Program Fisioterapi
Proses fisioterapi dilaksanakan kepada pasien selama pasien mengiikuti seluruh sesi
pengobatan di rumah sakit. Pasien datang ke poli fisioterapi. Tujuan pada intervensi yang
dilakukan adalah untuk meningkatkan kekuatan otot-otot wajah, meningkatkan kemampuan
motorik wajah, dan optimalisasi kemampuan fungsional pasien. Tabel dibawah ini
menjelaskan intervensi yang dilakukan
PEMBAHASAN
Hasil Pemeriksaan Kemampuan Motorik Wajah Dengan Skala Ugo Fisch
Setelah fisioterapis yang dilakukan pemeriksaan nyeri dengan menggunakan Skala Ugo Fisch
didapatkan hasil sebagai berikut :
70
60
50
40
30
20
10
0
T1 T2 T3
Gambar 1. Hasil pengukuran Skala Ugo Fisch dari mulai terapi ke satu sampai ke
tiga
Hasil Pengukuran Kekuatan Otot-Otot Wajah Dengan Manual Muscle Testing (MMT) Wajah
Setelah fisioterapis yang dilakukan pemeriksaan nyeri dengan menggunakan MMT Wajah
didapatkan hasil sebagai berikut:
Gambar 2. Hasil pengukuran MMT Wajah dari mulai terapi ke satu sampai ke tiga
0
T1 T2 T3
Gambar 3. Hasil pengukuran VDS dari mulai terapi ke satu sampai ke tiga
Pada grafik diatas menunjukan adanya peningkatan fungsi motorik otot-otot wajah dari 30%
menjadi 70% .
Aplikasi modalitas Arus Faradik dan Kabat Technique dapat meningkatkan fungsi motorik
wajah pada T1 skala 30% dan pada T3 70%.
Pada grafik diatas menunjukan adanya peningkatan kekuatan otot-otot wajah dari 1 menjadi
3.
Aplikasi modalitas Arus Faradik dan Kabat Technique dapat meningkatkan kekuatan otot-
otot wajah dari T1 : 1 menjadi T3 : 3.
Pada Grafik diatas menunjukan adanya penurunan frekuensi nyeri tekan pada belakang
telinga dari 2 menjadi 1.
Aplikasi modalitas Arus Faradik dan Kabat Technique dapat menurunkan frekuensi nyeri
tekan di belakang telinga dari T1 : 2 menjadi T3 : 1
Hasil Pengukuran kemampuan fungsi motorik wajah dengan skala ugo fisch
Pengukuran kemampuan fungsional dilakukan pasca melakukan terapi yaitu pada T1 dan T3
dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Kemampuan Fungsi Motorik wajah dari mulai terapi ke satu sampai ke tiga
Skala Ugo Fisch T1 T3
30% 70%
Pada hasil pengukuran kemampuan fungsi motorik wajah menggunakan Skala Ugo Fisch
selama T1 dan T3 dijumpai adanya peningkatan kemampuan fungsi motorik wajah .Secara
spesifik berdasarkan pengukuran yang dilakukan peningkatan kemampuan fungsi motorik
pada aktivitas tersenyum, mengerutkan dahi, menutup wajah, bersiul, dan istirahat.
Berdasarkan tabel diatas, dijumpai adanya peningkatan kekuatan otot dari terapi ke satu 1
dan terapi ke tiga 3.
Berdasarkan tabel diatas, dijumpai adanya penurunan nyeri tekan dari terapi ke satu 2 dan
terapi ke tiga 1.
Pembahasan
1. Arus Faradik
Arus faradik adalah arus listrik bolak-balik yang tidak simetris yang mempunyai durasi
0,01-1 ms dengan frekuensi 50-100 cy/det. Istilah faradik mula-mula digunakan untuk arus
yang keluar dari faradic coil, suatu induction coil. Arus ini merupakan arus bolak-balik yang
tidak simetris, tiap cycle terdiri dari dua fase yang tidak sma. Fase pertama dengan
intensitas rendah dan durasi panjang, sedangkan fase kedua intensitas tinggi dan durasi
pendek. Berfrekuensi sekitar 50 cycle/detik. Durasi fase kedua sekitar 1 ms (Sujatno, 1993).
Arus faradik diberikan untuk medapatakan kontraksi dan membantu memperbaiki
perasaan gerak. Otot hanya mengenal gerak, bahkan kerja otot sehingga stimulasi diberikan
sedemikian sehingga menimbulkan gerakan yang normal. Stimulasi ini merupakan
permulaan latihan-latihan aktif (Sujatno, 1993).
2. Kabat Technique
Kabat Technique adalah salah satu bagian dari proprioseptive neuromuscular facilitation
(PNF) yang dikenalkan oleh Kabat, Knott, dan Voss yang digunakan untuk meningkatkan
fungsi otot. PNF memfasilitasi otot yang mengalami kelemahan dengan cara stretching,
gerakan melawan tahanan, traksi, dan aproksimasi (pada persendian) yang mengalami
keterbatasan gerak (Namura, dkk. 2008).
Metode dan teknik pada PNF atau Kabat Technique sangat beragam, tetapi khusus untuk
regio wajah hanya terdapat beberapa teknik yang digunakan, yaitu maximal resistance
(tahanan maksimal), manual contact, dan verbal input. Pada otot-otot di upper fulcrum
dilakukan traksi kearah superior dan inferior. Pada otot-otot di intermediate fulcrum
dilakukan traksi sesuai dengan aksisnya, begitupun dengan lower fulcrum (Monini, dkk.
2016).
KESIMPULAN
Program fisioterapi selama 4 minggu dengan arus faradik dan kabat technique dapat
memperbaiki profil body function dan kemampuan fungsional (aktivitas dan partisipasi)
Abidin, Zainal, dkk. 2017. Pengaruh Infra Red dan Massage terhadap Bell’s
Palsy Dextra. Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi. Akademi Fisioterapi
Widya Husada Semarang. Vol. 1. No 1.
Adam, Olivia Mahardani. 2019. Bell’s Palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma. Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah. Vol. 8, No. 1
Adler, S.S., Becker, D., dan Buck, M. 2013. PNF in Practice An Ilustrated
Guide Third Edition. Germany: Springer Medizin Verlag Heidelberg.
Amanati, Suci, dkk. Pengaruh Infrared dan Electrical Stimulation serta Massage
Terhadap Kasus Bell’s Palsy Dextra. 2017. Jurnal Fisioterapi dan
Rehabilitasi. Vol. 1, No. 1
Arifin, Safrin. Yani, Sri. 2013. Atlas Anatomi Otot Untuk Fisioterapi. Infinity
Media: Tanggerang Selatan.
Bongi, dkk. 2009. Efficacy of a Tailored Rehabilitation Program for Systemic
Sclerosis. Depatement of Biomedicine.
Dona, Rizkiana Rama. 2014. Laki-laki 45 tahun dengan Bell’s Palsy. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung.
Dorlan, Elsevier. 2015 Kamus Saku Kedokteran. Jakarta, BukuKedokteran EGC
Evitson, J Timothy, dkk. 2015. Bell’s palsy: aetiology, clinical features and
multidisciplinary care. Neural Neurosurg. General Neurologi.
Giacalone, Andrea. 2018. Kabat Rehabilitation for Facial Nerve Paralysis:
Perspective OnNeurokinetic Recovery and Review of Clinical
Evaluation Tools.Vol. 6. Halaman : 38-46.
Khanzada, Kanwal, dkk. 2018. Comparison of Efficacy of Kabat Rehabilitatiom
and Facial Exercise along with Nerve Stimulation in Patients With
Bell’s Palsy. University Journal of Health Science. Vol. 3. Isuue 1.
Lowis, H., Gaharu, M. N., 2012: Bell’s Palsy Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer; Universitas Pelita Harapan Tangerang; Departemen
Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Centre, Jakarta, vol 62.
Memon, Aamir. 2013. Proprioseptive Neuromuscular Facilitation Techniques at
A Glance.
Monini, S, dkk. 2016. Role of Kabat Rehabilitation In Facial Nerve Palsy: A
Randomised Study On Severe Cases of Bell’s Palsy. ActaOto-
Laryngologica.
Mujadijjah, Nur. 2017. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s Palsy.
Qanun Medika. Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Munilson, Jacky, dkk. 2011. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy:
Bagian Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas RSUP Dr. M. Djamil, Padang.
Patil G R, Kanase B S. 2017. Effect of Electrical Stimulation and Active Muscle
Contractions in Bell’s Palsy. International Journal of Science and
Research.
Paulsen F dan Waschke J. 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 1, Edisi
23. EGC. Jakarta.
Pourmomeny, Ali Abbas dan Asadi Sahar. 2014. Facial Rehabilitation. Physical
Treatment. Vol. 4, No. 2.
Qamar, dkk. 2017. Kabat Technique Incorporadted with Kinesiotherapy&
Electrical Muscle Stimulation Can Be H&Y In Patients With Bell’s
Palsy.Vol. 5. Halaman : 7-10.
Rennie, Sandy. 1991. Electrophysical Agents I Laboratory Manual.
Snell, Richard. S. 2012. Clinical Anatomy by Region Edition 9.
Somasundara, Dhruvashree dan Sullivan, Frank. 2017. Management Bell’s
Palsy. Australian Prescriber. Vol. 40, No. 3.
Stadio, Ariana. 2015. Another Scale for the Assessment of Facial Paralysis?
ADS Scale : Our Proposition, How to Use It. Journal of Clinical and
Diagnostic Research. Vol. 19, No. 12.
Sujatno, Ig, dkk. 1993. Sumber Fisis. Akademi Fisioterapi Surakarta Depkes RI.
Tiemstra JD, Khatkhate N. Bell’s Palsy: Diagnosis and Management. American
Family Physician. 2007;76(7):997-1002
Zandian, Anthony, dkk. 2013. The Neurologist’s Dilemma: A Comprehensive
Clinical Review of Bell’s Palsy, With Emphasis On Current
Management Trends. Medical Science Monito