Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nabilah Nur

Nim : F052231004

Mata Kuliah : Demokrasi dan Budaya Politik di Sulawesi Selatan & Barat

PERANG DI MANDAR

Perlawanan antara Mandar dan pemerintah Hindia Belanda merupakan sebuah


episode sejarah yang menarik untuk diselidiki. Konflik ini memiliki potensi untuk
mengungkap dinamika kerajaan-kerajaan di Mandar serta mencerminkan bahwa usaha
ekspansi kekuasaan oleh pemerintah kolonial Belanda selalu menghadapi perlawanan dari
penduduk setempat, termasuk di Mandar. Selain itu, peristiwa ini juga menjadi bukti bahwa
perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda tidak terbatas pada daerah Bugis dan
Makassar, tetapi juga terjadi di Mandar. Hal ini menjadi dasar bagi pemerintah kolonial
Belanda untuk memberi julukan kepada selatan Sulawesi sebagai "pulau keonaran" atau
"deonrust eiland" (Paeni, dkk. 2002:2). Kebijakan perdagangan dan pelabuhan bebas
Makassar di paruh kedua abad ke-19 menggerakkan pemerintah kolonial Belanda untuk
bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan di selatan Sulawesi, termasuk Mandar, demi
menciptakan kondisi yang mendukung perkembangan perdagangan bebas. Laporan dari
pedagang Mandar menyebutkan adanya ancaman perompakan yang dipimpin oleh seorang
raja laut antara Parepare, Mandar, dan Teluk Palu. Raja laut tersebut menjadi tokoh
perompak terkenal di Selat Makassar pada pertengahan abad ke-19 (Junarti, 2001:57;
Anonim, 1873:416). Aktivitas perompakan pada periode tersebut meluas di sepanjang Selat
Makassar, dengan kelompok perompak yang berbeda di utara dan selatan Selat Makassar,
termasuk orang-orang Ilanun, Balangingi, dan Mangindanau dari Filipina di utara serta
perompak Bugis, Makassar, Mandar, Buton, dan Borneo di selatan. Bahkan, aktivitas mereka
merambah hingga ke wilayah Nusa Tenggara. Selain merampas barang dagangan, mereka
juga menculik awak kapal untuk dijadikan budak (Lapian, 1987:214). Hal ini bukan hanya
mengancam kebijakan perdagangan bebas tetapi juga dapat menimbulkan kerugian besar bagi
pelayaran dan perdagangan maritim yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. 1

Salah satu pemicu konflik adalah kasus nakhoda Abdul Rachman yang meminta
bantuan pemerintah kolonial Belanda untuk mendapatkan kembali perahunya yang dibawa ke

1
Muhammad Amir, Konflik Mandar Dengan Belanda PadaTahun 1862. Walasuji Volume 8,
No. 1, Juni 2017: 233—251
Mandar (Majene) oleh nakhoda muda Maiwa. Abdul Rachman sebelumnya telah
menyerahkan perahu tersebut kepada Maiwa untuk diawasi selama berada di Banjarmasin.
Namun, Maiwa malah membawa dan menjual perahu tersebut di Mandar. Komandan
pangkalan militer Belanda dikirim beberapa kali ke Mandar untuk menuntut ganti rugi atas
kasus ini. Sebagian tuntutan tersebut dipenuhi, dan Maiwa dipenjarakan. Namun, ketika kapal
perang Belanda tidak muncul di Majene selama beberapa bulan, Maiwa dibebaskan karena
diduga pemerintah kolonial Belanda telah mengabaikan masalah tersebut. Namun, ketika
kapal perang Belanda akhirnya tiba di Mandar, Maiwa dipenjarakan kembali, tetapi pada saat
itu ia sudah pergi dan meninggalkan Mandar (Arsip Makassar No. 354:120).

Selain itu, pemerintah kolonial Belanda juga mendapat laporan bahwa kasus
perompakan atau bajak laut terus terjadi di Mandar selama tahun 1849 dan 1850. Oleh karena
itu, gubernur Sulawesi meminta kepada pemerintah kolonial Belanda di Batavia agar diberi
wewenang untuk mengambil tindakan tegas untuk mengatasi perompakan di Mandar,
termasuk tindakan terhadap kerajaan-kerajaan pesisir yang terlibat atau tidak mencegah
perompakan tanpa menunggu perintah lebih lanjut dari Batavia. Tindakan ini dimaksudkan
untuk mencegah pelanggaran terhadap kontrak politik yang telah ditandatangani oleh
kerajaan-kerajaan di Mandar (Arsip Makassar No. 354:121).

Sementara itu, gubernur Sulawesi telah mengirim misi ke Mandar yang dipimpin
oleh Kapten Noorduyn, komandan kapal Zwaliuw bersama Ajun Sekretaris Urusan Pribumi
Wijnmalen. Misi ini berhasil mencapai kesepakatan politik dengan para penguasa Mandar.
Kontrak politik ini melibatkan kerja sama perdagangan dan upaya bersama untuk mengatasi
perompakan, yang sangat terkait dengan kepentingan ekonomi dan politik. Isi kontrak politik
tersebut mencakup pembatasan perdagangan hanya dengan Belanda, larangan berhubungan
dengan bangsa Eropa lain, dan kerjasama dalam meningkatkan produksi tanaman dagang
seperti kopi, tebu, kapas, kelapa, dan coklat (Poelinggomang, 2005:280).

Pada saat kontrak politik tersebut disahkan, gubernur jenderal menyatakan dalam
keputusan rahasia pemerintah pada 18 Agustus 1850 bahwa wewenang yang diminta dalam
surat gubernur Sulawesi pada 5 Juni 1850 Nomor 149 tidak dapat diberikan. Namun,
tindakan untuk mempertahankan dengan sarana yang ada dan diterapkan dengan penuh
kebijakan tidak akan dilarang (Arsip Makassar No.354:123). Sekretaris Urusan Pribumi
Wijnmalen kemudian dikirim kembali ke Mandar untuk menyampaikan kontrak politik yang
dibuat pada tahun 1850 dan disahkan oleh gubernur jenderal tersebut kepada raja-raja atau
para penguasa Mandar. Pengiriman Wijnmalen ke Mandar ini juga terkait dengan
pengangkatan baru Mara’dia Balanipa Ammana IYanggeTomatindo Di Lekopadis pada tahun
1851. Namun, kontrak politik tersebut tidak disampaikan dengan tepat oleh Mara’dia
Balanipa kepada raja-raja lainnya di Mandar (Arsip Makassar No. 354:130).
Selain itu, gubernur Sulawesi juga memerintahkan penghentian permusuhan antara
Mara’dia Balanipa dan Mara’dia Pambauang. Permusuhan ini dipicu oleh perselisihan antara
Mara’dia Mosso (daerah bawahan Kerajaan Sendana) dengan Mara’dia Pambauang.
Perselisihan ini berkembang menjadi permusuhan atau perang kecil pada Oktober 1853.
Mara’dia Mosso, dengan dukungan dari Mara’dia Balanipa, berhasil menduduki sebagian
daerah Pambauang dan menawan penduduknya untuk dijual sebagai budak kepada saudagar
Makassar. Gubernur Sulawesi mengirim surat kepada Mara’dia Mamuju pada 30 Agustus
1855, terkait dengan informasi bahwa perompak Tuan Lolo telah meninggalkan Palu dan
menuju Karama di Mamuju. Mara’dia Mamuju diminta untuk menangkap dan menyerahkan
Tuan Lolo kepada pemerintah kolonial Belanda. Namun, Tuan Lolo berhasil melarikan diri
dari Mamuju setelah beberapa minggu berada di daerah tersebut (Arsip Makassar
No.354:125).

Selanjutnya, penduduk Tanjung Kait dan Tapalang melakukan perompakan terhadap


kapal milik Abdul Rachman pada Maret 1856. Kapal tersebut kandas di karang dekat
Tanjung Kait, dan penduduk setempat merampas seluruh muatan kapal serta membakar
bangkainya. Kapten kapal dan beberapa awak berhasil meloloskan diri dan melaporkan
perompakan ini kepada pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah mengirim surat kepada
Mara’dia Mamuju dan Tapalang, yang berjanji untuk menyelidiki perompakan tersebut,
menggantikan barang-barang yang hilang, dan menyerahkan barang-barang tersebut ke
Makassar. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, mereka tidak dapat memenuhi janji
tersebut, dan pemangku adat Tapalang menolak tuntutan tersebut karena mereka mengklaim
bahwa mereka tidak memiliki kontrak politik dengan pemerintah kolonial Belanda. Mara’dia
Balanipa juga dipersalahkan karena tidak menyampaikan kontrak politik yang dibawa oleh
Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen kepada Kerajaan Tapalang dan Mamuju (Arsip
Makassar No.354:125).

Pada saat kontrak politik disahkan, gubernur jenderal menyatakan bahwa wewenang
yang diminta dalam surat gubernur Sulawesi tidak dapat diberikan, tetapi pemerintah tetap
mengizinkan tindakan untuk mempertahankan dengan sarana yang ada asalkan diterapkan
dengan kebijakan. Selanjutnya, Sekretaris Urusan Pribumi Wijnmalen dikirim kembali ke
Mandar untuk menyampaikan kontrak politik yang telah disahkan oleh gubernur jenderal
kepada raja-raja atau penguasa Mandar, namun kontrak tersebut tidak disampaikan dengan
baik oleh Mara’dia Balanipa kepada raja-raja lainnya di Mandar. Selain itu, terdapat konflik
dan permusuhan di Mandar, seperti perselisihan antara Mara’dia Balanipa dan Mara’dia
Pambauang, serta tindakan perompakan yang terus terjadi di pantai Mandar. Pemerintah
kolonial Belanda berusaha menyelesaikan konflik ini dan menghentikan perompakan yang
meresahkan. Mereka juga mencoba menyelesaikan tuntutan ganti rugi terkait dengan
perompakan dan konflik tersebut. Meskipun demikian, ada kesulitan dalam menyelesaikan
konflik ini, terutama karena beberapa pemangku adat dan penguasa di Mandar tidak selalu
bersedia atau mampu mematuhi tuntutan dan perjanjian yang dibuat dengan pemerintah
kolonial Belanda. Konflik ini mencakup berbagai persoalan, seperti pembunuhan,
perampokan, dan perselisihan antara kelompok-kelompok yang berbeda di Mandar.
Pemerintah kolonial Belanda berupaya menjaga perdamaian dan menyelesaikan konflik ini
melalui berbagai upaya diplomatik dan tindakan hukum.

Di daerah Mandar, terdapat sejumlah masalah yang melibatkan pemerintah kolonial


Belanda dan para penguasa lokal, terutama mara'dia (pemimpin kerajaan). Pada awalnya,
terdapat kesulitan dalam menyampaikan kontrak politik yang telah disahkan oleh Gubernur
Jenderal Hindia Belanda kepada mara'dia Binuang, karena mara'dia Balanipa tidak
mengirimkannya. Namun, pemerintah kolonial Belanda akhirnya mengirimkan salinan
kontrak politik tersebut kepada arung Binuang. Selain itu, terdapat konflik lain di Kerajaan
Binuang, di mana arung Tonyamang dianggap telah menguasai barang-barang milik orang
Arab yang berasal dari Parepare. Sebagai tanggapan, arung Binuang dan arung Buku
menyerang arung Tonyamang hingga dia menyerah atas tuntutan yang diajukan kepadanya.
Arung Buku juga mengirimkan seorang wanita yang telah dijual oleh arung Tonyamang
untuk dikembalikan ke Makassar. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menghadapi
sejumlah masalah di Mandar, termasuk permintaan pembayaran uang kepada Kerajaan
Sendana yang tidak dipenuhi oleh Kerajaan Mamuju dan sulitnya mengirim surat kepada
mara'dia lainnya karena mereka tidak mau menerima surat melalui perantaraan Kerajaan
Mamuju. Semua masalah ini menunjukkan bahwa meskipun telah ada kontrak politik yang
ditandatangani pada tahun 1850, yang mencakup pemberantasan perompakan, perompakan
masih sering terjadi di pantai Mandar. Ini juga mengindikasikan adanya ketidakpuasan dan
konflik politik di antara pemerintah kolonial Belanda dan penguasa lokal di Mandar. Hal ini
bisa menjadi salah satu faktor yang memicu perlawanan dan ketidaksetujuan penduduk
Mandar terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Konflik di Mandar pada tahun 1862 dipicu oleh beberapa faktor, termasuk
ketidakpatuhan kerajaan-kerajaan di Mandar terhadap ketentuan-ketentuan dalam kontrak
politik yang telah ditandatangani sebelumnya dengan pemerintah kolonial Belanda. Salah
satu penyebab konflik adalah penolakan kerajaan-kerajaan di Mandar untuk membayar
tuntutan ganti rugi kepada pemerintah kolonial Belanda atas serangkaian perompakan yang
terjadi di pantai Mandar. Konflik ini juga memiliki akar dalam konflik internal di kalangan
ana’ pattola payung (pewaris tahta) di Mandar, terutama di Balanipa. Konflik internal ini
membuat Balanipa tidak dapat menjalankan perannya sebagai pemimpin dari persekutuan
Pitu Ba’bana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai atau pesisir pantai). Konflik internal
ini juga mencakup perselisihan antara Mara’dia Balanipa Ammana Ibali dan mara’dia
matowa (koordinator pemangku ada’ sappulo sokko) Balanipa yang bernama Tokeppa.
Tokeppa menjadi pemimpin perlawanan terhadap Belanda dan merupakan penentang yang
gigih terhadap pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial Belanda mencoba mengatasi konflik
ini dengan mengirim ekspedisi militer ke Mandar dan menuntut pemenuhan kontrak politik
serta ganti rugi atas tuntutan yang diajukan.
Kontrak politik baru kemudian dibuat dengan beberapa kerajaan di Mandar, termasuk
Majene, Binuang, Pamboang, Sendana, Mamuju, dan Tapalang. Kontrak ini mencakup
ketentuan-ketentuan tentang penolakan pengaruh asing di Mandar dan hak pemerintah
kolonial Belanda untuk mengambil alih pemerintahan jika kerajaan-kerajaan tersebut tidak
dapat menyelesaikan masalah internal mereka. Konflik di Mandar berakhir dengan
penerimaan tuntutan dan pemenuhan sebagian ganti rugi oleh beberapa kerajaan di Mandar,
serta dengan pergantian mara’dia di Balanipa. Kesimpulannya, konflik antara Mandar dan
pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1862 adalah hasil dari faktor-faktor seperti
ketidakpatuhan terhadap kontrak politik, perompakan, konflik internal, dan penentangan
terhadap pemerintah kolonial. Kontrak politik baru dan penyelesaian masalah internal
akhirnya mengakhiri konflik ini.

Pada abad ke-19, terjadi peristiwa di Balanipa yang melibatkan Mara'dia Mararabali,
Mara'dia Tokeppa, dan pemerintah kolonial Belanda. Mara'dia Mararabali mengajukan
permohonan penundaan keberangkatannya ke Makassar dengan alasan menebus keris pusaka
Balanipa yang telah dijaminkan, tetapi uang tebusan tidak diberikan. Sementara itu, Mara'dia
Tokeppa yang sebelumnya melarikan diri ke pedalaman menyerahkan diri kepada pemerintah
kolonial. Gubernur Sulawesi kembali ke Makassar, dan anggota pemangku adat Balanipa
berangkat ke sana untuk meminta maaf dan membuat kontrak politik baru dengan pemerintah
kolonial, yang memiliki persyaratan yang sama dengan kontrak yang telah dibuat dengan
kerajaan-kerajaan lain di Mandar. Kemudian, Mara'dia Balanipa Ammana Ibali secara resmi
mengundurkan diri dan menyerahkan tahta pemerintahan kepada putranya, La Tonrabali
(Mararabali), yang juga merupakan mara'dia Majene. Meskipun Mararabali dipilih sebagai
calon mara'dia Balanipa oleh anggota pemangku adat Balanipa, pelantikannya tidak pernah
terjadi karena situasi ketidakstabilan di kerajaan dan aspek adat yang harus dipenuhi untuk
pelantikan tersebut tidak terpenuhi. Sebagai akibatnya, namanya tidak tercantum dalam
silsilah raja-raja Balanipa. Dengan demikian, kesimpulan utama adalah bahwa peristiwa ini
mencerminkan kompleksitas hubungan antara pemerintah kolonial Belanda, mara'dia lokal,
dan tradisi adat di wilayah Balanipa pada waktu itu, yang pada akhirnya menghambat
pelantikan Mararabali sebagai mara'dia Balanipa.

Anda mungkin juga menyukai