Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt karena berkat rahmat-Nya tersusunlah panduan asuhan pasien oleh
Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP), perawat, dan pemberi pelayanan yang lain di Rumah Sakit Umum
Daerah Saparua.
Adapun Panduan ini disusun untuk mengetahui Rumah Sakit menerapkan penyelenggaraan pelayanan Produk Darah di
Rumah Sakit Umum Daerah Saparua dan menjalankan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Alasan penyusunan panduan ini adalah untuk dijadikan acuan bagi Rumah Sakit Umum Daerah Saparua dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan kepada pasien.
Disadari sepenuhnya bahwa panduan asuhan pasien oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP), perawat,
dan pemberi pelayanan yang lain di Rumah Sakit Umum Daerah Saparua ini masih ada kekurangannya, baik dalam
hal sistematika penulisan maupun dalam cara penulisannya. Kepada semua pihak yang terlibat dan telah membantu
penyusunan panduan ini, kami ucapkan terima kasih. Harapan kami semoga panduan ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Saparua 05 September 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………..ii
BAB I
PENDAHULUAN ……………………………………………………………………………..4
BAB II
PEMBAHASAN ……………………………………………………………………………..18
BAB III
DOKUMEN ……………………………………………………………………………..19

2
BAB I
PANDUAN PELAYANAN DARAH

A. LATAR BELAKANG
Transfusi dari seluruh darah dan komponen darah tetap menjadi topik
kontroversial sehubungan dengan indikasi dan kegiatan transfusi. Meskipun
digunakan secara luas, data pendukung untuk kegiatan terapi transfusi seluruh darah
dan komponen darah masih kurang. Pendapat yang ada dipertahankan, tapi hanya
ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa peningkatan kadar hemoglobin, kadar
oksigen arteriol, atau pengangkutan oksigen global dapat meningkatkan
kelangsungan hidup pada pasien, kecuali pada 2 populasi khusus, yaitu: (1) orang-
orang dengan perdarahan aktif, dan (2) orang-orang dengan iskemia jantung aktif.
Penelitian lebih lanjut, terutama di pusat-pusat trauma sipil, diperlukan untuk
mengkonfirmasi pelajaran dari pengalaman militer. Untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas akibat perdarahan yang tidak terkontrol, pasien yang memerlukan transfusi
masif harus cepat diidentifikasi sehingga intervensi langsung dapat mencegah
perkembangan koagulopati.
Sejarah transfusi darah berasal penemuan William Harvey tentang sirkulasi darah
pada tahun 1628. Transfusi darah paling awal diketahui terjadi pada tahun 1665, dan
transfusi darah manusia yang pertama dilakukan oleh Dr. Philip Syng Physick pada
1795. Transfusi pertama darah manusia untuk pengobatan perdarahan dilakukan
oleh Dr. James Blundell di London pada tahun 1818. Bank darah pertama didirikan di
Leningrad pada tahun 1932, dan bank darah pertama di Amerika Serikat dibuka di
Chicago’s Cook County Hospital pada tahun 1937.
Perkembangan teknologi membuat transfusi produk darah menjadi mungkin
meliputi identifikasi Karl Landsteiner tentang golongan darah manusia A, B, dan O
pada 1901. Decastello dan Sturli menambahkan kelompok keempat, AB, pada tahun
1902. Reuben Ottenberg menggunakan tipe darah dan pencocokan silang untuk
pertama kali tak lama sesudahnya; ia juga menciptakan istilah donor universal dan
penerima universal pada 1912. Selanjutnya, pengembangan antikoagulan jangka

3
panjang, seperti asam sitrat-dekstrosa, memungkinkan penyimpanan darah untuk
digunakan nanti. Pada 1939-1940, sistem golongan darah Rhesus (Rh) ditemukan,
mengarahkan ke pengembangan pengujian kompatibilitas antigen minor. Pada tahun
1971, pengujian antigen permukaan hepatitis B menandakan munculnya skrining
untuk meminimalkan penularan infeksi melalui transfusi.
Fresh whole blood telah lama dianggap sebagai standar kriteria untuk transfusi,
tetapi munculnya teknik fraksinasi whole blood setelah Perang Dunia II menyediakan
sarana penggunaan yang lebih efisien dari berbagai komponen (yaitu, packed red
blood cells [PRBCs], fresh frozen plasma [FFP], faktor konsentrat individu, trombosit
konsentrat, kriopresipitat). Akibatnya, indikasi saat ini untuk penggunaan whole blood
mulai semakin sempit.

B. TUJUAN
1. TUJUAN UMUM
Mendeskripsikan prosedur untuk pelayanan transfusi darah di RSUD Saparua.

2. TUJUAN KHUSUS
a. Membantu petugas memahami alur prosedur pelayanan transfusi darah.
b. Proses pelayanan transfusi darah sesuai dengan kebutuhan dan
memperhatikan kak-hak pasien.

C. SASARAN
Sasaran pada program ini adalah semua unit pelayanan medis di RSUD Saparua.

D. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup program ini adalah semua unit pelayanan medis.

E. KEBIJAKAN
Keputusan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Saparua tentang Kebijakan
Pelayanan Transfusi Darah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. INDIKASI
Perdarahan aktif yang menyebabkan syok adalah salah satu dari beberapa
indikasi berbasis bukti untuk transfusi. Anemia digambarkan sebagai berkurangnya
massa sel darah merah yang beredar, dinyatakan sebagai gram hemoglobin per 100
cc darah. Anemia mungkin timbul sebagai akibat dari kehilangan eksternal,
kerusakan internal, produksi yang tidak memadai, atau kombinasi. Sementara
kebanyakan pasien yang mengalami perdarahan aktif menjadi anemia, anemia itu
sendiri belum tentu merupakan indikasi untuk transfusi. Akibat pendarahan parah
adalah syok hemoragik, dan syok didefinisikan sebagai pasokan oksigen yang tidak
memadai untuk mendukung metabolisme sel. Penggantian sel darah merah hanya
salah satu segi dari terapi syok hemoragik dan tidak dapat digunakan dalam setiap
kasus.
Berdasarkan definisi klasik syok, prinsip resusitasi yang efektif dari perdarahan
menjelaskan eliminasi kekurangan oksigen, metabolisme anaerobik, dan asidosis
jaringan. Ketika etiologinya adalah perdarahan, tujuan transfusi adalah restorasi
oksigenasi jaringan yang terganggu oleh hilangnya hemoglobin dan kapasitas
transportasi oksigen. Tujuannya bukanlah pemulihan kadar hemoglobin tertentu.
Sebaliknya, transfusi harus mencerminkan penerapan terapi yang menargetkan
tujuan fisiologis yang dapat diidentifikasi dan dicapai.
Keputusan untuk melakukan transfusi sel darah merah harus didasarkan pada
proses pemikiran logis dengan tujuan pemulihan oksigenasi jaringan. Oleh karena
itu, transfusi sel darah merah secara logis dimulai dalam situasi berikut:
1. Bukti klinis adanya hipoksia/dysoksia, dimanifestasikan oleh hipoperfusi, termasuk
asidosis laktat dan peningkatan defisit basa (bila bukan karena asidosis metabolik
hiperkloremik). Selain itu, preload kinerja jantung harus dikoreksi dengan ekspansi
volume plasma yang sesuai. Dalam hal ini, agen pressor dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja jantung jika dinilai tidak memadai, dan transfusi sel darah
merah dapat digunakan untuk mendukung pengiriman oksigen ke end-organ.

5
2. Perdarahan aktif berhubungan dengan syok.
3. Perdarahan tidak dapat segera dikendalikan karena kendala anatomi, koagulopati,
atau lokasi di lingkungan keras yang menghalangi kontrol perdarahan, dan
transfusi PRBC dapat memperpanjang hidup sampai kontrol perdarahan dicapai.
Pedoman transfusi sel darah merah dari AABB (American Association of Blood
Banks) menyarankan strategi ketat untuk orang dewasa dan anak-anak yang stabil.
Rekomendasi dari pedoman AABB meliputi:
1. Untuk pasien ICU (baik orang dewasa dan anak-anak), transfusi harus
dipertimbangkan pada konsentrasi hemoglobin 7 g/dL atau kurang.
2. Untuk pasien pascaoperasi, pertimbangkan transfusi ketika kadar hemoglobin 8
g/dL atau kurang atau dengan gejala (misalnya, nyeri dada, hipotensi ortostatik,
takikardia tidak responsif terhadap resusitasi cairan, gagal jantung kongestif).
3. Juga pertimbangkan transfusi untuk konsentrasi hemoglobin 8 g/dL atau kurang
pada pasien rawat inap yang hemodinamik stabil dengan penyakit jantung yang
sudah ada sebelumnya.
4. The AABB tidak merekomendasikan ambang batas untuk transfusi pada pasien
hemodinamik stabil yang dirawat di rumah sakit dengan sindrom koroner akut.
Pemicu fisiologis, seperti dijelaskan di atas, adalah prediktor yang paling akurat
dari kebutuhan transfusi, karena mereka didasarkan pada kebutuhan spesifik pasien
sehubungan dengan gangguan fisiologi. Namun, keinginan untuk menetapkan
sebuah "angka untuk mengobati" sehubungan dengan kadar hemoglobin dan
hematokrit telah meresap pada praktek transfusi. Banyak kontroversi seputar
paradigma praktek transfusi yang berpusat pada ketidaksepakatan mengenai berapa
yang merupakan angka sempurna.
Seperempat abad yang lalu, pengobatan yang optimal pada pasien bedah dan
kritis menargetkan kadar hemoglobin ≥10 g/dL dan nilai hematokrit ≥30%.
Pemahaman berikutnya dari risiko yang ada pada transfusi menyebabkan perlunya
investigasi untuk menetapkan batas minimum untuk konsentrasi hemoglobin yang
dapat diterima.

6
Pada kadar hemoglobin di bawah 3,5-4 g/dL, kematian secara signifikan
meningkatkan pada pasien sehat. Penelitian oleh Shander menunjukkan penurunan
kognisi dengan kadar hemoglobin di bawah 5 g/dL.
American Society of Anesthesiologists menggunakan kadar hemoglobin 6 g/dL
sebagai pemicu untuk diperlukannya transfusi, meskipun data yang lebih baru
menyarankan penurunan mortalitas dengan konsentrasi hemoglobin preanestesi
lebih besar dari 8 g/dL, khususnya pada pasien transplantasi ginjal.
Strategi transfusi restriktif telah didukung oleh penelitian Transfusion
Requirements in Critical Care (TRICC), yang diterbitkan pada tahun 1999, serta
penelitian lainnya. Penelitian TRICC mendokumentasikan tren keseluruhan terhadap
penurunan mortalitas 30 hari dan secara signifikan menurunkan mortalitas di antara
pasien yang baru sakit dan di antara pasien yang lebih muda dari 55 tahun dalam
kelompok yang menggunakan hemoglobin 7 g/dL sebagai pemicu transfusi
dibandingkan dengan kelompok transfusi yang lebih liberal. Para peneliti
menyimpulkan bahwa strategi transfusi restriktif setidaknya sama efektifnya dan
mungkin lebih unggul daripada strategi transfusi liberal pada pasien dengan penyakit
kritis. Pengecualian untuk paradigma ini adalah pasien dengan infark miokard akut
dan angina tidak stabil. Sebuah review Cochrane Database tahun 2012 memperkuat
gagasan tersebut.
Studi CRIT, yang diterbitkan pada tahun 2004, adalah studi kohort prospektif,
multiple center, observasional dari pasien intensive care unit (ICU) di Amerika
Serikat, yang meneliti hubungan anemia dan transfusi sel darah merah terhadap
hasil klinis. Para peneliti menemukan bahwa jumlah unit RBC yang ditransfusikan
adalah prediktor independen dari hasil klinis yang lebih buruk.

B. TRANSFUSI KOMPONEN DARAH


Whole blood difraksinasi menjadi komponen-komponen tertentu, sebagai berikut:
PRBC, FFP, konsentrat trombosit, dan kriopresipitat; FFP selanjutnya dapat
difraksinasi menjadi konsentrat faktor individual. Fraksinasi memaksimalkan
kemampuan klinisi untuk secara rasional menggunakan komponen masing-masing
unit sekaligus membatasi transfusi yang tidak perlu. Sebuah produk tertentu juga

7
dapat ditransfusikan dengan volume yang lebih sedikit. Selain itu, komponen
individual memerlukan suhu penyimpanan yang berbeda; oleh karena itu, fraksinasi
memungkinkan manajemen produk yang lebih efektif.
Fraksinasi komponen darah didasarkan pada teknologi sentrifugasi dan flash-
freezing. Whole blood dipisahkan menjadi sel darah merah dan platelet-rich plasma
dengan sentrifugasi lambat. Sentrifugasi kecepatan tinggi kemudian diterapkan pada
platelet-rich plasma untuk menghasilkan satu unit trombosit dan satu unit FFP. FFP
menghasilkan kriopresipitat melalui proses pencairan lambat untuk mengendapkan
protein plasma, yang kemudian dipisahkan dengan sentrifugasi. Kriopresipitat
mengandung konsentrasi tinggi fibrinogen, faktor VIII, faktor XIII, faktor von
Willebrand, dan fibronektin; hipofibrinogenemia adalah indikasi transfusi yang paling
umum untuk kriopresipitat dalam lingkungan perawatan intensif atau di ruang
operasi.
Teknologi apheresis dapat digunakan untuk mengumpulkan beberapa unit
trombosit dari donor tunggal. trombosit apheresis dari donor tunggal mengandung
setara dengan setidaknya 6 unit trombosit donor acak dan sering memiliki lebih
sedikit leukosit daripada trombosit donor acak. Apheresis ini paling sering digunakan
untuk mendapatkan trombosit untuk digunakan pada pasien alloimmunized dengan
kehadiran antibodi tinggi yang membuat cross-matching sulit. Pasien dengan
diskrasia dan keganasan darah umumnya termasuk dalam kategori ini.
1. Packed red blood cells
Indikasi untuk transfusi PRBC sudah dibahas di atas. Secara umum,
konsentrasi hemoglobin (biasanya dilaporkan dalam g/dL) digunakan untuk
memantau massa RBC. Ini adalah variabel yang diukur secara langsung,
sedangkan hematokrit adalah nilai yang dihitung ketika diperoleh dari perangkat
otomatis modern dan, oleh karena itu, lebih rentan terhadap ketidaktepatan
dibandingkan dengan pengukuran langsung dengan pipa kapiler yang diputar
pada centrifuge.
2. Fresh frozen plasma
Transfusi FFP adalah umum, tetapi indikasi spesifik untuk penggunaannya
terbatas. Bahkan, bukti-bukti untuk penggunaan dalam berbagai situasi klinis,

8
seperti profilaksis pada pasien non perdarahan, sangat terbatas. Transfusi FFP
diindikasikan pada pasien pendarahan untuk menggantikan faktor pembekuan
yang labil dan hilang. Keadaan klinis yang memenuhi kriteria ini termasuk transfusi
masif, cardiopulmonary bypass, teknik support paru extracorporeal, penyakit hati
dekompensasi, atau disseminated intravascular coagulation akut apapun
penyebabnya. FFP, dalam hubungannya dengan vitamin K, juga diindikasikan
untuk penggunaan warfarin berlebihan dalam keadaan disertai dengan
perdarahan yang mengancam jiwa.
Pedoman untuk dosis awal FFP adalah 10-15 ml/kg; ini biasanya diterjemahkan
menjadi setidaknya 4 unit FFP untuk efek respon terapi. Efikasi dipantau dengan
tes laboratorium fungsi koagulasi, termasuk prothrombin time (PT), activated
partial thromboplastin time (aPTT), dan international normalized ratio (INR).

3. Trombosit
Transfusi trombosit mungkin bermanfaat pada pasien dengan defisiensi atau
disfungsi trombosit. Transfusi trombosit profilaksis diindikasikan pada pasien
dengan kegagalan sumsum tulang, tidak ada faktor-faktor risiko terkait lainnya
untuk perdarahan, dan jumlah trombosit di bawah 10x10 9/L. Jika ada faktor risiko
yang terkait, ambang batas dapat dinaikkan menjadi 20x10 9/L. Pasien yang
menjalani prosedur invasif harus memiliki jumlah trombosit lebih dari 50x10 9/L.
Pada pasien pendarahan, transfusi trombosit diindikasikan ketika trombositopenia
berkontribusi untuk pendarahan dan jumlah trombosit kurang dari 50x10 9/L. Ketika
ada pendarahan mikrovaskuler difus, jumlah trombosit harus dipertahankan di
atas 100x109/L sementara penyebab perdarahan sedang ditangani.
Etiologi umum dikoreksi meliputi, tetapi tidak terbatas pada, kegagalan kontrol
perdarahan volume besar (organ padat atau saluran pembuluh darah), hipotermia,
asidosis, cedera otak traumatis, kekurangan faktor individual, dan inhibisi
koagulasi yang didapat. Waktu optimal untuk mengukur efek transfusi trombosit
adalah 1 jam setelah selesainya infus. Jangka waktu ini memungkinkan seseorang
untuk melihat peningkatan yang sesuai dari konsumsi berkelanjutan dari
kehancuran total akibat antibodi preformed.

9
4. Kriopresipitat
Transfusi kriopresipitat diindikasikan untuk defisiensi fibrinogen atau
dysfibrinogenemia dalam kondisi perdarahan, prosedur invasif, cedera, atau
disseminated intravascular coagulation akut. Kadar fibrinogen harus dipantau dan
pengobatan dilakukan untuk kadar kurang dari 100 mg/dL; banyak dokter
menggunakan batas yang lebih tinggi yaitu 150 mg/dL pada pasien dengan
perdarahan aktif. Kriopresipitat umumnya ditransfusikan dalam 10 unit terpisah.
Pasien pada protokol transfusi masif dan menerima lebih dari 10 unit FFP
biasanya tidak memerlukan kriopresipitat tambahan, setelah menerima bolus
fibrinogen yang memadai dalam sejumlah besar FFP.

C. TRANSFUSI MASIF
Definisi transfusi masif telah berkembang dari waktu ke waktu untuk
mencerminkan praktek transfusi modern. Tiga puluh tahun yang lalu, transfusi masif
didefinisikan sebagai lebih dari 10 unit darah selama 24 jam, kira-kira setara dengan
satu volume darah pasien untuk orang dengan berat badan rata-rata. Meskipun satu
volume darah pasien dalam 24 jam tetap menjadi definisi "klasik", penulis terkini
memperluas definisi ini hingga 50 unit darah dalam 24-48 jam.
Ketika awalnya diperkenalkan sebagai modalitas pengobatan pada tahun 1960,
transfusi masif mengakibatkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah (6,6%)
selama tahun 1970-an. Namun, tingkat kelangsungan hidup hingga 60% sekarang
diamati, sebagai hasil dari pengenalan dini dan koreksi agresif koagulopati,
penggunaan liberal teknik rewarming, lembaga manajemen pengendalian kerusakan
operasi, dan peningkatan penggunaan terapi transfusi komponen.
Syok hipovolemik akibat perdarahan adalah indikasi yang paling sering untuk
transfusi darah masif. Skenario klinis di mana syok hemoragik ditemui meliputi
trauma, kecelakaan operasi, ruptur aneurisma aorta, perdarahan gastrointestinal
masif, dan transplantasi organ padat (terutama hati), tapi meluas sampai prosedur
angiointerventional dan endoskopi. Dengan demikian, transfusi masif dapat terjadi di
luar ruang operasi dan ICU bedah dengan frekuensi meningkat.

10
Recombinant activated factor VII (rFVIIa) adalah faktor VII manusia sintesis yang
tersedia untuk pemulihan dan infus pada pasien dengan perdarahan masif. rFVIIa
yang biasanya digunakan untuk mengobati hemofilia serta koagulopati bawaan dan
diperoleh lainnya. Baru-baru ini, rFVIIa telah digunakan pada pasien dengan
perdarahan aktif dan koagulopati dari trauma, cedera otak traumatis, penggunaan
warfarin berlebihan, dan cacat hematologi diperoleh lain, termasuk faktor
penghambat yang diperoleh.
Penggunaan pada pasien trauma menghasilkan penurunan keperluan RBC dan
kecenderungan peningkatan keberlangsungan hidup dan pengurangan morbiditas
kritis. rFVIIa memulai koagulasi jalur ekstrinsik hanya ketika bergabung dengan
faktor jaringan di lokasi cedera. Karena faktor jaringan hadir dalam jumlah terbatas
dalam sirkulasi umum, rFVIIa umumnya dianggap aman terhadap induksi trombosis.
Namun, beberapa laporan awal dari R. Adams Cowley Shock Trauma Center
mendokumentasikan komplikasi trombotik yang belum dilaporkan sebelumnya.
Hanya waktu dan eksposur tambahan pasien dengan rFVIIa akan menentukan
apakah peristiwa ini spesifik tempat atau populasi. Pedoman dosis untuk trauma
(kisaran umum, 90-120 mcg/kg berat badan) belum ditetapkan, sedangkan pedoman
berbasis bukti ditetapkan untuk hemofilia serta operasi prostat.

D. KOMPLIKASI TRANSFUSI
1. Infeksi viral
Di negara-negara dengan human development index (HDI) yang tinggi
(berdasarkan harapan hidup, pendidikan, dan pendapatan per kapita), transfusi
produk darah sekarang sangat aman terhadap infeksi virus lewat transfusi. Hal ini
disebabkan meningkatnya sensitivitas pengujian patogen, yang mengurangi
periode jendela infeksi. Risiko meningkat secara signifikan di negara-negara
dengan HDI rendah karena seroprevalensi tinggi serta pengujian patogen dan
standar transfusi yang tidak memadai. Insiden yang tercantum di sini hanya
berlaku untuk negara-negara HDI tinggi.
Insiden hepatitis A adalah 1 kasus per 1 juta unit transfusi (1:1 juta); hepatitis B
berkisar dari 1:6000 sampai 1:320.000. Penyakit akut berkembang di sepertiga

11
pasien yang terinfeksi hepatitis B, namun infeksi kronis berkembang dalam kurang
dari 10% dari mereka yang terinfeksi. Insiden hepatitis C berkisar antara 1:1,2 juta
sampai kurang dari 1:13 juta. Namun, berbeda dengan hepatitis B, lebih dari 80%
dari infeksi hepatitis C menjadi kronis, dengan mortalitas selanjutnya signifikan
dikaitkan dengan sirosis dan karsinoma hepatoseluler.
Insiden human immunodeficiency virus (HIV) berkisar antara 1:1,4 juta sampai
1:11 juta.
Human T-cell leukemia virus type I (HTLV-I) dan Human T-cell leukemia virus
type II (HTLV-II) membawa kejadian 1:250.000 sampai 1:2 juta. Dari catatan,
darah yang disimpan selama lebih dari 14 hari dan komponen darah noncellular
belum didokumentasikan untuk menyebarkan HTLV.
Cytomegalovirus (CMV) adalah virus yang paling umum ditularkan melalui
transfusi, dengan kejadian berkisar 1:10 sampai 1:30. Karena prevalensinya,
transmisi membawa sedikit risiko pada populasi umum. Pasien yang beresiko
untuk mengembangkan infeksi CMV termasuk neonatus dengan berat kurang dari
1200 g, wanita hamil seronegatif, penerima transplantasi alogenik seronegatif,
pasien dengan infeksi HIV lanjut, pasien dengan limfoma, dan pasien yang
menerima kemoterapi.
Virus Epstein-Barr (EBV) juga sering ditularkan karena seroprevalensinya.
Insiden transmisi 1: 200.
Virus West Nile baru-baru ini dilaporkan, dengan kejadian 1:3000 sampai
1:5000.
2. Infeksi parasit
Infeksi parasit yang paling umum ditularkan melalui transfusi adalah malaria,
dengan kejadian 1:4 juta. Namun, di negara-negara HDI rendah (di mana malaria
cenderung endemik), kejadian malaria yang ditularkan lewat transfusi setinggi 1:3.
3. Kontaminasi bakteri
Kontaminasi bakteri bertanggung jawab untuk setidaknya 10% dari kematian
terkait transfusi dan kebanyakan kematian terkait infeksi. Yersinia enterocolitica
adalah kontaminan bakteri yang paling umum dari PRBC; patogen lainnya
termasuk Serratia marcescens, Pseudomonas aeruginosa, dan spesies

12
Enterobacter. Insiden berkisar dari 1:200.000 sampai 1:4,8 juta dan secara
langsung berkaitan dengan lama penyimpanan.
Sepsis terkait platelet bahkan lebih umum, dengan kejadian setinggi 1:2000
sampai 1:3000. Risiko terbesar ada pada transfusi trombosit konsentrat yang
dikumpulkan dari beberapa donor bila dibandingkan dengan transfusi trombosit
donor tunggal. Karena risiko meningkat seiring dengan waktu, shelf life trombosit
yang disimpan tidak melebihi 5 hari. Patogen khas termasuk Staphylococcus
aureus dan Staphylococcus epidermidis. Oleh karena itu, sepsis terkait transfusi
trombosit mungkin tidak diakui, karena ini adalah patogen yang umum dan infeksi
mungkin disebabkan sumber-sumber lain, seperti infeksi aliran darah terkait
peralatan.
4. Risiko imunologi
Reaksi transfusi berupa demam nonhemolitik merupakan komplikasi akut
transfusi darah yang ditandai dengan demam dengan atau tanpa menggigil dan
kaku. Kondisi ini tidak mengancam jiwa. Sebagian besar reaksi ini berasal dari
respon kekebalan terhadap komponen seluler atau plasma yang ditransfusikan,
biasanya leukosit. Produk darah tanpa leukosit dapat meminimalkan masalah ini,
tetapi mereka belum didokumentasikan untuk dilakukan universal.
Komponen darah nonseluler (yaitu, plasma, turunan plasma) adalah penyebab
yang jarang dari efek samping. Reaksi plasma mungkin terkait dengan
perselisihan imunologi antara donor dan penerima. Protein plasma yang
ditransfusikan mungkin berisi epitop berbeda dengan pada protein plasma identik
penerima sendiri. Antibodi juga mungkin ada dalam plasma donor yang bereaksi
dengan sel-sel darah penerima atau protein plasma. Kontaminan dalam plasma
donor juga dapat dikaitkan dengan beberapa reaksi ini. Pengolahan plasma dapat
menyebabkan aktivasi beberapa sistem proteolitik, seperti komplemen dan sistem
kinin/kininogen, yang pada gilirannya, menyebabkan generasi zat vasoaktif dan
anaphylatoxins. Akhirnya, tingkat histamin dapat meningkat dalam komponen
darah yang disimpan. Gejala berkisar dari reaksi urtikaria ringan atau flushing
sampai kolaps kardiorespirasi mendadak dan kematian. Beberapa reaksi ini

13
kemungkinan benar-benar anafilaksis, tetapi, pada orang lain, mekanismenya
kurang jelas, dan mereka disebut sebagai anaphilactoid.
Posttransfusion purpura terjadi ketika alloantibodies spesifik platelet
berkembang 5-10 hari post transfusi. Trombosit asli pasien dihancurkan,
menyebabkan trombositopenia berat. Komplikasi ini jarang terjadi tetapi
berpotensi mengancam nyawa, dan biasanya terjadi pada wanita. Transfusi
trombosit biasanya tidak efektif, dan diperlukan dosis tinggi imunoglobulin
intravena (2 g/kg selama 2-5 hari). Beberapa praktisi menggunakan
plasmapheresis atau steroid dosis tinggi untuk kondisi ini, tetapi mereka
melakukannya tanpa dukungan data yang kuat terhadap hasil yang
menguntungkan.
Inkompatibilitas ABO adalah komplikasi yang paling umum dan fatal dari
transfusi darah. Kebanyakan reaksi transfusi hemolitik akut akibat dari kesalahan
manusia, biasanya identifikasi pasien yang salah. Banyak perbaikan sistem telah
disodorkan untuk mengurangi komponen human error, termasuk bar coding dan
teknik pencocokan yang dibantu komputer, tetapi tidak ada sistem tunggal yang
muncul sebagai metode yang paling efektif menghilangkan kesalahan.
Insiden inkompatibilitas ABO yang dilaporkan dalam praktek transfusi manusia
adalah 1:6000 sampai 1:33.000. Kasus yang fatal terjadi pada 1:250.000 sampai
1:1 juta.
Gejala klasik dari reaksi transfusi hemolitik akut termasuk ketakutan, flushing,
nyeri, mual, muntah, menggigil, hipotensi, dan kolaps sirkulasi. Disseminated
intravascular coagulation, anemia hemolitik, gangguan ginjal, dan penyakit kuning
juga tercatat. Pada pasien yang dibius, gejala dapat dengan mudah tertukar
dengan entitas klinis lain dan ditandai oleh hipotensi tidak jelas, koagulopati difus,
dan hemoglobinuria. Perawatan termasuk penghentian transfusi dan resusitasi
agresif dari syok.
Kebanyakan reaksi transfusi hemolitik tertunda yang tidak dapat dicegah
karena darah adalah serologis kompatibel pada saat transfusi, tetapi beberapa
kasus disebabkan oleh antibodi terhadap antigen minor sel darah merah yang
tidak terdeteksi oleh tes skrining antibodi pretransfusion rutin. Kejadian yang

14
dilaporkan adalah 1:2000 sampai 1:11.000. Reaksi ini terjadi 3-10 hari setelah
transfusi, dan pasien mengalami demam, hiperbilirubinemia, dan hematokrit
menurun. Ketika gejala ini terjadi dalam keadaan klinis yang tepat, darah harus
kembali dicrossmatched sebelum pemberian komponen selanjutnya.
Istilah transfusion-related acute lung injury (TRALI) pada awalnya diciptakan
pada tahun 1983 untuk menggambarkan kelompok tertentu gambaran klinis dan
laboratorium yang diidentifikasi dalam waktu 6 jam dari transfusi produk darah
yang mengandung plasma. Ini adalah komplikasi yang segera dari transfusi dan
ditandai dengan cedera paru akut atau gangguan pernapasan akut sementara
yang berhubungan dengan transfusi.
Patofisiologi TRALI, seperti yang dijelaskan secara klasik, disebabkan oleh
adanya leukoagglutinating atau human leukocyte antigen (HLA) antibodi spesifik
dalam plasma donor. Ketika antibodi ini bereaksi dengan sel-sel darah putih
penerima, komplemen diaktifkan, dan C5a memicu agregasi neutrofil dan
penyerapan di microvasculature paru, yang mengakibatkan kerusakan endotel.
Sejak awal, konsep TRALI telah diperluas untuk mencakup spektrum yang lebih
luas dari mekanisme cedera paru akut setelah transfusi, termasuk reaksi
anafilaksis, reaksi sitokin, reaksi trombosit, sitotoksisitas dimediasi granulosit
transfusi, dan penyerapan produk sampingan lipid paru. Penjelasan ini bergantung
pada satu aktivitas untuk memicu TRALI.
Dalam dua bentuk model TRALI, paru-paru pasien mungkin menderita satu
atau lebih serangan oleh berbagai mekanisme yang diperlukan tetapi tidak cukup
untuk membuat cedera paru. Dalam host utama, transfusi kemudian
menambahkan tantangan kekebalan yang cukup untuk menginduksi cedera paru,
sehingga memungkinkan dokter untuk hanya menyalahkan sebagian produk yang
ditransfusikan untuk dekompensasi paru. Karena berbagai mekanisme patogen
potensial terlibat, kejadian yang sebenarnya dari TRALI tidak diketahui, terutama
karena pelaporan universal kasus fatal tidak diperlukan. Meskipun demikian,
TRALI dianggap sebagai penyebab utama kematian terkait transfusi. Kunci untuk
hasil yang menguntungkan adalah pengenalan dini dan perawatan suportif yang
agresif (sering memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik); pasien yang

15
diresusitasi dengan baik akan membaik dalam 48 jam dan akhirnya bertahan
hidup.

16
BAB III
PELAKSANAAN

Pelaksanaan pemberian darah dan komponen darah di RSUD Saparua ditentukan


oleh DPJP. Setiap permintaan darah harus berdasarkan atas permintaan dokter.
Penentuan perlu tidaknya pemberian darah dan komponen darah didasarkan pada
pertimbangan dan penilaian klinis oleh DPJP. Rencana tindakan pemberian darah atau
komponen darah diberitahukan kepada pasien dan keluarga pasien untuk meminta
persetujuan tindakan tersebut. Informed consent persetujuan atau penolakan tindakan
ditandatangani oleh pasien atau keluarga pasien sesuai keputusan pasien dan keluarga
pasien terhadap rencana tindakan.
Apabila pasien dan keluarga pasien setuju, petugas mempersiapkan pengambilan
darah dan komponen darah untuk keperluan transfusi. Dalam setiap permintaan darah
menggunakan blangko UTD yang mencantumkan identitas pasien, jenis darah, banyak
darah, Hb pasien saat meminta produk darah, serta nama dokter yang mengajukan
permintaan darah. Setelah blangko permintaan siap, unit keperawatan menghubungi
UTD untuk memastikan ketersediaan darah atau produk darah yang diminta. Unit
keperawatan juga menghubungi petugas laboratorium supaya mengambil sampel darah
untuk pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan kelayakan di PMI. Blangko dan
sampel darah diantar ke PMI untuk diproses oleh PMI sesuai dengan standar prosedur
yang berlaku oleh keluarga pasien atau petugas rumah sakit (jika memungkinkan). Jika
permintaan darah jumlahnya banyak, darah untuk pasien kelompok cito lebih
diutamakan.
Dokter bertugas memutuskan pemberian, pengawasan, dan pemeriksaan lebih
lanjut. Sebelum dilakukan transfusi, pasien harus melalui serangkaian pemeriksaan
kelayakan. Pada pelaksanaan transfusi darah hendaknya dilakukan secara aman dan
meminimalkan resiko transfusi.
Sebelum pemberian darah, petugas medis mengecek kembali rekam medis dan
memastikan jumlah kantong darah yang akan diberikan kepada pasien. Petugas medis
mencocokkan dan mengecek kantong darah sesuai nama pasien, nomor rekam medis,
label darah, golongan darah, rhesus, jenis darah, dan pemeriksaan kondisi darah

17
(terjadi gumpalan, homogen atau tidak). Petugas medis kemudian menyiapkan standar
infus, transfusi set, botol NaCl 0,9%, produk darah, sarung tangan, dan termometer.
Petugas medis datang ke kamar pasien, mengucapkan salam, memperkenalkan diri,
memastikan kesesuaian identitas pasien, dan memberitahukan tindakan yang akan
dilakukan. Petugas medis melakukan cuci tangan dan memakai APD. Petugas medis
mengukur suhu tubuh pasien sebelum transfusi. Jika suhu tubuh pasien tidak normal,
petugas kemudian mengkonsultasikan terlebih dahulu ke dokter. Jika suhu tubuh
normal, petugas medis meyipakan cairan NaCl 0,9% untuk digunkan sebelum dan
sesudah transfusi. Petugas medis melakukan tindakan pre transfusi (injeksi
dexamethasone dan furosemide) sesuai instruksi dokter. Petugas medis menggunakan
selang transfusi set untuk pemberian produk darah. Petugas medis memantau tanda
vital setiap 5 menit selama 15 menit pertama dan setiap 15 menit setelahnya selama
darah masuk. Petugas medis membersihkan selang dengan NaCl 0,9% setelah darah
diberikan dan membereskan peralatan. Setelah selesai semua tindakan, petugas medis
mencuci tangan; mencatat tipe, jumlah dan komponen darah yang diberikan; serta
mendokumentasikan tindakan di rekam medis pasien.

18
BAB III

DOKUMEN

19

Anda mungkin juga menyukai