Anda di halaman 1dari 3

“Hingga 20 Mei lalu hampir 5.

000 kaum urban telah masuk Jakarta”


Jakarta (ANTARA) – Perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke perkotaan telah menjadi fenomena
yang selalu terjadi setelah Hari Raya Idul Fitri.
Biasanya fenomena itu lekat dengan arus mudik dan arus balik setelah Idul Fitri atau Lebaran. Di masa
normal, fenomena itu terlihat di terminal-terminal bus antarkota, stasiun kereta, pelabuhan dan bandara.
Pandangan warga setempat terhadap kisah sukses pemudik menjadi data pikat bagi warga untuk mencari
keberuntungan hidup di perkotaan.
Itulah sebabnya fenomena perpindahan penduduk dari desa ke perkotaan selalu terjadi dan sulit dibendung.
Perpindahan yang lazim disebut sebagai urbanisasi itu terjadi dengan sejumlah alasan. Pertama, kesempatan
atau peluang pekerjaan yang berujung pada pertimbangan pendapatan.
Kedua, tantangan yang dihadapi pada usaha di sektor pertanian yang dinilai semakin berat. Beban biaya
pengolahan lahan yang dinilai semakin berat dibanding harga jual produksinya.
Hal itu memicu sebagian warga terutama anak-anak muda meninggalkan kampungnya untuk mengembara
mencari kehidupan ke perkotaan.
Fenomena itu mengakibatkan sektor pertanian kehilangan kader-kader muda.
Sebagian lahan pertanian di Lampung Tengah, misalnya, dibuka oleh Belanda tahun 1930-an melalui
program kolonisasi.
Petani-petaninya didatangkan dari Pulau Jawa kemudian ditempatkan secara berkelompok di bedeng-bedeng
yang diberi nomor 1 hingga 60-an.
Lambat-laun kelompok bedeng-bedeng itu berkembang menjadi perkampungan dan kini menjadi desa.
Bahkan telah ada pula yang dimekarkan menjadi kelurahan dan kecamatan.
Lebih sembilan dasawarsa pertanian menjadi tumpuan hidup para peserta program kolonisasi itu. Tetapi kini
petaninya kebanyakan adalah orang-orang tua karena anak-anak muda lebih memilih ke kota.
Pengharapan
Fenomena itu, dalam perspektif sosiologi perkotaan, tak lepas dari pemahaman sebagian besar warga
pedesaan terhadap sebuah perkotaan.
Kota dianggap sebagai pengharapan untuk masa depan.
Kota juga diperspektifkan seperti lilin yang bersinar terang, sementara laron-laron mengerubuti.
Di saat harga-harga jual produksi pertanian turun, anak-anak muda pun melangkahkan kaki ke kota
meninggalkan bapak dan ibunya yang setia dengan sawah serta kebunnya.
Disparitas harga produk pertanian antara desa dengan perkotaan merupakan persoalan yang perlu menjadi
perhatian serius pihak-pihak terkait.
Ketika warga DKI Jakarta dan sekitarnya merasakan pedasnya harga cabai hingga Rp150 ribu per kilogram
(kg), petani merasakan harga jual jauh sekali di bawah itu.

Itulah yang sedang terjadi hari-hari ini. Bahkan wabah virus corona (COVID-19) pun tak mampu
membendung urbanisasi.
Kendati tak sedahsyat masa normal, urbanisasi termasuk anak-anak muda sedang terjadi. Mereka pun
menyasar Jakarta dan sekitarnya.
Pada periode setelah Lebaran hingga 20 Mei lalu hampir 5.000 kaum urban telah masuk Jakarta. Mereka
beranjak dari daerah bersamaan dengan arus balik, diajak atau ikut teman sekampungnya atau
saudara/kerabat.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta Budi
Awaludin menyampaikan data bahwa hingga 20 Mei lalu sebanyak 4.696 warga tak ber-KTP DKI atau
pendatang baru masuk ke Jakarta setelah mudik Lebaran 2021.
Pekan ini dan pekan depan jumlahnya pasti lebih banyak lagi.
Pendatang sebanyak 4.696 orang itu terdiri atas 3.191 laki-laki dan 1.505 perempuan. Jumlah ini
berdasarkan hasil rekapitulasi dari aplikasi data warga terhadap para pemudik yang tiba di Jakarta.
Tujuan utama dari para pendatang baru tersebut adalah ke Jakarta Selatan sebanyak 1.424 orang, Jakarta
Barat (1.225), Jakarta Timur (1.039), Jakarta Utara (575), Jakarta Pusat (431) dan Kepulauan Seribu
sebanyak dua orang.
Sebagai sebuah kota yang terbuka terhadap mobilitas warga, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta
sama sekali tidak bisa melarang pendatang baru masuk Ibu Kota usai Idul Fitri 1442 Hijriah ini.
Siapa saja boleh datang ke Jakarta. Yang terpenting menyertakan dokumen-dokumen terkait seperti
dokumen kependudukan (KTP) dan surat bukti hasil tes antigen atau “polymerase chain reaction” (PCR).
Tidak pernah ada aturan bagi warga non KTP DKI dilarang untuk datang dan mencari penghidupan di kota
metropolitan ini. Apalagi mereka datang dengan kepentingannya seperti kuliah, bekerja dan mencari
pekerjaan.
Setelah wabah
Jumlah kaum urban tentu jauh lebih banyak lagi di masa normal sebelum wabah ini. Saat ini karena arus
mudik sangat sedikit akibat adanya pelarangan dan penyekatan perjalanan, maka fenomena urbanisasi juga
sangat sedikit.
Tetapi jika wabah ini telah terkendali dan tidak ada pelarangan atau penyekatan perjalanan, secara otomatis
orang tetap akan mudik meski tak harus menunggu Lebaran mendatang. Saat itu fenomena urbanisasi pun
terjadi lagi.
Saat ini sebenarnya beragam bantuan telah dikucurkan pemerintah untuk menggairahkan sektor pertanian.
Infrastruktur dan sarana produksi pertanian juga disiapkan.
Bisa dibilang upaya menggairahkan sektor pertanian agar menjadi daya tarik bagi kaum muda telah banyak
dilakukan, tetapi sebagian kaum muda tetap tertarik ke kota.
Salah satu yang perlu dioptimalkan adalah kebijakan untuk mengurangi disparitas harga agar petani
merasakan harga jual yang tidak terlalu jauh dengan harga pasar di kota.

Dengan demikian, menggarap sawah dan kebun akan menjadi daya tarik bagi anak-anak muda setempat.
Di sisi lain, program pertanian dan perkebunan yang menarik anak-anak muda perlu diselenggarakan lebih
banyak lagi. Tujuannya tak lain untuk menumbuhkan kader-kader muda yang tangguh di bidang pertanian.
Tidak saja tangguh dalam produksi, tetapi juga jago dalam pengolahan hingga pemasarannya. Dengan
demikian ada kepastian dari kalkulasi antara produksi dan pemasaran dengan “margin” yang menarik.
Program merekrut anak-anak muda menjadi petani modern selayaknya menjadi prioritas agar mereka
mencintai kampungnya dengan potensi yang ada sehingga dunia pertanian tak akan kekurangan kader
penerusnya.Editor: Edy Sujatmiko
COPYRIGHT © ANTARA 2021

Anda mungkin juga menyukai