Anda di halaman 1dari 17

Pengelolaan DAS – Modul -3

MATA KULIAH
PENGELOLAAN AIRTANAH
Kode : TKP 4130
Sks : 2 sks (Wajib)

MODUL 3 : Dua pokok Bahasan (Dua Kali Tatap Muka)

1. Fungsi Perencanaan (Planning)


(Pertemuan ke-4)
2. Infiltrasi
(Pertemuan ke-5)

Pengampu : Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS.


Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng.
Jurusan Teknik Pengairan Universitas Brawijaya

1. PENDAHULUAN
-Pengantar MODUL - 3
-Tujuan

2. Kawasan Daerah Aliran Sungai

3. Penyusunan Peta Potensi Konservasi Air

4. Infiltrasi
 Analisis infiltrasi dengan pendekatan pengukuran
di lapangan
 Analisis infiltrasi dengan pendekatan uji
laboratorium

1. PENDAHULUAN

1.1. Pengantar

Perencanaan DAS harus dilakukan melalui


pendekatan menyeluruh dengan merangkum semua
aspek yang terkait dengan pemanfaatan kawasan
DAS, badan sungai maupun sempadan sungai,
baik secara kuantitas maupun kualitas. Perencanaan
tersebut diharapkan mampu mengidentifikasi
kebutuhan air, penggunaan air, penataan lahan,
penataan sempadan sungai dan hal-hal lain yang
dapat digunakan untuk memproyeksikan kebutuhan
dan ketersediaan air serta kelestarian DAS. Dengan
Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 1
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

demikian konsep one river one plan dapat terwujud dengan baik. Oleh karena
itu dalam fungsi perencanaan DAS yang perlu direncanakan adalah
kawasan DAS, badan sungai beserta sempadannya serta kualitas airnya.

1.2 Tujuan

 Mengetahui Fungsi perencanaan dalam penentuan pola DAS


 Memehami abgaimana kawasan DAS
 Dapat menyusun peta konservasi air
 Dapat menghitung Infiltrasi pada DAS

2. Kawasan Daerah Aliran Sungai


Perencanaan kawasan DAS tidak terlepas dari sinerji dengan perencanaan
suatu wilayah (regional planning). Menurut UU No. 24 Tahun 1992, penataan
ruang meliputi proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang yang berkualitas
(yang efisien dan efektif) serta pengendaliannya, karena penataan ruang
merupakan upaya yang bertujuan untuk mensejahterakan dan memberikan rasa
aman dan nyaman pada masyarakat serta mempertahankan dan meningkatkan
konservasi alam atau kelestarian lingkungan. Hasil perencanaan ruang yang
baik akan menghasilkan pemanfaatan ruang yang berkualitas dan akan
mempermudah dalam usaha pengendaliannya.
Perencanaan ruang pada hakekatnya adalah menata ruang secara terpadu
dan menyeluruh, menyangkut semua aspek geografi, biologi, fisik, ekonomi dan
sosial yang harus ditelaah, dianalisis dan dirumuskan menjadi satu kesatuan dari
berbagai kegiatan pemanfaatan ruang. Perencanaan ruang tidak sekedar
memunculkan segi estetika semata, lebih dari itu adalah untuk menciptakan
keserasian dengan lingkungan alamiahnya. Oleh karena itu, dalam perencanaan
ruang landasan yang digunakan haruslah mengacu pada hakekat dan tujuan
akhir dari perencanaan ruang itu sendiri. Konservasi air dan konservasi
tanah sebagai landasan, dan genangan air atau limpasan permukaan yang tidak
mengganggu lingkungan, merupakan salah satu tujuan dan menjadi tolok ukur
keberhasilan sebuah perencanaan ruang. Dengan kata lain, bahwa sebuah
perencanaan ruang memerlukan suatu parameter kontrol atau evaluasi sebagai
dasar penentuan keberhasilannya, dan yang berfungsi sebagai parameter
evaluasi tersebut adalah kedalaman limpasan permukaan.
Konservasi air dan tanah yang berarti usaha-usaha dalam perlindungan
sumber daya air dan tanah, merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
perencanaan ruang (UU No.24 Tahun 1992). Terabaikannya analisis kuantitatif
mengenai konservasi air dan tanah dalam perencanaan ruang, menyebabkan
ketidakserasian antara pembangunan yang dilakukan dengan lingkungan
alamiah di sekitarnya. Konstruksi yang indah secara fisik dengan bangunan-
bangunan yang menjulang dan tertata rapi, terasa kurang bermakna jika terjadi
genangan yang sangat mengganggu aktifitas penduduk. Hujan dengan waktu
yang tidak terlalu lama telah menyebabkan genangan-genangan air, bahkan
dengan intensitas hujan yang tinggi menyebabkan banjir yang sangat merugikan
kehidupan ekonomi. Seperti dijelaskan oleh Chow et al., (1988), bahwa

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 2
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

urbanisasi akan membawa pengaruh terhadap perubahan tata ruang dari suatu
daerah dan berdampak nyata terhadap sumber daya air. Pada kondisi daerah
dalam masa transisi atau sedang mengalami pertumbuhan, Chow et al., (1988)
menyebutkan, bahwa akan terjadi penurunan masuknya air ke dalam tanah
(infiltrasi) atau secara luas dapat dikatakan sebagai penurunan konservasi air
dan meningkatnya limpasan permukaan. Selanjutnya, pada tahap daerah yang
sudah mulai berkembang, maka akan menyebabkan penurunan yang lebih besar
terhadap infiltrasi atau konservasi air dan peningkatan limpasan permukaan
serta banjir, juga terjadinya penurunan muka airtanah

Indonesia merupakan negara air, yang secara kontinyu terjadi musim


hujan selama lebih kurang enam bulan yang memberikan curah hujan cukup
besar. Kondisi alam yang demikian ini, haruslah mendapat perhatian secara
cermat, karena merupakan salah satu faktor yang mendasar dalam menata
suatu daerah. Sebagai negara yang masih dan terus akan berkembang,
pembangunan sarana fisik mutlak dilakukan untuk menjamin kesejahteraan
sosial penduduknya. Pembangunan yang dilakukan berarti juga akan
mengalihfungsikan penggunaan lahan. Lahan yang dulunya merupakan
daerah terbuka maupun daerah resapan air, berubah menjadi daerah yang
tertutup perkerasan dan bersifat kedap air. Perubahan penggunaan lahan
seperti ini menyebabkan pada musim penghujan, air hujan tidak dapat lagi
meresap ke dalam tanah, sehingga menimbulkan limpasan di permukaan
(surface runoff) yang kemudian menjadi genangan atau banjir. Kondisi
seperti ini akan mempengaruhi juga kelestarian dari airtanah
(groundwater), karena air hujan yang meresap ke dalam tanah merupakan
imbuhan airtanah secara alami (natural recharge).

Pemahaman mengenai proses infiltrasi dan besarnya laju infiltrasi yang


terjadi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya sangat diperlukan sebagai
acuan untuk pelaksanaan manajemen air dan penggunaan lahan yang lebih
efektif. Oleh karena itu, dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air,
infiltrasi merupakan masalah yang seharusnya diatasi terlebih dahulu sebelum
upaya berikutnya dilakukan, terlebih lagi perubahan penggunaan lahan yang
terjadi pada saat ini tentunya sangat mempengaruhi besarnya laju infiltrasi yang
terjadi.
Dengan demikian diperlukan suatu perencanaan ruang yang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi atau pengawetan air dan tanah agar
terjadi keseimbangan lingkungan, sehingga pertumbuhannya tidak
menyebabkan genangan atau banjir dan longsor yang dapat merugikan
lingkungan itu sendiri.
Selain itu perencanaan kawasan DAS harus memperhatikan kemampuan
lahan dengan indikasi besaran erosi yang diperbolehkan terjadi di kawasan DAS
tersebut. Erosi yang melampaui batas menyebabkan kerusakan lahan, bencana
banjir dan longsor serta dapat merusak ekosistem DAS. Oleh karena itu pada
uraian fungsi perencanaan kawasan DAS, dua paramater dasar sebagai landasan
dalam perencanan kawasan DAS akan dijelaskan lebih rinci, yaitu parameter
besaran infiltrasi dalam bentuk peta potensi konservasi air dan parameter
besaran erosi dalam bentuk peta kemampuan lahan (peta konservasi tanah)
sebagai dasar dalam perencanaan ruang yang sesuai dengan daya dukung dan
kemampuan lahan pada kawasan DAS tersebut.

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 3
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

3. Penyusunan Peta Potensi Konservasi Air


Konservasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Purwodarminto, 1994),
diartikan sebagai usaha-usaha untuk memanfaatkan dan menjaga serta
melindungi sumber daya alam. Menurut Pinchot dalam Suparmoko (1997)
konservasi merupakan suatu tindakan pengembangan dan proteksi terhadap
sumber daya alam. Dengan demikian, konservasi air merupakan usaha-usaha
dalam pemanfaatan serta perlindungan terhadap sumber daya air.
Memberdayakan prinsip konservasi air dalam perencanaan ruang adalah
merupakan cara yang efektif untuk menjaga keadaan alam dan keseimbangan
lingkungan. Mempertimbangkan lahan terbuka yang lolos air merupakan suatu
upaya konservasi, lahan terbuka dengan sendirinya adalah suatu lahan yang
berfungsi sebagai lahan peresap air. Upaya-upaya peresapan ini bisa
berlangsung secara alamiah pada lahan terbuka yang lolos air, atau bisa
dilakukan secara buatan dengan menggunakan bangunan peresap berupa
sarana untuk menampung dan meresapkan air hujan atau air permukaan ke
dalam tanah.

Dari uraian di atas, maka dapat diartikan bahwa konservasi air adalah
upaya untuk memasukkan air ke dalam tanah dalam rangka pengisian
airtanah, baik secara alami (natural recharge) atau secara buatan (artificial
recharge). Pengertian masuknya air ke dalam tanah identik dengan
pengertian infiltrasi. Oleh karena itu, tujuan konservasi air adalah mencari
besarnya laju infiltrasi pada suatu daerah dalam rangka pengisian airtanah.
Apabila kegiatan konservasi air berjalan dengan baik, maka limpasan
permukaan atau genangan air sedikit sekali terjadi. Sebaliknya, apabila
konservasi air tidak berjalan dengan baik, maka akan timbul limpasan
permukaan atau genangan air bahkan banjir.

4. Infiltrasi
Infiltrasi adalah suatu proses masuknya air, baik air hujan, air irigasi atau
yang lain dari permukaan tanah ke dalam tanah. Mein & Larson, (1971) dalam
Nur Hidayah (2000) menyatakan bahwa proses infiltrasi dapat dibedakan
menjadi dua kondisi, yaitu infiltrasi pada kondisi ideal dan infiltrasi pada kondisi
alami. Menurut Asdak (1995) dalam Abdulah (2002), bahwa infiltrasi melibatkan
tiga proses yang saling tidak tergantung, yaitu (1) meresapnya air hujan melalui
pori-pori permukaan tanah, (2) tertampungnya air hujan yang meresap tersebut
dalam tanah, dan (3) mengalirnya air tersebut ke tempat lain. Laju infiltrasi
ditentukan oleh (1) jumlah air yang tersedia di permukaan tanah, (2) sifat
permukaan tanah, dan (3) kemampuan tanah dalam mengosongkan air di atas
permukaan tanah.

Ada beberapa faktor yang diduga paling mempengaruhi infiltrasi pada


suatu tanah, yaitu (a) sifat tanah yang terdiri dari tekstur tanah, struktur tanah,
kandungan air tanah (soil water), profil lengas pada zona perakaran, alkalinitas
tanah, suhu tanah dan adanya udara yang terperangkap dalam tanah, (b) sifat
air yang meliputi kekeruhan dan suhu air, dan (c) sifat hujan yang meliputi lama
dan intensitas hujan (Mather, 1984 dalam Nur Hidayah, 2000).

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 4
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

Tekstur tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses


infiltrasi air ke dalam tanah. Tekstur tanah adalah ukuran relatif tanah yang
mengacu pada kehalusan atau kekasaran tanah (Foth, 1998), atau komposisi
pasir (sand), debu (clay) dan liat (silt) yang terkandung dalam tanah. Pengaruh
tekstur tanah terhadap infiltrasi terjadi akibat adanya perbedaan gaya matrik
yang ditimbulkan oleh tanah yang memiliki ukuran partikel yang berbeda
(Soepardi 1983, dalam Nur Hidayah, 2000). Tanah pasir mempunyai
kemampuan yang rendah dalam menahan air, disusul dengan tanah yang
bertekstur lempung dan yang paling tinggi kemampuannya dalam menahan
meresapnya air adalah tanah yang bertekstur liat yang kandungannya
didominasi oleh mineral liat (Setijono 1996, dalam Nur Hidayah 2000). Tanah
dengan kemampuan yang tinggi dalam menahan meresapnya air, menyebabkan
kemampuan infiltrasinya rendah karena daya hantar airnya rendah (Soepardi,
1983 dalam Cipto, 2003).

Selain itu, sifat fisik tanah yang mempengaruhi infiltrasi adalah berat isi
tanah dan porositas tanah. Berat isi tanah merupakan perbandingan antara
berat tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah.
Berat isi tanah menunjukkan kepadatan tanah, semakin padat suatu tanah
makin tinggi berat isi tanah tersebut yang berarti sulit untuk dilewati air dan
ditembus oleh akar tanaman. Berat isi tanah dihitung dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
Mp
ρb =
Vt (2-1)
dengan:
b = berat isi tanah (gram cm-3)
Mp = massa padatan (gram)
Vt = volume tanah (cm3)
Porositas merupakan perbandingan antara volume ruang pori dengan volume
total tanah. Ruang pori tanah adalah bagian tanah yang diisi oleh udara dan air
yang dibedakan menjadi pori kasar atau pori makro (berisi udara dan air
gravitasi) dan pori halus atau pori mikro (berisi udara dan air kapiler). Porositas
dihitung dari hasil analisis berat isi tanah dan berat jenis tanah. Berat jenis
tanah merupakan parameter fisik tanah yang menunjukkan kerapatan dari
partikel padat yang terkandung dalam tanah secara keseluruhan yang terdiri
dari berbagai jenis mineral dan bahan organik. Porositas total dihitung dengan
menghubungkan berat isi tanah (b) dengan berat jenis tanah (p) melalui
persamaan berikut:

ρb
φ=1− ×100 %
ρp
dengan:
 = porositas (%)
b = berat isi tanah (gram cm-3)

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 5
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

p = berat jenis tanah (gram cm-3)

Contoh :
Jika diketahui segumpal tanah dengan volume 225 cm 3 dan masa padatan tanah
310 gram dengan berat jenis tanah 2,1 gram/cm3.
Hitung nilai porositas () tanah tersebut !

Penyelesaian :
Diketahui : Mp = 310 gram
Vt = 225 cm3
p = 2,1 gram/cm3
Maka dapat dihitung nilai porositas () dengan menghitung berat isi tanah (b )
terlebih dahulu, dengan cara :

Dan menghitung porositas :

= 34,4 %

Berat isi tanah (b) diperoleh dari persamaan (2-1) di atas, sedangkan berat
jenis tanah (p) diperoleh berdasarkan analisis yang dilakukan pada contoh
tanah utuh. Contoh tanah tersebut terlebih dahulu dikeringkan dalam oven
dengan suhu 1050 C selama 24 jam. Setelah itu contoh tanah dihaluskan,
kemudian dimasukkan ke dalam piknometer (piknometer ditimbang terlebih
dahulu = P) sebanyak 20 gram dan ditimbang (P+To). Kemudian ditambah air
sampai ¾ volume piknometer, lalu dikocok-kocok sampai tanah dan air
bercampur. Campuran tersebut kemudian dipanaskan di atas tempayan baja
sampai mendidih, setelah itu piknometer diangkat dan ditambah air dingin yang
sudah direbus sampai batas 100 ml. Setelah dingin, piknometer ditimbang
(P+To+Air). Nilai berat jenis dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

Mp (( P+To )−P )
ρ p= =
Vp ( 100−( P+To + Air )−( P+To ) )

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 6
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

dengan:
p = berat jenis tanah (gram cm-3)
Mp = massa tanah (gram)
Vp = volume tanah (cm3)
Faktor yang juga mempengaruhi infiltrasi adalah faktor biotik seperti
keberadaan dan aktivitas hidup, akar-akar yang mati dan karakteristik kanopi
tanaman, sehingga menyebabkan laju infiltrasi bervariasi dalam dimensi ruang
dan waktu. Kondisi permukaan tanah, penutupan vegetasi, sifat tanah seperti
porositas, konduktivitas hidraulik jenuh dan kadar air tanah juga mempengaruhi
laju infiltrasi (Chow et al., 1988). Menurut Wilson (1993), faktor yang dapat
mempercepat proses infiltrasi antara lain adalah rapatnya perakaran yang
memungkinkan tanah bawah dapat dicapai, lapisan bahan rombakan tumbuhan
berupa lapisan bak-sepon, binatang dan serangga penggali lubang yang
membuat jalan ke dalam tanah, penutupan tanah yang mencegah pemadatan
dan penyerapan air oleh tumbuhan yang menghilangkan kelengasan tanah.

Perlakuan praktek pengolahan lahan juga berpengaruh terhadap proses


infiltrasi. Menurut Cook (1962) dalam Nur Hidayah (2000) laju infiltrasi di bawah
tanaman semusim lebih rendah daripada di bawah rumput. Vegetasi di
permukaan tanah dapat mengurangi air hujan yang sampai ke permukaan tanah
dan menghambat aliran air di permukaan tanah, sehingga meningkatkan
kesempatan air tersebut terinfiltrasi ke dalam tanah (Utomo, 1984 dalam Nur
Hidayah, 2000).

Soemarto (1987) menyatakan, bahwa infiltrasi sangat mempengaruhi dua hal,


yaitu:
1. Proses limpasan (runoff)
Laju infiltrasi menentukan banyaknya air hujan yang diserap ke dalam tanah,
makin besar laju infiltrasi, maka makin besar air yang masuk ke dalam tanah
dan akan semakin kecil limpasan permukaan atau genangannya, sehingga debit
puncaknya juga lebih kecil.

2. Pengisian lengas tanah (soil moisture) dan airtanah (groundwater)


Pengisian lengas tanah dan airtanah penting sekali untuk ketersediaan airtanah.
Pengisian lengas tanah sama dengan selisih antara besarnya infiltrasi dan
perkolasi. Besarnya perkolasi dibatasi oleh besarnya laju infiltrasi. Oleh karena
itu, laju infiltrasi sangat menentukan besarnya isian airtanah.

Ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk menghitung laju


infiltrasi secara empirik, yaitu model Kostiakov, Horton, Holtan dan model yang
diturunkan dari teori aliran di media porous seperti Green-Ampt.
Selain itu, menurut Soemarto (1987), Linsley (1986), Wilson (1993) dan Sharma
(1987) dalam Abdulah (2002), ada beberapa metode pengukuran secara
langsung di lapangan dalam menentukan besar laju infiltrasi yang terjadi, yaitu:
1. Infiltrometer
Infiltrometer merupakan alat ukur infiltrasi di lapangan yang sering dipakai
karena selain mudah dalam pengoperasiannya juga sangat ekonomis dengan
hasil yang cukup baik. Infiltrometer adalah silinder pendek dengan garis tengah
lebar atau sejenis dengan silinder lain yang dindingnya kedap air dan
Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 7
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

ditancapkan di atas permukaan tanah. Kemudian silinder tersebut diisolasi


setebal 5 – 10 cm dari permukaan tanah dan terus menerus diisi dengan air
untuk mempertahankan genangan yang ada di dalam silinder. Penurunan air
dalam silinder dicatat sesuai perbedaan waktu yang telah ditentukan. Saat ini
yang seringkali dipakai dalam pengukuran infiltrasi di lapangan, adalah
infiltrometer silinder ganda (double ring infiltrometer) dengan metode infiltrasi
genangan (ponded infiltration). Alat ini terdiri dari dua silinder, silinder dalam
berdiameter 40 cm dan silinder luar berdiameter 60 cm. Maksud dari
pemasangan silinder bagian luar adalah untuk mengurangi beberapa efek tepi
dari tanah kering di sekeliling silinder, dan mencegah terjadinya aliran lateral di
bawah silinder selama pengukuran dilakukan.
2. Testplot
Pengukuran daya infiltrasi dengan menggunakan infiltrometer hanya bisa
dilakukan bila wilayah pengukurannya relatif tidak luas, sehingga kadang-
kadang untuk wilayah pengukuran yang luas, maka infiltrometer kurang fleksibel
untuk dipergunakan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka digunakan cara
testplot, yaitu lahan luas yang agak datar yang dikelilingi oleh tanggul dan
digenangi oleh air. Laju infiltrasi diperoleh dengan cara mengukur banyaknya air
yang ditambahkan ke dalam petak agar permukaan air selalu konstan.
3. Lysimeter
Lysimeter merupakan alat berupa sebuah tangki beton yang ditanam dalam
tanah, kemudian diisi dengan tanah dan tanaman yang sama dengan keadaan di
sekelilingnya, serta dilengkapi dengan fasilitas drainasi dan penyuplai air.
Dengan Lysimeter tersebut, besarnya infiltrasi dengan kondisi curah hujan yang
sebenarnya dapat diamati. Curah hujan harus diukur dengan menggunakan alat
pencatat hujan yang harus ditempatkan di dekat Lysimeter.
4. Simulator Hujan (Test Penyiraman-Sprinkler)
Di atas sebidang tanah dengan luas beberapa puluh meter persegi (m 2)
diberikan hujan buatan dengan intensitas yang diketahui dan konstan (i > fp).
Permukaan tanahnya dibuat agak miring, sehingga limpasan permukaan sebesar
i – fp dapat mengalir di atas permukaan tanah dan diukur. Parameter i, q dan fp
dinyatakan dalam mm jam-1. Setelah berjalan beberapa lama, selisih i dan q
menjadi hampir konstan, ini berarti bahwa fc sudah hampir tercapai. Setelah
penyiraman dihentikan, limpasan masih terjadi beberapa saat meskipun dengan
intensitas yang semakin kecil. Hal ini disebabkan oleh semakin kecilnya
ketebalan air di atas permukaan tanah, yang berarti pelepasan tampungan air di
atas permukaan tanah. Selama pelepasan tampungan tersebut masih ada,
dianggap bahwa infiltrasi menurun dengan cara yang sama dengan debit. Ini
berarti bahwa, pada permulaan test terjadi tampungan sebesar volume total
limpasan permukaan dan infiltrasi setelah hujan buatan dihentikan. Dengan
perkiraan yang tepat terhadap besarnya tampungan tersebut, maka dapat
ditentukan besar fp (laju infiltrasi).

Metode lain yang digunakan untuk mengukur laju infiltrasi adalah dengan
metode pendekatan uji laboratorium, yaitu dengan pendekatan nilai
Konduktivitas Hidraulik Jenuh (KHJ), karena sebagaimana menurut Child (1969)
dalam Cipto (2003) bahwa dalam beberapa studi, nilai laju infiltrasi konstan (fc)
dapat didekati dengan nilai KHJ. Konsep dasar dari metode KHJ adalah hukum
Darcy, bahwa aliran dalam bentuk cair dalam media berpori sebanding dengan

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 8
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

gaya penggerak (gradien hidrolik), dan berbanding lurus dengan sifat bahan
dalam mengalirkan cairan (konduktivitas hidrolik). Laju infiltrasi diperoleh
dengan mengukur kecepatan pergerakan air yang melintasi tanah, dengan cara
membagi jumlah air yang melewati tanah tersebut dengan waktu yang
ditentukan. Secara matematis persamaan Darcy adalah :

Q×T
K=
A×t×H (2-4)
dengan:
Q = volume air yang tertampung (cm3)
T = tinggi contoh tanah (cm)
t = waktu (jam)
H = tinggi genangan (cm)
A = luas penampang contoh tanah (cm2)
K = konduktivitas hidraulik jenuh (cm jam-1)

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka dikembangkan sebuah


model untuk mempermudah penyelesaian masalah analisis hidrologi khususnya
infiltrasi dan limpasan permukaan. Salah satunya adalah USDA-ARS (Agricultural
Research Services), Southwest Watershed Research Centre bekerja sama
dengan US EPA Office of Research and Development telah mengembangkan
program Sistem Informasi Geografis, disingkat SIG (selanjutnya penulisan akan
menggunakan SIG), yang merupakan suatu sistem yang berbasis komputer. SIG
dirancang untuk mengumpulkan, menyimpulkan, menyimpan dan menganalisis
objek-objek dan fenomena hidrologi berbasis geografi. Hasil dari pengembangan
tersebut berupa program AGWA (Automated Geospatial Watershed Assessment)
yang merupakan pengembangan dari perangkat lunak ESRI ArcView SIG, yang
menggunakan data geospasial. Model KINEROS, adalah bagian dari program
AGWA yang merupakan alat untuk menganalisis fenomena hidrologi untuk studi
tentang daerah pengaliran sungai. Model ini dirancang untuk mensimulasikan
proses infiltrasi, limpasan permukaan dan erosi yang terjadi pada suatu DAS
dengan skala yang relatif kecil (≤ 100 km2).

Dasar pemikiran dari model KINEROS adalah, apabila suatu lahan


menerima hujan dengan intensitas tertentu, maka air yang jatuh ke permukaan
tanah sebagian akan terinfiltrasi ke dalam tanah sampai batas kejenuhan
tertentu, sedangkan sebagian lagi akan melimpas di atas permukaan tanah atau
menggenang. Keadaan ini tergantung dari kemampuan tanah dalam menyerap
air berdasarkan berbagai faktor yang mempengaruhinya, antara lain kemiringan
dari suatu lahan, komponen-komponen penyusun tanah dan sifat-sifat fisik
tanah. Dengan memasukkan semua parameter yang diperlukan untuk
menjalankan model KINEROS, maka akan diperoleh nilai dari infiltrasi dan
limpasan permukaan yang berupa kedalaman infiltrasi dan kedalaman limpasan
permukaan yang terjadi.

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 9
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

Model KINEROS membutuhkan tiga parameter dasar. Ketiga parameter


karakteristik hidraulik tanah tersebut adalah konduktivitas hidraulik area efektif
jenuh (Ks), dorongan pembuluh kapiler (G) serta porositas (). Untuk
memungkinkan dilakukannya perkiraan terhadap perilaku redistribusi tanah,
maka model KINEROS membutuhkan satu parameter tambahan, yaitu indeks
distribusi ukuran pori-pori (), nama ini seperti ditulis oleh Brooks & Corey
(1964), merupakan deskripsi sederhana dari karakteristik hidraulik tanah yang
dipakai pada model ini. Untuk serangkaian dampak dari variasi spasial yang
terjadi secara normal dalam konduktivitas hidraulik tanah (Ks), dapat
disimulasikan dengan memberikan nilai pada koefisien variasi pada parameter
ini, yaitu dengan menggunakan parameter pilihan CvK, yang menjelaskan
variasi random di dalam karakteristik hidraulik tanah. Untuk profil tanah berlapis
dua, maka parameter tersebut di atas mempunyai indeks 1 atau 2. Hal ini
menunjukkan, bahwa indeks tersebut dipakai pada lapisan tanah lebih atas atau
lebih bawah secara berurutan.

Analisis infiltrasi tanah dalam model KINEROS menguraikan infiltrabilitas


(fc) sebagai fungsi dari kedalaman infiltrasi (I). Dalam prakteknya, pola bebas
dari tingkat curah hujan (r) sebelum waktu yang dipilih dan kapasitas infiltrasi
selama masa hujan berlangsung, merupakan fungsi dari total kedalaman yang
diinfiltrasi, dengan nilai r > Ks pada waktu sebelum waktu yang dipilih tersebut.
Definisi infiltrabilitas di sini mengikuti pendapat Hillel (1971) yang menyatakan,
bahwa infiltrabilitas merupakan nilai ambang batas air yang bisa memasuki
permukaan tanah. Definisi tersebut sering dinamakan dengan kapasitas infiltrasi,
namun kapasitas bukanlah istilah yang dinamis.
Model umum satu lapis untuk infiltrabilitas (fc) sebagai fungsi dari kedalaman
infiltrasi (I), dirumuskan sebagai berikut (Parlange et al., 1982):

[ ]
α
fc = Ks 1+
exp ( B )−1
αI
(2-5)
dengan:
B = (G + hw)(θS – θi) dikombinasikan dengan dampak dari dorongan
kapilaritas bersih
hw = kedalaman air permukaan
 = (θS – θi) adalah kapasitas unit penampungan
Parameter  menunjukkan tipe atau jenis tanah. Untuk tanah pasir nilai  = 0,
dan dalam kondisi tersebut persamaan (2-2) mendekati rumus Green-Ampt.
Nilai  pada tanah liat mendekati 1, dan dalam kondisi tersebut persamaan (2-2)
menggambarkan persamaan infiltrasi Smith-Parlange, tetapi kebanyakan jenis
tanah menggunakan nilai  mendekati 0,85.
Analisis limpasan permukaan dalam model KINEROS merupakan pengembangan
dari teori Hortonian Overland Flow (HOF) sebagai berikut:

Q=αhm
(2-6)
dengan:
Q = debit per satuan lebar (m3 detik-1)
h = limpasan permukaan per unit lahan (m)
Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 10
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

,m = konstanta
Parameter  dan m dipengaruhi oleh kemiringan lahan, kekasaran permukaan
dan rejim aliran. Persamaan (2-6) digunakan dalam hubungan dengan
persamaan kontinuitas berikut:
∂h ∂Q
+ =q ( x , t )
∂t ∂ x (2-7)

dengan:
t = waktu
x = panjang kemiringan
q = rata-rata aliran lateral
Untuk analisis limpasan permukaan, persamaan (2-6) disubstitusikan dengan
persamaan (2-7) untuk menghasilkan persamaan berikut:
∂h ∂h
+α mhm −1 =q ( x , t )
∂t ∂x
(2-8)
Kedalaman pada bagian hulu harus dispesifikasikan untuk menyelesaikan
persamaan (2-8). Jika batas atas adalah aliran tetap, maka syarat batasnya
adalah sebagai berikut:
h ( 0 , t )=0

Jika permukaan lain mempengaruhi aliran pada bagian hulu, maka syarat
batasnya adalah sebagai berikut:

[ ]
m 1
α u hu ( L , t ) u W u m
h ( 0 , t )=
αW
dengan:
u = aliran permukaan
W = lebar DAS
L = panjang DAS
Dalam KINEROS, penyelesaian persamaan gelombang kinematik, menggunakan
metode beda hingga (finite difference) berikut:

2 Δt
i+1 i
h j+1−h j+1 +h j −h j +
i+1 i
Δx
{
i+1 i+1 m i+1 i+1 m
θw [ α j+1 (h j+1 ) −α j ( h j ) ]+

( 1−θ w ) [ αij+1( hij+1)


m m
}
−α ij ( hij ) ] −Δt ( q j+1 +q j ) =0
(2-9)

dengan:
w = parameter pemberat (antara 0,6 sampai 0,8)
Terdapat dua cara untuk memperoleh nilai  dan m yang terdapat pada
persamaan (2-8), yaitu berdasarkan koefisien kekasaran yang digunakan. Bila
Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 11
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

menggunakan persamaan Manning, maka persamaan yang digunakan adalah


sebagai berikut:

1
2
S 5
α =1 , 49 dan m=
n 3
(2-10)

dengan:
S = kemiringan lahan
n = angka kekasaran manning untuk limpasan permukaan

Jika yang digunakan adalah persamaan Chezy, maka persamaan yang


digunakan adalah sebagai berikut:
1
3
α =CS 2 dan m=
2 (2-11)

dengan:
S = kemiringan lahan
n = angka kekasaran Chezy untuk limpasan permukaan
Hasil model KINEROS adalah berupa angka-angka atau peta dari besaran yang
dikehendaki, yaitu kedalaman infiltrasi (mm) dan kedalaman limpasan
permukaan (mm).

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 12
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

Sebagai contoh kajian tentang penyusunan peta potensi konservasi air


adalah studi yang telah dilakukan di DAS Kali Sumpil. DAS Kali Sumpil merupakan
sub DAS Kali Bango DAS Kali Brantas, melewati tiga wilayah administrasi, yaitu
Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu Propinsi Jawa Timur. Secara
geografis, DAS Kali Sumpil terletak antara 112 034’1” BT – 112039’36” BT dan
7051’34” LS – 7055’49” LS. DAS Kali Sumpil terdiri dari tiga macam jenis tanah,
yaitu asosiasi latosol coklat, regosol kelabu dan mediteran coklat kemerahan.
Dasar pemilihan daerah studi adalah bahwa DAS Kali Sumpil mempunyai luas DAS
yang relatif kecil, yaitu 15,392 km 2 dengan panjang sungai + 7,5 km, serta
terdapat enam jenis penggunaan lahan yang berbeda (penamaan penggunaan
lahan mengacu pada Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, BRLKT), yaitu
tegalan (sebagian besar ditanami jagung dan lombok), permukiman, sawah irigasi,
perkebunan (tanaman salak dan tebu), semak belukar dan tanah kosong. Selain
itu, DAS Kali Sumpil juga memiliki potensi pengembangan pembangunan wilayah
kota yang cukup baik. Gambar 2.1 menunjukkan lokasi DAS Kali Sumpil.

Metode pengumpulan data pada studi ini menggunakan pendekatan metode


survei, yaitu perolehan data dilakukan dengan cara langsung dikumpulkan dari
sumber pertama atau pengukuran langsung di lapangan (data primer) dan dari
instansi terkait atau secara tidak langsung (data sekunder). Data yang
dikumpulkan pada dasarnya terdiri dari data ruang dan data non ruang yang
menggambarkan karakteristik DAS Kali Sumpil.
Data primer diperoleh melalui pengukuran di lapangan dan pengambilan contoh
tanah untuk dilakukan analisis di laboratorium. Data primer yang dikumpulkan
adalah sebagai berikut:

1) Data laju infiltrasi.


a. Lapangan
Data laju infiltrasi lapangan diambil dengan menggunakan alat infiltrometer
silinder ganda (double ring infiltrometer). Alat ini dipilih karena mudah di dapat
dan mudah pengoperasiannya, serta mempunyai akurasi yang baik dengan adanya
silinder luar. Tujuan pengambilan data infiltrasi lapangan adalah untuk alat
kalibrasi dan verifikasi hasil model yang dipilih, yaitu model KINEROS. Pemilihan
model KINEROS didasarkan atas pertimbangan bahwa, model ini khusus
digunakan untuk analisis fenomena hidrologi yang terjadi pada DAS yang
mempunyai luas relatif kecil yaitu kurang dari 100 km 2, proses dalam model ini
langsung menghubungkan antara proses infiltrasi dan limpasan permukaan dalam
sub-sub DAS yang dikehendaki dalam satu DAS, serta hasil yang diperoleh sudah
dalam bentuk keruangan.
b. Laboratorium
Data laju infiltrasi laboratorium diambil dengan menggunakan metode
Konduktivitas Hidraulik Jenuh (KHJ). Pemilihan metode ini dengan pertimbangan
bahwa, dalam beberapa studi, nilai laju infiltrasi konstan (fc) dapat didekati
dengan nilai KHJ dengan hasil yang cukup baik (Child, 1969 dalam Cipto, 2003).
Data laju infiltrasi ini digunakan sebagai alat kalibrasi dan verifikasi terhadap nilai
laju infiltrasi yang dihasilkan model KINEROS. Selain itu juga digunakan sebagai
parameter konservasi air sebagai peubah tergantung terhadap peubah-peubah
sifat fisik tanah dari enam penggunaan lahan di DAS Kali Sumpil.

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 13
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

2) Data sifat fisik tanah.


Data sifat fisik tanah diperoleh dengan cara analisis di laboratorium
terhadap contoh tanah yang diambil dari lokasi studi pada tahun 2003. Data
sifat fisik tanah yang diperlukan dalam studi ini adalah sebagai berikut:
a. Tekstur tanah,
b. Berat isi tanah, dan
c. Porositas
Data sifat fisik tanah yang diperoleh, digunakan dalam analisis untuk
membuktikan adanya korelasi antara konservasi air (dalam hal ini infiltrasi)
dengan sifat-sifat tanah tersebut pada berbagai penggunaan lahan (analog
dengan ruang). Khusus untuk data tekstur tanah, data tersebut digunakan
sebagai dasar klasifikasi jenis dan tekstur tanah DAS Kali Sumpil yang
diperlukan untuk data masukan pada model KINEROS.

Analisis infiltrasi dengan pendekatan pengukuran di lapangan


Cara pengukuran laju infiltrasi dengan metode infiltrometer silinder ganda
adalah sebagai berikut: Infiltrometer dimasukkan ke dalam tanah sampai
kedalaman 5 – 10 cm, kemudian dipasang mistar skala pada silinder bagian
dalam untuk mengukur besar penurunan air yang terjadi pada saat pengukuran
dilakukan. Makin kecil diameter tabung makin besar gangguan akibat aliran ke
samping di bawah tabung. Efek aliran samping ini sebagian dapat di hilangkan
dengan memasang tabung konsentrik di bagian luarnya dan ke dalam kedua
tabung diisi air.

Apabila permukaan air yang berada di dalam silinder bagian dalam sudah
mulai menurun sampai ketinggian tertentu, maka air harus ditambahkan lagi
dengan cepat untuk mengembalikan pada ketinggian semula. Pengamatan
dilakukan dalam jangka waktu sesuai dengan kondisi waktu mencapai kejenuhan
tiap penggunaan lahan. Dalam studi ini, pengamatan dilakukan selama tujuh
sampai delapan jam, dengan pencatatan setiap 0,5 menit (awal pengamatan)
sampai dengan 15 menit (akhir pengamatan). Tidak ada ketentuan khusus
dalam penentuan interval waktu yang digunakan dalam pengamatan, kecuali
hanya disesuaikan dengan kondisi tanah yang diamati. Pada awal pengamatan,
apabila lokasi pengamatan diperkirakan mempunyai kondisi tanah porous, maka
digunakan interval waktu yang pendek untuk menghindari habisnya air di dalam
infiltrometer sebelum diisi kembali. Jika kondisi tanah sulit untuk ditembus air,
maka digunakan interval waktu yang relatif panjang. Sedangkan pada akhir
pengamatan, semakin panjang interval waktu yang digunakan, maka akan
semakin baik karena akan lebih mendekati kondisi jenuh, yaitu pada saat
terjadinya infiltrasi konstan. Pengamatan dihentikan setelah diperoleh hasil yang
konstan, yaitu pada saat muka air yang ada di dalam infiltrometer menunjukkan
penurunan yang tetap dalam beberapa interval waktu terakhir.

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 14
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

Tabel 1. Contoh Laju Infiltrasi Hasil Pengukuran di Lapangan

Penggunaan
No. mm menit-1
lahan
1 Tanah kosong 0,110
2 Permukiman 0,067
3 Sawah irigasi 0,006
4 Perkebunan 0,096
5 Tegalan 0,122
6 Semak belukar 0,196

Analisis infiltrasi dengan pendekatan uji laboratorium

Kegiatan yang dilakukan adalah, contoh tanah dijenuhkan sampai semua


pori terisi oleh air. Salah satu ujung silinder tempat contoh tanah diberi
saringan penahan yang kemudian dihubungkan dengan silinder tempat
penggenangan air. Selanjutnya, silinder penggenangan tersebut diisi air hingga
mencapai ketinggian tertentu dan dipertahankan agar tinggi air tersebut
konstan. Setelah ketinggian air tetap, maka air akan merembes melewati contoh
tanah yang kemudian ditampung dalam gelas ukur. Dari pengukuran ini
diperoleh data berupa volume air yang tertampung setelah merembes melewati
contoh tanah, untuk kemudian data tersebut dimasukkan ke dalam persamaan
Darcy.
Selain analisis infiltrasi, analisis yang juga dilakukan di laboratorium adalah
analisis sifat fisik tanah yang terdiri atas analisis berikut:
a. Analisis tekstur tanah
Analisis tekstur tanah dilakukan dengan metode pipet, yaitu dengan cara
menimbang terlebih dahulu contoh tanah dalam kondisi kering udara yang lolos
ayakan ukuran 2 mm seberat 20 gram kemudian dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 250 ml. Setelah itu ditambahkan 50 ml air aquades dan 10 ml H 2O2
ke dalam erlenmeyer dan tunggu sampai bereaksi. Kemudian ditambahkan air
dan HCL 2M sebanyak 50 ml, sehingga volumenya menjadi 250 ml lalu dicuci
sampai bersih. Setelah bersih, ditambahkan 20 ml larutan Na 4P2O2 (larutan
Calgon) 5% dan didiamkan selama semalam. Setelah itu, dilakukan dispersi
mekanik selama + 5 menit, lalu dituangkan ke atas ayakan ukuran 0,05 mm dan
cairan yang lolos ditampung di gelas ukur 1000 ml. Untuk partikel yang
tertinggal diayakan dikumpulkan dan dikeringkan sebagai massa pasir. Cairan
yang tertampung ditambah air aquades sampai tanda batas, kemudian
diletakkan pada meja pipet secara berurutan. Cairan diaduk sampai homogen
dan diambil dengan pipet 20 ml dengan waktu pengambilan maksimum 40 detik.
Setelah itu, cairan dituangkan ke dalam cawan dan dipanaskan dalam oven
sampai mencapai kering mutlak lalu timbang massa debu dan liat. Pengambilan
kedua dilakukan dalam jangka waktu dan pada kedalaman tertentu tergantung
dari ukuran partikel dan suhu ruangan. Data yang diperoleh dimasukkan dalam
persamaan berikut:

 Massa liat = 50 x (massa pipet ke-2 – massa blanko pipet ke-2


 Massa debu = 50 x (massa pipet ke-1 – massa pipet ke-2)
 Massa pasir = massa hasil penyaringan

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 15
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

b. Analisis berat isi tanah (BI) dan porositas tanah


Analisis berat isi tanah dilakukan pada contoh tanah utuh dengan cara sebagai
berikut: Contoh tanah terlebih dahulu ditimbang untuk mengetahui berat total,
setelah itu contoh tanah dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 0 C selama 24
jam. Setelah kering, contoh tanah ditimbang kembali untuk mengetahui berat
keringnya. Porositas total dihitung dengan menghubungkan berat isi tanah (b)
dengan berat jenis tanah (p).

Selain analisis infiltrasi (KHJ), analisis yang juga dilakukan di


laboratorium adalah analisis sifat fisik tanah, yaitu tekstur, berat isi dan
porositas tanah. Contoh Hasil yang diperoleh dari analisis tekstur
tanah adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Prosentase (%) Kandungan Pasir
Penggunaan Pasir (%) pada kedalaman
lahan 0 – 20 cm 20 – 40 cm 40 – 60 cm
Permukiman 19,970 12,610 11,280
Tegalan 8,710 10,257 8,573
Perkebunan 21,853 11,720 11,967
Semak belukar 14,120 15,440 9,000
Sawah irigasi 8,610 7,620 7,647
Tanah kosong 11,377 25,170 30,547

Tabel 3. Prosentase (%) Kandungan Debu


Penggunaan Debu (%) pada kedalaman
lahan 0 – 20 cm 20 – 40 cm 40 – 60 cm
Permukiman 52,360 49,130 45,080
Tegalan 53,940 52,080 49,360
Perkebunan 40,437 39,573 38,390
Semak belukar 42,217 32,620 36,080
Sawah irigasi 37,800 35,110 31,780
Tanah kosong 65,000 41,383 32,693

Tabel 4. Prosentase (%) Kandungan Liat


Penggunaan Liat (%) pada kedalaman
lahan 0 – 20 cm 20 – 40 cm 40 – 60 cm
Permukiman 27,670 38,260 43,640
Tegalan 42,880 37,667 42,067
Perkebunan 37,640 48,707 49,643
Semak belukar 43,667 51,943 54,920
Sawah irigasi 53,587 57,267 60,573
Tanah kosong 23,623 33,480 36,760

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 16
| Email: mohammadbisri@yahoo.com
Pengelolaan DAS – Modul -3

Tabel 5. Contoh Tabel nilai perhitungan Porositas

Porositas (%)

0 – 20 cm 20 – 40 cm 40 – 60 cm
Penggunaan lahan
Ulangan Ulangan
Rata-
Rata-rata Rata-rata
rata
1 2 3 1 2 3

Permukiman 54,02 56,13 51,20 50,85 52,73 58,40 50,24 58,28 55,64

Tegalan 54,55 52,87 53,61 49,76 52,08 58,50 59,10 60,02 59,21

Perkebunan 43,66 44,64 49,61 51,25 48,50 59,12 58,06 56,99 58,06

Semak Belukar 56,73 59,23 58,16 60,05 59,15 61,93 62,60 59,04 61,19

Sawah Irigasi 55,60 56,84 40,97 25,09 40,97 53,57 54,49 57,63 55,23

Tanah Kosong 49,93 56,04 57,10 54,95 56,03 59,89 61,26 64,10 61,75

Quick Think

- Bagaimana pendapatmu mengenai perencanaan kawasan DAS ?


- Mengapa perlu adanya penyusunan peta potensi konservasi Air? Apa
manfaat dari peta tersebut ?
- Bagaimana analisis Laboratorium untuk perhitungan analisa infiltrasi ?

Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS. & Dr. Ir. Rispiningtati, M.Eng. 17
| Email: mohammadbisri@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai