Anda di halaman 1dari 19

Jurnal Ilmiah Tumou Tou

http://ejournal-iakn-manado.ac.id/index.php/tumoutou
Vol. 8, No.1, Januari 2021

Telaah Etnografi Mengenai Inkulturasi dan Akulturasi Sebagai Kearifan


Lokal Etnis Baliem, Papua
(Ethnographic Study Regarding Inculturation and Acculturation as Local
WisdomEthnic Baliem, Papua)
Marde Christian Stenly Mawikere1, Sudiria Hura2
1,2
Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Manado
Jl. Bougenville Tateli Satu, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara
95661
email: mardestenly@gmail.com, letrianasudiria@gmail.com
Info Artikel Abstrak:
Sejarah Artikel: Artikel ini merupakan kajian etnografi mengenai Inkulturasi dan
Diterima: 8 November 2020 Akulturasi Etnis Baliem, sebagai sukubangsa (etnik) di Tanah Papua.
Direvisi: 21 Desember 2020 Adapun unsur dari Inkulturasi yang diteliti terdiri dari kepribadian,
Dipublikasikan: Januari 2021 substansi kepemimpinan, ritual dan komunikasi, sedangkan unsur dari
e-ISSN: 2355-9527 Akulturasi yang diteliti terdiri dari perubahan sosial budaya yang terjadi
p-ISSN: 2355-3308 dalam komunitas orang Baliem dan sikap mereka kepada pengaruh luar
DOI: 10.51667/tt.v8i1.472 serta dinamika keterbukaan lainnya. Studi ini menunjukkan bahwa etnis
Baliem memiliki kekayaan budaya tradisonal yang unik dan melalui
pengaruh dari masyarakat luar telah mengalami perubahan sosial budaya
yang didukung oleh sikap yang terbuka kepada masyarakat lain. Dengan
kearifan lokal yang demikian, maka kajian ini akan memberikan
sumbangsih dan stimulasi bagi pembelajaran, penelitian lanjutan dan
pendekatan pengabdian dan pengembangan masyarakat yang holistik,
baik secara spiritual, mental dan fisik serta kontekstual yang dinamis bagi
etnis Baliem di Tanah Papua.
Kata kunci: Budaya, Fenomena, Inkulturasi, Akulturasi, Kearifan Lokal.

Abstract:
This article is an ethnographic study of the Inculturation and
Acculturation of the Baliem, as ethnic groups in the Land of Papua. The
elements of inculturation under study consist of personality, leadership
substance, ritual and communication, while the elements of acculturation
studied consist of socio-cultural changes that occur in the Baliem
community and their attitudes towards outside influences and other
openness dynamics. This study shows that the Baliem ethnic group has a
unique traditional cultural wealth and through the influence of the outside
community has undergone socio-cultural changes which are supported by
an open attitude to other communities. With such local wisdom, this study
will contribute and stimulate learning, further research and a holistic
community service and development approach, both spiritually, mentally
and physically as well as dynamic contextually for the Baliem ethnic in
Land of Papua.
Keywords: Culture, Phenomenon, Inculturation, Acculturation, Local
Wisdom

27
PENDAHULUAN etnis Baliem, Papua baik secara spiritual,
Keunikan suatu kelompok mental dan fisik. Dengan demikian akan
masyarakat (sukubangsa/etnik) karena merangsang bagi pembelajaran, pelayanan
mereka memiliki budaya yang istimewa masyarakat maupun penelitian-penelitian
dan berbeda dengan kelompok etnis lanjutan bagi kemaslahatan masyarakat
lainnya. Kebudayaan itu dibentuk oleh para secara khusus bagi etnis Baliem, Papua.
leluhur dari etnis tersebut dan
mewariskannya kepada generasi berikutnya METODE PENELITIAN
sebagai kekayaan dan upaya untuk Penelitian ini dibangun berdasarkan
mempertahankan jati diri (identity) dan kajian terhadap berbagai literatur yang
martabat (dignity) dari etnis tersebut. relevan dengan masalah penelitian yang
Interaksi dengan lingkungan secara internal ditelaah dan dideskripsikan. Sebagai
juga memberikan kontribusi bagi sumber data primer yang dikaji melalu
terbentuknya budaya yang kemudian penelitian ini adalah literatur yang
menjadi kesepakatan bersama untuk tetap menjabarkan secara Etnografi mengenai
melestarikannya. Proses inilah yang disebut substansi dan dinamika kultur etnik Baliem
sebagai inkulturasi yaitu pembudayaan di Tanah Papua sehingga secara induktif
yang dihasilkan secara internal dan turun- mendapatkan gambaran dan identifikasi
temurun dari suatu kelompok masyarakat. tentang eksistensi inkulturasi dan akulturasi
Namun sebagaimana waktu selalu bergerak etnis Baliem Papua sebagai kearifan lokal
dan mengarah ke depan maka, keterbukaan mereka. Penelitian ini pula didukung
dan perubahan adalah keniscayaan yang dengan observasi atau pengamatan yang
selalu terjadi dan berlangsung secara telah dilakukan peneliti yang statusnya
simultan. Pengaruh budaya luar kerapkali sebagai emic melalui pengalaman interaksi,
masuk dan terjadi asimilasi budaya, penelitian dan pengabdian masyarakat di
sehingga diterima bahkan diakui sebagai Wamena, Lembah Baliem di Tanah Papua
“budaya lokal” kelompok masyarakat dalam kurun waktu tahun 2009-2018.
tertentu. Proses inilah yang disebut dengan Adapun hasil dari penelitian diolah
akulturasi yang senantiasa terjadi sampai ke secara kreatif oleh peneliti untuk
pelosok-pelosok pedalaman suatu dituangkan sebagai artikel jurnal ilmiah
komunitas. yang diharapkan supaya penelitian ini
Komponen budaya sedemikian bermanfaat untuk pendekatan
luas, menyangkut unsur fisik, gagasan yang pembelajaran, penelitian dan
abstrak, filsafat, spiritual dan lain pengembangan masyarakat etnis Baliem,
sebagainya. Budaya memberi kontribusi Papua.
besar bagi seseorang maupun komunitas
serta sifatnya lintas sektoral baik secara HASIL DAN PEMBAHASAN
spiritual, sosial, ideologi, ekonomi, politik,
pendidikan dan cakrawala dan jangkauan Fenomena Inkulturasi Etnis Baliem
yang lebih luas lagi. Karena itu, budaya Etnis Baliem mendiami Lembah
atau kearifan lokal sangat dihargai dan Baliem dan sekitarnya di daerah
member kontribusi bagi kemaslahatan pegunungan tengah Tanah Papua. Mereka
suatu komunitas/kelompok etnis. juga sering disebut “Orang Hubula atau
Kajian artikel ini mendeskripsikan Huwula atau akhuni Palim meke (Lieshout,
tentang Inkulturasi dan Akulturasi Sebagai 2009, p. 18). Pada umumnya mereka
Kearifan Lokal Etnis Baliem yang bermukim di kabupaten Jayawijaya dan
mendiami Tanah Papua. Hasil dari kajian area pemekaran kabupaten itu yakni
ini diharapkan akan memberikan kabupaten Puncak Jaya, Yahukimo,
sumbangsih bagi pendekatan pendidikan, Tolikara, Mamberamo Tengah Nduga,
penelitian dan pengabdian masyarakat bagi Lanny Jaya, Yalimo dan Puncak. Adapun

28
area Lembah Baliem terdapat tujuh suku suku yang ditempatkan Tuhan di atas tanah
sub etnis “orang lokal” Baliem yaitu orang mereka. Mereka merasa diberikan
Lani di sebelah barat; orang Mek dan tanggung jawab oleh Yang maha kuasa
Nduga disebelah selatan dan barat daya; untuk mengelola semua yang ada. Orang
Orang Walak di sebelah utara dan orang Hubula adalah komunitas yang sangat
Yali di sebelah Timur. Secara khusus di polos, terbuka, pekerja keras, memiliki hati
area Lembah Baliem yaitu dari desa yang suka menolong.
Kurima sampai desa Piramid terdapat orang Adapun berkaitan dengan
Hubula yang di Indonesia dikenal sebagai karakteristik rohani orang Baliem, mereka
“orang Dani” (Mawikere, 2018, p. mempercayai Walhowak sebagai Nyopase
26;Mawikere, 2020, p. 53). Kain atau atau Elalin Walhasikhe atau
Dalam artikel ini, inkulturasi Tuhan, Pencipta dan Sumber Asal. Akan
(pembentukan budaya) yang terjadi dalam tetapi Walhowak bersifat abstrak dan
kehidupan etnis Baliem terdiri dari empat transenden (Mawikere, 2020, p. 55).
bagian besar, yaitu: Pertama, kepribadian Karena itu, orang Baliem mempercayai
orang Baliem. Kedua, sistem kekuatan supranatural yang imanen melalui
kepemimpinan tradisional etnis Baliem. bentuk-bentuk konkret berupa benda-benda
Ketiga, ritual etnis Baliem, dan Keempat, keramat seperti kaneke/hareken yang
komunikasi orang Baliem. Adapun bidang- sebenarnya merupakan kekuatan atau
bidang ini masih tetap melekat dalam potensi yang terdapat pada diri sendiri
eksistensi budaya orang Baliem, sekalipun namun turut menentukan hidup dan dunia
telah terjadi perubahan (akulturasi) dan orang Baliem (Alua, 2006b, pp. 36-38).
perkembangan melalui proses moderenisasi Sebagai manusia yang berakal budi dan
di sekitar kehidupan masyarakat Baliem berkehendak bebas, maka orang Baliem
(Alua, 2006b, pp. vii-viii;Susanto-Sunario, memiliki keterampilan sederhana yang
1994, pp. 88-89). dapat menghasilkan peralatan hidup yang
bersifat praktis untuk memenuhi kebutuhan
Kepribadian Orang Baliem hidup sehari-hari. Hal ini dapat dilihat pada
Pada umumnya kepribadian orang barang-barang seperti Honai atau Pilamo
Baliem apabila diteliti berdasarkan yang adalah rumah untuk laki-laki, Ebe’ai
kehidupan kelompok etniknya merupakan yang adalah rumah untuk perempuan,
suatu keseluruhan yang kompleks yang Hunila atau Lesema yang adalah dapur,
meliputi sifat karakteristik yang imanen, Wam’aila atau wam dahula yang
intelegensi yang pragmatis, merupakan kandang babi, wulikin (tungku
berketerampilan sederhana, memiliki sifat api), hakse (kolam masak), dan lain
batin dan mentalitas yang menyatu dengan sebagainya. Sebagai masyarakat tradisional
alam lingkungan yaitu alam sesame etnik, yang menyatu dengan alam, orang Baliem
alam semesta/kosmis dan alam baka) memiliki ikatan batiniah yang erat dengan
dengan perilaku yang bersifat simbolis sesama manusia (nayak-hayak), dunia gaib
berdasarkan keyakinan dan pendirian (kaneke), makhluk-makhluk halus
kelompok etniknya yakni orang Baliem (wakunmo) dan roh-roh nenek moyang
(Susanto-Sunario, 1994, p. 21). Orang (alawene oan kigidegma) yang dipercayai
Baliem mengakui bahwa kepribadian berada di sekitar mereka sebagai
mereka sangat unik dibanding dengan suku keluarganya.
lain atau bangsa lain. Karena sangat unik Pada umumnya orang Baliem
dan tatanan budayanya sangat teratur yang memiliki nilai persahabatan dan
telah diwariskan oleh leluhurnya dan tidak persaudaraan yang kuat dengan sesama
pernah salah sampai saat ini. Itulah manusia. Bagi orang Huwula, makna dari
sebabnya tetap dipertahankan. Mereka persahabatan dan persaudaraan atau Nalak-
memandang diri mereka sebagai salah satu Halak, Neru-Heru atau hakanireee adalah

29
sebagai pertahanan, tidak bisa lepas atau baik bersama-sama sebagai saudara). Hal
dapulik. Persahabatan yang terus menerus ini membentuk pandangan dunia
atau opakima hutik. Mereka sangat merasa (worldview) orang Baliem untuk memiliki
bangga, karena makna persahabatan sangat rasa perkawanan (Lauk-Nayak) dan
tinggi dibanding dengan hal lain sesuai persaudaraan (hakanireee) dengan sikap
dengan pengaturan adat dan budaya saling mengasihi, memahami,
mereka. Keteraturan dalam masyarakat kekeluargaan, solidaritas dan saling
bergantung pada penghargaan terhadap ketergantungan (Susanto-Sunario, 1994, p.
persaudaraan dan persahabatan itu. Hal 40).
kasih dan hubungan tali persaudaraan tidak Dengan demikian, orang Baliem
pernah putus karena orang Baliem merasa memandang diri sendiri seperti hanya
bahwa hal itu sesuai perintah Walhowak. manusia pada umumnya yaitu sebagai
Persahabatan bagi orang Hubula adalah manusia yang bergantung kepada manusia
sesuatu yang sangat bernilai. Apapun lain dari mana pun juga asal-usul, ras,
mereka dapat lakukan hanya demi agama, budaya, kepribadian dan perilaku
mempertahankan kekerabatan dan yang berbeda. Pandangan ini banyak
persaudaraan. Contoh, Jika kita sudah dipengaruhi oleh berbagai perubahan sosial
bersahabat dengan seseorang lalu orang itu budaya yang muncul sejak keterbukaan
berada dalam kesulitan, maka semua akan Lembah Baliem pada tahun 1954 pada saat
turun tangan membantu meringankan para misionari datang untuk memberitakan
beban. Kekerabatan ala orang Hubula Injil. Selanjutnya integrasi dengan negara
tersebut sangat terlihat jelas ketika suasana Indonesia telah memiliki andil besar
pernikahan, maka mereka akan saling adanya penjumpaan budaya dengan orang-
membantu, apabila terjadi suasana perang, orang dari suku bangsa lainya.
maka komunitas ini sudah mengetahui Namun pada sisi yang lain menurut
aliansi persahabatan mereka artinya siapa pengamatan penulis, orang Baliem juga
sahabat dan siapa musuh sehingga akan memiliki keunikan yang khusus dalam
secara langsung saling membantu. Contoh memandang diri mereka sendiri. Mereka
lain, persahabatan dengan komunitas di luar memiliki pendirian bahwa mereka adalah
Papua, jika terjadi situasi chaos maka manusia sejati, tulen dan berbeda dari orang
mereka akan secara langsung menolong lain di luar kelompok etniknya yang disebut
dan bahkan taruhan nyawa untuk welagegorek owa. Orang Baliem sendiri
membendung jika terjadi penyerangan. yang memang berasal dan bermukim di
Mengapa demikian, karena bagi orang daerah “pegunungan” Papua kerap
Hubula, saudara terdekat adalah sahabat membuat polarisasi dengan orang Papua
atau orang yang selalu bersama. Belum lain yang berasal dari pesisir pantai, apalagi
tentu saudara kita yang jauh akan datang dengan masyarakat dari kelompok suku
menolong kita ketika kita sudah sekarat. bangsa lain di Indonesia (Wetipo, 2015).
Singkat kata, manusia berakar di atas Pendirian sebagai orang Baliem yang
manusia. Manusia bisa berdiri gagah karena berbeda dengan kelompok etnik lainnya
ada manusia lain yang selalu member sedikit banyak mempengaruhi masyarakat
pertolongan. Seperti itulah konsep dan Baliem secara sosial politik untuk
praktek persahabatan bagi orang Baliem menyebut diri mereka sebagai “orang
yang telah menjadi realitas pandangan Baliem” atau “orang Melanesia” atau
dunia (worldview). “orang Papua”, sedangkan kelompok lain
Karena itu, orang Baliem memiliki mereka sebut “orang Melayu.” (Peyon,
kesadaran untuk hidup harmoni dengan 2012a;Peyon, 2012b). Pendirian tersebut
sesama manusia dan alam semesta yang memengaruhi orang Baliem sebagai orang
nampak dalam budaya inayaklah inom yang berwibawa, berani, keras, kuat, tegar
hanorogo welaikarek (hiduplah dengan dalam perjuangan untuk mempertahankan

30
hidup mereka. Akan tetapi dalam pergaulan budaya masyarakat Baliem kerap kali
setiap hari menurut pengamatan penulis, memiliki benturan budaya pada saat
orang Baliem juga dikenal sebagai orang penjumpaan dengan kelompok masyarakat
yang lemah lembut, sabar, berhati baik, pendatang. Aspek enkulturasi yang
humoris dan solider dengan orang-orang cukup penting bagi masyarakat Baliem
lain yang hidup bersama mereka seperti adalah sistem kepemimpinan tradisional
yang menjadi penekanan dalam budaya atau at hagasek werekma. Secara formal
budaya inayaklah inom hanorogo sebenarnya masyarakat Baliem tidak
welaikarek (hiduplah dengan baik bersama- memiliki sistem at hagasek werekma atau
sama sebagai saudara). Sikap dan kepemimpinan serta tidak terdapat istilah
pandangan yang terbuka terhadap orang khusus untuk seorang pemimpin kecuali
lain ini sangat istimewa karena pada istilah ap kain atau ap Kaintek atau ap
umumnya orang Huwula bersikap baik Koktek yang digunakan untuk laki-laki
terhadap masyarakat lain yang berbeda yang berarti “kuat”, “berani”, “pandai”, dan
sukubangsa, budaya, agama dan status “terhormat” (Koentjaraningrat, 1993, p.
sosial. Hanya sebagian besar masyarakat 282). Orang Baliem memaknai ap kain atau
Huwula tidak mau menerima agama Islam ap Kaintek atau ap koktek sebagai alon
karena suku Huwula selalu ada acara pesta werek atau “orang besar berpengaruh dan
babi atau eweako atau mawe. Walaupun berwibawa”. Pemimpin tersebut dikenal
budaya lain tidak mau diterapkan oleh juga sebagai laki-laki pemberani (ap
masyarakat Huwula namun budaya yang ayukdek) dan laki-laki yang memiliki hati
baik seperti masak di belanga, panci dan baik (ap etaiken werek atau etaikan hano).
masak air adalah budaya dari luar orang Kepemimpinan seperti ini dalam bahasa
Huwula yang baik. populernya adalah “kepala suku”. Seorang
Adapun berkaitan dengan sikap dan pemimpin dalam masyarakat Baliem
pandangan orang Baliem terhadap orang memiliki kewibawaan dan kekuasaan yang
lain, maka menurut pengamatan pada satu sangat besar sehingga ia menjadi seorang
sisi orang Baliem tidak memandang rendah panutan oleh sebagian besar masyarakat.
orang yang lain sebab mereka memiliki Karena itu, penggantian kepemimpinan
ketergantungan secara ekonomi. Bahkan pada masyarakat Baliem tidak berdasarkan
dalam pemukiman (silimo) orang Baliem amanat, keturunan maupun pemilihan
pada umumnya harus bersifat terbuka tertentu melainkan pada minat masyarakat
dalam menerima orang lain yang dikenal untuk mengikuti kepemimpinan ap kain
dalam budaya Ikuni-akuni hinakmouphogo atau ap kaintek atau ap koktek tersebut
yang berarti “sayangilah semua orang yang berdasarkan kewibawaan, pengaruh,
datang”. Orang Baliem sebenarnya sangat perilaku, kemampuan dan pengetahuannya.
menghargai sesama manusia yang sangat Karena itu, para antropolog
nampak dalam budaya Akuni inowawut menggolongkan sistem kepemimpinan
hewelek yang artinya “manusia memiliki masyarakat Baliem, Papua dalam
kesadaran yang tinggi yang berbeda dengan klasifikasi “kepemimpinan pria
babi”. Karena itu, pada umumnya orang berwibawa” (Alua, 2006b, p. 141).
Baliem memandang tinggi sesama Pada suatu uma yaitu kompleks
manusia, baik sesama “orang Baliem” perumahan yang dihuni oleh keluarga
maupun para pendatang. tertentu, maka seorang ap kain adalah pria
Namun pada sisi yang lain, orang yang sudah tua namun belum pikun dan
Baliem juga memiliki identitas yang unik tetap kuat. Ap kain dalam uma tersebut
sebagai orang Melanesia atau orang Papua harus memiliki kemampuan untuk
yang berbeda dengan kelompok etnik mengatur atau membereskan urusan-urusan
lainnya yang telah yang disebut diatas yang terdapat dalam satu halaman rumah
sebagai welagegorek owa. Nilai-nilai hidup tangga maupun dalam kampung (oukul).

31
Urusan-urusan yang dipikul oleh ap kain kepada ap kain dan ap kaintek
pada suatu uma menyangkut kegiatan dibandingkan dengan pemimpin dari pihak
pemeliharaan kebun, pemeliharaan babi, pemerintah maupun pemimpin agama.
mendamaikan konflik antara keluarga, Orang Huwula lebih percaya dan taat pada
pengasuhan dan pendidikan anak, bercocok ap kain karena hampir semua kegiatan
tanam, berburu dan lain sebagainya. masyarakat menunggu perintah dari ap kain
Pada tingkat pemukiman lokal maupun ap kaintek, yaitu: membuka lahan
(silimo), seorang ap kain untuk berkebun, acara pesta babi atau
bertanggungjawab atas segala masalah eweako atau mawe harus menunggu
sekitar silimo, termasuk rumah (honai) komando ap kain juga. Pada waktu perang
yang terdapat kaneke, ap kain menentukan harus menunggu komando ap kain apakah
kapan ritual-ritual adat (mawe) pada silimo bisa perang atau tidak, dan lain-lain.
yang dipimpinnya akan dilaksanakan, ap Tingkat ketaatan masyarakat Huwula
kain memutuskan serta mendamaikan kepada ap kain dan ap kaintek yaitu segala
konflik antar warga silimo, serta ap kain perintah ap kain itu harus dilaksanakan baik
mampu menghimpun dan menggerakkan bentuk pesta eweako maupun perang suku
orang lain dalam kegiatan tertentu. Adapun dan orang Huwula harus loyal kepada
ap kain pada tingkat silimo pada umumnya pemimpin yaitu ap Kain.
sudah berusia di atas 50 tahun, karena anak- Melalui penjelasan di atas maka
anak muda biasanya belum mampu dapat disimpulkan bahwa sistem
memenuhi persyaratan tersebut di atas. kepemimpinan dalam masyarakat Baliem
Pada tingkat perkampungan (oukul merupakan sistem at hagasek werekma atau
atau ouma) yang terdiri dari beberapa unit kepemimpinan laki-laki atau pria
pemukiman (silimo) juga terdapat seorang berwibawa yang memiliki kemampuan
atau beberapa orang ap kain. Tugas seorang komprehensif atau ap kain wim metek
ap kain pada oukul sama saja dengan tugas meke. Pemimpin atau ap kain atau ap
ap kain pada silimo. Namun lebih dari pada kaintek atau ap koktek adalah seorang yang
itu, seorang ap kain pada oukul harus memiliki kepandaian bercocok tanam (ai
bertanggungjawab pada masalah-masalah yatuke), berburu (apuni sue hageg watarek
sosial, ekonomi dan keamanan beberapa meke), berbicara (ane hano), berdiplomasi
silimo yang terdapat pada oukul yang (puwaga), bersifat ramah (liok sek) dan
dipimpinnya. Pada tingkat tersebut, ap kain baik hati (etaikan hano), kuat secara fisik
disebut juga sebagai ap tugure yaitu (eki kok), terampil (eki hano), dan
pengendali politik, sosial dan ekonomi pemberani (ap ayukdek) dalam berperang
masyarakatnya. sebagai kualifikasi ap kain yang memimpin
Seorang ap kain juga dapat menjadi masyarakat Baliem tersebut.
pemimpin konfederasi yang memiliki
wewenang untuk memberi tanda mulainya Khasanah Ritual Orang Baliem
suatu perang atau suatu pesta babi Selain kepercayaan kepada
(eweako). Untuk peristiwa perang, maka Walhowak atau Tuhan yang telah
seorang ap kain disebut sebagai ap kain membentuk worldview orang Baliem dalam
wim metek meke (laki-laki besar, panglima kehidupan sehari-hari, orang Baliem juga
perang). Seorang ap kain wim metek meke mengekspresikan kepercayaan mereka
memiliki wibawa dan kuasa serta pengaruh melalui ritus-ritus atau upacara-upacara
yang besar untuk menggerakkan kegiatan tertentu. Tujuan dari ritual orang Baliem
peperangan di beberapa jalur peperangan di adalah: Pertama, untuk kesejahteraan
wilayah konfederasinya (Alua, 2006b, p. keluarga (hanomotok againapuri) dan
145). semua masyarakat (keneke hasagin).
Karena itu, dalam kehidupan sehari- Kedua, untuk memulai dan mengakhiri
hari orang Baliem lebih percaya dan taat perang. Kaneke hasagin hanya

32
dilaksanakan oleh laki-laki yang mana juga diselenggarakan apabila ada yang mati
mereka mengucapkan doa-doa (wesa dibunuh pada waktu perang maka
hagarik lagi) meminta pertolongan para masyarakat yang merupakan musuh harus
nenek moyang (nyopa nyapu) supaya membalas dengan daging babi. Eweako
mereka memperoleh banyak babi (wam), atau Mawe juga merupakan acara pesta adat
memperoleh istri yang cocok, memperoleh untuk makan bersama tanpa mengharapkan
kerang yang berharga, apabila mereka imbalan yaitu wam ogat nugum. Wam
berdagang memperoleh banyak untung, berarti babi, ogat berarti kulit babi dan
supaya tanaman mereka di kebun memberi nugum berarti makan bersama.
banyak hasil serta supaya kehidupan Pada umumnya bagi orang Baliem
mereka tidak diganggu oleh penyakit hewan babi (wam) sangat penting karena
(Siregar, 1993, pp. 146- mereka mempercayai bahwa Walhowak
147;Koentjkaraningrat, 1993, p. 283). yang telah memberikan babi pada leluhur
Ritual lainnya untuk meningkatkan mereka untuk kekayaan mereka. Jadi baik
kesejahteraan orang Baliem dalam di desa maupun di tengah kota Wamena
kelompok-kelompok besar seperti akan terlihat banyak babi berkeliaran
konfederasi perang (ukul) adalah ritual dimana-mana. Bagi orang Baliem, babi
pesta babi (ebeako atau eweako). Ritual (wam) sangat bermanfaat sebagai
eweako biasanya dilaksanakan tiga atau pembayaran resmi dalam pesta pernikahan
empat tahun sekali, pada waktu yang (mawe himi wogosugunen) yaitu sebagai
beragam di setiap kawasan Lembah Baliem pembayaran untuk pengantin perempuan
dan hanya diadakan dalam lingkungan (himi nyesokwa wam kelaparek), babi juga
kelompok-kelompok tertentu seperti ukul. sebagai pembayaran untuk pemecahan
Ritual eweako merupakan pesta besar masalah atau perselisihan, untuk
karena menggunakan seratus ekor babi mendukung pendidikan anak, untuk
(wam), berton-ton ubi jalar (hepiri/erom), membeli tanah serta haik watuke atau
keladi (hom/kom), jagung (kupak simbol ucapan syukur kepada Walhowak
yigapu/hupak), sayur (semake atau serta penghormatan kepada leluhur mereka
wakoleka atau hunik-hunik) dan bahan melalui makan bersama (Medlama, 2009,
makanan lainnya. Karena itu, kesibukan pp. 35-36). Selain babi (wam) memiliki
yang terjadi pada tempat penyelenggaraan fungsi paling penting sebagai alat tukar-
eweako sebenarnya telah berlangsung lama menukar atau fungsi perdagangan, maka
sebelum eweako berlangsung. Mulai dari wam juga memiliki banyak fungsi lainnya
penduduk yang mulai mengumpulkan dan bagi orang Baliem yakni dagingnya
mempersiapkan bahan makanan, dimakan, darahnya digunakan dalam magi,
pemukiman (silimo) telah dibersihkan, tulang-tulang dan ekornya dibuat menjadi
terjadinya tukar-menukar barang ornamen, tulang rusuknya dibuat menjadi
kebutuhan eweako antar penduduk maupun pisau untuk mengupas hepiri dan hom, alat-
dengan masyarakat yang berasal dari alat kelaminnya diikat pada gelang tangan
tempat yang jauh. Adapun ritus eweako untuk menolak roh-roh jahat serta yang
atau Mawe adalah pesta babi secara terpenting adalah “babi perdamaian” yaitu
serentak dan besar-besaran di bawah alat perdamaian dan alat persatuan antara
komando oleh kepala suku adat atau Ap kelompok-kelompok kekerabatan yang
Kain. Eweako atau Mawe juga merupakan berbeda atau antara konfederasi-
acara pesta babi untuk pekawinan secara konfederasi (ukul) tertentu (Mansoben,
adat serta untuk inisiasi yaitu ap waya atau 1994, p. 114).
wit. Eweako atau Mawe juga adalah acara Adapun arti atau makna eweako
pesta babi untuk penghapusan hutang atau bagi orang Baliem adalah kebersamaan,
magatom karena kematian bapak, ibu, penghargaan atas komando kepala suku
kakak dan lain-lain. Eweako atau Mawe atau Ap Kain serta menjaga nama baik

33
keluarga dan suku. Dengan demikian karena keluarga yang mereka kasihi telah
melalui ritual eweako tersebut memiliki meninggal (Medlama, 2009, p. 37). Pada
beberapa makna (meaning) bagi orang saat mereka akan membersihkan wajah
Baliem, yaitu: Pertama, sebagai bentuk mereka dari lumpur (wokul), maka mereka
integrasi dan intensifikasi sosial yang akan mengadakan pesta dengan
diusahakan oleh kelompok-kelompok kecil mengundang keluarga dan kerabat sekitar
masyarakat Baliem untuk mendekatkan mereka.
dirinya dengan kelompok-kelompok yang Pada siang hari, istri dan anak-anak
lebih besar. Kedua, memiliki fungsi perempuan dari orang yang telah
ekonomi dalam proses pengumpulan meninggal akan menjalani ritual
maupun pertukaran bahan makanan. pemotongan jari tangan oleh para dukun
Seperti pada umumnya terdapat dengan menggunakan pisau bambu. Dalam
pada semua budaya di dunia, masyarakat budaya orang Baliem, pemotongan jari
Baliem juga mengenal ritual-ritual siklus hanya dilakukan oleh perempuan saja
kehidupan. Sekalipun demikian, makna sebagai bukti cinta seorang istri pada
sosio-religius dari ritual kelahiran, ritual suaminya serta kasih mereka kepada
pemberian nama, ritual memakai koteka saudara mereka yang meninggal (Medlama,
bagi anak laki-laki dan baju jerami (Sali) 2009, p. 37). Pemotongan jari juga
bagi anak perempuan untuk petama kalinya memperlihatkan adanya “bela-rasa” dengan
yang berlangsung pada awal proses orang yang meninggal itu dan membawa
sosialisasi seorang Baliem tidaklah suatu kenangan hidup akan peristiwa itu
mengandung makna sosio-religius. Bahkan seumur hidup mereka (Boelars, 1986, p.
terdapat suatu ritual penting dalam siklus 114).
kehidupan orang Baliem yaitu ritus waya Setelah jenazah dibakar, maka
hagatalin (inisiasi anak laki-laki) maupun keluarga dan kerabat akan mengumpulkan
ritus eket web (ritual untuk perempuan pada tengkorak dan sisa-sisa abu dari jenazah
masa haid pertama), juga tidak yang dibakar di tempat khusus yang
mengandung unsur religi bernama Mocat Aila yang terletak
(Koentjaraningrat, 1993, p. 284). disamping honai. Orang Baliem percaya
Adapun ritual yang mengandung dengan meletakkan abu jenazah di Mocat
makna sosio religi bagi masyarakat Baliem Aila samping rumah tradisional honai
adalah ritus kematian. Dalam budaya orang berarti orang yang telah meninggal tersebut
Baliem, saat seseorang meninggal dunia, masih hidup sebagai roh (wa ‘laga meke
maka jenazahnya akan dibakar. Dalam areagun) dan tinggal di sekitar mereka
ritual pembakaran jenazah tersebut, maka seperti sebuah keluarga. Seluruh
jenazah akan diletakkan dalam sikap duduk pembakaran jenazah, pelepasan arwah, dan
di atas bea, yaitu semacam singgasana yang pemberian balasan atau imbalan mendapat
telah di hias pada suatu lapangan di tengah bentuk pengungkapannya yang lebih keras,
kompleks perumahan yang ditutup pagar apabila orang yang meninggal itu dibunuh
(uma). Para keluarga dan masyarakat dari (Boelars, 1986, p. 115).
beragam perkampungan yang jauh pun Sebagai bagian penting dari ritus
berdatangan dan duduk di sekitar bea kematian yang disertai dengan pembakaran
sambil menaikkan debela, yaitu semacam jenazah bagi orang Baliem adalah
nyanyian atau menangis dengan sekeras- membakar daging babi dalam lubang
kerasnya. Sebagai simbol dukacita para pembakaran di tanah, yang sebagian
perempuan yang datang melayat akan mereka berikan kepada wa ‘laga meke
melumuri seluruh tubuh mereka dengan areagun tersebut. Pada sore hari sisa daging
lumpur (wokul). Adapun makna dari babi yang telah dibakar tersebut dimakan
tindakan menghiasi wajah dengan lumpur bersama-sama sebelum mereka
merupakan simbol dukacita mendalam menanggalkan semua perhiasan yang

34
terdapat pada jenazah yang kemudian Ninane sebagai komunikasi etnis Baliem
dilumuri dengan lemak babi (wam musan) Masyarakat Baliem
dan setelah itu dibakar yang diiringi dengan menggunakan satu bahasa yaitu “bahasa
debela dari masyarakat yang hadir pada Baliem” atau “bahasa Dani” (i’nyane atau
ritual tersebut (Koentjaraningrat, 1993, p. ninane) sebagai bahasa Ibu mereka. Para
285). antropolog menggolongkan bahasa Baliem
Adapun makna dari ritual ke dalam kategori Western High Land
pembakaran jenazah bagi orang Baliem Phylum, yang merupakan salah satu
adalah: Pertama, sebagai ungkapan syukur kelompok bahasa non Austronesia atau
pada Walhowak yang memberikan bahasa Papua (Mansoben, 1994, pp. 31,
kepercayaan kepada mereka. Kedua, 111). Keluarga besar bahasa Baliem
sebagai rasa hormat pada budaya mereka. (i’nyane atau ninane) tersebut terbagi
Ketiga, seseorang yang jenazahnya dibakar dalam tiga rumpun atau sub-keluarga
lebih dihormati dari pada yang tidak bahasa, yakni rumpun Wano, rumpun
dibakar (Medlama, 2009, p. 37). Baliem Pusat atau Dani Pusat dan rumpun
Dengan demikian dapat Nggalik-Dugawa. Kemudian, rumpun
disimpulkan bahwa ritual pembakaran Baliem Pusat masih terbagi lagi ke dalam
jenazah yang merupakan ritus penting dua logat, yaitu Pertama, Logat Baliem
kematian bagi masyarakat Baliem, Papua bagian Barat atau bahasa Lani yang
telah membentuk worldview mereka yang diucapkan oleh masyarakat di Baliem
mana terdapat kesinambungan antara Utara, Tiom, Pirime, Lembah Swart, Yamo,
kehidupan dengan kematian. Sebagai Nogolo, Mulia, Ilaga, Beoga, Dudindagu,
masyarakat animis dari budaya Melanesia Kemandaga, Karubaga, Bokondini, bagian
pada umumnya, orang Baliem memiliki atas dari Lembah Baliem besar sekitar hulu
worldview yang tidak memberi garis Sungai Hablifuri, Sungai Kimbim, dan di
pemisah antara dunia spiritual dan dunia Lembah Bele atau Ibele. Kedua, Logat
material. Bagi mereka dunia spiritual sama Lembah Besar Baliem atau bahasa Hubula
nyatanya dengan dunia material. yang digunakan oleh masyarakat Baliem
Adapun berkaitan dengan mulai dari daerah pegunungan Piramid di
kepercayaan orang Baliem yang animisme- bagian atas Lembah Besar Baliem hingga
dinamisme, mereka juga memiliki konsep ke daerah Sungai Samenage dan daerah
mengenai roh-roh jahat seperti setan-setan Sungai Wet (Susanto-Sunario, 1994, p.
(mokat atau mogat) dan hantu-hantu (hesile 270).
mokat atau agolagum) yang dipercayai Menurut pengamatan dan interaksi
menempati alam sekeliling tempat tinggal peneliti dengan masyarakat asli Baliem di
mereka. Orang Baliem juga mengenal ilmu Wamena, setiap orang dari beragam
sihir yang disebut imak yang masih terkait desa/pos dan kecamatan/distrik memiliki
dengan kepercayaan mereka terhadap tekanan suara atau intonasi dan dialek atau
benda keramat kaneke di atas (Siregar, aksen yang berbeda karena berdasarkan
1993, p. 146). Sekalipun demikian konsep- asal-usulnya setiap tempat di Lembah
konsep tersebut tidak mendapatkan tempat Baliem adalah dunia kecilnya sendiri.
yang penting dalam hidup sehari-hari orang Karena itu, setiap orang Baliem yang
Baliem dibandingkan dengan pengharapan sedang berbicara menunjukkan karakter
“kargoisme” yang nampak dalam mitos khusus mereka tetapi hampir semua mereka
Nabelan-Kabelan maupun Naruekul serta mendengar dan paham pada saat seseorang
ritual yang berkaitan dengan Eweako sedang berbicara dengan dialek yang
sebagai sistem persatuan masyarakat berbeda. Misalnya dalam memberi salam
Baliem. dengan melakukan jabat tangan (neki te),
masyakarat Baliem di Lembah Besar atau
orang Hubula akan mengucapkan Nayak

35
(salam untuk seorang pria) dan Lauk (salam seseorang tidak memberi salam atau
untuk seorang perempuan), sedangkan berjabat tangan dengan mengucapkan
masyarakat Baliem di bagian Barat atau selamat pagi, selamat siang dan lain
orang Lani akan mengucapkan Kaonak sebagainya kepada orang lain, maka
(salam untuk seorang pria) dan Wa Nagalo mereka akan mendapat nasib sial bahkan
(salam untuk seorang perempuan). Di sini sampai kepada kematian (Medlama, 2009,
terlihat dialek atau aksen yang berbeda p. 16). Biasanya sambil memberi salam,
dalam satu bahasa Baliem, namun mereka seseorang akan mengucapkan kata wa yang
yang mendengar akan memahami kata-kata merupakan salam yang umum untuk setiap
yang diucapkan dalam dialek atau aksen orang baik pria maupun wanita. Dengan
yang berbeda tersebut. mengucapkan wa kepada siapapun maka
Selain penggunaan bahasa Ibu masyarakat Baliem manapun akan
sebagai alat komunikasi verbal utama memahami apa yang dimaksud oleh orang
masyarakat Baliem, mereka juga yang mengucapkannya. Apabila seseorang
menggunakan bahasa “Melayu Papua” mengetahui cara untuk memberi salam
yang dikembangkan sebagai bahasa kepada masyarakat Baliem dengan salam
perdagangan dan bahasa penghubung khusus mereka yaitu wa¸maka orang
antara beragam suku bangsa di Tanah tersebut akan segera diterima oleh
Papua. Bahasa “Melayu Papua” adalah masyarakat dengan baik. Pada umumnya
kombinasi dari bahasa-bahasa asli dari masyarakat Baliem memberi salam dengan
suku-suku bangsa di Tanah Papua dengan melakukan neki te dan mengucapkan wa
“bahasa pasar” melayu yang sejak dulu kepada setiap orang setiap hari meskipun
digunakan oleh penduduk di Manado- mereka tinggal di tempat yang sama.
Minahasa yang kemudian berkembang dan Komunikasi verbal berupa perilaku
digunakan oleh penduduk Indonesia bagian selanjutnya adalah “tangisan ungkapan
timur serta dikombinasikan dengan bahasa duka” (debela) yang menjadi perilaku
Indonesia sebagai bahasa nasional. penting bagi masyarakat Baliem. Perilaku
Misalnya istilah-istilah seperti kitorang debela mengandung banyak kesan dan
(kita), dorang (mereka), sa (saya), ko makna bagi masyarakat Baliem. Hal ini
(engkau), sa punya (saya punya), trada atau dapat bercerita mengenai seseorang (pria
tara ada (tidak ada), epen kah? maupun wanita yang dikasihi) yang
(memangnya penting?), cupen toh! (cukup meninggal dalam peperangan atau bercerita
atau sangat penting!), dan lain sebagainya. mengenai setiap kegiatan yang
Selain menggunakan komunikasi dilaksanakan oleh seseorang yang
verbal berupa bahasa Baliem sebagai berkunjung dan menangis bersama dengan
bahasa Ibu serta bahasa Melayu Papua dan masyarakat karena dalam keadaan
bahasa Indonesia, masyarakat Baliem juga dukacita. Seseorang yang sedang
menggunakan perilaku (behavior) sebagai membutuhkan tempat tinggal dapat juga
komunikasi verbal lainnya yaitu perilaku melakukan debela bersama dengan orang-
“jabat tangan” (neki te), tangisan ungkapan orang lain dalam suatu kelompok.
duka (debela) serta melalui lagu-lagu Kebutuhan akan rumah tinggal menjadi
daerah (etai). suatu “keadaan dukacita” karena itu maka
Masyarakat Baliem selalu mereka melakukan perilaku debela
berperilaku memberi salam atau “jabat tersebut. Perilaku debela juga dapat terjadi
tangan” (neki te). Hal ini merupakan pada saat bertemu seorang teman pria
perilaku yang wajib dilakukan kapanpun (nayak) maupun wanita (lauk) yang telah
dan di manapun pada saat bertemu dengan meninggalkan kelompoknya dalam suatu
orang lain. Masyarakat Baliem waktu yang lama dan tinggal di tempat
mempercayai dan telah menjadi pandangan yang jauh serta lama tidak bertemu
dunia (worldview) mereka bahwa apabila

36
sehingga menimbulkan kerinduan dan yaitu sebuah gitar kecil yang terbuat dari
dukacita (Medlama, 2009, pp. 39-40). kayu. Dengan memainkan juklele ini, maka
Adapun bentuk dari perilaku debela para penyanyi dalam bentuk kelompok
sama seperti sebuah lagu yang dinyanyikan menyanyi bersama sambil menari. Lagu
pada suatu kelompok baik keluarga pikalu tersebut dibawakan di pesta
maupun kerabat. Terdapat seseorang yang pernikahan maupun pada peristiwa dan
menjadi pemimpin kelompok dan orang- kegiatan sehari-hari seperti di tepi sungai
orang yang menjadi bagian dari kelompok saat mereka mandi bersama. Lagu pikalu
tersebut akan mengikuti saat pemimpin tersebut menceritakan mengenai kegiatan
tersebut menyanyikan lagu tertentu dalam sehari-hari yang umum dan dinyanyikan
suasana dukacita. Dengan demikian nilai oleh seorang pemimpin nyanyian yang
(value) dalam perilaku debela yang kemudian anggota kelompok membalas
kemudian menjadi pandangan dunia menyanyi. Kedua, lagu besek. Lagu besek
(worldview) masyarakat Baliem adalah ini dinyanyikan dengan iringan juklele dan
bahwa perpisahan dengan seseorang tifa (gendang tradisional). Lagu besek
membuat dukacita yang dalam secara tersebut dinyanyikan sambil menari yang
kelompok (group). Demikian juga dengan mana para penari membuat sebuah
kerinduan seseorang untuk terpenuhinya lingkaran sambil melompat-lompat, para
kebutuhan pokok seperti tempat tinggal penyanyi berada di tengah lingkaran,
dapat pula menjadi suasana dukacita bagi sedangkan yang lain berlari berkeliling
kelompok sehingga harus diungkapkan mengitari lingkaran atau mereka menari
melalui perilaku debela sebagai pada satu tempat sambil melompat. Pada
komunikasi verbal dalam budaya umumnya para penari dan penyanyi besek
masyarakat Baliem tersebut. memakai baju tradisional Baliem serta
Lagu-lagu daerah (etai) adalah dinyanyikan sepanjang hari, bahkan
salah satu ungkapan perilaku komunikasi sepanjang malam serta sangat digemari
dari masyarakat Baliem. Tempo dalam lagu oleh orang-orang muda Baliem. Ketiga,
daerah (etai) masyarakat lokal Baliem lagu wenembugur. Lagu ini biasanya
intonasinya monoton dan homogeni. Satu dinyanyikan oleh laki-laki yang tua dan
sampai tiga orang memimpin suatu tanpa diiringi oleh musik. Lagu
kelompok yang sedang menyanyi dan wenembugur ini menjadi lagu kegemaran
anggota kelompok yang lainnya mengikuti para orang tua karena lagu ini mengandung
lagu. Pada umumnya lagu-lagu etai syair puisi tradisional. Syair dari lagu
digunakan untuk beberapa makna, yaitu: wenembugur tersebut menceritakan
Pertama, mengingat orang khusus seperti mengenai situasi perang yang terjadi pada
pemimpin (ap kain) yang telah meninggal masa lalu, kegiatan sehari-hari dalam
maupun yang masih hidup. Kedua, masyarakat serta mengenai peristiwa-
mengingat sumber daya alam masyatakat peristiwa tertentu pada masa lalu. Apabila
seperti pegunungan, sungai dan lagu wenembugur dinyanyikan dalam
pemukiman (silimo). Ketiga, memuji situasi perang setelah membunuh musuh,
seseorang yang memiliki kekuatan besar maka kelompok masyarakat tertentu
dalam kehidupan sosial. Keempat, menyanyikan wenembugur karena merasa
menceritakan mengenai kegiatan yang telah bangga sebagai pemenang dalam perang.
dilakukan seseorang (Medlama, 2009, pp. Pada situasi perang tersebut, kelompok
23-24). masyarakat tersebut akan saling memuji
Adapun lagu-lagu daerah (etai) satu sama lain melalui lagu wenembugur.
yang dikenal pada masyarakat Baliem Pada sisi yang lain, lagu wenembugur dapat
adalah sebagai berikut: Pertama, lagu menjadi lagu pujian yang menunjukkan
pikalu. Lagu ini dinyanyikan dengan rasa hormat masyarakat Baliem kepada
menggunakan alat musik bernama Juklele Tuhan (Walhowak). Karena itu, mereka

37
akan memakai baju tradisional mereka (CAMA/CMA) mengutus misionari
sambil membawakan lagu Wenembugur bernama Einer Mickelson dan Lloyd van
sebagai pujian kepada Tuhan. Keempat, Stone di kali Baliem Minimo-Hitigima
lagu Seki-seki. Lagu seki-seki adalah lagu maka mulailah pemberitaan Injil pertama
sensual masyarakat Baliem yang hanya kali untuk orang-orang Baliem (Alua,
dinyanyikan pada malam hari pada satu 2006c, pp. 14-15). Para misionaris tersebut
pesta. Lagu seki-seki ini dinyanyikan oleh mendirikan beberapa pos pusat misi di
delapan sampai sepuluh orang dalam satu bagian selatan Lembah Baliem, khususnya
kelompok. Setiap laki-laki akan memiliki di wilayah konfederasi Aso-Lokobal. Pada
teman perempuan. Mereka duduk saling masa itu, orang-orang Baliem masih hidup
berhadapan saat menukar gelang dan terasing secara total dari dunia luar bersama
bernyanyi lagu seki-seki. Karena lagu ini dengan peralatan dari batu yang mirip
adalah lagu sensual, maka setelah pesta, dengan manusia yang hidup dalam Zaman
mereka akan pergi berpasangan dan Batu Neolitik (Koentjaraningrat, 1993, p.
melakukan hubungan seksual. Pada dewasa 286). Melalui kedatangan para misionari
ini, lagu seki-seki telah dilarang oleh tersebut, maka secara mendadak orang
gereja-gereja karena memiliki dampak Baliem dihadapkan dengan dunia luar,
negatif dalam kehidupan sosial masyarakat khususnya dengan orang-orang Barat, yang
Baliem khususnya bagi generasi muda. kehidupan mereka dilengapi dengan
Sebagai bagian dari komunikasi peralatan yang moderen untuk kebutuhan
verbal, maka etai memiliki kandungan hal- hidup dan pelayanan, termasuk pesawat
hal yang positif, yaitu: Pertama¸bentuk- terbang. Pada masa itu pula, orang Baliem
bentuk nyanyian dan tarian yang unik dan mulai mengenal istilah “Injil” yang disebut
kompleks serta keasliannya yang tampak Allah ene palek dan istilah “penginjil” yang
masih utuh adalah keistimewaan dan disebut Allah ene palek wolok negarek
kekhasan budaya orang Baliem serta meke. Dengan kedatangan para misionari
menjadi perhatian khusus bagi para pertama di Lembah Baliem, maka
wisatawan/pendatang. Kedua, fungsinya terbukalah pintu bagi kebudayaan baru bagi
sebagai pembangkit semangat, keberanian, masyarakat Baliem yaitu wesa Kristen
optimisme, dapat dibina dan diarahkan meke atau “kebudayaan agama Kristen”
kepada pengembangan masyarakat Baliem (Susanto-Sunario, 1994, p. 126).
dengan mengubah dan mengisi syair-syair Perubahan sosial yang lebih luas
yang mengarah kepada upaya untuk terjadi pada saat kontak orang Baliem
mengubah dan mengembangkan orang dengan dunia luar yang lebih merata ketika
Baliem (Susanto-Sunario, 1994, p. 127). pemerintah Belanda mendirikan pos
Dengan demikian komunikasi orang pemerintah di Wamena pada tanggal 10
Baliem tidak saja membentuk identitas Desember 1956. Pemerintah Belanda
budaya yang baku (enkulturasi), namun membuka lapangan terbang yang bisa
juga memberikan kesempatan dan potensi didarati pesawat yang cukup besar,
kepada asimilasi budaya dengan sehingga memungkinkan masyarakat
masyarakat luar (akulturasi). Baliem untuk bepergian keluar dari
Lembah Baliem maupun masyarakat
FenomenaAkulturasi Etnis Baliem pendatang yang masuk ke Lembah Baliem.
Menurut pengamatan peneliti Pada saat itu misi Katolik Minnebroeders
sampai dengan pertengahan tahun 2017 ini, Franciskanen membuka pusat pelayanan di
masyarakat Baliem, Papua telah mengalami Wamena dengan membuka sekolah dasar
lima macam perubahan sosial budaya yang yang membawa orang Baliem dari
besar. Pertama-tama terjadi pada tanggal konfederasi Mukoko, Hubi-Kiak, Ohena,
06 April 1954 pada saat lembaga misi Witaya, Itlai-Haluk, Siep-Kosi, Siep-
Christian and Missionary Alliance Eloksak, Logo-Mabel dan sebagainya ke

38
dalam pelayanan pendidikan dan misi sosial yang merupakan reaksi sosial
Katolik (Alua, 2006c, pp.64- budaya, sebab penjumpaan budaya lokal
68;Koentjaraningrat, 1993, p. 286). dengan budaya-budaya masyarakat
Perubahan sosial budaya yang pendatang mempunyai warna politis dan
kedua dimulai pada tanggal 1 Mei 1963 ekonomi sehingga terjadi gejolak sosial
yang mana Papua menjadi bagian dari pada akhir tahun 90-an dan tahun 2000
Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Budiardjo, 2001, p. 83).
Sejak saat itu masyarakat Baliem dan Perubahan sosial budaya kelima
seluruh Papua mengalami penjumpaan bagi masyarakat Baliem mulai terjadi pada
dengan arus pembangunan nasional yang awal tahun 2002 dengan dikeluarkannya
sangat Jawa sentris, dengan nilai-nilai yang Undang-Undang Republik Indonesia
sering tidak sejalan dengan nilai-nilai yang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
hidup dalam budaya lokal. Bahkan oleh Khusus Bagi Papua. Pemberlakuan
kebijakan sentralistik pemerintah Indonesia Otonomi Khusus bagi masyarakat Papua
mengenai transmigrasi orang-orang Jawa telah memberikan dampak besar bagi
ke Lembah Baliem, maka pada tahun 1975- orang-orang Baliem untuk menjadi
1976 membuka kesempatan bagi agama pemimpin di daerah mereka serta
Islam untuk masuk ke Lembah Baliem serta kesempatan pendidikan, ekonomi dan
membawa orang-orang Baliem terutama di pengembangan budaya yang signifikan.
desa Welesi menganut agama Islam Berkaitan dengan perubahan-
(Yelipele, 2008, pp. 23-25;Yelipele, 2012, perubahan sosial dan akibat-akibat yang
pp. 26-27). Adapun kelompok orang-orang positif maupun negatif bagi orang Baliem
Baliem yang menjadi penganut agama menunjukkan bahwa orang Huwula terbuka
Islam disebut apuni wesa islam ket kegarek dengan perubahan mengenai kemajuan
meke. berpakaian karena dahulu hanya
Perubahan sosial budaya yang menggunakan koteka dan yokal-sali,
ketiga bagi masyarakat Baliem terjadi pada terbuka dengan kemajuan rumah-rumah
awal tahun 1980-an, yang dimotori oleh sehat baik rumah semi permanen maupun
kegiatan-kegiatan Pembangunan rumah permanen karena dahulu adalah
Masyarakat Desa (PMD) yang dilakukan rumah honai dan eweai, terbuka dengan
oleh LSM Wahana Visi Indonesia (WVI) kemajuan pendidikan dari SD sampai
sebagai tindak lanjut dari program bantuan perguruan tinggi serta kemajuan wawasan
darurat pada tahun 1979 sebagai akibat nasional. Orang Huwula juga terbuka
terjadinya gejolak sosial yang sangat besar dengan pengaruh luar baik yang postif yaitu
pada saat itu (Budiardjo, 2001, p. 83). berbahasa Indonesia, pergaulan dengan
Program-program PMD tersebut sedikit siapa saja serta pengaruh yang negatif yaitu
banyak menjembatani hal-hal yang tidak minuman keras, berpacaran bebas sehingga
ditangani oleh gereja pada satu sisi dan hal- mengakibatkan penyakit HIV-AIDS.
hal yang tidak tuntas dari program Adapun hampir semua komunitas-
pembangunan nasional dari pemerintah komunitas masyarakat Indonesia tidak
karena beragam kendala yang ada. mungkin menutup diri dari perubahan
Perubahan sosial budaya yang dunia di luar komunitas mereka. Hal ini
keempat bagi orang Baliem terjadi pada juga dialami oleh masyarakat Hubula yang
tahun 1990-an yang lebih banyak juga terbuka dengan perubahan yang
disebabkan oleh interaksi masyarakat dan sedang terjadi namun mereka juga sangat
budaya lokal dengan budaya dagang dan mewaspadai terjadi pergeseran nilai-nilai
wiraswasta para pendatang, baik yang kearifan lokal disebabkan oleh karena
berasal dari Sulawesi Selatan, Sumatera perubahan yang terjadi tidak mampu
Utara dan Jawa. Perubahan-perubahan dibendung oleh nilai-nilai budaya itu
tersebut diikuti dengan berbagai gejolak sendiri. Harus diakui bahwa tidak semua

39
perubahan itu baik, salah satu contoh akan secara terbuka didorong oleh tua-tua
generasi muda Hubula banyak terjerumus adat/budaya dalam setiap clan suku
dalam pergaulan bebas dan terlibat dalam komunitas Hubula.
berbagai penggunaan drugs and free sex. Dengan kelima perubahan sosial
Disamping itu, banyak generasi muda juga tersebut di atas bagi orang Baliem, maka
mulai meninggalkan nilai-nilai hidup terdapat potensi dan krisis dalam
khususnya nilai-nilai kerja, mereka lebih pengembangan budaya mereka. Akibat-
banyak hanya berkeliaran tanpa tujuan akibat baik dari proses perubahan-
yang jelas. Contoh lainnya, pernikahan perubahan sosial tersebut di atas dapat
yang terlihat sangat sakral menjadi sesuatu dipupuk dan menjadi peluang bagi
yang sangat rusak. Orang Hubula, pemberitaan Injil. Namun akibat-akibat
mengenal hubungan Wita-Waya dalam yang buruk dapat menjadi krisis dan
pernikahan namun saat ini, banyak anak- sebaiknya dikoreksi agar sesuai degan
anak muda sudah tidak lagi usaha untuk memberitakan Injil yang
mengedepankan tatanan ini namun lebih kontekstual bagi orang Baliem, Papua.
mengedepankan kepuasan seks itu sendiri. Akulturasi (kontak budaya) yang
Masyarakat sangat terbuka dengan terjadi dalam kehidupan masyarakat
pendidikan, kesehatan dan ekonomi karena Baliem terkait dengan perubahan sosial
mereka merasa hal-hal ini jika dilakukan budaya yang terjadi serta dampak-dampak
dengan baik maka mereka akan mengalami dan akibat-akibat yang muncul karena
perubahan secara drastis dalam proses perubahan sosial budaya tersebut.
pembentukan pola pikir, hidup sehat dan Seperti yang telah diungkapkan di atas
kebutuhan ekonomi terpenuhi dengan baik. bahwa perubahan sosial yang pertama dan
Selain itu, komunitas ini memiliki nilai- sangat menonjol bagi masyarakat Baliem
nilai agama-agama lokal/pribumi yang adalah masuknya pemberitaan Injil melalui
dipercaya turun-temurun, namun mereka para misionari dari CMA pada tanggal 20
juga menerima keberadaan agama Kristen. April 1954. Sejak tahun 1954 tersebut
Adapun dalam diskusi-diskusi komunitas orang Baliem menyatakan meninggalkan
selalu diselaraskan antara budaya lokal dan cara hidup mereka yang lama dengan
doktrin kekristenan. Masyarakat Hubula, upacara membakar kaneke sebagai jimat
optimis bahwa perubahan sangat baik atau benda keramat yang simpan di dalam
namun sikap preventif terhadap nilai hidup rumah keramat mereka serta berkomitmen
terus dilakukan dalam sub-sub clan dan untuk mengikuti “Jalan Yesus” (Simda,
bahkan keluarga. Perubahan itu sangat 2012, pp. 35-37). Secara sosiologis, sejak
dibutuhkan oleh masyarakat karena saat itu orang Baliem mengenal agama
masyarakat Hubula tahu dengan adanya Kristen karenanya pada masa itu mereka
perubahan dapat mengubah keberadaan disebut apuni Wamena meke wesa Kristen
mereka dalam berbagai aspek kehidupan, motok maka mulai berdirilah wesa aila atau
namun mereka juga tidak menginginkan gereja.
perubahan yang cenderung merusak tatanan Perubahan sosial budaya yang telah
kehidupan yang telah diwariskan oleh dihasilkan oleh misi Kristen memberikan
nenek moyang secara turun-temurun. Topik dampak-dampak yang baik terhadap
perubahan selalu menjadi perdebatan dalam masyarakat Baliem, yaitu: Pertama, mulai
komunitas lokal hanya saja tidak terlihat di menghilangnya kanibalisme pada orang-
publik karena semua yang diperbincangkan orang Baliem di Lembah Baliem bagian
adalah hal-hal yang bersifat preventif selatan, yaitu mulai dari Sungai Aikhe ke
terhadap perubahan yang terlihat cenderung arah selatan (Koentjaraningrat, 1993, p.
merusak tatanan. Namun jika dilihat 287). Kedua, mulai berkurangnya perang di
terdapat hal-hal yang positif bagi daerah konfederasi-konfederasi sekitar
keberlangsungan hidup masyarakat Hubula Wamena karena dilarang oleh para

40
misionari (Susanto-Sunario, 1994, p. 40). Akulturasi yang terjadi pada orang
Ketiga, orang Baliem di sekitar Wamena, Baliem melalui pekabaran Injil kemudian
yaitu orang Mukoko, Itlay-Haluk dan Siep- disusul oleh lembaga-lembaga misi Katolik
Kosi mulai mengenakan pakaian apabila (05 Pebruari 1958) yang melahirkan gereja
hendak berpergian di kota Katolik, kemudian Australian Baptist
(Koentjaraningrat, 1993, p. 287). Keempat, Missionary Society (ABMS) yang
mulai berlakunya anjuran untuk melahirkan gereja Baptis Papua Barat, Asia
menghilangkan adat berkabung dengan Pacific Christian Missionary (APCM),
cara memotong jari yang dianggap Regions Beyond Missionary Union
berlawanan dengan nilai-nilai Injil (RBMU), The Evangelical Alliance
(Medlama, 2009, p. 37). Kelima, mulai Mission (TEAM) dan Unevangelized Field
adanya pemahaman orang Baliem akan Mission (UFM) yang kemudian melahirkan
fungsi dan nilai uang sebagai alat jual-beli. Gereja Injili di Indonesia (GIDI). Adapun
Keenam, mulai adanya kesadaran orang kehadiran Rheinische Missionsgesellchaft
Baliem akan kewargaan yang lebih luas (RMG) di Lembah Baliem memperluas
daripada kewargaan dalam kelompoknya pelayanan Gereja Kristen Injili (GKI) di
sendiri. Keenam, mulai adanya perkawinan Tanah Papua di Wamena, Yalimo dan
campuran antara orang Baliem dengan Yahukimo. Demikian pula dengan
penduduk Papua yang berasal dari daerah kehadiran Zending Gereformeerde
lain (Koentjaraningrat, 1993, p. 287). Gemeenten (ZGG) mulai tahun 1962 di
Masuknya misi Kristen di Lembah Pass Valley,Yalimo melahirkan Gereja
Baliem juga menyebabkan perubahan- Jemaat Reformasi Papua (GJRP) yang ikut
perubahan mendasar pada pandangan dunia memperluas Kerajaan Allah di Lembah
(worldview) orang Baliem sehingga mereka Baliem.
menerima agama Kristen, yaitu: Pertama, Dalam pengamatan penulis,
sebelumnya masyarakat Baliem percaya akulturasi dalam kehidupan orang Baliem
bahwa cara dan pemahaman mereka adalah yang terjadi karena pemberitaan Injil dan
tolak ukur dan kebenaran yang berlaku di kehadiran gereja memang terus bergulir
mana-mana. Setelah mereka mendengar sampai saat ini (2017). Akan tetapi seperti
pemberitaan Injil, maka mereka memahami yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa
bahwa ada cara dan pemahaman lain yang perubahan-perubahan sosial budaya yang
juga menjamin kesejahteraan masyarakat terjadi menyusul terbukanya Lembah
serta yang lebih cocok untuk dunia yang Baliem bagi masyarakat pendatang sangat
lebih luas ketimbang cara mereka yang signifikan sehingga akulturasi orang
lama yang dianggap tidak memadai lagi. Baliem sekarang ini makin kompleks.
Kedua, terjadinya konflik terselubung Integrasinya Papua dengan
dalam kampung-kampung antara kelompok Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei
yang ingin menerima dan yang lebih 1963 juga telah menyebabkan akulturasi
cenderung menolak misi Kristen. Konflik bagi orang Baliem, Papua yang sangat
itu tidak bertahan lama karena adanya signifikan. Sejak terjadi berintegrasi
pemahaman dan harmoni melalui ajaran dengan Indonesia, maka masyarakat
dan pelayanan gereja yang tidak Baliem dan Papua mengalami dampak dari
bertentangan dengan budaya. Konflik dapat pemerintahan dan pembangunan yang
diselesaikan sedemikian rupa melalui sentralistis (Budiardjo, 2001, p. 83). Bagi
kesepakatan untuk menerima ajaran dan orang Baliem, Papua sendiri sejak saat itu,
pelayanan gereja. Orang Baliem mulai orang Papua tidak memiliki kebebasan
bertemu dengan beberapa tetangga mereka untuk memilih pemerintahan sendiri dan
seperti orang Yali, orang Moni dan orang- sedikit kendali orang lokal terhadap tanah
orang Papua dari daerah pesisir pantai dan kekayaan alam sendiri. Oleh
(Zollner, 2011, p. 24). kepentingan sumber daya alam, maka tanah

41
Papua menjadi daerah operasi kekuatan memiliki culture values-nya yang sangat
militer sehingga terjadi marginalisasi dan tinggi tertata dengan baik sehingga mereka
pemusnahan terhadap orang-orang lokal tahu menghargai orang lain namun mereka
(Giay, 2000, pp. 1-7;Peyon, 2012a, pp. 206- juga mengharapkan agar orang yang berada
207). Demikian pula dengan kesatuannya dan hidup bersama dapat mengembangkan
dengan Indonesia telah memungkinkan sikap saling menghormati. Orang Hubula,
penjumpaan budaya antara orang Baliem adalah komunitas yang sangat bisa
dengan pendatang dari suku bangsa Jawa, diharapkan dalam konteks budaya jika
Sulawesi Selatan dan berbagai daerah hidup berdampingan. Dalam konteks
lainnya. agama, masyarakat Hubula secara umum
Seperti yang telah diungkapkan di beragama Kristiani dalam berbagai
atas bahwa salah satu akibat dari denominasi gereja. Mereka sangat terbuka
keterbukaan dan penjumpaan budaya orang terhadap pilihan personal pada denominasi
Baliem terhadap para pendatang dari gereja. Kehadiran agama lain dalam
kelompok budaya lain dari Indonesia Komunitas Hubula, sedikit banyak dapat
adalah masuknya agama Islam ke Lembah diterima secara tangan terbuka. Namun,
Baliem dan membawa perubahan dalam kenyataannya jika agama lain yang
signifikan dengan banyak orang Baliem datang melakukan hal-hal di luar kewajaran
yang menjadi penganut agama Islam agama yang sudah mengakar dan tertata
(Yelipele, 2008, pp. 23-25;Yelipele, 2012, rapi di komunitas maka akan ada bentuk-
pp. 26-27). Dengan masuknya agama Islam bentuk penolakan namun tidak terlihat di
di Lembah Baliem membawa perubahan permukaan dalam komunikasi publik
sosial budaya yang baru dan alternatif karena hal tersebut menjadi konsumsi
(disamping agama Kristen) baik di bidang komunitas untuk mengantisipasi hal-hal
keagamaan, ekonomi dan pendidikan bagi yang tidak diinginkan. Secara status sosial,
orang Baliem sampai saat ini (Giay, 1998, masyarakat Hubula adalah masyarakat
pp. 77-97;Yelipele, 2008, pp. 25-26). yang masih hidup dibawah rata-rata dan
Perubahan sosial budaya yang disebabkan menengah kebawah. Dalam komunikasi
oleh masuknya agama Islam yang publik bersama masyarakat luas, suku
membawa orang-orang asli Baliem menjadi Hubula mengedepankan hidup
penganutnya yang disebut apuni wesa berdampingan dengan baik tanpa
islam ket kegarek meke. Hal ini juga memandang status sosial. Hal ini
membawa perubahan dari wesa Kristen dipengaruhi oleh karena, dalam tatanan
meke atau “budaya agama Kristen” dalam hidup orang Hubula tidak ada
kehidupan orang Baliem menjadi beragam pengelompokkan masyarakat berdasarkan
budaya dan agama yang kemudian menjadi status sosial kepemilikan barang. Bagi
suatu “tantangan bagi gereja Dani atau orang Hubula apa yang dimiliki itu hanya
gereja Baliem dan sekaligus gereja Papua” bersifat sementara namun hidup
(Bensley, 1994, pp. 91-94;Giay, 1998, pp. berdampingan adalah hal yang sangat
77-97). penting.
Karena itu, maka terdapat Akulturasi yang terjadi dalam
keragaman sikap etnis Baliem terhadap kebudayaan masyarakat Baliem, Papua
akulturasi yang berasal dari suku, budaya, sejak Injil diberitakan pada tanggal 20 April
agama dan sosial ekonomi. Orang Baliem 1954 memang terus terjadi hingga saat ini
atau Hubula adalah masyarakat yang sangat (2017). Pada kelompok-kelompok
welcome terhadap masyarakat non pribumi. masyarakat Baliem telah berakhir semua
Mereka mampu hidup berdampingan konflik, pertengkaran dan “perang antar
dengan baik selama masih berada pada suku” (wim abiyokoi). Peperangan dan
tatanan saling menghormati dan saling permusuhan dihentikan karena penerimaan
memberi. Kadang, masyarakat Hubula terhadap agama Kristen. Persoalan-

42
persoalan yang timbul diatasi secara mengakibatkan terjadinya sentimen yang
sungguh dengan berakar pada kepercayaan tidak pernah habis pada generasi terdahulu.
kristiani yang mereka anut (Zollner, 2011, Tetapi karena pengaruh luar itu melalui
pp. 25-26). Kebudayaan-kebudayaan lama pendidikan formal dan agama maka
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Injil generasi sekarang mencari ilmu keluar dari
seperti pemotongan jari tangan bagi Wamena ke Jayapura dan ke kota-kota
perempuan karena kematian suaminya, besar di Indonesia.
pemujaan benda-benda berhala, dan Oleh karena itu, sekalipun
kesenian sensual seperti lagu dan tari seki- perubahan terus terjadi dan kenyataan
seki dan pesek mulai dilarang oleh gereja perkembangan dunia moderen makin
(Medlama, 2009, p. 37). Oleh pelayanan mendesak tradisi, namun pada umumnya
gereja dalam dunia pendidikan, maka orang Baliem berdiri dalam dua dunia
terdapat banyak sekali orang-orang Baliem budaya yaitu budaya tradisional
yang didorong untuk menempuh (inkulturasi) dan budaya moderen
pendidikan. Menurut pengamatan penulis, (akulturasi). Kedua dunia tersebut berdiri
sudah banyak pemuda Baliem yang dalam eksistensi dan pandangan dunia
menjadi sarjana serta banyak lainnya yang (worldview) serta kearifan lokal (local
menjadi mahasiswa di berbagai perguruan wisdom) orang Baliem pada umumnya
tinggi, baik di Papua terutama di (Susanto-Sunario, 1994, pp. 88-89).
Universitas Cendrawasih maupun di luar
Papua, terutama di Manado, Sulawesi Utara KESIMPULAN
serta di luar negeri terutama yang berkaitan Orang Baliem di Tanah Papua
dengan studi di bidang penerbangan. Para memiliki kearifan lokal yang potensial
pemuda Baliem tersebut tanpa dipaksa mendukung pembelajaran, penelitian
keluar dari budaya yang tradisional dan maupun pendekatan pengembangan atau
sederhana kemudian langsung berinteraksi pengabdian masyarakat yaitu
dengan dunia moderen dengan budaya pembangunan pada segala bidang
populer. kehidupan. Eksistensi budaya mereka yaitu
Namun pada sisi lain, pada nilai dan penghargaan terhadap kehidupan,
umumnya masyarakat asli Baliem belum persahabatan dan persaudaraan antara
siap menerima akulturasi yang cepat berupa sesama manusia, ritus-ritus dengan makna
transformasi nilai-nilai baru. Hal tersebut spiritual, filosofis dan material, serta
sering menyebabkan perubahan nilai dan loyalitas kepada pemimpin yang
gejolak sosial antara generasi tua yang merupakan inkulturasi bagi orang Baliem
masih memegang tata nilai budaya dengan adalah istimewa dan unik yang menjadi
generasi muda yang lebih dinamis dan lebih identitas (identity) sekaligus harkat dan
mudah untuk menerima perubahan dan martabat (dignity) dalam mereka
nilai baru. Adapun betapa pesatnya gerak mempertahankan eksistensi (survival)
kemajuan di berbagai bidang, namun maupun bersikap dan berperilaku sehari-
pemikiran dan perilaku masyarakat Baliem hari.
masih juga dipengaruhi oleh pola pikir Perubahan sosial budaya juga telah
tradisional. Orang Baliem memiliki nilai terjadi dalam kehidupan orang Baliem. Hal
budaya dan sistem relasi sendiri. Hal ini juga koheren dengan sikap mereka yang
tersebut mereka gunakan untuk paradoks terhadap perubahan, baik sangat
menafsirkan fenomena alam dan perubahan terbuka dan senang untuk bersahabat
dunia perilaku dalam kehidupan orang dengan orang lain yang berbeda dengan
Baliem. Dengan demikian maka mereka. Namun pada sisi lain mereka juga
masyarakat Huwula dahulu tidak bisa tetap mempertahankan keunikan mereka
terbuka dengan perubahan karena sering yang memiliki ciri khas tertentu
perang suku yang keras sekali yang dibandingkan dengan orang lain. Proses

43
akulturasi yang telah dan terus terjadi Budiardjo, Tri (2001). Peranan Gereja
dengan dunamis ini memiliki potensi untuk Dalam Masyarakat Khususnya
kemajuan-kemajuan yang berarti melalui Dalam Pembangunan Pendidikan
pendekatan pelayanan mental-spiritual di Kabupaten Jayawijaya-Modul
maupun pembangunan fisik. Seminar Pendidikan Kabupaten
Dalam kajian ini menunjukkan Jayawijaya 2001. Wamena: Panitia
bahwa etnis Baliem memandang nilai-nilai Kerja Sama LSM, Gereja dan
sosial budaya mereka, terutama kehidupan Pemerintah Daerah Kabupaten
dan manusia serta persekutuan antara Jayawijaya.
sesama manusia sebagai sesuatu yang luhur Giay, Benny (1998). Gembalakanlah
dan mulia. Demikian pula dengan loyalitas Umat-Ku: Gereja Kemah Injil
mereka kepada pemimpin (ap kain) yang (Kingmi) Irian Jaya Dalam Masa
memungkinkan untuk melakukan yang Tengah Berubah. Jayapura:
pendekatan kepada para pemimpin Penerbit Deiyai.
tradisional mereka dalam melakukan Giay, Benny (2000). Menuju Papua Baru:
pelayanan kepada masyarakat. Beberapa Pokok Pikiran Sekitar
Berkaitan dengan hasil kajian Emansipasi Orang Papua.
kepada orang Baliem ini, di atas, maka Jayapura: Penerbit Deiyai.
lahirlah suatu kebutuhan untuk Koentjaraningrat (1993). Masyarakat
merumuskan suatu “paradigma pendekatan Terasing di Indonesia. Jakarta:
kearifan lokal” yang berangkat dan Gramedia Pustaka Utama.
menyentuh dari nilai-nilai budaya yang Lieshout, Frans (2009). Sejarah Gereja
luhur dari masyarakat lokal. Tentu saja Katolik di Lembah Balim-Papua.
hasil studi ini akan berdayaguna apabila Abepura-Jayapura: Sekretariat
sebagai pembelar, peneliti atau pelayan Keuskupan Jayapura.
masyarakat akan turun langsung dan Mansoben, Johszua Robert (1994). Sistem
mengadakan penjumpaan pribadi (personal Politik Tradisional di Irian Jaya,
encounter) dengan orang Baliem, Papua. Indonesia. Amsterdam: Universitas
KEPUSTAKAAN Leiden Amsterdam.
Mawikere, Marde Christian Stenly (2018).
Alua, Agus. (2006a). Karakteristik Dasar Pendekatan Penginjilan
Agama-agama Melanesia. Kontekstual Kepada Masyarakat
Abepura-Jayapura: Biro Penelitian Baliem Papua. Jurnal Jaffray Vol.
STFT Fajar Timur. 16. No. 1 (April 2018). Makassar:
Alua, Agus. (2006b). Nilai-nilai Hidup Sekolah Tinggi Theologia Jaffray.
Masyarakat Hubula di Lembah Mawikere, Marde Christian Stenly (2021).
Balim Papua. Abepura-Jayapura: Konsep Hidup Kekal Menurut
Biro Penelitian STFT Fajar Timur. Pandangan Dunia Etnis Baliem,
Alua, Agus. (2006c). Permulaan Papua Sebagai Potensi dan Krisis
Pekabaran Injil di Lembah Balim. Bagi Kontekstualisasi Injil. Jurnal
Abepura-Jayapura: Biro Penelitian Evangelikal Volume 5, Nomor 1,
STFT Fajar Timur. Januari 2021. Ungaran: Sekolah
Bensley, Jennifer (1994). The Dani Church Tinggi Teologi Simpson.
of Irian Jaya and the Challenges It Medlama, Marthen Yadlogon (2009).
is Facing Today. Melbourne: Welcome to the Baliem Valley
Monash Asia Institute, Monash Regency Papua. Wamena:
University, Melbourne. Agamua Science.
Boelaars, Jan (1986). Manusia Irian- Peyon, Ibrahim. A (2012a). Antropologi
Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Kontemporer Suatu Kajian Kritis
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

44
Mengenai Papua. Jayapura:
Kelompok Studi Nirentohon.
Peyon, Ibrahim. A (2012b). Manusia
Papua Negroid Ras dan Ilmu
Dalam Teori Antropologi.
Jayapura: Kelompok Studi
Nirentohon, 2012.
Siregar, Oscar (1993). Upacara
Tradisional Lingkaran Hidup Suku
Meybrat dan Suku Dani di Daerah
Irian Jaya. Jayapura: Proyek
Penelitian Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Irian
Jaya
Susanto-Sunario, A. (1994). Kebudayaan
Jayawijaya Dalam Pembangunan
Bangsa. Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan
Pustaka Sinar Harapan.
Wetipo, Wempi (2015). Gunung Versus
Pantai Dalam Perspektif Nilai-Nilai
Hidup Bersama di Papua.
Yogyakarta: Asdamedia.
Yelipele, Adnan (2008). Tradisi Dalam
Perkawinan Adat Muslim Suku
Dani Papua Ditinjau dari Hukum
Islam. Jakarta: Fakultas Syariah
Dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
Yelipele, Umar (2012). Perkawinan Adat
Suku Dani Muslim di Papua.
Pamekasan: STAIN Pamekasan.
Zollner, Siegfried (2011). Pohon Yeli dan
Mitos Wam Dalam Agama Orang
Yali. Germany: Penerbit Wahine.

45

Anda mungkin juga menyukai