Anda di halaman 1dari 44

BAGIAN ILMU ANESTESI REFERAT I

PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI FEBRUARI


2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MANAJEMEN TERAPI DARAH PADA PERIODE PERIOPERATIF


DAN PASIEN KRITIS

Oleh
CAHYA HENDRAWAN
C113208103

Pembimbing
Dr. Wahyudi sp.An, KAP

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS


PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BIDANG STUDI ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF DAN PENANGANAN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
0
PENDAHULUAN

Keputusan melakukan transfusi untuk perawatan pasien dengan anemia dan


perdarahan memerlukan pertimbangan yang benar benar matang dan harus
dimengerti tentang resiko dan keuntungan dari transfusi tersebut .1 Pemerintah
Amerika serikat telah menetapkan bahwa pemberian produk darah harus dibawah
pengawasan yang ketat, diperlukan adanya suatu standar yang harus dikembangkan
oleh masing-masing institusi untuk membuat suatu protokol pemberian darah dan
komponen darah. Protokol pemberian darah pada suatu institusi biasanya
dikembangkan dengan bekerjasama antara departemen perawatan, dan departemen
transfusi/bank darah dan diadopsi oleh institusi untuk digunakan oleh semua tenaga
medis. Protokol ini termasuk instruksi spesifik tentang transfusi semua komponen
darah termasuk penggunaan alat alat infus, penyaring, penghangat darah dan
peralatan lain nya. Selain itu juga ditentukan adanya mekanisme spesifik terhadap
pasien dan identifikasi produk sebelum transfusi, instruksi monitoring pasien selama
dan pada akhir transfusi, dan intruksi tentang penanganan khusus bila terjadi reaksi
akibat transfusi.2 Penentuan jenis golongan darah dari donor dan calon penerima
darah merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk memilih darah yang akan
digunakan untuk transfusi. Penentuan jenis golongan darah yang rutin dilakukan
adalah untuk mengidentifikasi antigen (A,B,Rh) pada membran eritrosit, secara alami
terbentuknya antibodi (anti b,anti A) terjadi bila membran eritrosit kekurangan
antigen A atau antigen B atau keduanya, Antibodi ini mempunyai kemampuan dalam
menyebabkan kerusakan yang cepat dari eritrosit di intravaskuler. 3

Uji cocok silang mayor terjadi bila eritrosit donor diinkubasi dengan plasma
penerima. inkubasi dari plasma donor dengan eritrosit penerima merupakan uji
silang minor. Aglutinasi akan terjadi apabila baik uji silang mayor maupun minor
terdapat suatu reaksi inkompatibel.3 Pada tahun 1900 Karl Landsteinner menemukan
bahwa penyebab terjadinya aglutinasi setelah transfusi adalah karena adanya reaksi
antigen. 4

Pada tahun 1942 Adam dan Lundy yang bekerja pada klinik Mayo
menemukan suatu formula yang dikenal dengan peraturan 10/30, dimana pada
1
formula ini disebutkan bahwa pasien seharusnya ditransfusi preoperatif untuk
menjaga agar Hb minimal 10 gr% atau hematokrit 30%. 4

PENYIMPANAN DARAH

Darah dapat disimpan pada berbagai macam solusi yang mengandung phosfat,
dekstrosa, dan adenin pada temperature 1⁰C sampai 6⁰C dan masa penyimpanan
darah biasanya sekitar 21 sampai 35 hari, tergantung dari media penyimpanan.
Adenin berguna untuk meningkatkan ketahanan sel eritrosit. Perubahan yang terjadi
pada produk darah selama penyimpanan merefleksikan masa penyimpanan dan tipe
agen penyimpanan yang digunakan, saat ini penggunaan darah yang lebih segar (
kurang dari 5 hari ) penyimpanan telah direkomendasikan pada pasien pasien sakit
kritis guna meningkatkan deliveri oksigen. 3

Efek penyimpanan yang lama dari darah, juga akan menyebabkan akan menurunnya
kadar 2,3DPG. dan konsentrasi dari 2,3DPG pada darah yang disimpan akan normal
sampai 10 hari masa penyimpanan,dan akan mengalami penurunan sampai 90% bila
darah disimpan lebih dari 3 minggu. Dimana kadar 2,3DPG ini akan sangat
menentukan afinitas hemoglobin terhadap O2, penurunan kadar 2,3DPG akan
menurunkan pelepasan O2 oleh hemoglobin. 6

Penyimpanan darah yang lama berhubungan juga dengan terjadinya asidosis dan
peningkatan dari kadar kalium plasma. Bagaimanapun karena volume plasma dalam
PRC kecil (<100ml) maka abnormalitas ini akan mempunyai pengaruh yang kecil.6

Tabel 1: Efek penyimpanan dari PRC

Parameter Hari penyimpanan (0) Hari penyimpanan (35)


%viabilitas RBCs 100 71
24 jam post
transfusi
pH 7,55 6,71
2,3 DPG 100 <10
Plasma K+ 5,1 78,5
(mEq/L)

2
Selain itu ditemukan juga adanya fakta bahwa apabila darah disimpan dalam jangka
waktu yang lama akan menyebabkan menurunnya deformibilitas membran dari sel
darah merah yang akan menganggu pasase mereka melalui celah kapiler yang sempit
yang akan menyebabkan terjadinya iskemik dari organ dan jaringan,selain itu suatu
penelitian retrospektif pada pasien dengan sepsis berat , menemukan kaitan antara
umur dari transfusi PRC dengan angka kematian. 7

KEPUTUSAN UNTUK MELAKUKAN TRANSFUSI

Keputusan kapan kita akan melakukan transfusi harus melalui pertimbangan yang
matang mengingat resiko dari transfusi itu sendiri, pada dasarnya pertimbangan
untuk melakukan transfusi meliputi kombinasi antara (1) monitor atau pemantauan
kehilangan darah, (2) monitor yang ketat akan perfusi dan oksigenasi dari organ vital,
dan (3) monitor dari indikasi transfusi terutama konsentrasi haemoglobin. 3

Monitor kehilangan darah

Perkiraan kehilangan darah secara visual merupakan cara yang sederhana untuk
menentukan banyaknya darah yang hilang selama operasi berlangsung. 3 perkiraan
kehilangan darah ini dilakukan dengan mengukur jumlah darah pada tabung
penghisap darah, dan melalui kasa yang digunakan selama operasi, namun cara ini
memang tidak dapat memastikan secara akurat akan kehilangan darah hal ini
disebabkan karena bisa saja kehilangan darah terjadi secara tersembunyi, darah bisa
tersembunyi didalam rongga tubuh dibelakang kasa bedah, sebagai contoh pada
kasus hematom yang besar pada patah tulang paha, pada kasus ini memungkinkan
terjadinya kehilangan darah yang besar yang tidak tampak secara nyata. 5

Monitor Ketat perfusi dan Oksigenasi Organ Vital

Standar monitoring, termasuk tekanan darah arteri, laju nadi, jumlah urin,
elektrokardiogram, dan saturasi oksigen biasa digunakan. Analisa gas darah, saturasi
oksigen mixed venous dan echocardiografi mungkin berguna pada pasien pasien
tertentu. Takikardi merupakan indikator yang tdk sensitif dan nonspesifik adanya
suatu hipovolemia, terutama pada pasien yang menerima volatile anestesi. Menjaga
tekanan darah sistemik yang adekuat dan tekanan vena central yang adekuat
merupakan salah satu cara yang dianjurkan untuk menjaga volume intravaskuler yang
3
adekuat, jumlah urin biasanya menurun selama terjadinya hipovolemia yang sedang
sampai berat yang akan menghasilkan hipoferfusi jaringan. Ph arteri bisa menurun
hanya bila hipoperfusi jaringan menjadi berat. 3

Apabila terjadi penurunan delivery oksigen yang bersifat progresif, misalnya


akibat anemia, akan mengakibatkan terjadinya gangguan oksigenasi jaringan hanya
apabila ekstraksi O2 dari kapiler sistemik meningkat sampai maksimum 50%.
Ekstraksi O2 sistemik secara kasar dapat disamakan dengan perbedaan antara
saturasi O2 arteri (SaO2) yang secara rutin dapat dimonitor dengan pulse oksimetri
dan saturasi O2 vena sentral yang dapat dimonitor dengan menggunakan fiberoptik
vena sentral kateter. 6

O2 ekstraksi (%) = (SaO2-ScvO2)

Karena ekstraksi O2 sitemik bisa dimonitor secara kontinyu, dan merupakan indikator
yang lebih superior untuk mengetahui apakah anemia itu mengancam oksigenasi
jaringan dibandingkan dengan hanya menggunakan kadar hemoglobin. 6

Apabila terjadi dilutional anemia, awalnya tubuh akan mengkompensasi dengan


meningkatkan cardiac output (CO), dimana pertama-tama hal ini secara eksklusif
akan mengakibatkan meningkatnya stroke volume. Bila terus berlanjut normovolemic
anemia akan disertai oleh meningkatnya denyut jantung, delivery oksigen ke jaringan
(DO2) mulai menurun dibawah garis normal pada level hematokrit dibawah 25%.
Untuk menjaga kebutuhan oksigenasi jaringan yang direfleksikan sebagai total
konsumsi oksigen tubuh (VO2), penurunan DO2 lebih lanjut akan dikompensasi
dengan: (1) penggunaan dari “luxury DO2”; (2) hemodilusi yang berkaitan dengan
peningkatan aliran darah ke organ tubuh; (3) homogenisasi dari DO2 lokal dan; (4)
peningkatan dari ekstraksi oksigen jaringan. Pada kadar dilutional anemia yang berat,
DO2 akan jatuh pada level yang kriris (DO2crit) dan jumlah oksigen yang dihantarkan
ke jaringan akan menjadi kurang untuk memenuhi kebutuhan oksigen mereka, dan
VO2 mulai menurun. Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan adanya hipoksia
jaringan.7

4
Monitoring indikator transfusi (Terutama Hemoglobin)

Keputusan untuk melakukan transfusi sebaiknya dilakukan berdasarkan


adanya resiko anemia, oleh karena transfusi dapat menyebabkan terganggunya
kemampuan pasien untuk melakukan kompensasi terhadap penurunan kapasitas
pembawaan oksigen. Pasien sehat dengan kadar Hb lebih dari 10 gr/dl jarang
membutuhkan transfusi, namun pasien yang sama dengan kadar hb kurang dari 6
gr/dl hampir selalu membutuhkan transfusi, terutama bila anemia atau perdarahan
yang diakibatkan oleh pembedahan tersebut bersifat akut dan terus menerus, dan
penentuan apakah kadar hemoglobin pertengahan (6 sampai 10 g/dl) memerlukan
transfusi sebaiknya berdasarkan apakah pasien tersebut beresiko untuk mengalami
komplikasi berupa gangguan oksigenasi. Sebagai contoh pada keadaan-keadaan
tertentu ( sindroma arteri koroner, penyakit paru menahun, pembedahan yang
berkaitan dengan jumlah yang besar kehilangan darah ) mungkin memerlukan
standar ambang transfusi yang lebih tinggi dibandingkan pasien lain yang sehat.
Konsentrasi hemoglobin 8 gr/dl mungkin sesuai serbagai ambang transfusi pada
pasien yang tanpa resiko iskemik, sementara ambang batas transfusi dengan kadar

5
Hb 10 gr/dl sesuai dengan pasien yang mempunyai resiko seperti penyakit paru
menahun dan sidroma arteri koroner .3

Penelitian-penelitian yang mempelajari batas kadar hemoglobin untuk


melakukan transfusi yang mendatangkan keluaran/outcome yang memuaskan pada
pasien pembedahan yang mengalami kehilangan darah akut tidak terlalu banyak;
kebanyakan penelitian mempelajari hal ini pada pasien non pembedahan, lebih
lanjut tidak ada bukti yang menyatakan bahwa anemia ringan sampai sedang dapat
menganggu proses penyembuhan luka, meningkatkan perdarahan, atau
memperpanjang waktu tinggal pasien di rumah sakit, walaupun pada dasarnya sulit
untuk menentukan dengan pasti batas minimum level kadar hemoglobin yang aman
terhadap pasien, dan ada beberapa pedoman yang digunakan sebagai dasar untuk
melakukan transfusi. Pasien sehat bisa mentoleransi kadar hematokrit sampai batas
20%. Pasien dengan penyakit jantung dan paru membutuhkan hematokrit minimal
30%. Kriteria lain seperti status medis secara keseluruhan atau kondisi kehilangan
darah yang berlanjut terus menerus, bisa digunakan sebagai pedoman untuk
melakukan transfusi. Transfusi sel darah merah seharusnya diberikan hanya untuk
meningkatkan daya angkut oksigen, bukan untuk ekspansi volume semata mata, dan
seperti prosedur medis yang lain bahwa transfusi harus benar benar
dipertimbangkan keuntungannya dibandingkan kerugiannya. 2,3

KOMPONEN DARAH

Sel darah merah

Setiap satu unit sel darah merah dipersiapkan dengan jalan mensetrifugasi
whole blood dan memisahkan nya dari plasmanya. PRC yang disimpan pada suhu 1-
6⁰C bisa bertahan sampai 35 hari. Sel darah merah ( 250-300 ml dengan hematokrit
70%-80%) biasa digunakan untuk mengatasi anemia yang berhubungan dengan
kehilangan darah akibat pembedahan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan
daya angkut oksigen dari darah. Walaupun transfusi sel darah merah mampu
meningkatkan volume intravaskuler, produk non darah seperti kristaloid maupun
koloid juga mampu melakukan hal yang sama. Satu unit transfusi sel darah merah
mampu meningkatkan kadar hemoglobin dewasa sekitar 1 gr/dl.3,6
6
Sebagai respon adanya perdarahan, kadar hematokrit yang rendah itu sendiri
akan mempunyai andil dalam menyebabkan terjadinya koagulopati karena eritrosit
menginduksi adanya marginalisasi dari platelet, dengan jumlah platelet menjadi
hampir tujuh kali lipat dari perkiraan jumlah darah. Sebagai tambahan eritrosit
berfungsi untuk memodulasi baik secara biokemikal maupun fungsional dari respon
aktivasi platelet. Mereka mendukung regenerasi trombin melalui eksposure membran
prokoagulant dari posfolipid. 8

Pemberian transfusi sel darah merah bisa dilakukan dengan memberikan


sebelum dan sesudahnya sekitar 50-100 ml NaCl. Penggunaan larutan glukosa
hipotonis secara teori dapat menyebabkan terjadinya hemolisis, dan adanya kalsium
yang terkandung pada cairan ringer laktat bisa menyebabkan terjadinya bekuan.
Perlu diperhatikan juga karena ketidakmampuan sel darah merah dalam
meningkatkan cardiac output sebagai respon terhadap rendahnya pengangkutan
oksigen akan menyebabkan terjadinya iskemik miokard. 3,9

Konsentrat trombosit (Platelet)

Konsentrat trombosit memberikan indikasi yang spesifik untuk menangani


adanya trombositopenia tanpa perlu melakukan transfusi komponen darah yang lain.
Selama pembedahan, transfusi trombosit mungkin tidak diperlukan kecuali hasil
pemeriksaan trombosit menunjukkan nilai kurang dari 50.000 sel/mm3. Satu unit
platelet dapat meningkatkan sekitar 5000-10.000 sel/mm3, hasil ini bisa dilihat
setelah 1 jam transfusi trombosit. Selain indikasi nilai laboratorium adanya indikasi
klinis bisa kita jadikan sebagai patokan untuk melakukan transfusi trombosit antara
lain adanya peteki, perdarahan mukosa, adanya konsumsi obat-obatan yang
mempengaruhi fungsi trombosit, dan adanya kehilangan darah lebih dari satu kali
volume darah. 3,9

Trombositopenia didefinisikan sebagai kadar platelet dibawah 150.000/ul,


namun kemampuan platelet untuk membentuk plug masih terjaga sampai kadar
platelet jatuh dibawah 100.000/ul, jadi secara hemostatistik signifikan
trombositopenia didefinisikan sebagai kadar platelet dibawah 100.000/ul. 6

7
Ada beberapa jenis obat yang diindikasikan mampu menyebabkan terjadinya
trombositopenia, antara lain: antibiotik, (linezolid, rifampisin, sulfonamides,
vancomicin), Acetaminofen, Phenytoin, dan quinidine. 6

Transfusi platelet diindikasikan untuk pencegahan dan untuk terapi


perdarahan pada pasien dengan trombositopenia atau gangguan fungsi platelet.
Transfusi platelet tidak diindikasikan pada semua kasus trombositopenia dan bahkan
merupakan kontraindikasi untuk kasus kasus tertentu, oleh karena itu penyebab dari
trombositopenia harus diketahui terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk
melakukan transfusi trombosit. indikasi untuk melakukan transfusi trombosit antara
lain. 10 ;

1. Akut leukemia; beberapa studi menyatakan bahwa batas untuk melakukan


transfusi platelet adalah 20.000 sampai 10.000 menurut Gmur et al 1991
2. Promyelitik leukemia akut; tidak ada penelitian yang spesifik yang menentukan
batas bawah dari transfusi platelet pada kasus ini, namun kadar platelat diatas
20.000 harus dipertahankan pada pasien pasien dengan perdarahan.
3. Transplantasi stem sel hemopoietic; resiko dari perdarahan mukosa sangat tinggi
pada pasien transplantasi sumsum tulang, beberapa penelitian kecil menyatakan
ambang minimal untuk transfusi platelet pada angka 10.000
4. Trombositopenia kronik stabil; pasien dengan gangguan produksi platelet yang
kronis, sebagai contoh pasien dengan myelodysplasia atau anaplastik anemia,
bisa tetap bebas dari resiko perdarahan yang serius dengan kadar platelet di
bawah 10.000 atau bahkan dibawah 5000
5. Profilaksis untuk pembedahan; terdapat sedikit bukti yang mendukung adanya
transfusi platelet untuk profilaksis pembedahan, namun ada beberapa
rekomendasi yang dapat dijadikan patokan: untuk lumbal punksi, epidural
anestesia kadar platelet harus dinaikkan minimal sampai 50.000, untuk operasi
pada daerah yang vital seperti mata dan otak, kadar platelet harus dinaikkan
sampai kadar 100.000.
6. Gangguan fungsi platelet; pasien dengan gangguan fungsi platelet jarang
membutuhkan adanya transfusi platelet, ada beberapa rekomendasi untuk
pasien dengan gangguan fungsi platelet; hindari obat obat yang dapat
menyebabkan trombositopenia, perbaiki hematokrit minimal 30%.
7. Transfusi masive; ada beberapa rekomendasi untuk kasus ini, kadar platelet
sebaiknya jangan dibiarkan jatuh dibawah 50.000, target level platelet yang lebih
8
tinggi yaitu 100.000 telah direkomendasikan untuk pasien dengan trauma
multiple dan cedera ssp.
8. DIC; transfusi platelet merupakan bagian dari manajemen akut DIC, di mana
perdarahan berhubungan dengan trombositopenia tidak ada kesepakatan
khusus, tetapi menjaga jumlah platelet lebih dari 50.000 seperti pada transfusi
masive merupakan suatu hal yang bersifat rasional pada kasus ini. Pada kasus DIC
yang kronis transfusi platelet seharusnya tidak diberikan untuk mengoreksi
jumlah platelet yang kurang.

Kontra indikasi transfusi platelet 10 :

Thrombotic thrombositopenic Purpura


Pada pedoman dari diagnosis dan manajemen dari trombotic microangiopatic
hemolitic anemia yang telah dipublikasikan menerangkan bahwa transfusi platelet
dikontraindikasikan pada keadaan ini, kecuali keadaan ini disertai adanya perdarahan
yang mengancam jiwa

Haeparin induced trombositopenia (HIT)


HIT merupakan trombositopenia imun yang diinduksi oleh obat yang seringkali
berhubungan dengan thrombosis yang berat. Transfusi trombosit sebaiknya jangan
diberikan karena akan bisa menyebabkan terjadinya trombosis arteri yang akut.

Pendekatan Untuk Meminimalisir penggunaan dari transfusi trombosit; 10

1. Penggunaan asam traneksamat menunjukkan penurunan transfusi trombosit pada


keadaan leukemia akut, asam traneksamat bisa sangat membantu pada keadaan
perdarahan lokal seperti perdarahan oral, walaupun hal ini merupakan
kontraindikasi pada keadaan hematuria karena adanya kemungkinan terbentuknya
bekuan ureter.
2. Pada trombositopenia akibat kemoterapi atau transplantasi stem sel, penggunaan
cytokin growth factor dapat dipertimbangkan untuk masa yang akan datang.
3. Membatasi penggunaan aspirin atau terapi antiplatelet lain bila memungkinkan.
5. Monitoring jumlah platelet intraoperatif
6. Penggunaan aprotinin dan asam traneksamat intra operatif
7. Lokal audit terhadap penggunaan transfusi trombosit
8. Menurunkan ambang batas minimal untuk transfusi trombosit dari 20.000 ke
10.000. namun hal ini memerlukan ketersediaan metode yang akurat untuk
penghitungan jumlah platelet secara rutin.

9
Komplikasi dari transfusi platelet; 6 :

1. Transmisi bakteri
Bakteri sangat suka tumbuh pada platelet konsentrat dibanding konsentrat sel
darah merah, hal ini disebabkan karena platelet disimpan pada suhu kamar
(22⁰C), dibandingkan konsentrat sel darah merah yang disimpan pada suhu 1-6⁰C.
2. Demam
Demam karena reaksi nonhemolisis telah dilaporkan sebanyak 30% pada transfusi
platelet, penurunan leukosit pada platelet konsentrat dapat membantu
pemecahan masalah ini, namun penurunan jumlah leukosit juga dapat
menurunkan jumlah dari platelet tersebut.
3. Reaksi alergi
Reaksi hipersensitivitas (urtikaria, anafilaksis, dan syok anafilaksis)juga sering
ditemukan pada transfusi platelet dibandingkan dengan transfusi sel darah merah.
Reaksi ini disebabkan karena sensitisasi protein donor plasma, dan pemindahan
plasma dari platelet konsentrat akan mampu menurunkan insiden dari komplikasi
ini.

Fresh frozen Plasma

Fresh frozen plasma (FFP) merupakan bagian dari whole blood yang diambil
dari whole blood kemudian dibekukan selama 6 jam. Semua faktor pembekuan
kecuali trombosit terdapat dalam FFP, yang menjelaskan kegunaan dari FFP ini
sebagai pengobatan untuk kasus perdarahan yang disebabkan oleh adanya defisiensi
faktor pembekuan darah. Transfusi FFP selama proses pembedahan mungkin tidak
diperlukan kecuali waktu protrombin (PT) atau waktu parsial tromboplastin (APTT)
atau keduanya memanjang paling sedikit 1,5 kali dari normal. Indikasi lain untuk
transfusi FFP adalah untuk refersal emergency dari warfarin dan manajemen dari
resistensi heparin. Dosis yang biasa digunakan untuk melakukan transfusi FFP adalah
10-15 ml/kgbb, sedangkan untuk reversal dari warfarin digunakan dosis 5-8 ml/kgbb.
Penambahan vit K mempunyai efek yang sama namun akan memerlukan waktu 6-12
jam untuk menjadi efektif. Sedangkan untuk volume ekspansi bukan merupakan
indikasi dari FFP. 3,5

Dalam sebuah jurnal yang berjudul the effect of plasma transfusion on


morbidity and mortality:a systemic review and meta analysis oleh Muhammad
Hassan Murad, James R Stubbs dkk, menyimpulkan bahwa transfusi plasma terbukti
dapat menurunkan angka mortalitas pasien dengan perdarahan masif. 9

10
Cryopresipitat

Cryopresipitat merupakan fraksi dari plasma yang dipresipitasi. Komponen ini


berguna untuk menejemen hemofilia A ( mengandung konsentrasi tinggi dari faktor
VIII dengan volume yang kecil ) yang tidak responsif terhadap desmopressin.
Cryopresipitat juga bisa digunakan sebagai pengobatan terhadap hypofibrinogenimia
karena mengandung lebih banyak fibrinogen dibandingkan dengan FFP. Dosis yang
biasa digunakan untuk melakukan transfusi Cryopresipitat adalah 1 unit/7-10 kgbb. 3,9

Granulosit

Transfusi granulosit dapat dilakukan pada pasien neutropenik dengan infeksi


bakteri yang tidak responsif terhadap pemberian antibiotik. Transfusi granulosit
mempuyai masa yang sangat singkat dalam sirkulasi tubuh, oleh karena itu transfusi
rutin dari granulosit tiap hari biasanya dibutuhkan. Iradiasi dari komponen darah ini
dapat menurunkan insiden reaksi graft terhadap host, kerusakan endotelial paru, dan
masalah lain yang biasa ditimbulkan oleh transfusi dari leukosit. Tetapi mungkin juga
dapat menganggu fungsi dari granulosit. 11

KOMPLIKASI DARI TRANSFUSI DARAH

Komplikasi Segera

Komplikasi segera dari transfusi darah adalah komplikasi yang terjadi selama
24 jam setelah dilakukan transfusi darah, ada beberapa komplikasi yang bisa terjadi
segera setelah transfusi antara lain:

Reaksi Hemolitik Akut

Reaksi hemolitik akut merupakan reaksi yang paling sering menyebabkan reaksi fatal
transfusi yang dilaporkan oleh FDA. Reaksi ini terjadi baik akibat kegagalan
mendeteksi adanya inkompatibilitas darah ataupun akibat salah transfusi ke
penerima yang salah. Resiko kematian akibat dari reaksi hemolitik akut ini
diperkirakan sekitar 1:587.000-1:630.000 berdasarkan data dari FDA. Tanda tanda
dari reaksi ini pada pasien yang sadar antara lain: mengigil, demam, muntah, nyeri
dada. sedangkan pada pasien yang teranestesi, reaksi hemolitik akut bermanifestasi
sebagai peningkatan suhu tubuh, takikardi yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya,
11
hipotensi, hemoglobinuria. DIC, shock, dan gagal ginjal dapat berkembang dengan
cepat. Beratnya reaksi ini sering bergantung dari seberapa banyak darah yang
inkopamtibel yang diberikan dan reaksi berat dapat timbul setelah pemberian sekitar
10-15 ml dari darah yang inkompatibel. 2,11

Penanganan dari reaksi hemolitik akut dapat dilakukan dengan ( cara ) antara lain:
segera menghentikan transfusi, mengecek ulang paket darah yang telah dan belum
diberikan, pasang urin kateter untuk melihat adanya hemoglobinuria, lakukan
osmotik diuresis dengan manitol atau cairan intravena. Apabila ada kehilangan darah
yang cepat, maka transfusi platelet dan FFP segera dilakukan, pertahankan jumlah
urin dengan cairan intravena, penggunaan natrium bikarbonat untuk alkalinasi urin
dan untuk meningkatkan solubilitas dari degradasi hemoglobin di tubulus renal
belum dapat dibuktikan keefektifannya, dan apabila terjadi penurunan tekanan darah
maka pemberian cairan intravena dan diikuti oleh vasopressor bisa dilakukan. 3,6,11

Reaksi alergi dan Anafilaktik

Reaksi alergi sedang biasanya bermanifestasi sebagai urtikaria, terjadi pada


kasus 1-3% transfusi. Reaksi alergi berat berhubungan dengan adanya hipotensi,
distress pernafasan, dan gejala gejala kardiovaskuler dan gastrointestinal. dari ( dari
dihapus ) Reaksi anafilaksis diperkirakan terjadi antara 1:20.000 sampai 1:47.000
transfusi. Pada kasus reaksi alergi ,pasien biasanya mempunyai antibodi terhadap
komponen plasma dari donor, biasanya protein plasma. Pada reaksi yang berat,
pasien kemungkinan mempunyai IgA deficient dan mempunyai anti-IgA antibodi yang
menerima transfusi darah yang mengandung IgA. Prevalensi terdapatnya defisit IgA
diperkirakan antara 1:600-800 pada populasi umum. 2,11

Gejala gejala yang biasanya muncul pada kasus reaksi alergi (ringan sampai
sedang) antara lain : wheezing, bengkak, erytema yang bersifat generalisata,
hipotensi. Sedangkan pada kasus reaksi anafilaktik gejalanya antara lain : hipotensi,
bronkospasme, edema laryng dan paru, dan erytema yang bersifat generalisata. 2

Manajemen penatalaksanaan pada reaksi ini adalah : menghentikan transfusi


darah yang dilakukan, pada reaksi alergi bisa diberikan antihistamin baik oral maupun
parenteral (diphenhydramine 25-50mg), bila pasien dengan riwayat reaksi alergi yang

12
berulang, maka pemberian antihistamin profilaksis dianjurkan. dan steroid, pada
reaksi anfilaktif pemberian efinefrin, cairan, kortikosteroid, dan H1 dan H2 bloker
dapat dilakukan. Pasien dengan defisit IgA seharusnya menerima washed Packed Red
cells, dan IgA free whole blood. 2,3,11

Overload sirkulasi

Overload sirkulasi akibat transfusi darah sering ditemukan sebagai komplikasi.


Hal ini biasanya terjadi pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi ginjal,
gangguan fungsi jantung, atau anemia berat. Overload sirkulasi sering merupakan
masalah paru yang akut dimana laporan dan data yang akurat mengenai hal ini
belum banyak dilaporkan. Bagaimanapun menurut laporan dari mayo klinik
menyebutkan bahwa komplikasi ini terjadi dalam 1:3168 pasien yang menerima
transfusi sel darah merah. 2

Gejala awal dari overload sirkulasi ini tidak spesifik, antara lain : peningkatan
tekanan darah, nyeri kepala, berkembangnya batuk, dan adanya sensasi tekanan
pada dada. Perkembangan dari salah satu tanda dan gejala ini pada pasien yang
menerima transfusi harusnya diwaspadai dan merupakan indikasi untuk
memperlambat transfusi dan monitoring pasien dengan lebih ketat. Apabila terjadi
dekompensasi jantung, dyspneu, orthopneu, takikardi, sianosis, maka udema paru
mulai dapat ditegakkan . 2

Apabila pasien mengalami tanda-tanda dan gejala –gejala overload sirkulasi,


maka transfusi sebaiknya dihentikan dan pasien diposisikan dalam posisi duduk.
Pemberian bantuan oksigen harus diberikan dan pemberian diuretik dilakukan untuk
menurunkan volume intravaskuler. Jika pemberian diuretik dinilai tidak efektif, maka
plebotomi seharusnya dipertimbangkan. 2

Reaksi Febris non Hemolitik

Definisi dari reaksi febris non hemolitik adalah peningkatan temperature lebih
dari 1⁰C yang mengikuti suatu prosedur transfusi yang tidak bisa dijelaskan dengan
kondisi klinis pasien. Peningkatan dari temperatur tubuh ini biasanya diikuti dengan
mmengigil dan kekakuan, dan kadang-kadang dapat terjadi juga nyeri kepala, mual
13
dan muntah. Demam biasanya muncul 1 sampai 6 jam setelah dimulainya transfusi.
Pada sebagian besar pasien demam dapat terjadi selama transfusi darah
berlangsung. Biasanya peningkatan suhu kurang atau sama dengan 2⁰C. Bila kenaikan
temperatur lebih dari 2⁰C, maka adanya kontaminasi bakteri pada produk darah dan
berkembangnya infeksi interrecurent dapat dipertimbangkan. Beberapa pasien dapat
mengiggil, terasa kaku, dan merasa kedinginan namun tidak demam. Diagnosis dari
reaksi febris non hemolitik ini dapat ditegakkan hanya dengan menyingkirkan type
lain dari reaksi transfusi yang diikuti oleh demam. Pada populasi pasien di rumah
sakit, sekitar 0,5-1% dari transfusi sel darah merah berhubungan dengan reaksi febris
non hemolitik. Pada pasien yang sering ditransfusi, frekuensi dari kejadian ini akan
lebih sering. 2,6

Adanya antibodi resipien yang secara langsung melawan antigen dari leukosit
donor pada umumnya dapat dipertimbangkan sebagai penyebab dari reaksi febris
non hemolitik ini. Pada mulanya pirogen endogen (interleukin -1, interleukin-6, dan
tumor necrosis faktor) dari donor dipercaya sebagai penyebab dari febris ini. Namun
pada akhir-akhir ini telah dibuktikan bahwa aktivasi komplement yang mengikuti
interaksi dari antibodi resipien dengan leukosit donor menyebabkan aktivasi dari
monosit resipien. Aktivasi dari monosit ini akan menyebabkan terlepasnya cytokin
proinflamatory yang menyebabkan reaksi ini. Pada akhirnya sejak penggunaan filter
leukoreduction secara luas untuk mengeliminasi reaksi ini, tampak bahwa cytokin
yang diproduksi oleh leukosit donor sebelum terjadinya leukoreduction juga dapat
menyebabkan terjadinya reaksi febris non hemolitik. 2

Pada populasi umum, hanya 15% pasien yang mempunyai reaksi febris
terhadap produk sel darah merah mempunyai reaksi febris recurent terhadap
transfusi berikutnya. Walaupun demikian beberapa pusat pelayanan transfusi darah
tidak menyarankan premedikasi atau leukoreduction terhadap pasien sampai reaksi
demam kedua terjadi. Reaksi febris pada umumnya terjadi mengikuti transfusi
platelet dibandingkan transfusi sel darah merah dan lebih banyak atau biasa pada
produk yang tua dibandingkan produk darah segar. Jika reaksi yang terjadi bersifat
ringan, reaksi ini bisa dicegah dengan memberikan premedikasi dengan antipiretik.
Jika reaksi bersifat berat atau jika premedikasi tidak dapat mencegah terjadinya
reaksi, produk leukoreduction merupakan suatu indikasi yang disarankan. Pada
14
beberapa kasus multitransfusi, perlu disediakan produk leukoreduction yang
disimpan sebelumnya. 2

Transmisi dari infeksi Bakteri

Sepsis sebagai akibat kontaminasi bakteri dari produk darah merupakan


penyebab komplikasi fatal yang kedua yang dilaporkan oleh FDA. Di Amerika Serikat
antara tahun 1976 sampai dengan 1999, 10% transfusi yang dihubungkan dengan
kematian disebabkan oleh adanya kontaminasi bakteri. Diperkirakan sekitar 0,2%
dari koleksi whole blood terkontaminasi bakteri. Kontaminasi bakteri pada produk
platelet lebih sering ditemukan dibandingkan dengan kontaminasi pada sel darah
merah. Perkiraan kontaminasi bakteri pada sel darah merah bervariasi antara 0,002%
sampai 1% dan platelet berkisar dari 0,04% sampai 10%. 2

Pada umumnya tanda dan gejala akibat adanya kontaminasi bakteri pada
produk darah adalah mengigil, demam, takikardi, syock atau hipotensi, nafas yang
pendek, nyeri punggung, dan mual dan atau muntah. Pada mulanya pasien akan
mengalami peningkatan tekanan darah, walaupun gejala gejala ini sering
berkembang segera atau antara jam pertama setelah transfusi dimulai, beberapa
pasien mungkin tidak akan mengalami tanda dan gejala-gejala untuk beberapa jam. 2

Insiden dari infeksi akibat transfusi darah akhir-akhir ini menurun secara
nyata. Sebagai contoh, pada tahun 1980, insiden terjadinya hepatitis akibat transfusi
darah cukup tinggi yaitu sekitar 10%. Perkembangan adanya uji tes darah donor
secara dramatis dapat menurunkan resiko terjadinya transmisi hepatitis C dan HIV
sampai kurang dari 1 dalam 1 juta transfusi. Walaupun banyak faktor dapat
dipertimbangkan sebagai penyebab dari menurunnya angka transmisi penyakit akibat
transfusi darah, namun satu hal yang paling penting adalah dengan adanya dan
berkembangnya tes darah donor. Akhir akhir ini hepatitis C, HIV, dan West Nile Virus
(WNV) telah ditest melalui metode nucleic acid. Pada tahun 2002, lebih dari 30 kasus
dari transmisi WNV akibat transfusi terjadi. Tahun 2003 dimana telah berkembangnya
screening donor darah melalui teknologi nucleic acid juga telah menurunkan
terjadinya resiko transmisi HIV melalui transfusi darah. 3

15
Selain yang tersebut diatas ada juga beberapa penyebaran agen infeksi
melalui transfusi darah termasuk hepatitis B, human T cell lymphotropic virus,
cytomegalivirus, malaria, chagas desease, dan kemungkinan juga varian dari
Creuttzfeldt-Jacob desease. 3

Tabel 2: Perkiraan resiko infeksi akibat transfusi darah

Perkiraan Resiko infeksi akibat


transfusi Darah
Hepatitis B 1 dalam 220.000
Hepatitis C 1 dalam 1,6 juta
HIV 1 dalam 1,8 juta
HTLV-I 1 dalam 640.000
West-Nile Virus 1 dalam > 1 juta

Walaupun telah dilakukan prosedur untuk melakukan screening terhadap


donor darah, namun resiko sisa terhadap adanya transmisi patogen masih dapat
terjadi. Hal ini dikarenakan adanya suatu periode jendela dari donor,
ketidaktersediaan dari serokonversi pada donor, adanya variabilitas dari strain virus
dan adanya kesalahan laboratorium. 12

Acute Lung Injury yang Berkaitan dengan transfusi (TRALI)

Walaupun kontaminasi dari bakteri merupakan penyebab tertinggi dari


komplikasi fatal akibat transfusi darah pada tahun 2001 samapai 2002, namun TRALI
menjadi penyebab tertinggi pada tahun 2005. Insiden dari TRALI diperkirakan 1
dalam 5000 transfusi. TRALI merupakan suatu syndroma distress pernafasan yang
terjadi antara 6 jam setelah transfusi dari produk darah seperti sel darah merah atau
FFP. Hal ini dikarakteristik oleh adanya dyspneu dan hipoksemia arteri sebagai akibat
sekunder dari noncardiogenic pulmonary udema. Diagnosis dari TRALI ditetapkan bila
edema paru yang terjadi tanpa disertai adanya hipertensi arterial dan cairan edema
paru berisi cairan yang tinggi protein. 3,6

Mekanisme terjadinya TRALI ini diduga karena adanya mekanisme yang


melibatkan antileukosit antibodi pada darah donor yang berikatan dengan granulosit
pada sirkulasi darah resipien. Granulosit yang teraktivasi ini akan terperangkap pada

16
mikrosirkulasi paru dan bermigrasi menuju parenkim paru yang akan menginduksi
terjadinya jejas inflamasi. 6

Penatalaksanaan segera apabila TRALI ditemukan antara lain (1) segera


menghentikan transfusi, (2) mensuport tanda vital pasien, (3)menentukan
konsentrasi protein pada cairan udema paru pasien melaui pipa endotrachea, (4)
memeriksa darah lengkap pasien dan melakukan foto thorak, dan (5) mengkonfirmasi
ke bank darah akan kemungkinan terjadinya TRALI sehingga unit lain yang berkaitan
bisa segera dikarantina. Tidak ada rekomendasi yang tetap yang dianjurkan mengenai
transfusi yang akan datang pada pasien yang pernah mengalami TRALI. Jika transfusi
sangat diperlukan, maka washed RBC ( plasma dan leukosit sudah dipindahkan)
direkomendasikan sebagai pilihan terbaik. 3,6

Tabel 3: Transfusi yang berkaitan dengan komplikasi fatal

Transfusi yang berkaitan dg


komplikasi Fatal di Amerika Serikat
tahun 2001-2002
Penyebab Fatal Angka Kefatalan
Kontaminasi bakteri 17
TRALI 16
Mistransfusi:ABO Mismatch 14
Data dari FDA, 1 Oktober 2001 sampai 30 September 2002.

Imunomodulasi yang Berkaitan dengan Transfusi

Transfusi darah dapat menekan imunitas yang dimediasi oleh sel. Dimana
apabila dikombinasi dengan hal yang menyebabkan efek yang sama yang dihasilkan
oleh trauma bedah akan menghasilkan infeksi pasca operasi. Hubungan antara
transfusi darah dengan pembedahan kanker masih belum jelas, namun ada sugesti
yang menyatakan hubungan antara terjadinya rekurensi tumor dengan transfusi
darah. Paket sel darah merah yang mengandung lebih sedikit plasma dibandingkan
dengan darah utuh, mungkin akan menghasilkan imunosupressan yang lebih sedikit,
hal ini yang mendukung kenyataan bahwa plasma mengandung faktor
imunnosupressan yang belum jelas. 3

Memisahkan sebagian besar sel darah putih dari darah dan platelet
(Leukoreduksi) merupakan prosedur yang banyak digunakan. Praktik penggunaan
17
untuk menurunkan insiden terjadinya febris non hemolitik dan transmisi virus yang
berhubungan dengan leukosit. Kemungkinan lain yang menguntungkan melalui
prosedur ini adalah untuk menurunkan angka rekurensi kanker dan infeksi post
operasi masih bersifat spekulatif. 3

Abnormalitas Metabolik

Abnormalitas metabolik yang dapat terjadi akibat penyimpanan darah segar


adalah termasuk akumulasi dari ion hidrogen. Namun akumulasi dari ion hidrogen ini
tidak selalu atau bahkan jarang menyebabkan asidosis metabolik, bahkan dengan
transfusi dalam jumlah yang besar maupun dengan kecepatan tinggi. Penambahan
natrium bikarbonat pada pasien yang menerima transfusi darah harus melalui
pengukuran pH terlebih dahulu. 3

Peningkatan kadar kalium dalam darah simpan akan semakin meningkat


seiring semakin lamanya waktu penyimpanan, namun walaupun dengan transfusi
masif jarang dapat meningkatkan kadar kalium dalam plasma. Hal ini disebabkan
karena sedikitnya jumlah kalium secara nyata yang terdapat dalam 1 unit darah utuh.
Sebagai contoh karena 1 unit darah utuh hanya mengandung kurang lebih 300 cc
plasma, konsentrasi kalium yang diukur sekitar 21 mEq/L yang berarti hanya terdapat
sekitar 7 mEq kalium. 3

Penyimpanan darah juga berkaitan dengan menurunnya kadar 2,3 DPG dalam
eritrosit yang mengakibatkan meningkatnya afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
Hal ini akan menyebabkan sedikit tersedianya oksigen terhadap jaringan. Spekulasi
inilah yang menyarankan penggunaan darah segar ( lebih banyak oksigen yang
tersedia buat jaringan ) sebaiknya digunakan pada pasien kritis. 3

Adanya citrat yang dimetabolisme menjadi bikarbonat mempunyai andil


dalam menyebabkan alkalosis metabolik, dimana terikatnya kalsium oleh citrat juga
dapat menyebabkan hipocalsemia. Akan tetapi hypocalsemia yang dihasilkan sebagai
akibat ikatan antara kalsium dengan citrat jarang terjadi karena adanya mobilisasi
kalsium dari tulang dan kemampuan hati dalam memetabolisme citrat menjadi
bikarbonat. Adapun penambahan kalsium tanpa adanya bukti klinis hipokalsemia (
pemanjangan interval QT pada EKG, dan adanya penurunan kalsium yang diukur

18
secara nyata) bukan merupakan indikasi. Suplementasi kalsium mungkin diperlukan
bila :(1) kecepatan transfusi melebihi 50cc/menit, (2) Hipotermi atau adanya
gangguan fungsi hati, atau (3) pasien neonatus. 3

Transfusi darah pada suhu dibawah 6⁰C bisa menyebabkan turunnya temperatur
tubuh pasien, yang kemungkinan akan berkembang menjadi iritabilitas jantung,
Bahkan penurunan suhu tubuh hanya sekitar 0,5-1⁰C bisa menginduksi mengigil
pasca transfusi, yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen sampai 400% yang akan
menyebabkan meningkatnya cardiac output. Oleh karena itu penggunaan
penghangat darah sangat diperlukan, namun malfungsi dari penghangat darah yang
tidak diketahui akan dapat menyebabkan terjadinya overheat yang akan
menyebabkan terjadinya hemolisis darah yang ditransfusi. 3

TRANSFUSI MASIF

Transfusi masiv bisa terjadi pada kasus kasus trauma, pembedahan, dan obstetrik.
Hal ini merupakan suatu tantangan terapi yang besar baik bagi klinisi dan personel
unit transfusi darah. Sampai saat ini belum ada definisi yang bersifat umum
mengenai transfusi masiv. Definisi yang paling umum yang sering digunakan adalah
transfusi lebih dari 3000 ml, atau lebih dari 10 unit sel darah merah, selama 24 jam.
Definisi yang lain adalah : 13

 Transfusi lebih dari 50% volume darah dalam jangka waktu 3 jam
 Kehilangan darah 150 ml/menit
 Kehilangan darah 1,5 ml per kg bb per menit selama 20 menit, dan
 Bila kehilangan darah berlangsung cepat dan berat dan support dari produk
darah dan pergantian volume dengan cairan melebihi kemampuan
kompensasi dari tubuh

Transfusi darah masiv bisa merupakan suatu situasi yang diantisipasi sebelumnya
maupun situasi yang tidak diantisipasi sebelumnya.Pada dasarnya penanganan dari
kedua situasi ini adalah sama yaitu: (1)Deteksi dini dari adanya perdarahan masiv, (2)
Melakukan resusitasi segera untuk mencegah terjadinya shock dan hipoksia jaringan,
dan (3) Transfusi darah. 13

Tabel 4 : Pembedahan Elektif yang diperkirakan berhubungan dengan perdarahan dan


transfusi masiv

19
Jenis Operasi elektif Mekanisme terjadinya transfusi masiv
Komplek dan re-do surgery Kerusakan jaringan akibat pembedahan
Neurosurgery Pelepasan Tromboplastin
Pembedahan kanker Cytokin prokoagulopatic
DIC
Pembedahan Bypass Terapi antikoagulan (Heparin)
Cardiopulmoner Disfungsi platelet (terapi antiplatelet
sebelumnya dan aktivasi platelet dari
bypass)
Konsumsi platelet
Hypotermia
Hemodilusi
Transplantasi Hati Iskemik hepatik
Koagulopati yang terjadi sebelumnya
Hemodilusi
Aktivasi fibrinogenolisis dan fibrinolisis
Hypotermia
Repair Aneurisma Aorta Aorta cross clamps
Iskemik hepatik/anoksia
Syndrome reperfusi
Sepsis DIC

Diskusi tentang transfusi masiv tidak lengkap tanpa mengikutsertakan fisiologi dan
manajemen dari perdarahan. Shock akibat perdarahan dikarakteristikkan oleh beberapa
perubahan fisiologi antara lain :13

 Menurunnya kardiac output


 Kerusakan sel yang bersifat hipoksia dengan efek metaboliknya
 Aktivavasi dari kaskade koagulasi dan fibrinolitik
 Aktivasi mediator inflamasi yang menyebabkan kerusakan sel
 Kerusakan sel endotel yang mengaktivasi koagulasi intravaskuler yang
menyebabkan koagulopathy.

Dimana perubahan fisiologi ini berbanding lurus dengan jumlah darah yang
hilang.Resusitasi segera yang bisa dilakukan pada perdarahan masiv adalah : 13

 Mengganti volume darah : Resusitasi dengan cairan kristaloid atau koloid dapat
bersifat esensial dalam menjaga volume intravaskuler. 70% kehilangan sel darah
merah disertai dengan menurunnya kadar Hb bisa ditoleransi oleh tubuh apabila

20
volume intravaskuler cukup. Kemampuan tubuh untuk mengkompensasi
kehilangan darah terbatas hanya 30%, dimana setelah itu akan terjadi syok
hipovolemik. Volume yang besar dari kristaloid akan bisa mempengaruhi
hemostasis (Hemodilusi)
 Menjaga oksigenasi jaringan : Oksigenasi jaringan memerlukan hemoglobin
sirkulasi yang adekuat, kemampuan untuk meningkatkan kardiac output dan
penghantaran oksigen. Secara umum anemia bisa ditoleransi selama status pasien
masih normovolemia. Dan kompensasi tubuh adalah dengan jalan meningkatkan
cardiac output. 30% kehilangan volume darah merupakan level kritis dmana sel
darah merah harus ditambahkan.
 Mendapatkan status hemostasis : Prioritas tertinggi harus diberikan untuk
mengontrol perdarahan. Perdarahan akibat pembedahan harus dikontrol dan
koagulopati harus dikoreksi. Keadaan normovolemia dibutuhkan untuk
mendapatkan suatu keadaan hemostasis. Langkah ini dipercaya akan mampu
meminimalisir kebutuhan akan transfusi masiv

Gambar transfusi terapi pada perdarahan masiv

21
Transfusi masiv dan trauma berhubungan dengan berkembangnya koagulopaty yang
akan menyebabkan secara sekunder terjadinya kerusakan jaringan, hipoperfusi, dilusi
dan konsumsi faktor pembekuan dan platelet. Koagulopaty yang disertai dengan
hipotermi dan asidosis mempunyai prognosis yang buruk. Pada pasien dengan
transfusi masiv pedoman yang dikeluarkan oleh ASA menyatakan bahwa pemberian
awal dari cairan koloid dan kristaloid serta penambahan dari transfusi sel darah
merah. Berdasarkan pedoman ini, Fresh Frozen Plasma hanya diberikan apabila
seluruh volume darah atau lebih telah diberikan. Sedangkan untuk pemberian
transfusi platelet hanya diberikan bila terdapat perdarahan mikrovaskuler akibat
koagulopaty dan bila trombositopenia diperkirakan terjadi. 14

Pemberian FFP seharusnya dipertimbangkan bila PT lebih besar dari 1,5 kali dari nilai
normal atau INR lebih dari 2,0 dan jika pemeriksaan laboratorium tidak tersedia,
lebih dari satu kali jumlah volume darah (70cc/kgbb) telah diberikan, dan terdapat
perdarahan mikrovaskuler yang nyata. Dosis dari FFP (10-15cc/kgbb) seharusnya
memberikan sedikitnya 30% dari sebagian besar konsentrasi plasma. 3

Tansfusi Darah Autologous

Ada beberapa tipe dari transfusi darah autologous yaitu : (1) preoperatife
autologous donor, (2) Penyimpanan darah intraoperatife dan postoperatife, dan (3)
Hemodilusi normovolemik. Dua alasan utama untuk melakukan transfusi autologous
adalah untuk menurunkan atau menyingkirkan komplikasi dari transfusi darah
alogenik dan untuk menjaga ketersediaan sumber darah. Akan tetapi preoperatife
autologous donor (PAD) lebih mahal dan tidak terlalu efektif dalam menurunkan
resiko transfusi darah alogenik. 3

Pasien yang akan direncanakan untuk operasi elektif yang kemungkinan


membutuhkan transfusi darah bisa dipilih sebagai predeposit donor. Predeposit
donor harus mempunyai kadar hemoglobin minimal 11 g/dl. Sebagian besar pasien
bisa mendonasikan darahnya sebanyak 10,5 cc/kgbb darah setiap 5 sampai 7 hari
(maksimal 2 sampai 3 unit), dimana koleksi terakhir sekitar 72 jam sebelum operasi.
(3)

22
Tabel 5: Donasi Darah Autologous Preoperative

Preoperative Autologous Blood Donation (PABD)


Indikasi
- Kehilangan darah yang diperkirakan lebih dari 1000 ml
Kriteria Pasien
- Hb lebih dari 11 gr/dl
- Hct lebih dari 33%
- Umur bukan merupakan kriteria
Kontraindikasi
- Bakteremia
- Jaringan akses intravena yang susah
- Penyakit Jantung (Unstable angina, aorta stenosis, CAD)
- HIV dan HBs Ag bukan merupakan kontraindikasi

Pengumpulan darah intraoperatif yang kemudian ditransfusikan kembali ke pasien


dikatakan dapat menurunkan jumlah transfusi darah alogenik yang dibutuhkan.
Darah dikumpulkan melalui suction dengan menggunakan antikoagulan baik berupa
citrat ataupun heparin. Tekanan suction yang digunakan dibawah 100 mmhg untuk
menghindari terjadinya hemolisis dari darah yang dikumpulkan. Kemudian darah
difiltrasi untuk memindahkan debris dan disimpan dalam suatu canister sampai
jumlahnya cukup. Campuran dari darah, antikoagulan dan cairan irigasi yang berada
dalam suction kemudian dialirkan kedalam mangkuk sentrifugasi, dimana sel darah
merah yang lebih berat akan tertahan dan elemen lain yang lebih ringan akan
dikeluarkan. Kemudian sejumlah besar dari saline dialirkan ke mangkuk sentrifugasi,
dan lebih lanjut akan mengeluarkan elemen nonseluler dan debris, serta
meninggalkan sel darah merah. Campuran antara sel darah merah dan saline
dipompa dari mangkuk sentrifugasi kedalam plastik standar, yang kemudian bisa
ditransfusikan ke pasien kembali. 2,3

Komplikasi dari prosedur ini adalah termasuk terjadinya koagulopati dilusional,


transfusi ulang dari antikoagulan (heparin) yang berlebihan, hemolisis darah, emboli
udara, dan DIC. 3

23
Penggumpulan darah intraoperatif telah digunakan secara luas pada berbagai macam
jenis pembedahan. Prosedur ini diindikasikan pada kasus dimana kehilangan darah
diperkirakan melebihi 1000 ml. Prosedur ini juga bisa diterima oleh kelompok orang
yang menganut kepercaayaan tidak bisa menerima darah dari donor lain. Kasus yang
ideal untuk prosedur ini adalah pada prosedur dengan area yang terbatas, karena bila
terdapat pada area yang luas maka akan terdapat kesulitan dalam
mengumpulkannya. 3

Kontroversi utama yang berkaitan dengan pengumpulan darah intraoperative ini


terutama berkaitan bila digunakan pada operasi onkologi, dan pada kasus trauma
yang terkontaminasi. Pada kedua kasus ini kontroversi berkaitan dengan
kemungkinan terkontaminasinya material yang tidak diinginkan terutama sel tumor.

Tabel 6: perbedaan karakteristik darah dari Prosedur darah autologus dan darah dari bank
darah

Prosedur darah autologous Darah dari Bank darah


Normal 2,3 DPG Menurun kadar 2,3 DPG
Normak K K meningkat
Normal pH pH Menurun
Tidak ada pembentukan Terdapat pembentukan mikroagregasi
mikroagregasi
Resistensi normal terhadap stress Menurunnya resistennsi stress terhadap
osmotik osmotik

Pada kasus trauma abdomen, darah biasa terkontaminasi dengan isi usus, karena
juga adanya kemungkinan bakteri yang masih bisa bertahan selama proses
pengumpulan darah intraoperasi. Oleh karena efek yang berbahaya dari prosedur ini
maka para ahli berpendapat bahwa prosedur ini bisa dilakukan pada keadaan untuk
menyelamatkan nyawa dan tidak ada darah lain yang tersedia. 2

Tabel 7 : Indikasi Pengumpulan Darah Intraoperative

Indikasi dari pengumpulan darah intraoperasi


Kehilangan darah yang diantisipasi lebih dari 1000 ml
Aliran Kepercayaan (Jovannah Whitness)
24
Kesulitan dalam memperoleh darah Donor
-Tipe darah yang jarang
-Antibodi multiple
Kehilangan darah pada area yang jelas
-Operasi Vaskuler
-Operasi Ortopedi
-Operasi Trauma
-Operasi Jantung

Normovolemik hemodilusi terdiri dari mengambil bagian dari darah pasien pada awal
dari prosedur operasi dan untuk kemudian dilanjutkan dengan memasukkan infus
dari cairan kristaloid maupun koloid untuk menjaga volume intravaskuler. Titik akhir
dari prosedur ini adalah agar hematokrit tetap terjaga antara 27% sampai 33%,
tergantungg dari status paru dan kardiovaskuler pasien. Awal dari prosedur ini ,
sedikit sel darah merah pasien akan hilang per milimeter darah yang hilang selama
operasi. Dan pada saat akhir dari operasi darah pasien yang sudah diambil terlebih
dahulu yang mengandung hematokrit yang tinggi dan kaya akan faktor pembekuan
akan ditransfusikan kembali. 3

Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa DO2 merupakan produk dari CO dan
CaO2. Pada saat proses isovolemik terjadi dan sel darah merah dipindahkan dari
sirkulasi, CaO2 dari darah akan menurun, yang kemungkinan juga diharapkan akan
menyebabkan penurunan darai DO2. Tetapi sebenarnya, sampai Hct turun sampai
30%, DO2 pada dasarnya meningkat diatas garis dasar. Hal ini dikarenakan hemodilusi
dapat merubah properti rheologic dari darah. Viskositas darah akan menurun karena
hemodilusi, yang juga akan menurunkan SVR. Peningkatan dari venous return akan
menghasilkan peningkatan dari stroke volume. CO meningkat secara proporsional
melebihi penurunan CaO2, dan DO2 pun akan meningkat. 2

Akan tetapi peningkatan dari CO diikuti tanpa peningkatan dari denyut jantung, jika
volume intravaskuler tetap dijaga dalam batas normal. Hemodilusi sampai kadar
hematokrit 30% menyebabkan peningkatan 30-50% dari CO. DO2 tidak akan jatuh
kedalam nilai kontrol sampai hct kira kira sekitar 20%. Sebagai tambahan selama

25
isovolemik hemodilusi, oksigenasi dari jaringan lokal tetap terjaga dan bahkan
meningkat dengan adanya peningkatan distribusi aliran darah kapiler. 2

Tabel 8: keuntungan dari Akut Isovolemik Hemodilusi

Kehilangan sel darah merah menurun pada setiap milimeter perdarahan operasi
Dapat membantu menyediakan darah segar bila dibutuhkan
Perfusi jaringan tetap terjaga

Prosedur ini dilakukan dengan cara memindahkan darah pasien sesaat setelah
induksi anestesi melalui suatu akses intravena yang besar dan disimpan dalam
kantong darah standar yang mengandung antikoagulan. Secara simultan cairan
kristaloid dalam rasio 3:1 atau koloid dengan rasio 1:1 diinfuskan melalui akses
intravena yang lain. Jumlah darah yang dipindahkan bisa dikalkulasikan dengan
menggunakan formula yang digunakan untuk menghitung allowable blood loss,
formula yang biasa digunakan adalah; 2

Volume darah yang dipindahkan (ml) : (Hcta x Hct b x EBV)/(Hcta+Hctb/2)

 Hcta : Hematokrit awal


 Hctb : Target hematokrit yang ingin dicapai
 EBV : Perkiraan jumlah volume darah

Pada dasarnya Hct pertengahan (25-27%) digunakan ; hal ini akan dapat
memberikan toleransi untuk substansi hemodilusi pada batas yang aman bilamana
darah mulai hilang selama pembedahan. Sebagai contoh , Hcta:40%,
EBV:70mlx70kg=4900ml, dan Hct b:27% maka perhitunganya adalah:

(40-27x4900)/(40+27/2)=1900

Sehingga dengan perhitungan ini 3-4 unit dari darah pasien bisa dipindahkan
untuk ditransfusikan kemudian bila diperlukan. Unit darah yang telah dipindahkan
kemudian dilabel dan diberikan nomor secara berurutan sesuai dengan urutan
pengambilan darah. Unit darah yang pertama yang diambil yang sedikit didilusi dan
paling banyak mengandung sel darah merah, plasma faktor dan platelet, seharusnya
ditransfusi kembali paling akhir. 2

Tabel 9 : Seleksi Pasien Untuk Akut Isovolemik Hemodilusi


26
Indikasi
- Kehilangan darah yang diperkirakan lebih dari 1000 ml
- Hematokrit awal lebih dari 36%
Kontraindikasi
- Anemia
- Coronary artery desease
- Gangguan Fungsi ventrikel kiri
- Gangguan katub jantung
- Penyakit ginjal
- Penyakit Paru
- Stenosis Carotid

TERAPI DARAH PADA PASIEN KRITIS

Anemia merupakan temuan yang umum yang dapat ditemui pada pasien yang
membutuhkan perawatan ICU untuk waktu yang lama. Kenyataan bahwa anemia
merupakan sesuatu yang sering ditemui di ICU sehingga muncullah istilah anemia
pada pasien kritis. Anemia merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan
menurunnya pengangkutan oksigen oleh darah. Dimana daya pengangkutan oksigen
oleh darah paling baik ditentukan oleh kadar sel darah merah dalam darah. Karena
kadar dari sel darah merah sulit diukur secara klinis maka anemia dalam penggunaan
klinis sering dihubungkan dengan kadar Hb dalam darah. Badan Kesehatan dunia
(WHO) mendefinisikan anemia sebagai suatu keadaan dimana kadar hemoglobin
darah dibawah nilai normal. 6,15

Secara umum kadar konsentrasi Hb merupakan indikator yang bagus untuk mewakili
massa dari sel darah merah, namun perubahan dari volume plasma dapat
merancukan masalah ini. Sebagai contoh peningkatan dari volume plasma akan dapat
menurunkan kadar Hb, yang bisa diinterpretasikan sebagai tanda perburukan
anemia, walaupun kadar dari sel darah merah tidak berubah. Anemia pada
kehamilan merupakan contoh yang paling lazim ; selama kehamilan jumlah dari sel
darah merah meningkat hampir 50% tapi konsentrasi Hb biasanya turun karena
volume plasma meningkat sampai 50%. Pada pasien pembedahan dan pasien kritis
fluktuasi dari volume plasma sering terjadi karena adanya resusitasi cairan dan
meningkatnya kebocoran kapiler. 15

27
Prevalensi Anemia Pada Pasien Kritis

Perkiraan prevalensi anemia pada pasien kritis bervariasi. Hal ini karena adanya
perbedaan yang nyata antara berbagai macam kasus dan beratnya penyakit yang
terdapat dalam ICU dalam suatu negara ataupun antar negara. 15

Anemia kadang kadang berkembang pada fase awal dari perjalanan penyakit pasien
kritis. Banyak pasien sudah dalam keadaan anemia pada saat masuk ke ICU. Pada
epidemiologi terbaru sebanyak 146 orang eropa yang dirawat di ICU, sebanyak 63%
pasien yang menderita sakit kritis mempunyai Hb kurang dari 12gr/dl. Studi terbaru
pada proses transfusi di UK Teaching Hospital menemukan bahwa kadar Hb kurang
dari 9 gr/dl terjadi pada 55% pasien yang tinggal di ICU lebih dari 24 jam, pada hari
pertama dan kedua di ICU terdapat 52% dan 77%. Dan bahkan pada pasien pasien
yang dirawat di ICU tanpa adanya perdarahan yang nyata terdapat variasi penurunan
kadar Hb sebesar 0,52g/dl/hari. Penurunan ini lebih besar pada hari pertama sampai
hari ketiga dan terutama pada pasien sepsis. 7,15

Tabel 10 : Nilai Normal dari Parameter Sel Darah Merah 6

Sel Darah Merah Rata rata Volume sel darah merah


Laki-laki : 4,6-6,2 X 1012L Laki-laki : 80-100X 10-15L
Perempuan: 4,2-5,4X 1012L Perempuan : Sama

Hitung Jumlah retikulosit Hematokrit


Laki-Laki : 25-75X109L Laki-Laki : 40-54%
Peremapuan: Sama Perempuan : 38-47%
Volume sel darah Merah Hemoglobin
Laki-laki : 26 ml/kg Laki-laki:14-18 gr/dl
Perempuan: 12-16 gr/dl

ETIOLOGI ANEMIA PADA PASIEN KRITIS


28
Anemia pada pasien kritis bisa dihasilkan sebagai akibat kehilangan darah,
penurunan produksi sel darah merah, peningkatan proses destruksi sel darah merah
dll. semua proses ini memegang peranan dalam menyebabkan anemia pada pasien
kkritis. 15

Kehilangan darah

Kehilangan darah sebelum dirawat di ICU memegang peranan penting dalam


menyebabkan anemia pada pasien kritis. Penelitian yang dilakukan oleh ABC (Anemia
n Blood Transfusion in Critical Care) menemukan bahwa pasien yang dimasukkan ke
ICU setelah menjalani pembedahan emergency mempunyai konsentrasi hemoglobin
yang rendah (10,8g/dl) diikuti oleh pasien setelah operasi elektif (11,0gr/dl), Trauma
(11,5gr/dl), dan alasan medis (11,9 gr/dl) . 15

Phlebotomi merupakan faktor mayor yang lain yang menyebabkan terjadinya anemia
pada pasien kritis. Volume darah yang diambil untuk pemeriksaan laboratorium
berkisar antara 40-70 ml setiap hari untuk pasien ICU. Pada keadaan kehilangan
darah sekitar 70 ml perhari akan menyebabkan kehilangan darah sebanyak 500 ml
setiap minggu, ada beberapa cara yang bisa dipakai untuk mengurangi kehilangan
darah akibat phlebotomi antara lain : 6,15

 Pada saat sampel darah diambil dari kateter vena sentral, 5 ml darah awal diambil
untuk menghindari kontaminasi darah dengan cairan intravena. Kemudian
mengembalikan 5 ml darah yang diambil diawal ini ke dalam sirkulasi pasien dapat
menurunkan angka kehilangan darah akibat phlebotomi sebanyak kurang lebih 50%
 Alat laboratorium yang digunakan untuk analisis darah pada pasien anak
membutuhkan contoh darah yang lebih sedikit dibandingkan pada orang dewasa.
Penggunaan alat tes laboratorium anak anak pada pasien dewasa di ICU dapat
menurunkan angka kehilangan darah akibat phlebotomi sekitar 47%

Penyebab lain dari kehilangan darah adalah karena adanya perdarahan


gastrointestinal. Perdarahan gastrointestinal yang disebabkan karena ulserasi dari
faktor stress merupakan komplikasi yang penting pada pasien dengan sakit kritis.
Faktor resiko antara lain termasuk adanya penggunaan ventilasi makanik,
koagulopati, dan gagal ginjal. Akan tetapi perdarahan gastrointestinal, termasuk

29
kehilangan darah yang tersembunyi, merupakan hal yang tidak umum terjadi pada
pasien kritis yang dirawat di ICU terutama bagi pasien yang menerima obat obat
ulkus profilaksis. Sebagai contoh berdasarkan hasil study endoskopi yang dilakukan
di ICU menemukan bahwa frekuensi dari gastritis erosif akut mencapai 21,7%. Dan
setelah 3 hari perawatan di ICU frekuensinya meningkat menjadi 37,5% pada pasien
yang menerima profilaksis dan 88,9 pada pasien tanpa profilaksis. 7,15,16

Beberapa penelitian mempelajari tentang adanya hubungan yang kuat antara


gagal ginjal akut dan berkembangnya anemia. Asal dari hubungan ini masih belum
jelas namun kemungkinan disebabkan karena berhubungan dengan kehilangan darah
akibat renal replacement therapy, walaupun penyebab lain seperti terganggunya
produksi eritropoitin juga merupakan faktor yang menentukan. 15

Memendeknya masa hidup Sel darah merah

Adanya aktivasi komplemen, seperti yang biasanya terjadi pada pasien kritis dengan
sistemik inflamatory response syndrome (SIRS) atau sepsis, bisa mempotensiasi
terjadinya destruksi sel darah merah yang prematur, walaupun tidak terdapat bukti
terjadinya hemolisis intravaskuler. Beberapa penelitian melaporkan terjadinya
penurunan deformabilitas sel darah merah pada pasien yang menderita sepsis, dan
pada penelitian yang terpisah menyatakan bahwa menurunnya deformabilitas dari
sel darah merah berhubungan dengan menurunnya viabilitas dari sel darah merah. 15

Terganggunya Eritropoiesis

Berdasarkan audit dari praktik transfusi menemukan terdapat banyak kasus bahwa
pemberian transfusi pada kadar hb yang rendah tidak disertai adanya perdarahan
akut. Kehilangan darah yang tersembunyi selalu dihubungkan karena pada pasien –
pasien yang kritis produksi sel darah merah mereka tidak normal. Beberapa
penelitian menemukan ketidakcocokan antara kadar retikulosit yang rendah pada
pasien-pasien dengan sakit kritis. Respon dari penekanan sumsum tulang belakang
ini muncul berhubungan dengan adanya status inflamasi yang bersifat persisten.
Beberapa mekanisme mungkin terlibat , beberapa diantaranya berimplikasi pada
anemia pada penyakit kronis. Pertama dengan adanya sel sel citokin inflamasi seperti
tumor necrosis faktor, interleukin-1 dan interleukin-6 secara langsung dapat

30
menghambat formasi atau pembentukan dari sel darah merah. Peningkatan
konsentrasi dari cytokin ini sering ditemukan pada sirkulasi darah pasien dengan sakit
kritis. 15

EFEK ANEMIA PADA PASIEN KRITIS

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kadar Hb memegang peranan dalam
pengaturan kadar pengangkutan oksigen (DO2). Hal ini bisa dilihat secara mudah
dengan melihat bila terjadi penurunan kadar Hb maka akan mempunyai efek
terhadap DO2 kecuali mekanisme kompensasi terjadi. Oksigen dibawa dalam darah
dalam bentuk terikat dengan plasma dan terikat dengan Hb. Kandungan oksigen pada
darah arteri (CaO2) dapat disamakan dengan persamaan:

CaO2=(1,34xHbxSaO2)+(0,23xPaO2) ml/jam

Setiap gram Hb terikat pada 1,34 ml O2 bila dalam keadaan saturasi bagus. SaO2
mewakili kadar saturasi oksigen darah arteri. Jumlah oksigen yang terlarut dalam
plasma disamakan dengan 0,23 dikali dengan tekanan parsial oksigen di darah arteri.
Pada orang yang sehat 98 % oksigen ditransport bersama dengan Hemoglobin dan
jumlah oksigen yang terlarut dalam plasma dapat diabaikan 7,15

Dari persamaan diatas dapat disimpulkan terjadinya hipoksia jaringan bisa


disebabkan karena menurunnya kadar pengangkutan oksigen yang dihasilkan karena
menurunnya aliran darah, dan menurunnya kadar Hb. Pada Individu yang sehat
dalam keadaan istirahat konsumsi oksigen berkisar 250 ml oksigen tiap menit, ini
yang disebut sebagai oksigen uptake atau kadar konsumsi oksigen (VO2). Rasio antara
konsumsi oksigen dan deliveri oksigen disebut sebagai rasio ekstraksi oksigen (O2ER)

O2ER = VO2/DO2

Nilai normal dari O2ER adalah 0,2-0,3, yang mengindikasikan bahwa hanya 20-30%
dari oksigen yang diangkut ke kapiler digunakan oleh jaringan. Kompensasi tubuh
dalam menghadapi terjadinya anemia yang utama adalah meningkatnya CO dan
O2ER. Peningkatan CO yang terjadi selama anemia normovolemia terjadi karena
berkurangnya viskositas dari darah yang akan menurunkan SVR, yang secara otomatis
akan meningkatkan venous return dan mengakibatkan meningkatnya CO.

31
Peningkatan dari denyut nadi dan kontraktilitas miocard memegang peranan yang
kecil dalam meningkatkan CO pada jantung yang normal pada keadaan anemia
selama status normovolemia tetap dijaga. 15

Kompensasi utama yang kedua dengan jalan menyeimbangkan antara oksigen


delivery dan oksigen demand di jaringan dengan meningkatkan kadar ekstraksi
oksigen. Pada aliran darah sistemik, terdapat redistribusi darah yang tinggi pada
daerah atau organ yang kebutuhannya tinggi seperti otot jantung dan otak. Pada
mikrosirkulasi tedapat berbagai macam mekanisme yang membantu untuk
memelihara oksigenasi jaringan. Sel darah merah pada umumnya akan kehilangan
oksigen selama perjalanan nya menuju ke pembuluh darah kecil, namun pada
keadaan status anemia, aliran darah akan meningkat dan kehilangan oksigen pada
daerah prekapiler akan menurun. Efek akhir dari mekanisme kompensasi ini adalah
berupa penggunaan sel darah merah yang lebih efisien dalam keadaan anemia. 15

Pada keadaan anemia kronis terdapat peningkatan konsentrasi 2,3


disphosphogliserate (2,3 DPG) dalam sel darah merah. 2,3 DPG ini akan bersama
dengan oksigen akan berikatan dengan Hb. Peningkatan kadar 2,3 DPG ini akan
menurunkan afinitas Hb terhadap oksigen dan akan mengakibatkan menumpuknya
oksigen pada jaringan. Penelitian pada pasien kritis menemukan bahwa terlalu tinggi
ataupun rendah kadar dari 2,3 DPG pada sel darah merah akan mempengaruhi
beberapa faktor lain seperti terjadinya hipoksemia dan status asam basa. 15

Respon fisiologi terhadap terjadinya anemia yang bersifat normovolemia adalah


dengan menjaga oksigenasi jaringan . namun pada saat titik dimana kompensasi
berupa meningkatnya CO dan nilai ekstraksi oksigen mencapai nilai maksimal dan
tidak bisa meningkat lagi.

Penurunan kadar Hb yang lebih lanjut akan menyebabkan terjadinya penurunan


kadar pengangkutan oksigen (DO2) .

Tabel 11 :Pengaruh Relatif Anemia terhadap kapasitas pengangkutan Oksigen pada darah
arteri

Parameter Normal Anemia Anemia+terapi


oksigen

32
Inspirasi 21 21 100
Oksigen (%)
PaO2 (Kpa) 12 12 85
SaO2 (%) 98 98 98
Konsentrasi 15 7,5 7,5
Hb (g/dl)
Oksigen 3 3 19
yang
terlarut
(ml/l)
Hb yantg 197 98 98
berikatan
dengan
Oksigen
(ml/l)
Total CaO2 200 101 117
(ml/l)

Titik ini disebut sebagai “Critical DO2”. Pada titik ini dimana produksi energi yang
dihasilkan oleh sel menjadi terbatas karena supply oksigen yang menurun .
Konsentrasi Hb pada kadar titik kritis DO2 ini disebut sebagai konsentrasi Hb kritis.
Tapi perlu diperhatikan bahwa nilai dari critical DO2 merupakan nilai yang tidak
tetap, tapi bervariasi sesuai dengan organ dan aktivitas metabolik jaringan masing-
masing 15

Tabel 12: Faktor klinik yang bisa meningkatkan terjadinya kadar Hb kritis

Faktor klinis yang bisa meningkatkan terjadinya kadar Hb kritis


Menurunnya oksigen Delivery
 Menurunnya kardiac output
-Penyakit premorbid seperti CAD, penyakit katub jantung
-Hypovolemia karena meningkatnya kebocoran kapiler
-aritmia
-Emboli paru
-Penyakit yg berhubungan dengan otot jantung seperti kardiomiopati
 Hipoksemia sekunder yang diakibatkan oleh gagal nafas seperti ALI atau ARDS
Peningkatan konsumsi oksigen

33
 Nyeri,stress,cemas
 Mengigil
 Demam
 Infeksi berat
 Sepsis
 Trauma
 Pembedahan
 Luka bakar
 Kejang
 Meningkatnya usaha pernafasan pada saat weaning ventilator
 Terapi obat adrenergic
Tabel 13 : Parameter fisiologis yang bisa digunakan untuk menilai adekuatnya
oksigenasi jaringan pada pasien kritis

Parameter Keterangan
 Oksigen delivery Merupakan suatu tehnik gold standar
dengan menggunakan metode
thermodilusi dan memerlukan kateter
arteri pulmonal yang bersifat invasive,
 Saturasi oksigen arteri metode lain yang bersifat kurang
invasive dengan menggunakan
monitor dopler oesophageal.
Pulse kkontinyu oximetri
Parameter Whole Blood Bisa diukur dengan menggunakan
 Konsumsi Oksigen calorimetri langsung.
 Rasio ekstraksi Oksigen
Membutuhkan kateter arteri
pulmonal, nilai normal 0,2-0,3, O2ER
lebih dari 0,5 dengan kardiac output
 Konsentrasi laktat pada darah yang tidak adekuat merupakan
indikasi untuk melakukan transfusi sel
 Acidemia
darah merah.
Nilai normal kurang dari 2 mmmol/l.
Hyperlaktatemia lebih dari 4 mmol/l.
Tidak spesifik untuk hipoksia jaringan
Parameter Organ yang spesifik Merupakan parameter yang sensitive dan
 Analisa segmen ST spesifik untuk mengetahui adanya iskemia
miocard.
 Tonometri Gaster
34
Merupakan suatu balon CO2 silikon
permeabel yang ditempatkan pada ujung
NGT. Alat ini mengukur tekanan parsial dari
CO2 (PCO2) pada mukosa gaster. PCO2 gaster
ini kemudian digunakan untuk menghitung
pH mukosa gaster dengan menggunakan
persamaan hendersen – Haselbach.
Penurunan pH mengindikasikan adanya
penurunan aliran darah mukosa.

KEPUTUSAN TRANSFUSI PADA PASIEN KRITIS

Praktik transfusi pada pasien kritis merupakan suatu hal yang cukup sulit dan serius
karena masih terbatasnya kemampuan kita dalam mengidentifikasi titik dimana anemia
tersebut dapat menganggu oksigenasi jaringan. Keputusan untuk melakukan transfusi
biasanya dilakukan hanya dengan melihat kadar hemoglobin yang tidak dapat mewakili
sepenuhnya tentang status dari oksigenasi jaringan, dan dapat mengakibatkan terjadinya
transfusi yang bersifat eksesif. 6

Hemoglobin

Pada mulanya pada tahun 1942 konsentrasi hemoglobin 10 gr/dl dan hematokrit 30%
yang dikenal sebagai aturan “10/30” merupakan suatu standar yang berlaku selama
hampir 50 tahun. Namun akhir akhir ini terdapat bukti bahwa kadar hemoglobin
rendah sampai 7 gr/dl dengan hematokrit 21% merupakan kadar Hemoglobin aman
bagi sebagian besar pasien, dan kadar hemoglobin ini telah dipakai sebagai acuan
untuk melakukan transfusi terhadap sebagian besar pasien ICU. Konsentrasi
Hemoglobin yang lebih tinggi yaitu 10 gr/dl masih tetap disarankan untuk keadaan
keadaan sebagai berikut 6 :

 Pasien yang dirawat dengan adanya penyakit jantung koroner


 Sebagai manajemen awal untuk pasien dalam keadaan sepsis berat atau syok septik

Nilai Ekstaksi Oksigen

35
Penurunan progresif dari pengangkutan O2 sistemik ( yang disebabkan karena
anemia ) dapat menganggu oksigenasi jaringan hanya apabila ekstraksi O2 dari
kapiler sistemik meningkat mencapai level maksimum sekitar 50%, oleh karena itu
nilai dari ekstraksi O2 50% dapat dijadikan sebagai tanda adanya suatu keadaan yang
mengancam oksigenasi jaringan. 6

Kadar dari ekstraksi O2 secara kasar dapat disamakan dengan perbedaan antara nilai
saturasi O2 arteri (SaO2) dan O2 saturasi Vena sentral (Scv O2)

O2 Ekstraksi (%) = (SaO2-ScvO2)

SaO2 secara rutin dimonitor melalui pulse oksimetri, dan ScvO2 bisa dimonitor
secara kontinyu melalui kateter vena sentral fiberoptik. Nilai ini merupakan metode
yang bersifat lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan kadar hemoglobin
dalam mengidentifikasi kapan suatu anemia dapat menjadi ancaman terhadap
oksigenasi jaringan. 6

STRATEGI KLINIK UNTUK MENGHINDARI TRANSFUSI

Strategi klinik untuk menghindari transfusi saat ini merupakan pertimbangan yang
rutin dilakukan dalam periode perioperatif setiap pasien yang akan menjalani
pembedahan mayor. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan pada masa periopetatife
ini . 17

Pra-Penilaian klinik dan pertemuan tim multidisiplioner

Pra-penilaian klinik merupakan langkah yang akurat dalam menyelidiki dan


memperbaiki anemia yang ditemukan pada pemeriksaan rutin. Defisiensi besi,
vitamin B12 dan folat harus dikoreksi sebelum dilakukan pembedahan elektif.
Penggunaan eritropoietin yang dikombinasikan dengan zat besi zat besi telah
digunakan untuk meningkatkan konsentrasi hemoglobin sebelum pembedahan,
sehingga dapat menurunkan kebutuhan untuk transfusi. Implikasi dari menghindari
penggunaan agen anti platelet (aspirin dll) sebelum pembedahan mayor yang
diperkirakan akan mengakibatkan kehilangan banyak darah harus diputuskan pada
saat pra-penilaian klinik. Jika aman untuk dilakukan , maka obat ini harus dihentikan
seminggu sebelum pembedahan. 17

36
Donasi autologous preoperative merupakan tehnik yang digunakan untuk
menghindari transfusi darah. Donasi darah sekitar 10 ml/kgbb setiap minggunya
diambil dari pasien yang bersangkutan. Penggunaan zat besi dan eriitropoietin juga
bermanfaat dalam meningkatkan kecepatan pemulihan sel darah merah sebelum
donasi berikutnya. 17

Pertemuan para ahli multidisiplioner berguna untuk mendiskusikan bagaimana


pendekatan yang paling baik dilakukan untuk pembedahan. Hal ini termasuk diskusi
tentang bagaimana kemungkinan dilakukan operasi minimal invasive atau operasi
pembedahan yang terbuka, atau operasi yang dilakukan secara bertahap. 17

Tabel 14: Tehnik Pre-operatif untuk menghindari transfusi darah. 17

Tim Multidisiplioner Anestesi


Ahli bedah
Hematologist
Farmakologist
Hematinics Zat besi
Vitamin B12
Folat
Farmakoterapi Eritropoietin
Riwayat Pengobatan Penghentian pengobatan antiplatelet
atau antikoagulan bila memungkinkan
Lain-lain Donasi autologous Preoperative

Strategi Intraoperative untuk menghindari Transfusi

Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam menghindari transfusi pada
periode intraoperatif, beberapa strategi itu antara lain : 17,18

1. Posisi Pasien

37
Tehnik ini merupakan sesuatu yang sangat penting terutama pada posisi prone,
penggunaan pengganjal pada bagian dada dan pelvis dapat menurunkan tekanan
pada vena cava inferior sehingga akan mengalirkan darah yang lebih besar melalui
vena cava inferior dan lebih sedikit yang melalui vena pleksus vertebra. Menaikkan
posisi tempat operasi diatas jantung juga dapat bermanfaat. 17
2. Ventilasi
Meminimalisasi tekanan rata rata intratorakal selama ventilasi positif dengan
penggunaan PEEP yang minimal dan tidal volume yang rendah dapat meningkatkan
venous return, yang akan menurunkan kehilangan darah. 17
3. Hipotensi Kendali
Definisi dari hipotensi kendali yang dapat diterima adalah dengan MAP 50 mmhg,
berdasarkan estimasi pada nilai ini, masih ( masih dihapus ) tekanan perfusi cerebral
pada populasi penduduk yang sehat masih dinyatakan aman. 17
4. Agen antifibrinolitik
Asam traneksamat telah banyak digunakan untuk menurunkan perdarahan baik pada
pembedahan ortopedi maupun pembedahan jantung.
5. Tehnik Hemodilusi Normovolemik akut
Tehnik ini dilakukan dengan mengambil sekitar 450 cc darah kedalam kantong
standar yang berisi sitrat, posfat, dekstose,dan adenin dengan infus kontinyu dari
koloid untuk menjaga status normovolemia. 17
6. Normotermia
Normotermia akan menjaga level koagulasi pasien dalam keadaan normal, sedangkan
hipotermia akan mengakibatkan pasien dalam keadaan hipokoagulable akibat efek
terhadap fungsi enzim dan kaskade pembekuan. 17

Tabel 15: Metode Pencegahan transfusi intraoperative

Anestesi Posisi pasien


Ventilasi
Hipotensi Kendali
Normotermia
Tehnik Pembedahan Tehnik pembedahan minimal invasive
Prosedur operasi bertahap

Antifibrinolitik Asam Traneksamat


Teknik Hematologi Dilusi normovolemik akut
Cell salvage

38
Strategi postoperative untuk menghindari Transfusi

Mentransfusikan kembali darah dari drain luka

Darah dapat dikumpulkan dari drain sebelumnya diolah dahulu melalui jalan filtrasi
sederhana atau disentrifugasi dan dicuci. Mentransfusikan kembali darah dari drain
ini umum dilakukan pada operasi ortopedi dan dipertimbangkan aman jika
volumenya dibatasi kurang dari 1 liter dan prosesnya selesai dalam waktu kurang dari
6 jam. 17,18

Ambang Transfusi

Tidak diragukan lagi bahwa sebagian besar penurunan jumlah transfusi pada periode
perioperative yang terjadi pada beberapa tahun terakhir disebabkan karena semakin
majunya ilmu pengetahuan para ahli yang menurunkan ambang transfusi menjadi 8-9
gr/dl. 17,18

Tabel 16 : Teknik posoperative untuk menghindari transfusi

Manajemen Menurunkan ambang nilai transfusi


Normothermia
Tes darah seminimal mungkin
Teknik Reinfusion drain

RINGKASAN

1. Keputusan untuk melakukan terapi darah atau transfusi pada pasien memerlukan
pertimbangan yang matang dan dapat dimengerti tentang resiko dan keuntungannya.
2. Penyimpanan darah dapat mempunyai efek yang bervariasi terhadap komponen
darah dan terapi darah.
3. Pertimbangan untuk melakukan terapi darah meliputi kombinasi antara lain monitor
kehilangan darah, monitor perfusi dan oksigenasi organ vital, dan monitor
konsentrasi hemoglobin.
39
4. Transfusi sel darah merah berguna selain untuk meningkatkan volume intravaskuler
juga untuk meningkatkan daya angkut oksigen.
5. Transfusi platelet diindikasikan untuk pencegahan dan terapi perdarahan pada pasien
dengan trombositopenia atau gangguan fungsi platelet.
6. Transfusi Fresh Frozen Plasma dilakukan untuk pengobatan pada kasus perdarahan
yang diakibatkan oleh defisiensi faktor pembekuan darah.
7. Transfusi granulosit dilakukan pada pasien neutropenik dengan infeksi bakteri yang
tidak respon terhadap pemberian antibiotik.
8. Reaksi hemolitik akut terjadi karena adanya inkompatibilitas darah yang
mengakibatkan terjadinya hemolisis sel darah yand dapat berakibat fatal.
9. Reaksi alergi terjadi karena adanya antibodi resipien terhadap komponen plasma
donor.
10. Overload sirkulasi akibat terapi darah biasanya terjadi pada pasien usia lanjut dengan
gangguan jantung dan atau gangguan ginjal.
11. Reaksi febris non hemolitik adalah peningkatan temperatur lebih dari 1ᵒC yang
mengikuti suatu prosedur transfusi darah yang tidak bisa dijelaskan dengan kondisi
klinis pasien.
12. Insiden infeksi akibat transfusi darah menurun secara nyata setelah berkembangnya
uji tes darah donor.
13. TRALI merupakan suatu syndroma distress pernafasan yang terjadi antara 6 jam
setelah transfusi dari produk darah.
14. Transfusi masif merupakan transfusi lebih dari 3000 ml atau lebih dari 10 unit sel
darah merah selama 24 jam.
15. Transfusi darah autologous bertujuan untuk menurunkan atau menyingkirkan
komplikasi dari transfusi darah alogenik dan untuk menjaga ketersediaan sumber
darah.
16. Anemia merupakan temuan umum pada pasien kritis yang dirawat di ICU.
17. Anemia dapat berkembang pada fase awal perjalanan penyakit pasien kritis.
18. Anemia pada pasien kritis dapat dapat disebabkan karena kehilangan darah,
penurunan produksi sel darah merah, dan peningkatan proses destruksi sel darah
merah.
19. Efek anemia pada pasien kritis dapat mengakibatkan menurunnya kadar
pengangkutan oksigen menuju organ-organ vital.
20. Keputusan untuk melakukan transfusi pada pasien kritis didasarkan atas kadar
hemoglobin dan monitor perfusi dan oksigenasi organ vital yang nilai standarnya
berbeda dari pasien normal yang memerlukan transfusi darah.
21. Strategi untuk menghindari transfusi darah dapat dilakukan pada periode
perioperatif, baik sebelum operasi, selama operasi, maupun sesudah operasi.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Paul C. Herbert, MD and Bernard J. Mc Donald. Overview of Transfusion Practices in


Perioperative and Critical Care. University of Ottawwa Center Transfusion research. 2003, 15-
20.
2. Allan p. Reed, MD. Transfusion Reaction and Blood Replacement, Clinical Cases in
Anesthesia. Churchill Livingstone. 2005, 269-73, 287-95.
3. Robert K. Stoelting, MD. Blood Therapy in Basic of Anesthesia. Churchill Livingstone. 2009,
355-61.
4. Engoren, M. Transfusion: is merely not bad good enough. Department of anesthesiologi,
Mercy St Vincent Medical Center, OH, USA. 2011; 907-8.
5. James Duke, MD. Transfusion Therapy in Anesthesia Secrets. Department of anesthesiology
University of Colorado, 2006: 39-45.
6. Paul L. Marino. Anemia and Erythrocyte Transfusion in The Little ICU Book of Facts and
Formula. 2005.:479-503.
7. Ian McConachie. Handbook of ICU Therapy. Cambridge University Press. 2006: 35-50.
8. P.I. Johanson, S.R. Ostrowski and N.H. Secher. Management of major blood loss: An update.
Department of Anesthesiology University of Copenhagen. 2010: 1039-45.
9. Mohammad Hassan Murad, James R. Stubbs. Manish J. Gandhi, Amy T Wang. The effect of
plasma transfusion on morbidity and mortality:a systematic review and meta analysis.
Depatment of Transfusion Medicine, Mayi Clinic, minessota. 2010; 1371-76.
10. British Jurnal of Hematology. Guidelines for the use of platelet transfusion. 2003: 10-16.
11. G. Edward morgan jr. Maged S Mikail, Michael j. Murray. Fluid management and Transfusion
in Clinical anesthesia. 2006: 1320-5.
12. Anne C.E Moor. Tom M.A.R Dubbelman, John VanStevenick and Anneke Brand. Transfusion-
Transmitted diseases; risks, prevention and perspectiives. European Journal of
Haematology.1999;1-6.
13. Wendy N. Erber. Massive blood transfusion in elective surgical setting. Department of
Haematology, western Australian Center for Pathology and Medical Research, australia.
2009. 84-92.
14. Par I. Johansson and Jacob Stensballe. Hemostatic resuscitaton for massive bleeding: the
paradigm of plasma and platelets-a review of the current literature. Copenhagen University
Hospital, Denmark. 2009: 701-07.
15. S.A McLellan, D.B.L McClelland, T.S Walsh. Anemia and red blood cell transfusion in critically
ill patient. University Department of anesthesia, Critical Care and Pain Medicine.United
kingdom. 2003;195-202.

41
16. Joseph E Parrillo and Phillip Delunger. Use of blood component in intensive care unit. Critical
care medicine Principles of diagnosis and management in the adult, third edition. 2007:
1250-60.
17. Susan D. Roseff, MD. Guidelines for Transfusion: A way to Decrease Transfusion. Virginia
Commonwealth University Medical center Virginia USA. 27-32.
18. James R Cole. Michael H cross. Clinical strategies to avoid blood transfusion. 2008;47-9.

BAGIAN ILMU ANESTESI REFERAT I


PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI FEBRUARI 2012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

42
MANAJEMEN TERAPI DARAH PADA PERIODE PERIOPERATIF
DAN PASIEN KRITIS

Oleh
CAHYA HENDRAWAN
C113208103

Pembimbing
Dr. Wahyudi sp.An, KAP

DIBAWAKAN SEBAGAI SALAH SATU TUGAS


PADA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BIDANG STUDI ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF DAN PENANGANAN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012

43

Anda mungkin juga menyukai