Anda di halaman 1dari 25

TUGAS KELOMPOK OT PADA PEDIATRI II

MIRORR THERAPY FOR CEREBRAL PALSY

Disusun Oleh :

Anggi Dhini Maghdalina (P27228018118)

Pribawa Anggi Rahmawati (P27228018149)

Putri Ambarsari (P27228018150)

Untuk Memenuhi Tugas Persyaratan Mata Kuliah OT pada Pediatri II


Yang diampuh oleh Bapak Tri Budi Santoso, Ph.D. OT

PRODI SARJANA TERAPAN TERAPI OKUPASI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURAKARTA

SEMESTER 5 TAHUN 2020/2021


Daftar Isi

Pendahuluan ..................................................................................... 3
Pembahasan...................................................................................... 6
A. Nama Program .................................................................................................. 6
B. Tujuan Program ................................................................................................. 6
C. Prosedur Pelayanan Program ........................................................................... 8
Rujukan .................................................................................................................. 8
Assessment ............................................................................................................ 8
Pelaksanaan Terapi ............................................................................................... 9
Dokumentasi........................................................................................................ 11
Evaluasi SOP ........................................................................................................ 12
Discharge Planning ............................................................................................. 13
Evaluasi Program ................................................................................................ 14
Kesimpulan...................................................................................... 16
Marketing Program ......................................................................... 19
Daftar Pustaka ................................................................................ 20

2
Pendahuluan

Cerebral palsy merupakan kecacatan neurologis yang paling umum


terjadi pada anak-anak, dimana anak dengan cerebral palsy akan
mengalami gangguan dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Cerebral
palsy adalah sekelompok kelainan neurologis bawaan, yang dapat
diperoleh antara konsepsi dan hingga tahun pasca kelahiran (Miller, 2005).
Cerebral palsy disebabkan oleh kerusakan pada bagian otak yang berbeda
yang mengakibatkan masalah dalam otak dan gerakan otot, kerusakan,
yang biasanya terjadi sebelum, selama atau saat setelah lahir, tidak
progresif atau memburuk. Hal itu dapat mempengaruhi luas rentang
gerakan motorik baik kasar dan halus (Taylor R.L. et al 2009:326).

Klasifikasi CP yaitu tipe spastik, athetoid, dan ataksik berdasarkan


klasifikasi neurologis (Park J. E., 2008). Sekitar 60% anak dengan CP
mengalami masalah pada lengan dan tangannya (Basu, Pearse, Kelly,
Wisher, & Kisler, 2015). CP lebih memberikan efek yang buruk pada
ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, karena adanya
pembatasan aktivitas di lengan dan tangan yang akan menyulitkan anak
dalam melakukan kehidupan sehari-hari (Sgandurra G., Ferrari A., et al.,
2011).

Gangguan yang terjadi pada ekstremitas akan mempengaruhi


kemandirian fungsional dan kualitas hidup pada anak dengan kondisi
cerebral palsy (Sankar C. & Mundkur N., 2005). Menurut Eliasson A.C.,
et.al. (2006) dalam “Developmental Medicine & Child Neurology”,
menyebutkan bahwa gangguan yang terjadi pada salah satu lengan akan
mempengaruhi ketidakmampuan anak dalam mengambil peran bermain,
sekolah, dan perawatan diri. Adanya gangguan fungsi tangan dan lengan
ini dapat terjadi karena adanya tonus otot abnormal, fleksi sinergi,
penurunan kekuatan, penuruan lingkup gerak sendi baik gerak aktif dan

3
pasif, perubahan sensasi, dan neglect (Eliason A.C., Krumlinde-Sundholm
L., et.al., 2006).

Sedangkan menurut Colver A. F. dan Dickinson H. O. (2010),


gangguan fungsi ekstremitas atas merupakan konsekuensi umum dan
kecacatan yang menyebabkan masalah anak dalam meraih, menunjuk,
mengambil, dan memanipulasi objek. Hal ini akan menyebabkan anak
mengalami masalah dalam kehidupan sehari-harinya, karena kemampuan
menggapai dan menggenggam benda merupakan salah satu tugas pokok
penting untuk melakukan suatu aktivitas (Coluccini M., Maini E. S., et.al.
2007).

Anak dengan cerebral palsy ini diakukan rehabilitasi oleh fisioterapi


dan terapi okupasi dengan pendekatan yang dirancang untuk
meningkatkan fungsi tangan dan lengan paretik, salah satunya yaitu
mirror therapy (Sakzewski L., Ziviani J., Boyd R. N., 2014).

Mirror therapy adalah pendekatan baru yang dapat digunakan


dalam rehabilitasi dengan kondisi neurologis yang berbeda seperti stroke
(Michielsen M., 2012). Sedangkan menurut Fukumura K., Sugawara K.,
et.al. (2007), menyebutkan bahwa mirror therapy merupakan pendekatan
yang relative baru dimana pendekatan ini berfokus pada stimulasi visual
dan pergerakan anggota tubuh yang sehat atau tanpa kerusakan. Refleksi
dari anggota tubuh yang sehat di cermin diperkirakan akan membuat
anggota tubuh yang sakit akan bergerak secara alamiah (Fukumura K.,
et.al., 2007).

Pada mirror terapi terjadi ilusi visual, dimana ilusi diciptakan oleh
cermin dari anggota tubuh yang sehat, hal ini akan mengelabuhi otak dan
pasien berfikir bahwa anggota tubuh yang terkena dapat bergerak, yang
pada gilirannya akan meningkatkan fungsi penggerak dari anggota tubuh
yang terkena (Ramachandran V. S., Rogers-Ramachandran D., et.al.,

4
1995). Terapi ini akan meningkatkan rangsangan korteks tulang belakang
melalui efek ilusi visual pada neuron aggota tubuh yang terkena tanpa
menyebabkan rasa sakit. Aksi neuron cermin ini akan mempengaruhi otak
dan membayangkan bahwa kedua anggota tubuhnya sehat. Maka akan
terjadi regenerasi korteks otak setelah menerima informasi baru ini
(Darnall B. D., 2010). Mirror therapy dapat memberikan efek positif pada
motor imagery (Stevens J. A., Stoykov M. E., 2003) dan mirror neuron
system (Marian E. Michilsen, et.al., 2011)

Pada saat melakukan mirror therapy, diasumsikan bahwa terapi ini


mampu meningkatkan aktivitas di area precuneus dan korteks cingulated
posterior yang dapat meningkatkan self awareness dan spatial attention
(Marian E. Michilsen, et.al., 2011). Mirror therapy akan merangsang
neuron cermin, merupakan neuron khusus yang digunakan untuk
memodulasi aktivitas motorik tertentu dan mengamati aktivitas yang
dilakukan individu lain (Ramachandran V. S., Altschuler E. L., 2009).

Mirror therapy merupakan program sederhana, murah, dan


program berbasis rujukan yang dapat meningkatkan fungsi anggota
tubuh. Mirror therapy cukup dibilang efektif, karena selain sederhana dan
murah, mirror therapy tidak memerlukan banyak aktivitas dan energi dari
terapis, dan pasien juga dapat melakukan program ini di rumah setelah ia
mempelajari bagaimana cara melakukannya (Wilcher D. G., Chernev I., &
Yan K., 2011).

5
Pembahasan

A. Nama Program

Mirror therapy for Cerebral palsy

B. Tujuan Program

Anak dengan cerebral palsy umumnya memiliki permasalahan


aktivitas pada lengan dan tangan yang akan menyulitkan anak dalam
melakukan kehidupan sehari-harinya (Sgandurra G., Ferrari A., et al.,
2011), ketidakmampuan anak dalam mengambil peran bermain,
sekolah, dan perawatan diri (Eliasson A.C., et.al., 2006). Mirror therapy
merupakan salah satu intervensi yang digunakan dalam memberikan
efek terapetik pada anak cerebral palsy (Hong E. K., 2017).

Tujuan dari mirror therapy yaitu merangsang otak untuk


memberikan ilusi visual dimana pasien akan membayangkan kedua
tubuhnya normal, dimana tangan yang sakit juga ikut bergerak seperti
tangan yang sehat (Darnall B. D., 2010). Dari beberapa penelitian,
dilakukan mirror dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan
motorik halus (Farzamfar P., et.al, 2017), peningkatan daya genggam
dan ketangkasan anak dengan CP hemiplegia (Narimani A., et.al,
2019), efektif dalam meningkatkan kekuatan otot, kecepatan motorik,
aktivitas otot, dan akurasi dari kedua tangan (Park E. J., 2016).

Evidance Based Practise :

Target dari terapeutik pada cerebral palsy tidak hanya anak mampu
pemulihan penuh, tetapi juga meningkatkan efisiensi dalam gerakan,
meningkatkan kemampuan anggota tubuh, dan mencapai kondisi
motoric yang diinginkan. Sehingga dilakukan penelitian oleh Farzamfar
P., Heirani A., & Sedighi M. (2017), untuk mengetahui pengaruh
latihan motorik dalam mirror therapy terhadap keterampilan motorik

6
halus pada anak Spastic Hemiplegic Cerebral palsy. Hasil temuan
menunjukkan bahwa kedua kelompok menunjukkan kemajuan yang
signifikan selama proses evaluasi dari pre-test hingga post-test, tetapi
kelompok terapi lebih banyak mengalami kemajuan keterampilan
motorik halus dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil ini sejalan
dengan hasil Jin Young et al., dan Shahanawaz et al., sehingga dapat
disimpulkan bahwa intervensi yang digunakan (mirror therapy) pada
penelitian ini mengakibatkan peningkatan penggunaan tangan pada
anak dengan CP spastik hemiplegia.

Tujuan penelitian yang dilakukan oleh Narimani A., Kalantari M.,


et.al (2019) dalam “Iran Jurnal Child Neurol” adalah untuk mengetahui
pengaruh mirror therapy terhadap daya genggam dan ketangkasan
anak dengan CP hemiplegia. Dilakukan perbandingan antara kelompok
mirror therapy dan kelompok kontrol, dan mendapatkan hasil mirror
therapy memiliki efek yang jauh lebih baik pada fungsi ketangkasan
anak dengan CP daripada latihan rutin.

Sedangkan tujuan penelitian yang dilakukan oleh Park E. J., Baek,


S. H., & Park, S. (2016), yaitu untuk mengetahui seberapa efektif
terapetik yang diterapkan pada anak dengan cerebral palsy. Dilakukan
perbandingan antar kelompok terapi dengan kelompok kontrol, hasil
dari penelitian menunjukkan bahwa intervensi terapeutik dari mirror
terapi yaitu efektif dalam aktivitas korteks motorik yang melibatkan
otot. Tujuan dari mirror therapy pada umumnya efektif dalam
meningkatkan kekuatan otot, kecepatan motorik, aktivitas otot, dan
akurasi dari kedua tangan.

7
C. Prosedur Pelayanan Program

Rujukan

Klien dengan Cerebral palsy dirujuk oleh dokter atau spesialis anak
untuk melakukan terapi. Sebelum dilakukannya terapi, terapis
melakukan wawancara atau observasi untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan apa yang ada pada diri klien. Terapis juga memberikan
informasi dengan terapi atau aktiviitas apa yang akan diberikan dan
kelebihan dari aktivitas tersebut untuk klien.

Assessment

Sebelum dikalukannya sebuah terapi diperlukan pemeriksaan


untuk anak dengan cerebral palsy. Pemeriksaan sangat dibutuhkan
untuk mengetahui dan mengidentifikasi problem yang dimiliki anak
dengan cerebral palsy. Selain itu juga pemeriksaan digunakan untuk
mengevaluasi bagaimana feedback anak dengan cerebral palsy setelah
dilakukannya terapi. Assessment yang digunakan dalam terapi cermin
yaitu graps dynamometer, Peabody Developmental Motor Scales
Second Edition (PDMS 2), Eloktromyogram (EMG).

Pengukuran kekuatan pegangan tangan (Grasp Dynamometer)


merupakan instrument yang valid dan realiabel untuk mengukur
kekuatan genggaman. Evidence based medicine dari graps
dynamometer sebagaimana penelitian Beaton, et. al. (1995) yang
menjelaskan bahwa graps dynamometer telah dilaporkan sebagai
intrumen yang andal dan valid untuk mengukur kekuatan genggaman.
Graps dynamometer dilakukan dengan menggunakan alat
dinamometer genggam (Beenakker, 2001). Pengukuran dilakukan
dengan anak diminta duduk tegak di kursi yang memiliki sandaran. Jika
anak tidak dapat duduk dengan tegak maka dapat dipasang sabuk
yang menempal pada sandaran kursi. Pinggul dan lutut dalam posisi

8
fleksi 90° dengan kaki menapak pada permukaan lantai. Siku
difleksikan 90° dengan lengan bawah berada di tengah-tengah antara
posisi supinasi dan pronasi serta ditopang pada sandaran tangan kursi
dan wrist pada posisi netral dan menggantung di sandaran tangan
kursi. Kemudian, setiap anak diminta untuk memegang pegangan
dynamometer dan menekannya dengan sekuat tenaga, lalu
melepaskan genggaman dynamometer. Hal ini dilakukan sebanyak 3
kali, kemudian dicatat rata-ratanya.

Peabody Developmental Motor Scales Second Edition (PDMS-2)


digunakan untuk mengevaluasi keterampilan motorik halus meliputi
menggenggam, meraih, dan manipulasi objek. Skala ini memberikan
urutan komprehensif dari keterampilan motorik kasar dan halus,
dimana terapis dapat menentukan perkembangan relatif. tingkat
keterampilan mental seorang anak, mengidentifikasi keterampilan yang
belum sepenuhnya dikembangkan dan merencanakan program
pembelajaran yang dapat mengembangkan keterampilan tersebut
(Wang, et. al. 2006).

Elektromyography atau EMG merupakan teknik yang digunakan


untuk mengevaluasi dan merekam aktivitas yang dihasilkan oleh otot
rangka. Pengukuran EMG menggunakan alat “Electromyograph”, alat
ini digunakan untuk pengukuran, menampilkan, dan penganalisaan
dari setiap signal listrik (electrical signals) dengan menggunakan
bermacam-macam elektroda. Pada kontraksi serabut otot ini selalu
diikuti dengan aktivitas listrik. Sinyal elektromiografi ini berasal dari
sinyal serabut otot pada jarak tertentu dari elektroda (Luttman, 1996).

Pelaksanaan Terapi

Prosedur pada terapi ini digunakan cermin dengan ukuran 30-


40cm². Anak di instruksikan untuk mengamati gerakan lengaan tanpa

9
hambatan yang terpantul di cermin, sehingga anak dapat menerima
umpan balik visual. Anak di instruksikan menggerakan lengan yang
tidak terpengaruh oleh instruksi atau isyarat terapis. Program mirror
therapy ini terdiri dari gerakan bahu, siku, lengan bawah, pergelangan
tangan dan kaki. (Paik, Kim, Lee, & Jeon, 2014; Lin er al., 2014)
gerakan-gerakan ini dilakukan dengan menggunakan sisi yang tidak
terpengaruh, dan setiap gerakan diulang sebanyak 10 kali. Mirror
therapy diberikan selama 4 minggu (60menit/setiap sesi,
5hari/minggu) dan hasil intervensi tersebut di dokumentasikan
sebelum dan sesudah intervensi fisik. (Kim, Ji & Cha, 2016).

 Posisi cermin

Cermin yang digunakan ditempatkan di depan garis tengah


klien untuk menutupi seluruh anggota tubuh yang terkena dampak
dengan cermin, dan pantulan dari anggota tubuh yang tidak
terpengaruh terlihat jelas. Posisi cermin dapat disesuaikan jika
kelalaian visuospasial atau spastisitas otot yang serius pada
anggota tubuh yang terkena dampak, sehingga mengarah lebih ke
diagonal ke tubuh yang tidak terpengaruh. Dan saat menyesuaikan
posisi cermin, poin pentingnya memastikan bahwa bayangan
cermin masih sesuai dengan persepsi anggota tubuh yang terkena
dampak.

 Posisi anggota tubuh yang terkena

Anggota tubuh yang terkena harus diletakkan diatas meja


yang dapat disesuaikan dengan ketinggiannya untuk menyesuaikan
posisinya dengan panjang batang tubuh dan lengan subjek.
Anggota tubuh yang terkena terletak di belakang cermin ditempat
yang aman dan lebih nyaman. Mobilisasi manual awal mungkin

10
penting dan dapat membantu sebelum menempatkan ekstremmitas
jika terjadi spastisitas otot yang serius.

 Posisi anggota tubuh yang tidak terkena

Klien harus mengibaratkan bayangan cermin itu dianggap


sebagai anggota tubuh yang terkena, dengan mencocokan posisi
dan gambar anggota tubuh yang tidak terkena ke sisi yang terkena.
Misal, anggota tubuh yang tidak terkena harus diletakkan dalam
situasi yang sebanding dengan anggota tubuh yang terkena
dampak. Hal ini, meningkatkan kekuatan ilusi cermin tersebut.

Dokumentasi

Sumber : https://pharmascope.org/ijrps/article/view/1483/1723

Sumber : https://pharmascope.org/ijrps/article/view/1483/1723

11
Sumber : https://www.semanticscholar.org/paper/Effect-of-Mirror-
Visual-Feedback-on-Upper-Extremity-Emara-
Negamy/1a992e542847dc0dc7cb2178ecf147765b0c0489

Link video mirror therapy :


https://drive.google.com/file/d/13JnazjsSM5DMCpi89U6dXGH2ApF6PR
_I/view?usp=drivesdk
Evaluasi SOP

Dalam mirror therapy, cermin merupakan bahan atau alat yang


sangat penting untuk dapat berjalannya terapi. Ukuran cermin yang
digunakan harus sesuai tidak boleh terlalu besar ataupun terlalu kecil.
Cermin itu sendiri juga harus memiliki penyangga agar cermin dapat
berdiri sendiri dengan stabil tanpa perlu disangga oleh terapis. Hal ini
sejalan dengan penelitian Elsepeaee, et. al., (2016) yang menjelaskan
ukuran cermin dalam mirror therapy yaitu 35 cm x 35 cm, dan terdapat
potongan kayu berukuran 35 cm x 40 cm dengan disertai engsel untuk
mengkunci pada setiap sisinya dan cermin dapat berdiri dengan stabil.

Posisi cermin saat pemberian terapi juga sangatlah perlu di


perhatikan. Cermin harus berada tepat sejajar dengan garis tengah

12
pasien. Hal ini untuk mencegah supaya pasien tidak melihat anggota
tubuh yang mengalami gangguan. Dengan hal tersebut diharapkan
akan menciptakan ilusi visual dari anggota tubuh yang sehat dianggap
mempengaruhi anggota tubuh yang spastic. Ketika pasien melihat ke
cermin, maka yang dilihat adalah pantulan anggota tubuh yang sehat
yang akan menciptakan ilusi visual bahwa gerakan dari anggota tubuh
yang sehat dapat mempengaruhi anggota tubuh yang spastic ( G
Yavuzer, et.al, 2008).

Selain itu juga perlu diperhatikan posisi pasien saat terapi


berlangsung. Saat pemberian terapi pasien duduk di kursi yang
memiliki ketinggian sesuai dengan tinggi lutut pasien supaya pasien
dalam posisi yang ergonimis. Di depan pasien terdapat meja untuk
tempat peletakan kaca yang tingginya juga disesuaikan dengan pasien.
Pada saat terapi, pasien dalam posisi fleksi elbow 90° dengan lengan
ditempatkan di kedua sisi cermin dan kepala pasien miring ke sisi
tangan yang sehat. Evidence based medicine posisi pasien
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh penelitian Feltham, dkk.
(2010) yang menjelaskan bahwa klien duduk di kusi dan terdapat meja
yang telah disesuaikan ketinggiannya, lengan pasien ditempatkan di
kedua sisi cermin dan posisi kepala pasien condong ke sisi tangan
yang sehat.

Discharge Planning

Setelah dilakukan proses terapi selama 4 minggu, dengan 5 kali


sesi terapi setiap minggu dan durasi waktu 60menit/sesi, diharapkan
klien dan keluarga paham bagaimana cara melaksanakan prosedur
mirror therapy dengan benar sehingga ia dapat melakukan proses
terapi di rumah secara mandiri tanpa bantuan terapis. Hal ini sejalan
dengan penelitian Wilcher D. G., et.al. (2011), dimana pasien dapat

13
melakukan program mirror therapy di rumah setelah ia mempelajari
bagaimana cara melakukannya. Peran keluarga penting dalam
melaksanakan program ini, keluarga juga dibimbing oleh terapis
dengan memberi arahan bagaimana melakukan program mirror
therapy ini.

Evaluasi Program

Program mirror therapy dapat dievaluasi oleh seorang terapis


yang dilakukan pada sebelum dan sesudah dilakukannya terapi untuk
mengetahui bagaimana feedback yang dihasilkan setelah dilakukannya
terapi. Hal ini sejalan dengan pendapat Elsepeaee, et. al. (2016) yang
menjelaskan bahwa evaluasi dilakukan sebelum dan sesudah
penerapan terapi oleh terapis.

Mirror therapy untuk anak dengan anak cerebal palsy yang


mengalami spastisitas akan memberikan umpan balik yang positif pada
sisi yang lemah. Evidence based medicine dari mirror therapy
sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Feltham, dkk. (2010),
menjelaskan bahwa anak-anak dengan CP yang mengalami spastisitas
memiliki intensitas pemeriksaan elektromiogram rata-rata lebih tinggi
pada otot yang mengalami kelemahan. Umpan balik visual cermin dari
lengan yang sehat akan menggambarkan lingkaran bimanual simetris
saat pemberian terapi , hal ini menunjukkan bahwa mirror thrapy
memiliki umpan balik yang positif untuk anak cerebral palsy dengan
spastic.

Mirror therapy dapat memberikan pengaruh besar pada sisi yang


lemah karena manipulasi informasi visual yang diterima dapat
mempengaruhi kontrol motorik pada orang dengan dan tanpa
gangguan neuromuskuler(Altschuler et al., 1999; Feltham et. al.,
2010a; Garry et al., 2005; Mechsner, et. al, 2001; Ramachandran, et.

14
al, 1995; Shea, et. al, 2008; Stevens et. al, 2004, 2003; Tomatsu et.
al, 2005). Hal ini juga sejalan dengan penelitian Feltham, dkk. (2010)
yang menjelaskan bahwa anak-anak cerebal palsy dengan spastisitas
mempertahankan kendali lebih stabil ketika terjadi umpan balik visual
pada cermin pada sisi yang lemah atau saat diganti dengan refleksi
cermin dari sisi yang sehat.

Menurut Garry et. al. (2005), dijelaskan bahwa dalam terapi


cermin, efek ilusi visual dari cermin yang di lakukan tangan yang sehat
akan memberikan stimulus magnetic dan akan meningkatkan
rangsangan korteks motorik primer tangan di belakang cermin atau
tangan yang mengalami gangguan. Selain itu, mirror therapy juga
dapat dijadikan program rehabilitative yang efektif untuk anak cerebal
palsy hemipharase karena dapat meningkatkan kekuatan otot,
meningkatkan fungsi tangan, mencegah hemineglect, meningkatkan
kapasitas ADL (Ismael, et. al. 2016). Mirror therapy juga dapat melatih
kemampuan berjalan anak dengan cerebral palsy. Hal ini sesuai
dengan pendapat Park. Et. al. (2016) yang menjelaskan bahwa terapi
cermin menghasikan peningkatan pada kemampuan berjalan dengan
meningkatkan kemampuan persepsi dan keseimbangan tubuh anak.

15
Kesimpulan

Cerebral palsy merupakan kecacatan neurologis yang paling umum


terjadi pada anak-anak. Cerebral palsy adalah sekelompok kelainan
neurologis bawaan, yang dapat diperoleh antara konsepsi dan hingga
tahun pasca kelahiran (Miller, 2005). Cerebral palsy disebabkan oleh
kerusakan pada bagian otak yang berbeda yang mengakibatkan masalah
dalam otak dan gerakan otot, kerusakan, yang biasanya terjadi sebelum,
selama atau saat setelah lahir, tidak progresif atau memburuk. Hal itu
dapat mempengaruhi luas rentang gerakan motorik baik kasar dan halus
(Taylor R.L. et al 2009:326).

Cerebral palsy lebih memberikan efek yang buruk pada ekstremitas


atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, karena adanya pembatasan
aktivitas di lengan dan tangan yang akan menyulitkan anak dalam
melakukan kehidupan sehari-hari (Sgandurra G., Ferrari A., et al., 2011).
Gangguan yang terjadi pada salah ekstremitas akan mempengaruhi
ketidakmampuan anak dalam mengambil peran bermain, sekolah, dan
perawatan diri (Eliasson A.C., et.al., 2006). Selain itu, juga menyebabkan
masalah anak dalam meraih, menunjuk, mengambil, dan memanipulasi
objek (Colver A. F. dan Dickinson H. O., 2010). Anak dengan cerebral
palsy ini diakukan rehabilitasi oleh terapi okupasi dengan pendekatan yang
dirancang untuk meningkatkan fungsi tangan dan lengan paretik, salah
satunya yaitu mirror therapy (Sakzewski L., Ziviani J., Boyd R. N., 2014).

Mirror therapy merupakan pendekatan yang relative baru dimana


pendekatan ini berfokus pada stimulasi visual dan pergerakan anggota
tubuh yang sehat atau tanpa kerusakan. Refleksi dari anggota tubuh yang
sehat di cermin diperkirakan akan membuat anggota tubuh yang sakit
akan bergerak secara alamiah (Fukumura K., et.al., 2007). Pada mirror
terapi terjadi ilusi visual, dimana ilusi diciptakan oleh cermin dari anggota

16
tubuh yang sehat, hal ini akan mengelabuhi otak dan pasien berfikir
bahwa anggota tubuh yang terkena dapat bergerak, yang akan
meningkatkan fungsi penggerak dari anggota tubuh yang terkena
(Ramachandran V. S., Rogers-Ramachandran D., et.al., 1995).

Dalam terapi cermin, pasien diminta untuk duduk di depan cermin


dengan posisi cermin sejajar dengan garis tengah tubuh. Tangan yang
sehat berada pada depan cermin, sedangkan tangan yang sakit diletakkan
di belakang cermin. Pasien diminta untuk menggerakkan tangan yang
sehat, ketika pasien melihat ke cermin dia akan melihat pantulan anggota
tubuh sehat bergerak. Hal ini akan menciptakan ilusi visual pada pasien,
dimana gerakan atau sentuhan pada anggota tubuh yang sehat akan
mempengaruhi anggota tubuh yang sakit (Yavuzer G., Selles R., et.al.,
2008). Mirror therapy dapat memberikan efek positif pada motor imagery
(Stevens J. A., Stoykov M. E., 2003) dan mirror neuron system (Marian E.
Michilsen, et.al., 2011).

Mirror therapy dapat memberikan pengaruh besar pada sisi yang


lemah karena manipulasi informasi visual yang diterima dapat
mempengaruhi kontrol motorik pada orang dengan dan tanpa gangguan
neuromuskuler (Altschuler et al., 1999; Feltham dkk., 2010a; Garry et al.,
2005; Mechsner, Kerzel, Knoblich, & Prinz, 2001; Ramachandran, Rogers-
Ramachandran, & Cobb, 1995; Shea, Buchanan, Kovacs, & Krueger, 2008;
Stevens & Stoykov, 2004, 2003; Tomatsu & Ohtsuki, 2005 ). Hal ini juga
sejalan dengan penelitian Feltham, dkk. (2010) yang menjelaskan bahwa
anak-anak cerebal palsy dengan spastisitas mempertahankan kendali lebih
stabil ketika terjadi umpan balik visual pada cermin pada sisi yang lemah
atau saat diganti dengan refleksi cermin dari sisi yang sehat.

Selain itu, mirror therapy juga dapat dijadikan program


rehabilitative yang efektif untuk anak cerebal palsy hemipharase karena

17
dapat meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan fungsi tangan,
mencegah hemineglect, meningkatkan kapasitas ADL (Ismael, et. al.
2016). Mirror therapy cukup dibilang efektif, karena selain sederhana dan
murah, mirror therapy tidak memerlukan banyak aktivitas dan energi dari
terapis, dan pasien juga dapat melakukan program ini di rumah setelah ia
mempelajari bagaimana cara melakukannya (Wilcher D. G., Chernev I., &
Yan K., 2011).

18
Marketing Program

19
Daftar Pustaka

Altschuler, E. L., Wisdom, S. B., Stone, L., Foster, C., Galasko, D.,
Llewellyn, D. M. E., & Ramachandran, V. S. (1999). Rehabilitation of
hemiparesis after stroke with a mirror. The Lancet, 353(9169), 2035-
2036.

Basu, A. P., Pearse, J., Kelly, S., Wisher, V., & Kisler, J. (2015). Early
intervention to improve hand function in hemiplegic cerebral palsy.
Frontiers in neurology, 5, 281.

Beenakker, E. A. C., Van der Hoeven, J. H., Fock, J. M., & Maurits, N. M.
(2001). Reference values of maximum isometric muscle force
obtained in 270 children aged 4–16 years by hand-held
dynamometry. Neuromuscular disorders, 11(5), 441-446.

Bleyenheuft, Y., & Gordon, A. M. (2013). Precision grip control, sensory


impairments and their interactions in children with hemiplegic
cerebral palsy: a systematic review. Research in developmental
disabilities, 34(9), 3014-3028.

Bruchez, R., Jequier Gygax, M., Roches, S., Fluss, J., Jacquier, D.,
Ballabeni, P., ... & Newman, C. J. (2016). Mirror therapy in children
with hemiparesis: a randomized observer‐ blinded
trial. Developmental Medicine & Child Neurology, 58(9), 970-978.

Deconinck, F. J., Smorenburg, A. R., Benham, A., Ledebt, A., Feltham, M.


G., & Savelsbergh, G. J. (2015). Reflections on mirror therapy: a
systematic review of the effect of mirror visual feedback on the
brain. Neurorehabilitation and Neural Repair, 29(4), 349-361.

Elanchezhian, C., & Kumari, S. (2019). Mirror therapy to improve hand


function in spastic cerebral palsy children. International Journal of
Research in Pharmaceutical Sciences, 10(3), 2381-2387.

20
Elanchezhian, C., & Swarnakumari, P. (2017). Physical Rehabilitation
Techniques to Improve Hand Function in Cerebral palsy. Indian
journal of applied research, 7(5), 377-379.

Eliasson, A. C., Krumlinde‐ Sundholm, L., Rösblad, B., Beckung, E., Arner,
M., Öhrvall, A. M., & Rosenbaum, P. (2006). The Manual Ability
Classification System (MACS) for children with cerebral palsy: scale
development and evidence of validity and reliability. Developmental
medicine & child neurology, 48(7), 549-554.

Elsepaee, M. I., Elhadidy, E. I., Emara, H. A. A. M., & Nawar, E. A. E.


(2016). Effect of Mirror Visual Feedback on Hand Functions in
Children with Hemiparesis. International Journal Of
Physiotherapy, 3(2), 147-153.

Farzamfar, P., Heirani, A., & Sedighi, M. (2017). The effect of motor
training in mirror therapy on gross motor skills of the affected hand
in children with hemiplegia. Iranian Rehabilitation Journal, 15(3),
243-248.

Feltham, M. G., Ledebt, A., Bennett, S. J., Deconinck, F. J., Verheul, M. H.,
& Savelsbergh, G. J. (2010). The “mirror box” illusion: effect of visual
information on bimanual coordination in children with spastic
hemiparetic cerebral palsy. Motor control, 14(1), 68-82. DOI:
https://doi.org/10.1123/mcj.14.1.68

Feltham, M. G., Ledebt A., Deconinck, F. J., & Savelsbergh, G. J. (2010).


Assessment of neuromuscular activation of the upper limbs in
children with spastic hemiparetic cerebral palsy during a dynamical
task. Journal of electromyography and kinesiology, 20(3), 448-456.
DOI: https://doi.org/10.1016/j.jelekin.2009.07.001

21
Fukumura, K., Sugawara, K., Tanabe, S., Ushiba, J., & Tomita, Y. (2007).
Influence of mirror therapy on human motor cortex. International
Journal of Neuroscience, 117(7), 1039-1048.

Garry, M. I., Loftus, A., & Summers, J. J. (2005). Mirror, mirror on the
wall: viewing a mirror reflection of unilateral hand movements
facilitates ipsilateral M1 excitability. Experimental brain
research, 163(1), 118-122.

Gygax, M. J., Schneider, P., & Newman, C. J. (2011). Mirror therapy in


children with hemiplegia: a pilot study. Developmental Medicine &
Child Neurology, 53(5), 473-476.

Hoare, B. J., Wasiak, J., Imms, C., & Carey, L. (2007). Constraint‐ induced
movement therapy in the treatment of the upper limb in children
with hemiplegic cerebral palsy. Cochrane Database of Systematic
Reviews, (2).

Lee, M. J., Na, K., Jeong, S. K., Lim, J. S., Kim, S. A., Lee, M. J., ... & Paik,
Y. K. (2014). Identification of human complement factor B as a novel
biomarker candidate for pancreatic ductal adenocarcinoma. Journal
of proteome research, 13(11), 4878-4888.

Luttmann, A., Jäger, M., & Laurig, W. (2000). Electromyographical


indication of muscular fatigue in occupational field studies.
International journal of Industrial ergonomics, 25(6), 645-660.

Mechsner, F., Kerzel, D., Knoblich, G., & Prinz, W. (2001). Perceptual basis
of bimanual coordination. Nature, 414(6859), 69-73.

Michielsen, M. E., Smits, M., Ribbers, G. M., Stam, H. J., van der Geest, J.
N., Bussmann, J. B., & Selles, R. W. (2011). The neuronal correlates
of mirror therapy: an fMRI study on mirror induced visual illusions in
patients with stroke. Journal of neurology, neurosurgery &
psychiatry, 82(4), 393-398.

22
Narimani, A., Kalantari, M., Dalvand, H., & Tabatabaee, S. M. (2019).
Effect of Mirror therapy on Dexterity and Hand Grasp in Children
Aged 9-14 Years with Hemiplegic Cerebral palsy. Iranian journal of
child neurology, 13(4), 135.

Park, E. J., Baek, S. H., & Park, S. (2016). Systematic review of the effects
of mirror therapy in children with cerebral palsy. Journal of physical
therapy science, 28(11), 3227-3231.

Ramachandran, V. S., & Altschuler, E. L. (2009). The use of visual


feedback, in particular mirror visual feedback, in restoring brain
function. Brain, 132(7), 1693-1710.

Ramachandran, V. S., Rogers-Ramachandran, D., & Cobb, S. (1995).


Touching the phantom limb. Nature, 377(6549), 489-490.

Sakzewski, L., Ziviani, J., & Boyd, R. N. (2014). Efficacy of upper limb
therapies for unilateral cerebral palsy: a meta-analysis. Pediatrics,
133(1), e175-e204.

Sankar, C., & Mundkur, N. (2005). Cerebral palsy-definition, classification,


etiology and early diagnosis. The Indian Journal of Pediatrics, 72(10),
865-868.

Shahanawaz, S. D., & Sayali, M. (2015). Effect of mirror therapy on hand


functions in children with hemiplegic cerebral palsy: A case
study. International Journal of Neurologic Physical Therapy, 1(1), 5-
9.

Shea, C. H., Buchanan, J. J., Kovacs, A. J., & Krueger, M. (2008, June).
Cooperation between the limbs is better than we thought. In Journal
of Sport & Exercise Psychology (Vol. 30, pp. S128-S128). 1607 N
MARKET ST, PO BOX 5076, CHAMPAIGN, IL 61820-2200 USA:
HUMAN KINETICS PUBL INC.

23
Stevens, J. A., & Ellen Phillips Stoykov, M. (2004). Simulation of bilateral
movement training through mirror reflection: a case report
demonstrating an occupational therapy technique for hemiparesis.
Topics in Stroke Rehabilitation, 11(1), 59-66.

Stevens, J. A., & Stoykov, M. E. P. (2003). Using motor imagery in the


rehabilitation of hemiparesis. Archives of physical medicine and
rehabilitation, 84(7), 1090-1092.

Taylor, R., Smiley, R.L., & Richards, S.B. (2009). Exceptional Students
Preparing Teachers for the 21st Century. New York: Mc Graw-Hill

Tomatsu, S., & Ohtsuki, T. (2005). The effect of visual transformation on


bimanual circling movement. Experimental Brain Research, 166(2),
277-286.

Wang, H. H., Liao, H. F., & Hsieh, C. L. (2006). Reliability, sensitivity to


change, and responsiveness of the Peabody Developmental Motor
Scales–second edition for children with cerebral palsy. Physical
Therapy, 86(10), 1351-1359.

Wilcher, D. G., Chernev, I., & Yan, K. (2011). Combined mirror visual and
auditory feedback therapy for upper limb phantom pain: a case
report. Journal of Medical Case Reports, 5(1), 1-4.

Yavuzer, G., Selles, R., Sezer, N., Sütbeyaz, S., Bussmann, J. B., Köseoğlu,
F., ... & Stam, H. J. (2008). Mirror therapy improves hand function in
subacute stroke: a randomized controlled trial. Archives of physical
medicine and rehabilitation, 89(3), 393-398.

Yun, D. E., & Kim, M. K. (2019). Effects of mirror therapy on muscle


activity, muscle tone, pain, and function in patients with mutilating
injuries: A randomized controlled trial. Medicine, 98(17).

24
25

Anda mungkin juga menyukai