Anda di halaman 1dari 87

PEDOMAN

PENGGUNAAN ANTIMIKROBA

PEMERINTAH KOTA PEKALONGAN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA PEKALONGAN
Jl. Sriwijaya No.2 Pekalongan Telp. (0285) 437222 Fax. (0285) 437155 Kode Pos :
51119 Website : http://www.rsud.pekalongankota.go.id
Email : rsudbendan@yahoo.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, tim penyusun dapat menyelesaikan buku
Pedoman Penggunaan Antimikroba (PPA) RSUD Bendan Kota Pekalongan
tahun 2022.
Pedoman Penggunaan Antimikroba (PPA) adalah acuan bagi seluruh
petugas yang terkait dengan pemberian antimikroba kepada pasien RSUD
Bendan Kota Pekalongan. Dengan adanya Pedoman Penggunaan
Antimikroba (PPA) RSUD Bendan Kota Pekalongan tahun 2022 diharapkan
terwujud pemberian antimikroba yang sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011
tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika.
Kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah berkontribusi di
dalam penyusunan pedoman ini, kami menyampaikan terima kasih atas
saran dan kritik yang sangat kami harapkan untuk penyempurnaan dan
perbaikan di masa mendatang.

Pekalongan, 1 Juli 2020


Ketua Tim Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba RSUD Bendan
Kota Pekalongan

dr. Dicky Ari Risandy, M. Sc, Sp. A


NIP. 19850930 201903 1 003

Pedoman Penggunaan I
Antimikroba
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Salah satu
obat andalan untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba antara
lain antibakteri/antibiotik, antijamur, antivirus, dan antiprotozoa. Antibiotik
merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang
disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-
62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-
penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian
kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah sakit ditemukan
30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Hadi, 2009).
Penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama
resistensi bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas
dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial
yang sangat tinggi. Muncul dan berkembangnya mikroba resisten dapat
dikendalikan melalui dua kegiatan utama, yaitu penerapan penggunaan
antimikroba secara bijak, dan penerapan prinsip pencegahan
penyebaran mikroba resisten melalui kewaspadaan standar.
Resistensi antimikroba atau berkurangnya daya kerja antimikroba
dalam membunuh mikroba telah timbul tidak lama setelah antimikroba
pertama ditemukan. Berdasarkan penelitian dan pengalaman yang
dilaporkan di berbagai penjuru dunia, telah dibuktikan bahwa pada saat ini
beberapa antimikroba sudah tidak efektif lagi dalam mengatasi beberapa
penyakit infeksi, padahal sebelumnya infeksi tersebut cepat dan mudah
diatasi.
Penatagunaan antimikroba (PGA), atau antimicrobial stewardship
(AMS) adalah kegiatan strategis dan sistematis, yang terpadu dan
terorganisasi di rumah sakit, untuk tujuan mengoptimalkan penggunaan
antimikroba secara bijak, baik kuantitas maupun kualitasnya. Penggunaan
antimikroba secara bijak ini diharapkan dapat menurunkan tekanan selektif
terhadap mikroba, sehingga dapat mengendalikan resistensi antimikroba.
Kegiatan PGA dimulai dari tahap penegakan diagnosis penyakit infeksi,
penetapan terapi berdasarkan indikasi, pemilihan jenis antimikroba yang

Pedoman Penggunaan 1
tepat, termasuk dosis, rute, saat, dan lama pemberiannya. Dilanjutkan
dengan pemantauan keberhasilan dan/atau kegagalan terapi, pencatatan
dan/atau penghentian reaksi yang tidak dikehendaki terhadap antimikroba,
interaksi antimikroba dengan obat lain, dengan makanan, dengan
pemeriksaan laboratorium, dan reaksi alergi. Dalam upaya membatasi
penggunaan antimikroba maka diberlakukan pembagian antimikroba
kedalam kelompok AWaRe yaitu access, watch dan reserve.
Laporan dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa kegiatan PGA
di rumah sakit terbukti dapat meningkatkan kualitas penggunaan
antimikroba, menurunkan angka kejadian infeksi dan kolonisasi mikroba
resisten, meningkatkan keberhasilan terapi pasien, memperpendek lama
rawat pasien dan menurunkan biaya rawat pasien, serta menurunkan
jumlah pemakaian antimikroba, sehingga menurunkan biaya pembelian
antimikroba oleh rumah sakit. Dalam upaya mengatasi resistensi
antimikroba, perlu disusun Pedoman Penggunaan Antimikroba (PPA) di
Rumah Sakit sebagai acuan dalam penerapan penggunaan antimikroba
secara bijak.

1.2 Tujuan
a. Sebagai acuan bagi klinisi dalam dalam memberikan terapi
antimikroba secara bijak.
b. Untuk meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.
c. Untuk mencegah terjadinya resistensi antimikroba

1.3 Definisi
1. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh agen biologi
(virus, bakteri, parasit, jamur), bukan disebabkan faktor fisik
(seperti luka bakar) atau kimia (seperti keracunan)
2. Antimikroba adalah bahan-bahan/obat-obat yang digunakan
untuk memberantas/ membasmininfeksi mikroba khususnya yang
merugikan manusia
3. Antibiotika adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh
mikroorganisme yang dalam konsentrasi kecil mempunyai
kemampuan menghambat atau membunuh mikroorganisme lain
4. Antijamur adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan
penyakit yang disebabkan oleh jamur
5. Antivirus adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan
penyakit yang disebabkan oleh virus

Pedoman Penggunaan 2
6. Antiparasit adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan
penyakit yang disebabkan oleh parasit
7. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan
melemahkan daya kerja antimikroba
1.4 Daftar Singkatan

ADRs Adverse Drug Reactions


AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome
ARV Anti Retro Viral
ASA American Society of Anesthesiologists
ATC Anatomical Therapeutic Chemical
AUC Area Under Curve
CAP Community-Acquired Pneumonia
Clcr Creatinine clearance
CMV Cytomegalovirus
CVP Central Venous Pressure
DDD Defined Daily Doses
ESBL Extended Spectrum Beta- Lactamase
ESO Efek Samping Obat
G6PD Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase
IDO Infeksi Daerah Operasi
IGD Instalasi Gawat Darurat
ILO Infeksi Luka Operasi
KHM Kadar Hambat Minimal
LCS Liquor Cerebrospinalis/Likuor Serebrospinalis
MDRO Multidrug -Resistant Organisms
MESO Monitoring Efek Samping Obat
MIC Minimal Inhibitory Concentration
MRSA Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus
ODHA Orang Dengan HIV-AIDS
PAE Post-Antibiotic Effect
PBP Penicillin Binding Protein
PD Pharmacodynamic
PK Pharmacokinetic
PPA Pedoman Penggunaan Antimikroba
PPP Profilaksis Pasca Pajanan
PPRA Program Pengendalian Resistensi Antibiotika
RAST Radio Allergosorbent Test
RCT Randomized Controlled Trial
RPA Rekam Pemberian Antibiotika
SPO Standar Prosedur Operasional
TDM Therapeutic Drug Monitoring
UDD Unit Dose Dispensing
PGA Penatagunaan Antimikroba

Pedoman Penggunaan Antimikroba (PPA) merupakan daftar


antimikroba yang telah disepakati SMF dengan pertimbangan antimikroba
secara ilmiah dibutuhkan untuk pelayanan di RSUD Bendan Kota
Pekalongan. Penerapan penggunaan pedoman ini akan selalu dipantau.
Hasil pemantauan akan digunakan untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi
agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

Pedoman Penggunaan 3
Pemantauan dan evaluasi dilakukan untuk menunjang keberhasilan
penerapan pedoman ini, sekaligus dapat mengidentifikasi permasalahan
potensial dan strategis penanggulangan yang efektif. Hal ini dapat tercapai
melalui koordinasi, pemantauan dan evaluasi penerapan pedoman
penggunaan antimikroba.

Pedoman ini juga ditunjang dengan kebijakan Automatic Stop Order


(ASO) yaitu penghentian penggunaan antimikroba yang diberikan kepada
pasien secara otomatis. Apoteker akan mengingatkan dokter dan perawat
jika mendapati suatu penggunaan antimikroba yang hampir mencapai
batas pemberian yang aman. Penggunaan akan dilanjutkan setelah
dinyatakan secara tertulis oleh dokter yang bersangkutan.

Pedoman Penggunaan 4
BAB II
RUANG LINGKUP PENGGUNAAN ANTIMIKROBA

2.1 Faktor-Faktor Yang Harus Dipertimbangkan Pada Penggunaan


Antimikroba
1. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotika
a. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan
melemahkan daya kerja antibiotika. Hal ini dapat terjadi dengan
beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011):
1) Merusak antibiotika dengan enzim yang diproduksi.
2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotika.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotika pada sel
bakteri.
4) Antibiotika tidak dapat menembus dinding sel, akibat
perubahan sifat dinding sel bakteri.
5) Antibiotika masuk ke dalam sel bakteri, namun segera
dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif
ke luar sel.
b. Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat
Minimal) atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar
terendah antibiotika (μg/mL) yang mampu menghambat tumbuh
dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM
menggambarkan tahap awal menuju resisten.
c. Enzim perusak antibiotika khusus terhadap golongan beta-lactam,
pertama dikenal pada tahun 1945 dengan nama penicillinase yang
ditemukan pada Staphylococcus aureus dari pasien yang mendapat
pengobatan penicillin. Masalah serupa juga ditemukan pada
pasien terinfeksi Escharichia coli yang mendapat terapi ampicillin
(Acar and Goldstein, 1998). Resistensi terhadap golongan beta-
lactam antara lain terjadi karena perubahan atau mutasi gen
penyandi protein (Penicillin Binding Protein, PBP). Ikatan obat
golongan beta- lactam pada PBP akan menghambat sintesis
dinding sel bakteri sehingga sel mengalami lisis.
d. Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibitoik bisa
terjadi dengan 2 cara, yaitu:
1) Mekanisme Selection Pressure. Jika bakteri resistens tersebut
berbiak secara duplikasi setiap 20-30 menit (untuk bakteri yang

Pedoman Penggunaan 5
berbiak cepat), maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut
dipenuhi oleh bakteri resisten.
Jika seseorang terinfeksi oleh bakteri yang resisten, maka
upaya penanganan infeksi dengan antibiotika semakin sulit.
2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui
plasmid. Hal ini daat disebarkan antar kuman sekelompok
maupun dari satu orang ke orang lain.
e. Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten:
1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan
antibiotika secara bijak (prudent use of antibiotics).
2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat
diatasi dengan meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-
prinsip kewaspadaan standar (universal precaution).
2. Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik
antibiotika sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis
antibiotika secara tepat. Agar dapat menunjukkan aktivitasnya
sebagai bakterisida ataupun bakteriostatik, antibiotika harus
memiliki beberapa sifat berikut ini:
a.Aktivitas mikrobiologi. Antibiotika harus terikat pada tempat
ikatan spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penicillin pada
protein).
b.Kadar antibiotika pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin
tinggi kadar antibiotika semakin banyak tempat ikatannya pada
sel bakteri.
c. Antibiotika harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk
waktu yang cukup memadai agar diperoleh efek yang adekuat.
d.Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah
minimal obat yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan
bakteri.
Secara umum terdapat dua kelompok antibiotika berdasarkan sifat
farmakokinetiknya, yaitu:
a. Time dependent killing. Lamanya antibiotika berada dalam darah
dalam kadar di atas KHM sangat penting untuk memperkirakan
outcome klinik ataupun kesembuhan. Pada kelompok ini kadar
antibiotika dalam darah di atas KHM paling tidak selama 50%

Pedoman Penggunaan 6
interval dosis. Contoh antibiotika yang tergolong time dependent
killing antara lain penicillin, cephalosporin, dan macrolide.
b. Concentration dependent. Semakin tinggi kadar antibiotika dalam
darah melampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya
terhadap bakteri. Untuk kelompok ini diperlukan rasio kadar/KHM
sekitar 10.
Ini mengandung arti bahwa rejimen dosis yang dipilih haruslah
memiliki kadar dalam serum atau jaringan 10 kali lebih tinggi dari
KHM. Jika gagal mencapai kadar ini di tempat infeksi atau jaringan
akan mengakibatkan kegagalan terapi. Situasi inilah yang
selanjutnya menjadi salah satu penyebab timbulnya resistensi.
3. Faktor Interaksi dan Efek Samping Obat
Pemberian antibiotika secara bersamaan dengan antibiotika lain, obat
lain atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan.
Efek dari interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang
ringan seperti penurunan absorps obat atau penundaan absorpsi
hingga meningkatkan efek toksik obat lainnya. Sebagai contoh
pemberian ciprofloxacin bersama dengan teofilin dapat meningkatkan
kadar teofilin dan dapat berisiko terjadinya henti jantung atau
kerusakan otak permanen. Demikian juga pemberian doksisiklin
bersama dengan digoksin akan meningkatkan efek toksik dari digoksin
yang bisa fatal bagi pasien. Data interaksi obat antibiotika dapat
dilihat pada leaflet obat antibiotika sebelum digunakan.
4. Faktor Biaya
Antibiotika yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik,
obat merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam
lindungan hak paten (obat paten). Harga antibiotika pun sangat
beragam. Harga antibiotika dengan kandungan yang sama bisa
berbeda hingga 100 kali lebih mahal dibanding generiknya. Apalagi
untuk sediaan parenteral yang bisa 1000 kali lebih mahal dari sediaan
oral dengan kandungan yang sama. Peresepan antibiotika yang mahal,
dengan harga di luar batas kemampuan keuangan pasien akan
berdampak pada tidak terbelinya antibiotika oleh pasien, sehingga
mengakibatkan terjadinya kegagalan terapi. Setepat apapun
antibiotika yang diresepkan apabila jauh dari tingkat kemampuan
keuangan pasien tentu tidak akan bermanfaat.

Pedoman Penggunaan 7
BAB III
TATA LAKSANA PENGGUNAAN ANTIMIKROBA

3.1 Prinsip Penggunaan Antibiotika


3.1.1 Prinsip Penggunaan Antibiotika Bijak (Prudent)
1. Tepat Diagnosis
a. Tegakkan diagnosis penyakit infeksi bakteri melalui
pemeriksaan klinis, laboratorium, dan pemeriksaan
penunjang lain.
b. Untuk menetapkan terapi definitif diperlukan
pemeriksaan mikrobiologi.
2. Tepat Pasien
a. Pertimbangkan faktor risiko, penyakit lain yang
mendasari, danpenyakit penyerta.
b. Pertimbangkan kelompok khusus seperti ibu hamil,
ibu menyusui, usialanjut, anak, bayi, neonatus.
c. Lakukan penilaian derajat keparahan fungsi organ,
contohnya padapenyakit ginjal akut.
d. Telusuri riwayat alergi terutama antibiotik.
3. Tepat Jenis Antibiotik
Pertimbangkan untuk memilih jenis antibiotik berdasarkan:
a. kemampuan antibiotik mencapai tempat infeksi;
b. keamanan antibiotik;
c. dampak risiko resistensi;
d. hasil pemeriksaan mikrobiologi;
e. panduan penggunaan antibiotik;
f. tercantum dalam formularium;
g. kajian cost-effective.
4. Tepat Regimen Dosis
Regimen dosis meliputi dosis, rute pemberian, interval,
dan lama pemberian. Dosis merupakan parameter yang
selalu mendapat perhatian dalam terapi antibiotik karena
efektivitas antimikroba bergantung pada pola kepekaan
patogen, minimal inhibitory concentration (MIC), dan
farmakokinetik (PK) maupun farmakodinamik (PD).

Pedoman Penggunaan 8
a. Dosis
Sifat farmakologi obat merupakan salah satu parameter
penting yang dapat mempengaruhi keberhasilan terapi
antibiotik. Dosis antibiotik ditetapkan dengan
mempertimbangkan:
1) tempat infeksi; kemampuan penetrasi antibiotik
berbeda-beda di berbagai jaringan;
2) derajat keparahan infeksi; pada sepsis fase
hiperdinamik, volume distribusi dan eliminasi
meningkat sehingga kadar antibiotik yang bersifat
hidrofilik relatif lebih rendah dalam serum;
3) gangguan fungsi organ eliminasi (ginjal dan hati);
4) hipoalbuminemia (<2,5 g/dL); hati-hati ketika
menggunakan antibiotik yang afinitasnya terhadap
albumin tinggi;
5) berat badan; penentuan dosis antibiotik umumnya
diperhitungkan menurut berat badan. Untuk pasien
obesitas lebih dari 120% IBW (ideal body weight)
diperlukan dosis obat yang lebih besar, berdasarkan
perhitungan rumus adjusted body weight (AdjBW).
Pada pasien anak, apabila total dosis per kilogram
berat badan melebihi dosis dewasa, maka digunakan
dosis dewasa

AdjBW = (Total Body Weight - IBW) x 0,4 + IBW

Pada gangguan fungsi ginjal, dosis rumatan


antibiotik yang eliminasinya melalui ginjal
disesuaikan berdasarkan klirens kreatinin yang dapat
dihitung menggunakan persamaan Cockcroft- Gault,
sedangkan dosis awal (loading dose) sesuai dengan
kebutuhan berdasarkan kondisi klinis dan PK/PD
antibiotik. Pada pasien anak digunakan rumus
Schwartz untuk menghitung dosis. Untuk obat yang
bersifat nefrotoksik diperlukan pemantauan kadar
kreatinin serum setiap 24-48 jam. Apabila terjadi

Pedoman Penggunaan 9
peningkatan serum kreatinin sampai 0,5 mg/dL atau
lebih, dipertimbangkan untuk menghentikan obat.
Persamaan Cockcroft-Gault:
(140-usia) (BB dalam kg)
Klirens
kreatinin =

72 (kreatinin serum)
Catatan: untuk perempuan nilai ini dikalikan 0,85.
Schwartz:
eGFR =
0.413 x (TB/kreatinin serum) bila TB diukur dalam
sentimeteratau
41.3 x (tb/kreatinin serum) bila TB diukur dalam
meter
Tabel 4. Penyesuaian Dosis Antibiotik berdasarkan Klirens
Kreatinin
Klirens
Obat Dosis Lazim Dosis Pada InsufisiensiGinjal
Kreatinin
Amikasin 15 mg/kgBB > 60 10 mg/kgBB setiap 24 jam
setiap 24 jam 40-59 3 mg/kgBB setiap 12 jam

20-39 3 mg/kgBB setiap 24 jam

< 20 3 mg/kgBB HANYA


SEKALI*
*Perlu monitor kadar setelah
24 jam, ulangi dosis bila
kadar < 4 mcg/mL

Amoksisilin 500-1000 mg > 30 500-1000 mg setiap 12 jam


setiap 12 jam 10-30 250-875 mg setiap 12 jam
< 10 atau 250-875 mg setiap 24 jam
HD*

Amoksisilin- 500-1000 mg > 30 500-1000 mg setiap 12 jam


klavulanat* setiap 12 jam 10-30 250-500 mg setiap 12 jam
< 10 atau 250-500 mg setiap 24 jam
HD*

Ampisilin 1-2 gram setiap > 50 1-2 gram setiap 4-6 jam
4-6 jam 10-50 1-2 gram setiap 6-8 jam
< 10 atau 1-2 gram setiap 8 jam
HD*

Ampisilin- 1,5-3 gram > 30 1,5-3 gram setiap 6 jam


sulbaktam* setiap 6 jam 15-29 1,5-3 gram setiap 12 jam
< 14 atau 1,5-3 gram setiap 24 jam
HD*

Pedoman Penggunaan 1
Ampisilin- 3 gram setiap 4 > 50 3 gram setiap 4 jam
sulbaktam* jam 10-50 3 gram setiap 6 jam
(untuk HD* 3 gram setiap 8 jam
Acinetobacter,
E.faecalis)
Aztreonam 1-2 gram setiap > 30 1-2 gram setiap 8 jam
8 jam 11-34 1-2 gram setiap 12 jam
< 10 atau 1-2 gram setiap 24 jam
HD*
Klaritromisin 250-500 mg > 30 250-500 mg setiap 12 jam

setiap 12 jam < 30 250-500 mg setiap 24 jam


Klindamisin p.o: 300 mg
setiap 8 jam
i.v: 600 mg Tidak perlu penyesuaian dosis
setiap 8 jam
Kolistin 2,5 mg/kgBB > 50 2,5 mg/kgBB setiap 12 jam

setiap 12 jam 20-50 2,5 mg/kgBB setiap 24 jam

< 20 atau 1,25 mg/kgBB setiap 24 jam


HD*
Linezolid 600 mg setiap 12 Tidak perlu penyesuaian dosis
jam

Meropenem 1 gram setiap 8 > 51 1 gram setiap 8 jam


jam 26-50 1 gram setiap 12 jam
10-25 500 mg setiap 12 jam
< 10 atau 500 mg setiap 24 jam
HD

Meropenem 2 gram setiap 8 > 51 2 gram setiap 8 jam


(meningitis, jam 26-50 1 gram setiap 8 jam
infeksi CRE)
10-25 1 gram setiap 12 jam
<10 atau 1 gram setiap 24 jam
HD
Metronidazol 50 mg setiap 8 Tidak perlu penyesuaian dosis
jam

Moksifloksasin 400 mg setiap Tidak perlu penyesuaian dosis


24 jam

Nitrofurantoin 100 mg setiap 12 > 50 100 mg setiap 12 jam Tidak


jam < 50 dianjurkan

Piperasilin/ 3,375-4,5 gram > 40 3,375-4,5 gram setiap 6 jam


tazobaktam* setiap 6 jam (4,5 gram setiap 6 jam untuk

Pseudomonas
20-40 2,25 gram setiap 6 jam

(3,375 gram setiap 6 jam

untuk Pseudomonas)

< 20 2,25 gram setiap 8 jam (2,25

gram setiap 6 jam untuk

Pedoman Penggunaan 1
Pseudomonas)

HD 2,25 gram setiap 12 jam

(2,25 gram setiap 8 jam

untuk Pseudomonas)

Sefepim 1 gram setiap 8 > 60 1 gram setiap 8 jam


jam 30-60 1 gram setiap 12 jam
< 29 atau 1 gram setiap 24 jam
HD

Sefepim untuk 2 gram setiap 8 > 60 2 gram setiap 8 jam


Infeksi SSPatau jam 30-60 1 gram setiap 8 jam

Pseudomonas 11-29 1 gram setiap 12 jam

< 11 atau 1 gram setiap 24 jam


HD
Seftarolin 600 mg setiap > 50 600 mg setiap 12 jam
12jam 30-50 400 mg setiap 12 jam
15-29 300 mg setiap 12 jam
< 15 atau 200 mg setiap 12 jam
HD

Seftarolin 600 mg setiap 8 > 50 600 mg setiap 8 jam


untuk MRSA jam 30-50 400 mg setiap 8 jam

15-29 300 mg setiap 8 jam

< 15 atau 400 mg setiap 12 jam


HD
Seftazidim 1-2 gram setiap > 50 1-2 gram setiap 8 jam
8
jam 30-50 1-2 gram setiap 12 jam

Untuk 15-29 1-2 gram setiap 24 jam


Pseudomonas:

2 gram setiap 8 < 15 atau 1 gram setiap 24 jam


HD
jam

Seftriakson 1-2 gram setiap Tidak perlu penyesuaian dosis


24 jam

Seftriakson 2 gram setiap Tidak perlu penyesuaian dosis


(infeksi SSP) 12
jam
Sefaleksin 500 mg p.o. > 50 500 mg p.o. setiap 6 jam
setiap 6 jam
10-50 500 mg p.o. setiap 8 jam

< 10 atau 500 mg p.o. setiap 12 jam


HD
Siprofloksasini.v. 400 mg setiap > 30 400 mg setiap 8-12 jam
8- < 30 atau 400 mg setiap 24 jam
12 jam HD

Pedoman Penggunaan 1
Siprofloksasinp.o 250-750 mg > 30 250-750 mg setiap 12 jam
setiap 12 jam < 30 atau 250-500 mg setiap 24 jam
HD
Tigesiklin 100mg Tidak perlu penyesuaian dosis
pertama,
dilanjutkan50
mg setiap 12
jam

Kotrimoksazol oral: 1-2 tab > 30 1-2 tab setiap 12 jam


(untuk UTI atau setiap 12 jam
selulitis
160-320 mg i.v setiap 12
jam

1-2 tab setiap 24 jam

i.v: 160-320 mg < 30 atau HD


setiap 12 jam 1 dosis segera setelah HD

Kotrimoksazol 5 mg/kgBB > 30 5 mg/kgBB setiap 6-8 jam


(untuk PCP atau
2,5 mg/kgBB setiap 6-8 jam
infeksi sistemik setiap 6-8 jam < 30
berat) HD 1 dosis segera setelah HD

*Dosis dinyatakan sebagai dosis obat utamanya

b) Rute pemberian
Pemberian per oral sedapat mungkin menjadi pilihan
pertama. Namun, pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan menggunakan rute parenteral. Pemberian
intravena dilakukan dalam bentuk drip selama 15 menit
dengan konsentrasi dan lama pemberian sesuai aturan pakai
masing-masing antibiotik. Jika kondisi pasien membaik
(misalnya: sudah bisa makan, tidak ada gangguan
gastrointestinal) maka pertimbangkan untuk menghentikan
antibiotik atau mengganti dengan rute per oral.
c) Interval pemberian
Berdasarkan profil PK/PD, antibiotik dibedakan atas
concentration- dependent antibiotic dan time-dependent
antibiotic. Untuk time- dependent antibiotic, efektivitas
antimikroba ditentukan oleh lamanya pajanan mikroba
terhadap antibiotik di atas kadar MIC. Target waktu kadar
antibiotik di atas MIC adalah 40-60% dari interval
pemberian dalam 24 jam. Misalnya, antibiotik golongan beta-
laktam memerlukan konsentrasi antibiotik lebih lama

Pedoman Penggunaan 1
di atas MIC. Untuk mendapatkan kadar mantap (steady
state) dalam darah interval pemberian antibiotik harus tetap
misalnya setiap 8 jam, setiap 6 jam. Hindari penggunaan
istilah 4x1 atau 3x1, dan seterusnya.
d) Lama pemberian
Lama pemberian antibiotik ditentukan oleh kemampuannya
mengatasi infeksi sesuai dengan diagnosis yang telah
dikonfirmasi. Lama terapi ini dapat diperpanjang pada
pasien dengan kondisi tertentu, misalnya SLE atau sepsis.
Pemantauan perbaikan klinis dan laboratoris dievaluasi
setidaknya setiap 3 hari berdasarkan data klinis,
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lain. Jika tidak
terjadi perbaikan klinis, maka ketepatan diagnosis dan
terapi perlu dievaluasi ulang.
e) Waspada efek samping dan interaksi obat
Efek samping dapat berupa reaksi alergi dan gangguan
fungsi organ, misalnya gangguan fungsi ginjal dan
gangguan pendengaran akibat aminoglikosida. Juga perlu
diperhatikan interaksi antibiotik dengan obat lain. Misalnya,
interaksi seftriakson dengan ion kalsium akan menyebabkan
endapan pada pembuluh darah, interaksi aminoglikosida
dengan MgSO4 menyebabkan potensiasi blok
neuromuskuler.

3.1.2 Prinsip Penggunaan Antibiotika untuk Terapi Empiris dan Definitif


1. Antibiotika Terapi Empiris
a. Penggunaan antibiotika untuk terapi empiris adalah
penggunaan antibiotika pada kasus infeksi yang belum
diketahui jenis bakteri penyebabnya.
b. Tujuan pemberian antibiotika untuk terapi empiris adalah
eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga
menjadi penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan
mikrobiologi.
c. Indikasi
ditemukan sindroma klinis yang mengarah pada keterlibatan
bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.

Pedoman Penggunaan 1
1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotika data epidemiologi
dan pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di
rumah sakit setempat.
2) Kondisi klinis pasien.
3) Ketersediaan antibiotika.
4) Kemampuan antibiotika untuk menembus ke dalam
jaringan/organ yang terinfeksi.
5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba
dapat digunakan antibiotika kombinasi.
d. Rute pemberian
Antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk
terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral (Cunha,
BA., 2010).
e. Lama pemberian
Antibiotika empiris diberikan untuk jangka waktu 48-72 jam.
Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data
mikrobiologis dan kondisi klinis.
f. Pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA
Kemenkes RI.,2010).
g. Evaluasi penggunaan antibiotika empiris dapat dilakukan
seperti pada tabel berikut (Cunha, BA., 2010; IFIC., 2010).

Tabel 1. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Empiris


Hasil
Kultur Klinis Sensitivitas Tindak Lanjut

Lakukan sesuai prinsip Sesuai“DeEskalasi”


+ Membaik
Tidak
+ Membaik Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
+ Tetap/Memburuk Sesuai Evaluasi Diagnosis dan
Tidak
+ Tetap/Memburuk Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
- Membaik 0 Evaluasi Diagnosis dan
- Tetap/Memburuk 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi

2. Antibiotika untuk Terapi Definitif


a. Penggunaan antibiotika untuk terapi definitif adalah
penggunaan antibiotika pada kasus infeksi yang sudah
diketahui jenis bakteri penyebab dan pola resistensinya (Lloyd
W., 2010).

Pedoman Penggunaan 1
b. Tujuan pemberian antibiotika untuk terapi definitif adalah
eradikasi atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang
menjadi penyebab infeksi, berdasarkan pemeriksaan
mikrobiologi.
c. Indikasi
sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab infeksi.
d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotika.
1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.
2) Sensitivitas.
3) Biaya.
4) Kondisi klinis pasien.
5) Diutamakan antibiotika lini pertama/spektrum sempit.
6) Ketersediaan antibiotika (sesuai formularium rumah sakit).
7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT)
setempat yang terkini.
8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.
e. Rute pemberian
Antibiotika oral seharusnya menjadi pilihan pertama untuk
terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat
dipertimbangkan menggunakan antibiotika parenteral (Cunha,
BA., 2010). Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian
antibiotika parenteral harus segera diganti dengan antibiotika
per oral.
f. Lama pemberian antibiotika definitif berdasarkan pada efikasi
klinis untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah
dikonfirmasi. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan
data mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data
penunjang lainnya (IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI., 2010).
3.1.3 Prinsip Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pembedahan
Pemberian antibiotika sebelum (30–60 menit sebelum insisi
pertama), saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang
secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan
untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat
operasi, konsentrasi antibiotika di jaringan target operasi sudah
mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan
bakteri kulit dan lingkungan (Avenia, 2009).

Pedoman Penggunaan 1
Prinsip penggunaan antibiotika profilaksis selain tepat dalam
pemilihan jenis juga mempertimbangkan konsentrasi antibiotika
dalam jaringan saat mulai dan selama operasi berlangsung.
Rekomendasi antibiotika yang digunakan pada profilaksis bedah dapat
dilihat pada kebijakan penggunaan antibiotika profilaksis
bedah/tindakan medis dan PPA.
1. Tujuan pemberian antibiotika profilaksis pada kasus pembedahan:
a. Menurunkan dan mencegah kejadian Infeksi Daerah Operasi
(IDO).
b. Menurunkan mordibitas dan mortalitas pasca operasi.
c. Menghambat munculnya flora normal resisten antibiotika.
d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.
2. Indikasi penggunaan antibiotika profilaksis ditentukan
berdasarkan kelas operasi, yaitu operasi bersih dan bersih
kontaminasi.
3. Dasar pemilihan jenis antibiotika untuk tujuan profilaksis:
a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak
pada kasus bersangkutan (EMPIRIS).
b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.
c. Toksisitas rendah.
d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat
anestesi.
e. Bersifat bakterisidal.
f. Harga terjangkau.
Gunakan cephalosporin generasi I-II untuk profilaksis bedah.
Pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat ditambahkan metronidazol

Tidak dianjurkan menggunakan cephalosporin generasi III- IV, golongan carbapenem, dan golongan quinolone untuk profilaksis bedah.

4. Rute pemberian
a. Antibiotika profilaksis diberikan secara intravena.
b. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan
pemberian antibiotika intravena drip.
5. Waktu pemberian
Antibiotika profilaksis diberikan ≤ 30 – makismal 60 menit sebelum
insisi kulit.
6. Dosis pemberian

Pedoman Penggunaan 1
Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi
dalam jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotika dengan
dosis yang cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar
antibiotika harus mencapai kadar hambat minimal 2 kali kadar
terapi.
7. Lama pemberian
Durasi pemberian adalah dosis tunnggal.
Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari
1500 ml atau operasi berlangsung lebih dari 3 jam (SIGN, 2008).
8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya ILO,
antara lain:
a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2008).

Tabel 2. Kelas Operasi dan Penggunaan Antibiotika

Kelas Operasi Definisi Penggunaan Antibiotika

Operasi Bersih Operasi yang dilakukan pada daerah Kelas operasi bersih terencana
dengan kondisi pra bedah tanpa umumnya tidak memerlukan
infeksi, tanpa membuka traktus antibiotika profilaksis kecuali
(respiratorius, gastrointestinal, pada beberapa
urinarius, bilier), operasi terencana, jenis operasi, misalnya mata,
atau penutupan kulit primer jantung, dan sendi).
dengan atau tanpa digunakan drain
tertutup.
Operasi Bersih- Operasi yang dilakukan pada Pemberian antibiotika
traktus (digestivus, bilier, urinarius, Profilaksis pada kelas operasi
Kontaminasi respiratorius, reproduksi kecuali bersih kontaminasi perlu
ovarium) atau operasi tanpa dipertimbangkan manfaat dan
disertai kontaminasi yang nyata. risikonya karena bukti ilmiah
mengenai efektivitas antibiotika
profilaksis belumditemukan.

Operasi Kontaminasi Operasi yang membuka saluran Kelas operasi kontaminasi


cerna, saluran empedu, saluran Memerlukan antibiotika terapi
kemih, saluran napas sampai (bukan profilaksis).
orofaring, saluran reproduksi kecuali
ovarium atau operasi yang tanpa
pencemaran nyata (Gross Spillage).
Operasi Kotor Adalah operasi pada perforasi Kelas operasi kotor
saluran cerna, saluran urogenital memerlukan antibiotika
atau saluran napas yang terinfeksi terapi.
ataupun operasi yang melibatkan
daerahyang purulen (inflamasi
bakterial).
Dapat pula operasi pada luka
terbuka lebih dari 4 jam setelah
kejadian atau terdapat jaringan
nonvital yang luas atau nyata kotor.

Pedoman Penggunaan 1
Tabel 3. Presentase Kemungkinan ILO Berdasarkan Kelas Operasi dan
Indeks Risiko

Kelas Operasi Indeks Ratio


0 1 2
Bersih 1,0% 2,3% 5,4%

Bersih-Kontaminasi 2,1% 4,0% 9,5%

Kontaminasi/Kotor 3,4% 6,8% 13,2%

(SIGN, 2008; Avenia, 2009)


b. Skor ASA (American Society of Anesthesiologist)
Tabel 4. Pembagian Status Fisik Pasien Berdasarkan Skor ASA
Skor ASA Status Fisik
1 Normal dan sehat Kelainan sistemik ringan
2 Kelainan sistemik berat, aktivitas terbatas
3 Kelainan sistemik berat yang sedang menjalani pengobatan untuk life support
4 Keadaan sangat kritis, tidak memiliki harapan hidup, diperkirakan hanya bisa bertahan sekita

c. Lama rawat inap sebelum operasi


Lama rawat inap 3 hari atau lebih sebelum operasi akan
meningkatkan kejadian ILO.
d. Ko-morbiditas (DM, hipertensi, hipertiroid, gagal ginjal, lupus,
dll)
e. Indeks Risiko
Dua ko-morbiditas (skor ASA > 2) dan lama operasi dapat
diperhitungkan sebagai indeks risiko.
Tabel 5. Indeks Risiko
Indeksimplan
f.Pemasangan Definisi
Risiko
Pemasangan
0 implanTidak
pada setiap
ditemukan tindakan
faktor risiko bedah dapat
meningkatkan
1 Ditemukan
kejadian IDO. 1 faktor risiko

2 Ditemukan 2 faktor risiko


3.1.4 Penggunaan Antibiotika Kombinasi
1. Antibiotika kombinasi adalah pemberian antibiotika lebih dari satu
jenis untuk mengatasi infeksi.

Pedoman Penggunaan 1
2. Tujuan pemberian antibiotika kombinasi adalah :
a. Meningkatkan aktivitas antibiotika pada infeksi spesifik (Efek
sinergis).
b. Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri
resisten.
3. Indikasi penggunaan antibiotika kombinasi (Bruton et. Al, 2008;
Archer, GL., 2008):
a. Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).
b. Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi
campuran aerob dan anaerob).
c. Terapi empiris pada infeksi berat.
4. Hal-hal yang perlu perhatian (Bruton et. Al,; Cunha, BA., 2010):
a. Kombinasi antibiotika yang bekerja pada target yang berbeda
dapat meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas
antibiotika.
b. Suatu kombinasi antibiotika dapat memiliki toksisitas yang
bersifat aditif atau superaditif.
Contoh: Vancomycin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik
minimal, tetapi pemberian bersama Aminoglycoside dapat
meningkatkan toksisitasnya.
c. Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan
antibiotika untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil
efeksti.
d. Hindari penggunaan kombinasi antibiotika untuk terapi empiris
jangka lama.
e. Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.

3.1.5 Pertimbangan Farmakokinetik dan Farmakodinamik Antibiotika


Farmakokinetik (pharmacokinetic, PK) membahas tentang
perjalanan kadar antibiotika di dalam tubuh, sedangkan
farmakodinamik (pharmacodynamic, PD) membahas tentang
hubungan antara kadar-kadar itu dan efek antibiotikanya. Dosis
antibiotika dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK saja. Namun,
ternyata PD juga memainkan peran yang sama, atau bahkan lebih
penting. Pada abad resistensi antibiotika yang terus meningkat ini, PD
bahkan menjadi lebih penting lagi, karena perameter-parameter ini
bisa digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang melawan atau

Pedoman Penggunaan 2
mencegah resistensi. Jika walaupun efikasi klinis dan keamanan
masih menjadi standar emas untuk membandingkan antibiotika,
ukuran farmakokinetik dan farmakodinamik telah semakin sering
digunakan. Beberapa ukuran PK dan PD lebih prediktif terhadap
efikasi klinis.
Ukuran utama aktivitas antibiotika adalah Kadar Hambat
Minimum (KHM). KHM adalah kadar terendah antibiotika yang secara
sempurna menghambat pertumbuhan suatu mikroorganisme secara in
vitro. Walaupun KHM adalah indikator yang baik untuk potensi suatu
antibiotika, KHM tidak menunjukkan apa-apa tentang perjalanan
waktu aktivitas antibiotika.
Parameter-parameter farmakokinetik menghitung perjalanan
kadar serum antibiotika. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang
paling penting untuk mengevaluasi efikasi antibiotika, yaitu kadar
puncak serum (Cmax), kadar minimum (Cmin), dan area under curve
(AUC) pada kurva kadar serum vs waktu. Walaupun parameter-
parameter ini mengkuantifikasi perjalanan kadar serum, parameter-
parameter tersebut tidak mendeskripsikan aktivitas bakterisidal suatu
antibiotika.
Aktivitas antibiotika dapat dikuantifikasi dengan mengintergritasikan
parameter-parameter PK/PD dengan KHM. Parameter tersebut yaitu:
rasio kadar puncak/KHM, waktu>KHM, dan rasio AUC-24 jam/KHM.

Gambar 1. Parameter Farmakokinetik/Farmakodinamik

Tiga sifat farmakodinamik antibiotika yang paling baik untuk


menjelaskan aktivitas bakterisidal adalah time-depence, concentration-
depence, dan efek persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh
panjang waktu yang diperlukan untuk membunuh bakteri (time-depence),
atau efek meningkatkan kadar obat (concentration-depence). Efek persisten

Pedoman Penggunaan 2
mencakup Post-Antibiotic Effect (PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan
bakteri secara persisten sesudah paparan antibiotika.

Tabel 6. Pola Aktivitas Antibiotika berdasarkan parameter PK/PD


Pola Aktivitass Antibiotika Tujuan Terapi Parameter PK/PD
Tipe I Aminoglycoside Memaksimalkan Rasio AUC-24
Bakterisidal concentration- Fluoroquinolone kadar jam/KHM
dependence dan Efek
persisten Ketolid Rasio kadar
yang lama puncak/KHM
Tipe II Carbapenem Memkasimalkan Waktu>KHM
Bakterisidal time-
dependence dan Cephalosporin durasi paparan
Efek persisten minimal Erythromycin
Linezolid
Penicillin
Tipe III Azithromycin Memaksimalkan Rasio AUC-24
Bakterisdial time-
dependence dan Clindamyicin jumlah obat yang jam/KHM
Efek persisten sedang
sampai Oxazolidinone masuk sirkulasi
Lama Tetracycline sistemik
Vancomycin

Untuk antibiotika tipe I, rejimen dosis yang ideal adalah


memaksimalkan kadar, semakin ekstensif dan cepat tingkat
bakterisidalnya. Karena itu, rasio AUC 24 jam/KHM, dan rasio kadar
puncak/KHM merupakan prediktor efikasi antibiotika yang penting. Untuk
fluoroquinolone vs bakteri Gram-negatif, rasio AUC 24 jam/KHM optimal
adalah sekitar 125. Bila fluoroquinolone vs Gram-positif, nampaknya
cukup optimal. Namun, rasio AUC 24 jam/KHM untuk fluoroquinolone
sangat bervariasi.
Antibiotika tipe II menunjukkan sifat yang sama sekali berlawanan.
Rejimen dosis ideal untuk antibiotika ini diperoleh dengan memaksimalkan
durasi paparan. Parameter yang paling berkorelasi dengan efikasi adalah
apabila waktu (t) di atas KHM. Untuk beta-lactam dan erythromycin, efek
bakterisidal maksimum diperoleh bila waktu di atas KHM minimal 70% dari
interval dosis.
Antibiotika tipe III memiliki sifat campuran, yaitu tergantung waktu
dan efek persisten yang sedang. Rejimen dosis ideal untuk antibiotika ini
diperoleh dengan memaksimalkan jumlah obat yang masuk dalam sirkulasi
sistemik. Efikasi obat ditentukan oleh rasio AUC 24 jam/KHM. Untuk
Vancomycin, diperlukan rasio AUC 24 jam/KHM minimal 125.

Pedoman Penggunaan 2
Gambar 2. Pola Aktivitas Antibiotika berdasarkan Profil PK/PD

3.2 Penggolongan Antibiotika


Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa
atau kulit dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil
mengeliminasi bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila
bakteri berkembang biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun
tersebut maka akan terjadi penyakit infeksi yang disertai dengan tanda-
tanda inflamasi. Terapi yang tepat harus mampu mencegah
berkembangbiaknya bakteri lebih lanjut tanpa membahayakan host.
Antibiotika adalah obat yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri.
Antibiotika bisa bersifat bakterisid (membunuh bakteri) atau
immunocompromised (misalnya pada pasien neutropenia) atau infeksi di
lokasi yang terlindung (misalnya pada cairan cerebrospinal), maka
antibiotika bakterisid harus digunakan.
Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mengatasi
infeksi bakteri. Antibiotik bisa bersifat bakterisid (membunuh
bakteri) atau bakteriostatik (menghambat berkembang biaknya
bakteri). Antibiotik dikelompokkan berdasarkan mekanisme kerja,
struktur kimia, dan spektrum aktivitas antibakterinya. Spektrum
antibiotik dibedakan atas aktivitas terhadap bakteri Gram-positif,
Gram-negatif, aerob, dan anaerob. Antibiotik disebut berspektrum
luas bila aktivitasnya mencakup dua kelompok bakteri atau lebih.

Pedoman Penggunaan 2
A. Penggolongan Antibiotik berdasarkan Kemampuan Antibakteri
terhadap Bakteri Gram-positif dan Gram-negatif
Kelompok Antibiotik
Gram-positif Daptomisin;
Klindamisin;
Linkomisin;
Linezolid;
Makrolid (azitromisin, eritromisin, danklaritromisin);
Penisilin (benzatin benzil penisilin, dikloksasilin,
fenoksimetil penisilin, kloksasilin, prokain benzil
penisilin, nafsilin, oksasilin);
Sefalosporin generasi pertama (sefadroksil, sefaleksin,
sefalotin, sefazolin);
Tetrasiklin dan doksisiklin;
Teikoplanin;
Vankomisin.

Gram-negatif Aztreonam;
Aminoglikosida;Kolistin;
Polimiksin B;
Sefalosporin generasi kedua (sefaklor, sefoksitin,
cefotetan, sefuroksim);
Gram-positif Ampisilin, ampisilin-sulbaktam, amoksisilin,
& Gram-
amoksisilin-asam klavulanat;
negatif
Fluorokuinolon (levofloksasin, moksifloksasin,
siprofloksasin);
Fosfomisin;
Karbapenem (doripenem, imipenem, meropenem,
ertapenem);
Kloramfenikol;
Ko-trimoksazol; nitrofurantoin;
Piperasilin, piperasilin-tazobaktam, dan tikarsilin(baik
untuk Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus dan
Enterococcus);
Sefalosporin generasi ketiga (sefdinir, sefiksim,
sefoperazon, sefotaksim, sefpodoksim, seftazidim,
seftriakson)
Sefepim
Tigesiklin (kurang aktif untuk Pseudomonas dan
Proteus)

Pedoman Penggunaan 2
Beberapa antibiotik memperlihatkan aktivitas antibakteri yang
khusus.
1. Sulfonamid efektif terhadap Nocardia spp., Chlamydia
spp., beberapa protozoa.
2. Metronidazol efektif terhadap bakteri anaerob Gram-
positif dan Gram- negatif.
3. INH, etambutol, pirazinamid, rifampisin, streptomisin,
dapson, azitromisin/klaritromisin efektif terhadap
mikobakteri.
4. Kolistin efektif terhadap Acinetobacter spp. dan
Pseudomonas spp. tapi tidak aktif terhadap Proteus,
Serratia, Providentia, Burkholderia, Stenotrophomonas,
kokus Gram-positif, atau anaerob.
5. Kelompok tetrasiklin efektif terhadap bakteri atipikal,
Rickettsia, Spirochaeta.
6. Kelompok makrolida (eritromisin, azitromisin,
klaritromisin) efektif terhadap bakteri atipikal,
Haemophilus influenzae, Helicobacter pylori,
Mycobacterium avium.
7. Trimetoprim/sulfametoksazol efektif terhadap
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,
Stenotrophomonas maltophilia, Listeria, Pneumocystis
jirovecii (Pneumocystis carinii), Toxoplasma gondii.
8. Klindamisin efektif terhadap kokus Gram-positif,
kuman anaerob, dan
Plasmodium spp.
B. Penggolongan antibiotika berdasarkan mekanisme kerja :
1. Obat yang Menghambat Sintesis atau Merusak Dinding Sel Bakteri
a. Antibiotika Beta-lactam
Antibiotika beta-lactam terdiri dari berbagai golongan obat
yang mempunyai struktur cincin beta-lactam, yaitu penicillin,
cephalosporin, monobactam, carbapenem, dan inhibitor beta
lactamase. Obat-obat antiobiotik beta-lactam umunya bersifat
bakterisid, dan sebagian besar efektif terhadap organisme
Gram-positif dan negatif. Antibiotika beta-lactam menganggu
sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat langkah

Pedoman Penggunaan 2
terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang
memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri.
a) Penicillin
Golongan penicillin diklasifikasikan berdasarkan spektrum
aktivitas antibiotikanya.

Tabel 7. Antibiotika Golongan Penicillin

Golongan Contoh Aktivitas


Penicillin G dan Penicillin G dan Sangat aktif terhadap kokus Gram-
penicillin V penicillin V positif, tetapi cepat dihidrolisis oleh
penicillinase atau beta-lactamase,
sehingga tidak efektif terhadap S.
aureus
Penicillin yang resisten Metisilin, nafcillin, Merupakan obat pilihan utama untuk
terhadap beta- oxacillin, terapi S.Aureus yang memproduksi
lactamase/ cloxacillin, dan penicillinase
penicillinase dicloxacillin Aktivitas antibiotika kurang poten
terhadap mikroorganisme yang sensitif
terhadap penicillin G.
Aminopenicillin Ampicillin, amoxicillin Selain mempunyai aktivitas terhadap
bakteri Gram ppositif, juga mencakup
mikroorganisme Gram-negatif, seperti
Haemophilus influenzae, Escherichia
coli, dan Proteus mirabili. Obat-obat ini
sering diberikan bersama inhibitor beta-
lactamase (clavulanic acid
sulbactam, tazobactam) untuk
mencegah hidrolisis oleh beta-lactamase
yang semakin banyak ditemukan pada
bakteri Gram-negatif ini.
Carboxypenicillin Carbenicillin, ticarcillin Antibiotika untuk Pseudomonas,
Enterobacter, dan Proteus.
Aktivitas antibiotika lebih rendah
dibanding ampicillin terhadap kokus
Gram-positif, dan kurang aktif
dibanding piperacillin dalam melawan
Pseudoman. Golongan ini dirusak oleh
beta-lactamase.
Ureidopenicillin Mezlocillin, azlocillin,Aktivitas antibiotika terhadap
dan Pseudomonas, Klebsiella, dan Gram-
pipercillin negatif lainnya.
Golongan ini dirusak oleh beta-
lactamase.

Tabel 8. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa Penicillin

Ekskresi Penyesuain
Cara Waktu Paruh
Obat Ginjal Dosis
Pemberian
Pada Gagal
(jam) (%)
Ginjal
Penicillin alami
Penicillin G IM, IV 0,5 79-85 Ya
Penicillin V Oral 0,5 20-40 Ya
Penicillin Anti-staphylococcus (resisten penicillinase)
Nafisilin IM, IV 0,8-1,2 31-38 Tidak

Pedoman Penggunaan 2
Oxacillin IM, IV 0,4-0,7 39-66 Tidak
Kloxacillin Oral 0,5-0,6 49-70 Tidak
Dikloxacillin Oral 0,6-0,8 35-90 Tidak
Aminopenicillin
Ampicillin Oral, IM, IV 1,1-1,5 40-92 Ya
Amoxicillin Oral 1,4-2,0 86 Ya
Penicillin Anti-pseudomonas
Carbenicillin Oral 0,8-1,2 85 Ya
Mezlocillin IM, IV 0,9-1,7 61-69 Ya
Piperacillin IM, IV 0,8-1,1 74-89 Ya
Ticarcillin IM, IV 1,0-1,4 95 Ya
IM = intramuskuler; IV = intravena

b) Cephalosporin
Cephalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mekanisme serupa dengan penicillin. Cephalosporin diklasifikasikan
berdasarkan generasinya.
Tabel 9. Klasifikasi dan Aktivitas Cephalosporin
Generasi Contoh Aktivitas
Cefalexin, cefalotin,
Antibiotika yang efektif terhadap Gram-positif
I cefazolin, cefradin,
dan memiliki aktivitas sedang terhadap Gram-
cefadroxil
negatif.
Cefaclor, cefamandol,
cefuroxime, cefoxitin,
Aktivitas antibiotika Gram-negatif yang lebih tinggi
II cefotetan,
daripada generasi I.
cefmetazole,
cefprozil.
Cefotaxime, Aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram-positif
ceftriaxone, dibanding generasi I, tapi lebih aktif terhadap
ceftazidime, cefixime, Enterobacteriaceae, termasuk strain yang
III cefoperazone, memproduksi beta-lactamase. Ceftazidime dan
cefpodoxime, cefoperazone juga aktif terhadap P. Aeruginosa, tapi
moxalactam. kurang aktif dibanding generasi III lainnya terhadap
kokus Gram-positif.
IV Cefepime, cefpirome. Aktivitas lebih luas dibanding generasi III dan tahan
terhadap beta-lactamase.

Tabel 10. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa


Cephalosporin
Cara Waktu Ekskresi Penyesuaian Dosis
Obat Pemberi
an Paruh (jam) Ginjal (%) pada Gagal ginjal
Generasi I
Cefadroxil Oral 1,2-2,5 70-90 Ya
Cefazolin i.m., i.v. 1,5-2,5 70-95 Ya
Cefalexin Oral 1,0 95 Ya
Cefapirin i.m., i.v. 0,6 50-70 Ya
Cefradin Oral 0,7 75-100 Ya
Generasi II
Cefaclor Oral 0,6-0,9 60-85 Ya
Cefamandole i.m., i.v. 0,5-1,2 100 Ya

Pedoman Penggunaan 2
Cefmetazole i.v. 1,2-1,5 85 Ya
Cefonizid i.m., i.v. 3,5-4,5 95-99 Ya
Cefotetan i.m., i.v. 2,8-4,6 60-91 Ya
Cefoxitin i.m., i.v. 0,7-1,0 85 Ya
Cefprozil Oral 1,2-1,4 64 Ya
Cefuroxime i.m., i.v. 1,1-1,3 95 Ya
Cefuroxime axetil Oral 1,1-1,3 52 Ya
Generasi III
Cefdinir Oral 1,7 18 Ya
Cefepime i.m., i.v. 2,0 70-99 Ya
Cefixime Oral 2,3-3,7 50 Ya
Cefoperazone i.m., i.v. 2,0 20-30 Tidak
Cefotaxime i.m., i.v. 1,0 40-60 Ya
Cefpodoxime proxetil Oral 1,9-3,7 40 Ya
Ceftazidime i.m., i.v. 1,9 80-90 Ya
Ceftibuten Oral 1,5-2,8 57-75 Ya
Ceftizoxime i.m., i.v. 1,4-1,8 57-100 Ya
Cefriaxone i.m., i.v. 5,8-8,7 33-67 Tidak
Carbapenem
Imipenem/Cilastatin i.m., i.v. 1,0 50-70 Ya
Metropenem i.v. 1,0 79 Ya
Monobactam
Aztreonam i.m., i.v. 2,0 75 Ya
Generasi IV
Ceftazidime i.m., i.v. 1,9 NA NA
Cefepime i.m. 2,0 NA NA
h. m. = intramuskuler; i.v. = intravena.

c) Monobactam (beta-lactam monosiklik) Contoh: aztreonam.


Aktivitas : resisten terhadap beta-lactamase yang dibawa oleh
bakteri Gram-negatif. Aktif terutama terhadap bakteri Gram-
negatif. Aktivitasnya sangat baik terhadap Enterobacteriacease,
P. Aeruginosa, H. Influenzae dan ganokokus.
Pemberian: parenteral, terdistribusi baik ke seluruh tubuh,
termasuk cairan serebrospinal.
Waktu paruh: 1,7 jam.
Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi utuh melalui urin.
d) Carbapenem
Carbapenem merupakan antibiotika lini ketiga yang mempunyai
aktivitas antibiotika yang lebih luas daripada sebagian besar
beta-lactam lainnya. Yang termasuk carbapenem adalah
impenem, meropenem dan doripenem.

Pedoman Penggunaan 2
Spektrum aktivitas: menghambat sebagian besar Gram-positif,
Gram-negatif, dan anaerob. Ketiganya sangat tahan terhadap
beta-lactamase.
Efek samping: paling sering adalah mual dan muntah, dan
kejang pada dosis tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi SSP
atau dengan insufisiensi ginjal. Meropenem dan doripenem
mempunyai efikasi serupa imipenem, tetapi lebih jarang
menyebabkan kejang.
e) Inhibitor beta-lactamase
Inhibitor beta-lactamse melindungi antibiotika beta-lactam
dengan cara menginaktivasi beta-lactamase. Yang termasuk ke
dalam golongan ini adalah clavulanic acid, sulbactam, dan
tazobactam.
Clavulanic acid merupakan suicide inhibitor yang mengikat beta-
lactamse dari bakteri Gram-positif dan Gram-negatif secara
irreversible. Obat ini dikombinasi dengan amoxicillin untuk
pemberian oral dan dengan ticarcillin untuk pemberian
parenteral.
Sulbactam dikombinasi dengan ampicillin untuk penggunaan
parenteral, dan kombinasi ini aktif terhadap kokus Gram-positif,
termasuk S. Aureus penghasil beta-lactamase, aerob Gram-
negatif (tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan bakteri anaerob.
Tazobactam dikombinasi dengan piperacillin untuk penggunaan
parenteral. Waktu paruhnya memanjang dengan kombinasi ini,
dan eksresinya melalui ginjal.
f) Bacitraci
Bacitracin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotika
polipeptida, yang utama adalah bacitracin A. Berbagai kokus
dan basil Gram-positif, Neisseria, H. Influenzae, dan Treponema
pallidum sensitif terhadap obat ini. Bacitracin tersedia dalam
bentuk salep mata dan kulit, serta bedak untuk topikal.
Bacitracin jarang menyebabkan hipersensitivitas. Pada beberapa
sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin dan/atau
polimiksin. Bacitracin bersifat nefrotoksik bila memasuki
sirkulasi sistemik.
g) Vancomycin

Pedoman Penggunaan 2
Vancomycin merupakan antibiotika lini ketiga yang terutama
aktif terhadap bakteri Gram-positif. Vancomycin hanya
diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh S. Aureus
yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Semua basil Gram-
negatif dan mikrobakteria resisten terhadap Vancomycin.
Vancomycin diberikan secara intravena, dengan waktu paruh
sekitar 6 jam. Efek sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas,
demam, flushing dan hipotensi (pada infus cepat), serta
gangguan pendengaran dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi.
a. Obat yang Memodifikasi atau Menghambat Sintesis Protein
Obat antibiotika yang termasuk golongan ini adalah Aminoglycoside,
tetracycline, Chloramphenicol, macrolide (erythromycin, azithromycin,
klaritromisin), Clindamyicin, mupirocin, dan spectinomycin.
a. Aminoglycoside
Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat bakteri aerob
Gram-negatif. Obat ini mempunyai indeks terapi semput, dengan
toksisitas serius pada ginjal dan pendengaran, khususnya pada
pasien anak dan usia lanjut.
Efek samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun
vestibular), blokade neuromuskular (lebih jarang).

Tabel 11. Karakteristik Aminoglycosides

Kadar Terapeutik Serum Kadar Toksik Serum


Obat Waktu Paruh

(jam) (µg/ml) (µg/ml)


Streptomyci n
2-3 25 50

Neomycin 3 5-10 10

Kanamycin 2,0-2,5 8-16 35

Gentamycin 1,2-5,0 4-10 12

Tobramycin 2,0-3,0 4-8 12

Amikacin 0,8-2,8 8-16 35

Netilmycin 2,0-2,5 0,5-10 16

Diadaptasi dengan izin dari buku Fakta dan Perbandingan Obat. St. Louis Lippincott,
1985:1372.
b. Tetracycline
Antibiotika yang termasuk ke dalam golongan ini adalah tetracycline,
doxycycline, oxytetracycline, minocycline, dan chlortetracycline.

Pedoman Penggunaan 3
Antibiotika golongan ini mempunyai spektrum luas dan dapat
menghambat berbagai bakteri Gram-positif, Gram-negatif, baik yang
bersifat aerob maupun anaerob, serta mikroorganisme lain seperti
Ricketsia, Mycoplasma, Chlamydia, dan beberapa spesies
mikobakteria.
Tabel 12. Beberapa Sifat Tetracycline dan Obat-obat Segolongan

Ikatan
Obat Cara Pemberian Waktu Paruh Protein
yang Disukai Serum (jam) Serum (%)
Tetracycline HCl Oral, i.v. 8 25-60

Chlortetracycline HCl Oral, i.v. 6 40-70

Oxytetracycline HCl Oral, i.v. 9 20-35

Demeclocycline HCl Oral 12 40-90

Methacycline HCl Oral 13 75-90

Doxycycline Oral, i.v. 18 25-90

Minocycline HCl Oral, i.v. 16 70-75

c. Chloramphenicol
Chloramphenicol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat
bakteri Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Chlamydia,
Ricketsia, dan Mycoplasma. Chloramphenicol mencegah sintesis
protein dengan berikatan pada subunit ribosom 50S.
Efek samping : suspresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis
optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan
timbulnya ruam.
d. Macrolide (erythromycin, azithromycin, chlarithromycin,
Roxithromycin)
Macrolide aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat
menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian
besar Gram-negatif aerob resisten terhadap macrolide, namun
azithromycin dapat menghambat Salmonela. Azithromycin dan
klaritromisin dapat menghambat H. Influenzae, tetapi azithromycin
mempunyai aktivitas terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H. Pylori.
Macrolide mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara
berikatan dengan subunit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat
translokasi peptida.

Pedoman Penggunaan 3
1) Erythromycin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh
asam, sehingga pada pemberian oral, obat ini dibuat dalam
sediaan salut enterik. Erythromycin dalam bentuk estolat tidak
boleh diberikan pada dewasa karena akan menimbulkan liver
injury.
2) Azithromycin lebih stabil terhadap asam jika dibanding
erythromycin. Sekitar 37% dosis diabsorpsi, dan semakin
menurun dengan adanya makanan. Obat ini dapat meningkatkan
kadar SGOT dan SGPT pada hati.
3) Clarithromycin. Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika
diberikan bersama makanan. Obat ini terdistribusi luas sampai
ke paru, hati, sel fagosis, dan jaringan lunak. Metabolit
clarithromycin mempunyai aktivitas antibakteri lebih besar
daripada obat induk. Sekitar 30% obat disekresi melalui urin, dan
sisanya melalui feses.
4) Roxithromycin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan
aktivitas yang lebih tinggi melawan Haemophilus influenzae. Obat
ini diberikan dua kali sehari.
Roxithromycin hanya dimetabolisme sebagian, lebih dari separuh
senyawa diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga metabolit telah
diidentifikasi di urin dan feses: metabolit utama adalah
deskladinosa Roxithromycin, dengan N-mono dan N-di-demetil
Roxithromycin sebagai metabolit minor. Roxithromycin dan ketiga
metabolitnya terdapat di urin dan feses dalam persentase yang
hampir sama.
Efek samping yang paling sering terjadi adalah efek saluran cerna:
diare, mual, nyeri abdomen dan muntah. Efek samping yang lebih
jarang termasuk sakit kepala, ruam, nilai fungsi hati yang tidak
normal dan gangguan pada indra penciuman dan pengecap.
e. Clindamyicin
Clindamyicin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan
sebagian besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri
Gram-negatif aerob seperti Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia.
Efek samping: diare dan enterocolytis pseudomembranosa.
f. Mupirocin
Mupirocin merupakan obat tipikal yang menghambat bakteri Gram-
positif dan beberapa Gram-negatif.

Pedoman Penggunaan 3
Tersedia dalam bentuk krim atau salep 2% untuk penggunaan di kulit
(lesi kulit traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh S. Aureus
atau S. Pyogenes) dan salep 2% untuk intranasal.
Efek samping: iritasi kulit dan mukosa serta sensitisasi. Obat ini
diberikan secara intramuskular.
Dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk infeksi gonokokus bila
obat lini pertama tidak dapat digunakan. Obat ini tidak efektif untuk
infeksi Gonore faring. Efek samping: nyeri lokal, urtikaria, demam,
pusing, mual, dan insomnia.

3. Obat Antimetabolit yang Menghambat Enzim-enzim Esensial dalam


Metabolisme Folat
a. Sulfonamide dan Trimethoprim Sulfonamide bersifat bakteriostatik.
Trimethoprim dalam kombinasi dengan sulfametoksazol, mampu
menghambat sebagian besar patogen saluran kemih, kecuali P.
Aeruginosa dan Neisseria sp. Kombinasi ini menghambat S. Aureus,
Staphylococcus koagulase negatif, Streptococcus hemotilicus, H.
Influenzae, Neisseria sp, bakteri Gram-negatif aerob (E. Coli dan
Klebsiella sp), Enterobacter, Salmonella, Shigella, Yersinia, P. Carinii.
4. Obat yang Mempengaruhi Sintesis atau Metabolisme Asam Nukleat
a. Quinolone
1) Nalidixic acid
Nalidixic acid menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae.
2) Fluoroquinolone
Golongan fluoroquinolone meliputi norfloxacin, ciprofloxacin,
ofloxacin, moxifloxacin, pefloxacin, levofloxacin, dan lain lain.
Fluoroquinolone bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan
oleh Gonokokus, Shigella, E. Coli, Salmonella, Haemophilus,
Moraxella catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P. Aeruginosa.
b. Nitrofuran
Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon.
Absorpsi melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya
makanan. Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif,
termasuk E. Coli, Staphylococcus sp, Klebsiella sp, Enterococcus sp,
Neisseria sp, Salmonella sp, Shigella sp, dan Proteus sp.
3.3 Penggunaan Antibiotika
3.3.1 Hipersensitivitas Antibiotika

Pedoman Penggunaan 3
Hipersensitivitas antibiotika merupakan suatu keadaan yang
mungkin dijumpai pada penggunaan antibiotika, antara lain berupa
pruritus-urtikaria hingga reaksi anafilaksis. Profesi medik wajib
mewaspadai kemungkinan terjadi kerentanan terhadap antibiotika
yang digunakan pada penderita. Anafilaksis jarang terjadi tetapi bila
terjadi dapat berakibat fatal. Dua pertiga kematian akibat anafilaksis
umumnya terjadi karena obstruksi saluran napas.
Jenis hipersensitivitas akibat antibiotika :
a. Hipersensitivitas Tipe Cepat
Keadaan ini juga dikenal sebagai immediate hypersensitivity.
Gambaran klinik ditandai oleh sesak napas karena kejang di laring
dan bronkus, urtikaria, angioedema, hipotensi dan kehilangan
kesadaran. Reaksi ini dapat terjadi beberapa menit setelah
suntikan penicillin.
b. Hipersensitivitas Perantara Antibodi (Antibody Mediated Type II
Hypersensitivity) Manifestasi klinis pada umumnya berupa kelainan
darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia,
granulositopenia. Tipe reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi
sitotoksik. Sebagai contoh, Chloramphenicol dapat menyebabkan
granulositopeni, obat beta-lactam dapat menyebabkan anemia
hemolitik autoimun, sedangkan penicillin antipseudomonas dosis
tinggi dapat menyebabkan gangguan pada agregasi trombosit.
c. Immune Hypersensitivity-complex Mediated (Tipe III)
Manifestasi klinis dari hipersensitivitas tipe III ini dapat berupa
eritema, urtikaria dan angioedema. Dapat disertai demam, artralgia
dan adenopati. Gejala dapat timbul 1-3 minggu setelah pemberian
obat pertama kali, bila sudah pernah reaksi dapat timbul dalam 5
hari. Gangguan seperti SLE, neuritis optik, glomerulonefritis, dan
vaskulitis juga termasuk dalam kelompok ini.
d. Delayed Type Hypersensitivy
Hipersensitivitas tipe ini terjadi pada pemakaian obat topikal
jangka lama seperti sulfa atau penicillin dan dikenal sebagai kontak
dermatitis.
Reaksi paru seperti sesak, batuk dan efusi dapat disebabkan
nitrofurantoin. Hepatitis (karena isoniazid), nefritis interstisial
(karena antibiotika beta-lactam) dan ensefalopati (karena
chlarithromycin) yang reversibel pernah dilaporkan.

Pedoman Penggunaan 3
Pencegahan Anafilaksis :
a.Selalu sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat.
b.Diagnosa dapat diusahakan melalui wawancara untuk
mengetahui riwayat alergi obat sebelumnya dan uji kulit
(khusus untuk penicillin). Uji kulit tempel (patcht test) dapat
menentukan reaksi tipe I dan obat yang diberi topikal (tipe IV).
c. Radio Allergo Sorbent Test (RAST) adalah pemeriksaan yang
dapat menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai
antigen, juga tersedia dalam bentuk panil. Disamping itu untuk
reaksi tipe II dapat digunakan test Coombs indirek dan untuk
reaksi tipe III dapat diketahui dengan adanya IgG atau IgM
terhadap obat.
d.Penderita perlu menunggu 20 menit setelah mendapat terapi
parenteral antibiotika untuk mengantisipasi timbulnya reaksi
hipersensitivitas tipe I.
e. Tatalaksana Anafilaksis dapat dilihat di SPO masing-masing
ruang perwatan/IGD/kamar operasi.

3.3.2 Antibiotika Profilaksis Untuk Berbagai Kondisi Medis


Dapat dilihat pada kebijakan penggunaan antibiotika profilaksis medis
dan PPA.
3.3.3 Profilaksis pada Korban Pemerkosaan
a. Trichomoniasis, bacterial vaginosis, gonore, dan infeksi Chlamydia
adalah infeksi tersering pada wanita korban pemerkosaan.
b. Pada wanita yang aktif secara seksual, kejadian infeksi ini juga
tinggi, sehingga infeksi yang terjadi tidak selalu diakibatkan oleh
perkosaan tersebut. Pemeriksaan pasca perkosaan seyogyanya
dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab infeksi lain (misal
chlamydia dan gonokokus) karena berpotensi untuk terjadi infeksi
asendens.
c. Terapi pencegahan rutin dianjurkan sesudah terjadi perkosaan
karena follow up korban sulit.
d. Profilaksis yang dianjurkan sebagai terapi preventif adalah:
1) Vaksinasi hepatitis B post paparan, tanpa HBIg dapat
melindungi dari infeksi hepatitis B. Vaksinasi hepatitis B harus
diberikan pada korban saat pemeriksaan awal bila mereka

Pedoman Penggunaan 3
belum pernah divaksinasi. Dosis follow up harus diberikan 1-2
dan 4-6 bulan sesudah dosis pertama.
2) Terapi antibiotika empirik untuk Chlamydia sp, Gonorrhies sp,
Trichomonas sp dan bacterial vaginosis. Antibiotika yang
dianjurkan adalah:
a. Ceftriaxone 125 mg IM dosis tunggal PLUS metronidazol 2 g
per oral dosis tunggal PLUS azithromycin 1 g per oral dosis
tunggal ATAU
b. Doksisilin 100 mg 2 x/hari per oral selama 7 hari.
e. Apabila ada risiko terkena HIV, konsultasikan dengan spesialis
terapi HIV.
3.3.4 Sepsis dan Syok Septik
1. Sepsis pada Dewasa
Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam
jiwa akibat disregulasi respons tubuh terhadap infeksi.
Sementara itu, syok septik adalah sepsis yang disertai
gangguan hemodinamik dan metabolik yang memerlukan
dukungan vasopresor untuk mencapai target tekanan darah
arteri rerata ≥65 mmHg. Kedua keadaan ini merupakan
kedaruratan medis yang memerlukan resusitasi cepat,
cermat, dan adekuat. Keterlambatan dalam melakukan
resusitasi dan pemberian antibiotik yang tepat akan
meningkatkan mortalitas.
Surviving sepsis campaign (SSC) merekomendasikan
penggunaan quick sequential organ failure assesment (qSOFA)
untuk identifikasi sepsis lebih dini. Skor qSOFA ≥2
menandakan adanya disfungsi organ dan selanjutnya perlu
dipastikan dengan penilaian skor SOFA. Tata laksana sepsis
harus segera dilakukan tanpa menunggu skor SOFA dapat
dihitung. Jika nilai SOFA meningkat ≥2 maka pasien
dikonfirmasi mengalami sepsis. Namun apabila qSOFA <2
dan kecurigaan terhadap sepsis masih tinggi maka harus
dilakukan penilaian skor SOFA. Pasien didiagnosis syok
septik apabila telah mendapat cukup cairan tetapi tekanan
arteri rerata (mean arterial pressure)
<65 mmHg dan/atau kadar laktat darah >2 mmol/L (>18
mg/dL). Kondisi ini memerlukan pemberian vasopresor.

Pedoman Penggunaan 3
Penegakan diagnosis sepsis diawali dengan adanya
infeksi atau kecurigaan terhadap infeksi. Dalam
kegawatdaruratan medik, skor qSOFA digunakan sebagai
pedoman utama. Parameter qSOFA adalah perubahan
kesadaran, RR ≥22 /menit, tekanan darah sistolik ≤100
mmHg. Adanya gangguan fungsi organ dapat diasumsikan
menggunakan peningkatan skor sequential organ failure
assesment (SOFA) ≥ 2 poin.
a. Algoritma Skrining pada Kecurigaan Sepsis dan Syok
Sepsis

Algoritma Skrining dengan Kecurigaan Sepsis dan Syok Sepsis

Pedoman Penggunaan 3
c. Skor SOFA
Tabel 1. Skor SOFA
Skor
Sistem
0 1 2 3 4
Respirasi < 200 < 100
PaO2/FiO 2 ≥ 400 <400 <300 mmHg (26,7 mmHg (13,3
mmHg (53,3 mmHg mmHg (40 kPa) kPa)
mmHg (kPa)
kPa) (53,3 kPa) dengan alat dengan alat
kPa) bantu bantu
pernapasan pernapasan
Koagulasi ≥ 150 <150 <100 <50 <20
Platelet, x
103/µL
Fungsi Hati < 1.2 (20) 1.2-1.9 2.0-5.9 6.0-11.9 >12.0
Bilirubin, (20 – 32) (33 – 101) (102 – 204) (204)
mg/dL
(µmol/L)
Kardiovasku MAP≥70 MAP < Dopamin < Dopamin5.1 Dopamin
lar mmHg 70mmHg 5 -15 atau >15
atau epinefrin atau
dobutamin ≤0,1
(dosis epinefrin
atau >0,1 atau
berapapun
) norepinefrin norepinefrin
>0,1b

Skor
Sistem
0 1 2 3 4
≤0,1 b
Sistem 15 13-14 10-12 6-9 <6
Syaraf
Pusat
Glasgow
Coma Scale
Scorec
Fungsi <1.2 (110) 1.2-1.9 2.0-3.4 3.5-4.9 >5.0
(110-170) (171-299) (300-440) (440)
Ginjal <500 <200
Kreatinin
mg/dL
(µmol/L)
Urine output
mL/d
b: Dosis Katekolamin =µg/kg/menit, setidaknya 1 jam
c: GCS=3-15; Skor semakin tinggi menunjukkan fungsi
neurologis lebihbaik

1. Sepsis pada Anak


Untuk menegakkan diagnosis sepsis pada anak
diperlukan bukti adanya infeksi berupa tanda SIRS, faktor
predisposisi, dan anamnesis tentang kecurigaan ke arah
infeksi salah satu sistem organ. Bila terdapat 2 dari 4 tanda

Pedoman Penggunaan 3
SIRS langkah berikutnya adalah mencari tanda bahaya
(warning sign) adanya risiko disfungsi organ.
Disfungsi organ perlu diwaspadai bila ditemukan 2 dari
4 tanda klinis: penurunan kesadaran (ditandai dengan
Glasgow coma scale (GCS) < 11), penurunan saturasi
oksigen (SpO2< 92% tanpa pemberian oksigen dan/atau
ventilasi mekanik), gangguan kardiovaskular, dan
penurunan produksi urin. Gangguan kardiovaskular dinilai
berdasarkan ditemukannya dua dari tiga gejala berikut,
yaitu pemanjangan waktu pengisian kapiler, perbedaan
suhu inti (oral, rektal, timpani) dan suhu perifer (aksiler) >
30 C, dan produksi urin < 0,5 mL/kgBB/jam.
Secara laboratoris, respons inflamasi berdasarkan pada
jumlah leukosit, CRP, transaminase serum, dan
prokalsitonin. Diduga suatu infeksi, jika dijumpai
predisposisi, fokus, tanda dan gejala klinis infeksi berupa
tiga dari empat gejala klinis (GCS, saturasi, gangguan
kardiovaskular, produksi urin) ditambah dua atau lebih
penanda biologis infeksi (leukosit, CRP, prokalsitonin,
transaminase serum).

Gambar 3. Alur Penegakan Diagnosis Sepsis pada Anak

Pada neonatus, sepsis bakterial menunjukkan gejala


yang tidak spesifik. Gejalanya dapat berupa instabilitas suhu,
hipotensi, perfusi buruk (pucat, sianosis, mottled), asidosis

Pedoman Penggunaan 3
metabolik, iritabel, kejang, feeding intolerance, distensi
abdomen, kuning, purpura dan perdarahan. Tanda awal
sepsis neonatus dapat berupa apnea atau takipnea dengan
retraksi, pernapasan cuping hidung, merintih, atau
takikardia.

3.3.5 Multidrug Resistant Organisms (MDRO)


Multidrug resistant organisms (MDRO) adalah
mikroorganisme yang resisten terhadap dua atau lebih
golongan antibiotik. Bakteri yang termasuk MDRO: Extended-
spectrum beta-lactamase producing Enterobacteriaceae
(ESBLs), methicilin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA),
Pseudomonas aeruginosa,Acinetobacter baumannii,
Vancomycin-resistant Enterococci (VRE), dan Carbapenem-
resistant enterobacteriaceae (CRE).
Ketika pasien menggunakan antibiotik, populasi
mikroorganisme komensal ikut terbunuh, kecuali bakteri
yang sudah memiliki gen resistensi. Antibiotik memicu
proses seleksi karena antibiotik akan membunuh bakteri
yang sensitif dan meninggalkan bakteri resisten tetap hidup.
Semakin lama pasien menggunakan antibiotik, semakin
besar populasi bakteri resisten karena perkembangannya
tidak dihambat oleh bakteri komensal. Suatu saat, populasi
bakteri hanya terdiri dari bakteri resisten. Dampak infeksi
MDRO terhadap pelayanan klinis di antaranya luka
pascabedah tidak mudah sembuh, angka kesakitan, angka
kematian, kecacatan, masa perawatan dan biaya perawatan
meningkat, produktivitas pasien menurun. Selain itu, MDRO
menyebar ke pasien lain, petugas kesehatan, keluarga, dan
pengunjung pasien.

Pedoman Penggunaan 4
BAB III
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SECARA BIJAK

A. Penatagunaan Antibiotik (PGA)


Penggunaan antibiotik secara bijak adalah penggunaan
antibiotik secara rasional dengan mempertimbangkan dampak
muncul dan menyebarnya bakteri resisten. Penerapan
penggunaan antibiotik secara bijak dikenal sebagai
penatagunaan antibiotik (antibiotics stewardship) yang
bertujuan meningkatkan outcome pasien secara terkoordinasi
melalui perbaikan kualitas penggunaan antibiotik yang meliputi
penegakan diagnosis, pemilihan jenis antibiotik, dosis, interval,
rute, dan lama pemberian yang tepat.
Pengendalian penggunaan antibiotik dilakukan dengan
cara mengelompokkan antibiotik dalam kategori AWaRe:
ACCESS, WATCH, dan RESERVE. Pengelompokan ini
bertujuan memudahkan penerapan penatagunaan antibiotik
baik di tingkat lokal, nasional, maupun global; memperbaiki
hasil pengobatan; menekan munculnya bakteri resisten; dan
mempertahankan kemanfaatan antibiotik dalam jangka
panjang. Kategorisasi ini mendukung rencana aksi global
WHO dalam pengendalian resistensiantimikroba.
Antibiotik kelompok ACCESS:
1. Tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Untuk pengobatan infeksi bakteri yang umum terjadi.
3. Diresepkan oleh dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan
dikaji olehapoteker.
4. Penggunaan sesuai dengan panduan praktik klinis dan
panduanpenggunaan antibiotik yang berlaku.
Antibiotik kelompok WATCH:
1. Tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut.
2. Digunakan untuk indikasi khusus atau ketika antibiotik kelompok
ACCESS tidak efektif.
3. Kelompok ini memiliki kemampuan lebih tinggi dan berpotensi
menimbulkan resistensi.
4. Diresepkan oleh dokter spesialis, dokter gigi spesialis, dikaji
oleh apoteker, dan disetujui oleh dokter konsultan infeksi;
apabila tidak tersedia dokter konsultan infeksi persetujuan

Pedoman Penggunaan 4
diberikan oleh dokter anggota Komite Pengendalian
Resistensi Antimikroba (KPRA) yang ditetapkan oleh
pimpinanrumah sakit.
5. Penggunaan sesuai dengan panduan praktik klinis dan
panduan penggunaan antibiotik yang berlaku.
Antibiotik kelompok RESERVE
1. Tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut.
2. Antibiotik kelompok ini dicadangkan untuk mengatasi
infeksi bakteri yang disebabkan oleh MDRO dan
merupakan pilihan terakhir pada infeksi berat yang
mengancam jiwa.
3. Menjadi prioritas program pengendalian resistensi
antimikroba secara nasional dan internasional yang
dipantau dan dilaporkan penggunaannya.
4. Diresepkan oleh dokter spesialis dan dokter gigi spesialis,
dikaji oleh apoteker, dan disetujui penggunaannya oleh tim
Penatagunaan Antibiotik (PGA) yang merupakan bagian
dari Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA)
Rumah Sakit.
5. Penggunaan sesuai dengan panduan praktik klinis,
panduan penggunaan antibiotik yang berlaku dan hasil
pemeriksaan mikrobiologi.
Pengelompokan antibiotik kategori ACCESS, WATCH, dan
RESERVE (AWaRe) tercantum pada tabel berikut ini.
Tabel 3. Pengelompokan Antibiotik Kategori ACCESS, WATCH, dan
RESERVE (AWaRe)
Kategori Kategori
Kategori “ACCESS”
“WATCH” “RESERVE”
Amoksisilin Pirimetamin Amikasin Aztreonam
Ampisilin Prokain Azitromisin Daptomisin**
penisilin

Amoksisilin- Sefadroksil Fosfomisin Golongan

asam Karbapenem

klavulanat
Ampisilin- Sefaleksin Klaritromisin Kotrimoksazol
sulbaktam (inj)**

Benzatin benzil Sefazolin* Levofloksasin Linezolid

Pedoman Penggunaan 4
penisilin
Doksisiklin Siprofloksasin Moksifloksasin Nitrofurantoin**
(oral)
Piperasilin-
Eritromisin Spiramisin Netilmisin
tazobaktam

Fenoksimetil Streptomisin Ofloksasin


Polimiksin B**
penisilin

Gentamisin Sulfadiazin Sefiksim Polimiksin E **


Kanamisin Tetrasiklin Sefoperazon- Sefepim
sulbaktam
Klindamisin Tiamfenikol Sefotaksim Sefpirom
(oral)

Kloksasilin Ko-trimoksazol Sefpodoksim Seftarolin


oral proksetil
Kloramfenikol Seftazidim Teikoplanin
Metronidazol Seftriakson Tigesiklin
Oksitetrasiklin Sefuroksim Vankomisin
injeksi
Siprofloksasin Seftolozane-
(inj)
Tazobaktam
Seftazidime-
avibaktam
Keterangan:
*) khusus untuk profilaksis bedah
**) disediakan melalui Special Access Scheme (SAS)

Pedoman Penggunaan 4
3.3.4 Pedoman Penggunaan Antibiotika Pada Kelompok Khusus
Untuk anak dan ibu hamil dapat dilihat dalam PPA SMF.

Pedoman Antibiotik Terapi Empirik pada Pasien Neonatus

REKOMENDASI
No DIAGNOSIS KUMAN PENYEBAB DOSIS LAMA CARA KETERANGAN
ANTIBIOTIK

1. Infeksi E.coli Lini 1


neonatus Group B Streptococcus Ampisilin 50 mg/kg/12 jam 1-7 hari
Lini 2
Sefotaksim 50 mg/kg/12 jam 1-7 hari
Lini 3
Seftazidim 50 mg/kg/12 jam 1-7 hari
Lini 4
Meropenem 20-40mg/kg/12 1-7 hari
jam
Dan
IV
Lini 1
Gentamisin 1-7 hari
Lini 2 5 mg/kg/24 jam
Amikasin 1-7 hari
10 mg/kg/12 jam

Pedoman Penggunaan 4
REKOMENDASI
No DIAGNOSIS KUMAN PENYEBAB DOSIS LAMA CARA KETERANGAN
ANTIBIOTIK

2 Meningitis E.coli Lini 1


Group B Streptococcus Ampisilin 100 mg/kg/12 1-7 hari IV
Lini 2 jam
Ceftriaxon
Lini 3
Meropenem 1-7 hari
20-40mg/kg/12
Dan jam

Lini 1
Gentamisin 1-7 hari
Lini 2
Amikasin 5 mg/kg/24 jam 1-7 hari
Atau
Metronidazol 10 mg/kg/12 jam

Pedoman Penggunaan 4
Pedoman Antibiotik Terapi Empirik pada Pasien Bayi dan Anak

REKOMENDASI
No DIAGNOSIS KUMAN PENYEBAB DOSIS LAMA CARA KET
ANTIBIOTIK

1 Demam Typhoid Salmonella enterica Lini Pertama


tanpa serovar Typhi Kloramfenikol 100mg/kgBB/hari 14 hari IV, p.o..
komplikasi dibagi 4 dosis. (Lihat KU
Maksimal 1500 mg pasien)
Lini Kedua
Seftriakson 1 x 80mg/kgBB/hari 5 hari IV
Sefixim 2 x 10 mg/kgBB/hari 5 hari (Total 10 p.o..
hari dg inj
Seftriakson)
2 Demam Typhoid Salmonella enterica Penambahan
Dengan serovar Typhi Metronidazol 15-30 mg/kgBB/hari 10 hari IV
komplikasi Dibagi 3 dosis
3 Tetanus Clostridium tetani Lini Pertama
Penisilin Prokain 50.000 IU/KgBB/ hari 10 hari IM
(PP) dibagi 2 dosis (atau sampai 3
Bila alergi PP: hari setelah
50 mg/KgBB/hari panas turun)
Tetrasiklin Dibagi 4 dosis 10 hari p.o.

50 mg/KgBB/hari
Dibagi 4 dosis 10 hari p.o.
Eritromisin

Pedoman Penggunaan 4
REKOMENDASI
No DIAGNOSIS KUMAN PENYEBAB DOSIS LAMA CARA KET
ANTIBIOTIK
3 Tetanus Clostridium tetani Lini Kedua
(lanjutan) Metronidazol 1 x 15 mg/KgBB/hari Loading dose IV
dosis inisial) dilanjutkan
30 mg/kgBB/hari dibagi 10 hari IV
dalam 4 dosis

4. Difteria Corynebacterium Penisilin Prokain 50.000 IU/kgBB/ hari 10 hari IM


diphteriae Dibagi dlm 2 dosis

Eritromicin 40-50 mg/kgBB/ hari 10 hari p.o..


(bila alergi PP) dibagi dlm 4 dosis
Max dose:2 gram/hari
5. Demam tanpa Bakteri Gram (+) Lini Pertama
fokus yang jelas atau Amoksilin 50mg/KgBB/hari 3 hari IV /p.o..
(Fever of Gram + dibagi dalam 3 dosis 3 hari
Unknown (-) Clavulanic acid
Source/FUS) ATAU
dengan tanda- Ampicillin+ 100mg/perKgBB/hari IV
tanda infeksi Sulbactam dibagi dalam 4 dosis
bakterial
Lini Kedua 1 x 75 mg/KgBB/hari IV
Seftriakson Max dose:2 gr/hari
(Konsultasi ke
senior)

Pedoman Penggunaan 4
N KUMAN REKOMENDASI
DIAGNOSIS DOSIS LAMA CARA KET
o PENYEBAB ANTIBIOTIK

6. Leptospirosis Leptospira spp Penisilin G 6-8 juta U/ m²BSA/hari 7 hari


atau dibagi 6 dosis

Amoxicillin 30-100 mg/kgBB/ hari 7 hari


dibagi 3 - 4 dosis
Seftriakson 1x 80mg/KgBB/hari 7 hari
7. Meningitis Usia 1 bl – 5 th Umur 10-14 hari IV
bakterial -H. influenza 1-3 bl
- S. pneumoniae
- N. meningitis Lini Pertama
Ampisilin 200-400 mg.kgBB/hari
dan dibagi 4 dosis
Gentamicin

Lini Kedua
Seftriakson 100 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 1-2 dosis
Umur >3 bl 10-14 hari IV
Lini Pertama
Sefotaksim 200 mg/kgBB/hari
Lini Kedua dibagi dalam 3 dosis
Seftriakson 100 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 1-2 dosis

Pedoman Penggunaan 4
No DIAGNOSIS KUMAN REKOMENDASI DOSIS LAMA CARA KET
PENYEBAB ANTIBIOTIK
8 Meningitis Mycobacterium Rifampisin 1x 10-20 mg/kgBB/hari 12 bulan p.o..
tuberkulosa Tuberkulosis Isoniazid 1x 10-20 mg/kg/hari 12 bulan p.o..
Pirazinamid 1x 20-40 mg/kgBB/hari 2 bulan p.o..
Streptomisin atau 1x 20 mg/kgBB/hari 2 bulan IM
Etambutol 1x 15-25 mg/kgBB/hari 2 bulan p.o..
(max 2500)
9 Abses serebri - S. aureus Lini Pertama 4-6 minggu IV
- S. pneumoniae Ampisilin 200-400mg/kgBB/hari
- P. aeruginosa dan dibagi dlm 4 dosis
- Enterobacteria- Kloramfenikol 50-150 mg/kgBB/hari
ceae dan dibagi dlm 3 dosis
- Viridans cocci Metronidazol 1x 15 mg/kgBB (inisial)
- Anaerobic dilanjutkan 7,5
Streptococci mg/kgBB/hari dibagi
ATAU dalam 2 dosis
Sefotaksim 200mg/kgBB/hari dibagi 4-6 minggu IV
dan dalam 2 dosis
Metronidazol 1x 15 mg/kgBB
(inisial) dilanjutkan 7,5
mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis

Pedoman Penggunaan 4
No DIAGNOSIS KUMAN REKOMENDASI DOSIS LAMA CARA KET
PENYEBAB ANTIBIOTIK
9 Abses serebri Lini Kedua
lanjutan Seftriakson 200mg/kgBB/hari dibagi 4-6 minggu IV
dan dalam 2 dosis
Metronidazol 1x 15 mg/kgBB (inisial)
dilanjutkan 7,5
mg/kgBB/hari dibagi
dalam 2 dosis

10 Tuberculosis Mycobacterium Lini pertama


Paru tuberculosa Isoniazide 7-15 (10) mg/kgBB/hari 6 bulan p.o.
Rifampicin 10-20 (15)mg/kgBB/hari 6 bulan p.o.
Pyrazinamide 30-40 (35)mg/kgBB/hari 2 bulan p.o.

Lini kedua
Ethambutol 15-25 (20) mg/kgBB/hari 2 bulan p.o.
Streptomisin 15-40 (25) mg/kgBB/hari 2 bulan I.M
11 Tuberkulosis Mycobacterium Lini pertama 7-15 (10)mg/kgBB/hari 6-10 bulan p.o.
Berat/Ekstra Tuberculosis Isoniazide 10-20 (15) mg/kgBB/hari 6-10 bulan p.o.
Paru Rifampicin 30-40 (35) mg/kgBB/hari 2 bulan p.o.
Pyrazinamide 15-25 (20) mg/kgBB/hari 2 bulan p.o.
Ethambutol

Lini kedua 15-40 (25) mg/kgBB/hari 2 bulan I.M


Streptomisin

Pedoman Penggunaan 5
No DIAGNOSIS KUMAN REKOMENDASI DOSIS LAMA CARA KET
PENYEBAB ANTIBIOTIK

12 Pneumonia ß-Streptokokus Lini pertama


usia < 2 bulan atau kombinasi Ampicilin 50-100 mg/kgBB/hari 7-10 hari i.v
kuman gram positif dan i.v
dan gram negative Gentamicin 7,5 mg/kgBB/hari 7-10 hari
Lini kedua
Ceftriakson 50-100 mg/kgBB/hari 7-10 hari i.v
13 Pneumonia S. pneumonia, Lini pertama
usia 2 bln - 5 H. influenza Amoksisilin 25-50 mg/kgBBBB/hari 3-5 hari p.o.
thn S. aureus Lini kedua
Ampicilin 50-100 mg/kgBB/hari 7-10 hari i.v
dan
Gentamicin 7,5 mg/kgBB/hari 7-10 hari i.v
Lini ketiga
Ceftriakson 50-100 mg/kgBB/hari 7-10 hari i.v
14 Pneumonia S. pneumonia Lini pertama
Usia > 5 Tahun dan ß- Amoksisilin 25-50mg/kgBBBB/hari 3-5 hari p.o.
Streptokokus, Lini kedua
M. pneumoniae, Ampicilin 50-100 mg/kgBB/hari 7-10 hari i.v
C. pneumonia, dan
Gentamicin 7,5 mg/kgBB/hari 7-10 hari i.v
Lini ketiga
Ceftriakson 50-100 mg/kgBB/hari 7-10 hari i.v
dan
Eritromisin 50 mg/kgBB/hari 7-10 hari p.o./i.v

Pedoman Penggunaan 5
KUMAN REKOMENDASI
No DIAGNOSIS DOSIS LAMA CARA KET
PENYEBAB ANTIBIOTIK
15 Tonsilopharingitis Virus Tidak diberikan
akut antibiotik
Streptocomlus Lini pertama
haemoliticus gr. A Ampicilin 50-100 mg/kgBB/hari 7-14 hari p.o.
(S. pyogenes ) Lini kedua
Amoxycillin 50 mg/kgBB/hari 7-14 hari p.o.
Lini ketiga
Erithromycin 50 mg/kgBB/hari 7-10 hari p.o.
16 Pertusis Bordetella pertusis Lini Pertama
Eritromisin 30-50 mg/kgBB/hari 7-14 hari i.v / p.o.
Lini kedua
Azitromisin 10 mg/kgBB/hari 3-5 hari i.v / p.o.
Lini ketiga
Claritromisin 15 mg/kgBB/hari 5-7 hari i.v / p.o.

Pedoman Penggunaan 5
3.3.5 Upaya Untuk Meningkatkan Mutu Penggunaan Antibiotika
1. Prinsip penetapan dosis, interval, rute, waktu dan lama pemberian
(rejimen dosis) (Depkes, 2004; Tim PPRA Kemenkes RI, 2010;
Dipiro, 2006; Thomas, 2006; Trissel, 2009; Lacy, 2010):
a. Dokter menulis di rekam medik secara jelas, lengkap dan benar
tentang regimen dosis pemberian antibiotika, dan instruksi
tersebut juga ditulis di rekam pemberian antibiotika (RPA)
(Formulir Terlampir).
b. Dokter menulis resep antibiotika sesuai ketentuan yang berlaku,
dan farmasis/apoteket mengkaji kelengkapan resep serta dosis
rejimennya.
c. Apoteker mengkaji ulang kesesuaian instruksi pengobatan di
RPA dengan rekam medik dan menulis informasi yang perlu
disampaikan kepada dokter/perawat/tenaga medis lain terkait
penggunaan antibiotika tersebut dam memberi paraf pada RPA.
d. Apoteker menyiapkan antibiotika yang dibutuhkan yang
dibutuhkan secara
Unit Dose Dispensing (UDD) ataupun secara aseptic
dispensing
(pencampuran sediaan parenteral secara aseptis) jika SDM dan
saran tersedia. Obat yang sudah disiapkan oleh Instalasi
Farmasi diserahkan kepada perawat ruangan.
e. Perawat yang memberikan antibiotika kepada pasien (sediaan
perenteral/nonparenteral/oral) harus mencatat jam pemberian
antibiotika yang sudah ditemtukan/disepakati.
f. Antibiotika parenteral dapat diganti per oral, apabila setelah 24-
48 jam (NHS, 2009):
1) Kondisi klinis pasien membaik.
2) Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi,
gangguan menelan, diare berat).
3) Kesadaran baik.
4) Tidak demam (suhu >36°C dan <38°C), disertai tidak lebih dari satu
kriteria berikut:
a. Nadi >90 kali/menit
b. Pernapasan >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg
c. Tekanan darah tidak stabil
d. Leukosit <4.000 sel/dl atau >12.000 sel/dl (tidak ada
neutropeni)

Pedoman Penggunaan 5
2. Monitoring efekstivitas, efek samping dan kadar antibiotika dalam darah
a. Monitoring (Depkes, 2004; Lacy, 2010)
1) Dokter, apoteker dan spesialis mikrobiologi klinik melakukan
pemantauan terapi antibiotika setiap 48-72 jam, dengan
memperhatikan kondisi klinis pasien dan data penunjang yang ada.
2) Apabila setelah pemberian antibiotika selama 72 jam tidak ada
perbaikan kondisi klinis pasien, maka perlu dilakukan evaluasi
ualng tentang diagnosis klinis pasien, dan dapat dilakukan diskusi
dengan Tim PPRA Rumah Sakit untuk mencarikan solusi masalah
tersebut.
b. Monitoring efek samping/Adverse Drug Reactions (ESO/ADRs)
(Aronson, 2005; Thomas, 2006; Lacy, 2010; Depkes, 2008)
1) Dokter, apoteker, perawat dan spesialis mikrobiologi klinik
melakukan pemantauan secara rutin kemungkinan terjadi
ESO/ADRs terkait antibiotika yang digunakan pasien.
2) Pemantauan ESO/ADRs dilakukan dengan mengkaji kondisi klinik
pasien, data laboratorium serta data penunjang lain.
3) Jika terjadi ESO/ADRs dapat dilakukan ke Pusat MESO Nasional,
menggunakan form MESO.
4) Pelaporan ESO/ADRs dapat dilakukam oleh dokter, apoteker
maupun perawat, dan sebaiknya di bawah koordinasi Sub Komite
Farmasi dan Terapi yang ada di rumah sakit.
5) ESO/ADRs antibiotika yang perlu diwaspadai antara lain adalah
(Aroson, 2005; Koda Kimble, 2009; Pedoman MESO Nasional; Lacy,
2010; WHO, 2004):
a. Efek samping/ADRs akibat penggunaan antibiotika yang perlu
diwaspadai seperti syok anafilaksis, Steven Johnson’s Syndrome
atau toxic epidermal necrolysis (TEN). Antibiotika yang perlu
diwaspadai penggunaannya terkait kemungkinan terjadinya Steven
Johnson’s
Syndrome atau toxic epidermal necrolysis (TEN) adalah golongan
sulfonamide (Co-trimoxazole), penicillin/ampicillin, cephalosporin,
quinolone, rifampisin, tetracycline dan erythromycin.
b. Penggunaan penggunaan Chloramphenicol perlu diwaspadai terkait
efek samping yang mingkin terjadi pada sistem hematologi (serious

Pedoman Penggunaan 5
and fatal blood dyscrasias seperti anemi aplastik, anemia
hipoplastik, trombositopenia, dan granulositopenia).
c. Penggunaan antibiotika golongan Aminoglycosidea dapat
menyebabkan efek samping nefrotoksisitas dan ototoksisitas.
d. Penggunaan Vancomycin perlu diwaspadai kemungkinan terjadi
efek samping Redman’s syndrome karena pemberian injeksi yang
terlalu cepat, sehingga harus diberikan secara drip minimal selama
60 menit.
c. Monitoring kadar antibiotika dalam darah (TDM= Therapeutic drug
monitoring) (Depkes, 2004; Thomas, 2006; Lacy, 2010)
1) Pemantauan kadar antibiotika dalam darah perlu dilakukan utnuk
antibiotika yang mempunyai rentang terapi sempit.
2) Tujuan pemantauan kadar antibiotika dalam darah adalah untuk
mencegah terjadinya toksisitas/ADRs yang tidal diinginkan dan
untuk mengetahui kecukupan kadar antibiotika untuk membunuh
bakteri.
3) Antibiotika yang perlu dilakukan TDM adalah golongan
Aminoglycoside seperti gentamisin dan amikasin, serta Vancomycin.
4) Apabila hasil pemeriksaan kadar obat dalam darah sudah ada,
maka apoteker dapat memberikan rekomendasi/saran kepada
dokter apabila perlu dilakukan penyesuaian dosis.

3. Interaksi antibiotika dengan obat lain (Dipiro, 2006; Depkes, 20014;


Depkes, 2008; Aronson, 2005; Karen, 2010; Lacy, 2010)
a. Apoteker mengkaji kemungkinan interaksi antibiotika dengan obat
lain/larutan infus/makanan-minuman. Pemberian antibiotika juga
dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium.
b. Apoteker dapat memberikan rekomendasi kepada
dokter/perawat/pasien terkai dengan masalah interaksi yang
ditemukan.
4. Pemberian informasi dan konseling
a. Pelayanan informasi obat (PIO) (Depkes, 2004; McEvoy, 2005; Thomas,
2006; Trissel, 2009; Lacy, 2010)
1) Apoteker dapat memberikan informasi kepada dokter/perawat
tentang antibiotika parenteral/nonparenteral maupun topikal yang
digunakan pasien.

Pedoman Penggunaan 5
2) Informasi yang diberikan antara lain adalah tentang regimen dosis,
rekonstruksi, pengeceran/pencampuran antibiotika dengan larutan
infus. Pencampuran antibiotika dengan larutan infus memerlukan
pengetahuan tentang kompatibilitas dan stabilitas. Penyimpanan
obat sediaan asli/yang sudah direkonstitusi awal/dalam larutan
infus juga memerlukan kondisi tertentu.
3) Pemberian informasi oleh farmasis/apoteker dapat dilakukan
secara lisan maupun tertulis. Informasi tertulis tentang antibiotika
dibuat oleh Unit Pelayanan Informasi Obat (PIO) Instalasi Farmasi
Rumah Sakit.
b. Konseling (Depkes, 2006; McEvoy, 2005; Thomas, 2006; Lacy, 2010)
1) Konseling terutama ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan
pasien menggunakan antibiotika sesuai instruksi dokter dan untuk
mencegah timbul resistensi bakteri serta meningkatkan
kewaspadaan pasien/keluarganya terhadap efek samping/ adverse
drug reactions (ADRs) yang mungkin terjadi, dalam rangka
menunjang pelaksanaan program patient safety di rumah sakit.
2) Konseling tentang penggunaan antibiotika dapat diberikan pada
pasein/keluarganya di rawat jalan maupun rawat inap.
3) Konseling pasien rawat jalan dilakukan secara aktif oleh apoteker
kepada semua pasien yang mendapat antibiotika oral maupun
topikal.
4) Konseling pasien rawat jalan sebaiknya dilakukan di ruang
konseling khusus obat yang ada di apotik, utnuk menjami privacy
pasien dan memudahkan farmasis/apoteker untuk menilai
kemampuan pasien/keluarganya menerima informasi yang telah
disampaikan.
5) Konseling pada pasien rawat inap dilakukan secara aktif oleh
farmasis/apoteker kepada pasien/keluarganya yang mendapat
antibiotika oral maupun topikal, dapat dilakukan pada saat pasien
masih dirawat (bed-side counseling) maupun pada saat pasien akan
pulang (discharge counseling).
6) Konseling sebaiknya dilakukan dengan metode show and tell, dapat
disertai dengan pemberian informasi tertulis berupa leaflet dan
lain-lain.

Pedoman Penggunaan 5
3.4 Penggunaan Antijamur
Jamur (fungi) termasuk salah satu penyebab infeksi berat pada
pasien defisiensi imun dan pasien yang dirawat di rumah sakit.
Terdeteksinya jamur pada sediaan mikrobiologi sering dianggap
sebagai kontaminan, sehingga perlu pemeriksaan lebih teliti untuk
mengidentifikasi jamur tersebut potensi patogen atau bukan.
Infeksi jamur (fungi) dapat terjadi pada semua organ mulai
organ superfisial yaitu kulit sampai menjadi sistemik (menyebar
hematogenik, otak, hati, paru, ginjal dsb). Gejala klinis yang berat dan
fatal terjadi pada infeksi jamur sistemik. Infeksi jamur sistemik
merupakan masalah kesehatan besar di berbagai negara di dunia saat
ini dan lebih sering terjadi pada kasus defisiensi imun berat (pasien
dengan HIV, keganasan, kemoterapi, radiasi, pemakaian steroid lama,
autoimun, dan kondisi defisiensi imun lainnya) atau pasien yang lama
dirawat di rumah sakit. Secara teoritis semua jamur memiliki peluang
untuk menyebabkan infeksi sistemik, tetapi terdapat beberapa spesies
yang sering menjadi penyebab utama.
Obat antifungi yang tersedia saat ini bertujuan untuk eradikasi
spesies-spesies tersebut, tetapi diagnosis penyakit jamur sistemik juga
tidak mudah sehingga sangat mungkin akan terjadi pengobatan yang
terlambat atau justru berlebihan (overdiagnosis, overtreatment).1,2
1. Jamur yang sering menyebabkan infeksi sistemik
Terdapat 2 kelompok besar jamur (fungi) yaitu molds dan yeast.
Molds adalah fungi multiselular dan membentuk hifa, sedangkan
yeast adalah fungi uniselular dan berbiak dengan membentuk budding
atau fission. Dalam taksonomi, fungi adalah Kingdom, dengan 4
phyllum besar di dalamnya, Candida spp masuk dalam phyllum
Ascomycota famili Saccharomycetaceae; tetapi karena memiliki fase
berkembangbiak tidak lengkap maka Candida spp dimasukkan dalam
phyllum Deuteromycota (fungi imperfecti atau anamorphic) bersama
dengan Aspergillus dan Penicillium.1
Penyakit jamur sistemik dinamakan sesuai dengan penyebabnya,
yang paling sering antara lain Aspergillus spp, Blastomycoses,
Candidiasis, Coccidioidomycosis (Coccidioides immitis, Coccidioides
pyogenes), paracoccidioidomycosis (P. brasiliensis), Cryptococcosis
(Cryptococcus neoformans, Cryptococcus gattii), Histoplasmosis,
Sporotrichosis (lesi kulit ulseratif), dan Zygomycosis (mucormyosis).

Pedoman Penggunaan 5
Berdasarkan asal dari jamur, penyebab infeksi jamur sistemik
dapat dibagi juga menjadi jamur patogen (truly pathogen) yaitu
Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum, Blastomyces, dan
Paracoccidioides; dan jamur patogen oportunistik seperti candida spp,
aspergillus, Cryptococcus, Trichosporon (sporotrichosis), dan
Fusarium (mucor).3

Gambar 3. Penyebab mikosis invasif dari 7960 kasus

(Kazemi A. An overview on the global frequency of


superficial/cutaneous mycoses dan deep mycoses. Jundishapour J
Microbiol.2013:6:202-4)1
Secara umum jamur terdapat dalam bentuk tidak aktif (vegetatif
atau kolonisasi) pada permukaan tubuh (kulit dan mukosa) dan di
lingkungan. Invasi jamur sampai menimbulkan penyakit tergantung
pada jenis jamur, virulensi, jumlah jamur, dan daya tahan tubuh
inang.
Penyakit invasif akibat jamur terbanyak dan menjadi patogen
penyebab terbanyak infeksi rumah sakit adalah Candida spp.1,4 Jamur
seperti candida spp (yeast/ragi) merupakan organisma yang hidup
vegetatif pada permukaan mukosa rongga mulut, spesies terbanyak
adalah C. albicans. Dalam kondisi imunitas normal maka jamur ini
juga bisa berkolonisasi pada permukaan kulit dan mukosa lain.
Candida spp menjadi penyakit dan invasif tergantung pada virulensi
spesies, imunitas inang (host), dan jumlah dari koloni jamur. Flora
normal lain juga berpengaruh terhadap risiko invasi candida. Pasien
yang tergolong berisiko menderita candidosis invasif adalah neonatus,
wanita hamil, individu dengan defisiensi imun kongenital atau didapat,
kondisi imunosupresif akibat pengobatan (kemoterapi dan
kortikosteroid) atau radiasi, keganasan (hematologi dan non
hematologi), endokrinopati (diabetes mellitus), pascatrauma atau

Pedoman Penggunaan 5
pembedahan, dan perubahan kondisi pertahanan kulit/mukosa yang
disebabkan oleh alat medis invasif atau pengobatan (antimikroba baik
lokal maupun sistemik yang berlebihan).
Penyakit jamur invasif kedua terbanyak adalah aspergillosis dan
tersering menyerang paru (aspergilosis paru) dan otak (aspergilosis
serebral). Aspergilus terdapat pada lingkungan (tanah, sisa tanaman,
dan di lingkungan rumah sakit) dan masuk melalui saluran nafas.
Spesies tersering sebagai penyebab aspergilosis adalah A. fumigatus.
Aspergilus menyebar dalam bentuk konidia, dan pada manusia normal
dengan respons imun baik akan selalu dikeluarkan, tetapi pada
manusia dengan respons imun buruk (terutama netropenia akibat
penyakit lain yang mendasari NKC serta makrofag yang tidak
berfungsi dengan baik akibat kortikosteroid atau imunosupresan lain)
maka aspergilus dapat invasif keluar dari konidia dan berkolonisasi.
Terdapat beberapa macam spektrum klinis aspergilosis paru.
Inhalation aspergillus spores

Normal host Chronic lung Immunocompro


Cavita disease mi sed Asth
ry lung ma
disease or mild host Cystic
Immunocompromi fibros
sed is

host

No sequel
Aspergillom
a Chronic Invasive Allergic
bronchopulmon
necrotizing pulmonary ary
aspergillosis aspergillosis aspergillosis

Gambar 4. Spektrum aspergilosis paru (Spectrum of pulmonary aspergillosis)


(Kousha M, Tadi R, Soubani AO. Pulmonary aspergillosis: a clinical
review. Eur Respir Rev.2011;20:156-174)5

Cryptococcosis lebih sering terjadi pada pasien HIV dengan


penurunan kesadaran dan tahap defisiensi imun berat; dan
ditemukan di tanah terutama yang kaya akan kotoran unggas.
Coccidioidomycosis dan para coccidioidomycosis lebih jarang dan

Pedoman Penggunaan 5
terutama menyerang kulit, tulang, dan menyebabkan meningitis,
daerah endemis jamur ini adalah di perbatasan Amerika Serikat
dengan Amerika Latin. Histoplasma banyak terdapat pada kasus
defisiensi imun berat di lingkungan endemis Histoplasma yaitu daerah
tropis dan subtropis. Pada mucormycoses, diabetes mellitus terutama
dengan ketoasidosis diabetik adalah penyakit yang mendasari yang
paling utama. Jamur mucor dapat berkolonisasi pada mukosa
nasofaring dan sinus paranasalis pada inang defisiensi imun.6
2. Gejala klinis dan tanda infeksi jamur sistemik
Jamur terutama jamur penyebab infeksi sistemik terbanyak,
dapat menginvasi semua organ. Gejala klinis spesifik yang terjadi
tergantung pada organ yang terkena. Bila Candida spp. menyerang
mukosa mulut maka tampilan klinisnya adalah candidosis oral.
Infeksi candida yang berat terjadi pada kasus defisiensi imun dan
perubahan flora normal akibat antibiotika. Candidemia termasuk
penyebab tersering sepsis infeksi rumah sakit setelah kuman gram
positif dan negatif pada anak dengan kanker; terutama kasus dengan
netropenia ANC < 100 per mm 3.4 Faktor risiko lain adalah pemakaian
obat-obatan yang mempengaruhi respons imun dalam jangka panjang
seperti kortikosteroid dan juga lekopenia lama. Pajanan terhadap
jamur di lingkungan sangat tergantung pada kondisi imunologi
mukosa (innate atau adaptive) saluran nafas; terutama dalam hal
kemampuan clearance spora tersebut. Sistem pertahanan pertama
melawan spora fungi adalah mucociliary clearance, spora yang
tertinggal akan dieliminasi oleh monosit dan makrofag.
Ketidakmampuan sistem tersebut di atas membuat jamur menjadi
invasif dengan gejala utama adalah gejala saluran nafas seperti
pnemoni.
Jamur yang menyebabkan fungemia terpenting adalah Candida
spp, secara teoritis jamur lain juga dapat menyebabkan fungemia
dengan gejala klinis utama yaitu demam dan atau menggigil yang
terjadi pada pasien dengan penyakit mendasar sebelumnya dan tidak
membaik dengan tatalaksana antibiotika sesuai dengan asal atau jenis
kulturnya. Keadaan umum pasien akan memburuk dengan cepat
terutama pada neonatus.
Gambaran darah tepi tidak khas pada fungemia atau dalam hal
ini adalah candidemia, tetapi darah tepi yang menunjukkan lekopenia

Pedoman Penggunaan 6
berat dengan ANC sangat rendah < 100 /cmm menunjukkan risiko
tinggi candidemia. Netrofil adalah lekosit paling potensial untuk
membunuh candida dan mampu mendesak candida dari bentuk
komensal (yeast) menjadi bentuk patologis (hifa/pseudohifa). Sehingga
bila dalam sediaan darah tepi atau urine, feses, dan cairan tubuh lain
menunjukkan adanya yeast like fungi maka artinya terdapat candida
dalam bentuk komensal atau kolonisasi di organ asal cairan tubuh
tersebut. Dalam menanggapi hasil seperti ini kita perlu mewaspadai
adanya kolonisasi candida di area tersebut.
Defisiensi imun merupakan salah satu faktor risiko yang sangat
penting untuk terjadinya infeksi jamur, faktor risiko penting lain yang
dapat membuat jamur menjadi invasif yaitu rusaknya barrier kulit
atau mukosa dan perubahan sistem imun lokal (imunologi mukosa
usus) yang terjadi akibat kemoterapi, radiasi, alat medis invasif,
pembedahan, dan pemakaian antibiotika baik lokal maupun sistemik
yang berlebihan (tidak sesuai indikasi).8

3. Antifungi
Banyak jamur penyebab mikosis sistemik, tetapi dalam makalah
ini akan dibahas 2 yang terpenting dan tersering timbul yaitu candida
dan aspergillus. Pada umumnya 1 antifungi dapat bersifat fungisida
atau fungistatik terhadap lebih dari 1 jenis jamur.
Antifungi yang ideal adalah antifungi yang memiliki aktivitas
fungisidal poten, penetrasi cairan dan jaringan tubuh yang baik, dapat
diberikan topikal, oral dan parenteral, memiliki sinergi dengan obat
lain yang baik, tidak ada resistensi, dan efek samping minimal.9
Penggunaan antifungi sistemik harus berdasarkan kecurigaan
infeksi jamur invasif yang benar karena antifungi memiliki efek
samping yang sering justru berbahaya, disamping risiko resistensi
jamur terhadap antifungi. Penggunaan antifungi pada anak dan
neonatus dapat dilihat pada tabel

Tabel 13. Penggunaan Antifungi Pada Anak dan Neonatus10


Pengguna
Efek Penetrasi
Antifungi Dosis anpada Indikasi
samping jaringan
pediatrik
Amphoteri 0.25 Antifungi Demam, Kandidosis Serum
cin B mg/kgBB spektrum menggigil, invasif, Neonatus50
(dosis awal) luas spastisitas mucor, %
 terapi  Aspergillosis
0.5–1.5 mg/ empiris terkait dg Humor

Pedoman Penggunaan 6
kgBB IV curiga proses aqueus
jamur selama 25%
invasif pemberian
pada kasus . CSF 3%
febrile Nefrotksik
netropenia (bentuk Bentuk
liposomal amphoterici
lebih nB
tidak liposomal
nefrotoksi memiliki
k) penetrasi
lebih
tinggi
Fluconazol PO: 6 Kandidosis Hepatotok Invasif 50 – 94%
e (oral dan mg/kgBB/ dan sik kandidosis dalam
parenteral) kali 3 meningitis serum
mg/kgBB/ha cryptococc
ri (kandidosis us
oral & Profilaksis Meningitis Neonatus
esofageal) pada cryptococcu 85%
pasien s dalam
6–12 mg/kg HSCT dan serum
BB/ hari neonatus
(kandidemia
dan invasif)

6
mg/kgBB/h
ari
(meningitis
cryptococcus
)

IV: 3 – 6
mg/kg BB
single dose;
sd 12 mg /kg
BB/hari
pada infeksi
serius
Itraconazol PO;IV : Sering Nyeri Aspergilosis Jaringan
e 5-10 digunakan perut Candidosis dan
mg/kg/hari untuk Vomit oroesofageal sekresi di
2x sehari profilaksis Diare Blastomycosi bronkus
terhadap Hepatotok s lebih
candida dan sik Chronic tinggi
aspergilus pulmonary daripada
pada pasien histoplasmos dalam
transplanta is plasma
si Profilaksis (plasma
transplantasi level <
10%)
Voriconazol PO : 8 Aspergillosi Ruam Aspergilosis Penetrasi
e mg/kgBB s Fotofobia Invasif jaringan
tiap 12 jam Invasif Mata dan

Pedoman Penggunaan 6
selama 1 kabur Candidosis plasma
hari 7-12 Hepatotok Esofageal sangat
mg/kgBB sis bagus
tiap 12 jam
Candidosis Resistensi
IV: 6-8 invasif terapi
mg/kgBB antifungi
tiap 12 jam pada
untuk 1 hari Scedosporiu
7 m,
mg/kgBB ti Angiospermu
ap 12 jam m, dan
Fusarium.
Spp
Posaconazo PO : 200 mg Profilaksis Hepatotok Resistensi Penetrasi
le 4x/hari transplant sis antifungi jaringan
(untuk asi, Gangguan terhadap sangat
usia > 13 sangat gastrointe aspergilosis, baik
tahun) jarang stinal fusariosis,
digunakan Nyeri zygomycosis
pada kepala Penetrasi
pediatrik ke CSF
rendah
tetapi
cukup
memberika
n
efek
terapetik
Ravuconaz Sedang
ole dalam
penelitian
Caspofungi IV : 70 Candidosis Hepatotok Invasif Penetrasi
n mg/m2 invasif dan sik candidosis, jaringan
loading dose empiris Demam candidemia baik
pada Nyeri
50 mg/m2 febrile kepala Aspergilosis
sekali netropenia Ruam invasif yang
sehari Gejala resisten
gastrointe terhadap
stinal azole
Anemia
Empiris
untuk
febrile
netropenia
Micafungin IV : 4–12 Profilaksis Vomit Rendah
mg/ candida Hepatoksi
kgBB sehari pada k
sekali pasien
HSCT
Antidulafun IV : 0,75–1,5 Kandidosis Flebitis
gi mg/kgBB/d esofageal Demam
osis Nyeri
kepala

Pedoman Penggunaan 6
Mual
Vomit
Ruam
Flucytosine PO : 50–150 Terapi Intoleransi 60-100% Penetrasi
mg/ kombinasi Gastrointe dalam serum bagus
kgBB dalam dengan stinal ke humor
4 amphoterici aqueus,
dosis nB sendi,bronk
untuk Supresi us,
candidosis sumsum peritoneum,
dan tulang otak,
cryptococco kandung
sis empedu,
dan
tulang

Sumber: UD Allen; Canadian Paediatric Society Infectious Diseases and


Immunization Committee. Paediatr Child Health.2010;15:603-810

Secara spesifik pengobatan infeksi jamur disebutkan di bawah ini :

a. Histoplasmosis
Itrakonazol merupakan obat terpilih bagi infeksi histoplasmosis ringan
dan sedang, dan amfoterisin B bagi infeksi berat. Flukonazol kurang aktif
dan perlu dipertimbangkan penggunaan sebagai lini kedua. Ketokonazol
dapat menjadi obat lini kedua karena toksisitasnya yang tinggi daripada
itrakonazol.
Histoplasmosis pulmoner asimtomatis tidak memerlukan pengobatan
khusus. Tetapi bila gejala muncul dapat diberikan itrakonazol 200 mg per
hari selama 6-12 minggu. Pada keadaan outbreak atau pada kondisi
imunokompromis harus diberikan terapi. Terapi awal diberikan amfoterisin
B 0.7-1 mg/kg perhari diikuti itrakonazol oral. Terapi antifungal perlu
diberikan bagi histoplasmosis pulmoner kronik. Itrakonazol 200 mg satu
atau dua kali sehari untuk 12-24 bulan. Itrakonazol 6-12 bulan
direkomendasikan terhadap pasien mediastinitis granulomatus simtomatis.
Bila nodus menyebabkan obstruksi pembedahan diindikasikan.
Semua pasien histoplasmosis diseminata simtomatik perlu
mendapatkan terapi antifungal. Pasien dengan infeksi simtomatik ringan-
sedang diseminata akut dan histoplasmosis diseminata progresif kronik
dapat diberikan itrakonazol 200 mg dua kali sehari. Terapi adekuat bila
diberikan 12 bulan.
Pasien AIDS perlu terus mendapat terapi itrakonazol 200 mg per hari
setelah sebelumnya mendapat itrakonazol dua kali sehari selama 12 minggu.
Pasien imunokompromis dengan infeksi sedang hingga berat harus diberi

Pedoman Penggunaan 6
amfoterisin B 0.7- 1 mg/kg per hari. Kebanyakan pasien dapat diterskan
oral itrakonazol begitu telah membaik.

b. Koksidiodomikosis
Koksidioidomikosis pulmonalis primer biasanya akan sembuh spontan.
Amfoterisin B intravena selama beberapa minggu diberikan bila pasien
memperlihatkan kecenderungan ke arah berat atau infeksi primer yang
berlarut-larut, dengan harapan mencegah terjadinya penyakit pulmonalis
kronik atau diseminata.
Pasien koksidioidomikosis diseminata yang berat atau yang berjalan
progesif dengan cepat harus segera dimulai pengobatannya dengan
penyuntikan amfoterisin B intravena yang dosisnya 0,5 hingga 0,7 mg/kg
BB per hari.
Pasien yang keadaannya membaik setelah penyuntikan amfoterisin B
atau memperlihatkan infeksi diseminata yang tidak aktif dapat dilanjutkan
ketokonazol, 400 hingga 800 mg/hari, atau itrakonazol, 200 hingga 400
mg/hari. Preparat oral ini berguna untuk tindakan supresi infeksi jangka
panjang dan harus dilanjutkan selama beberapa tahun. Untuk pasien
meningitis koksidiodes, pengcbatan biasanya dapat dimulai dengan
flukonazol 400mg per hari tetapi pasien tersebut mungkin pula memerlukan
pemberian amfoterisin B intratekal. Hidrosefalus merupakan komplikasi
yang sering ditemukan pada meningitis yang tidak terkontrol. Tindakan
debridemen lesi tulang atau drainase abses dapat membantu.
Reseksi lesi pulmoner yang progesif kronik merupakan tindakan
pelengkap kemoterapi kalau infeksi hanya terbatas pada paru dan pada satu
lobus. Kavitas berdinding tipis yang tunggal cenderung menutup spontan
dan biasanya tidak direseksi.

c. Kandidiasis
Kandidiasis oral dan kandidiasis mukokutan dapat diobati dengan
nistatin topikal, gentian violet, ketokonazol, maupun flukonazol. Terapi
kandidiasis kulit pada daerah yang mengalami maserasi, memperlihatkan
respons terhadap upaya untuk mengurangi kelembaban kulit dan iritasi
dengan pemakaian preparat antifungal yang dioleskan secara topikal dalam
bahan dasar nonoklusif.

Serbuk nistatin atau krim yang mengandung preparat siklopiroks atau


azol cukup berkasiat. Klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketonazol,

Pedoman Penggunaan 6
sulkonazol, dan oksikonazol tersedia dalam bentuk krem atau lotion.
Vulvovaginitis Candida memberikan respons yang lebih baik terhadap
golongan azol daripada terhadap preparat supositoria nistatin. Di antara
formula vaginal klotrimazol, mikazol, tikonazol, butakonazol, dam terkonazol
hanya terdapat sedikit perbedaan pada khasiatnya. Pengobatan sistemik
terhadap vulvovaginitis Candida dengan merggunakan ketokonazol atau
flukonazol lebih mudah dilakukan daripada pengobatan topikal, tetapi
potensi preparat tersebut untuk menimbulkan efek merugikan yang lebih
besar. Preparat troches klotrimazol yang dapat diberikan lima kali sehari
lebih efektif untuk mengatasi kandidiasis oral dan esophagus dibandingkan
suspensi nistatin. Ketokonazol dengan dosis 200 hingga 400 mg per hari
juga berkhasiat untuk esofagitis Candida tapi banyak pasien yang kurang
dapat menyerap obat tersebut dengan baik karena mendapatkan preparat
antagonis reseptor H-2 atau karena menderita penyakit AIDS. Pada pasien
penyakit AIDS, flukonazol dengan dosis 100 hingga 200 mg per hari
merupakan preparat yang paling efektif untuk mengatasi kandidiasis oral
dan esofagus.
Kalau gejala esofagus yang terjadi sangat menonjol atau pada
kandidiasis sistemik, pemberian amfoterisin B intravena dengan dosis 0,3
mg/kg BB per hari selama 5 hingga 10 hari dapat bermanfaat. Kandidiasis
kandung kemih akan memperlihatkan respons terhadap tindakan irigasi
dengan larutan amfoterisin B, 50 g/mL, selama 5 hari. Jika tidak ada
kateter kandung kemih, preparat oral flukonazol dapat digunakan untuk
mengendalikan kandiduria. Ketokozanol dengan dosis dewasa 200 mg per
hari kemungkinan merupakan obat pilihan untuk kandidiasis
mukokutaneus yang kronik. Amfoterisin B intravena merupakan obat
pilihan pada kandidiasis diseminata, dosis 0,4 hingga 0,5 mg/kg BB per hari.
Candida yang
diisolasi dari pemeriksaan kultur darah yang diambil dengan benar harus
dianggap signifikan; hasil positif-palsu yang sejati jarang terdapat.
Semua pasien dengan Candida yang dikultur dari darah perifer harus
mendapatkan amfoterisi B intravena untuk mengatasi infeksi yang akut dan
mencegah sekuele lanjut. Pada pasien tanpa neutropenia, endokarditis, atau
fokus infeksi yang dalam lainnya, pengobatan selama 2 minggu sering sudah
memadai. Pemeriksaan funduskopi lewat pupil yang dilatasi sangat
bermanfaat untuk mendeteksi endoptalmitis sebelum kehilangan
penglihatan permanen terjadi.

Pedoman Penggunaan 6
Kesulitan Bering didapatkan terutama dalam menentukan diagnosis
awal dari kandidiasis sistemik karena gejala klinis kurang spesifik, biakan
sering negatif. Penelitian terhadap resipien cangkok sumsum tulang, terapi
profilaksis setiap hari dengan flukonazol, 400mg, akan menurunkan jumlah
kasus kandidiasis profundus. Flukonazol juga dapat digunakan untuk
melengkapi pengobatan kandidiasis diseminata kronik, terutama bila
amfoterisin B diberikan sampai pasien tidak lagi memperlihatkan
neutropenia.
3.5 Penggunaan Antivirus
Bidang terapi antivirus (baik dari segi jumlah obat antivirus maupun
pemahaman kita tentang penggunaannya secara optimal) telah tertinggal di
belakang terapi antibakteri, namun kemajuan signifikan telah terjadi dalam
beberapa tahun terakhir dengan ditemukannya obat baru untuk beberapa
infeksi virus. Pengembangan obat antiviral menghadapi beberapa tantangan.
Virus mereplikasi diri secara intraseluler dan sering menggunakan enzim,
makromolekul, dan organel sel inang untuk mensintesis partikel virus. Oleh
karena itu, komponen antivirus yang baik harus dapat membedakan antara
sel inang dan viral dengan tingkat spesifisitas tinggi; agen tanpa selektivitas
tersebut cenderung terlalu toksik dalam penggunaan klinis.
Kemajuan yang signifikan juga telah terjadi dalam pengembangan
pemeriksaan penunjang untuk membantu dokter dalam penggunaan yang
tepat dari obat antivirus. Tes fenotip dan genotip untuk melihat resistensi
terhadap obat antivirus telah lebih banyak tersedia, dan korelasi dari
hasillaboratoriumdengan kondisi klinis menjadi lebih baik. Telah
dikembangkan juga metode yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi
yang dapat mengukur konsentrasi virus dalam darah (viral load) dan secara
langsung dapat menilai efek antivirus dari regimen obat yang diberikan pada
host. Pengukuran viral load telah berguna dalam mengenali risiko
progresivitas penyakit pada pasien dengan infeksi virus dan dalam
identifikasi pasien yang mana yang paling bermanfaat untuk diberikan
pengobatan antivirus. Seperti halnya uji laboratorium in vitro, hasilnya
sangat tergantung pada danmungkin bervariasi bergantung dari teknik
laboratorium yang digunakan.
Informasi mengenai farmakodinamik obat antivirus,dan khususnya
hubungan efek konsentrasi terhadap efikasi obat, tampaknya lambat tetapi
juga mulai berkembang. Namun, tes untuk mengukur konsentrasi obat
antivirus, terutama obat yang aktifdalam sel, masih terbatas digunakan

Pedoman Penggunaan 6
dalam penelitian dan tidak banyaktersedia secara umum. Sehingga,
pedoman untuk penyesuaiandosis obat antivirus untuk memaksimalkan
aktivitas antivirus dan serta meminimalkantoksisitas masih terbatas.
Akibatnya, penggunaan klinis obat antiviral harus didampingi oleh
kewaspadaan terhadap efek samping yang tak terduga.
Seperti pada infeksi lain, tentu saja infeksi virus dipengaruhi oleh
interaksi antara patogen dan kompleks imun host. Ada tidaknya imunitas
sebelumnya, kemampuan untuk melakukan respon imun humoral dan/atau
selular,sertastimulasi kekebalan innate merupakan penentu penting dari
gambaran klinis infeksi viral. Keadaan status imun hostjuga harus
dipertimbangkan dalam pemberian dan evaluasiobat antivirus.
Seperti halnya terapi infeksi yang lain, penggunaan antivirus yang
optimal memerlukan diagnosis yang spesifik dan waktu yang tepat. Untuk
beberapa infeksi virus,seperti herpes zoster, manifestasi klinis saja dapat
dijadikan sebagai dasar diagnosis. Sedangkan untuk infeksi virus yang lain,
seperti influenza A, informasi epidemiologi (misalnya,dokumentasi dari
penyebaran wabah influenza) dapatdigunakan untuk membuat diagnosis
dugaan dengan tingkat akurasi tinggi.Namun, untuk sebagian besar infeksi
virus yang lain, termasuk herpessimpleks ensefalitis, infeksi cytomegalovirus
selain retinitis,dan infeksi enterovirus, diagnosis berdasarkan gejala klinis
saja tidak bisadilakukan. Untuk infeksi demikian, teknik diagnosis virus
secara cepatmenjadi sangat penting. Kemajuan memilikijuga telah terjadi
dalam beberapa tahun terakhir dalam pengembangan tes serupa,
yangsekarang telah banyak tersedia untuk sejumlah infeksi virus.
Diluar kompleksitas ini, efikasi dari sejumlah antivirus telah terbukti
dalam berbagai penelitian. Beberapa terapi yang dibahas berikutnya antara
lain :
a. Avian Influenza
Prinsip penatalaksanaan avian influenza adalah : istirahat,
peningkatan daya tahan tubuh, pengobatan antiviral, pengobatan antibiotik,
perawatan respirasi, anti inflamasi, imunomodulators.
Mengenai antiviral maka antiviral sebaiknya diberikan pada awal
infeksi yakni pada 48 jam pertama. Adapun pilihan obat:
1. Penghambat M2 yaitu Amantadin (symadine) dan Rimantidin (flu-
madine) dengan dosis 2x/hari 100 mg atau 5 mg/kgBB selama 3-5
hari

Pedoman Penggunaan 6
2. Penghambatan neuramidase (WHO) Zanamivir(relenza) dan Oseltamivir
(tami-flu) dengan dosis 2 x 75 mg selama 1 minggu
Departemen Kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai
berikut :
1) Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir2 x 75mg 5
hari, simptomatik dan antibiotikjika adaindikasi.
2) Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir2 x 75 mg
selama 5 hari, antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman
tipik dan atipikal, dan steroid jika perlu seperti pada kasus
pneumonia berat, ARDS. Respiratory Care di ICU sesuai indikasi.
3) Sebagai profilaksis, bagi mereka yang berisiko tinggi, digunakan
oseltamivir dengan dosis 75 mg sekali sehari selama lebih dari 7
hari (hingga 6 minggu).

a. Influenza
Pasien dapat diobati secara simtomatik. Obat oseltamivir 2 x 75 mg
perhari selama 5 hari akan memperpendek masa sakit dan mengurangi
keperluan antimikroba untuk infeksi sekunder. Zanamivir dapat diberikan
lokal secara inhalasi, makin cepat obat diberikan makin baik. Untuk kasus
dengan komplikasi yang sebelumnya mungkin menderita bronkitis kronik,
gangguan jantung atau penyakit ginjal dapat diberikan antibiotik. Pasien
dengan bronkopneumonia sekunder memerlukan oksigen. Pneumonia
stafilokokus sekunder harus diatasi dengan antibiotik yang tahan
betalaktamase dan kortikosteroid dalam dosis tinggi.

Kematian karena flu burung yang menjangkiti manusia 60% di China


dan mencapai 80% di Indonesia dan penyebabnya mirip dengan multiple
organ failure yang akut. Sifat virus ini dapat berintegrasi di beberapa
jaringan tubuh tanpa dapat dideteksi kecuali pada paru. Kematian karena
terjangkit flu babi rendah terutama meliputi mereka dengan penyakit paru
atau jantung kronik atau usia yang rentan seperti anak dan lansia.
3. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
Untuk penanggulangan dan penatalaksanaan SARS, Departemen
Kesehatan RI mengeluarkan pedoman sebagai berikut :
I. Suspek SARS
a. Observasi 2 x 24 jam, perhatikan:
a) Keadaan umum
b) Kesadaran

Pedoman Penggunaan 6
c) Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu)
b. Terapi suportif
c. Antibiotik: amoksilin atau amoksilin + anti betalaktamase
AI. Probable SARS
A. Ringan/ sedang
a. Terapi suportif
b. Antibiotik
a) Golongan beta lactam + anti betalactamase (intravena)
ditambah macrolide generasi baru secara oral
ATAU
b) Cephalosporin generasi ke-2 atau ke 3 (intravena),
ditambah macrolide generasi baru
ATAU
c) Fluoroquinolone respirasi (intravena): Moxifloxacin,
Levofloxacin, Gatifloxacin
B. Berat
a. Terapi suportif
b. Antibiotik
i. Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas:
a) Cephalosporin generasi ke-3 (intravena) non
pseudomonas ditambah makrolid generasi baru
ATAU
b) fluoroquinolone respirasi
Ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
a) Cephalosporin anti pseudomonas (Ceftazidime,
Cefoperazone, Cefepime)/ Carbapenem (intravena)
ditambah fluoroquinolone anti pseudomonas
(Ciprofloxacin)/aminoglycoside ditambah macrolide
generasi baru
c. Kortikosteroid. Hydrocortison (intravena) 4 mg/kgBB tiap 8
jam, tapering atau methylprednisolone (intravena) 240 - 320
mg tiap hari
d. Ribavirin 1,2 gr oral tiap 8 jam atau 8 mg/kgBB intravena
tiap 8 jam
Keterangan :
Kriteria pneumonia berat salah satu diantara ini:
1.Frekuensi napas > 30 kali/menit

Pedoman Penggunaan 7
2. PaO2/ Fi02.< 250 mmHg
3. Foto toraks paru kelainan bilateral
4. Foto toraks paru melibatkan Iebih dari dua lobus
5.Tekanan sistolik < 90 mmHg
6.Tekanan diastolik < 60 mmHg
Risiko infeksi pseudomonas:
1. Bronkiektasis
2. Pengobatan kortikosteroid lebih dari 10 mg/hari
3. Pengobatan antibiotik spektrum luas lebih dari 7hari pada bulan
terakhir
4. Gizi kurang
3. Herpes Simpleks
Sebelum diberikan antivirus, hal yang pokok dilakukan oleh penderita
adalah kebersihan perorangan, terutama kebersihan daerah yang terinfeksi
dengan mencuci memakai air sabun dan air, yang kemudian dikeringkan
mengingat bahwa kelembaban akan memperburuk keadaan, memperlambat
penyembuhan dan memudahkan terjadinya infeksi bakteri. Obat topikal
acyclovir dapat dioleskan pada lesi. Obat antiviral jarang diperlukan pada
infeksi primer, tetapi dapat diberikan penderita reaktivasi. Pada umumnya
dapat digunakan asiklovir, tetapi dapat juga diberikan famsiklovir dan
valasiklovir. Beberapa antivirus yang tersedia untuk digunakan topikal pada
infeksi mata HSV: idoxuridine, trifluorothymidine, vidarabine topikal, dan
sidofovir. Untuk HSV ensefalitis dan herpes neonatus, asiklovir intravena
adalah pengobatan pilihan.
Tujuan pemberian asiklovir adalah mencegah dan mengobati infeksi,
menyembuhkan gejala seperti eritema, vesikel yang berisi cairan, ulkus atau
bekas ulkus, dengan cara menghambat polimerase DNA. Asiklovir
merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi HSV-1 dan HSV-
2, yang tersedia dalam bentuk intravena, oral, dan topikal.
Famsiklovir, merupakan obat yang juga secara klinis mengobati HSV-1
dan H SV-2.VaIasiklovir, merupakan valyl ester dari asiklovir yang memiliki
bioavailabilitas lebih besar dibandingkan asiklovir. Gansiklovir sebenarnya
memiliki aktivitas baik pada infeksi HSV-1 dan I-iSV-2, tetapi toksisitasnya
lebih banyak dibandingkan dengan asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir.
Tiga senyawa yang direkomendasikan adalah asiklovir, valasiklovir,
dan famsiklovir telah terbukti efektif dalam memperpendek durasi gejala dan
lesi mukokutan infeksi HSV-1 dan juga infeksi penderita dengan

Pedoman Penggunaan 7
imunokompromais dan imunokompeten. Formulasi intravena dan oral
mencegah reaktivasi HSV pada pasien imunokompromais seropositif selama
kemoterapi induksi atau pada periode segera setelah sumsum tulang atau
transplantasi organ padat. Asiklovir intravena (30 mg/kg perhari, diberikan
sebagai infus 10-mg/kg lebih dari 1 jam dalam 8-jam interval) efektif dalam
mengurangi tingkat kematian dan morbiditas HSV1 ensefalitis. Inisiasi awal
terapi merupakan faktor penting dalam hasil. Efek samping utama yang
terkait dengan asiklovir intravena adalah insufisiensi ginjal, sebagai akibat
kristalisasi senyawa dalam parenkim ginjal. Reaksi yang merugikan ini
dapat dihindari jika obat diberikan perlahan-lahan selama 1 jam.
Dosis pemberian infeksi HSV-1 (60 mg / kg BB perhari dalam 5 dosis
terbagi), tetapi dapat pula diberikan 200 mg (400 mg pada pasien yang
memiliki respons imun imunokompromais) 5 kali selama 5 hari. Secara
lengkap dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 14. Terapi Herpes Simplex

Virus Lama
Rekomendasi Dewasa Interval Keterangan
penyebab Pemberian

Herpes tiap 5
simplex Asiklovir jam
200 mg 5-10 hari
virus non (5x/hari
genital )
tiap 5
Herpes Asiklovir 5% jam
5 hari
labialis topikal (5x/hari
)
tiap 5
Keratitis Asiklovir jam
3% zalf 14 hari
HSV (5x/hari
)
Mungkin
jangka
Herpes panjang
i.v: 5-10
simplex Asiklovir jika
mg/kgb 8 jam 7-21 hari
encephaliti diperlukan
b
s bila
ensefalitis
rekuren
tiap 5
Herpes p.o : jam
Asiklovir 5-10 hari
simplex 200 mg (5x/hari
genetalia )
(awal) p.o : 500
Valasiklovir 12 jam 5-10 hari
mg

Pedoman Penggunaan 7
Herpes seperti HSV
simplex genital awal
genetalia atau
(rekuren p.o : 125
episode) Famsiklovir 12 jam 5 hari
mg
p.o : 200
Asiklovir 8 jam > 6 bulan
mg
Herpes
p.o : 400
simplex Asiklovir 12 jam > 6 bulan
mg
genetalia
p.o : 500 12-24
(mencegah Valasiklovir > 6 bulan
mg jam
rekurensi)
p.o : 250
Famsiklovir 12 jam > 6 bulan
mg
5. Varicella Zoster Virus
Manajemen varicella zoster/cacar air pada orang dengan status
immunologi yang normal lebih cenderung kepada pencegahan komplikasi
yang dapat dihindari. Kebersihan yang baik termasuk mandi setiap hari dan
berrendam. Infeksi bakteri sekunder dari kulit dapat dihindari dengan
perawatan kulit yang baik, terutama dengan memotong kuku. Pruritus dapat
dikurangi dengan dressing topikal atau pemberian obat anti gatal. Mandi
dengan air hangat dan kompres basah lebih baik dari lotion pengering untuk
menghilangkan gatal. Pemberian aspirin untuk anak-anak dengan cacar air
harus dihindari karena hubungan antara derivat aspirin dengan terjadinya
sindrom Reye. Acyclovir (800 mg peroral 5 kali sehari), valacyclovir (1 gram
3 kali sehari), atau famciclovir (250 mg 3 kali sehari) selama 5-7 hari
direkomendasikan untuk remaja dan orang dewasa dengan cacar dalam
onset ≤24 jam.
(Valasiklovir terlisensi untuk digunakan pada anak-anak dan remaja.
Famsiklovir dianjurkan tetapi tidak terlisensi untuk digunakan pada
varicella). Demikian juga, terapi asiklovir mungkin bermanfaat untuk anak
<12 tahun jika diberikan di awal penyakit (<24 jam) dengan dosis 20 mg/kg
setiap 6 jam.
Aluminium asetat diberikan dengandikompres untuk pengelolaan
herpes zoster dapat digunakan untuk mendinginkan dan membersihkan.
Pasien dengan herpes zoster berrespon baik dengan terapi antiviral oral,
yang dibuktikan dengan penyembuhan yang cepat dari lesi dan resolusi
nyeri terkait zoster dengan penggunaan acyclovir, valacyclovir, atau
famciclovir. Acyclovir diberikan dengan dosis 800 mg lima kali sehari selama
7-10 hari. Namun, valacyclovir dan famciclovir unggul dalam hal
farmakokinetik dan farmakodinamik dan harus digunakan secara istimewa.
Famsiklovir, prodrug dari penciclovir, setidaknya sama efektifnya dengan

Pedoman Penggunaan 7
asiklovir dan mungkin lebih; dosisnya adalah 500 mg peroral tiga kali sehari
selama 7 hari. Valacyclovir, prodrug dari asiklovir, mempercepat
penyembuhan dan resolusi nyeri zoster lebih cepat daripada asiklovir.
Dosisnya adalah 1 gram per oral tiga kali sehari selama 5-7 hari.
Dibandingkan dengan asiklovir, baik famsiklovir dan valasiklovir
menawarkan keuntungan dari pemberiannya yang lebih jarang.
Dalam pasien dengan immunocompromised berat (misalnya, resipien
transplantasi, pasien dengan keganasan Iymphoproliferative), baik cacar air
dan herpes zoster (termasuk penyakit menular lain) harus diterapi,
setidaknya di awal, dengan acyclovir IV, yang dapat mengurangi terjadinya
komplikasi visceral namun tidak berpengaruh pada penyembuhan lesi kulit
ataupunnyeri. Dosisnya adalah 10 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari. Untuk
pasien immunocompromised yang berisiko rendah, terapi oral dengan
valacyclovir atau famciclovir tampaknya menguntungkan. Jika
memungkinkan, hendaknya pengobatan imunosupresif diturunkan bila
diberikan bersamaan dengan administrasi asiklovir IV.
Pasien dengan varicella pneumonia sering membutuhkan penggunaan
ventilator. Pasien dengan zoster oftalmikus harus dirujuk segera ke dokter
mata. Terapi untuk kondisi ini terdiri dari administrasi analgesik untuk
nyeri berat dan penggunaan atropin. Acyclovir, valacyclovir, dan famciclovir
dapat mempercepat penyembuhan. Keputusan tentang penggunaan
glukokortikoid harus dilakukan oleh dokter mata.
Pengelolaan neuritis akut dan/atau postherpetic neuralgia dapat
menjadi sangat sulit. Selain penggunaan analgesik mulai dari non
narkotiksampaigolongan narkotik, obat seperti gabapentin, pregabalin,
amitriptylinehidroklorida, lidocaine (patch), dan fluphenazine hidroklorida
dilaporkan bermanfaat untuk menghilangkan rasa sakit. Dalam satu studi,
terapi glukokortikoid yang diberikan pada awal penyakit dari herpes zoster
lokal secara signifikan mempercepat perbaikan kualitas hidupmisalnya
kembali ke aktivitas biasa dan penghentian obat analgesik. Dosis prednisone
secara oral adalah 60 mg perhari pada hari 1 -7, 30 mg perhari pada hari 8-
14, dan 15 mg perhari pada hari 15-21. Regimen ini hanya cocok untuk
orang tua yang relatif sehat yang datang dengan nyeri sedang atau berat.
Pasien dengan osteoporosis, diabetes mellitus, atau hipertensi bukan
merupakan kandidat yang tepat. Glukokortikoid tidak boleh digunakan
tanpa terapi antivirus secara bersamaan.
6. Cytomegalovirus

Pedoman Penggunaan 7
Gansiklovir merupakan turunan guanosin yang memiliki jauh lebih
banyak aktivitas terhadap CMV dibandingkan asiklovir yang merupakan
pendahulunya. Setelah konversi intraseluler oleh phosphotransferase virus
yang dikodekan oleh gen CMV UL97, gansiklovir trifosfat adalah inhibitor
selektif DNA polimerase CMV. Beberapa studi klinis telah menunjukkan
tingkat respons 70-90% pada pasien dengan AIDS yang diberikan gansiklovir
untuk pengobatan CMV retinitis atau kolitis. Pada infeksi berat (misalnya
CMV pneumonia pada resipien transplantasi sel induk hematopoietik),
gansiklovir sering dikombinasikan dengan CMV immunoglobulin. Profilaksis
gansiklovir mungkin berguna pada resipien transplantasi sel stem
hematopoietik atau transplantasi organ berrisiko tinggi (misalnya mereka
yang CMV-seropositif sebelum transplantasi). Pada banyak pasien dengan
AIDS, jumlah sel T CD4+ yang masih rendah dan penyakit CMV,
kekambuhan klinis dan virologis terjadi segera setelah pengobatan dengan
gansiklovir dihentikan. Oleh karena itu, regimen perawatan yang
berkepanjangan direkomendasikan untuk pasien tersebut. Resistensi
terhadap gansiklovir lebih sering terjadi pada pasien yang diobati selama > 3
bulan dan biasanya berhubungan dengan mutasi pada gen CMV UL97 (atau
yang jarang, gen UL54).
Valgansiklovir adalah obat prodrug bioavailable oral yang cepat
dimetabolisme menjadi gansiklovir di saluran cerna dan hati. Sekitar 60-
70% dari dosis oral valgansiklovir diserap. Valgansiklovir dosis oral 900 mg
menghasilkan kadar gansiklovir dalam darah setara dengan yang diperoleh
dari gansiklovir IV dosis 5 mg/kg. Valgansiklovir tampak sama efektifnya
dengan gansiklovir IV baik untuk terapi induksi maupunmaintenance CMV,
serta memberikan kemudahan karena diberikan secara oral. Selain itu, profil
efek samping dan tingkat resistensi untuk kedua obat serupa.
Terapi gansiklovir atau valgansiklovir untuk penyakit CMV terdiri dari
fase induksi 14 sampai 21 hari (5 mg/kg IV dua kali sehari untuk
gansiklovir atau 900 mg PO dua kali sehari untuk valganciclovir), kadang-
kadang diikuti dengan terapi pemeliharaan/maintenance (misalnya
valgansiklovir 900 mg perhari). Neutropenia terjadipada sekitar seperempat
dari pasien yang diobati tetapi dapat diperbaiki dengangranulocyte colony-
stimulating factoratau granulocyte-macrophage colony-stimulating factor.
Keputusan untuk menggunakan terapi pemeliharaan harus tergantung pada
tingkat immunocompromise secara keseluruhan serta risiko kekambuhan
penyakit. Penghentian terapi pemeliharaan harus dipertimbangkan pada

Pedoman Penggunaan 7
pasien dengan AIDS yang, saat menerima terapi antiretroviral, memiliki
peningkatan jumlah sel T CD4 + > 100 / uL secara berkelanjutan(3 sampai 6
bulan).
Untuk pengobatan CMV retinitis, gansiklovir dapat juga diberikan
melalui pelletlepas lambat yang ditanam di dalam mata. Meskipun perangkat
intraokular ini memberikan perlindungan lokal yang baik, penyakit mata
kontralateral dan penyakit yang telah menyebar luas tidak terpengaruh, dan
ablasi retina di awal mungkin terjadi. Kombinasi terapi intraokular dan
sistemik mungkin lebih baik daripada implan intraokular saja.
Foscarnet (natrium phosphonoformate) menghambat CMV DNA
polimerase. Karena agen ini tidak membutuhkan fosforilasi untuk menjadi
aktif, obat ini juga efektif terhadap sebagian besar isolat yang resisten
gansiklovir. Foscarnet kurang ditoleransi daripada gansiklovir dan
menyebabkan toksisitas yang cukup berat, termasuk disfungsi ginjal,
hypomagnesemia, hipokalemia, hipokalsemia, ulkus genital, disuria, mual,
dan paresthesia. Selain itu, pemberian foscarnet memerlukan penggunaan
pompa infus serta pemantauan klinis ketat. Dengan hidrasi yang agresif dan
dosis penyesuaian untuk disfungsi ginjal, toksisitas foscarnet dapat
dikurangi. Penggunaan foscarnet harus dihindari ketika pemberian loading
normal saline tidak dapat ditoleransi (misalnya pada cardiomyopathy).
Regimen induksi yang disetujui adalah 60 mg/kg setiap jam 8 selama 2
minggu, walaupun 90 mg/kg setiap 12 jam sama efektifnya dan tidak lebih
beracun. Infus pemeliharaan harus diberikan 90-120 mg/kg sekali sehari.
Tidak ada preparat oral yang tersedia. Virus resisten foscarnet mungkin
muncul bila terapi dilakukan dalam jangka panjang. Obat ini digunakan
lebih sering setelah transplantasi sel induk hematopoietik dibandingkan
dengan situasi lain karena untuk menghindari efek myelosuppressifdari
ganciclovir; pada umumnya, foscarnet juga merupakan pilihan pertama
untuk infeksi CMV resist n gansiklovir.
Sidofovir adalah analog nukleotida dengan waktu paruh intraseluler
panjang yang memungkinkan pemberian IV secara intermiten. Regimen
induksi dari 5 mg/kg setiap minggu selama 2 minggu diikuti oleh regimen
pemeliharaan 3-5 mg/kg setiap 2 minggu. Sidofovir dapat menyebabkan
nefrotoksisitas parah karena cedera sel tubulus proksimal yang sifatnya
dose-dependent; Namun, efek samping ini dapat dikurangi dengan hidrasi
normal salin dan probenesid. Sidofovir digunakan terutama untuk virus
resisten gansiklovir.

Pedoman Penggunaan 7
BAB IV
DOKUMENTASI

4.1 Penilaian Penggunaan Antibiotika Di Rumah


Sakit 4.1.1Batasan
Penilaian kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotika di
rumah sakit, dapat diukur secara retrospektif dan prospektif melalui
data rekam medik dan rekam pemberian antibiotika (RPA).
4.1.2 Tujuan
1. Mengetahu jumlah atau konsumsi penggunaan antibiotika di
rumah sakit.
2. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotika
di rumah sakit.
3. Sebagai dasar untuk melakukan surveilans penggunaan
antibiotika di rumah sakit secara sistematik dan terstandar.
4.1.3 Penilaian Kuantitas Penggunaan Antibiotika Di Rumah Sakit
1. Kuantitas penggunaan antibiotika adalah jumlah penggunaan
antibiotika di rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan
prospektif dan melalui studi validasi.
2. Studi validasi adalah studi yang dilakukan secara prospektif
untuk mengetahui perbedaan antara jumlah antibiotika yang
benar-benar digunakan pasien dibandingkan dengan yang
tertulis di rekam medik.
3. Parameter perhitungan konsumsi antibiotika:
a.Persentase pasien yang mendapat terapi antibiotika selama
rawat inap di rumah sakit.
b. Jumlah penggunaan antibiotika dinyatakan sebagau dosis
harian ditetapkan dengan Defined Daily Doses (DDD)/100
patient days.
4. DDD adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan
antibiotika untuk indikasi tertentu pada orang dewasa. Untuk
memperoleh data baku dan merekomendasikan klasifikasi
penggunaan antibiotika secara Anatomical Therapeutic Chemical
(ATC) Classification (Gould IM, 2005).
Defined Daily Dose (DDD) :

Jumlah DDD = x 100

Perhitungan Denominator :
Jumlah Hari-Pasien = Jumlah Hari Perawatan Seluruh Pasien dalam suatu Studi

Pedoman Penggunaan 7
4.1.4 Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotika Di Rumah Sakit
1. Kualitas penggunaan antibiotika dapat dinilai dengan melihat
rekam pemberian antibiotika dan rekam medik pasien.
2. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian
diagnosis (gejala klinis dan hasil laboratorium), indikasi. Regimen dosis,
keamanan, dan harga.
3. Alur penilaian menggunakan kategori/klasifikasi Gyssens.
4. Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotika
sebagai berikut (Gyssens IC, 2005):
Kategori 0 = Penggunaan antibiotika tepat/bijak
Kategori I = Penggunaan antibiotika tidak tepat waktu
Kategori IIA = Penggunaan antibiotika tidak tepat dosis
Penggunaan antibiotika tidak tepat interval
Kategori IIB = pemberian
Penggunaan antibiotika tidak tepat cara/rute
Kategori IIC = pemberian
Kategori IIIA = Penggunaan antibiotika terlalu lama
Kategori IIIB = Penggunaan antibiotika terlalu singkat
Kategori IVA = ada antibiotika lain yang lebih efektif
ada antibiotika lain yang kurang toksisk/lebih
Kategori IVB = aman
Kategori IVC = ada antibiotika lain yang lebih murah
ada antibiotika lain yang spektrumnya lebih
Kategori IVD = sempit
Kategori V = tidak ada indikasi penggunaan antibiotika
data rekam medik tidak lengkap dan tidak
Kategori VI = dapat dievaluasi

Pedoman Penggunaan 7
Gambar 5. Alur Penilaian Penggunaan Antibiotika (Gyssens Classification) (Gyssens,
2005)

Pedoman Penggunaan 7
Pencatatan penggunaan antimikroba di RSUD Bendan Kota Pekalongan menggunakan lembar Rekam Pemberian Antimikroba

Pedoman Penggunaan 8
TIM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA
RSUD BENDAN KOTA PEKALONGAN
PELAPORAN INDIKATOR MUTU
PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA
TAHUN : .......................

1. Kualitas Penggunaan Antimikroba


No. Lokasi/SM
F VI V IVa IVb IVc IVd IIIa IIIb IIa IIb IIc I

2. Kuantitas Penggunaan Antimikroba


DDD/100
Nama DDD Lama
No Rute g Numerator patient-
Antimikroba (WHO) Inap
days

3. Pelaksanaan Forum Kajian Kasus Infeksi Terintegrasi :


Pemimpin & Kesimpulan Kajian
Tgl Kajian Kasus Peserta Kajian Kasus

Ringkasan :
Mengetahui, Pekalongan,...............................…
Direktur RSUD BENDAN Ketua Tim PPRA RSUD BENDAN
Kota Pekalongan Kota Pekalongan

(.............................................…) (...............................................)

Pedoman Penggunaan 8
4.2Antimicrobial Stewardship Program Pada Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
Antimicrobial Stewardship Programs merupakan suatu
program yang saling melengkapi untuk mengubah atau
mengarahkan penggunaan antimikroba di fasilitas pelayanan
kesehatan. Tujuan program untuk mengoptimalkan penggunaan
antimikroba dalam rangka pengendalian resistensi. Pelaksanaan
program dapat dikelompokkan menjadi dua strategi (Mc Dougal C,
2005):
a. Strategi utama
b. Strategi pendukung
Secara garis besar dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 15. Strategi Utama Antimicrobial Stewardship

Strategi Cara Pelaksanaan Pelaksana Keuntungan Kerugian


1 Audit kuantitas Dokter
Auditing . dan 1. (spesialis 1. Perbaikan -
secara kualitas infeksi) kualitas dan
prospektif penggunaan 2. Farmasi klinik kuantitas
yang telah
disertai antibiotika. dilatih penggunaan
dengan 2
umpan . Monitoring kuman tentan penyakit antibiotika
balik dan kebal antibiotika. infeksi. 2. Menghemat
biaya
intervensi 3. Mikrobiologi pengobatan
klinik
Pembatasan Membatasi pemberian Komite terapi 1. Dapat 1. Para penulis
resep antibiotika
jenis antibiotika (restriksi) antibiotika: personel mengkontrol merasa dibatasi
antibiotika dan hanya diberikan yang memberikan penggunaan kewenanganny a
persetujuan/approva l antibiotika 2. Diperlukan
pada untuk indikasi yang (dokter spesialis secara banyak waktu
formularium, disetujui bersama. infeksi, farmasi langsung untuk para
diperlukan klinik) 2. Dapat dijadikan konsultan.
pengesahan pendidikan
untuk individu
mendapatkan
jenis-jenis
antibiotika
tertentu

Tabel 16. Strategi pendukung Antimicrobial Stewardship

Strategi Cara Pelaksanaan Pelaksana Keunutngan Kerugian


Pelatihan dan 1. Pembentukan 1. Komite terapi 1. Dapat Pelatihan pasif
penerapan pedoman dan antibiotika mengubah tidak efektif
pedoman Clinical Pathways membuat pola perilaku
penggunaan penggunaan pedoman dan 2. Menghindari
Clinical
antibiotika antibiotika. Pathways perasaan
dan Clinical 2. Pelatihan klinisi 2. pelatih (dokter, kehilangan
Pathways secara kelompok farmasi) kewenangan
klinisi atau menulis
individual oleh antibiotika
pelatih
Mengkaji dan 1 Antibiotika yang 1 Komite antibiotika 1 Menghindari Kepatuhan terhadap
memberi menjadi target dan terapi perasaan rekomendasi
umpan balik direview tiap hari membuat kehilangan secara sukarela
2. Umpan balik ke pedoman. kewenangan

Pedoman Penggunaan 8
penulis resep
untuk 2. Reviewer personel menulis kecil
memberikan (Clinical antibiotika
rekomendasi Pharmacist) 2. Kesempatan
alternatif antibiotika untuk
untuk terapi yang memberi
lebih tepat penyuluhan
secara
individual
Penggunaan Komite
Bantuan teknologi 1. antibiotika 1. Data penting Investasi yang
membuat
teknologi informasi untuk aturan- yang cukup mahal.
informasi menerapkan strategi aturan yang diperlukan
yang sudah dimasukkan ke dapat mudah
dilaksanakan sistim komputer. diperoleh
2. Personel yang 2. Dapat
memberikan membantu
persetujuan strategi
penggunaan lainnya.
antibiotika
(reviewer).
3. Programmer
computer
Streamlining Setelah tersedia hasil Tersedia laboratorium 1. Biaya lebih Tidak semua
fasilitas
atau terapi pemeriksaan mikrobiologi yang murah kesehatan
ekskalasi mikrobiologi dan test memadai 2. Mencegah tersedia
kepekaan terapi
empiris selection laboratorium
antibiotika diubah pressure mikrobiologi
menjadi:
1. lebih sensitif
2. spektrum sempit
3. lebih aman
4. lebih murah

Mengetahui,
Direktur RSUD Bendan

dr. Junaedi Wibawa, M.Si Med,


Sp.PK NIP. 19690615 200003 1 005

Pedoman Penggunaan 8
Daftar Pustaka

Allen UD. Antifungal agents for the treatment of systemic fungal infections in children. Pediatr Child
Health.2010;15:603-8.
Bizerra FC, Ortigoza CJ, Souza AC, Breda GL, Telles FQ, Perlin DS, Colombo AL. Breaktrough
candidemia due to multidrug-resistant Candida glabrata during prophylaxis with a low dose of
micafungin. AAC.2014;58:2448-50.
Brad S. Novel insight into disseminated candidiasis: Pathogenesis research and clinicl experience
converge. Plos pathogens.2008;4:e38.
Bruckner DA, Kokkinos HM. Classification of fungi. In: Feigin RD, Cherry JD, Demmler- Crameri R.
Blaser K. Allergy and immunity to fungal infections and colonization. Eur Respir
J.2002;19:151-7.
Eschenauer GA, Carver PL, Lin SW, Klinker KP, Chen YC, Potoski BA, et al. Fluconazole versus an
echinocandin for candida glabrata fungemia: a retrospective cohort study. J Antimicrob
Chemother.2013;68:922-6.
Estrella MC. Combinations of antifungal agents in therapy-what value are they? JAC;54:854- 69.
Felton T, Troke PF, Hope WW. Tissue penetration of antifungal agents.CMR.2014;27:68-88.
Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, Boeckh MJ, Ito JI, Mullen CA, et al. Clinical practice guideline
for the use of antimicrobial agents in netropenic patients with cancer: 2010 update by the
Infectious Diseases Society of America. CID.2011;52:e56-e93.
Harrison GJ. Kaplan SL. Feigin and Cherry’s Textbook of Pediatric Infectious Diseases. Eds.
6th ed. 2009: 2715-7.
Kazemi A. An overview on the global frequency superficial/cutaneous mycoses and deep mycoses.
Jundishapour J Microbiol. 2013:6:202-4.
Khan ZK, Jain P. Antifungal agents and immunomodulators in systemic mycoses. Indian J Chest Dis
Allied Sci.2002;42:345-55.
Kousha M, Tadi R, Soubani AO. Pulmonary aspergillosis: a clinical review. Eur Respir
Rev.2011;20:156-74.
Lionakis MS. New insight into innate immune control of systemic candidiasis. Medical
mycology.2014;52:555-64.
Lortholary O, Denning DW, Dupont B. Endemic mycoses: a treatment
update.JAC.1999;43:321-31.
Mc Cullers JA, Williams BF, Wu S, Smeltzer MP, Williams BG, Hayden RT. et al.
JPIDS;2012:26-34.
Pappas PG, Kaufmann CA, Andes D, Benjamin DK, Calandra TF, Edwards JE. et al. Clinical practice
guidelines for the management of candidiasis: 2009 update by the Infectious Diseases Society
of America.2009;48:503-35.
Rex JH, Walsh TJ, Nettleman M, Anaissie EJ, Bennet JE, Bow EJ. et al. Need for
alternative trial designs and evaluation strategies for therapeutic studies of invasive mycoses.
CID.2001;33:95-106.

Pedoman Penggunaan 8
Silva S, Negri M, Henriques M,Oliveira R, Williams DW, Azeredo J. Candida glabrata, Candida
parapsilosis and Candida tropicalis: biology, epidemiology, pathogenecity and antifungal
resistance. FEMS Mirobiol Rev.2012;36:288-305.

Pedoman Penggunaan 8

Anda mungkin juga menyukai