Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol.8 No.

1 Januari 2024 p-ISSN 2548-8716


Halaman 57 - 63 e-ISSN 2599-2791
DOI: 10.33660/jfrwhs.v8i1.327 http://jurnal.d3fis.uwhs.ac.id/index.php/akfis/article/view/327

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Bell’s Palsy

Physiotherapy Management for Patient’s with Bell's Palsy


Anastasia Putu Martha Anggarani, Selly Omega Dila Teju , Martha Sri Astuti , *Margareth Eltaria , Maria
Stevani Saraswati

Prodi Fisioterapi, STIKES Katolik St.Vincentius a Paulo Surabaya

Email korespondensi: *margaretheltaria399@gmail.com

Diterima: 6 Jul 2023 Direvisi: 11 Jul 2023 Disetujui: 11 Agu 2023 Dipublikasikan : 3 Okt 2023

ABSTRAK
Permasalahan bell’s palsy adalah ketidakmampuan mulut dan mata menutup secara sempurna pada sisi wajah yang
terkena masalah karena kelumpuhan otot wajahsehingga menyebabkan gangguan kemampuan fungsional. Penelitian
ini merupakan penelitian studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah dua pasien yang merupakan pasien di
Rumah Sakit Swasta di Surabaya. Instrumen Penelitian dalam penelitian ini adalah Ugo Fisch untuk menentukan
kemampuan fungsional wajah dan Manual Muscle Test (MMT) wajahuntuk menentukan kekuatan otot wajah.
Permasalahan responden penelitian ini adalah adanya penurunan kekuatan otot wajah dan kemampuan fungsional
otot wajah pasien. Setelah menjalani intervensi fisioterapi selama satu bulan dengan menggunakan Infra Red
Diathermy (IRD), mirror exercise dan massage wajah, evaluasi menunjukkan hasil yang baik yaitu nilai ugo fisch
mendekati nilai normal dan kekuatan otot wajah meningkat. Dengan demikian intervensi fisioterapi berupa IRD,
mirror exercise dan massage dikatakan berhasil untuk meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional
wajah pada passion Bell’s Palsy

Kata kunci :IRD, Mirror Exercise, Massage, Bell’s Palsy

ABSTRACT
The problem of bell's palsy is the inability of the mouth and eyes to close completely on the side of the face that is
affected by the problem due to paralysis of the facial muscles, causing impaired functional ability. This research is a
case study research. The subjects in this study were two patients who were patients at a private hospital in
Surabaya. The research instruments in this study were Ugo Fisch to determine facial functional ability and the
facial Manual Muscle Test (MMT) to determine facial muscle strength. The problem with the respondents in this
study was that there was a decrease in the facial muscle strength and functional ability of the patient's facial
muscles. After undergoing physiotherapy intervention for one month using Infra Red Diathermy (IRD), mirror
exercise and facial massage, the evaluation showed good results, namely the ugo fisch value was close to normal
values and facial muscle strength increased. Thus physiotherapy interventions in the form of IRD, mirror exercise
and massage are said to be successful in increasing muscle strength and facial functional abilities in passion Bell's
Palsy

Keyword:IRD, Mirror Exercise, Massage, Bell’s Palsy

PENDAHULUAN
Bell’s Palsy adalah kelemahan pada saraf perifer wajah (nervus facialis) pada sisi sebelah
wajah (Mujaddidah, 2017) yang menyebabkan penurunan kekuatan otot-otot wajah, gangguan
sensori pada ke dua pertiga anterior lidah, penurunan otot-otot yang berhubungan dengan
pendengaran, kelenjar ludah, dan lakrimal (Babl et al., 2017). Salah satu terjadinya bell’s palsy
karena sering tidur di lantai, perjalanan jauh menggunakan sepeda motor (Adam, 2019), yang
menyebabkan permasalahan bell’s palsy adalah ketidakmampuan mulut dan mata menutup
secara sempurna pada sisi wajah yang terkena masalah sehingga menyebabkan kesulitan makan,
bicara, pengeringan pada kornea mata (Babl et al., 2017). Kejadian bell’s palsy di Indonesia
berasal dari 4 rumah sakit di Indonesia memperoleh presentase sebesar 19,55%, paling sering
terjadi pada usia 21-30 tahun. Perbandingan yang terjadi antara wanita dan laki-laki sama, tetapi
pada wanita usia 10-19 tahun lebih rentan terkena dari pada laki-laki (Baugh et al., 2013).

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Bell’s Palsy | Anastasia Putu Martha Anggarani dkk 57
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol.8 No. 1 Januari 2024 p-ISSN 2548-8716
Halaman 57 - 63 e-ISSN 2599-2791
DOI: 10.33660/jfrwhs.v8i1.327 http://jurnal.d3fis.uwhs.ac.id/index.php/akfis/article/view/327

Penyebab bell’s palsy masih belum diketahui, kemungkinan terjadi karena penyebab lainnya
adalah setelah bepergian jauh dengan kendaraan, sering tidur ditempat yang terbuka, tidur di
lantai, penyakit vaskuler (Adam, 2019). Perjalanan penyakit bell’s palsy diduga disebabkan oleh
infeksi virus HSV. Mekanisme terjadinya penyakit bell’s palsy belum diketahui. Inflamasi dan
edema diduga muncul akibat adanya infeksi. Nervus facialis berjalan melewati terowongan
sempit menjadi terjepit karena edema dan menyebabkan kerusakan saraf baik permanen maupun
sementara (Baugh et al., 2013). Impairment yang sering dialami penderita bell’s palsy yaitu
adanya asimetris pada wajah, rasa kaku dan tebal pada sisi wajah yang terkena lesi, dan adanya
penurunan kekuatan otot wajah pada sisi yang terkena lesi serta adanya nyeri di belakang telinga
(Somasundara & Sullivan 2017). Serta Oleh karena itu dapat menyebabkan keterbatasan
functional limitasi yang terganggu pada pasien kasus bell’s palsy yaitu kesulitan saat minum
tumpah pada bagian yang terkena lesi, kesulitan saat makan mengumpul pada sisi wajah yang
terkena lesi, dan juga kesulitan menutup mata pada sisi yang terkena lesi, kesulitan tersenym,
dan bersiul (Abdul Qudus, 2020). Dampak terjadinya bell’s palsy yaitu penderita kesulitan
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar karena tidak percaya diri (Pratiwi et al., 2021).
Dari problem yang ada diatas maka Fisioterapi memiliki peran dan modalitas mengenai
pasien dengan kondisi bell’s palsy. Ada beberapa modalitas yang dipakai salah satunya yaitu
infra red. Efek dari pemakaian infra red pada kasus bell’s palsy yaitu mengurangi kaku pada otot
wajah (Sumathi et al., 2019). Mirror exercise adalah salah satu terapi latihan wajah dengan
menggunakan cermin. Mirror exercise bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot-otot wajah
(Abdul Qudus, 2020). Massage wajah pada kasus bell’s palsy bertujuan untuk merangsang
sensorik pada kulit sehingga dapat memberikan efek rileksasi serta mengurangi kekakuanpada
wajah. Teknik massage yang digunakan pada kasus bell’s palsy yaitu effluarage, stroking, finger
kneading, dan juga tappotement (Pratiwi et al., 2021). Home program yang diberikan pada
pasien untuk latihan dirumah yaitu mirror exercise yang sudah diajarkan oleh fisioterapis dan
edukasi yang diberikan yaitu menutup kelompok mata saat tidur menggunakan eye patch untuk
mencegah keringnya kornea mata (Adam, 2019).

METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan yaitu studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah 2
pasien di ruangan rawat jalan di RS Swasta Surabaya.Proses pengambilan data berupa
wawancara tentang identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat sosial, sumber data pasien, keluarga dan tenaga
kesehatan lain. Selain itu dilakukan juga pemeriksaan fisik yang terdiri dari pengukuran TTV,
inspeksi, palpasi, pemeriksaan gerak dasar, pemeriksaan kemampuan fungsional dan
pemeriksaan spesifik. Analisis dilakukan sejak proses pengumpulan data. Teknik analisis
digunakan dengan cara observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi yang menghasilkan data
untuk selanjutnya diinteprestasikan dan dibandingkan dengan teori sebagai bahan untuk
memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut. Hasil ditulis dalam bentuk catatan
lapangan.Instrumen Penelitian dalam penelitian ini adalah Ugo Fisch Scale untuk menentukan
kemampuan fungsional wajah. Prosedur melakukan pengukuran ini adalah pasien diminta
melakukan gerakan mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul kemudia
fisioterapis mengamati wajah pasien saat diam dan bergerak dan memberikan scoring sesuai
kemampuan pasien. Selain itu juga dilakukan pengukuran MMT otot wajah pada beberapa otot
di wajah yang bertujuan untuk mengetahui nilai kekuatan otot wajah. Gambaran desain
penelitian ini adalah sebagai berikut :

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Bell’s Palsy | Anastasia Putu Martha Anggarani dkk 58
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol.8 No. 1 Januari 2024 p-ISSN 2548-8716
Halaman 57 - 63 e-ISSN 2599-2791
DOI: 10.33660/jfrwhs.v8i1.327 http://jurnal.d3fis.uwhs.ac.id/index.php/akfis/article/view/327

X Z

Y
Gambar 1. Desain Penelitian
Keterangan :
X : Kondisi pasien sebelum mendapatkan penatalaksanaan fisioterapi
Y : Penatalaksanaan Fisioterapi
Z :Kondisi pasien setelah mendapatkan penatalaksanaan fisioterapi

HASIL DAN PEMBAHASAN


Data Umum
Hasil studi kasus menunjukkan Pasien laki-laki berusia 10 dan 54 tahun. Menurut
Mujaddidah (2017) pada wanita dan pria dewasa serta anak-anak dengan usia 15-45 tahun bisa
mengalami bell’s palsy. Pasien merupakan pelajar yang sering bermain malam dan
menggunakan kipas angin dan bekerja sebagai TNI AL yang sering berangkat kerja dari
Mojokerto ke Surabaya menggunakan sepeda motor. Pada penderita bell’s palsy karena sering
terkena udara dingin dan pekerjaan yang sering terkena angin dari luar. Hal tersebut sesuai
karena kedua pasien sering terpapar udara dingin terus menerus, hal tersebut dapat menyebabkan
saraf facialis bengkak yang kemudian saraffaciali sterjepit sehingga menyebabkan kelumpuhan
pada wajah (Moch, 2017).
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien tidak merasakan nyeri dibelakang telinga. Secara teori, pasien Bells Palsy terdapat
adanya nyeri dibelakang telinga. Pasien tidak terdapat adanya nyeri dibelakang telinga karena
Pasien sudah memasuki fase kronis, sedangkan gejala nyeri belakang telinga, masuk di fase akut
pada bell’s pals y (Babl et al., 2017)
Kedua Pasien juga mengeluhkan otot wajah tidak bisa digerakkan. Menurut teori pada
pasien Bell’s Palsy terdapat adanya penurunan kekuatan otot wajah. Penurunan kekuatan otot
wajah yang di tandai dengan adanya penurunan kekuatan otot wajah saat menutup mata dan saat
mengunyah makanan, karena adanya penjepitan pada saraf facialis yang membuat terganggunya
motorik pada otot wajah yang menyebabkan penurunan kelemahan otot (O’Sullivan, 2014).
Pasien tidak mengeluh ada rasa tebal pada wajah. Sedangkan secara teori pasien Bell;s Palsy
mengalami adanya tebal pada sisi wajah yang terkena lesi. Terdapat perbedaan dari hal tersebut,
bahwa Pasien tidak terdapat rasa tebal, karena Pasienterkenabell’s palsy sejak lebih dari 2
minggu yang lalu sedangkangangguan sensorik terjadi di gejala awal sekitar 1 minggu
(Somasundara & Sullivan, 2017).
Pasien mengemukakan keluhan bertambah mata terasa pedih/perih saat terkena angin dan
keluhan berkurang saat Pasien menggunakan kacamata. Menurut teori, keluhan bertambah saat
mata tidak bisa tertutup secara sempurna sehingga terasa pedih pada mata dan keluhan berkurang
saat menggunakan kacamata atau eye patch. Hal tersebut terjadi karena adanya gangguan pada
saraf facialis sehingga terjadinya kelemahan otot daerah wajah sehingga membuat kelopak mata
tidak bisa tertutup secara sempurna sehingga mata terasa kering dan perih (Adam, 2019) .

Riwayat Sosial
Pasien pertama merupakan pelajar anak anak yang memiliki kebiasaan bermain di malam
hari dan sering menggunakan kipas angin bekerja sebagai TNI AL yang sering berangkat kerja
dari Mojokerto ke Surabaya menggunakan sepeda motor. Pada penderita bell’s palsy sering
terkena udara dingin, sering berkendara, tidur di lantai dan sering bergadang, serta pekerjaan
yang selalu terkena angin (Moch, 2017). Terdapat kesamaan antara fakta dan teori, bahwa
Pasienmemiliki kebiasaan yang menyebabkan sering terpapar angin terus menerus sehingga

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Bell’s Palsy | Anastasia Putu Martha Anggarani dkk 59
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol.8 No. 1 Januari 2024 p-ISSN 2548-8716
Halaman 57 - 63 e-ISSN 2599-2791
DOI: 10.33660/jfrwhs.v8i1.327 http://jurnal.d3fis.uwhs.ac.id/index.php/akfis/article/view/327

dapat menyebabkan saraf facialisbengkak, yang kemudian saraffacialis terjepit dan


menyebabkan kelumpuhan pada wajah.
Pemeriksaan Fisik
Saat dilakukan inspeksi menunjukkan saat diam wajah Pasien terlihat asimetris antara sisi
kanan dan sisi kiri. Hal tersebut didukung dengan penelitian Qudus dan Nurjana (2020) bahwa
terlihat saat diam terlihat asimetris pada wajah pasien karena penderita bell’s palsy mengalami
kelemahan pada otot-otot wajah sehingga terdapat asimetris antara sisi kanan dan sisi kiri.
Sedangkan hasil pemeriksaan inspeksi dinamis menunjukkan saat berbicara terlihat sudut
mulut/bibir Pasien sebelah kiri jatuh ke bawah (Abdul Qudus, 2020). Menurut adam (2019),
pada penderita bell’s palsy saat berbicara terlihat sudut mulut jatuh kebawah. Terdapat kesamaan
antara fakta dan teori, bahwaadanya gangguan kekuatan otot wajah sehingga menyebabkan
adanya asimetris saat berbicara pada sisi yang sehat dan sisi yang sakit.
Saat dilakukan palpasi, tidak ada spasme otot wajah. Hal tersebut tidak relevan dengan
teori menurut Qudus dan Nurjanah (2020) bahwa pada penderita bell’spalsy mengalami
kekakuan (spasme) seperti, m. levator anguli oris, m. zygomaticus mayor, m. zygomaticus minor,
dan lain-lainnyadanspasme otot muncul setelah beberapa bulan hingga 1-2 tahun setelah
mengalami bell’s palsy. Pasien tidak terdapat spasme pada otot wajah karena hanya terjadi
permasalahan penurunan kekuatan otot wajah, selain itu pasien baru mengalami bell’s palsy 2
minggu yang lalu sedangkan pada bell’s palsy akan muncul sekitar beberapa bulan hingga 1-2
tahun (Abdul Qudus, 2020).
Pasien mampu mengangkat alis namun tidak simetris, Pasien belum mampu menutup mata
secara sempurna, Pasien mampu mencucu tapi mencong kekanan, Pasien mampu tersenyum
namun tidak simetris. Menurut teori pada gerakan mengangkat alis, menutup mata, mencucu,
dan tersenyum terlihat asimetris pada wajah Pasien. Hal tersebut terjadi bahwa pemeriksaan
gerak dasar Pasien masih terlihat asimetris oleh karenaadanya lesi pada saraf facialis yang
menyebabkan kelemahan otot-otot wajah sehingga mengakibatkan asimetris pada wajah (Neely
et al., 2010) .

Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan spesisik dilakukan dengan Skala Ugo Fischdan menunjukkan hasil 30
(kelumpuhan berat) dan 63 (kelumpuhan sedang). Menurut teori, pada penderita bell’s palsy
melakukan pemeriksaan skala Ugo FischScale didapatkan adanya penurunan motorik pada
wajah yang menyebabkan asimetris pada wajah. Terdapat kesamaan antara fakta dan teori,
bahwa pada pemeriksaan Ugo Fisch didapatkan hasil kelumpuhan berat,
karenaadanyapenyempitan pada saraf facialisyang menyebabkan penurunan kemampuan
fungsional otot wajah sehingga Pasien tidak mampu mengerutkan dahi, menutup mata,
tersenyum, dan bersiul (Kuswardani et al., 2020).
Kekuatan otot wajah pasien diukur dengan menggunakan MMT otor wajah dan ditemukan
nilai 1. Menurut Qudus dan Nurjanah (2020), pada penderita bell’s palsy ada penurunan
kekuatan otot wajah. Hal tersebut terjadi karena adanya penjepitan pada saraf facialis sehingga
menyebabkan lesi pada saraffacialis tidak bisa memberikan rangsangan pada otot untuk bergerak
sehingga terjadi penurunan kekuatan otot (Abdul Qudus, 2020).

Permasalahan Fisioterapi
Pasien memiliki masalah kelemahan otot wajah pada wajah bagian kiri karena adanya lesi
pada saraf tidak bisa memberikan rangsangan pada otot untuk bergerak sehingga terjadi
penurunan kekuatan. Hal tersebut sesuai dengan teori Somasundara dan Sullivan (2017) yang
mengatakan bahwa pada impairment penderita bell’s palsy adanya penurunan kekuatan otot pada
wajah.

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Bell’s Palsy | Anastasia Putu Martha Anggarani dkk 60
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol.8 No. 1 Januari 2024 p-ISSN 2548-8716
Halaman 57 - 63 e-ISSN 2599-2791
DOI: 10.33660/jfrwhs.v8i1.327 http://jurnal.d3fis.uwhs.ac.id/index.php/akfis/article/view/327

Kelemahan akibat adanya lesi pada saraf facialistersebut mengakibatkan Pasien mengalami
keterbatasan dalam aktivitas menutup mata, mengangkat alis, mengerutkan dahi, tersenyum dan
bersiul. Sesuai dengan teori Qudus dan Nurjanah (2020) bahwa pada pasien Bell’s Palsy akan
mengalami keterbatsan gerak saat menutup mata, mengangkat alis, mengerutkan dahi,
tersenyum, dan bersiul.Pasienjuga kesulitan melakukan aktivitas bekerjanyakarena Pasien
merasa pedih pada mata Pasien saat terkena udara dingin. Hal tersebut sesuai dengan Pratiwi
(2021), pasien mengalami hambatan melakukan aktivitas social dan hobbinya.
Intervensi Fisioterapi

Infra Red
Modalitas infra red diberikan bertujuan untuk memperlancar peredaran darah otot wajah dan
merileksasikan otot wajah menggunakan sinar luminous yang menghasilkan sinar merah. Saat
tindakan, Pasien menutup mata agar tidak terkena sinar setelah itu sinar infra red diletakkan
dengan jarak 30-35 cm pada area wajah sebelah kiri, dengan waktu 15 menit. Menurut Amanati
(2017), jarak pemasangan untuk lampu luminous antara 35-45 cm sedangkan jarak pemasangan
untuk lampu non luminous antara 45-60 cm, namun jarak ini juga harus disesuaikan dengan
toleransi pasien. Hal ini dikarenakan jarak yang digunakan diatur sesuai dengan toleransi Pasien
supaya tidak terjadi luka bakar dan sinar merah (luminous) pada infra red bersifat
superficialsehingga tidak boleh terlalu dekat dan lama dengan wajah pasien, karena infra red
bertujuan untuk merileksasikan otot wajah.

Massage Wajah
Massage wajah diberikan pada penderita bell’s palsy bertujuan untuk merileksasikan otot
wajah. Hal ini dikarenakan massage wajahmenggunakan penekanan yang ringan sehingga bisa
memberikan efek rileksasi pada otot wajah.Massage wajah diberikan dengan gerakan stroking,
effluarage, finger kneading, dan tapotement selama 15 menit.

Mirror Exercise
Mirror exercise bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot wajah karena pasien mengalami
adanya penurunan kekuatan otot, gerakan dari latihan wajah yang dapat membantu otot-otot
wajah kembali berkontraksi.Mirror exercise diberikan dengan gerakan mengangkat alis,
membuka dan menutup mata, tersenyum, menarik sudut mulut kesamping dan mengangkat
kedua sudut mulut keatas dan kebawah, lakukan gerakan dengan tahanan 20 hitungan dengan
repetisi 3x. Hal ini dikarenakan adanya gerakkan aktif pada wajah yang dapat membantu otot-
otot pada wajah berkontraksi, sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot wajah. Latihan ini
juga dilakukan sebagai home program. Menurut Qudus dan Nurjanah (2020), pemeberian home
program bisa dilakukan latihan otot-otot wajah seperti mirror exercise dengan hitungan 20
dengan 3 kali pengulangan. Hal ini dikarenakan latihan otot-otot wajah yang bisa dilakukan
dirumah dengan latihan berada di depan cermin dengan gerakan yang mudah diingat oleh Pasien,
sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot wajah. Selain home program, edukasi diberikan
kepada pasien untuk mencegah rasa pedih pada mata dan melindungi mata dari angin luar.
Tingkat Keberhasilan Intervensi Fisioterapi
Intervensi fisioterapi dilakukan selama 1 bulan didapatkan MMT otot wajah naik dari nilai 1
untuk semua otot wajahmenjadi nilai 3 (M. Frontalis, M.Occipitalis, M. Zygomaticus minor, M.
Levator labii superior, M. Zygpmaticus mayor, M. Levator anguli oris, M. Obicularis oris, M.
Depressor anguli oris, M. Depressor labii inferioris, M. Mentalis, dan M. Platysma)dan nilai 5
(M. Obicularis oculi dan M. Nasalis) dan skala Ugo Fisch naik dari nilai total 30 (kelumpuhan
berat) menjadi 66(kelumpuhan sedang) dan dari 63 (kelumpuhan sedang) menjadi 85
(kelumpuhan ringan). Hal tersebut dikatakan berhasilkarena Pasien mendapat intervensi yang
sesuai dengan permasalahan Pasien.

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Bell’s Palsy | Anastasia Putu Martha Anggarani dkk 61
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol.8 No. 1 Januari 2024 p-ISSN 2548-8716
Halaman 57 - 63 e-ISSN 2599-2791
DOI: 10.33660/jfrwhs.v8i1.327 http://jurnal.d3fis.uwhs.ac.id/index.php/akfis/article/view/327

SIMPULAN DAN SARAN


Intervensi fisioterapi yang diberikan kepada pasien dengan Bells Palsy berhasil
menyelesaikan masalah pasien. Tingkat keberhasilan diukur menggunakan Ugo Fish danMMT.
Saat dilakukan evaluasi didapatkan adanya peningkatan nilai Ugo Fisch dan MMT. Pasien
dianjurkan untuk menjalani program fisioterapi secara teratur dan mengikuti home program serta
edukasi yang telah diberikan untuk mengurangi resiko terjadinya bell’s palsy kembali dan
kesembuhan yang maksimal. Bagi penelitian berikutnya, disarankan menggunakan responden
yang lebih banyak dan dilakukan dalam periode waktu yang lebih lama.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qudus, A. N. (2020). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Pasien Kasus Bell’s Palsy Sinistra
Dengan Modalitas Infra Red Radiation dan Mirror Exercise di RSUD Cibabat Kota Cimahi.
Infokes, 4(1), 1–14.

Adam, O. M. (2019). Bell ’ s Palsy. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 8(1) : 137-149,
8(3), 137–149. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30742/jikw.v8i1.526

Babl, F. E., Mackay, M. T., Borland, M. L., Herd, D. W., Kochar, A., Hort, J., Rao, A., Cheek, J.
A., Furyk, J., Barrow, L., George, S., Zhang, M., Gardiner, K., Lee, K. J., Davidson, A.,
Berkowitz, R., Sullivan, F., Porrello, E., Dalziel, K. M., … Dalziel, S. R. (2017). Bell’s
Palsy in Children (BellPIC): protocol for a multicentre, placebo-controlled randomized trial.
BMC Pediatrics, 17(1), 53. https://doi.org/10.1186/s12887-016-0702-y

Baugh, R. F., Basura, G. J., Ishii, L. E., Schwartz, S. R., Drumheller, C. M., Burkholder, R.,
Deckard, N. A., Dawson, C., Driscoll, C., Gillespie, M. B., Gurgel, R. K., Halperin, J.,
Khalid, A. N., Kumar, K. A., Micco, A., Munsell, D., Rosenbaum, S., & Vaughan, W.
(2013). Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy. Otolaryngology–Head and Neck Surgery,
149(S3). https://doi.org/10.1177/0194599813505967

Kuswardani, Amin, A. A., & Fauziah, M. A. (2020). PENGARUH MIRROR EXERCISE DAN
MASSAGE PADA LAGHOPTHALMUS e.c LESI NERVUS FACIALIS. Jurnal
Fisioterapi Dan Rehabilitasi, 4(2), 91–98. https://doi.org/10.33660/jfrwhs.v4i2.123

Moch, B. (2017). Bell’s Palsy (BP). Saintika Medika, 7(2). https://doi.org/10.22219/sm.v7i2.


4073

Mujaddidah, N. (2017). Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s Palsy. Qanun Medika -
Medical Journal Faculty of Medicine Muhammadiyah Surabaya, 1(02).
https://doi.org/10.30651/qm.v1i02.634

Neely, J. G., Cherian, N. G., Dickerson, C. B., & Nedzelski, J. M. (2010). Sunnybrook facial
grading system: Reliability and criteria for grading. The Laryngoscope, NA-NA.
https://doi.org/10.1002/lary.20868

O’Sullivan. (2014). Physical Rehabilitation. F.A Davis Company.

Pratiwi, Sania Indah, Karlina, & Ika, R. (2021). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Bell’S
Palsy Sinistra Dengan Modalitas Infra Red, Electrical Stimulation (Faradik) Dan Massage
Di Rsud Cililin. Http://Jurnal.Stikes-Sitihajar.Ac.Id/Index.Php/Jhsp, 3, 103–110.

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Bell’s Palsy | Anastasia Putu Martha Anggarani dkk 62
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol.8 No. 1 Januari 2024 p-ISSN 2548-8716
Halaman 57 - 63 e-ISSN 2599-2791
DOI: 10.33660/jfrwhs.v8i1.327 http://jurnal.d3fis.uwhs.ac.id/index.php/akfis/article/view/327

Somasundara, D., & Sullivan, F. (2017). Acute Management of Bell’s Palsy. Management of
Bell’s Palsy, 6(2), 161–170. https://doi.org/10.1007/s40136-018-0198-0

Sumathi, G., Surekha, K., Ramamoorthy, V., & Divya, B. (2019). Effectiveness of Facial Nerve
Stimulation with Kabat Technique in Bell’s Palsy Patients. International Journal of
Research & Review (Www.Ijrrjournal.Com) Vol, 6(March), 116–120. www.ijrrjournal.com

© 2023 Anastasia Putu M A dibawah Lisensi Creative Commons Attribution 4.0 Internasional License

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Pasien Bell’s Palsy | Anastasia Putu Martha Anggarani dkk 63
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol. 6 No. 1 Januari 2022 p-ISSN 2548-8716
Halaman 42 - 47 e-ISSN 2599-2791

Hubungan Gerakan Repetitif Terhadap Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Pada Pemetik
Daun Teh Di Pt. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021

The Relationship of Repetitive Movements To The Incidence Of Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
In Tea Leaf Pickers At Pt. Mitra Kerinci, South Solok Regency in 2021

Rindu Febriyeni Utami, Siti Munawarah, Hatifa Khairunissa

Universitas Fort De Kock Bukittinggi

rindu09febriyeni@gmail.com, sitimunawarah@fdk.ac.id, hatifakhairunissa@gmail.com

Diterima : 14 Oktober 2021 Disetujui : 14 November 2021 Dipublikasikan : 24 November 2021

ABSTRAK
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan neuropati tekanan terhadap nervus medianus dalam terowongan
karpal pada pergelangan tangan. Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
gerakan repetitif. Gerakan repetitif merupakan gerakan yang dilakukan secara berulang-berulang pada pergelangan
tangan saat melakukan pekerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan gerakan repetitif terhadap
kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada pemetik daun teh di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun
2021. Desain penelitian ini adalah kuantitatif dengan study cross sectional. Tekhnik pengambilan sampel
menggunakan metode accidental sampling. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2021 terhadap 40 orang
pekerja pemetik daun teh di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan.Hasil uji statistik chi-square didapatkan angka
kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada pemetik daun teh adalah 31 orang (77,5%), dan gerakan repetitif yang
beresiko sebanyak 33 orang (82,5%). Nilai signifikan kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dengan gerakan
repetitif didapatkan p=0,000.Disimpulkan terdapat hubungan gerakan repetitif terhadap kejadian Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) pada pemetik daun teh di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021

Kata kunci: Gerakan Repetitif, Carpal Tunnel Syndrome (CTS)

ABSTRACT
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) is a pressure neuropathy of the median nerve in the carpal tunnel at the wrist.
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) is influenced by several factors, one of which is repetitive movements. Repetitive
movements are movements that are performed repeatedly on the wrist while doing work. This study aims to determine
the relationship between repetitive movements and the incidence of Carpal Tunnel Syndrome (CTS) in tea leaf pickers
at PT. Mitra Kerinci, South Solok Regency in 2021. The design of this research is quantitative with a cross-sectional
study. Sampling technique using an accidental sampling method. This research was conducted in August 2021 on 40
tea leaf pickers at PT. Mitra Kerinci, South Solok Regency. The results of the chi-square statistical test showed that
the incidence of Carpal Tunnel Syndrome (CTS) in tea leaf pickers was 31 people (77.5%), and repetitive movements
at risk were 33 people (82.5%). The significant value of the incidence of Carpal Tunnel Syndrome (CTS) with
repetitive movements was found to be p = 0.000. It was concluded that there was a relationship between repetitive
movements and the incidence of Carpal Tunnel Syndrome (CTS) in tea leaf pickers at PT. Mitra Kerinci, South Solok
Regency in 2021

Keywords: Repetitive Movement, Carpal Tunnel Syndrome (CTS)

PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduk Indonesia memiliki
mata pencaharian sebagai bertani atau bercocok tanam. Sebagai negara agraris, Indonesia terkenal
dengan hasil perkebunannya, seperti karet, kelapa sawit, tembakau, kapas, kopi, beras, tebu dan
teh. Di Kabupaten Solok Selatan terkenal sebagai salah satu penghasil daun teh terbesar yang
berkualitas, yang melakukan pekerjaan secara manual. Pekerjaan secara manual tersebut dapat
meningkatkan keluhan dan komplain pada pekerja, seperti yang dilakukan pada saat memetik teh
dengan cara gerakan yang berulang dalam kurun waktu yang lama. Hal tersebut dapat
menyebabkan beberapa keluhan salah satunya Carpal Tunnel Syndrome (CTS).
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan suatu kelainan akibat penekanan saraf medianus
pada terowongan karpal di pergelangan tangan dengan gejala utama berupa kesemutan dan rasa

Hubungan Gerakan Repetitf Terhadap Kejadian Carpal Tunnel Syndrome…| Rindu Febriyeni Utami dkk 42
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol. 6 No. 1 Januari 2022 p-ISSN 2548-8716
Halaman 42 - 47 e-ISSN 2599-2791

nyeri yang menjalar ke jari serta tangan yang dipersarafi oleh saraf medianus, disertai rasa kebas,
kelemahan otot, kekakuan dan kemungkinan atrofi otot.
Di Indonesia, prevalensi Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dalam masalah kerja belum
diketahui karena sampai tahun 2001 masih sangat sedikit diagnosis penyakit akibat kerja yang
dilaporkan karena berbagai hal, antara lain sulitnya diagnosis. menurut Farhan (2018) prevalensi
penyakit ini di Indonesia belum diketahui karena minimnya laporan kejadian. Penelitian pada
pekerjaan dengan resiko tinggi di pergelangan tangan dan tangan mendapatkan Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) antara 5,6% - 14,8 %.
Repetitive stress injury (RSI) adalah cedera atau kerusakan yang terjadi pada otot atau jaringan
saraf tubuh lainnya karena melakukan sesuatu secara berulang-ulang dan berlangsung secara
bertahun-tahun hal ini dapat menyebabkan nyeri pada otot dan jaringan saraf yang berawal dari
suatu perobekan. Penelitian yang dilakukan oleh Sekarsari (2017) menunjukkan bahwa dari 58
responden yang bekerja dengan adanya gerakan repetitif >30 kali setiap menit, ditemukan terdapat
40 responden (62,5%) dengan kategori positif Carpal Tunnel Syndrome. Sedangkan pada 6
responden yang bekerja dengan adanya gerakan repetitif ≤30 kali setiap menit, ditemukan terdapat
1 responden (1,6%) dengan kategori positif Carpal Tunnel Syndrome (CTS).
Berdasarkan fenomena tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang
Hubungan Gerakan Repetitif Terhadap Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Pada Pemetik
Daun Teh Di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan diwilayah kerja PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan pada
bulan Agustus tahun 2021. Penelitian ini menggunakan kuesioner BCTQ (Boston Carpal Tunnel
Questionnaire) dan pemeriksaan khusus fisioterapi untuk mengetahui hubungan gerakan repetitif
terhadap dengan kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada pemetik daun teh di PT. Mitra
Kerinci Kabupaten Solok Selatan tahun 2021 Rancangan penelitian ini menggunakan desain
kuantitatif study cross sectional.
Pengambilan sampel dengan tekhnik accidental sampling, sampel yang diambil berdasarkan
kebetulan yaitu pemetik teh yang kebetulan bertemu dengan peneliti yang sesuai dengan konteks
penelitian. Dalam penelitian ini sampel yang diambil sebanyak 40 orang dari populasi 1200 orang.
Sampel yang diambil dengan kriteria insklusi antara lain: bersedia menjadi responden, pemetik
daun teh yang sudah bekerja ≥2 tahun, responden yang berada di lokasi penelitian, sehat jasmani
dan rohani, pemetik teh yang berusia 30-40 tahun. Dan kriteria ekslusi antara lain: pemetik teh
yang tidak dapat berkomunikasi dengan baik, responden yang tidak ada dilokasi pada waktu
penelitian, tidak bisa membaca dan menulis, tidak memahami bahasa indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Analisa Univariat
Distribusi Frekuensi Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Pada Pemetik Daun Teh di PT. Mitra
Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Pada Pemetik Daun Teh di PT. Mitra
Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021
Kejadian Carpal Tunnel Syndrome F %
Positif 31 77.5
Negatif 9 22.5
Total 40 100.0

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa lebih dari separuh responden yaitu 31 orang (77,5%)
mengalami kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS)

Hubungan Gerakan Repetitf Terhadap Kejadian Carpal Tunnel Syndrome…| Rindu Febriyeni Utami dkk 43
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol. 6 No. 1 Januari 2022 p-ISSN 2548-8716
Halaman 42 - 47 e-ISSN 2599-2791
Distribusi Frekuensi Gerakan Repetitif Pemetik Daun Teh di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok
Selatan Tahun 2021
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Gerakan Repetitif Pemetik Daun Teh di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok
Selatan Tahun 2021
Kejadian Carpal Tunnel F %
Syndrome
Beresiko 33 82.5
Tidak Beresiko 7 17.5
Total 40 100.0
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa lebih dari separuh responden yaitu 33 orang (82,5%)
mengalami dengan gerakan repetitif beresiko ≥30 kali.

Analisa Bivariat
Hubungan Gerakan Repetitif Terhadap Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Pada Pemetik Daun
Teh Di PT Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021
Tabel 3 Hubungan Gerakan Repetitif Dengan Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Pada Pemetik
Daun Teh di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021
Keluhan Carpal Tunnel Syndrom
Jumlah
Gerakan Repetitif Ada Tidak Ada P-value

N % N % N %
Beresiko 30 96,8 1 3,2 31 100

Tidak Beresiko 3 33,3 6 66,7 9 100 0,000

Total 33 82,5 7 17,5 40 100

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa proporsi responden yang memiliki kejadian Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) lebih banyak ditemukan pada responden gerakan repetitif yang beresiko yaitu
(96,8%) dibandingkan dengan gerakan repetitif yang tidak beresiko yaitu (3,2%). Hasil uji statistik
didapatkan P-value 0,000 (P<0,05) artinya, terdapat hubungan yang bermakna gerakan repetitif kerja
dengan kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS).

B. Pembahasan
Analisa Univariat
Distribusi Frekuensi Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Pada Pemetik Daun Teh di PT. Mitra
Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021
Berdasarkan hasil penelitian ini yang dilakukan terhadap 40 orang responden pemetik daun teh
di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021 ditemukan lebih dari separuh responden
mengalami kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) yaitu 31 orang (77,5%). Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) merupakan suatu kelainan akibat penekanan saraf medianus pada terowongan karpal
di pergelangan tangan dengan gejala utama berupa kesemutan dan rasa nyeri yang menjalar ke jari
serta tangan yang dipersarafi oleh saraf medianus, disertai rasa kebas, kelemahan otot, kekakuan dan
kemungkinan atrofi otot (Selviyati,dkk. 2016).
Kelainan (penyakit) ini dapat terjadi akibat adanya proses peradangan pada jaringan-jaringan di
sekitar saraf medianus (tendon dan tenosynovium) yang ada pada terowongan karpal. Peradangan
tersebut mengakibatkan jaringan disekitar saraf menjadi bengkak, sendi menjadi tebal, dan akhirnya
menekan saraf medianus. Penekanan saraf medianus ini lebih lanjut akan menyebabkan kecepatan
hantar (konduksi) dalam serabut sarafnya terhambat, sehingga menyebabkan berbagai gejala pada
tangan dan pergelangan tangan (Beatriace, 2012).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Bahrudin (2017) Kejadian Carpal Tunnel Syndrome
(CTS) pada Pekerja Pemetik Daun Teh hasil penelitiannya yaitu angka kejadian Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) pada pekerja pemetik daun teh adalah 56 orang (65,9%). Gangguan ini terjadi pada
kesehatan seseorang pekerja yang disebabkan oleh beberapa faktor yang salah satunya dipengaruhi
oleh perilaku kerja terhadap kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) adalah gerakan tangan saat

Hubungan Gerakan Repetitf Terhadap Kejadian Carpal Tunnel Syndrome…| Rindu Febriyeni Utami dkk 44
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol. 6 No. 1 Januari 2022 p-ISSN 2548-8716
Halaman 42 - 47 e-ISSN 2599-2791
bekerja dalam waktu yang lama dan berulang sehingga menyebabkan gangguan pada jaringan sekitar
terowongan pergelangan tangan.
Namun hasil penelitian lebih rendah jika dibandingkan penelitian Sekarsari (2017) pada Kejadian
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) hasil penelitiannya adalah pada 64 orang responden yang diteliti ada
sebanyak 41 orang (78,6 % ) responden yang positif mengalami kejadian Carpal Tunnel Syndrome
(CTS). Kejadian ini dikarenakan pekerjaan dengan tekanan biomekanis pada pergelangan tangan
seperti menggenggam atau menjepit yang kuat, posisi yang ekstrim pada pergelangan tangan dengan
menggunakan alat bantu genggam yang bergetar sehingga terjadinya tekanan langsung pada
terowongan carpal.
Asumsi peneliti, setelah melakukan pemeriksaan dengan kuesioner dan dilakukan pemeriksaan
khusus fisioterapi didapatkan 31 orang yang mengalami tentang Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
dikarenakan pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan tangan dan dilakukan secara terus
menerus dengan gerakan yang sama dan dalam waktu yang lama adalah sebagai akibat inflamasi /
pembengkakan tenosinovial didalam terowongan carpal. Penekanan saraf medianus pada pergelangan
tangan yang menimbulkan rasa nyeri, kesemutan, dan kelemahan sepanjang perjalanan saraf medianus.
Di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan cukup banyak terdapat keluhan Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) pada pemetik daun teh disebabkan karena aktifitas yang berhubungan dengan
pekerjaannya.

Distribusi Frekuensi Gerakan Repetitif Terhadap Kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Pada
Pemetik Daun Teh di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 40 orang responden pemetik daun teh di
PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021 dapat dilihat bahwa lebih dari separuh
responden masa kerja beresiko ≥30 kali gerakan repetitif yaitu 33 orang (82,5%). Gerakan repetitif
adalah dimana seorang yang bekerja dengan melakukan aktivitas kerja berulang yang melibatkan
gerakan tangan atau pergelangan tangan atau jari¬-jari adalah suatu faktor risiko Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) yang memiliki pengaruh pada faktor beban fisik. Semakin tinggi frekuensi gerakan
berulang semakin tinggi risiko terjadinya Carpal Tunnel Syndrome (CTS) (Firdaus,2011).
Hasil penelitian ini sejalan dengan Sekarsari (2017) menunjukkan bahwa dari 64 responden yang
bekerja dengan adanya gerakan repetitif, ditemukan terdapat 58 responden (90,6%) dengan kategori
positif Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Sedangkan pada 6 orang (9,4) responden yang bekerja dengan
adanya gerakan repetitif ≤30 kali setiap menit. Gerakan yang berulang pada pekerja pemecah batu
memiliki variasi gerakan dan dilakukan setiap beberapa detik. Pengulangan waktu kurang dari 30 detik
telah dianggap sebagai gerakan yang berulang yang akan menyebabkan ketegangan pada jaringan
pergelangan tangan yang menyebabkan Carpal Tunnel Syndrome (CTS).
Namun, hasil penelitian lebih rendah dibandingkan penelitian Lazuardi (2016), pada responden
yang bekerja dengan gerakan repetitif ≤30 kali setiap menit ditemukan sebanyak 33 orang (78,68%)
dari 42 orang. Sedangkan gerakan repetitif ≤30 kali setiap menit ditemukan 9 orang (21,42%).
Penelitian ini pada pekerja pemecah batu dengan gerakan repetitif ≤30 sangat beresiko terjadinya
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) karena pekerjaan ini mengandalkan kekuatan fisik, dalam proses
kerjanya masih menggunakan alat-alat tradisional seperti palu, cikrak, dan alat bantu lainnya.
Pekerjaan ini menggunakan gerakan berulanag- ulang dengan alat tersebut dan terjadinya penekanan
yang berpotensi menimbulkan gejala Carpal Tunnel Syndrome (CTS).
Asumsi peneliti, gerakan repetitif yang dilakukan pekerja pemetik daun teh merupakan
serangkaian gerakan yang memiliki sedikit variasi seperti gerakan fleksi ektensi saat memetik teh dan
dilakukan secara berulang – ulang tanpa istirahat dan dilakukan setiap beberapa detik, sehingga dapat
menyebabkan kelelahan dan ketegangan otot tendon. Gerakan repetitif ≥30 kali banyak terjadi risiko
kerja dikarenakan gerakan yang berulang dan terus menerus akan mengalami strees pada pergelangan
tangan yang disebabkan pekerjaan itu, beda hal nya jika gerakan tersebut dilakukan ≤30 kali akan
mengurangi risiko kerja pada pergelangan tangan. Semakin tinggi frekuensi gerakan berulang semakin
tinggi risiko kerja.

Analisa Bivariat
Hubungan Gerakan Repetitif Dengan Keluhan Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Pada Pemetik Daun
Teh di PT. Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021

Hubungan Gerakan Repetitf Terhadap Kejadian Carpal Tunnel Syndrome…| Rindu Febriyeni Utami dkk 45
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol. 6 No. 1 Januari 2022 p-ISSN 2548-8716
Halaman 42 - 47 e-ISSN 2599-2791
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan lebih dari separuh responden dengan gerakan repetitif
mengalami kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) yaitu 30 orang (96,8%). Hasil uji statistik
didapatkan P-value 0,000 (P<0,05) yang berarti terdapat hubungan yang bermakna. Gerakan repetitif
adalah dimana seorang yang bekerja dengan melakukan aktivitas kerja berulang yang melibatkan
gerakan tangan atau pergelangan tangan atau jari¬-jari adalah suatu faktor risiko Carpal Tunnel
Syndrome (CTS) yang memiliki pengaruh pada faktor beban fisik. Semakin tinggi frekuensi gerakan
berulang semakin tinggi risiko terjadinya Carpal Tunnel Syndrome (CTS). Repetitive stress injury
(RSI) adalah cedera atau kerusakan yang terjadi pada otot atau jaringan saraf tubuh lainnya karena
melakukan sesuatu secara berulang-ulang dan berlangsung secara bertahun-tahun hal ini dapat
menyebabkan nyeri pada otot dan jaringan saraf yang berawal dari suatu perobekan. Sebagian orang
mungkin mengenal Repetitive Strain Injury itu sebagai Carpal Tunnel Syndrome (CTS) (Firdaus,
2011).
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Sekarsari (2017) yang menemukan hubungan
gerakan repetitif terhadap kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada pekerja pemecah batu di
kecamatan Moramo Utara dengan p-value 0,02 (P<0,05). Penelitian ini didukung oleh penelitian
Basuki (2015) yang menemukan hubungan yang signifikan yaitu gerakan repetitif terhadap keluhan
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada pengrajin alat tenun bukan mesin dengan p-value 0,001
(P<0,05). Asumsi peneliti pada gerakan repetitif adalah gerakan yang dilakukan secara berulang-ulang
dan akan menyebabkan risiko kerja pada pemetik daun teh, yang menyebabkan kejadian carpal tunnel
syndrome (CTS). Pada pekerja memetik daun teh di PT. Mitra Krinci Kabupaten Solok Selatan banyak
melakukan gerakan tangan yang berulang seperti fleksi dan ekstensi saat memetik teh secara terus
menerus. Gerakan repetitif ≥30 kali banyak terjadi carpal tunnel syndrome (CTS) dikarenakan gerakan
yang berulang dan terus menerus akan mengalami strees pada pergelangan tangan yang disebabkan
pekerjaan itu, beda hal nya jika gerakan tersebut dilakukan ≤30 kali akan mengurangi resiko Carpal
Tunnel Syndrome (CTS) pada pergelangan tangan. Sebagian besar pemetik daun teh melakukan
gerakan tangan berulang dengan frekuensi tinggi dan cepat agar teh yang didapat terkumpul dalam
jumlah yang banyak dan hal itu terjadi dalam waktu yang lama selama mereka bekerja di PT tersebut
akan meningkatkan risiko untuk terjadinya Carpal Tunnel Syndrome (CTS).

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian, maka hasil penelitian didapatkan adanya hubungan yang signifikan
antara gerakan repetitif terhadap kejadian Carpal Tunnel Syndrome (CTS) pada pemetik daun teh di PT.
Mitra Kerinci Kabupaten Solok Selatan Tahun 2021. Dan disarankan kepada peneliti berikutnya untuk
meneliti tentang fakto-faktor lain yang bisa menyebabkan terjadinya Carpal Tunnel Syndrome (CTS).

DAFTAR PUSTAKA
American academy of orthopedic surgeons (AAOS). “Carpal Tunnel Syndrome” dalam
guideline.gov/browse/by-organization.aspx?orgid=42. (2009) (Diakses tanggal 24 Maret 2020)
Bahrudin, M., Lystianto Putra Perdana, R., & Fitra Alief Sultana, H. (2017). Hubungan Masa Kerja Dengan
Kejadian Cts Pada Pekerja Pemetik Daun Teh. Saintika Medika, 11(2), 114.
https://doi.org/10.22219/sm.v11i2.4205
Basuki, R., Jenie, M. N., & Fikri, Z. (n.d.). Faktor Prediktor Carpal Tunnel Syndrome ( CTS ) pada
Pengrajin Alat Tenun Bukan Mesin ( ATBM ) Predictor Factor of Carpal Tunnel Syndrome ( CTS ) of
Non Machine Weaving Tools Craftsman Korespondensi : digunakan dalam berbagai aktivitas sehari-
hari . Aktiv. 1–7.
Farhan, F. S. (2018). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Carpal Tunnel Syndrome pada
Pengendara Ojek. Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS.Dr. Soetomo, 4(2), 123.
https://doi.org/10.29241/jmk.v4i2.114
Flex Free Clinic. (2015). Carpal Tunnel Syndrome (CTS). [Serial Online]
http://www.flexfreeclinic.com/detail-artikelx/27-CARPAL-TUNNEL- SYNDROME. [28 Maret
2019]
Kementrian Pertanian. (2019) . Perkembangan Pasar Teh Indonesia di Pasar Domestik dan Pasar
Internasional, viewed 13 Maret 2021.
Lalupanda, E. Y. (2019) . Hubungan Masa Kerja dengan Kejadian Carpal Tunnel Syndrome Pada Penjahit
Sektor Informal di Kelurahan Solor Kota Kupang. Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana,
2(2), 54–65.

Hubungan Gerakan Repetitf Terhadap Kejadian Carpal Tunnel Syndrome…| Rindu Febriyeni Utami dkk 46
Jurnal Fisioterapi dan Rehabilitasi Vol. 6 No. 1 Januari 2022 p-ISSN 2548-8716
Halaman 42 - 47 e-ISSN 2599-2791
Lazuardi, A. I., Ma, I., Hartanti, R. I., & Kalimantan, J. (2016). Determinan Gejala Carpal Tunnel
Syndrome ( CTS ) pada Pekerja Pemecah Batu ( Studi pada Pekerja Pemecah Batu di Kecamatan
Sumbersari dan Sukowono Kabupaten Jember ) Determinants of Carpal Tunnel Syndrome ( CTS )
Symptoms on Rock-Breaking Workers ( Study o.
Nadhifah, J., Hartanti, R. I., & Indrayani, R. (2019). Keluhan Carpal Tunnel Syndrome pada Pekerja Sortasi
Daun Tembakau (Studi di Gudang Restu I Koperasi Agrobisnis Tarutama Nusantara Jember). Jurnal
Kesehatan, 6(1), 18–26. https://doi.org/10.25047/j-kes.v6i1.14
National Institute For Occupational Safety and Health (NIOSH) 2012
Nafasa, K., Yuniarti, Y., Nurimaba, N., Tresnasari, C., & Wagiono, C. (2019). Hubungan Masa Kerja
dengan Keluhan Carpal Tunnel Syndrome pada Karyawan Pengguna Komputer di Bank BJB Cabang
Subang. Jurnal Integrasi Kesehatan & Sains, 1(1), 40–44. https://doi.org/10.29313/jiks.v1i1.4319
Nendah,H. (2007) .Hubungan Gerakan Repatitif Berkekuatan dengan Faktor Individu dengan CTS pada
Penenun Mendong di CV Mendong Jaya Kota Tasik Malaya. Skripsi.Semarang:Fakultas Kesehatan
Masyarakat Di Ponogoro
Notoadmodjo, S. (2018) . Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta
Prakoso. (2017). Perempuan Berusia 65 Tahun dengan Carpal Tunnel Syndrome A Women Aged 65 Years
with Carpal Tunnel Syndrome. J Medula Unila, 7, 144.
Pratama, D. N. (2017). Identifikasi Risiko Musculoskeletal Disorders(Msds) Pada Pekerja Pandai Besi. The
Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, 6(1), 78.
https://doi.org/10.20473/ijosh.v6i1.2017.78-87
Rohmah,Siti, (2016) . Analisis Hubungan Faktor-Faktor Individu Dengan Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
Pada Pekerja Konveksi.Seminar Nasional IENACO,ISSN:2337-4349
Salawati, L. (2014). CARPAL TUNEL SYNDROME. 1, 29–37.
Sambandam, Senthil Nathan el al. (2008) . Critical Analysis Of Outcome Measures Used In the Assessment
Of Carpal Tunnel Syndrome International Orthopaedics.
Sekarsari, D., pratiwi, A., & Farzan, A. (2017). Hubungan Lama Kerja, Gerakan Repetitif Dan Postur
Janggal Pada Tangan Dengan Keluhan Carpal Tunnel Syndrome (Cts) Pada Pekerja Pemecah Batu Di
Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2016. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat Unsyiah, 2(6), 186728. https://doi.org/10.37887/jimkesmas.v2i6.12245
Sebastian SJ, Chung KC. (2015) . An Asian Perspective On the Management Of Distal Radius Fractures.
Hand Clin.
Selviyati, V., Camelia, A., & Sunarsih, E. (2016). Determinant Analysis of Carpal Tunnel Syndrome (Cts)
in the Farmers Tapper Rubber Trees At Karang Manik Village South Sumatera. Jurnal Ilmu Kesehatan
Masyarakat, 7(3), 198–208. https://doi.org/10.26553/jikm.2016.7.3.198-208
Simbolon, P., Wulan, A. J., & Ariwibowo, C. (2017). Carpal tunnel syndrome pada kehamilan. Jurnal
Medula, 7(5), 19–24.
Sitompul, Y. (2019). Resiko Jenis Pekerjaan Dengan Kejadian Carpal Tunnel Syndrome ( Cts ). Jurnal
Ilmiah WIDYA, 5(3), 1–7.
Sugiyono. (2015) . Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bndung: Alfabeta
Suherman, B. Maywati S, Faturahman Y.(2012) . Beberapa Faktor Yang Berhunungan dengan Kejadian
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Pada Petugas Rental Komputer Kelurahan Kahuripan Kota
Tasikmalaya.
Sulfandi.S.Ft.,Physio.,M.Fis., AIFO. (2018). Basic Clinical Musculoskeletal Anatomy In
Physiotherapy.Sidoarjo: Widya

© 2021 Rindu Febriyeni Utami dibawah Lisensi Creative Commons 4.0 Internasional

Hubungan Gerakan Repetitf Terhadap Kejadian Carpal Tunnel Syndrome…| Rindu Febriyeni Utami dkk 47

Anda mungkin juga menyukai