Anda di halaman 1dari 20

KEBERADAAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS DALAM

PERJANJIAN INTERNASIONAL

Harry Purwanto*

Abstract Abstrak

This article aims to explore the dynamics


Tulisan ini menelaah dinamika asas rebus
of rebus sic stantibus principle in
sic stantibus dalam perjanjian
international treaty. How are experts
internasional. Bagaimana pandangan para
perspective and international law
ahli terhadap asas ini, bagaimana hukum
regulate about this principle, and how the
internasional mengaturnya, dan
implementation of principle in
bagaimana penerapan asas ini dalam
international society. Rebus sic stantibus
kenyataannya di masyarakat internasional.
principle may be invoked as a ground for
Asas rebus sic stantibus dapat dijadikan
terminating or withdrawing or suspending
sebagai dasar untuk mengakhiri atau
the enactment of international treaty.
menarik diri atau menunda atas
berlakunya suatu perjanjian internasional.

Kata Kunci: perjanjian internasional, asas rebus sic stantibus.

A. Pendahuluan Hubungan kerjasama internasional semakin


Negara merupakan aktor utama dan ramai dengan keberadaan dan diakuinya
pertama dalam memainkan hubungan organisasi internasional sebagai salah satu
kerjasama internasional. Di era globalisasi1 pelaku dalam hubungan internasional.

*
Dosen Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
(e-mail: purwanto@mail.ugm.ac.id).
1
Sebenarnya tidak cukup jelas, kapan era globalisasi dimulai. Ada pendapat, bahwa apa yang terjadi dalam
globalisasi bukan merupakan sesuatu yang baru. Hubungan antar Negara dengan Negara lain dalam berba-
gai bidang sudah dimulai sejak banyaknya Negara-negara merdeka, yaitu setelah diadakanya Perjanjian West-
Phalia tahun 1648. Pendapat lain mengatakan bahwa, globalisasi merupakan fenomena baru dalam masyarakat
internasional. Karena globalisasi merupakan revolusi global pertama dan merupakan lompatan yang signifikan
menuju kenyataan baru ditandai dengan ditemukannya pesawat jet dan komputer yang kemudian diperguna-
kan secara meluas, dan pada gilirannya memudahkan manusia berkomunikasi atau berinteraksi dari manapun
mereka berasal. Dari sisi ekonomi, globalisasi ditandai oleh adanya intensitas perdagangan antar negara
meluas dan migrasi serta investasi ekonomi meningkat. Globalisasi mempunyai makna yang bermacam-
macam, seperti internasionalisasi, yaitu meningkatnya intensitas interaksi lintas batas dan saling
ketergantungan antar Negara; Liberalisasi, yaitu sebagai suatu proses untuk memindahkan larangan-larangan
yang dibuat oleh Negara dalam rangka membentuk ekonomi dunia yang lebih terintegrasi; Universalisasi yaitu
menyebarnya berbagai macam obyek dan pengalaman dari masyarakat di seluruh dunia; Westernisasi yaitu
proses peniruan budaya barat atau bahkan proses memaksakan system budaya, system politik dan system
ekonomi Negara-negara Barat dalam panggung dunia. Oleh Sheila L. Croucher Globalisasi secara sederhana
dapat digambarkan sebagai, “a process of blending or homogenization by which the people of the world are
unified into a single society and function together. This process is a combination of economic, technological,
social culture and political forces.” Sheila
L. Croucher, 2004, Globalization and Belonging: The Politics of Identity a Change World, Roman &
Littlefield Publisher Inc., Oxford, UK, hlm. 10. Yulius P. Hermawan (Ed.), 2007, Transformasi dalam Studi
Hubungan Internasional; Aktor, Isu dan Metodologi, Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 130-132.
Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional 103

Hubungan kerjasama internasional yang lama itu pula akan melahirkan berbagai
dilakukan antar subyek hukum internasional perjanjian internasional dalam berbagai
utamanya antar negara pun semakin bidang yang diaturnya seperti bidang sosial
meningkat. Adanya perbedaan sistem dan budaya, politik, pertahanan, keamanan,
kenegaraan, bentuk negara, perbedaan ekonomi, perdagangan, teknologi,
pandangan hidup, kebudayaan, agama atau pertanian, perbatasan, dan sebagainya..
kepercayaan bukan merupakan penghalang Melalui per- janjian internasional
untuk menjalin kerjasama, bahkan dapat pelaksanaan hak dan kewajiban negara
meningkatkan intensifnya hubungan antar sebagai anggota masyarakat internasional
negara. Demikian juga persoalan yang akan lebih terarah dan terjamin.
menjadi sasaran pengaturan dalam Hal demikian pada gilirannya men-
perjanjian internasional tidak hanya jadikan perjanjian internasional mem-
masalah-masalah yang ada di permukaan punyai peranan penting dalam hubungan
bumi saja, namun sudah meluas pada internasional. Dalam konteks hukum inter-
masalah-masalah yang ada di dalam perut nasional menaikkan peringkat perjanjian
bumi dan juga yang ada di luar planet bumi internasional sebagai sumber hukum inter-
(di ruang udara dan ruang angkasa). nasional yang pertama kali diperhatikan
Oleh karena itu, dengan didukung oleh oleh hakim-hakim di Mahkamah
kenyataan yang demikian,2 mendorong di- Internasional (International Court of
buatnya aturan-aturan secara lebih tegas Justice).4 Dengan demikian sebagai salah
dan pasti, yaitu dalam bentuk perjanjian satu fungsi perjanjian internasional sebagai
internasional (treaty).3 Tidaklah berlebihan sumber hukum internasional. Dapat pula
jika dikatakan, bahwa selama masih ber- dikatakan bahwa di dalam tubuh hukum
langsungnya hubungan-hubungan antar internasional terdapat perjanjian
negara atau hubungan internasional, se- internasional. Di dalam tubuh hukum
internasional sendiri sebagaimana

2
Sebagaimana dikutip oleh Sam Suhaedi Admawiria, bahwa hukum internasional adalah fakta, karena ada fakta
pergaulan hidup bangsa-angsa. State can live a life to itself alones. It is a member of community of states.
Lihat dalam Sam Suhaedi Admawiria, 1968, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, hlm. xvi.
3
Treaty merupakan istilah umum untuk menyebut Perjanjian Internasional. Istilah lain untuk menyebut perjan-
jian internasional adalah Convention, Agreement, Arrangement, Declaration, Protokol, Process Verbal,
Modus Vivendi, Exchange of Notes, dan sebagainya. Penggunaan istilah dalam pembuatan perjanjian
internasional ter- gantung kesepakatan Negara-negara pihak, Konvensi Wina 1969 sebagai sumber hukum
pembuatan perjanjian internasional tidak mewajibkan kepada pembuat perjanjian internasional untuk
menggunakan istilah tertentu.
4
Sebelum dikeluarkannya Statuta Mahkamah Internasional, sebagaimana dikemukakan oleh Starke bahwa: “The
material sources of international law fall into five principles categories or forms: custom, treaties, decisions
of judicial or arbitral tribunals, juristic works, and decisions or determinations of organs of international
constitutions”. Kemudian berdasarkan Article 38 par. 1 of International Court of Justice, that : The Court
whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall
apply: 1). international conventions, whether general or particular, establishing rules expressly recognized
by the contesting states; 2). international custom, as evidence of a general practice accepted as law; 3). the
general principles of law recognized by civilized nations; 4). subject to the provisions of Article 59, judicial
decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means
for the determination of rules of law. Starke, 1989, Introduction to International Law, Tenth Edition, Butter-
worth, London, hlm. 32. Art. 38 par. 1, Statute of International Court of Justice.
10 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 -

dikemukakan oleh Starke, terdiri atas The Law Of Treaties, 19695 dan Vienna
sekumpulan hukum yang sebagian besar Con- vention on The Law Of Treaties
terdiri atas prinsip-prinsip dan aturan between States and International
tingkah laku yang mengikat negara-negara Organizations or between International
dan oleh karenanya ditaati dalam hubungan Organizations, 1986.6 Perbedaan diantara
antar negara. Hukum internasional meliputi kedua konvensi tersebut hanya terletak pada
juga: subyek pembuat per- janjian internasional,
1. Kaidah-kaidah hukum yang sehingga beberapa asas atau prinsip umum
berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dalam pembuatan perjan- jian internasional
lembaga- lembaga dan organisasi-
adalah kurang lebih sama. Perjanjian
organisasi in- ternasional serta
hubungannya antara negara-negara internasional pada hakikat-
dan individu-individu, nya merupakan species dari genus yang
2. Kaidah-kaidah hukum yang berupa perjanjian pada umumnya. Dalam
mengatur kepentingan individu- setiap perjanjian termasuk perjanjian inter-
individu dan kesatuan bukan negara, nasional terdapat asas-asas yang dijadikan
sepanjang hak-hak dan kewajiban
sebagai landasan dalam pelaksanaannya.
dari individu- individu dan kesatuan
bukan negara tersebut hasil Adapun asas yang paling fundamental
kesepakatan antar negara yang adalah asas pacta sunt servanda, yaitu
dituangkan dalam bentuk perjanjian. bahwa janji mengikat sebagaimana undang-
undang bagi yang membuatnya. Dikatakan
Dengan semakin besar dan semakin
fundamental karena asas tersebut yang
meningkatnya saling ketergantungan antar
melandasi lahir- nya perjanjian, termasuk
negara, akan mendorong diadakannya
perjanjian interna- sional dan melandasi
kerja- sama internasional, yang dalam
dilaksanakannya per- janjian sesuai dengan
banyak hal dirumuskan dalam bentuk
apa yang diperjanjikan oleh para pihak.
perjanjian inter- nasional. Dalam
Sebagai pasangan dari asas pacta sunt
pembuatan perjanjian inter- nasional
servanda adalah asas itikad baik.
negara-negara pun tunduk pada aturan
Pelaksanaan janji-janji tersebut tentunya
(hukum internasional) tentang pem- buatan
harus dilaksanakan dengan penuh kesadar-
perjanjian internasional. Dewasa ini ada dua
an, rasa tanggung jawab dan memperhati-
aturan internasional yang diguna- kan untuk
kan kepentingan para pihak, sebagaimana
mengatur pembuatan perjanjian
yang telah dijanjikan dalam kesepakatan.7
internasional, yaitu Vienna Convention on
5
Konvensi ini mengatur pembuatan perjanjian internasional antar Negara (subyek perjanjian adalah Negara).
6
Konvensi ini mengatur pembuatan perjanjian internasional antar Negara dengan organisasi internasional atau
antar organisasi internasional lain.
7
Lihat juga pendapat dari Wery dan Subekti, sebagaimana dikutip oleh Siti Ismijati Jenie, “Itikad Baik, Perkem-
bangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas Hukum Umum di Indonesia”, Pidato, Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007, hlm. 5-6. Menurut Wery, bahwa pelaksanaan
perjanjian dengan itikad baik, bahwa kedua belah pihak (pihak-pihak peserta perjanjian) harus berlaku satu
sama lain seperti patutnya diantara orang-orang (pihak-pihak) yang sopan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat,
tanpa akal-akalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingannya sendiri saja namun
juga memihak kepentingan pihak lain. Cetak miring merupakan penegasan dari penulis dalam kaitannya
dengan perjanjian internasional. Sedangkan menurut Subekti, bahwa pelaksanaan perjanjian dengan itikad
baik adalah melaksanakan perjanjian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Pelaksanaan perjanji- an harus dinilai berdasarkan ukuran obyektif. Atau dengan lain perkataan pelaksanaan
perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar.
Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional 105

Oleh karena itu, demi untuk menghindari an dengan perjanjian yang telah disepakati
atau mencegah timbulnya sengketa, maka maka perjanjian tersebut akan batal.
perlu dilakukan pemahaman terhadap asas- Demikian juga atas suatu perjanjian
asas dari perjanjian atau perjanjian yang telah berlaku akan terganggu ber-
internasional. lakunya bila terjadi perubahan keadaan
Di pihak lain berlakunya atau ber- yang fundamental (rebus sic stantibus),
operasinya suatu perjanjian, termasuk juga keadaan yang menjadi dasar dibuatnya
perjanjian internasional juga dapat di perjanjian telah berubah dan perubahan
pengaruhi atau harus memperhatikan asas tersebut mempengaruhi kemampuan pihak-
hukum yang lain, seperti asas pacta tertiis pihak yang berjanji. Dengan kata lain
nec nocent prosunt,8 asas non-retroaktive,9 berlakunya perjanjian internasional dapat
asas rebus sic stantibus,10 dan norma jus ditangguhkan, bahkan dapat dibatalkan
cogens.11 Dikatakan beberapa asas hukum karena adanya perubahan keadaan yang
tersebut mempengaruhi keberlangsungan sangat fundamental. Jadi dengan berlaku-
perjanjian, karena sekalipun sudah ada nya asas rebus sic stantibus maka para
kesepakatan dan kesepakatan tersebut pihak dapat melepaskan atau mengingkari
mengikat bagi para pihak, bila kemudian janji- janji yang telah mereka berikan.
terjadi suatu peristiwa atau karena berlaku- Khusus berkenaan dengan asas rebus
nya suatu asas hukum yang lain maka dapat sic stantibus yang dapat mempengaruhi
berakibat berlakunya perjanjian tersebut keberlangsungan perjanjian, sekalipun asas
ditunda atau bahkan dibatalkan. Seperti ini telah diterima di dalam masyarakat
misalnya, dengan munculnya norma dasar internasional, namun dalam beberapa hal
hukum internasional yang baru (norma jus masih menimbulkan perbedaan penafsiran
cogens) dimana norma tersebut bertentang- dalam penerapannya. Dalam paper ini fokus

8
Bahwa perjanjian hanya membebankan hak dan kewajiban bagi para perjanjian internasional hak, bukan pada
pihak ketiga, dalam hukum perjanjian sering disebut dengan prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Lihat
Ian Brownlie, 1979, Principles of Public International Law, ELBS, Oxford University Press, Oxford, UK,
hlm. 619. Asas ini telah menjadi bagian dari hukum internasional positif, sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 34 Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986. Pasal 34 Konvensi Wina 1969, “A treaty does not
create either obligations or rights for a third State without its consent.” Pasal 34 Konvensi Wina 1986, “A
treaty does not create either obligations or rights for a third State or a third organization without the consent
of that State or that organization.”
9
Ketentuan hukum tidak dapat diterapkan atau diberlakukan atas suatu peristiwa hukum masa lampau, yaitu
masa sebelum ketentuan hukum itu dinyatakan berlaku. Dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986 keberadaan
asas non-retroactive terdapat dalam Pasal 4 jo. Pasal 28. Pasal 4 Konvensi Wina 1969 dan 1986, “[…] the
Conven- tion applies only to treaties which are concluded by States after the entry into force of the present
Convention with regard to such States.” Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan 1986, “Unless a different intention
appears from the treaty or is otherwise established, its provision do not bind a party in relation to any act pr
fact which took place or any situation which ceased to exist before the date of the entry into force of the treaty
with respect to that party.”
10
Pengertian dan makna asas rebus sic stantibus akan diuraikan dalam pembahasan berikutnya dalam paper ini.
11
Norma jus cogens merupakan suatu norma dasar hukum internasional umum (peremptory norm of general
international). Dalam Pasal 53 jo. Pasal 64 Konvensi Wina 1969 dinyatakan bahwa suatu perjanjian batal
apabila pada saat pembentukan perjanjian tersebut bertentangan dengan suatu norma dasar hukum
internasional umum.
10 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 -

utama pembahasannya adalah keberadaan Dalam perkembangan perjanjian


asas rebus sic stantibus dalam perjanjian internasional telah dijadikan sumber
internasional. Berdasarkan uraian di atas hukum dalam hubungan internasional
dalam tulisan ini akan dikaji: (1) dan telah menjadi bagian utama dalam
Bagaimana eksistensi asas rebus sic hukum internasional. Dewasa ini hukum
stantibus dalam masyarakat internasional; internasional sebagian besar terdiri dari
dan (2) Bagai- manakah penerapan asas perjanjian-perjanjian internasional. Bahkan
rebus sic stantibus dalam masyarakat perjanjian internasional telah mendesak
internasional. dan menggeser posisi hukum kebiasaan
internasional sebagai sumber hukum
B. Ruang Lingkup Perjanjian Inter- internasional.
nasional Dalam merumuskan hasil kesepakat-
Sebagaimana disinggung di atas, an dalam suatu perjanjian internasional,
bahwa dengan semakin intensifnya praktek negara-negara telah menuangkan
hubungan antar negara. Perjanjian ke dalam berbagai bentuk dengan berbagai
merupakan hukum yang harus dihormati macam sebutan atau nama, mulai dari
dan ditaati oleh pihak- pihak pembuat yang paling resmi sampai pada bentuk
perjanjian.12 Kata “perjanji- an” yang paling sederhana. Namun apapun
menggambarkan adanya kesepakatan antara bentuk dan sebutan yang diberikan pada
anggota masyarakat13 tentang suatu perjanjian internasional yang merupakan
keadaan yang mereka inginkan. Juga hasil kesepakatan tersebut tidak mengu-
mencerminkan hasrat mereka, dan memuat rangi kekuatan mengikatnya suatu
tekad mereka untuk bertindak sesuai perjanjian bagi para pihak.
dengan keinginan dan hasrat mereka. Kata Sampai dengan tahun 1969 pembuat-
“perjanjian” yang diikuti kata sifat an perjanjian antar negara tunduk pada
“internasional”, yang merujuk pada per- ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan.
janjian yang dibuat oleh para aktor yang Hukum kebiasaan yang berlaku dalam
bertindak selaku subyek hukum interna- pembuatan perjanjian internasional ter-
sional. Juga kata “internasional” disini sebut kemudian oleh Komisi Hukum Inter-
untuk menggambarkan bahwa perjanjian nasional disusun dalam bentuk pasal-pasal
yang dimaksud bersifat melintas-batas sebagai draft suatu perjanjian internasional
suatu negara, para pihak masing-masing tentang pembuatan perjanjian internasional.
bertindak dari lingkungan hukum nasional
yang berbeda.14

12
Praktik negara-negara mengadakan perjanjian internasional sudah lama dikenal di dalam masyarakat interna-
sional. Seperti hasil kesepakatan atau perdamaian Westphalia yang dituangkan dalam bentuk konvensi multi-
lateral.
13
Dalam konteks perjanjian internasional, tentunya yang dimaksud dengan anggota masyarakat adalah anggota
masyarakat internasional yang beranggotakan Negara-negara, organisasi internasional, atau subyek hukum
internasional lainnya. Lihat Mochtar Kusumaatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung.
14
Ko Swan Sik, “Beberapa Aspek Kenisbian dan Kesamaran Perjanjian Internasional”, Jurnal Hukum Interna-
sional, Volume 3 Nomor 4, 2006, hlm. 474-476.
Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional 107

Kemudian pada tanggal 26 Maret-24 Mei banyak lagi.16 Sedangkan, ditinjau dari
1968 dan tanggal 9 April-22 Mei 1969 sudut pandang yuridis berdasarkan pada
diadakanlah Konferensi Internasional pengertian perjanjian internasional
di Wina untuk membahas draft yang sebagaimana dirumuskan dalam beberapa
telah dipersiapkan oleh Komisi Hukum Konvensi dan Peraturan Perundangan RI.17
Internasional tersebut. Konferensi tersebut Berdasarkan berbagai pengertian
kemudian melahirkan Vienna Convention perjanjian internasional baik berlandaskan
on The Law of Treaties yang ditandatangani pada pengertian teoritis maupun yuridis,
pada tanggal 23 Mei 1969.15 dapat dikatakan bahwa suatu perjanjian
Pengertian perjanjian internasional merupakan perjanjian internasional apabila
sendiri dapat ditinjau dari sudut pandang dibuat oleh subyek hukum internasional
teoritis maupun sudut pandang yuridis. dalam bentuk tertulis serta dalam
Tinjauan dari sudut pandang teoritis artinya pembuatannya tunduk pada rezim hukum
melihat pendapat diantara beberapa sarjana, internasional. Tentang isi suatu perjanjian
seperti pendapat Oppenheim, O’Connell, menyangkut apapun yang disepakati oleh
Mochtar Kusumaatmadja, Starke, dan para pihak, sepanjang tidak dilarang atau
masih

15
Konvensi ini mulai berlaku efektif dan telah menjadi hukum internasional positif pada hari ke tiga puluh
sesudah penyimpanan instrument ke tiga puluh ratifikasi atau keikutsertaan, yaitu tepatnya sejak tanggal 27
Januari 1980. Sumaryo Suryokusumo, “Hukum Perjanjian Internasional”, Bahan Kuliah, Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 10.
16
Beberapa pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan oleh Mohd. Burhan Tsani, 1990, Hukum dan Hubung-
an Internasional, Liberty, Yogyakarta, hlm. 64-65.
Sumaryo Suryokusumo, Op.cit., hlm. 11. Menurut Oppenheim: International treaties are conventions, or
contracts, between two or more states concerning various matters of interest.
D.P. O’Connell: Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar negara yang diatur oleh hukum inter-
nasional sebagai pembeda dengan persetujuan menurut hukum nasional, yang terhadap konsekuensi hukum
pembuatan perjanjian internasional, bentuk dan caranya adalah tidak penting.
Mochtar Kusumaatmadja: Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
JG Starke: Traktat adalah suatu perjanjian di mana dua negara atau lebih mengadakan atau bermaksud meng-
adakan suatu hubungan diantara mereka yang diatur dalam hukum internasional. Sepanjang perjanjian antar
negara-negara terwujud, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu bukan hal yang diatur oleh hukum nasional.
Menurut Schwarzenberger: Perjanjian adalah persetujuan di antara subyek hukum Internasional yang menim-
bulkan suatu kewajiban yang mengikat di dalam hukum internasional.
17
Konvensi Wina 1969 Pasal 2 (1.a): “Perjanjian Internasional berarti suatu persetujuan internasional yang ditan-
datangani antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dibuat dalam bentuk
satu instrumen tunggal atau dalam dua instrumen yang saling berhubungan atau lebih dan apapun yang
menjadi penandaan khususnya.”
Konvensi Wina 1986 Pasal 2 (1.a): “Perjanjian Internasional berarti suatu persetujuan internasional yang
diatur dengan hukum internasional dan ditandatangani dalam bentuk tertulis:
- antar satu negara atau lebih dan antara satu organisasi internasional atau lebih, atau
- antar organisasi internasional.”
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (3): “Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam
ben- tuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis oleh pemerintah
Re- publik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek Hukum Internasional
lain- nya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum
publik.” Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, Pasal 1.a.: “Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam
bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.”
10 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 -

tidak bertentangan dengan norma-norma Menurut Paton, asas adalah suatu alam
atas asas-asas hukum internasional. pikiran yang dirumuskan secara luas dan
mendasari adanya sesuatu norma hukum.20
C. Keberadaan Asas Rebus Sic Stanti- Berdasarkan pendapat Paton yang demikian
bus dapat dikatakan bahwa adanya norma
Sebagaimana di sebutkan di atas hukum itu berlandaskan pada suatu asas.
bahwa dalam hukum perjanjian terdapat Sehingga setiap norma hukum harus dapat
berapa asas penting yang menjadi dasar dikembalikan pada asas. Pendapat senada
beroperasinya atau dasar pelaksanaan dikemukakan oleh van Erkema Hommes
perjanjian internasional, seperti asas pacta bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap
sunt servanda, asas pacta tertiis nec nocent sebagai norma-norma hukum yang konkrit,
prosunt, asas non-retroactive, asas rebus sic akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-
stantibus, dan norma jus cogens. Sebelum dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi
penguraian makna yang terkandung pada hukum yang berlaku. Pembentukan hukum
masing-masing asas, khususnya asas pacta praktis perlu berorientasi pada asas-asas
sunt servanda dan asas rebus sic stantibus, hukum tersebut.21 Pendapat lain tentang
ada baiknya diuraikan terlebih dahulu asas hukum sebagaimana dikemukakan oleh
pengertian asas dan arti pentingnya asas Ron Jue bahwa asas hukum merupakan
dalam hukum. nilai-nilai yang melandasi kaidah-kaidah
Oleh beberapa sarjana penggunaan hukum.22
kata asas disamakan artinya dengan prinsip Berdasarkan uraian di atas maka dapat
(principle).18 Arti dari asas itu sendiri dikatakan bahwa asas hukum merupakan
menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang
mempunyai tiga pengertian, yaitu berarti:19 melatarbelakangi pembentukan kaidah
a. Dasar, alas, pedoman; hukum, bersifat umum maupun universal23
b. Suatu kebenaran yang menjadi pokok
dan abstrak, tidak bersifat konkrit. Bahkan
atau tumpuan berpikir; dan
c. Cita-cita yang menjadi dasar. oleh Scholten dikatakan bahwa asas hukum
itu berada baik dalam sistem hukum mau-
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan
pun di belakang atau di luar sistem hukum.
bahwa asas merupakan dasar atau tempat
Sejauh nilai asas hukum itu diwujudkan
tumpuan berpikir dalam memperoleh
dalam kaidah hukum dari sistem hukum
kebenaran.
positif, maka asas hukum itu berada di

18
Mochtar Kusumaatmadja, menterjemahkan general principle of law dengan asas hukum umum. Vadross, beliau
mengatakan bahwa asas pacta sunt servanda merupakan suatu asas hukum umum (general principle of law).
Mochtar Kusumatmadja, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 148. Sam Suhaedi
Atmawiria, 1968, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, hlm. 58.
19
W.J.S. Poerwadarminta, 2004, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 32.
20
Sebagaimana dikutip oleh Chainur Arrasjid, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 36.
21
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, hlm. 5.
22
Ibid.
23
J.J.H. Bruggink, (Terj. B. Arief Sidharta), 1999, Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya, Bandung, hlm. 121.
Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional 109

dalam sistem. Demikian sebaliknya, sejauh Roma.27 Bahkan sejak abad XII dan XIII
nilai asas hukum itu tidak diwujudkan ahli-ahli hukum kanonik telah mengenal
dalam kaidah hukum dari sistem hukum asas ini yang dalam bahasa Latin-nya
positif, maka asas hukum itu berada di diungkapkan sebagai contractus qui habent
belakang sistem hukum.24 Berdasarkan tractum succesivum et depentiam de future
pemikiran Scholten yang demikian, maka rebus sic stantibus intelliguntur, yang arti-
bisa dijumpai adanya beberapa asas hukum nya bahwa “perjanjian menentukan per-
yang dituangkan dalam kaidah hukum, baik buatan selanjutnya untuk melaksanakan-
yang berupa undang-undang maupun nya pada masa yang akan datang harus
perjanjian internasional. Demikian diartikan tunduk kepada persyaratan bahwa
sebaliknya, ada beberapa asas hukum yang lingkungan dan keadaan di masa yang akan
tidak dituangkan dalam peraturan datang tetap sama”.28
perundangan atau per- janjian internasional. Melalui ungkapan dari para ahli
hukum kaum kanonik dapat dipahami
1. Pandangan Para Ahli terhadap Asas bahwa perjanjian akan dilaksanakan oleh
Rebus Sic Stantibus para pihak sesuai dengan janjinya,
Keberadaan asas rebus sic stantibus25 sepanjang lingkungan dan keadaan pada
telah lama dikenal dalam masyarakat, baik saat dibuatnya perjanjian tidak berubah
oleh para ahli hukum maupun oleh lembaga untuk masa yang akan datang. Sehingga
pengadilan,26 dan bahkan dewasa ini telah dengan adanya perubahan keadaan dan
menjadi bagian dari hukum positif baik ternyata perubahan tersebut mempengaruhi
dalam sistem hukum nasional maupun kemampuan para pihak untuk
dalam sistem hukum internasional. melaksanakan perjanjian, maka pihak yang
Masyarakat Eropa, khususnya melalui tidak mampu lagi melaksanakan perjanjian
hukum Gereja mengatakan bahwa dapat menyatakan untuk tidak terikat lagi
“pengaruh hukum Gereja yang kekal dapat pada atau keluar dari perjanjian tersebut.
terlihat dalam pemasukan asas rebus sic Sehingga perjanjian tidak lagi mengikat
stantibus ke dalam tubuh hukum baginya.
internasional”. Diterimanya asas rebus sic Asas rebus sic stantibus pertama kali
stantibus tersebut pada awalnya untuk diterapkan oleh peradilan keagamaan. Di-
melunakkan sifat ketat hukum privat terapkannya asas rebus sic stantibus oleh

24
Asas hukum umum menunjuk berlakunya asas tersebut pada seluruh bidang hukum. Sedangkan asas hukum
universal menunjuk berlakunya asas tersebut kapan saja dan dimana saja, tidak terpengaruh oleh waktu dan
tempat. Oleh Scholten ditunjukkan adanya asas hukum khusus, yaitu asas hukum yang berlaku pada satu
bidang hukum saja. Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hlm. 6.
25
Makna dari asas tersebut adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya mengikat selama tidak ada
perubahan vital dalam keadaan-keadaan yang berlaku pada waktu traktat diadakan.
26
R.C. Hengorani, 1982, Modern International Law, Second Edition, Oxford & IBH Publishing Co, New Delhi,
hlm. 232.
27
Arthur Nussbaum dan Sam Suhaedi Admawiria, 1969, Sejarah Hukum Internasional I, Binacipta, Bandung,
hlm. 90 dan 123.
28
Bambang Syamsuzar Oyong, “Perjanjian”, http://bambangoyong.blogspot.com/2011/03/normal-0-false-false-
false_12.html, diakses 25 November 2011.
11 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 -

peradilan keagamaan karena situasi yang pada kesempatan lain justru menyarankan
terjadi pada waktu itu adanya pemisahan kepada penguasa berdaulat untuk melepas-
antara urusan gereja dengan urusan kan diri dari suatu janji-janji, bilamana ia
negara, dan ini merupakan salah satu tidak lagi mempunyai kekuasaan untuk
karakteristik penting dari Kode Napoleon. mentaati janji-janji itu.32 Ditegaskan pula
Untuk selanjutnya asas rebus sic stantibus oleh Bierly, bahwa dalam setiap perjanjian
diadopsi oleh pengadilan lain dan para ahli internasional ada tersirat suatu syarat
hukum. Asas ini kemudian telah diterima tambahan yang menentukan bahwa per-
secara luas pada akhir abad XIII.29 Dalam janjian itu hanya mengikat selama keadaan-
perkembangannya keberadaan asas rebus keadaan masih seperti semula. Kata-
sic stantibus mendapat dukungan dari kata yang dicantumkan dalam perjanjian
beberapa ahli dan pendapat para ahli merupakan hasil kesepakatan diantara para
telah membantu eksistensi asas rebus sic pihak namun mengandung suatu syarat,
stantibus dalam masyarakat. Sebagaimana yaitu apabila tidak terjadi suatu perubahan
dikemukakan oleh Machiavelli bahwa, keadaan yang penting terjadi. Bila terjadi
“segala sesuatu tergantung pada keadaan- suatu perubahan keadaan yang penting
keadaan yang kebetulan berlaku pada maka hilanglah syarat berlakunya
suatu waktu yang dihadapi oleh penguasa perjanjian, dan tidak mempunyai kekuatan
negara”30 Sikap Machiavelli yang demikian mengikat lagi.33 Rebus sic stantibus
tentunya tidak jauh dari makna yang merupakan salah
terkandung dalam asas rebus sic stantibus. satu asas dalam hukum. Hukum tumbuh
Demikian juga Alberico Gentili menyatakan dan berkembang dalam masyarakat.
bahwa, “yang paling penting atas hukum Sebagaimana ungkapan ubi societas ibi ius,
traktat ialah dalil bahwa perjanjian bahwa dimana ada masyarakat disana ada
(perdamaian) selalu mengandung syarat hukum. Demikian juga terhadap penerima-
tersimpul, jaitu bahwa traktat hanya meng- an asas rebus sic stantibus berdasarkan
ikat selama kondisi-kondisinya tidak sejarah hukum mengalami pergeseran se-
berubah”.31 Jelaslah bahwa yang dimaksud iring dengan berjalannya waktu. Sebagai-
dengan syarat tersimpul oleh Aliberco mana dikemukakan oleh Prof. Rosenn:
Gentili adalah asas rebus sic stantibus. Pada awal abad kelima belas, popula-
Lain halnya dengan Bynkershoek ritas asas rebus sic stantibus mulai
dalam salah satu karyanya yang berkaitan memudar, sebagian karena adanya
dengan traktat, walau pada awalnya ia protes untuk kepentingan komersial
menolak asas rebus sic stantibus, namun terhadap peningkatan ketidakamanan
yang ditimbul-kan oleh penerapan se-
cara luas asas tersebut. Pada akhir abad

29
Ibid.
30
Arthur Nussbaum dan Sam Suhaedi Admawiria, Op.cit., hlm. 102.
31
Ibid., hlm 123.
32
Arthur Nussbaum dan Sam Suhaedi Admawiria, 1970, Sejarah Hukum Internasional II, Binacipta, Bandung,
hlm. 78.
33
Bierley (Terj. Moh. Radjab), 1963, Hukum Bangsa-Bangsa, Bhratara, Jakarta, hlm. 244.
Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional 111

delapan belas, asas pacta sunt adalah adanya perang yang cukup lama dan
servanda mencapai puncaknya, dan
membawa kerusakan yang demikian hebat
asas rebus sic stantibus telah
menghilang hanya menjadi doktrin di berbagai Negara di Eropa, yang pada
yang usang. Yang ikut mendorong gilirannya menimbulkan kesulitan dalam
kepudaran asas rebus sic stantibus melaksanakan perjanjian. Menghadapi
adalah munculnya positivism scientific, situasi yang demikian para ahli hukum
dan meningkatnya penekan- an pada
Eropa akhirnya mendaur ulang atau
otonomi individual dan kebe- basan
berkontrak.34 kembali pada asas atau prinsip rebus sic
stantibus, dengan nama atau rumusan yang
Di pihak lain, sebagaimana juga
berbeda.
dikemukakan oleh kaum kanonis, yaitu
munculnya paham liberalisme yang
2. Perwujudan Asas Rebus Sic Stantibus
mendominasi di abad XVIII, membawa
dalam Hukum Positif
ide baru dalam penerapan asas rebus sic
Seperti halnya asas pacta sunt ser-
stantibus yang kurang tegas dan terbatas.
vanda, asas rebus sic stantibus telah
Mereka beranggapan bahwa asas pacta
menjadi bagian dari asas hukum umum,
sunt servanda sangat sesuai dengan konsep
yang kemudian dalam perkembangannya
lasse faire, lassez passe. Oleh karena itu
(dengan modifikasi dalam perumusannya)
kitab undang-undang yang dikeluarkan
juga diwujudkan dalam kaidah hukum
pada masa itu, yaitu Kode Napoleon dan
dari sistem hukum positif, sehingga asas
Italian Civil Code tidak mengadopsi asas
hukum itu berada di dalam sistem. Hukum
rebus sic stantibus. Tidak diakuinya asas
internasional merupakan suatu sistem
rebus sic stantibus nampak dalam artikel
hukum yang terdiri dari atas beberapa
1134 Kode Napoleon yang berbunyi:
unsur, yang salah satunya adalah perjanjian
Agreements legally made take the place of
interna- sional.
law for those who make them. They may be
Dalam hukum internasional positif
revoked only by mutual consent or for
asas rebus sic stantibus mendapatkan
causes which the law authorize. They must
pengaturan dalam Konvensi Wina 1969,
be executed in good faith.35
yaitu dalam Seksi 3 tentang Pengakhiran
Kondisi yang demikian berlangsung
dan Penundaan bekerjanya perjanjian inter-
terus hingga pecah Perang Dunia I. Setelah
nasional, khususnya Pasal 62. Pengaturan
Pecah Perang Dunia I, para ahli hukum
asas rebus sic stantibus bersamaan dengan
Eropa mencari alasan pembenar atau teori
berakhirnya atau penundaan berlakunya
hukum apa yang tepat untuk memberi
perjanjian, karena memang asas rebus sic
kelonggaran kepada pemberi janji untuk
stantibus merupakan salah satu alasan yang
melaksanakan perjanjian yang ternyata
dapat digunakan untuk mengakhiri atau
sangat sulit dilaksanakan, karena adanya
menunda berlakunya suatu perjanjian.
perubahan keadaan. Perubahan yang terjadi

34
Bambang Syamsuzar Oyong, Loc.cit.
35
Ibid.
11 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 -

Pasal 62 dengan judul perubahan men- Konvensi Wina 1969. Hal ini memang
dasar atas keadaan-keadaan menentukan: nampaknya dihindari oleh International
(1) Suatu perubahan mendasar keadaan- Law Commission, dengan maksud untuk
keadaan yang telah terjadi terhadap
menekankan sifat obyektif dari ketentuan
keadaan-keadaan yang ada pada saat
penutupan traktat, dan yang tidak yang ada dan juga guna menghindarkan
terlihat oleh para pihak, tidak da- implikasi doktriner dari istilah tersebut.
pat dikemukakan sebagai dasar Sebagaimana juga dikemukakan oleh D.J.
untuk pengakhiran atau penarikan Harris, bahwa Komisi Hukum Interna-
diri dari traktat tanpa: sional dalam sidangnya yang ke-18 tahun
(a) Keberadaan keadaan-keadaan itu
1966 menolak teori yang tersirat tentang
merupakan suatu dasar esensial bagi
setujunya pihak-pihak untuk terikat klausula rebus sic stantibus itu, dan lebih
pada traktat; dan suka mendasarkan pada doktrin “perubah-
(b) Pengaruh perubahan-perubahan an keadaan yang fundamental” (funda-
itu secara radikal menggeser luasnya mental change of circumstances) dengan
kewajiban-kewajiban yang masih alasan persamaan derajat dan keadilan
harus dilaksanakan di bawah traktat serta membuang kata-kata rebus sic
itu.
stantibus, karena menimbulkan akibat-
(2) Suatu perubahan mendasar keadaan-
akibat yang tidak diinginkan.36 Oleh
keadaan tidak boleh dikemukakan
sebagai dasar untuk mengakhiri atau karena itu pada akhirnya makna yang
menarik diri dari traktat, jika: terkandung dalam asas rebus sic stantibus
(a) Traktat itu menetapkan perbatas- oleh Konvensi Wina dirumuskan dengan
an; atau menggunakan istilah “fundamental change
(b) Perubahan itu sebagai hasil dari of circumstances” (perubahan fundamental
pe- langgaran oleh pihak yang atas suatu keadaan). Bahkan oleh Mah-
mengemu- kakannya baik atas suatu kamah Internasional, dalam kasus Fisheries
kewajiban di bawah traktat itu atau
setiap kewajiban internasional Jurisdiction, dikatakan bahwa keberadaan
lainnya terhadap pihak lainnya pada asas rebus sic stantibus dalam Pasal 62
traktat tersebut. tersebut hanyalah bersifat merumuskan
(3) Jika sesuai dengan ayat-ayat di atas, hukum kebiasaan.37
suatu pihak boleh menuntut suatu Dalam peraturan perundangan
perubahan keadaan-keadaan sebagai Indonesia, keberadaan asas rebus sic
dasar untuk mengakhiri atau menarik
stantibus mendapatkan pengakuan dalam
diri dari suatu traktat maka pihak itu
juga dapat menuntut perubahan itu Pasal 18 Undang-Undang Nomor 24 tahun
sebagai dasar untuk menunda beker- 2000 tentang Perjanjian internasional.
janya traktat itu. Dikatakan oleh Pasal 18 bahwa “perjanjian
Penggunaan kata-kata rebus sic internasional berakhir apabila terdapat
stantibus tidak nampak dalam Pasal 62 perubahan mendasar yang mempengaruhi

36
D.J. Harris, 1983, Case and Materials in International Law, Maxwell, London, hlm. 624.
37
Peter Malanczuk, 1997, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Routledge, London and New
York, hlm. 145.
Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional 113

pelaksanaan perjanjian”.38 Namun, dalam asas hukum. Dua diantara asas-asas hukum
undang-undang tersebut tidak memberikan yang menyertai perjanjian internasional
batasan tentang apa itu asas rebus sic tersebut adalah asas pacta sunt servanda
stantibus. Melalui asas ini pemerintah dan asas rebus sic stantibus. Asas pacta
Indonesia dapat menyatakan berakhirnya sunt servanda menjadi dasar pelaksanaan
suatu perjanjian internasional yang dibuat hak dan kewajiban para pihak peserta
dengan negara lain, sekalipun pelaksanaan perjanjian. Dengan berlandaskan pada asas
asas tersebut masih perlu penjabaran lebih pacta sunt servanda pihak perjanjian dapat
lanjut. meminta pada pihak peserta perjanjian yang
Dalam lapangan hukum perdata, lain untuk melaksanakan apa yang telah
khususnya yang bersumberkan pada disepakati dalam perjanjian. Hampir-hampir
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat dikatakan bahwa berlakunya asas
nampaknya tidak mengakui keberadaan pacta sunt servanda yang demikian adalah
asas rebus sic stantibus. Dalam lapangan mutlak. Artinya siapapun yang telah mem-
hukum perdata dikenal beberapa alasan buat janji tidak bisa tidak harus melak-
yang dapat dipakai untuk mengakhiri sanakan sesui dengan janjinya. Karena
perjanjian antara lain, dengan judul keberadaan asas tersebut juga dilandasi
hapusnya perikatan sebagaimana diatur oleh ajaran agama. Bahkan sebagaimana
dalam Pasal 1381 KUH Perdata.39 dikatakan oleh Kelsen bahwa asas pacta
sunt servanda merupakan norma dasar
D. Penerapan Asas Rebus Sic Stantibus
(grondnorm).
1. Kaitan antara Asas Rebus Sic
Asas pacta sunt servanda yang
Stantibus dengan Asas Pacta Sunt
lahir di negara-negara Eropa Kontinental
Servanda dan Force Majeure
sebagai negara penganut civil law, dalam
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa
perkembangannya mengalami pergeseran
atas suatu perjanjian internasional mulai
dalam mempertahankan berlakunya suatu
dari pembentukannya sampai pada tataran
perjanjian. Sebab pada kenyataannya
beroperasinya perjanjian internasional
berlakunya suatu perjanjian terpengaruh
tersebut selalu diliputi berlakunya asas-
oleh suatu situasi yang terjadi pada saat itu

38
Bunyi Pasal 18 UU No. 24 Tahun 2000 selengkapnya adalah, “Perjanjian internasional berakhir apabila:
a. terdapat kesepakatan para perjanjian internasional hak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d. salah satu perjanjian internasional hak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e. dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. obyek perjanjian hilang;
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.”
39
Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “Perikatan hapus karena pembayaran, penawaran pemba-
yaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan hutang, kompensasi, percampuran
utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau pembatalan, berlakunya syarat
batal, dan karena kedaluwarsa.”
11 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 -

dan pada gilirannya akan mempengaruhi masih menimbulkan kekaburan di dalam


kewajiban-kewajiban para pihak. Bila pelaksanannya. Apa yang dimaksud
demi- kian jadinya maka berlakunya dengan perubahan vital, dapat ditafsirkan
perjanjian akan terganggu dan dibutuhkan bermacam-macam dalam praktek hubung-
jalan ke- luar pemecahannya. Situasi yang an antar negara. Seperti Jerman pada tahun
demikian dapat menimbulkan problem yang 1941 pernah berlindung di balik asas rebus
lebih komplek, yaitu adanya sic stantibus untuk membenarkan pe-
pertentangan antara daya laku hukum langgarannya terhadap kenetralan Belgia,
secara kekal yang mempertahankan dengan jaminan sebagaimana tercantum
keadaan berlakunya suatu perjanjian dalam Perjanjian London 1831.41
dengan kekuatan-kekuat- an yang Para ahli hukum internasional sendiri
menghendaki adanya perubahan. Oleh merasa enggan untuk menentukan dan
Gentili dikatakan untuk mengatasi membatasi lingkup asas rebus sic stantibus
pertentangan itu asas rebus sic stantibus- tersebut dan enggan mengatur secara
lah yang dapat melegalisir tantangan itu. ketat, demi keamanan perjanjian42. Lebih
Ini artinya bahwa berlakunya asas pacta lagi bila asas rebus sic stantibus dikaitkan
sunt servanda dapat disimpangi oleh dengan konsep hukum yang berupa
asas rebus sic stantibus.40 Sehingga ke- force majeure, bahwa penggunaan asas
beradaan rebus sic stantibus diperhatikan rebus sic stantibus sebagai alasan pembenar
lagi setelah pecah Perang Dunia I, dimana untuk membatalkan atau menunda ber-
para ahli hukum Eropa mencari justifikasi lakunya perjanjian tidak boleh dicampur
teori guna memberi kelonggaran kepada adukkan dengan force majeure atau vis
pemberi janji karena adanya perubahan major,43 yang juga merupakan salah satu
keadaan yang fundamental dan ternyata konsep dalam hukum perdata dan juga
perubahan tersebut mempengaruhi pelak- telah diterima sebagai prinsip dalam
sanaan janji-janji. hukum pada umumnya dan hukum
Namun demikian, sekalipun telah
internasional pada khususnya. Dikatakan
diterima baik melalui hukum internasional
oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa
positif maupun dukungan dari para ahli,
force majeure atau vis major merupakan
penggunaan asas rebus sic stantibus perlu
suatu keadaan ketidakmungkinannya
hati-hati sekali agar tidak disalahgunakan
salah satu pihak peserta melaksanakan
atau digunakan sebagai alasan pembenar
kewajiban menurut perjanjian (impossibility
bagi suatu negara untuk tidak melaksanakan
of performance). Alasan tersebut dapat
suatu kewajiban dalam perjanjian. Hal
dikemukakan apabila pelaksanaan ke-
ini mengingat bahwa dalam menerapkan
wajiban menjadi tidak mungkin karena
asas rebus sic stantibus kadang-kadang

40
Sam Suhaedi Admawirea, Op.cit., hlm. 122.
41
Ian Bierly, Op.cit., hlm. 245.
42
Hugh M. Kindred, 1987, International Law Chiefly as Interpreted and Applied in Canada, Emond Montgomery
Publications Ltd., Toronto, hlm. 171.
43
Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., hlm. 140.
Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional 115

lenyapnya obyek atau tujuan yang menjadi 2. perubahan tersebut adalah perihal
pokok perjanjian.44 suatu keadaan yang fundamental
Keadaan force majeure atau vis bagi perjanjian tersebut;
major dapat menyampingkan kewajiban 3. perubahan tersebut tidak dapat
pelaksanaan perjanjian hanya apabila ter- diramalkan sebelumnya oleh para
pihak;
jadi suatu keadaan yang tidak dapat di-
4. akibat perubahan tersebut haruslah
cegah atau tidak dapat diduga sebelumnya. radikal, sehingga mengubah luas
Suatu keadaan force majeure atau vis lingkup kewajiban yang harus dilak-
major terjadi apabila pelaksanaan tidak di- sanakan menurut perjanjian itu;
mungkinkan secara fisik dan secara hukum, 5. penggunaan asas tersebut tidak dapat
dan bukan semata-mata karena adanya diterapkan pada perjanjian perbatas-
an dan juga terjadinya perubahan
kesulitan dalam melaksanakan kewajiban.
keadaan akibat pelanggaran yang
Jadi disini tidak dapat melaksanakan dilakukan oleh pihak yang mengaju-
kewajiban dalam perjanjian bukan karena kan tuntutan.
adanya kesulitan ekonomis bahkan ketidak-
2. Penerapan Asas Rebus Sic Stantibus
mungkinan secara ekonomi. Akhirnya
dalam Masyarakat Internasional
Mochtar Kusumaatmadja pun berpendapat
Prinsip hukum rebus sic stantibus
bahwa dirasa perlu untuk membatasi ruang
nampaknya tetap menjadi bahan telaah
lingkup dan mengatur prosedur peng-
dan sering digunakan oleh negara-negara
gunaan asas rebus sic stantibus sebagai
di dunia untuk melakukan penundaan ter-
alasan untuk mengakhiri atau menangguh-
hadap sebuah perjanjian internasional.
kan perjanjian internasional dengan sak-
Bentuk yang cukup terkenal yang dianggap
sama.45
oleh beberapa ahli hukum dan praktek
Sejalan dengan pendapat Mochtar
internasional sebagai salah satu bentuk
Kusumaatmadja yang demikian, menurut
dari rebus sic stantibus adalah pertikaian
Mieke Komar Kantaatmadja jika terjadi
bersenjata atau perang.
perubahan yang mendasar sebagaimana
Konflik senjata sebagai salah satu
diisyaratkan oleh Pasal 62 ayat (1)
bentuk rebus sic stantibus untuk melakukan
Konvensi Wina 1969 dan para pihak akan
penundaan sebuah perjanjian telah diguna-
menghenti- kan perjanjian internasional
kan di dalam tiga kasus, yaitu ketika
atau menarik diri dari suatu perjanjian
Menteri Luar Negeri Perancis menyatakan
internasional apabila dipenuhi syarat-syarat
bahwa perang adalah perubahan keadaan
sebagai ber- ikut: 46
yang mencukupi untuk melakukan
1. perubahan suatu keadaan tidak ter-
dapat pada waktu pembentukan per- penundaan atas yurisdiksi Permanent Court
janjian; of Inter- national Justice pada tahun 1939,
Peng-

44
Ibid.
45
Ibid., hlm. 141.
46
Mieke Komar Kantaatmadja, “Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional”, Makalah, Fakultas Hukum UNPAD, 1981. Pasal 62 Konvensi Wina 1969.
11 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 -

adilan Paris yang menyatakan bahwa berlaku lagi karena perang yang terjadi
kekerasan dapat mengakibatkan perubahan antara Inggris dan Spanyol.
keadaan yang menghasilkan hak dan Lain halnya dengan Perancis dan
kewajiban baru bagi negara belligerent Inggris, negara Belanda menganut faham
dan Presiden Amerika Serikat, Franklin yang cenderung lebih lunak. Hal ini dapat
D. Roosevelt yang menunda pelaksanaan dilihat dari praktek negara Belanda yang
kewajiban Amerika Serikat kepada menunda pelaksanaan seluruh perjanjian
International Load Line Convention pada internasional bilateral dengan negara
tahun 1930 karena perang dunia kedua.47 Suriname ketika terjadi pergolakan pada
Berdasarkan doktrin dan praktek di- tahun 1982. Sementara itu, negara Italia,
atas, kemudian muncul pernyataan, apakah berdasarkan putusan Pengadilan Kasasi
sebuah konflik senjata dapat serta merta yang menyatakan bahwa konflik senjata
menyebabkan terhentinya atau memuncul- dapat menyebabkan terjadinya perubahan
kan penundaan berlakunya perjanjian keadaan yang kemudian kemungkinan
internasional? Jawaban untuk pertanyaan penggunaan prinsip rebus sic stantibus.
ini dapat dilihat dari beberapa praktek Lebih jauh, Pengadilan di Italia pada masa
negara-negara dan konflik senjata yang perang dunia kedua memutuskan bahwa
terjadi setelah perang dunia kedua. Negara perjanjian ekstradisi tidak berlaku lagi atas
Perancis dapat dikatakan menganut faham dasar perang yang terjadi.48
yang cukup keras, dimana menurut bebera- Selain praktik negara-negara di dunia,
pa pendapat hukum di Perancis, deklarasi beberapa konflik senjata yang terjadi
perang saja cukup untuk memberikan setelah perang dunia kedua juga dapat
dampak bagi sebuah perjanjian interna- dijadikan acuan apakah konflik senjata
sional. Dapat dikatakan bahwa Perancis dapat serta merta menyebabkan terhentinya
tidak akan menunggu terjadinya konflik atau memunculkan penundaan sebuah
senjata untuk mengambil keputusan baik perjanjin internasional. Acuan pertama
menunda maupun melakukan penundaan adalah ketika negara Mesir melakukan
terhadap sebuah perjanjian internasional. penundaan atas perjanjian Suez Canal Base
Faham ini sedikit berbeda dengan praktek dengan negara Inggris di tahun 1956.
yang dilakukan oleh Inggris dimana Keputusan Mesir ini disebabkan atas
dampak terhadap sebuah perjanjian serangan udara Inggris dan Perancis
internasional akan muncul jika terjadi terhadap Mesir di tahun 1956. Acuan kedua
konflik senjata. Inggris melakukan adalah konflik senjata yang terjadi antara
penundaan perjanjian internasional atas negara Cina dan negara India yang
dasar konflik senjata pada tahun 1795 berkenaan tentang masalah perbatasan di
ketika Inggris menyatakan bahwa Konvensi tahun 1962. Menarik untuk dicermati
Nootka Sound 1790 tidak adalah bahwa walaupun terjadi konflik

47
Deny, “Perjanjian Internasional dan Konflik Bersenjata”, http://denyupdate.blogspot.com/, diakses 25 Novem-
ber 2011.
48
Ibid.
Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional 117

senjata, hubungan diplomatik kedua negara hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja
ini tetap ada. Acuan yang ketiga adalah Bundar (KMB), dimana Belanda secara
konflik senjata Iran-Irak pada tahun 1980 resmi mengakui kedaulatan Indonesia atas
sampai dengan 1988. Di dalam konflik senjata seluruh bekas wilayah Hindia Belanda
ini kedua belah negara telah secara sepihak dengan penangguhan penyelesaian wilayah
membatalkan perjanjian internasional Irian Barat (kini Irian Jaya). Namun
tentang batas negara. Iran membatalkan Perjanjian KMB ternyata tidak mampu
perjanjian internasional Batas Shatt-al- menjalin hubungan baik antara Indonesia
Arab yang dibuat tahun 1937 sementara dan Belanda, bahkan tidak membawa
Irak membatalkan perjanjian internasional penyelesaian mengenai masalah Irian
Baghdad yang dibuat pada tahun 1975.49 Barat. Setelah pembubaran Uni Indonesia
Dari beberapa contoh praktek negara- – Belanda kemudian pemerintah Indonesia
negara di dunia dan beberapa konflik memutuskan secara sepihak keseluruhan
senjata yang terjadi, dapat diambil beberapa perjanjian KMB.
kesimpulan yang patut dicermati, yaitu Pemutusan yang demikian mendapat
antara lain adalah bahwa untuk beberapa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
kasus, sebuah perjanjian internasional tetap tertanggal 22 Mei 1956 dan dimuat dalam
berlaku walaupun terjadi konflik senjata; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956.
bahwa sebuah perjanjian internasional Adapun alasan yang dipakai oleh
tidak serta merta berhenti berlaku walau- Pemerintah Indonesia dalam membatalkan
pun terjadi konflik senjata, melainkan perjanjian KMB adalah sebagai berikut:
mengalami penundaan pelaksanaan; dan
Maka di dalam keadaan yang sudah
bahwa untuk kasus-kasus tertentu sebuah be- gitu berubah dan mendesak sekali
perjanjian internasional tidak berlaku lagi untuk membatalkan perjanjian KMB
atau terjadi penundaan yang disebabkan demi kepentingan nasional, pemerintah
oleh konflik senjata baik antara para pihak tidak mempunyai pilihan lain daripada
perjanjian internasional dari perjanjian mem- batalkan perjanjian tersebut atas
dasar rebus sic stantibus yang berlaku
internasional tersebut maupun pihak ketiga.
di dalam hukum internasional.
Di Indonesia sendiri penerapan Menurut asas re- bus sic stantibus
asas rebus sic stantibus dapat dilihat dari yang berarti atas dasar kenyataan
dua kasus, yaitu kasus berkaitan dengan adanya perubahan-perubahan yang vital
Perjanjian Konferensi Meja Bundar, di dalam negeri daripada salah satu
dan kasus keberlangsungan perjanjian pihak yang menandatangani, maka
pihak tersebut berhak untuk menarik
internasional antara Australia dengan diri dari ikatan perjanjian itu. Dengan
Indonesia tentang Zona Kerjasama di Celah lain perkataan di dalam keadaan
Timor. Kasus Pertama, dalam hal ini demikian, maka prinsip rebus sic
berkaitan dengan adanya Perjanjian sebagai stantibus bisa dibuat sebagai dasar
untuk meniadakan asas pacta sunt
servanda tersebut.50
49
Ibid.
50
Sidik Suraputra, 2006, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan Karangan),
Lem- baga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Diadit Media, Jakarta, hlm.
182.
11 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 -

Melihat pada kasus di atas, dimana potensi sumber daya minyak dan gas
dengan bubarnya Uni Indonesia-Belanda bumi tanpa harus menunggu tercapainya
dianggap telah terjadi perubahan keadaan kesepakatan batas landas kontinen. Juga,
yang fundamental di wilayah Indonesia, perjanjian tersebut mengatur mengenai
sehingga pihak dalam perjanjian dalam “Zona Pengembangan Bersama” (Joint
KMB dapat menyatakan untuk mengundur- Development zone) di daerah “tumpang
kan diri dari perjanjian KMB. Dibentuknya tindih” negara-negara yang bersangkutan
Uni Indonesia-Belanda sebagai salah (dispute area). Diadakannya perjanjian
satu sarana dalam penyelesaian masalah Celah Timor berlandaskan pada Pasal 83
Irian Barat. Maka disini dipenuhi ukuran ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982.53
obyektif sebagai dasar untuk menarik diri Kemudian dengan berjalannya waktu,
dari perjanjian dengan alasan berlakunya pada tanggal 30 Agustus 1999 diadakan
asas rebus sic stantibus. Sedangkan, ukuran jejak pendapat rakyat Timor Timur apakah
kedua yang harus dipenuhi adalah ukuran akan menerima status otonomi khusus
obyektif, yaitu dengan bubarnya Uni atau memisahkan diri dari Indonesia untuk
Indonesia-Belanda, ternyata mempengaruhi merdeka. Berdasarkan hasil jejak pendapat
kemampuan para pihak. yang diumumkan pada tanggal 4 September
Kasus kedua, sebagaimana diketahui 1999 sebagian besar rakyat Timor Timur
bahwa dengan belum tercapainya kese- menghendaki untuk berpisah dari Indonesia
pakatan mengenai batas landas kontinen menjadi negara merdeka. Akhirnya pada
antara Indonesia dengan Australia di selatan tanggal 20 Mei 2002 rakyat Timor Timur
Timor Timur (Celah Timor) maka pada menyatakan kemerdekaannya dan menjadi
tanggal 11 Desember 1989 ditandatangani Negara Timor Leste.
perjanjian antara Indonesia dan Australia51 Sebagai konsekuensi atas kemerde-
mengenai Zona Kerjasama di daerah antara kaan Timor Timur, maka wilayah landas
Timor Timur dan Australia Bagian Utara, kontinen yang berada di sebelah selatan
yang lebih dikenal ”Perjanjian Celah Timor Timur yang merupakan obyek
Timor”52. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian Celah Timor tidak lagi berada
pengaturan sementara yang bersifat praktis di bawah kedaulatan Indonesia, namun
untuk memungkinkan dimanfaatkannya berada di bawah kedaulatan Timor Leste.

51
Pada saat ditandatanganinya Perjanjian antara Indonesia dan Australia ini, wilayah Timor Timur menjadi bagian
wilayah Indonesia, sehingga wilayah landas kontinen di sebelah selatan Timor Timur berada di bawah ke-
daulatan Indonesia.
52
Dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan secara rinci tentang apa isi perjanjian Celah Timor, karena penekanan
dalam tulisan ini adalah terjadinya perubahan keadaan yang fundamental yang dapat mempengaruhi keber-
langsungan perjanjian internasional yang dalam hal ini adalah perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan
Australia.
53
Pasal 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa ”sementara persetujuan penetapan batas landas kontinen
belum tercapai negara-negara yang bersangkutan dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya
berupaya untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama berlangsungnya masa
tran- sisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya untuk mencapai persetujuan akhir.
Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan penetapan garis batas landas kontinen yang final.”
Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional 119

Sehubungan dengan hal itu, dalam hukum beradaan dan penggunaan asas pacta sunt
perjanjian dikenal asas pacta tertiis nec servanda adalah mengawali berlakunya
nocent nec prosunt.54 Demikian juga dengan suatu perjanjian. Artinya keberadaan dan
merdekanya Timor Timur maka menurut penerimaan asas pacta sunt servanda
hukum internasional telah terjadi suksesi, dijadikan sebagai dasar beroperasinya atau
yang dalam hal ini suatu wilayah Timor berlakunya suatu perjanjian. Tanpa adanya
Timur yang dalam hubungan internasional kesanggupan untuk melaksanakan apa yang
semula menjadi tanggung jawab Indonesia, telah dijanjikan, maka perjanjian tidak akan
setelah tanggal 20 Mei 2002 berubah men- dapat beroperasi atau berlaku sebagaimana
jadi wilayah negara baru, yaitu negara mestinya. Lain halnya dengan asas rebus
Timor Leste sebagai negara berdaulat.55 sic stantibus, dimana dengan berlandaskan
Dengan terjadinya suksesi negara dapat pada asas ini pihak-pihak perjanjian dapat
dikatakan bahwa telah terjadi suatu menyatakan menunda atau menyatakan
perubahan keadaan yang fundamental mengundurkan diri dari perjanjian yang
(rebus sic stantibus) di wilayah Indonesia, telah disepakati, sepanjang dipenuhi syarat-
yang pada akhirnya berdasarkan nya sebagaimana tercantum dalam Pasal 62
kesepakatan antara Indonesia dan Australia Konvensi Wina 1969.
diadakan peninjauan kembali atas Bahwa penerimaan dan pengakuan
berlakunya per- janjian Celah Timor. asas rebus sic stantibus sebagai upaya
untuk melegalisir tindakan pihak-pihak
E. Penutup
peserta perjanjian untuk mengakhiri atau
Berdasarkan uraian di atas berkaitan
menunda berlakunya perjanjian yang telah
dengan keberadaan asas dalam perjanjian
mereka buat. Perubahan keadaan yang
internasional, khususnya asas rebus sic
fundamental dapat dijadikan sebagai alasan
stantibus, dapat ditarik kesimpulan bahwa
untuk tidak lagi melaksanakan perjanjian,
keberadaan kedua asas tersebut telah lama
sepanjang dipenuhi persyaratan tertentu,
dikenal dalam masyarakat internasional.
yaitu bila terjadi perubahan keadaan,
Bahkan beberapa ahli terkemuka telah
dimana keadaan yang berubah itu menjadi
memberi dukungan atas keberadaan asas
dasar diadakan- nya perjanjian; dan adanya
tersebut, dan bahkan dewasa ini asas
perubahan ke- adaan yang fundamental
tersebut telah menjadi bagian dari hukum
tersebut menye- babkan terjadi perubahan
positif dalam taraf nasional maupun
pelaksanaan kewajiban dari para pihak
internasional. Ini artinya asas rebus sic
sebagaimana yang pernah dijanjikan.
stantibus berada dalam sistem hukum.
Beberapa kasus yang dianggap telah
Penerimaan, ke-
terjadinya perubahan

54
Bahwa perjanjian tidak membebankan hak dan kewajiban bagi pihak ke-tiga. Dalam kasus ini perjanjian Celah
Timor tidak akan berlaku bagi Timor Leste sebagai pihak ke-tiga, karena perjanjian tersebut hanya mengikat
bagi Indonesia dan Australia.
55
Article 2 point 1b, Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978: “succession
of states means the replacement of one state by another in the responsibility for the international relations of
territory”.
12 MIMBAR HUKUM Edisi Khusus, November 2011, Halaman 1 -

keadaan yang fundamental, yang pada diantara para pihak yang berjanji, atau
gilirannya merubah pelaksanaan apa yang karena adanya perubahan keadaan yang
telah diperjanjikan yaitu terjadinya konflik menyang- kut status wilayah yang
bersenjata, terjadinya konflik kepentingan diperjanjikan (karena terjadi suksesi).

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Kusumaatmadja, Mochtar, 2003, Peng-


Admawiria, Sam Suhaedi, 1968, Peng- antar Hukum Internasional, Alumni,
antar Hukum Internasional, Alumni, Bandung.
Bandung. Malanczuk, Peter, 1997, Akehurst’s Modern
Arrasjid, Chainur, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Introduction to International Law,
Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Routledge, London and New York.
Bierley (Terj. Moh. Radjab), 1963, Hukum Mertokusumo, Sudikno 2001, Penemuan
Bangsa-Bangsa, Bhratara, Jakarta. Hukum, Liberty, Yogyakarta.
Brownlie, Ian, 1979, Principles of Public Nussbaum, Arthur dan Admawiria, Sam
International Law, ELBS, Oxford Suhaedi, 1969, Sejarah Hukum Inter-
University Press, Oxford, UK. nasional I, Binacipta, Bandung.
Bruggink, J.J.H., (Terj. B. Arief Sidharta), Nussbaum, Arthur dan Admawiria, Sam
1999, Refleksi tentang Hukum, Citra Suhaedi, 1970, Sejarah Hukum Inter-
Aditya, Bandung. nasional II, Binacipta, Bandung.
Croucher, Sheila L., 2004, Globalization Poerwadarminta, W.J.S., 2004, Kamus
and Belonging: The Politics of Identity Umum Bahasa Indonesia, Balai
a Change World, Roman & Littlefield Pustaka, Jakarta
Publisher Inc., Oxford, UK. Starke, 1989, Introduction to International
Harris, D.J., 1983, Case and Materials Law, Tenth Edition, Butterworth,
in International Law, Maxwell, London.
London. Suraputra, Sidik, 2006, Hukum Interna-
Hengorani, R.C., 1982, Modern sional dan Berbagai Permasalahan-
International Law, Second Edition, nya (Suatu Kumpulan Karangan),
Oxford & IBH Publishing Co, New Lembaga Pengkajian Hukum Inter-
Delhi. nasional Fakultas Hukum Universitas
Hermawan, Yulius P., (Ed.), 2007, Indonesia, Diadit Media, Jakarta.
Transformasi dalam Studi Hubung- Tsani, Mohd. Burhan, 1990, Hukum dan
an Internasional; Aktor, Isu dan Hubungan Internasional, Liberty,
Metodologi, Graha Ilmu, Yogya- Yogyakarta.
karta.
Kindred, Hugh M., 1987, International Law B. Artikel Jurnal
Chiefly as Interpreted and Applied Sik, Ko Swan, “Beberapa Aspek Kenisbian
in Canada, Emond Montgomery dan Kesamaran Perjanjian Interna-
Publications Ltd., Toronto.
Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional 121

sional”, Jurnal Hukum Internasional, E. Peraturan Perundang-undangan/


Volume 3 Nomor 4, 2006. Dokumen Lain
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
C. Pidato/Makalah/Bahan Kuliah (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie).
Jenie, Siti Ismijati, “Itikad Baik, Per- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999
kembangan dari Asas Hukum Khusus tentang Hubungan Luar Negeri (Lem-
Menjadi Asas Hukum Umum di baran Negara Republik Indonesia
Indonesia”, Pidato, Pengukuhan Guru Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan
Besar Fakultas Hukum Universitas Lembaran Negara Republik Indonesia
Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007. Nomor 3882).
Kantaatmadja, Mieke Komar, “Beberapa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun tentang Perjanjian Internasional (Lem-
1969 tentang Hukum Perjanjian Inter- baran Negara Republik Indonesia
nasional”, Makalah, Fakultas Hukum Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan
UNPAD, 1981. Lembaran Negara Republik Indonesia
Suryokusumo, Sumaryo, “Hukum Perjanjian Nomor 4012).
Internasional”, Bahan Kuliah, United Nations Convention on the Law of
Magister Ilmu Hukum Fakultas the Sea, 1982.
Hukum Uni- versitas Gadjah Mada. Vienna Convention on the Law of Treaties,
1969.
D. Artikel Internet Vienna Convention on Succession of States
Deny, “Perjanjian Internasional dan Konflik in Respect of Treaties, 1978.
Bersenjata”, http://denyupdate.blog- Vienna Convention on the Law of Treaties
spot.com/, diakses 25 November 2011. between States and International
Oyong, Bambang Syamsuzar, “Perjanjian”, Organizations or between
http://bambangoyong.blogspot. International Organizations, 1986.
com/2011/03/normal-0-false-false- Statute of the International Court of Justice.
false_12.html, diakses 25 November
2011.

Anda mungkin juga menyukai