Anda di halaman 1dari 48

Nama : MAGFIRA ARDANI

Nim : 2110447001
Mata Kuliah : Pengolahan Sinyal Digital
Modul : 7 – Operasi Konvolusi Sinyal Diskrit
4.1 Konvolusi Dua Sinyal Unit Step
1&2 L=input('Panjang Gelombang(>=10): ');
P=input('Lebar Pulsa (Lebih Kecil Dari L): ');
for n=1:L
if n<=P
x(n)=1;
else
x(n)=0;
end
end
t=1:L;
subplot(3,1,1)
stem(t,x)

3 L=input('Panjang Gelombang(>=10): ');


P=input('Lebar Pulsa (Lebih Kecil Dari L): ');
%membangkitkan sinyal x(n)
for n=1:L
if n<=P
x(n)=1;
else
x(n)=0;
end
end
%membangkitkan sinyal v(n)
for n=1:L
if n<=P
v(n)=1;
else
v(n)=0;
end
end
t=1:L;

subplot(3, 1, 1);
stem(t, x);
title('Sinyal x[n]');
subplot(3, 1, 2);
stem(t, v);
title('Sekuen Unit Step v[n]');
4&5 L=input('Panjang Gelombang(>=10): ');
P=input('Lebar Pulsa (Lebih Kecil Dari L): ');
% Inisialisasi vektor x[n] dan v[n] dengan panjang L
x = zeros(1, L);
v = zeros(1, L);
%membangkitkan sinyal x(n)
for n=1:L
if n<=P
x(n)=1;
else
x(n)=0;
end
end
%membangkitkan sinyal v(n)
for n=1:L
if n<=P
v(n)=1;
else
v(n)=0;
end
end
t=1:L;

subplot(3, 1, 1);
stem(t, x);
title('Sinyal x[n]');
subplot(3, 1, 2);
stem(t, v);
title('Sekuen Unit Step v[n]');
stem(conv(x,v));
title('Hasil Konvolusi ');
subplot(3,1,3);
sgtitle('Plot Sinyal x[n], Sekuen Unit Step v[n],
dan Hasil Konvolusi');

L=12
P=10
P=5
L=15
P=12
L=12

Ketika variasi nilai Panjang dan lebar Ketika niai lebar sama dengan nilai Panjang didapatkan
sinyal x[n] sama dengan sinyal sekuen unit step hasil konvolusi mencapai 23,saat nilai Panjang
diperkecil didapatkan hasil konvolusi juga semakin kecil tergantung dari panjang
4.2 Konvolusi Dua Sinyal Sekuen Konstan
1& %Pembangkitan Sekuen Konstan Pertama
2 L1= 21;
for n=1:L1;
if(n>=2);
st1(n)=1;
else
st1(n)=0;
end
end
t1=[0:1:(L1-1)];
subplot(3,1,1);
stem(t1,st1);
title('Konvolusi 2 Sinyal Konstan')
3& %Pembangkitan Sekuen Konstan Pertama
4 L1= 21;
for n=1:L1;
if(n>=2);
st1(n)=1;
else
st1(n)=0;
end
end
t1=[0:1:(L1-1)];
subplot(3,1,1);
stem(t1,st1);
title('Konvolusi 2 Sinyal Konstan')
%Pembangkitan Sekuen Konstan Kedua
L2=21;D
for n=1:L2;
if (n>=2);
st2(n)=1;
else
st2(n)=0;
end
end
t2=[0:1:(L2-1)]; Didapatkan jumlah sampel yang semakin besar Ketika L1 DAN L2 diiperkecil maka jumlah
subplot(3,1,2); sampel juga akan semakin kecil
stem(t2,st2);
xlabel('Jumlah Sample')
subplot(3,1,3);
c = conv(st1,st2);
stem(c)

%Pembangkitan Sekuen Konstan Pertama Untuk L1 =15, L2 = 21 dan amplitude = 2


L1= 15;
st1 = zeros(1, L1);
for n=1:L1;
if(n>=2);
st1(n)=1*2;
else
st1(n)=0*2;
end
end
t1=[0:1:(L1-1)];
subplot(3,1,1);
stem(t1,st1);
title('Konvolusi 2 Sinyal Konstan')
%Pembangkitan Sekuen Konstan Kedua
L2=18;
st2 = zeros(1, L2);
for n=1:L2;
if (n>=2);
st2(n)=1*3;
else
st2(n)=0*3;
end
end
t2=[0:1:(L2-1)];
subplot(3,1,2);
stem(t2,st2);
xlabel('Jumlah Sample')
subplot(3,1,3);
c = conv(st1,st2);
stem(c)

%Pembangkitan Sekuen Konstan Pertama L1= 10 amplitudo= 2, L2 =8 amplitudo=3


L1= 10;
st1 = zeros(1, L1);
for n=1:L1;
if(n>=2);
st1(n)=1*2;
else
st1(n)=0*2;
end
end
t1=[0:1:(L1-1)];
subplot(3,1,1);
stem(t1,st1);
title('Konvolusi 2 Sinyal Konstan')
%Pembangkitan Sekuen Konstan Kedua
L2=8;
st2 = zeros(1, L2);
for n=1:L2;
if (n>=2);
st2(n)=1*3;
else
st2(n)=0*3;
end
end Konvolusi 2 sinyal konstan akan berkurang jika nilai L1 dan L2 diperkecil begitu juga jumlah
t2=[0:1:(L2-1)]; samplenya
subplot(3,1,2);
stem(t2,st2);
xlabel('Jumlah Sample')
subplot(3,1,3);
c = conv(st1,st2);
stem(c)

4.3 konvolusi dua sinyal sinus diskrit


1& L=input('Banyaknya titik sampel(>=20): ');
2 f1=input('Besarnya frekuensi gel 1 adalah Hz: ');
f2=input('Besarnya frekuensi gel 2 adalah Hz: ');
teta1=input('Besarnya fase gel 1(dalam radiant): ');
teta2=input('Besarnya fase gel 2(dalam radiant): ');
A1=input('Besarnya amplitudo gel 1: ');
A2=input('Besarnya amplitudo gel 2: ');
%Sinus pertama
t=1:L;
t=2*t/L;
y1=A1*sin(2*pi*f1*t + teta1*pi);
subplot(3,1,1)
stem(y1)
%Sinus kedua
t=1:L;
t=2*t/L;
y2=A2*sin(2*pi*f2*t + teta2*pi);
subplot(3,1,2)
stem(y2)

3& L=input('Banyaknya titik sampel(>=20): ');


4 f1=input('Besarnya frekuensi gel 1 adalah Hz: ');
f2=input('Besarnya frekuensi gel 2 adalah Hz: '); L=20
teta1=input('Besarnya fase gel 1(dalam radiant): '); F1=1
teta2=input('Besarnya fase gel 2(dalam radiant): '); F2=2
A1=input('Besarnya amplitudo gel 1: '); Teta1=0
A2=input('Besarnya amplitudo gel 2: '); Teta2=0.25
%Sinus pertama A1=1
t=1:L; A2=1
t=2*t/L;
y1=A1*sin(2*pi*f1*t + teta1*pi);
subplot(3,1,1)
stem(y1)
%Sinus kedua
t=1:L;
t=2*t/L;
y2=A2*sin(2*pi*f2*t + teta2*pi);
subplot(3,1,2)
stem(y2)
subplot(3,1,3)
stem(conv(y1,y2))

5 L=50
F1=2
F2=2
Teta1=1.5
Teta2=0.5
A1=1
A2=1
Semakin besar nilai L maka sinyal tersebut semakin rapat dan besar

DATA DAN ANALISA


1. Apa arti konvolusi 2 buah sinyal diskrit dalam simulasi tersebut diatas ? Bagaimana jika amplitudo masing-masing sinyal diubah ? Jelaskan !!!
Jawab:
Konvolusi adalah operasi matematis yang digunakan untuk menggabungkan dua sinyal diskrit atau dua fungsi diskrit menjadi sinyal baru yang menggambarkan
bagaimana salah satu sinyal "mempengaruhi" atau "berinteraksi" dengan sinyal lainnya. Arti dari konvolusi berbeda tergantung pada jenis sinyal yang digunakan:
1. Konvolusi Dua Sinyal Unit Step:
- Konvolusi dua sinyal unit step menghasilkan sinyal baru yang mencerminkan jumlah dari "area bersama" antara dua sinyal unit step. Ini sering digunakan untuk
memodelkan respons sistem linier terhadap stimulus tertentu.
- Mengubah amplitudo sinyal unit step akan mempengaruhi amplitudo sinyal hasil konvolusi tanpa mengubah bentuk umumnya.
2. Konvolusi Dua Sinyal Sekuen Konstan:
- Konvolusi dua sinyal konstan menghasilkan sinyal konstan. Ini karena konvolusi sinyal konstan adalah perkalian konstan yang menghasilkan konstanta.
- Mengubah amplitudo sinyal konstan hanya mempengaruhi amplitudo sinyal hasil konvolusi, tetapi tidak mengubah bentuknya.
3. Konvolusi Dua Sinyal Sinus Diskrit:
- Konvolusi dua sinyal sinus diskrit menghasilkan sinyal baru yang mencerminkan cara dua sinyal sinus berinteraksi satu sama lain. Hasilnya akan tergantung
pada frekuensi, fase, dan amplitudo masing-masing sinyal.
- Mengubah amplitudo sinyal sinus diskrit akan mempengaruhi amplitudo sinyal hasil konvolusi, dan perubahan ini dapat mengubah amplitudo puncak dan
lembah dalam sinyal hasil.
Jadi, mengubah amplitudo masing-masing sinyal dalam konvolusi akan mempengaruhi amplitudo sinyal hasil konvolusi. Namun, penting untuk diingat bahwa
amplitudo hanya salah satu parameter yang mempengaruhi sinyal hasil. Frekuensi, fase, dan bentuk gelombang sinyal juga dapat memiliki pengaruh signifikan
terhadap hasil konvolusi.
Dalam konvolusi, Anda memproses satu sinyal dengan menggunakan yang lain sebagai "filter" atau "kernel" untuk melihat dampak interaksi keduanya. Hasilnya
akan berbeda tergantung pada sifat kedua sinyal tersebut, dan mengubah parameter sinyal akan menghasilkan perubahan yang sesuai dalam hasil konvolusi.
2. Jelaskan pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli ?
Jawab: pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli dalam konteks tiga jenis sinyal yang Anda sebutkan:
1. Konvolusi Dua Sinyal Unit Step:
 Konvolusi dua sinyal unit step adalah metode untuk mengukur dampak interaksi antara dua sinyal unit step diskrit.
 Pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli adalah menghasilkan sinyal baru yang mencerminkan bagaimana satu sinyal "memengaruhi" yang
lainnya.
 Sinyal hasil konvolusi sering digunakan untuk memodelkan respons sistem linier terhadap stimulus tertentu. Hasil konvolusi dapat
menggambarkan bagaimana sistem merespons sinyal masukan.
2. Konvolusi Dua Sinyal Sekuen Konstan:
 Konvolusi dua sinyal konstan menghasilkan sinyal konstan. Ini karena konvolusi sinyal konstan adalah perkalian konstan yang menghasilkan
konstanta.
 Pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli adalah menghasilkan nilai tetap yang mewakili "penggandaan" atau "perkalian" sinyal asli.
3. Konvolusi Dua Sinyal Sinus Diskrit:
 Konvolusi dua sinyal sinus diskrit adalah cara untuk mengukur dampak interaksi dua sinyal sinus terhadap satu sama lain.
 Pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli adalah menciptakan sinyal baru yang mungkin merupakan kombinasi dari gelombang sinus yang terjadi
dalam sinyal asli. Ini bisa menghasilkan sinyal yang kompleks dengan amplitudo, frekuensi, dan fase yang berbeda.
Pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli tergantung pada sifat sinyal yang diconvolusi. Beberapa pengaruh umum termasuk:
 Amplifikasi atau penurunan amplitudo sinyal asli tergantung pada bentuk dan amplitudo kernel konvolusi.
 Pergeseran atau pergeseran fase sinyal asli tergantung pada fase kernel konvolusi.
 Pemadatan atau redaman sinyal asli tergantung pada panjang kernel konvolusi.
Ketika Anda mengonvolusi dua sinyal, Anda menciptakan sinyal baru yang mencerminkan interaksi dan dampak saling keduanya. Ini adalah dasar dari banyak
aplikasi dalam pemrosesan sinyal, seperti pemfilteran, konvolusi dalam domain spasial, dan analisis sistem linier.
Nama : MAGFIRA ARDANI
Nim : 2110447001
Mata Kuliah : Pengolahan Sinyal Digital
Modul : 8 – Operasi Konvolusi Sinyal Waktu Kontinyu
4.1Konvolusi Dua Sinyal Sinus
1&2 L=input('Banyaknya titik sampel(>=20): ');
f1=input('Besarnya frekuensi gel 1 adalah Hz: ');
f2=input('Besarnya frekuensi gel 2 adalah Hz: ');
teta1=input('Besarnya fase gel 1(dalam radiant):
');
teta2=input('Besarnya fase gel 2(dalam radiant):
');
A1=input('Besarnya amplitudo gel 1: ');
A2=input('Besarnya amplitudo gel 2: ');
%Sinus pertama
t=1:L;
t=2*t/L;
y1=A1*sin(2*pi*f1*t + teta1*pi);
subplot(3,1,1)
stem(y1)
%Sinus kedua
t=1:L;
t=2*t/L;
y2=A2*sin(2*pi*f2*t + teta2*pi);
subplot(3,1,2)
stem(y2)
3&4 L=input('Banyaknya titik sampel(>=20): ');
f1=input('Besarnya frekuensi gel 1 adalah Hz: ');
f2=input('Besarnya frekuensi gel 2 adalah Hz: ');
teta1=input('Besarnya fase gel 1(dalam radiant):
');
teta2=input('Besarnya fase gel 2(dalam radiant):
');
A1=input('Besarnya amplitudo gel 1: ');
A2=input('Besarnya amplitudo gel 2: ');
%Sinus pertama
t=1:L;
t=2*t/L;
y1=A1*sin(2*pi*f1*t + teta1*pi);
subplot(3,1,1)
stem(y1)
%Sinus kedua
t=1:L;
t=2*t/L;
y2=A2*sin(2*pi*f2*t + teta2*pi);
subplot(3,1,2)
stem(y2)
subplot(3,1,3)
stem(conv(y1,y2)) Didapatkan gambar sinyal ketiga yaitu dua kali dari Panjang gelombang pertama

5 L=input('Banyaknya titik sampel(>=20): ');


f1=input('Besarnya frekuensi gel 1 adalah Hz: ');
f2=input('Besarnya frekuensi gel 2 adalah Hz: ');
teta1=input('Besarnya fase gel 1(dalam radiant):
');
teta2=input('Besarnya fase gel 2(dalam radiant):
');
A1=input('Besarnya amplitudo gel 1: ');
A2=input('Besarnya amplitudo gel 2: ');
%Sinus pertama
t=1:L;
t=2*t/L;
y1=A1*sin(2*pi*f1*t + teta1*pi);
subplot(3,1,1)
stem(y1)
%Sinus kedua
t=1:L;
t=2*t/L;
y2=A2*sin(2*pi*f2*t + teta2*pi);
subplot(3,1,2)
stem(y2)
subplot(3,1,3)
stem(conv(y1,y2)) Hasil berbeda dengan program sebelumya, dikarenakan nilai banyak titik yang berbeda,
frekuensi kedua gelombang juga berbesa serta fase kedua gelombang juga berbeda dengan
program sebelumnya.
4.2 Konvolusi Sinyal Bernoise dengan Raise Cosine
1 n=-7.9:.5:8.1;
y=sin(4*pi*n/8)./(4*pi*n/8);
figure(1);
plot(y,'linewidth',2)
t=0.1:.1:8;
x=sin(2*pi*t/4);
figure(2);
plot(x,'linewidth',2)

Gambar : Sinyal Raise Cosine


Gambar : Sinyal Sinus Asli
2 n=-7.9:.5:8.1;
y=sin(4*pi*n/8)./(4*pi*n/8);
figure(1);
plot(y,'linewidth',2)
t=0.1:.1:8;
x=sin(2*pi*t/4);
figure(2);
plot(x,'linewidth',2)
t=0.1:.1:8;
noise=0.5*randn*sin(2*pi*10*t/4) ;
x_n=sin(2*pi*t/4)+noise;
figure(3);
plot(x_n,'linewidth',2)

Gambar : Sinyal Sinus Bernoise


3 n=-7.9:.5:8.1;
y=sin(4*pi*n/8)./(4*pi*n/8);
figure(1);
plot(y,'linewidth',2)
t=0.1:.1:8;
x=sin(2*pi*t/4);
figure(2);
plot(x,'linewidth',2)
t=0.1:.1:8;
noise=0.5*randn*sin(2*pi*10*t/4) ;
x_n=sin(2*pi*t/4)+noise;
figure(3);
plot(x_n,'linewidth',2)
xy=conv(x_n,y);
figure(4);
plot(xy,'linewidth',2)

Gambar : Sinyal Hasil Konvolusi


Gambar diatas menampilkan hasil konvolusi antara sinyal sinus dengan noise dan sinyal raise
cosine. Ini adalah hasil konvolusi sinyal sinus dengan noise dan sinyal raise cosine. Sinyal ini
mencerminkan efek pemberian bobot atau "filtering" pada sinyal sinus dengan karakteristik raise
cosine

DATA DAN ANALISA


1. Apa arti konvolusi 2 buah sinyal kontinyu dalam simulasi tersebut diatas? bagaimana jika amplitudo masing-masing sinyal diubah? Beri penjelasan.
JAWAB :
Konvolusi dua sinyal kontinu adalah operasi matematis yang digunakan untuk menggabungkan dua fungsi kontinu menjadi fungsi baru yang mencerminkan
interaksi dan dampak saling keduanya. Arti dan pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli bervariasi tergantung pada sifat sinyal yang digunakan. Mari kita bahas
pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli dalam dua kasus yang Anda sebutkan:
1. Konvolusi Dua Sinyal Sinus:
 Konvolusi dua sinyal sinus adalah operasi matematis yang mengukur interaksi antara dua fungsi sinus kontinu.
 Hasil konvolusi menghasilkan fungsi yang mencerminkan interaksi antara dua sinyal sinus. Dalam kasus sinusoid, konvolusi dua sinusoid dengan
frekuensi berbeda akan menghasilkan kombinasi sinusoid dengan frekuensi yang berbeda dan amplitudo yang mungkin berubah.
2. Konvolusi Sinyal Bernoise dengan Raised Cosine:
 Konvolusi sinyal bernoise (noise) dengan fungsi Raised Cosine adalah teknik yang sering digunakan dalam komunikasi digital untuk membentuk pulsa
sinyal digital.
 Fungsi Raised Cosine adalah fungsi yang digunakan untuk membentuk pulsa sinyal digital agar memiliki spektrum frekuensi yang baik (minimisasi luaran
spektral yang tidak diinginkan).
Dalam kedua kasus, mengubah amplitudo sinyal asli akan mempengaruhi amplitudo sinyal hasil konvolusi tanpa mengubah bentuk dasar sinyal konvolusi.
Namun, perubahan amplitudo dapat mempengaruhi daya atau kekuatan sinyal konvolusi dan, dalam kasus konvolusi sinyal sinusoid, dapat menghasilkan
frekuensi yang berbeda dalam sinyal hasil.

Konvolusi antara dua sinyal kontinyu adalah operasi matematis yang menggabungkan dua sinyal untuk menghasilkan sinyal baru yang mencerminkan interaksi
antara keduanya. Konvolusi mengukur sejauh mana dua sinyal "overlap" satu sama lain saat salah satu dari mereka diputar terbalik dan digeser sepanjang sumbu
waktu.
Dalam program, sinyal konvolusi (hasil dari konvolusi sinyal sinus dengan noise dan sinyal raise cosine) mencerminkan efek pemberian bobot atau "filtering" pada
sinyal sinus dengan karakteristik raise cosine. Sinyal konvolusi ini menggambarkan bagaimana sinyal sinus dengan noise akan dipengaruhi oleh karakteristik
sinyal raise cosine saat dilakukan konvolusi.
Jika amplitudo masing-masing sinyal diubah, maka akan ada perubahan dalam hasil konvolusi. Amplitudo adalah faktor skala yang mengontrol tingkat kekuatan
atau dampak sinyal pada operasi konvolusi. Jika amplitudo sinyal raise cosine ditingkatkan, sinyal konvolusi akan lebih dipengaruhi oleh karakteristik raise cosine
tersebut, sehingga sinyal hasil konvolusi akan lebih menyerupai raise cosine. Jika amplitudo sinyal sinus dengan noise ditingkatkan, kontribusi sinyal sinus dengan
noise pada hasil konvolusi akan lebih kuat.
Dengan demikian, perubahan amplitudo pada masing-masing sinyal akan mengubah sejauh mana sinyal konvolusi mencerminkan karakteristik masing-masing
sinyal. Dalam konteks aplikasi praktis, ini sering digunakan untuk merancang filter dengan karakteristik tertentu, di mana perubahan amplitudo sinyal masukan
dan respons sinyal keluaran menjadi penting dalam pemodelan sistem.

2. Jelaskan pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli!


JAWAB :
Pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli:

Jika dua sinyal sinus dengan frekuensi yang berbeda dikonvolusi, hasilnya adalah sinyal yang mungkin berisi komponen sinusoid dengan frekuensi baru yang
merupakan hasil penjumlahan dan pengurangan frekuensi sinyal asli.
Mengubah amplitudo sinyal asli akan mempengaruhi amplitudo sinyal hasil konvolusi. Jika amplitudo sinyal asli ditingkatkan atau dikurangi, ini akan tercermin
dalam amplitudo sinyal hasil.
Pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli:
 Konvolusi sinyal bernoise dengan fungsi Raised Cosine akan membentuk pulsa yang merupakan hasil dari konvolusi. Pulsa ini akan lebih terfokus dalam
domain frekuensi dan durasinya akan tergantung pada sifat Raised Cosine.
 Mengubah amplitudo sinyal asli akan mempengaruhi amplitudo sinyal hasil konvolusi. Hal ini dapat mempengaruhi daya atau kekuatan pulsa sinyal digital
yang dihasilkan.
Konvolusi memiliki beberapa pengaruh terhadap sinyal asli, tergantung pada sinyal apa yang dikonvolusi dan bagaimana interaksi antara keduanya. Di bawah ini
adalah beberapa pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli:
 Filtering: Konvolusi sering digunakan dalam pemrosesan sinyal sebagai operasi pemfilteran. Ketika Anda mengkonvolusi sinyal asli dengan kernel filter
(sinyal respons impuls), itu akan memfilter sinyal asli dengan karakteristik filter tersebut. Sebagai contoh, jika kernel filternya adalah low-pass, itu akan
menghilangkan komponen frekuensi tinggi dari sinyal asli. Jadi, konvolusi dapat digunakan untuk menghilangkan atau mempertahankan komponen tertentu
dari sinyal asli sesuai dengan karakteristik kernel filter.
 Pemodelan Sistem: Dalam beberapa kasus, konvolusi digunakan untuk memodelkan sistem fisik. Sinyal asli digunakan sebagai input, dan respons sistem
(kernel filter) digunakan dalam konvolusi untuk menghasilkan sinyal keluaran yang mencerminkan bagaimana sistem merespons terhadap input tersebut. Ini
berguna untuk memahami dampak sistem fisik pada sinyal input.
 Interaksi Temporal: Konvolusi juga dapat menghasilkan interaksi temporal antara sinyal asli dan kernel filter. Ini bisa mengubah bentuk atau fase sinyal asli.
Jika kernel filternya memiliki beberapa komponen frekuensi tertentu, konvolusi akan "memindahkan" komponen frekuensi dari sinyal asli dan mengubah fase
sinyal.
 Smoothing atau Sharpening: Konvolusi dengan kernel yang sesuai dapat meratakan atau mengasah sinyal asli. Misalnya, konvolusi dengan kernel Gaussian
akan meratakan tepi dalam gambar, sementara konvolusi dengan kernel edge detection akan meningkatkan kontras tepi.
 Ekstraksi Fitur: Konvolusi digunakan dalam deep learning, terutama dalam jaringan saraf konvolusi (CNN), untuk mengekstraksi fitur dari data gambar dan
sinyal. Ini memungkinkan jaringan saraf untuk belajar representasi fitur yang penting dalam sinyal asli.
 Komposisi Sinyal: Konvolusi memungkinkan untuk menggabungkan dua sinyal untuk menciptakan sinyal baru yang mencerminkan karakteristik keduanya.
Ini sering digunakan dalam konteks pemodelan sinyal kompleks.
Pengaruh konvolusi terhadap sinyal asli tergantung pada kernel filter atau respons sistem yang digunakan dalam konvolusi. Penggunaan yang tepat dari kernel
filter ini adalah kunci untuk mengubah sinyal asli sesuai dengan tujuan yang diinginkan, seperti filtering, pemrosesan, atau pemodelan sistem.
Nama : MAGFIRA ARDANI
Nim : 2110447001
Mata Kuliah : Pengolahan Sinyal Digital
Modul : 9 – Analisis sinyal domain frekuensi
4.1 Fenomena Gibb
1 % File name: fen_Gibb.m N=10
clc; clf;
t = -3:6/100:3;
N = input('Masukkan Jumlah Sinyal Yang Dikehendaki = ');
c0 = 0.5;
w0 = pi;
Fs = 100;
xN = c0 * ones(1, length(t));
for n = 1:2:N
theta = ((-1)^((n-1)/2) - 1) * pi/2;
xN = xN + 2/n/pi * cos(n * w0 * t + theta);
end

subplot(2, 1, 1);
plot(t, xN);
title('Phenomena Gibb');
xlabel('Waktu (s)');
ylabel('X(t)');

% Transformasi
xf = fft(xN, 512);
w = (0:255)/256 * (Fs/2);
subplot(2, 1, 2);
plot(w, abs(xf(1:256)));
title('Sinyal Pada Domain Frekuensi');
xlabel('Frekuensi (Hz)');
ylabel('X(f)');
2 N=15

N=35
N=50

3
Semakin besar nilai N maka bentuk sinyak fenomena gibb nya akan semakin menyerupai
gelombang persegi yang sedikit noise
4.2 Pengamatan Frekuensi Pada Sinyal Tunggal
1,2&3 Fs=100;
t=(1:100)/Fs;
f=15; A=5 ;
s=A*sin(2*pi*f*t);
subplot(2,1,1)
plot(t,s)
xlabel('Waktu (s)')
S=fft(s,512);
w=(0:255)/256*(Fs/2);
subplot(2,1,2)
plot(w,abs(S(1:256)))
xlabel('Frekuensi (Hz)')
4 F=10

F=20
F=30

Ketika nilai F diperbesar sinyal sinu akan memiliki perioda yang semakin besar dan sinyalfrekuensi
akan muncul pada saat inputan nilai F nya berapa

A=7

5
A=15

A=20

Frekuensi sinyal tetap tetapi amplitude dri sinyal sinus akan diperbsar seiring dengan variasi
amplitudonya
4.3 Pengamatan Frekuensi Pada Kombinasi 2 Sinyal
1 clc;clf;
fs=100;
t=(1:400)/fs;
f1=10;
s1=5*sin(2*pi*f1*t);
f2=30;
s2=3*sin(2*pi*f2*t);
s=s1+s2;
subplot(211)
plot(t,s)
title('Dua Sinyal Sinus')
xlabel('Waktu(s)')
ylabel('x(t)')
S=fft(s,512);
w=(0:255)/256*fs/2;
Sab=abs(S);
subplot(212)
plot(w,Sab(1:256))
title('Sinyal pada domain frekuensi')
xlabel('Frekuensi(Hz)')
ylabel('x(f)')

2 F2=20
F2=35

F2=50

Semakin besar F2 maka frekuensi 2 nya juga mengikuti nilai F2 dan dua sinyal snus akan semakin
besar juga
3 A1=7

A1=10
A1=15

Didapatkan nilai dua sinyal sinus yang periodanya semakin kecil


4.4. Pengamatan Frekuensi Pada Kombinasi 4 Sinyal
1 clc;clf;
fs=100;
t=(1:100)/fs;
f1=5;
s1=50*sin(2*pi*f1*t);
f2=15;
s2=40*sin(2*pi*f2*t);
f3=25;
s3=30*sin(2*pi*f3*t);
f4=35;
s4=20*sin(2*pi*f4*t);
s=s1+s2+s3+s4;
subplot(211)
plot(t,s)
title('Empat Sinyal Sinus')
xlabel('Waktu(s)')
ylabel('x(t)')
S=fft(s,512);
w=(0:255)/256*fs/2;
Sab=abs(S);
subplot(212)
plot(w,Sab(1:256))
title('Sinyal pada domain frekuensi')
xlabel('Frekuensi(Hz)')
ylabel('x(f)')
2 F2=20
F3=30
F4=30
Didapatkan empat sinyalsinus yang semakin banyak noise dan sinyal pada domain frekuensi yang
semakim besar dan bergeser kea rah kanan
4.5. Pengamatan Frekuensi Pada Kombinasi 6 Sinyal
1 Fs=100;
t=(1:200)/Fs;
f1=2;
s1=20*sin(2*pi*f1*t);
f2=5;
s2=15*sin(2*pi*f2*t);
f3=15;
s3=10*sin(2*pi*f3*t);
f4=20;
s4=7*sin(2*pi*f4*t);
f5=35;
s5=5*sin(2*pi*f5*t);
f6=45;
s6=3*sin(2*pi*f6*t);
s=s1+s2+s3+s4+s5+s6;
subplot(211)
plot(t,s)
title('Enam Sinyal Sinus')
xlabel('Waktu(s)')
ylabel('x(t)') Didapatkan enam sinyal sinus yang yang noise nya semakin besar dan sinyal pada domain frekuensi
S=fft(s,512); yang semakim banyak dikarenakan ada 6 sinyal sinus
w=(0:255)/256*fs/2;
Sab=abs(S);
subplot(212)
plot(w,Sab(1:256))
title('Sinyal pada domain frekuensi')
xlabel('Frekuensi (Hz)')
ylabel('x(f)')
4.6. Pengamatan Frekuensi Pada Sinyal Audio
1&2 clc;clf;
[y,Fs]=wavread('gundul_pacul.wav');
Fs=16000;
subplot(211)
plot(y(100:10000))
title('Sinyal Audio')
xlabel('Waktu(s)')
ylabel('x(t)')
S=fft(y);
%w=(0:255)/256*fs/2;
Sab=abs(S);
subplot(212)
plot(Sab(100:10000))
% plot(Sab)
title('Sinyal audio domain frekuensi')
xlabel('Frekuensi(Hz)')
ylabel('x(f)')

clc;
clf;

[y, Fs] = audioread('gundul_pacul.wav'); % Menggunakan


audioread untuk membaca file audio

Fs = 16000;

subplot(211);
plot(y(100:10000));
title('Sinyal Audio');
xlabel('Waktu(s)');
ylabel('x(t)');

S = fft(y);

Sab = abs(S);

subplot(212);
plot(Sab(100:10000));
title('Sinyal audio domain frekuensi');
xlabel('Frekuensi(Hz)');
ylabel('x(f)');
3 % Langkah 1: Membaca file audio 'gundul_pacul.wav' dan Fs=4000
menampilkan dalam domain waktu dan frekuensi
clc;
clf;

[y, Fs] = audioread('gundul_pacul.wav'); % Menggunakan


audioread untuk membaca file audio
Fs = 16000;

subplot(211);
plot(y(100:10000));
title('Sinyal Audio');
xlabel('Waktu(s)');
ylabel('x(t)');

S = fft(y);
Sab = abs(S);

subplot(212);
plot(Sab(100:10000));
title('Sinyal audio domain frekuensi');
xlabel('Frekuensi(Hz)');
ylabel('x(f)');

% Langkah 2: Menyimpan sinyal audio ke file baru 'baru.wav'


Fs = 4000;
audiowrite('baru.wav', y, Fs);

% Langkah 3: Membaca file audio 'baru.wav' dan menampilkan


dalam domain waktu dan frekuensi
[y_new, Fs_new] = audioread('baru.wav');

figure; % Membuat plot baru untuk sinyal yang baru


subplot(211);
plot(y_new(100:10000));
title('Sinyal Audio (Fs = 4000)');
xlabel('Waktu(s)');
ylabel('x(t)');

S_new = fft(y_new);
Sab_new = abs(S_new);

subplot(212);
plot(Sab_new(100:10000));
title('Sinyal audio domain frekuensi (Fs = 4000)');
xlabel('Frekuensi(Hz)');
ylabel('x(f)');
4.7. Pengamatan Frekuensi Pada Sinyal Kotak
1 % Parameter sinyal kotak
Fs = 100; % Frekuensi sampel (Hz)
f = 5; % Frekuensi sinyal kotak (Hz)
amplitudo = 1;

% Waktu pengukuran
T = 1 / Fs; % Periode sampel
t = 0:T:1; % Waktu dari 0 sampai 1 detik

% Membuat sinyal kotak dalam domain waktu


x = amplitudo * square(2 * pi * f * t);

% Plot sinyal dalam domain waktu


subplot(211);
plot(t, x);
title('Sinyal Kotak dalam Domain Waktu');
xlabel('Waktu (s)');
ylabel('Amplitudo');

% Transformasi Fourier
X = fft(x);

% Menghitung domain frekuensi


L = length(x);
frequencies = Fs * (0:(L/2))/L;

% Plot sinyal dalam domain frekuensi


subplot(212);
plot(frequencies, 2 * abs(X(1:L/2 + 1)));
title('Sinyal Kotak dalam Domain Frekuensi');
xlabel('Frekuensi (Hz)');
ylabel('|X(f)|');

2 F=10
F=20

F=30
F=40

F=50
DATA ANALISIS

1. Apa sebenarnya fenomena Gibb itu?


Jawab:
Fenomena Gibb, yang sering disebut juga sebagai "Gibbs phenomenon" dalam bahasa Inggris, adalah sebuah fenomena dalam matematika yang
terkait dengan teori deret Fourier dan aproksimasi fungsi matematis dengan menggunakan deret trigonometri. Fenomena ini pertama kali
dijelaskan oleh fisikawan Amerika, Josiah Willard Gibbs, pada akhir abad ke-19.

Fenomena Gibb terjadi ketika kita mencoba untuk mendekati suatu fungsi tak berkelanjutan atau fungsi berlubang dengan menggunakan deret
Fourier yang memiliki sejumlah suku terbatas. Misalnya, jika kita ingin mendekati fungsi yang tajam berubah atau memiliki puncak dan lembah
yang tajam dengan deret Fourier yang hanya memiliki sejumlah terbatas komponen (suku), maka akan muncul "loncatan" atau osilasi yang
signifikan di sekitar titik-titik di mana fungsi tersebut tajam berubah. Osilasi ini tidak akan pernah benar-benar mencapai nol dan cenderung
tetap tinggi di sekitar titik-titik tersebut.

Fenomena Gibb ini adalah hasil dari sifat gelombang trigonometri yang tidak dapat mendekati loncatan atau perubahan tajam dalam fungsi
dengan sempurna, terutama ketika kita menggunakan jumlah suku terbatas dalam deret Fourier. Meskipun fenomena ini mungkin mengganggu
dalam beberapa konteks, deret Fourier masih merupakan alat matematis yang sangat berguna dalam analisis sinyal, pemrosesan sinyal, dan
banyak aplikasi lainnya.
Jadi, secara singkat, fenomena Gibb adalah osilasi yang terjadi ketika mencoba untuk mendekati fungsi tak berkelanjutan atau berubah tajam
dengan menggunakan deret trigonometri (deret Fourier) yang memiliki jumlah suku terbatas.

2. Apa hubungan sinyal persegi dengan sinyal sinus?


Jawab:
Sinyal persegi (square wave) dan sinyal sinus (sine wave) adalah dua jenis sinyal periodik yang berbeda, tetapi memiliki hubungan yang penting
dalam konteks pemrosesan sinyal dan analisis Fourier. Berikut adalah beberapa hubungan dan informasi penting tentang keduanya:

Sinyal Persegi Sebagai Kombinasi Sinyal Sinus:

Sinyal persegi dapat dianggap sebagai kombinasi dari banyak komponen sinusoidal. Dalam analisis Fourier, sinyal persegi dapat diuraikan
menjadi rangkaian gelombang sinus dengan frekuensi-frekuensi yang merupakan kelipatan ganjil dari frekuensi dasar sinyal persegi tersebut. Ini
dikenal sebagai deret Fourier untuk sinyal persegi.
Deret Fourier Sinyal Persegi:

Deret Fourier adalah representasi matematis dari sinyal persegi sebagai jumlah tak terhingga gelombang sinus dengan frekuensi-frekuensi
tertentu. Dengan deret Fourier, sinyal persegi dapat dinyatakan sebagai:

S(t) = A/2 - (2A/π) * [sin(ωt) + (1/3)sin(3ωt) + (1/5)sin(5ωt) + ...]

di mana:

S(t) adalah sinyal persegi.


A adalah tinggi dari sinyal persegi.
ω adalah frekuensi dasar sinyal persegi.
Sinyal Sinus Sebagai Sinyal Murni:

Sinyal sinus adalah sinyal periodik murni yang hanya memiliki satu frekuensi dan amplitudo yang konstan. Itu dinyatakan dalam bentuk:
x(t) = A * sin(ωt)
di mana:
x(t) adalah sinyal sinus.
A adalah amplitudo.
ω adalah frekuensi.
Hubungan Melalui Transformasi Fourier:

Transformasi Fourier adalah alat matematis yang digunakan untuk mengubah domain waktu (sinyal waktu) ke domain frekuensi (spektrum
frekuensi). Transformasi Fourier dari sinyal persegi akan menghasilkan spektrum yang terdiri dari puncak-puncak pada kelipatan ganjil dari
frekuensi dasar. Ini menunjukkan bahwa sinyal persegi memiliki komponen frekuensi yang terdiri dari sinusoidal dengan frekuensi yang berbeda.
Jadi, sinyal persegi dan sinyal sinus memiliki hubungan melalui analisis Fourier, di mana sinyal persegi dapat diuraikan menjadi komponen
sinusoidal. Konsep ini adalah dasar dalam pemrosesan sinyal dan komunikasi, di mana kita sering menggunakan analisis Fourier untuk
memahami sifat-sifat frekuensi dari berbagai jenis sinyal, termasuk sinyal persegi.

3. Jika anda hubungkan dengan mata kuliah teknik modulasi digital, coba anda jelaskan mengapa

sinyal persegi tidak langsung digunakan memodulasi carrier?

Jawab:
Sinyal persegi tidak digunakan secara langsung untuk memodulasi carrier dalam komunikasi digital karena memiliki beberapa karakteristik yang
membuatnya kurang cocok untuk tujuan ini. Beberapa alasan utama mengapa sinyal persegi tidak ideal untuk modulasi digital meliputi:

Spektrum Lebar: Sinyal persegi memiliki spektrum frekuensi yang sangat lebar. Ini berarti bahwa sinyal persegi mengandung banyak komponen
frekuensi yang berbeda. Dalam komunikasi digital, kita sering ingin menggunakan spektrum frekuensi yang lebih terbatas untuk menghemat
bandwidth dan memungkinkan lebih banyak sinyal untuk digunakan dalam saluran yang sama. Sinyal persegi yang lebar dapat mengganggu
saluran komunikasi dan menyebabkan interferensi dengan saluran lainnya.

Osilasi Tidak Terhingga: Sinyal persegi memiliki osilasi tak terhingga di sekitar titik loncatan. Hal ini dapat menyebabkan masalah dalam transmisi
dan penerimaan sinyal, terutama jika ada gangguan atau perubahan yang menyebabkan loncatan dalam sinyal. Osilasi ini dapat menghasilkan
komponen frekuensi yang tinggi dan mengganggu spektrum yang tidak diinginkan.

Kesulitan Implementasi Praktis: Menghasilkan sinyal persegi ideal dalam dunia nyata adalah sulit, karena membutuhkan komponen frekuensi
yang tak terhingga. Selain itu, sinyal persegi ideal juga memerlukan waktu tak terhingga untuk mencapai puncak atau lembahnya. Dalam
implementasi praktis, akan selalu ada batasan pada jumlah komponen frekuensi yang dapat digunakan dan batasan pada ketajaman loncatan
sinyal, sehingga sinyal persegi sebenarnya akan mendekati karakteristik sinyal persegi ideal.

Sebagai gantinya, dalam modulasi digital, sinyal biner (misalnya, NRZ - Non-Return-to-Zero) atau variasi sinyal yang lebih halus (seperti sinyal
sinusoidal atau sinyal gelombang segitiga) sering digunakan untuk modulasi carrier. Sinyal-sinyal ini memiliki spektrum frekuensi yang lebih
terkendali, lebih mudah diimplementasikan, dan lebih sesuai untuk transmisi data digital dalam sistem komunikasi. Mereka mengurangi isu-isu
yang dihadapi dengan sinyal persegi, seperti spektrum lebar dan osilasi tak terhingga, sehingga lebih efisien dalam penggunaan bandwidth dan
lebih dapat diandalkan dalam komunikasi digital.

4. Coba anda buat record suara anda, terserah berupa vokal atau ucapan yang lain, dan amati bentuk

spektrumnya.

Jawab:

Ketika kita mngeluarkan suara maka akan terbentuk sinyal berbeda hal nya Ketika kita diam maka sinyal tersebut akan beraa pada titik nol semakin rendah suara
kita maka semakin rendah pula sinyal tersebut
Nama : Magfira ardani
Nim : 2110447001
Mata Kuliah : Pengolahan Sinyal Digital
Modul : 10– TRANSFORAMSI DOMAIN FREKUENSI KE WAKTU
4.1. Proses Konversi Sederhana Pada Sinyal Dasar
1&2 clc;

% Membuat sinyal sinus dalam domain waktu


t = 0:0.001:2;
x_t = sin(2 * pi * t);

% Plot sinyal dalam domain waktu


figure(1);
plot(t, x_t);
axis([0 2 -1.2 1.2]);
title('Sinyal Sinus dalam Domain Waktu');
xlabel('Waktu (s)');
ylabel('Amplitudo');

% Transformasi Fourier
X_F = fft(x_t);

% Plot sinyal dalam domain frekuensi


figure(2);
plot(abs(X_F));
axis([-100 2100 -10 1100]);
title('Sinyal Sinus dalam Domain Frekuensi');
xlabel('Frekuensi (Hz)');
ylabel('|X_F|');

% Konversi kembali dari domain frekuensi ke dalam domain waktu


x_tt = ifft(X_F);

% Plot sinyal yang dikonversi kembali dalam domain waktu


figure(3);
plot(t, x_tt);
axis([0 2 -1.2 1.2]);
title('Sinyal Sinus Konversi dari Domain Frekuensi ke Waktu');
xlabel('Waktu (s)');
ylabel('Amplitudo');
3 % Program pertama
clc;

% Membuat sinyal sinus dalam domain waktu


t = 0:0.001:2;
x_t = sin(2 * pi * t);

% Plot sinyal dalam domain waktu


figure(1);
plot(x_t);
axis([0 2 -1.2 1.2]);
title('Sinyal Sinus dalam Domain Waktu');
xlabel('Waktu (s)');
ylabel('Amplitudo');

% Transformasi Fourier
X_F = fft(x_t);

% Plot sinyal dalam domain frekuensi


figure(2);
plot(abs(X_F));
axis([-100 2100 -10 1100]);
title('Sinyal Sinus dalam Domain Frekuensi');
xlabel('Frekuensi (Hz)');
ylabel('|X_F|');
% Konversi kembali dari domain frekuensi ke dalam
domain waktu
x_tt = ifft(X_F);

% Plot sinyal yang dikonversi kembali dalam domain


waktu
figure(3);
plot(x_tt);
axis([0 2 -1.2 1.2]);
title('Sinyal Sinus Konversi dari Domain Frekuensi
ke Waktu');
xlabel('Waktu (s)');
ylabel('Amplitudo');

% Program kedua
x = [1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0];
n = 0:length(x)-1;

% Plot sinyal persegi dalam domain waktu diskrit


figure(4);
stem(n, x);
axis([0 20 -0.5 1.5]);
title('Sinyal Persegi dalam Domain Waktu Diskrit');
xlabel('n');
ylabel('Amplitudo');

% Transformasi Fourier
Xf = fft(x);

% Plot sinyal dalam domain frekuensi


figure(5);
stem(n, abs(Xf));
axis([0 20 -0.5 5.5]);
title('Sinyal Persegi dalam Domain Frekuensi');
xlabel('k');
ylabel('|Xf|');

% Konversi kembali dari domain frekuensi ke dalam


domain waktu
xtt = ifft(Xf);

% Plot sinyal yang dikonversi kembali dalam domain


waktu
figure(6);
stem(n, xtt);
axis([0 20 -0.5 1.5]);
title('Sinyal Persegi Konversi dari Domain Frekuensi
ke Waktu');
xlabel('n');
ylabel('Amplitudo');
4 Figure 3
5&6 . clc
Fs=10000;
t = 0:1/Fs:.0625;
y = square(2*pi*30*t);
figure(1);
plot(t,y);axis([0 0.07 -1.5 1.5])
xlabel('(a) Sinyal input kotak');
Yf = fft(y);
Yf_dB = 20*log10(abs(Yf));
figure(2)
f=1:(length(Yf)/2);
Yf_dBx=Yf_dB(1:length(Yf)/2);
plot(0.5*Fs*(f/length(Yf)),Yf_dBx);
xlabel('(b) Konversi ke domain frekuensi');
figure(3)
ytt=ifft(Yf);
plot(t,ytt);axis([0 0.07 -1.5 1.5])
xlabel('(c) Hasil pengembalian ke domain waktu');
4.2. Pengolahan dari Input data Text

1 % Hapus gambar yang ada dan bersihkan variabel


clf;
clc;
clear all;

% Memanggil data dari file 'D113S21.txt'


data = load('D113S21.txt');
f = data(:, 1); % Frekuensi
m = data(:, 2); % Magnitude
ph = data(:, 3); % Phase
n = 401; % Jumlah data
window = hamming(n); % Window Hamming
mrec = ((10.00).^(data(:, 2)./10)).*exp(1i*(data(:, 3)*(pi/180))); %
Merubah magnitude dari dB ke linier (antilog)
htw = window .* mrec; % Perkalian magnitude linier dengan window
ht = abs(htw);
fs = 2e+8;
t = 1:n;
tm = t./fs;
mifft = ifft2(htw, n, 1); % Proses transformasi domain frekuensi ke
domain waktu
mabs = abs(mifft); % Magnitudo hasil IFFT yang dinormalisasi
Excess Delay (ns)
mabmax = max(mabs);
mabsdb = 10 * log10(mabs); % Magnitude dalam dB
for i = 1:n
mabn(i) = mabs(i) / mabmax(1);
mabdb(i) = 10 * log10(mabn(i));
end
delaykabel = (20 / (0.66 * 3e8)) + 2.4 / 3e8 + ((2 * 0.8824) / 3e8);
tn = ((tm - delaykabel) * 1e9);
na = delaykabel / 5e-9;

% Plot hasil
figure(1);
plot(f, data(:, 2));
title('Magnitudo (dB) fungsi frekuensi');
xlabel('Frekuensi (MHz)');
ylabel('Magnitudo, dB');

figure(2);
plot(f, data(:, 3));
title('Phase fungsi frekuensi');
xlabel('Frekuensi (MHz)');
ylabel('Phase, derajat');

figure(3);
plot(f, mrec);
title('Magnitudo Linier fungsi frekuensi');
xlabel('Frekuensi (MHz)');
ylabel('Magnitudo, watt');

figure(4);
plot(tn + 40, mabs);
grid on;
hold on;
title('Magnitudo linier hasil IFFT');
xlabel('Excess Delay (ns)');
ylabel('Magnitude, h(tau)');
axis([-50 100 0 1e-5]);

figure(5);
plot(tn + 40, mabn);
grid on;
hold on;
title('Magnitudo hasil IFFT yang dinormalisasi');
xlabel('Excess Delay (ns)');
ylabel('Magnitudo, h(tau)');
axis([-50 100 0 1]);
figure(6);
plot(window);
grid on;
hold on;
title('Window Hamming');
xlabel('Frekuensi, MHz');
ylabel('Magnitudo');
axis([0 400 0 1]);

figure(7);
plot(tn + 40, mabdb);
grid on;
hold on;
title('Magnitudo hasil IFFT yang dinormalisasi');
xlabel('Excess Delay (ns)');
ylabel('Magnitudo, h(tau)');
axis([-50 500 -25 0]);

Anda mungkin juga menyukai