Oleh
CAHYA HENDRAWAN
C113208103
Pembimbing
Dr. Wahyudi sp.An, KAP
Uji cocok silang mayor terjadi bila eritrosit donor diinkubasi dengan plasma
penerima. inkubasi dari plasma donor dengan eritrosit penerima merupakan uji
silang minor. Aglutinasi akan terjadi apabila baik uji silang mayor maupun minor
terdapat suatu reaksi inkompatibel.3 Pada tahun 1900 Karl Landsteinner menemukan
bahwa penyebab terjadinya aglutinasi setelah transfusi adalah karena adanya reaksi
antigen. 4
Pada tahun 1942 Adam dan Lundy yang bekerja pada klinik Mayo
menemukan suatu formula yang dikenal dengan peraturan 10/30, dimana pada
1
formula ini disebutkan bahwa pasien seharusnya ditransfusi preoperatif untuk
menjaga agar Hb minimal 10 gr% atau hematokrit 30%. 4
PENYIMPANAN DARAH
Darah dapat disimpan pada berbagai macam solusi yang mengandung phosfat,
dekstrosa, dan adenin pada temperature 1⁰C sampai 6⁰C dan masa penyimpanan
darah biasanya sekitar 21 sampai 35 hari, tergantung dari media penyimpanan.
Adenin berguna untuk meningkatkan ketahanan sel eritrosit. Perubahan yang terjadi
pada produk darah selama penyimpanan merefleksikan masa penyimpanan dan tipe
agen penyimpanan yang digunakan, saat ini penggunaan darah yang lebih segar (
kurang dari 5 hari ) penyimpanan telah direkomendasikan pada pasien pasien sakit
kritis guna meningkatkan deliveri oksigen. 3
Efek penyimpanan yang lama dari darah, juga akan menyebabkan akan menurunnya
kadar 2,3DPG. dan konsentrasi dari 2,3DPG pada darah yang disimpan akan normal
sampai 10 hari masa penyimpanan,dan akan mengalami penurunan sampai 90% bila
darah disimpan lebih dari 3 minggu. Dimana kadar 2,3DPG ini akan sangat
menentukan afinitas hemoglobin terhadap O2, penurunan kadar 2,3DPG akan
menurunkan pelepasan O2 oleh hemoglobin. 6
Penyimpanan darah yang lama berhubungan juga dengan terjadinya asidosis dan
peningkatan dari kadar kalium plasma. Bagaimanapun karena volume plasma dalam
PRC kecil (<100ml) maka abnormalitas ini akan mempunyai pengaruh yang kecil.6
2
Selain itu ditemukan juga adanya fakta bahwa apabila darah disimpan dalam jangka
waktu yang lama akan menyebabkan menurunnya deformibilitas membran dari sel
darah merah yang akan menganggu pasase mereka melalui celah kapiler yang sempit
yang akan menyebabkan terjadinya iskemik dari organ dan jaringan,selain itu suatu
penelitian retrospektif pada pasien dengan sepsis berat , menemukan kaitan antara
umur dari transfusi PRC dengan angka kematian. 7
Keputusan kapan kita akan melakukan transfusi harus melalui pertimbangan yang
matang mengingat resiko dari transfusi itu sendiri, pada dasarnya pertimbangan
untuk melakukan transfusi meliputi kombinasi antara (1) monitor atau pemantauan
kehilangan darah, (2) monitor yang ketat akan perfusi dan oksigenasi dari organ vital,
dan (3) monitor dari indikasi transfusi terutama konsentrasi haemoglobin. 3
Perkiraan kehilangan darah secara visual merupakan cara yang sederhana untuk
menentukan banyaknya darah yang hilang selama operasi berlangsung. 3 perkiraan
kehilangan darah ini dilakukan dengan mengukur jumlah darah pada tabung
penghisap darah, dan melalui kasa yang digunakan selama operasi, namun cara ini
memang tidak dapat memastikan secara akurat akan kehilangan darah hal ini
disebabkan karena bisa saja kehilangan darah terjadi secara tersembunyi, darah bisa
tersembunyi didalam rongga tubuh dibelakang kasa bedah, sebagai contoh pada
kasus hematom yang besar pada patah tulang paha, pada kasus ini memungkinkan
terjadinya kehilangan darah yang besar yang tidak tampak secara nyata. 5
Standar monitoring, termasuk tekanan darah arteri, laju nadi, jumlah urin,
elektrokardiogram, dan saturasi oksigen biasa digunakan. Analisa gas darah, saturasi
oksigen mixed venous dan echocardiografi mungkin berguna pada pasien pasien
tertentu. Takikardi merupakan indikator yang tdk sensitif dan nonspesifik adanya
suatu hipovolemia, terutama pada pasien yang menerima volatile anestesi. Menjaga
tekanan darah sistemik yang adekuat dan tekanan vena central yang adekuat
merupakan salah satu cara yang dianjurkan untuk menjaga volume intravaskuler yang
3
adekuat, jumlah urin biasanya menurun selama terjadinya hipovolemia yang sedang
sampai berat yang akan menghasilkan hipoferfusi jaringan. Ph arteri bisa menurun
hanya bila hipoperfusi jaringan menjadi berat. 3
Karena ekstraksi O2 sitemik bisa dimonitor secara kontinyu, dan merupakan indikator
yang lebih superior untuk mengetahui apakah anemia itu mengancam oksigenasi
jaringan dibandingkan dengan hanya menggunakan kadar hemoglobin. 6
4
Monitoring indikator transfusi (Terutama Hemoglobin)
5
Hb 10 gr/dl sesuai dengan pasien yang mempunyai resiko seperti penyakit paru
menahun dan sidroma arteri koroner .3
KOMPONEN DARAH
Setiap satu unit sel darah merah dipersiapkan dengan jalan mensetrifugasi
whole blood dan memisahkan nya dari plasmanya. PRC yang disimpan pada suhu 1-
6⁰C bisa bertahan sampai 35 hari. Sel darah merah ( 250-300 ml dengan hematokrit
70%-80%) biasa digunakan untuk mengatasi anemia yang berhubungan dengan
kehilangan darah akibat pembedahan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan
daya angkut oksigen dari darah. Walaupun transfusi sel darah merah mampu
meningkatkan volume intravaskuler, produk non darah seperti kristaloid maupun
koloid juga mampu melakukan hal yang sama. Satu unit transfusi sel darah merah
mampu meningkatkan kadar hemoglobin dewasa sekitar 1 gr/dl.3,6
6
Sebagai respon adanya perdarahan, kadar hematokrit yang rendah itu sendiri
akan mempunyai andil dalam menyebabkan terjadinya koagulopati karena eritrosit
menginduksi adanya marginalisasi dari platelet, dengan jumlah platelet menjadi
hampir tujuh kali lipat dari perkiraan jumlah darah. Sebagai tambahan eritrosit
berfungsi untuk memodulasi baik secara biokemikal maupun fungsional dari respon
aktivasi platelet. Mereka mendukung regenerasi trombin melalui eksposure membran
prokoagulant dari posfolipid. 8
7
Ada beberapa jenis obat yang diindikasikan mampu menyebabkan terjadinya
trombositopenia, antara lain: antibiotik, (linezolid, rifampisin, sulfonamides,
vancomicin), Acetaminofen, Phenytoin, dan quinidine. 6
9
Komplikasi dari transfusi platelet; 6 :
1. Transmisi bakteri
Bakteri sangat suka tumbuh pada platelet konsentrat dibanding konsentrat sel
darah merah, hal ini disebabkan karena platelet disimpan pada suhu kamar
(22⁰C), dibandingkan konsentrat sel darah merah yang disimpan pada suhu 1-6⁰C.
2. Demam
Demam karena reaksi nonhemolisis telah dilaporkan sebanyak 30% pada transfusi
platelet, penurunan leukosit pada platelet konsentrat dapat membantu
pemecahan masalah ini, namun penurunan jumlah leukosit juga dapat
menurunkan jumlah dari platelet tersebut.
3. Reaksi alergi
Reaksi hipersensitivitas (urtikaria, anafilaksis, dan syok anafilaksis)juga sering
ditemukan pada transfusi platelet dibandingkan dengan transfusi sel darah merah.
Reaksi ini disebabkan karena sensitisasi protein donor plasma, dan pemindahan
plasma dari platelet konsentrat akan mampu menurunkan insiden dari komplikasi
ini.
Fresh frozen plasma (FFP) merupakan bagian dari whole blood yang diambil
dari whole blood kemudian dibekukan selama 6 jam. Semua faktor pembekuan
kecuali trombosit terdapat dalam FFP, yang menjelaskan kegunaan dari FFP ini
sebagai pengobatan untuk kasus perdarahan yang disebabkan oleh adanya defisiensi
faktor pembekuan darah. Transfusi FFP selama proses pembedahan mungkin tidak
diperlukan kecuali waktu protrombin (PT) atau waktu parsial tromboplastin (APTT)
atau keduanya memanjang paling sedikit 1,5 kali dari normal. Indikasi lain untuk
transfusi FFP adalah untuk refersal emergency dari warfarin dan manajemen dari
resistensi heparin. Dosis yang biasa digunakan untuk melakukan transfusi FFP adalah
10-15 ml/kgbb, sedangkan untuk reversal dari warfarin digunakan dosis 5-8 ml/kgbb.
Penambahan vit K mempunyai efek yang sama namun akan memerlukan waktu 6-12
jam untuk menjadi efektif. Sedangkan untuk volume ekspansi bukan merupakan
indikasi dari FFP. 3,5
10
Cryopresipitat
Granulosit
Komplikasi Segera
Komplikasi segera dari transfusi darah adalah komplikasi yang terjadi selama
24 jam setelah dilakukan transfusi darah, ada beberapa komplikasi yang bisa terjadi
segera setelah transfusi antara lain:
Reaksi hemolitik akut merupakan reaksi yang paling sering menyebabkan reaksi fatal
transfusi yang dilaporkan oleh FDA. Reaksi ini terjadi baik akibat kegagalan
mendeteksi adanya inkompatibilitas darah ataupun akibat salah transfusi ke
penerima yang salah. Resiko kematian akibat dari reaksi hemolitik akut ini
diperkirakan sekitar 1:587.000-1:630.000 berdasarkan data dari FDA. Tanda tanda
dari reaksi ini pada pasien yang sadar antara lain: mengigil, demam, muntah, nyeri
dada. sedangkan pada pasien yang teranestesi, reaksi hemolitik akut bermanifestasi
sebagai peningkatan suhu tubuh, takikardi yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya,
11
hipotensi, hemoglobinuria. DIC, shock, dan gagal ginjal dapat berkembang dengan
cepat. Beratnya reaksi ini sering bergantung dari seberapa banyak darah yang
inkopamtibel yang diberikan dan reaksi berat dapat timbul setelah pemberian sekitar
10-15 ml dari darah yang inkompatibel. 2,11
Penanganan dari reaksi hemolitik akut dapat dilakukan dengan ( cara ) antara lain:
segera menghentikan transfusi, mengecek ulang paket darah yang telah dan belum
diberikan, pasang urin kateter untuk melihat adanya hemoglobinuria, lakukan
osmotik diuresis dengan manitol atau cairan intravena. Apabila ada kehilangan darah
yang cepat, maka transfusi platelet dan FFP segera dilakukan, pertahankan jumlah
urin dengan cairan intravena, penggunaan natrium bikarbonat untuk alkalinasi urin
dan untuk meningkatkan solubilitas dari degradasi hemoglobin di tubulus renal
belum dapat dibuktikan keefektifannya, dan apabila terjadi penurunan tekanan darah
maka pemberian cairan intravena dan diikuti oleh vasopressor bisa dilakukan. 3,6,11
Gejala gejala yang biasanya muncul pada kasus reaksi alergi (ringan sampai
sedang) antara lain : wheezing, bengkak, erytema yang bersifat generalisata,
hipotensi. Sedangkan pada kasus reaksi anafilaktik gejalanya antara lain : hipotensi,
bronkospasme, edema laryng dan paru, dan erytema yang bersifat generalisata. 2
12
berulang, maka pemberian antihistamin profilaksis dianjurkan. dan steroid, pada
reaksi anfilaktif pemberian efinefrin, cairan, kortikosteroid, dan H1 dan H2 bloker
dapat dilakukan. Pasien dengan defisit IgA seharusnya menerima washed Packed Red
cells, dan IgA free whole blood. 2,3,11
Overload sirkulasi
Gejala awal dari overload sirkulasi ini tidak spesifik, antara lain : peningkatan
tekanan darah, nyeri kepala, berkembangnya batuk, dan adanya sensasi tekanan
pada dada. Perkembangan dari salah satu tanda dan gejala ini pada pasien yang
menerima transfusi harusnya diwaspadai dan merupakan indikasi untuk
memperlambat transfusi dan monitoring pasien dengan lebih ketat. Apabila terjadi
dekompensasi jantung, dyspneu, orthopneu, takikardi, sianosis, maka udema paru
mulai dapat ditegakkan . 2
Definisi dari reaksi febris non hemolitik adalah peningkatan temperature lebih
dari 1⁰C yang mengikuti suatu prosedur transfusi yang tidak bisa dijelaskan dengan
kondisi klinis pasien. Peningkatan dari temperatur tubuh ini biasanya diikuti dengan
mmengigil dan kekakuan, dan kadang-kadang dapat terjadi juga nyeri kepala, mual
13
dan muntah. Demam biasanya muncul 1 sampai 6 jam setelah dimulainya transfusi.
Pada sebagian besar pasien demam dapat terjadi selama transfusi darah
berlangsung. Biasanya peningkatan suhu kurang atau sama dengan 2⁰C. Bila kenaikan
temperatur lebih dari 2⁰C, maka adanya kontaminasi bakteri pada produk darah dan
berkembangnya infeksi interrecurent dapat dipertimbangkan. Beberapa pasien dapat
mengiggil, terasa kaku, dan merasa kedinginan namun tidak demam. Diagnosis dari
reaksi febris non hemolitik ini dapat ditegakkan hanya dengan menyingkirkan type
lain dari reaksi transfusi yang diikuti oleh demam. Pada populasi pasien di rumah
sakit, sekitar 0,5-1% dari transfusi sel darah merah berhubungan dengan reaksi febris
non hemolitik. Pada pasien yang sering ditransfusi, frekuensi dari kejadian ini akan
lebih sering. 2,6
Adanya antibodi resipien yang secara langsung melawan antigen dari leukosit
donor pada umumnya dapat dipertimbangkan sebagai penyebab dari reaksi febris
non hemolitik ini. Pada mulanya pirogen endogen (interleukin -1, interleukin-6, dan
tumor necrosis faktor) dari donor dipercaya sebagai penyebab dari febris ini. Namun
pada akhir-akhir ini telah dibuktikan bahwa aktivasi komplement yang mengikuti
interaksi dari antibodi resipien dengan leukosit donor menyebabkan aktivasi dari
monosit resipien. Aktivasi dari monosit ini akan menyebabkan terlepasnya cytokin
proinflamatory yang menyebabkan reaksi ini. Pada akhirnya sejak penggunaan filter
leukoreduction secara luas untuk mengeliminasi reaksi ini, tampak bahwa cytokin
yang diproduksi oleh leukosit donor sebelum terjadinya leukoreduction juga dapat
menyebabkan terjadinya reaksi febris non hemolitik. 2
Pada populasi umum, hanya 15% pasien yang mempunyai reaksi febris
terhadap produk sel darah merah mempunyai reaksi febris recurent terhadap
transfusi berikutnya. Walaupun demikian beberapa pusat pelayanan transfusi darah
tidak menyarankan premedikasi atau leukoreduction terhadap pasien sampai reaksi
demam kedua terjadi. Reaksi febris pada umumnya terjadi mengikuti transfusi
platelet dibandingkan transfusi sel darah merah dan lebih banyak atau biasa pada
produk yang tua dibandingkan produk darah segar. Jika reaksi yang terjadi bersifat
ringan, reaksi ini bisa dicegah dengan memberikan premedikasi dengan antipiretik.
Jika reaksi bersifat berat atau jika premedikasi tidak dapat mencegah terjadinya
reaksi, produk leukoreduction merupakan suatu indikasi yang disarankan. Pada
14
beberapa kasus multitransfusi, perlu disediakan produk leukoreduction yang
disimpan sebelumnya. 2
Pada umumnya tanda dan gejala akibat adanya kontaminasi bakteri pada
produk darah adalah mengigil, demam, takikardi, syock atau hipotensi, nafas yang
pendek, nyeri punggung, dan mual dan atau muntah. Pada mulanya pasien akan
mengalami peningkatan tekanan darah, walaupun gejala gejala ini sering
berkembang segera atau antara jam pertama setelah transfusi dimulai, beberapa
pasien mungkin tidak akan mengalami tanda dan gejala-gejala untuk beberapa jam. 2
Insiden dari infeksi akibat transfusi darah akhir-akhir ini menurun secara
nyata. Sebagai contoh, pada tahun 1980, insiden terjadinya hepatitis akibat transfusi
darah cukup tinggi yaitu sekitar 10%. Perkembangan adanya uji tes darah donor
secara dramatis dapat menurunkan resiko terjadinya transmisi hepatitis C dan HIV
sampai kurang dari 1 dalam 1 juta transfusi. Walaupun banyak faktor dapat
dipertimbangkan sebagai penyebab dari menurunnya angka transmisi penyakit akibat
transfusi darah, namun satu hal yang paling penting adalah dengan adanya dan
berkembangnya tes darah donor. Akhir akhir ini hepatitis C, HIV, dan West Nile Virus
(WNV) telah ditest melalui metode nucleic acid. Pada tahun 2002, lebih dari 30 kasus
dari transmisi WNV akibat transfusi terjadi. Tahun 2003 dimana telah berkembangnya
screening donor darah melalui teknologi nucleic acid juga telah menurunkan
terjadinya resiko transmisi HIV melalui transfusi darah. 3
15
Selain yang tersebut diatas ada juga beberapa penyebaran agen infeksi
melalui transfusi darah termasuk hepatitis B, human T cell lymphotropic virus,
cytomegalivirus, malaria, chagas desease, dan kemungkinan juga varian dari
Creuttzfeldt-Jacob desease. 3
16
mikrosirkulasi paru dan bermigrasi menuju parenkim paru yang akan menginduksi
terjadinya jejas inflamasi. 6
Transfusi darah dapat menekan imunitas yang dimediasi oleh sel. Dimana
apabila dikombinasi dengan hal yang menyebabkan efek yang sama yang dihasilkan
oleh trauma bedah akan menghasilkan infeksi pasca operasi. Hubungan antara
transfusi darah dengan pembedahan kanker masih belum jelas, namun ada sugesti
yang menyatakan hubungan antara terjadinya rekurensi tumor dengan transfusi
darah. Paket sel darah merah yang mengandung lebih sedikit plasma dibandingkan
dengan darah utuh, mungkin akan menghasilkan imunosupressan yang lebih sedikit,
hal ini yang mendukung kenyataan bahwa plasma mengandung faktor
imunnosupressan yang belum jelas. 3
Memisahkan sebagian besar sel darah putih dari darah dan platelet
(Leukoreduksi) merupakan prosedur yang banyak digunakan. Praktik penggunaan
17
untuk menurunkan insiden terjadinya febris non hemolitik dan transmisi virus yang
berhubungan dengan leukosit. Kemungkinan lain yang menguntungkan melalui
prosedur ini adalah untuk menurunkan angka rekurensi kanker dan infeksi post
operasi masih bersifat spekulatif. 3
Abnormalitas Metabolik
Penyimpanan darah juga berkaitan dengan menurunnya kadar 2,3 DPG dalam
eritrosit yang mengakibatkan meningkatnya afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
Hal ini akan menyebabkan sedikit tersedianya oksigen terhadap jaringan. Spekulasi
inilah yang menyarankan penggunaan darah segar ( lebih banyak oksigen yang
tersedia buat jaringan ) sebaiknya digunakan pada pasien kritis. 3
18
secara nyata) bukan merupakan indikasi. Suplementasi kalsium mungkin diperlukan
bila :(1) kecepatan transfusi melebihi 50cc/menit, (2) Hipotermi atau adanya
gangguan fungsi hati, atau (3) pasien neonatus. 3
Transfusi darah pada suhu dibawah 6⁰C bisa menyebabkan turunnya temperatur
tubuh pasien, yang kemungkinan akan berkembang menjadi iritabilitas jantung,
Bahkan penurunan suhu tubuh hanya sekitar 0,5-1⁰C bisa menginduksi mengigil
pasca transfusi, yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen sampai 400% yang akan
menyebabkan meningkatnya cardiac output. Oleh karena itu penggunaan
penghangat darah sangat diperlukan, namun malfungsi dari penghangat darah yang
tidak diketahui akan dapat menyebabkan terjadinya overheat yang akan
menyebabkan terjadinya hemolisis darah yang ditransfusi. 3
TRANSFUSI MASIF
Transfusi masiv bisa terjadi pada kasus kasus trauma, pembedahan, dan obstetrik.
Hal ini merupakan suatu tantangan terapi yang besar baik bagi klinisi dan personel
unit transfusi darah. Sampai saat ini belum ada definisi yang bersifat umum
mengenai transfusi masiv. Definisi yang paling umum yang sering digunakan adalah
transfusi lebih dari 3000 ml, atau lebih dari 10 unit sel darah merah, selama 24 jam.
Definisi yang lain adalah : 13
Transfusi lebih dari 50% volume darah dalam jangka waktu 3 jam
Kehilangan darah 150 ml/menit
Kehilangan darah 1,5 ml per kg bb per menit selama 20 menit, dan
Bila kehilangan darah berlangsung cepat dan berat dan support dari produk
darah dan pergantian volume dengan cairan melebihi kemampuan
kompensasi dari tubuh
Transfusi darah masiv bisa merupakan suatu situasi yang diantisipasi sebelumnya
maupun situasi yang tidak diantisipasi sebelumnya.Pada dasarnya penanganan dari
kedua situasi ini adalah sama yaitu: (1)Deteksi dini dari adanya perdarahan masiv, (2)
Melakukan resusitasi segera untuk mencegah terjadinya shock dan hipoksia jaringan,
dan (3) Transfusi darah. 13
19
Jenis Operasi elektif Mekanisme terjadinya transfusi masiv
Komplek dan re-do surgery Kerusakan jaringan akibat pembedahan
Neurosurgery Pelepasan Tromboplastin
Pembedahan kanker Cytokin prokoagulopatic
DIC
Pembedahan Bypass Terapi antikoagulan (Heparin)
Cardiopulmoner Disfungsi platelet (terapi antiplatelet
sebelumnya dan aktivasi platelet dari
bypass)
Konsumsi platelet
Hypotermia
Hemodilusi
Transplantasi Hati Iskemik hepatik
Koagulopati yang terjadi sebelumnya
Hemodilusi
Aktivasi fibrinogenolisis dan fibrinolisis
Hypotermia
Repair Aneurisma Aorta Aorta cross clamps
Iskemik hepatik/anoksia
Syndrome reperfusi
Sepsis DIC
Diskusi tentang transfusi masiv tidak lengkap tanpa mengikutsertakan fisiologi dan
manajemen dari perdarahan. Shock akibat perdarahan dikarakteristikkan oleh beberapa
perubahan fisiologi antara lain :13
Dimana perubahan fisiologi ini berbanding lurus dengan jumlah darah yang
hilang.Resusitasi segera yang bisa dilakukan pada perdarahan masiv adalah : 13
Mengganti volume darah : Resusitasi dengan cairan kristaloid atau koloid dapat
bersifat esensial dalam menjaga volume intravaskuler. 70% kehilangan sel darah
merah disertai dengan menurunnya kadar Hb bisa ditoleransi oleh tubuh apabila
20
volume intravaskuler cukup. Kemampuan tubuh untuk mengkompensasi
kehilangan darah terbatas hanya 30%, dimana setelah itu akan terjadi syok
hipovolemik. Volume yang besar dari kristaloid akan bisa mempengaruhi
hemostasis (Hemodilusi)
Menjaga oksigenasi jaringan : Oksigenasi jaringan memerlukan hemoglobin
sirkulasi yang adekuat, kemampuan untuk meningkatkan kardiac output dan
penghantaran oksigen. Secara umum anemia bisa ditoleransi selama status pasien
masih normovolemia. Dan kompensasi tubuh adalah dengan jalan meningkatkan
cardiac output. 30% kehilangan volume darah merupakan level kritis dmana sel
darah merah harus ditambahkan.
Mendapatkan status hemostasis : Prioritas tertinggi harus diberikan untuk
mengontrol perdarahan. Perdarahan akibat pembedahan harus dikontrol dan
koagulopati harus dikoreksi. Keadaan normovolemia dibutuhkan untuk
mendapatkan suatu keadaan hemostasis. Langkah ini dipercaya akan mampu
meminimalisir kebutuhan akan transfusi masiv
21
Transfusi masiv dan trauma berhubungan dengan berkembangnya koagulopaty yang
akan menyebabkan secara sekunder terjadinya kerusakan jaringan, hipoperfusi, dilusi
dan konsumsi faktor pembekuan dan platelet. Koagulopaty yang disertai dengan
hipotermi dan asidosis mempunyai prognosis yang buruk. Pada pasien dengan
transfusi masiv pedoman yang dikeluarkan oleh ASA menyatakan bahwa pemberian
awal dari cairan koloid dan kristaloid serta penambahan dari transfusi sel darah
merah. Berdasarkan pedoman ini, Fresh Frozen Plasma hanya diberikan apabila
seluruh volume darah atau lebih telah diberikan. Sedangkan untuk pemberian
transfusi platelet hanya diberikan bila terdapat perdarahan mikrovaskuler akibat
koagulopaty dan bila trombositopenia diperkirakan terjadi. 14
Pemberian FFP seharusnya dipertimbangkan bila PT lebih besar dari 1,5 kali dari nilai
normal atau INR lebih dari 2,0 dan jika pemeriksaan laboratorium tidak tersedia,
lebih dari satu kali jumlah volume darah (70cc/kgbb) telah diberikan, dan terdapat
perdarahan mikrovaskuler yang nyata. Dosis dari FFP (10-15cc/kgbb) seharusnya
memberikan sedikitnya 30% dari sebagian besar konsentrasi plasma. 3
Ada beberapa tipe dari transfusi darah autologous yaitu : (1) preoperatife
autologous donor, (2) Penyimpanan darah intraoperatife dan postoperatife, dan (3)
Hemodilusi normovolemik. Dua alasan utama untuk melakukan transfusi autologous
adalah untuk menurunkan atau menyingkirkan komplikasi dari transfusi darah
alogenik dan untuk menjaga ketersediaan sumber darah. Akan tetapi preoperatife
autologous donor (PAD) lebih mahal dan tidak terlalu efektif dalam menurunkan
resiko transfusi darah alogenik. 3
22
Tabel 5: Donasi Darah Autologous Preoperative
23
Penggumpulan darah intraoperatif telah digunakan secara luas pada berbagai macam
jenis pembedahan. Prosedur ini diindikasikan pada kasus dimana kehilangan darah
diperkirakan melebihi 1000 ml. Prosedur ini juga bisa diterima oleh kelompok orang
yang menganut kepercaayaan tidak bisa menerima darah dari donor lain. Kasus yang
ideal untuk prosedur ini adalah pada prosedur dengan area yang terbatas, karena bila
terdapat pada area yang luas maka akan terdapat kesulitan dalam
mengumpulkannya. 3
Tabel 6: perbedaan karakteristik darah dari Prosedur darah autologus dan darah dari bank
darah
Pada kasus trauma abdomen, darah biasa terkontaminasi dengan isi usus, karena
juga adanya kemungkinan bakteri yang masih bisa bertahan selama proses
pengumpulan darah intraoperasi. Oleh karena efek yang berbahaya dari prosedur ini
maka para ahli berpendapat bahwa prosedur ini bisa dilakukan pada keadaan untuk
menyelamatkan nyawa dan tidak ada darah lain yang tersedia. 2
Normovolemik hemodilusi terdiri dari mengambil bagian dari darah pasien pada awal
dari prosedur operasi dan untuk kemudian dilanjutkan dengan memasukkan infus
dari cairan kristaloid maupun koloid untuk menjaga volume intravaskuler. Titik akhir
dari prosedur ini adalah agar hematokrit tetap terjaga antara 27% sampai 33%,
tergantungg dari status paru dan kardiovaskuler pasien. Awal dari prosedur ini ,
sedikit sel darah merah pasien akan hilang per milimeter darah yang hilang selama
operasi. Dan pada saat akhir dari operasi darah pasien yang sudah diambil terlebih
dahulu yang mengandung hematokrit yang tinggi dan kaya akan faktor pembekuan
akan ditransfusikan kembali. 3
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa DO2 merupakan produk dari CO dan
CaO2. Pada saat proses isovolemik terjadi dan sel darah merah dipindahkan dari
sirkulasi, CaO2 dari darah akan menurun, yang kemungkinan juga diharapkan akan
menyebabkan penurunan darai DO2. Tetapi sebenarnya, sampai Hct turun sampai
30%, DO2 pada dasarnya meningkat diatas garis dasar. Hal ini dikarenakan hemodilusi
dapat merubah properti rheologic dari darah. Viskositas darah akan menurun karena
hemodilusi, yang juga akan menurunkan SVR. Peningkatan dari venous return akan
menghasilkan peningkatan dari stroke volume. CO meningkat secara proporsional
melebihi penurunan CaO2, dan DO2 pun akan meningkat. 2
Akan tetapi peningkatan dari CO diikuti tanpa peningkatan dari denyut jantung, jika
volume intravaskuler tetap dijaga dalam batas normal. Hemodilusi sampai kadar
hematokrit 30% menyebabkan peningkatan 30-50% dari CO. DO2 tidak akan jatuh
kedalam nilai kontrol sampai hct kira kira sekitar 20%. Sebagai tambahan selama
25
isovolemik hemodilusi, oksigenasi dari jaringan lokal tetap terjaga dan bahkan
meningkat dengan adanya peningkatan distribusi aliran darah kapiler. 2
Kehilangan sel darah merah menurun pada setiap milimeter perdarahan operasi
Dapat membantu menyediakan darah segar bila dibutuhkan
Perfusi jaringan tetap terjaga
Prosedur ini dilakukan dengan cara memindahkan darah pasien sesaat setelah
induksi anestesi melalui suatu akses intravena yang besar dan disimpan dalam
kantong darah standar yang mengandung antikoagulan. Secara simultan cairan
kristaloid dalam rasio 3:1 atau koloid dengan rasio 1:1 diinfuskan melalui akses
intravena yang lain. Jumlah darah yang dipindahkan bisa dikalkulasikan dengan
menggunakan formula yang digunakan untuk menghitung allowable blood loss,
formula yang biasa digunakan adalah; 2
Pada dasarnya Hct pertengahan (25-27%) digunakan ; hal ini akan dapat
memberikan toleransi untuk substansi hemodilusi pada batas yang aman bilamana
darah mulai hilang selama pembedahan. Sebagai contoh , Hcta:40%,
EBV:70mlx70kg=4900ml, dan Hct b:27% maka perhitunganya adalah:
(40-27x4900)/(40+27/2)=1900
Sehingga dengan perhitungan ini 3-4 unit dari darah pasien bisa dipindahkan
untuk ditransfusikan kemudian bila diperlukan. Unit darah yang telah dipindahkan
kemudian dilabel dan diberikan nomor secara berurutan sesuai dengan urutan
pengambilan darah. Unit darah yang pertama yang diambil yang sedikit didilusi dan
paling banyak mengandung sel darah merah, plasma faktor dan platelet, seharusnya
ditransfusi kembali paling akhir. 2
Anemia merupakan temuan yang umum yang dapat ditemui pada pasien yang
membutuhkan perawatan ICU untuk waktu yang lama. Kenyataan bahwa anemia
merupakan sesuatu yang sering ditemui di ICU sehingga muncullah istilah anemia
pada pasien kritis. Anemia merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan
menurunnya pengangkutan oksigen oleh darah. Dimana daya pengangkutan oksigen
oleh darah paling baik ditentukan oleh kadar sel darah merah dalam darah. Karena
kadar dari sel darah merah sulit diukur secara klinis maka anemia dalam penggunaan
klinis sering dihubungkan dengan kadar Hb dalam darah. Badan Kesehatan dunia
(WHO) mendefinisikan anemia sebagai suatu keadaan dimana kadar hemoglobin
darah dibawah nilai normal. 6,15
Secara umum kadar konsentrasi Hb merupakan indikator yang bagus untuk mewakili
massa dari sel darah merah, namun perubahan dari volume plasma dapat
merancukan masalah ini. Sebagai contoh peningkatan dari volume plasma akan dapat
menurunkan kadar Hb, yang bisa diinterpretasikan sebagai tanda perburukan
anemia, walaupun kadar dari sel darah merah tidak berubah. Anemia pada
kehamilan merupakan contoh yang paling lazim ; selama kehamilan jumlah dari sel
darah merah meningkat hampir 50% tapi konsentrasi Hb biasanya turun karena
volume plasma meningkat sampai 50%. Pada pasien pembedahan dan pasien kritis
fluktuasi dari volume plasma sering terjadi karena adanya resusitasi cairan dan
meningkatnya kebocoran kapiler. 15
27
Prevalensi Anemia Pada Pasien Kritis
Perkiraan prevalensi anemia pada pasien kritis bervariasi. Hal ini karena adanya
perbedaan yang nyata antara berbagai macam kasus dan beratnya penyakit yang
terdapat dalam ICU dalam suatu negara ataupun antar negara. 15
Anemia kadang kadang berkembang pada fase awal dari perjalanan penyakit pasien
kritis. Banyak pasien sudah dalam keadaan anemia pada saat masuk ke ICU. Pada
epidemiologi terbaru sebanyak 146 orang eropa yang dirawat di ICU, sebanyak 63%
pasien yang menderita sakit kritis mempunyai Hb kurang dari 12gr/dl. Studi terbaru
pada proses transfusi di UK Teaching Hospital menemukan bahwa kadar Hb kurang
dari 9 gr/dl terjadi pada 55% pasien yang tinggal di ICU lebih dari 24 jam, pada hari
pertama dan kedua di ICU terdapat 52% dan 77%. Dan bahkan pada pasien pasien
yang dirawat di ICU tanpa adanya perdarahan yang nyata terdapat variasi penurunan
kadar Hb sebesar 0,52g/dl/hari. Penurunan ini lebih besar pada hari pertama sampai
hari ketiga dan terutama pada pasien sepsis. 7,15
Kehilangan darah
Phlebotomi merupakan faktor mayor yang lain yang menyebabkan terjadinya anemia
pada pasien kritis. Volume darah yang diambil untuk pemeriksaan laboratorium
berkisar antara 40-70 ml setiap hari untuk pasien ICU. Pada keadaan kehilangan
darah sekitar 70 ml perhari akan menyebabkan kehilangan darah sebanyak 500 ml
setiap minggu, ada beberapa cara yang bisa dipakai untuk mengurangi kehilangan
darah akibat phlebotomi antara lain : 6,15
Pada saat sampel darah diambil dari kateter vena sentral, 5 ml darah awal diambil
untuk menghindari kontaminasi darah dengan cairan intravena. Kemudian
mengembalikan 5 ml darah yang diambil diawal ini ke dalam sirkulasi pasien dapat
menurunkan angka kehilangan darah akibat phlebotomi sebanyak kurang lebih 50%
Alat laboratorium yang digunakan untuk analisis darah pada pasien anak
membutuhkan contoh darah yang lebih sedikit dibandingkan pada orang dewasa.
Penggunaan alat tes laboratorium anak anak pada pasien dewasa di ICU dapat
menurunkan angka kehilangan darah akibat phlebotomi sekitar 47%
29
kehilangan darah yang tersembunyi, merupakan hal yang tidak umum terjadi pada
pasien kritis yang dirawat di ICU terutama bagi pasien yang menerima obat obat
ulkus profilaksis. Sebagai contoh berdasarkan hasil study endoskopi yang dilakukan
di ICU menemukan bahwa frekuensi dari gastritis erosif akut mencapai 21,7%. Dan
setelah 3 hari perawatan di ICU frekuensinya meningkat menjadi 37,5% pada pasien
yang menerima profilaksis dan 88,9 pada pasien tanpa profilaksis. 7,15,16
Adanya aktivasi komplemen, seperti yang biasanya terjadi pada pasien kritis dengan
sistemik inflamatory response syndrome (SIRS) atau sepsis, bisa mempotensiasi
terjadinya destruksi sel darah merah yang prematur, walaupun tidak terdapat bukti
terjadinya hemolisis intravaskuler. Beberapa penelitian melaporkan terjadinya
penurunan deformabilitas sel darah merah pada pasien yang menderita sepsis, dan
pada penelitian yang terpisah menyatakan bahwa menurunnya deformabilitas dari
sel darah merah berhubungan dengan menurunnya viabilitas dari sel darah merah. 15
Terganggunya Eritropoiesis
Berdasarkan audit dari praktik transfusi menemukan terdapat banyak kasus bahwa
pemberian transfusi pada kadar hb yang rendah tidak disertai adanya perdarahan
akut. Kehilangan darah yang tersembunyi selalu dihubungkan karena pada pasien –
pasien yang kritis produksi sel darah merah mereka tidak normal. Beberapa
penelitian menemukan ketidakcocokan antara kadar retikulosit yang rendah pada
pasien-pasien dengan sakit kritis. Respon dari penekanan sumsum tulang belakang
ini muncul berhubungan dengan adanya status inflamasi yang bersifat persisten.
Beberapa mekanisme mungkin terlibat , beberapa diantaranya berimplikasi pada
anemia pada penyakit kronis. Pertama dengan adanya sel sel citokin inflamasi seperti
tumor necrosis faktor, interleukin-1 dan interleukin-6 secara langsung dapat
30
menghambat formasi atau pembentukan dari sel darah merah. Peningkatan
konsentrasi dari cytokin ini sering ditemukan pada sirkulasi darah pasien dengan sakit
kritis. 15
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kadar Hb memegang peranan dalam
pengaturan kadar pengangkutan oksigen (DO2). Hal ini bisa dilihat secara mudah
dengan melihat bila terjadi penurunan kadar Hb maka akan mempunyai efek
terhadap DO2 kecuali mekanisme kompensasi terjadi. Oksigen dibawa dalam darah
dalam bentuk terikat dengan plasma dan terikat dengan Hb. Kandungan oksigen pada
darah arteri (CaO2) dapat disamakan dengan persamaan:
CaO2=(1,34xHbxSaO2)+(0,23xPaO2) ml/jam
Setiap gram Hb terikat pada 1,34 ml O2 bila dalam keadaan saturasi bagus. SaO2
mewakili kadar saturasi oksigen darah arteri. Jumlah oksigen yang terlarut dalam
plasma disamakan dengan 0,23 dikali dengan tekanan parsial oksigen di darah arteri.
Pada orang yang sehat 98 % oksigen ditransport bersama dengan Hemoglobin dan
jumlah oksigen yang terlarut dalam plasma dapat diabaikan 7,15
O2ER = VO2/DO2
Nilai normal dari O2ER adalah 0,2-0,3, yang mengindikasikan bahwa hanya 20-30%
dari oksigen yang diangkut ke kapiler digunakan oleh jaringan. Kompensasi tubuh
dalam menghadapi terjadinya anemia yang utama adalah meningkatnya CO dan
O2ER. Peningkatan CO yang terjadi selama anemia normovolemia terjadi karena
berkurangnya viskositas dari darah yang akan menurunkan SVR, yang secara otomatis
akan meningkatkan venous return dan mengakibatkan meningkatnya CO.
31
Peningkatan dari denyut nadi dan kontraktilitas miocard memegang peranan yang
kecil dalam meningkatkan CO pada jantung yang normal pada keadaan anemia
selama status normovolemia tetap dijaga. 15
Tabel 11 :Pengaruh Relatif Anemia terhadap kapasitas pengangkutan Oksigen pada darah
arteri
32
Inspirasi 21 21 100
Oksigen (%)
PaO2 (Kpa) 12 12 85
SaO2 (%) 98 98 98
Konsentrasi 15 7,5 7,5
Hb (g/dl)
Oksigen 3 3 19
yang
terlarut
(ml/l)
Hb yantg 197 98 98
berikatan
dengan
Oksigen
(ml/l)
Total CaO2 200 101 117
(ml/l)
Titik ini disebut sebagai “Critical DO2”. Pada titik ini dimana produksi energi yang
dihasilkan oleh sel menjadi terbatas karena supply oksigen yang menurun .
Konsentrasi Hb pada kadar titik kritis DO2 ini disebut sebagai konsentrasi Hb kritis.
Tapi perlu diperhatikan bahwa nilai dari critical DO2 merupakan nilai yang tidak
tetap, tapi bervariasi sesuai dengan organ dan aktivitas metabolik jaringan masing-
masing 15
Tabel 12: Faktor klinik yang bisa meningkatkan terjadinya kadar Hb kritis
33
Nyeri,stress,cemas
Mengigil
Demam
Infeksi berat
Sepsis
Trauma
Pembedahan
Luka bakar
Kejang
Meningkatnya usaha pernafasan pada saat weaning ventilator
Terapi obat adrenergic
Tabel 13 : Parameter fisiologis yang bisa digunakan untuk menilai adekuatnya
oksigenasi jaringan pada pasien kritis
Parameter Keterangan
Oksigen delivery Merupakan suatu tehnik gold standar
dengan menggunakan metode
thermodilusi dan memerlukan kateter
arteri pulmonal yang bersifat invasive,
Saturasi oksigen arteri metode lain yang bersifat kurang
invasive dengan menggunakan
monitor dopler oesophageal.
Pulse kkontinyu oximetri
Parameter Whole Blood Bisa diukur dengan menggunakan
Konsumsi Oksigen calorimetri langsung.
Rasio ekstraksi Oksigen
Membutuhkan kateter arteri
pulmonal, nilai normal 0,2-0,3, O2ER
lebih dari 0,5 dengan kardiac output
Konsentrasi laktat pada darah yang tidak adekuat merupakan
indikasi untuk melakukan transfusi sel
Acidemia
darah merah.
Nilai normal kurang dari 2 mmmol/l.
Hyperlaktatemia lebih dari 4 mmol/l.
Tidak spesifik untuk hipoksia jaringan
Parameter Organ yang spesifik Merupakan parameter yang sensitive dan
Analisa segmen ST spesifik untuk mengetahui adanya iskemia
miocard.
Tonometri Gaster
34
Merupakan suatu balon CO2 silikon
permeabel yang ditempatkan pada ujung
NGT. Alat ini mengukur tekanan parsial dari
CO2 (PCO2) pada mukosa gaster. PCO2 gaster
ini kemudian digunakan untuk menghitung
pH mukosa gaster dengan menggunakan
persamaan hendersen – Haselbach.
Penurunan pH mengindikasikan adanya
penurunan aliran darah mukosa.
Praktik transfusi pada pasien kritis merupakan suatu hal yang cukup sulit dan serius
karena masih terbatasnya kemampuan kita dalam mengidentifikasi titik dimana anemia
tersebut dapat menganggu oksigenasi jaringan. Keputusan untuk melakukan transfusi
biasanya dilakukan hanya dengan melihat kadar hemoglobin yang tidak dapat mewakili
sepenuhnya tentang status dari oksigenasi jaringan, dan dapat mengakibatkan terjadinya
transfusi yang bersifat eksesif. 6
Hemoglobin
Pada mulanya pada tahun 1942 konsentrasi hemoglobin 10 gr/dl dan hematokrit 30%
yang dikenal sebagai aturan “10/30” merupakan suatu standar yang berlaku selama
hampir 50 tahun. Namun akhir akhir ini terdapat bukti bahwa kadar hemoglobin
rendah sampai 7 gr/dl dengan hematokrit 21% merupakan kadar Hemoglobin aman
bagi sebagian besar pasien, dan kadar hemoglobin ini telah dipakai sebagai acuan
untuk melakukan transfusi terhadap sebagian besar pasien ICU. Konsentrasi
Hemoglobin yang lebih tinggi yaitu 10 gr/dl masih tetap disarankan untuk keadaan
keadaan sebagai berikut 6 :
35
Penurunan progresif dari pengangkutan O2 sistemik ( yang disebabkan karena
anemia ) dapat menganggu oksigenasi jaringan hanya apabila ekstraksi O2 dari
kapiler sistemik meningkat mencapai level maksimum sekitar 50%, oleh karena itu
nilai dari ekstraksi O2 50% dapat dijadikan sebagai tanda adanya suatu keadaan yang
mengancam oksigenasi jaringan. 6
Kadar dari ekstraksi O2 secara kasar dapat disamakan dengan perbedaan antara nilai
saturasi O2 arteri (SaO2) dan O2 saturasi Vena sentral (Scv O2)
SaO2 secara rutin dimonitor melalui pulse oksimetri, dan ScvO2 bisa dimonitor
secara kontinyu melalui kateter vena sentral fiberoptik. Nilai ini merupakan metode
yang bersifat lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan kadar hemoglobin
dalam mengidentifikasi kapan suatu anemia dapat menjadi ancaman terhadap
oksigenasi jaringan. 6
Strategi klinik untuk menghindari transfusi saat ini merupakan pertimbangan yang
rutin dilakukan dalam periode perioperatif setiap pasien yang akan menjalani
pembedahan mayor. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pada masa periopetatife
ini . 17
36
Donasi autologous preoperative merupakan tehnik yang digunakan untuk
menghindari transfusi darah. Donasi darah sekitar 10 ml/kgbb setiap minggunya
diambil dari pasien yang bersangkutan. Penggunaan zat besi dan eriitropoietin juga
bermanfaat dalam meningkatkan kecepatan pemulihan sel darah merah sebelum
donasi berikutnya. 17
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam menghindari transfusi pada
periode intraoperatif, beberapa strategi itu antara lain : 17,18
1. Posisi Pasien
37
Tehnik ini merupakan sesuatu yang sangat penting terutama pada posisi prone,
penggunaan pengganjal pada bagian dada dan pelvis dapat menurunkan tekanan
pada vena cava inferior sehingga akan mengalirkan darah yang lebih besar melalui
vena cava inferior dan lebih sedikit yang melalui vena pleksus vertebra. Menaikkan
posisi tempat operasi diatas jantung juga dapat bermanfaat. 17
2. Ventilasi
Meminimalisasi tekanan rata rata intratorakal selama ventilasi positif dengan
penggunaan PEEP yang minimal dan tidal volume yang rendah dapat meningkatkan
venous return, yang akan menurunkan kehilangan darah. 17
3. Hipotensi Kendali
Definisi dari hipotensi kendali yang dapat diterima adalah dengan MAP 50 mmhg,
berdasarkan estimasi pada nilai ini, masih ( masih dihapus ) tekanan perfusi cerebral
pada populasi penduduk yang sehat masih dinyatakan aman. 17
4. Agen antifibrinolitik
Asam traneksamat telah banyak digunakan untuk menurunkan perdarahan baik pada
pembedahan ortopedi maupun pembedahan jantung.
5. Tehnik Hemodilusi Normovolemik akut
Tehnik ini dilakukan dengan mengambil sekitar 450 cc darah kedalam kantong
standar yang berisi sitrat, posfat, dekstose,dan adenin dengan infus kontinyu dari
koloid untuk menjaga status normovolemia. 17
6. Normotermia
Normotermia akan menjaga level koagulasi pasien dalam keadaan normal, sedangkan
hipotermia akan mengakibatkan pasien dalam keadaan hipokoagulable akibat efek
terhadap fungsi enzim dan kaskade pembekuan. 17
38
Strategi postoperative untuk menghindari Transfusi
Darah dapat dikumpulkan dari drain sebelumnya diolah dahulu melalui jalan filtrasi
sederhana atau disentrifugasi dan dicuci. Mentransfusikan kembali darah dari drain
ini umum dilakukan pada operasi ortopedi dan dipertimbangkan aman jika
volumenya dibatasi kurang dari 1 liter dan prosesnya selesai dalam waktu kurang dari
6 jam. 17,18
Ambang Transfusi
Tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar penurunan jumlah transfusi pada periode
perioperative yang terjadi pada beberapa tahun terakhir disebabkan karena semakin
majunya ilmu pengetahuan para ahli yang menurunkan ambang transfusi menjadi 8-9
gr/dl. 17,18
RINGKASAN
1. Keputusan untuk melakukan terapi darah atau transfusi pada pasien memerlukan
pertimbangan yang matang dan dapat dimengerti tentang resiko dan keuntungannya.
2. Penyimpanan darah dapat mempunyai efek yang bervariasi terhadap komponen
darah dan terapi darah.
3. Pertimbangan untuk melakukan terapi darah meliputi kombinasi antara lain monitor
kehilangan darah, monitor perfusi dan oksigenasi organ vital, dan monitor
konsentrasi hemoglobin.
39
4. Transfusi sel darah merah berguna selain untuk meningkatkan volume intravaskuler
juga untuk meningkatkan daya angkut oksigen.
5. Transfusi platelet diindikasikan untuk pencegahan dan terapi perdarahan pada pasien
dengan trombositopenia atau gangguan fungsi platelet.
6. Transfusi Fresh Frozen Plasma dilakukan untuk pengobatan pada kasus perdarahan
yang diakibatkan oleh defisiensi faktor pembekuan darah.
7. Transfusi granulosit dilakukan pada pasien neutropenik dengan infeksi bakteri yang
tidak respon terhadap pemberian antibiotik.
8. Reaksi hemolitik akut terjadi karena adanya inkompatibilitas darah yang
mengakibatkan terjadinya hemolisis sel darah yand dapat berakibat fatal.
9. Reaksi alergi terjadi karena adanya antibodi resipien terhadap komponen plasma
donor.
10. Overload sirkulasi akibat terapi darah biasanya terjadi pada pasien usia lanjut dengan
gangguan jantung dan atau gangguan ginjal.
11. Reaksi febris non hemolitik adalah peningkatan temperatur lebih dari 1ᵒC yang
mengikuti suatu prosedur transfusi darah yang tidak bisa dijelaskan dengan kondisi
klinis pasien.
12. Insiden infeksi akibat transfusi darah menurun secara nyata setelah berkembangnya
uji tes darah donor.
13. TRALI merupakan suatu syndroma distress pernafasan yang terjadi antara 6 jam
setelah transfusi dari produk darah.
14. Transfusi masif merupakan transfusi lebih dari 3000 ml atau lebih dari 10 unit sel
darah merah selama 24 jam.
15. Transfusi darah autologous bertujuan untuk menurunkan atau menyingkirkan
komplikasi dari transfusi darah alogenik dan untuk menjaga ketersediaan sumber
darah.
16. Anemia merupakan temuan umum pada pasien kritis yang dirawat di ICU.
17. Anemia dapat berkembang pada fase awal perjalanan penyakit pasien kritis.
18. Anemia pada pasien kritis dapat dapat disebabkan karena kehilangan darah,
penurunan produksi sel darah merah, dan peningkatan proses destruksi sel darah
merah.
19. Efek anemia pada pasien kritis dapat mengakibatkan menurunnya kadar
pengangkutan oksigen menuju organ-organ vital.
20. Keputusan untuk melakukan transfusi pada pasien kritis didasarkan atas kadar
hemoglobin dan monitor perfusi dan oksigenasi organ vital yang nilai standarnya
berbeda dari pasien normal yang memerlukan transfusi darah.
21. Strategi untuk menghindari transfusi darah dapat dilakukan pada periode
perioperatif, baik sebelum operasi, selama operasi, maupun sesudah operasi.
40
DAFTAR PUSTAKA
41
16. Joseph E Parrillo and Phillip Delunger. Use of blood component in intensive care unit. Critical
care medicine Principles of diagnosis and management in the adult, third edition. 2007:
1250-60.
17. Susan D. Roseff, MD. Guidelines for Transfusion: A way to Decrease Transfusion. Virginia
Commonwealth University Medical center Virginia USA. 27-32.
18. James R Cole. Michael H cross. Clinical strategies to avoid blood transfusion. 2008;47-9.
42
MANAJEMEN TERAPI DARAH PADA PERIODE PERIOPERATIF
DAN PASIEN KRITIS
Oleh
CAHYA HENDRAWAN
C113208103
Pembimbing
Dr. Wahyudi sp.An, KAP
43