Anda di halaman 1dari 33

Laporan Pendahuluan

Luka Bakar (Combutsio)


1. Konsep Dasar Medis
A. Definisi
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan
oleh kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik
dan radiasi (Brunner dan Suddart. 2012).
Luka bakar adalah luka yang disebabkan oleh kontak dengan suhu tinggi
seperti api, air panas, listrik, bahan kimia dan radiasi. Juga disebabkan oleh
kontak dengan suhu rendah (ferosbite). Luka bakar ini dapat mengakibatkan
kematian atau akibat lain yang berkaitan dengan problem fungsi maupun
estetik.
Luka bakar adalah luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh
dengan benda-benda yang menghasilkan panas (api, air panas, listrik) atau
zat-zat yang bersifat membakar (asam kuat, basa kuat).
1. Luka bakar termal: Agen pencedera dapat berupa api, air panas, atau
kontak dengan objek panas.
2. Luka bakar api : Berhubungan dengan asap/cedera inhalasi.
3. Luka bakar kimia: Terjadi dari tipe/kandungan agen pencedera, serta
konsentrasi dan suhu agen.
4. Luka bakar listrik :Suatu trauma yang disebabkan oleh arus
listrik,yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam.
Faktor yang membedakan keparahan karena arus listrik:
1. Jenis dan besarnya arus listrik
2. Jalan masuknya arus listrik
3. Lama kontak dengan arus listrik.
B. Etiologi
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas
kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan melalui hantaran atau radiasi
elektromagnetik. Destruksi jaringan terjadi akibat koagulasi denaturasi
protein atau iosinasi isi sel.
Ada lima mekanisme timbulnya luka bakar:
1. Api: kontak dengan kobaran api.
2. Luka bakar cair: kontak dengan air mendidih, uap panas, dan minyak
panas.
3. Luka bakar kimia: asam akan menimbulkan panas ketika kontak dengan
jaringan organik.
4. Luka bakar listrik: tidak terlalu sering terjadi di Indonesia. Bisa timbul
dari sambaran petir atau aliran listrik. Luka bakar listrik memiliki
karakteristik yang unik, sebab sekalipun sumber panas (listrik) berasal
dari luar tubuh, kebakaran/kerusakan yang parah justru terjadi di dalam
tubuh.
5. Luka bakar kontak : kontak langsung dengan obyek panas, misalnya
dengan wajan panas atau knalpot sepeda motor. Hal ini sangat sering
terjadi di Indonesia.
C. Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari sumber-sumber panas
kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan oleh radiasi elektromagnetik.Pada
kasus luka bakar listrik kerusakan diakibatkan oleh arus listrik yang masuk
ketubuh dan menjalar ke jaringan. Ekstremitas biasanya terkena kerusakan
jaringan yang lebih parah karena ukurannya lebih kecil di banding tubuh,
menyebabkan arus yang besar terkumpul diekstremitas. Luka tambahan
karena listrik adalah luka bakar pada kulit pada tempat masuk dan keluarnya
arus listrik karena putaran suhu tinggi oleh aliran listrik (2,5000C) pada
permukaan kulit, luka bakar yang terjadi karena baju korban terbakar.
Mungkin disertai patah tulang dan dislokasi karena otot-otot berkontraksi
akibat listrik. Luka bagian dalam biasanya termasuk kerusakan otot,
kerusakan saraf dan kemungkinan penggumpalan darah disebabkan tekanan
arus listrik, kerusakan organ dalam rongga atau perut.
Penderita luka bakar juga dapat mengalami kenaikan penguapan air. Di
mana selama 48 jam pertama kehilangan ini terutama disebabkan oleh
eksudat pada permukaan luka. Daerah kehilangan seluruh ketebalan kulit
yang mula-mula kering dan kurang mengalami penguapan air tetapi dengan
semakin melunaknya luka bakar maka penguapan air akan meningkat
dengan cepat. Pada luka bakar seluruh ketebalan kulit yang luas, penguapan
dapat mencapai 6-8 liter sehari.
D. Fase-Fase Luka Bakar
Fase-fase luka bakar yaitu :
1. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita
akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing
(mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gangguan airway
tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar,
namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera
inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah
penyebab kematian utama penderita pada fase akut. Pada fase akut
sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
cedera termal yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah
kerusakan atau kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas.
Luka yang terjadi menyebabkan:
a. Proses inflamasi dan infeksi.
b. Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang
atau tidak berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ -
organ fungsional.
c. Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat
luka dan pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang
muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik,
keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur
E. Manifestasi Klinis
Beratnya luka bakar tergantung kepada jumlah jaringan yang terkena dan
kedalaman luka:
1. Luka bakar derajat I
Merupakan luka bakar yang paling ringan. Kulit yang terbakar menjadi
merah,nyeri, sangat sensitif terhadap sentuhan dan lembab, atau
membengkak.Jika ditekan , daerah yang terbakar akan memutih, belum
terbentuk lepuhan.

2. Luka bakar derajat II


Menyebabkan kerusakan yang lebih dalam. Terjadi kerusakan epidermis
dan dermis. Kulit melepuh, dasarnya tampak merah, atau keputihan dan
terisi oleh cairan kental yang jernih. Jika disentuh warnanya berubah
menjadi putih dan terasa nyeri.

3. Luka bakar derajat III


Menyebabkan kerusakan yang paling dalam.Seluruh epidermis dan
dermis telah rusak dan telah pula merusak jaringan di bawahnya (lemak
atau otot). Permukaannya bisa berwarna putih dan lembut atau berwarna
hitam, hangus dan kasar. Kerusakan sel darah merah pada daerah yang
terbakar bisa menyebabkan luka bakar berwarna merah terang. Kadang
daerah yang terbakar melepuh dan rambut/ bulu ditempat tersebut mudah
dicabut dari akarnya.
Jika disentuh, tidak timbul rasa nyeri karena ujung saraf pada kulit telah
mengalami kerusakan.Jaringan yang terbakar bisa mati. Jika jaringan
mengalami kerusakan akibat luka bakar, maka cairan akan merembes dan
pembuluh darah dan menyebabkan pembengkakan.
Pada luka bakar yang luas, kehilangan sejumlah besar cairan karena
perembesan tersebut bisa menyebabkan terjadinya syok. Tekanan darah
sangat rendah sehingga darah yang mengalir ke otak sangat sedikit.

F. Kedalaman Luka Bakar


1. Luka bakar derajat I
a. Kerusakan terjadi pada lapisan epidermis
b. Kulit kering, hiperemi berupa eritema
c. Tidak dijumpai bulla
d. Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
e. Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 5-10 hari
2. Luka bakar derajat II
Tampak bullae, dasar luka kemerahan (derajat IIA), dasar pucat
keputihan (derajat IIB), nyeri hebat terutama pada derajat IIA. Luka
bakar derajat II ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Derajat II dangkal (superficial)
1) Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis.
2) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh.
3) Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 10-14 hari.
b. Derajat II dalam (deep)
1) Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis.
2) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea sebagian besar masih utuh.
3) Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung epitel yang tersisa.
Biasanya penyembuhan terjadi lebih dari sebulan.
c. Luka bakar derajat III
1) Kerusakan meliputi seluruh lapisan dermis dan lapisan yang lebih
dalam.
2) Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea mengalami kerusakan
3) Tidak dijumpai bulae.
4) Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena kering
letaknya lebih rendah dibanding kulit sekitar
5) Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal
sebagai eskar.
6) Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-
ujung saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.
7) Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi proses epitelisasi
spontan dari dasar luka.
Gambar Klasifikasi luka bakar sesuai kedalamannya

Perbedaan Derajat 2 Derajat 3


1. Penyebab - Suhu lama & kontak - Suhu > tinggi atau
sedang kontak lebih lama.
2. Warna kulit bila - Merah - Putih pucat
epitel lepas
3. Rasa sakit - + - Tidak sakit
4. Penyerapan warna - + - +++
5. Penyembuhan - Superfisial 2 - 3 - Melalui jaringan
minggu granulasi
- Dalam 3 – 4
minggu
G. Luas Luka Bakar
Luas luka tubuh dinyatakan sebagai persentase terhadap luas permukaan
tubuh atau Total Body Surface Area (TBSA). Untuk menghitung secara
cepat dipakai Rules of Nine atau Rules of Walles dari Walles. Perhitungan
cara ini hanya dapat diterapkan pada orang dewasa, karena anak-anak
mempunyai proporsi tubuh yang berbeda. Pada anak-anak dipakai
modifikasi Rule of Nines menurut Lund and Browder, yaitu ditekankan pada
umur 15 tahun, 5 tahun dan 1 tahun.

Wallace membagi tubuh bagian 9 % atau kelipatan 9 yang terkenal dengan


nama rule of nine atau rule of Wallace, yaitu:

1) Kepala sampai leher :9%


2) Lengan kanan :9%
3) Lengan kiri :9%
4) Dada sampai prosessus sipoideus :9%
5) Prosessus sipoideus sampai umbilicus :9%
6) Punggung :9%
7) Bokong :9%
8) Genetalia :1%
9) Paha sampai kaki kanan depan :9%
10) Paha sampai kaki kanan belakang :9%
11) Paha sampai kaki kiri depan :9%
12) Paha sampai kaki kiri belakang :9%
100%

Berdasarkan tingkat keseriusan luka :


a. Luka bakar ringan/ minor
1) Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
2) Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
3) Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak mengenai
muka, tangan, kaki, dan perineum.
b. Luka bakar sedang (moderate burn)
1) Luka bakar dengan luas 15 – 25 % pada dewasa, dengan luka bakar
derajat III kurang dari 10 %
2) Luka bakar dengan luas 10 – 20 % pada anak usia < 10 tahun atau
dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang dari 10 %
3) Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun dewasa
yang tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum.
c. Luka bakar berat (major burn)
1) Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun atau di
atas usia 50 tahun
2) Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan pada
butir pertama
3) Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
4) Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa
memperhitungkan luas luka bakar
5) Luka bakar listrik tegangan tinggi
6) Disertai trauma lainnya
7) Pasien-pasien dengan resiko tinggi.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Sel darah merah (RBC)
Dapat terjadi penurunan sel darah merah (Red Blood Cell) karena
kerusakan sel darah merah pada saat injuri dan juga disebabkan oleh
menurunnya produksi sel darah merah karena depresi sumsum tulang.
2. Sel darah putih (WBC)
Dapat terjadi leukositosis (peningkatan sel darah putih/White Blood
Cell) sebagai respon inflamasi terhadap injuri.
3. Gas darah arteri (AGD)
Penurunan PaO2 atau peningkatan PaCO2.
4. Karboksihemoglobin (COHbg)
Kadar COHbg (karboksihemoglobin) dapat meningkat lebih dari 15 %
yang mengindikasikan keracunan karbon monoksida.
5. Serum elektrolit :
Potasium pada permukaan akan meningkat karena injuri jaringan atau
kerusakan sel darah merah dan menurunnya fungsi renal;
hipokalemiadapat terjadi ketika diuresis dimulai; magnesium mungkin
mengalami penurunan. Sodium pada tahap permulaan menurun seiring
dengan kehilangan air dari tubuh; selanjutnya dapat terjadi
hipernatremia.
1. Sodium urine
Jika lebih besar dari 20 mEq/L mengindikasikan kelebihan resusitasi
cairan, sedangkan jika kurang dari 10 mEq/L menunjukan tidak
adekuatnya resusitasi cairan.
2. Alkaline pospatase
Meningkat akibat berpindahnya cairan interstitial/kerusakan pompa
sodium.
3. Glukosa serum
Meningkat sebagai refleksi respon terhadap stres.
4. BUN/Creatinin
Meningkat yang merefleksikan menurunnya perfusi/fungsi renal,
namun demikian creatinin mungkin meningkat karena injuri jaringan.
5. Urin
Adanya albumin, Hb, dan mioglobin dalam urin mengindikasikan
kerusakan jaringan yang dalam dan kehilangan/pengeluaran protein.
Warna urine merah kehitaman menunjukan adanya mioglobin
6. Rontgen dada
Untuk mengetahui gambaran paru terutama pada injuri inhalasi.
7. Bronhoskopi
Untuk mendiagnosa luasnya injuri inhalasi. Mungkin dapat ditemukan
adanya edema, perdarahan dan atau ulserasi padasaluran nafas bagian
atas.
8. ECG
Untuk mengetahui adanya gangguan irama jantung pada luka bakar
karena elektrik.
9. Foto Luka
Sebagai dokumentasi untukmembandingkan
perkembanganpenyembuhan luka bakar.
I. Komplikasi
1. Syok hipovolemik
2. Kekurangan cairan dan elektrolit
3. Hypermetabolisme
4. Infeksi
5. Gagal ginjal akut
6. Masalah pernapasan akut; injury inhalasi, aspirasi gastric, pneumonia
bakteri, edema.
7. Paru dan emboli
8. Sepsis pada luka
9. Ilius paralitik.
J. Pertolongan Pertama Pada Luka Bakar
1. Jauhkan dari sumber trauma
a. Api dipadamkan
b. Kulit yang panas disiram dengan air
c. Bahan kimia disiram dengan air mengalir.
d. Cara mematikan api :
1) Pasien dibaringkan
2) Ditutup dengan kain basah atau berguling – guling.
2. Cooling
Dinginkan daerah yang terkena luka bakar dengan menggunakan air
mengalir selama 20 menit, hindari hipotermia (penurunan suhu di
bawah normal, terutama pada anak dan orang tua). Cara ini efektif
samapai dengan 3 jam setelah kejadian luka bakar – Kompres dengan
air dingin (air sering diganti agar efektif tetap memberikan rasa dingin)
sebagai analgesia (penghilang rasa nyeri) untuk luka yang terlokalisasi
– Jangan pergunakan es karena es menyebabkan pembuluh darah
mengkerut (vasokonstriksi) sehingga justru akan memperberat derajat
luka dan risiko hipotermia – Untuk luka bakar karena zat kimia dan
luka bakar di daerah mata, siram dengan air mengalir yang banyak
selama 15 menit atau lebih.
3. Bebaskan jalan nafas, misalnya :
a. Buka baju
b. Lendir diisap
c. Trakheotomi dilakukan bila ada keraguan akan jalan napas.
4. Perbaiki pernapasan ( resusitasi pernapasan )
5. Terbakar di ruangan tertutup, persangkaan keracunan CO, maka
diberikan O2 murni.
6. Perbaiki sirkulasi ( infus RL / NaCl )
7. Trauma asam / basa, bilas dengan air mengalir terus – menerus.
8. Baju , alas & penutup luka/ tubuh, diganti dengan yang steril.

Tindakan Sebelum RS Untuk Melindungi Luka :


1. Isolasi luka dari sekitarnya
2. Jaga agar luka tidak dehidrasi
3. Jaga agar luka dalam keadaan istirahat.
Gangguan Yang Segera Terjadi :
1. Akibat listrik : Apnea, fibrillasi ventrikel
2. Rasa sakit : Bilas dengan air dingin
3. Keracunan CO : Sakit kepala, muntah – muntah ( berikan O2 murni)
4. Edema luas & mendadak, gangguan sirkulasi terjadi karena :
a. Perubahan permeabilitas pembuluh darah. Koloid dengan molekul
300.000 dapat keluar dari pembuluh darah → menurunkan tekanan
onkotik → edema
b. Potensial membrane sel menurun → Na& air masuk → K keluar sel
→ peristaltik usus menurun.
K. Terapi Cairan
Tujuan : Memperbaiki sirkulasi & mempertahankan keseimbangancairan
Indikasi :
1. Luka bakar derajat 2 – 3 dan > 25 %
2. Tidak dapat minum
3. Terapi cairan stop “intake” oral dapat menggantikan parenteral
L. Resusitasi Cairan
Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:
1. Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh
vaskuler regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan
2. Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak
diperlukan.
3. Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk
menjamin survival seluruh sel
4. Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.
a. Jenis cairan
Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid, cairan
hipertonik dan koloid:
Larutan Kristaloid
Larutan ini terdiri atas cairan dan elektrolit. Contoh larutan ini adalah
Ringer Laktat dan NaCl 0,9%. Komposisi elektrolit mendekati
kadarnya dalam plasma atau memiliki osmolalitas hampir sama
dengan plasma. Pada keadaan normal, cairan ini tidak hanya
dipertahankan di ruang intravaskular karena cairan ini banyak keluar
ke ruang interstisial. Pemberian 1 L Ringer Laktat (RL) akan
meningkatkan volume intravaskuer 300 ml.
Larutan Hipertonik
Larutan ini dapat meningkatkan volume intravaskuler 2,5 kali dan
penggunaannya dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid.
Larutan garam hiperonik tersedia dalam beberapa konsentrasi, yaitu
NaCl 1,8%, 3%, 5 %, 7,5% dan 10%. Osmolalitas cairan ini melebihi
cairan intraseluler sehingga cairan akan berpindah dari intraseluler ke
ekstraseluler. Larutan garam hipertonik meningkatkan volume
intravaskuler melalui mekanisme penarikan cairan dari intraseluler.
Larutan Koloid
Contoh larutan koloid adalah Hydroxy-ethyl starch (HES) dan
Dextran. Molekul koloid cukup besar sehingga tidak dapat melintasi
membran kapiler, oleh karena itu sebagian akan tetap dipertahankan
didalam ruang intravaskuler. Pada luka bakar dan sepsis, terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga molekul akan berpindah
ke ruang interstisium. Hal ini akan memperburuk edema interstisium
yang ada.
HES merupakan suatu bentuk hydroxy-substitued amilopectin sintetik,
HES berbentuk larutan 6% dan 10% dalam larutan fisiologik. T ½
dalam plasma selama 5 hari, tidak bersifat toksik, memiliki efek
samping koagulopati namun umumnya tidak menyebabkan masalah
klinis. HES dapat memperbaiki permeabilitas kapiler dengan cara
menutup celah interseluler pada lapisan endotel sehingga
menghentikan kebocoran cairan, elektrolit dan protein. Penelitian
terakhir mengemukakan bahwa HES memiliki efek antiinflamasi
dengan menurunkan lipid protein complex yang dihasilkan oleh
endotel, hal ini diikuti oleh perbaikan permeabilitas kapiler. Efek
antiinflamasi diharapkan dapat mencegah terjadinya SIRS.
b. Dasar pemilihan Cairan
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan
adalah efek hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan
permeabilitas kapiler, oksigen, PH buffering, efek hemostasis,
modulasi respon inflamasi, faktor keamanan, eliminasi praktis dan
efisien. Jenis cairan terbaik untuk resusitasi dalam berbagai kondisi
klinis masih menjadi perdebatan terus diteliti. Sebagian orang
berpendapat bahwa kristaloid adalah cairan yang paling aman
digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi klinis tertentu.
Sebagian pendapat koloid bermanfaat untuk entitas klinik lain. Hal ini
dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang
memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada kasus luka bakar, terjadi
kehilangan ciran di kompartemen interstisial secara masif dan
bermakna sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi dilakukan dengan
pemberian cairan kristaloid.
c. Penentuan jumlah cairan
Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan
tiga sampai empat kali jumlah defisit intravaskuler. 1 L cairan
kristaloid akan meningkatkan volume intravaskuler 300 ml. Kristaloid
hanya sedikit meningkatkan cardiac output dan memperbaiki transpor
oksigen.
Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama
Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau ringer asetat,
menggunakan beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok
atau kasus luka bakar > 25-30% atau dijumpai keterlambatan > 2 jam.
Dalam <4 jam pertama diberikan cairan kristaloid sebanyak
3[25%(70%xBBkg)] ml. 70% adalah volume total cairan tubuh,
sedangkan 25% dari jumlah minimal kehilangan cairan tubuh dapat
menimbulkan gejala klinik sidrom syok.
Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas
< 25-30%, tanpa atau dijumpai keterlambatan < 2 jam. Kebutuhan
dihitung berdasarkan rumus baxter 3-4 ml/kgBB/% LB.
Metode Parkland merupakan metode resusitasi yang paling umum
digunakan pada kasus luka bakar, menggunakan cairan kristaloid.
Metode ini mengacu pada waktu iskemik sel tubulus ginjal < 8 jam
sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus luka bakar yang tidak
terlalu luas tanpa keterlambatan.
Pemberian cairan menurut formula Parkland adalah sebagai berikut:
a. Pada 24 jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8
jampertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi,
anak dan orang tua, kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai
cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4 ml ditambah 1% dari
kebutuhan.
b. Penggunaan zat vasoaktif (dopamin dan dobutamin) dengan dosis 3
mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5%
jumlah tetesan dibagi rata dalam 24 jam.
c. Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena
sentral (minimal 6-12cm H20) sirkulasi perifer (sirkulasi renal).
Jumlah produksi urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5- 1ml /kg
BB/jam maka jumlah cairan ditingkatkan 50% dari jam sebelumnya.
d. Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis
dan sedimen).
e. Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan
kuantitas cairan lambung melaui pipa nasogastrik. Jika , 200ml tidak
ada gangguan pasase lambung, 200-400ml ada gangguan ringan, >400
ml gangguan berat.
Penatalaksanaan 24 jam kedua
a. Pemberian cairan yang menggunakan glukosa dan dibagi rata dalam 24
jam. Jenis cairan yang dapat diberikan adalah glukosa5% atau 10%
1500-2000 ml. Batasan ringer laktat dapat memperberat edema
interstisial.
b. Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan jumlah
produksi uin <1-2 ml/kgBB/jam,berikan vasoaktif samapi 5 mg/kgBB
c. Pemantauan analisa gas darah, elektrolit
Penatalaksanaan setelah 48 jam
d. Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintanance
e. Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4 ml/kgBB),
hemoglobin dan hematokrit.
Rumus Baxter:
Pada dewasa:
a. Hari I: 3-4 ml x kgBB x % luas luka bakar
b. Hari II:Koloid: 200-2000 cc + glukosa 5%
Pemberian cairan ½ volume pada 8 jam pertama dan ½ volume diberikan
16 jam berikutnya.
Pada anak:
a. Hari I:
RL:dex 5% = 17:3
(2cc x kgBB x % luas luka bakar) + keb. Faal
Kebutuhan Faal:
<1 thn = kgBB X 100cc
5-15 thn = kgBB X 75cc
>15 thn = kgBB X 50cc
b. Hari II: sesuai kebutuhan faal
Formula Parkland:
a. Hari I (24jam pertama):
16 jam pertama: [0,5 x (4 cc x kgBB x % TBSA )] / 8 jam =cc/jam
16 jam kedua: [0,5 X (4 cc x kg BB x % TBSA)] / 16 jam = cc/jam
Penambahan cairan rumatan pada anak :
4 cc/kgBB/jam dalam 10 kg pertama
2 cc/kg BB/jam dalam 10 kg kedua (11-20kg)
1 cc/kgBB/jam untuk tiap >20kg
Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan cairan 4 ml ditambah 1%
dari kebutuhan.Pengawasan kecukupan cairan yang diberikan dapat dilihat
dari produksi urin yaitu pada dewasa 0,5-1,0 cc/kg/jam dan pada anak
1,0-1,5 cc/kg/jam.
2. Perawatan luka
Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas,
mekanisme bernapas dan resusitasi cairan dilakukan. Tindakan
meliputi debridement secara alami, mekanik (nekrotomi) atau tindakan
bedah (eksisi), pencucian luka, wound dressing dan pemberian
antibiotik topikal . Tujuan perawatan luka adalah untuk menutup luka
dengan mengupaya proses reepiteliasasi, mencegah infeksi,
mengurangi jaringan parut dan kontraktur dan untuk menyamankan
pasien. Debridement diusahakan sedini mungkin untuk membuang
jaringan mati dengan jalan eksisi tangensial.Tindakan ini dilakukan
setelah keadaan penderita stabil, karena merupakan tindakan yang
cukup berat.Untuk bullae ukuran kecil tindakannya konservatif
sedangkan untuk ukuran besar(>5cm) dipecahkan tanpa membuang
lapisan epidermis diatasnya.
Pengangkatan keropeng (eskar) atau eskarotomi dilakukan juga
pada luka bakar derajat III yang melingkar pada ekstremitas atau
tubuh sebab pengerutan keropeng(eskar) da pembengkakan yang terus
berlangsung dapat mengakibatkan penjepitan (compartment syndrome)
yang membahayakan sirkulasi sehingga bahgian distal iskemik dan
nekrosis(mati). Tanda dini penjepitan (compartment syndrome) berupa
nyeri kemudian kehilangan daya rasa (sensibilitas) menjadi kebas pada
ujung-ujung distal.Keaadan ini harus cepat ditolong dengan membuat
irisan memanjang yang membuka keropeng sampai penjepitan bebas.
Pencucian luka dilakukan dengan hidroterapi yaitu memandikan
pasien atau dengan air hangat mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu
luka dibalut dengan kasa lembab steril dengan atau tanpa krim
pelembap.Perawatan luka tertutup dengan occlusive dressing untuk
mencegah penguapan berlebihan.Penggunaan tulle (antibiotik dalam
bentuk sediaan kasa) berfungsi sebagai penutup luka yang
memfasilitasi drainage dan epitelisasi.Sedangkan krim antibiotik
diperlukan untuk mengatasi infeksi pada luka.
M. Penatalaksanaan
1. Perawatan Luka
a. Pencucian dengan larutan detergen encer
b. Kulit compang – camping dibuang
c. Bila luka utuh > 5 cm cairan dihisap, < 5 cc dibiarkan
d. Luka dikeringkan, diolesi dengan mercurochrome atau silver
sulfadiazine.
e. Perawatan terbuka atau tertutup dengan balutan
f. Pasien dirawat di ruangan steril
2. Perawatan Di Ruangan
a. Perawatan terbuka dengan krim SSD (Silver Sulfadiazine),
merupakan obat yang dapat menembus eskar.
b. Mandi 2 hari sekali dengan air mengalir
c. Eskratomi dilakukan bila ada penekanan saraf / pembuluh darah.
d. “Skin Graft” dilakukan setelah mulai ada granulasi
3. Antibiotik :
a. Disesuaikan dengan epid. Kuman di ruangan.
b. Pemberian selanjutnya disesuaikan hasil kultur
4. Toxoid – ATS :
Diberikan semua pasien 1 cc tiap 2 minggu/ 3 x, selama 5 hari.
Antasid→ Mengurangi asam lambung
Nutrisi → Jumlah kalori + protein ( TKTP )→ Kalori> 60 % dari
perhitungan
Reborantin diberikan → Vitamin C, B Compleks, Vitamin A
(10.000/Mgg).
Fisioterapi → Dilakukan lebih awal berupa latihan pernafasan
&pergerakan otot atau sendi.
5. Nilai Lab :
a. Pemeriksaan Hb, Ht tiap 8 jam → 2 hari I. dan tiap – tiap 2 hari
pada 10 hari berikutnya.
b. Fungsi hati & ginjal tiap minggu
c. Elektrolit / hari → I minggu pertama
d. Analisa gas darah bila nafas > 32 x / menit.
e. Kultur jaringan pada hari I, III, VIII
2. Konsep Dasar Keperawatan
A. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
Setiap pasien luka bakar harus dianggap sebagai pasien trauma,
karenanya harus dicek Airway, breathing dan circulation-nya terlebih
dahulu (doengos, 2009).
a. Airway
Apabila terdapat kecurigaan adanya trauma inhalasi, maka segera
pasang Endotracheal Tube (ET). Tanda-tanda adanya trauma inhalasi
antara lain adalah: terkurung dalam api, luka bakar pada wajah, bulu
hidung yang terbakar, dan sputum yang hitam.
b. Breathing
Eschar yang melingkari dada dapat menghambat pergerakan dada
untuk bernapas, segera lakukan escharotomi. Periksa juga apakah ada
trauma-trauma lain yang dapat menghambat pernapasan, misalnya
pneumothorax, hematothorax, dan fraktur costae.
c. Circulation
Luka bakar menimbulkan kerusakan jaringan sehingga menimbulkan
edema, pada luka bakar yang luas dapat terjadi syok hipovolumik
karena kebocoran plasma yang luas. Manajemen cairan pada pasien
luka bakar, dapat diberikan dengan Formula Baxter.
Formula Baxter
1) Total cairan: 4cc x berat badan x luas luka bakar
2) Berikan 50% dari total cairan dalam 8 jam pertama, sisanya
dalam 16 jam berikutnya.
2. Pengkajian sekunder
a. Identitas pasien
Resiko luka bakar setiap umur berbeda: anak dibawah 2 tahun dan
diatas 60 tahun mempunyai angka kematian lebih tinggi, pada umur 2
tahun lebih rentan terkena infeksi.
b. Riwayat kesehatan sekarang
1) Sumber kecelakaan
2) Sumber panas atau penyebab yang berbahaya
3) Gambaran yang mendalam bagaimana luka bakar terjadi
4) Faktor yang mungkin berpengaruh seperti alkohol, obat-obatan
5) Keadaan fisik disekitar luka bakar
6) Peristiwa yang terjadi saat luka sampai masuk rumah sakit
7) Beberapa keadaan lain yang memeperberat luka bakar
c. Riwayat kesehatan dahulu
Penting untuk menentukan apakah pasien ,mempunyai penyakit yang
merubah kemampuan utuk memenuhi keseimbangan cairan dan daya
pertahanan terhadap infeksi (seperti DM, gagal jantung, sirosis
hepatis, gangguan pernafasan). (Doengoes, 2009).
B. Diagnosa
Beberapa Diagnosa keperawatan luka bakar sebagai berikut:
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi
trakheobronkhial; oedema mukosa; kompresi jalan nafas
2. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan kulit/jaringan; pembentukan
edema
3. Resiko ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
melalui rute abnormal.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat;
kerusakan perlinduingan kulit; jaringan traumatic
5. Resiko defisit nutrisi tubuh b.d peningkatan metabolic
C. Intervensi keperawtan
No. Diagnosis Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
1 Gangguan pertukaran Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Terapi Oksigen (I.01026)
gas berhubungan selama 1x 8 jam diharapkan Pertukaran Gas
Observasi
dengan obstruksi meningkat dengan kriteria hasil :
trakheobronkhial; 1. Dispnea menurun 1. Monitor kecepatan aliran oksigen
oedema mukosa; 2. Bunyi napas tambahan menurun 2. Monitor posisi alat terapi oksigen
kompresi jalan nafas 3. Takikardia menurun 3. Monitor aliran oksigen secara periodik dan pastikan
4. PCO2 membaik fraksi yang diberikan cukup
5. PO2 membaik 4. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis. Oksimetri,
6. pH arteri membaik Analisa gas darah), jika perlu
5. Monitor kemampuan melepaskan oksigen saat makan
6. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
7. Monitor monitor tanda dan gejala toksikasi oksigen dan
atelektasis
8. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi oksigen
9. Monitor integritas mukosa hidung akibat pemasangan
oksigen
Terapeutik

1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung, dan trakea, jika


perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Siapkan dan atur peralatan pemberian oksigen
4. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
5. Tetap berikan oksigen saat pasien di transportasi
6. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai dengan tingkat
mobilitas pasien
2 Nyeri akut berhubungan Manajemen Nyeri (I.08238)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan
dengan kerusakan
selama 1 x 8 jam, maka tingkat nyeri menurun, Observasi
kulit/jaringan;
dengan kriteria hasil:
pembentukan edema  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri menurun  Identifikasi skala nyeri
2. Meringis menurun  Idenfitikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
3. Sikap protektif menurun nyeri
4. Gelisah menurun  Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
5. Kesulitan tidur menurun  Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
6. Frekuensi nadi membaik  Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah
diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetik

Terapeutik

 Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi


nyeri (mis: TENS, hypnosis, akupresur, terapi music,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi, Teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
 Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis:
suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi

 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri


 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgesik secara tepat
 Ajarkan Teknik farmakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi

Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu


3 Resiko Manajemen Cairan (I.03098)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan
ketidakseimbangan
cairan berhubungan
selama 1 x 8 jam, maka ketidakseimbangan Observasi
dengan kehilangan cairan
cairan membaik, dengan kriteria hasil:
melalui rute abnormal.  Monitor status hidrasi (mis: frekuensi nadi, kekuatan
1. Asupan cairan meningkat nadi, akral, pengisian kapiler, kelembaban mukosa,
turgor kulit, tekanan darah)
2. Output urin meningkat
 Monitor berat badan harian
3. Membrane mukosa lembab meningkat
 Monitor berat badan sebelum dan sesudah dialisis
4. Edema menurun
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium (mis:
5. Dehidrasi menurun
hematokrit, Na, K, Cl, berat jenis urin, BUN)
6. Tekanan darah membaik
 Monitor status hemodinamik (mis: MAP, CVP, PAP,
7. Frekuensi nadi membaik
PCWP, jika tersedia)
8. Kekuatan nadi membaik
9. Tekanan arteri rata-rata membaik Terapeutik

10. Mata cekung membaik


 Catat intake-output dan hitung balans cairan 24 jam
11. Turgor kulit membaik
 Berikan asupan cairan, sesuai kebutuhan
 Berikan cairan intravena, jika perlu

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian diuretik, jika perlu


Pemantauan Cairan (I.03121)

Observasi

 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi


 Monitor frekuensi napas
 Monitor tekanan darah
 Monitor berat badan
 Monitor waktu pengisian kapiler
 Monitor elastisitas atau turgor kulit
 Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urin
 Monitor kadar albumin dan protein total
 Monitor hasil pemeriksaan serum (mis: osmolaritas
serum, hematokrit, natrium, kalium, dan BUN)
 Monitor intake dan output cairan
 Identifikasi tanda-tanda hypovolemia (mis: frekuensi
nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membran mukosa kering, volume urin
menurun, hematokrit meningkat, hasil, lemah,
konsentrasi urin meningkat, berat badan menurun dalam
waktu singkat)
 Identifikasi tanda-tanda hypervolemia (mis: dispnea,
edema perifer, edema anasarca, JVP meningkat, CVP
meningkat, refleks hepatojugular positif, berat badan
menurun dalam waktu singkat)
 Identifikasi faktor risiko ketidakseimbagnan cairan
(mis: prosedur pembedahan mayor, trauma/perdarahan,
luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan
pancreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi
intestinal)

Terapeutik

 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi


pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan

Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Dokumentasikan hasil pemantauan

4 Resiko infeksi Pencegahan Infeksi (I.14539)


Setelah dilakukan intervensi keperawatan
berhubungan dengan
selama 1 x 8 jam, maka tingkat infeksi Observasi
pertahanan primer tidak
menurun, dengan kriteria hasil:
adekuat; kerusakan  Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
perlinduingan kulit; 1. Demam menurun
Terapeutik
jaringan traumatic 2. Kemerahan menurun
3. Nyeri menurun  Batasi jumlah pengunjung
4. Bengkak menurun  Berikan perawatan kulit pada area edema
5. Kadar sel darah putih membaik  Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
dan lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi

Edukasi

 Jelaskan tanda dan gejala infeksi


 Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
 Ajarkan etika batuk
 Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
 Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu

5 Resiko defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan intervensi keperawatan Manajemen Nutrisi (I.03119)
peningkatan metabolic selama 1 x 8 jam, maka status nutrisi membaik,
Observasi
dengan kriteria hasil:
1. Porsi makan yang dihabiskan meningkat  Identifikasi status nutrisi
2. Berat badan membaik  Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3. Indeks massa tubuh (IMT) membaik  Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik

 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu


 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis: piramida
makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastik
jika asupan oral dapat ditoleransi

Edukasi

 Ajarkan posisi duduk, jika mampu


 Ajarkan diet yang diprogramkan

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis:


Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddart. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC

Doengoes, Marilynn E. 2009. Rencana asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta :
EGC

Leong M, Philips LG. 2012. Wound Healing. Dalam : Townsend CM, Beauchamp
RD, evers BM, Mattox KL, Sabiston textbook of surgery. Edisi ke 19.
Canada : Elsevier

Marison, J moya. 2014. Manajemen Luka. Buku Kedokteran. Jakarta : EGC

Moenadjat, Yefta. 2011. Luka Bakar. Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta

Anda mungkin juga menyukai