Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

SEJARAH NASIONAL

OLEH : KELOMPOK 6

YUNINGSIH : A1N1 17 112

RISBAWATI : A1N1 17 115

ZAMALUDIN : A1N1 17 114

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH PEMINATAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
Pendahuluan

A. Indonesia Bagian Timur, 1630-1800

Sekitar Tahun 1630, Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam


meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni perdagangan atas
perniagaan laut di Indonesia. Tahap penama dimulai di lndonesia bagian timur, yakni di
kepulauan rempah-rempah Maluku. Belanda sudah berada di sana untuk beberapa
waktu lamanya, tapi usaha-usaha mereka memaksakan monopoli atas produksi pala,
bunga pala. dan. yang terpenting, cengkeh, baru mencapai sedikit keberhasilan. Kini
muncul sebuah persekutuan lokal untuk menentang mereka, yang terutama terdiri atas
kaum Muslim Hitu (Ambon bagian utara) dan pasukan-pasukan Ternate yang ada di
Hoamoal (Semenanjung Seram bagian barat) dengan dukungan kerajaan bangsa
Makasar, Gowa. Persekutuan anti~VOC tersebut dipimpin oleh seorang Hitu yang
beragama Islam, yang bernama Kakiali yang semasa muda memadi salah seorang murid
Sunan Giri di Jawa. Pada tahun 1633, dia menggantikan ayahnya sebagai 'Kapitein
Hitoe, pemimpin masyarakat Hitu di bawah naungan VOC. Orang- orang Hitu mulai
membangun benteng-benteng di wilayah pedalaman, dan para pejuang yang beragama
Islam mulai menjarah perkampungan perkampungan Kristen. Pada tahun 1634, VOC
memper daya Kakiali di atas sebuah kapal VOC dan menawannya. Yang menyebabkan
larinya orang-orang Httu ke benteng benteng mereka dan bersiap menghadapi
peperangan. Perlawanan terhadap VOC makin besar dan, bahkan, diduga mulai
merembes di antara masyarakat Kristen.
Pada tahun 1637, Van Diemen ikut melancarkan serangan terhadap pasukan-
pasukan Ternate di Hoamoal dengan kekuatan yang besar dan berhasil mengusir
pasukan tersebut dari benteng-benteng mereka. Setelah Van Diemen meninggalkan
Maluku, Kakiali mengambil langkah-Iangkah membentuk sebuah persekutuan di antara
Hitu, orang-orang 'l'ernate yang berada di Hoalmoal, dan Gowa; sementara itu, dia juga
mendorong dilakukannya perdagangan rempah-rempah secara gelap. Pada tahun 1638,
Van Dremen kembali ke Maluku, dan berusaha mencapai suatu persetujuan dengan
Raja Ternate. Pihak VOC bersedia mengakui kedaulatan Ternate atas Seram dan Hitu
serta menggaji Raja Ternate sebesar 4 000 real setiap tahun, tetapi dengan imbalan
sebuah kesepakatan bahwa 'penyelundupan' cengkeh akan dihentikan dan VOC diberi
kekuasaan de facto di Maluku Selatan. Kakiali dan Gubernur ternat di Hoamoal tidak
bersedia ikut serta dalam perundingan-perundingan tersebut, sehingga tidak dapat
dicapai kesepakatan. Tampak jelas bahwa Raja 'l'ernate tidak memiliki wewenang untuk
memenuhi permintaan VOC. Sementara itu, pertempuran-pertempuran kecil masih terus
berlangsung dan Kakiali, yang masih memegang jabatan sebagai 'Kapitein Hitoe', terus
berusaha menghadapi dan menyusun rencana untuk menghancurkan pihak Belanda.
Dan pada Pada tahun l641, Kakiali melepas kedok persahabatannya. Ia menyerang
sebuah desa yang bersahabat dengan VOC, dan kemudian sebuah benteng VOC. Para
prajurit Makasar kini bergabung dengan Kakiali, suatu faktor yang akhirnya akan
member sumbangan pada keyakinan pihak Belanda bahwa Makasar juga harus
diperhitungkan. Memang Kakiali dan para sekutunya memilih waktu yang salah untuk
merebut kekuasaan. Karena, dengan jatuhnya Malaka ke tangan VOC pada tahun 1641,
pihak Belanda kini dapat mengerahkan lebih banyak pasukannya untuk menyelesaikan
masalah-masalah mereka di Indonesia bagian timur. Sebuah pasukan VOC berhasil
mengusir tentara Makasar dari kubu-kubu penahanan mereka di Hitu pada tahun 1643,
tetapi tidak mampu merebut benteng Kakiali Kemudian, pada bulan Agustus,pihak
Belanda mengupah seorang berkebangsaan Spanyol yang telah membelot dari Kakiali
supaya kembali ke Hitu dan membunuh Kakiali. Kemudian benteng Kakiali dapat
direbut, tapi masuh banyak orang Hitu melanjutkan perang mereka melawan VOC dari
suatu tempat yang baru, Kapaha, di sebelah Utara Hitu.
Pada tahun 1645, tiga buah ekspedisi VOC tidak berhasil menumpas
perlawanan rakyat Hitu. Namun, pada Juli 1646, Kapaha akhimya dapat direbut.
Pemimpin tahap terakhir perlawanan masyarakat Hitu, 'Telukabesi, menyerah dan
bersedia memeluk agama Kristen. Meskipun demikian, VOC menghukumnya dengan
hukuman mati di Ambon pada September l646. Inilah akhir perlawanan yang efektif
terhadap VOC di Hitu. Masih dilakukan berbagai usaha membentuk komplotan-
komplolan anti-VOC pada tahun-tahun sesudah itu, tapi tak satu komplotan pun yang
meniadi ancaman nyata bagi VOC seperti yang pernah ditunjukkan masyarakat Hilu
sebelum tahun 1646. Meskipun demikian, kedudukan VOC di Maluku Selatan masih
belum benar-benar aman, karena orang-orang Makasar dan Ternate tetap giat berdagang
rempah-rempah dengan melanggar monopoli VOC. Di bawah pimpinan Arnold de
Vlaming van Outshoom, yang menjadi Gubernur Ambon dari tahun 1647 sampai 1650
dan Inspektur atas Ambon, Banda, dan Ternate dari tahun 1652 sampai 1656, masalah
Ternate tersebut segera dapat ditemukan solusinya. Selama masa pemerintahannya
sebagai Gubernur Ambon, dia melakukan pemberantasan tindak korupsi yang tersebar
luas di kalangan para pedagang VOC, dan mengembangkan agama Kristen di antara
penduduk Indonesia.
Pada tahun 1650, Raja Ternate, Mandar Syah, diturunkan dari tahta dalam suatu
kudeta istana. Dia melarikan diri ke benteng VOC di Ternate dan meminta bantuan
VOC. De Vlaming diutus untuk mengatasi keadaan itu, dan setelah kedatangannya para
pengkudeta menyerah dan Mandar Syah didudukkan kembali diatas singgasananya.
Sebuah kelompok kecil yang menentang berkuasanya kembali Mandar Syah berlayar
menuiu Hoamoal. Dan mulai berkobarlah perang lotal melawan VOC. Dalam situasi ini,
de Vlaming melihat kesempatan untuk akhimya mengatasi masalah kelebihan produksi
cengkeh. Pertama tama, dia membawa Mandar Syah ke Batavia guna menandatangani
sebuah perjanjian, pada januari 1652, yang melarang penanaman pohon cengkeh di
semua wilayah kecuali Ambon atau daerah-daerah lain yang dikuasai VOC. Selanjutnya
de Vlaming bergerak menentang perlawanan orang-orang 'I'ernate yang berpangkalan di
Hoamoal serta sekutu-sekutu mereka orang-orang Makasar dan Melayu, dalam satu di
antara rangkaian kampanye paling berdarah dalam sejarah VOC. Di pihak VOC
terdapat orang-orang Ambon yang beragama Kristen dalam perahu perang mereka.
Perang itu berlangsung dari tahun 1652 sampai 1658 di sekitar Hoamoal yang berakhir
dengan kernenangan pihak VOC. Pada tahun 1656, penduduk yang masih tersisa
dibuang ke Ambon.
Sultan Saifuddin dari Tidore (m. 1657-89) meminta bantuan VOC untuk
mengusir Spanyol dari wilayahnya pada tahun 1662. Pada saat itu telah berkembang
rumor tentang akan segera ditarinknya pasukan Spanyol, karena pendukung Ming di
Taiwan, Koxmga (Cheng Ch'eng kung. Zheng Chenggong), mengancam markas utama
Spanyol di Manila. Pada tahun 1663, Spanyol benar benar pergi dari Maluku, membuat
VOC menjadi kekuatan Eropa paling utama di wilayah itu. Pada tahun 1657, ia
menerima pakta dengan VOC yang mencakup kebiiakan pemusnahan tanaman rempah
yang tidak sah dengan imbalan mendapat kompensasi moneter dari VOC. Kebijakan
VOC membayar tunai penguasa Maluku sebagai kompensasi sekaligus meraih
dukungan mereka untuk memusnahkan rempah-rempah justru memperkuat para
penguasa itu. Di masa lalu, para penguasa itu memiliki kebutuhan lebih besar untuk
berunding dengan. dan mengakui sumber-sumber kekayaan dan dukungan yang otonom
di tangan, para penguasa bawahan. Sekarang dukungan militer dan finansial VOC yang
ditujukan hanya kepada raja-raja memberi mereka kemandirian lebih besar atas
bawahan-bawahan mereka. Sultan Mandar Syah dan Ternate (m. 1648-75) adalah
pemimpin yang tidak populer dan dipandang sebagai orang berkarakter buruk, tapi
mampu bertahan di singgasana berkat bantuan VOC. Untuk mengakui kenyataan ini ia
menamakan putra mahkotanya 'Sultan Amsterdam' (m. 1675-90) putranya yang lain ia
namakan 'Rotterdam'. Hasil dari pen dekatan ini untuk VOC bermacam-macam. VOC
memiliki negara-negara lokal yang lebih tersentralisir untuk dihadapi dan kebijakan
pemusnahan dapat dicapai dengan lebih efektif. namun pemusnahan itu tidak pernah
benar-benar berhasil. Rakyat setempat masih menemukan sarana untuk menanam
rempah-rempah di daerah daerah yang jauh yang tidak diketahui VOC.
Dukungan VOC pada kristenisasi menyakitkan hati orang-orang Temate dan
menimbulkan pemiusuhan antara VOC dan Ternate pada tahun 1680. Namun, tradisi
persaingan antara Ternate dan Tidore yang sudah berlangsung lama terbukti lebih kuat
dari pada identitas agama atau etnik. Karena Sultan Saifuddin dari Tidore mendukung
VOC melawan Ternate. Persekutuan ini terbukti manjur dan Sultan Amsterdam terpaksa
menyerah pada VOC di tahun 1681. Secara umum, keterlibatan Tidore dengan orang-
orang Eropa tidak sebanyak Ternate. tapi pengaruh VOC terhadap persoalan-persoalan
Tidore makin besar di akhir abad XVII dan awal abad XVIII. Pada tahun 1720-an,
Tidore mengalami krisis berkepanjangan Dari tahun 1716 sampai 1728, para bawahan
Tidore di
sebelah tenggara Halmahera dan rakyat Papua dari Kepulauan Raja Ampat
memberontak terhadap kekuasaan Sultan Hasanuddin Kaicili Gasea (m. 1708-28).
Krisis politik ini diperparah oleh bencana kekeringan dan wabah cacar. VOC
mendukung kewenangan Sultan dan mengirim tentara untuk membantunya. Meski saat
itu sedang memasuki periode penurunan yang menjadi ciri akhir abad XVIII, VOC
masih memainkan peran menentukan dalam politik di Maluku.
Pada akhir abad XVIII, ancaman interferensi terhadap Belanda oleh kekuatan
Eropa lainnya muncul kembali di Indonesia bagian timur dalam bentuk East India
Company milik Inggris dan para pedagang swasta Inggris lainnya. Ditemukannya rute
pelayaran superior menuju Cina via Selat Dampier atau Selat Pitt. melintasi wilayah
Kepala Burung yang sekarang dikenal dengan sebutan Papua oleh Inggris
mengakibatkan meningkatnya pelayaran Inggris di wilayah tersebut dari tahun 1760-an,
dan bersamaan dengan itu datanglah ancaman gangguan politik. Pada periode yang
sama, pasukan llanun dari Mindanao di bagian selatan Filipina menyerang seluruh
Maluku. VOC mencurigai Tidore ikut terlibat. Pada tahun 1779, VOC menurunkan
Sultan Tidore dan tidak menunjuk pengganti sampai tahun 1781. VOC melancarkan
ekspedisi yang berhasil mengalahkannya namun tidak mampu menangkapnya.
Kampanye Belanda pada tahun 1783 merupakan bencana bagi orang Eropa komandan
Belanda dan orang-orangnya terbunuh dan sisa armada lainnya dibawa sebagai hadiah
untuk Nuku. Pada Oktober 1783, Sultan Tidore mengakui kekuasaan superior Nuku. la
menyerang pos-pos VOC di Tidore dan seluruh orang Eropa di sana dibunuh. Hal ini
mempercepat datangnya respon dalam bentuk persaingan berkelanjutan Ternate-Ttdore
Ternate bergabung dengan VOC dalam sebuah ekspedisi menentang Tidore pada
November 1783 yang menimbulkan banyak korban dan kerusakan.
Pada akhir abad XVII, musuh utama yang menentang hegemoni militer dan
perdagangan VOC di timur adalah Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan. Kesultanan
ini memiliki kekuatan militer yang besar yang harus diperhatikan VOC dengan lebih
serius daripada musuh-musuhnya di Maluku Selatan, yang sebenarnya jadi makin sulit
dikalahkan karena dukungan dan pihak Makasar. Gowa dianugerahi dengan
serangkaian pemimpin yang cakap Gowa memiliki sebuah sistem wewenang ganda
yang timbul akibat aliansi politik antara Kesultanan Gowa dan Tallo pada pertengahan
abad XVI. Dan Pada pertengahan abad XVII Gowa masih menjadi pusat utama dari apa
yang dianggap pihak Belanda sebagai perdagangan liar rempah-rempah. Orang-orang
Portugis aktif di sana khususnya sejak mereka kehilangan Malaka pada tahun 1641.
Namun, lelah terjadi peristiwa-peristiwa di Sulawesi Selatan sendiri yang
memungkinkan Gowa ditaklukkan. Seperti yang selalu terjadi dalam berbagai
peperangan VOC. Bila yang menjadi sasaran adalah sebuah negara utama. maka VOC
baru dapat menang jika menjalin aliansi dengan kelompok yang cukup berpengaruh di
negara itu.
Kekuasaan Gowa atas negara-negara Sulawesi Selatan lain memang masih
menyisakan otonomi yang luas untuk mereka namun, tetap menimbulkan rasa benci.
Telah terjadi banyak pertempuran antara Gowa dan negara bawahan Bugis, Bone. Pada
tahun 1660, Arung Palakka adalah satu di antara sekitar 10.000 orang Bugis dari Bone
yang memberontak, tapi berhasil ditumpas pihak Makasar. lalu, dia bersama beberapa
orang lainnya mencari perlindungan di Pulau Bulung. Pada lahun 1663, VOC
mengabulkan permohonan mereka untuk tinggal di Batavia. Di sana mereka menjadi
serdadu VOC dan membuat pihak Belanda terkesan pada keterampilan perang mereka.
Arung Palakka dan praiurit-praiurit Bugisnya kini menjad satu bagian yang penting dari
rencana VOC untuk menaklukkan Gowa. Konflik antara VOC dan Gowa berlanjut
hampir tak terputus sejak tahun 1615. Sebuah armada VOC yang terdiri atas 31 kapal
menyerang Gowa pada tahun I660, menghancurkan kapal-kapal Portugis yang ada di
pelabuhan, dan memaksa Sultan Hasanuddin T'umenanga n' Balla'pangkana (m. 1653-
69) menerima kesepakatan damai Agustus_Desember 1660. Tapi, kesepakatan ini tidak
berhasil mengakhiri permusuhan. Pada tahun 1665, sebuah kapal VOC terdampar dan
dirampok ketika seorang pejabat VOC melakukan pemeriksaan terhadap rongsokan
kapal nahas itu kemudia berikut anak buahnya diserang dan dibunuh. Setelah usaha
terakhir untuk berunding gagal, maka pada tahun 1666 Gubernur Jenderal Maetsuyckcr
dan Dewan Hindia akhirnya mengambil keputusan untuk menghadapi Gowa.
Dihimpunlah suatu pasukan ekspedisi yang terdiri atas 21 kapal yang mengangkut 600
orang tentara berkebangsaan Eropa, serdadu Ambon. Dan Arung Palakka beserta
pasukan Bugisnya. Panglima armada tersebut adalah Cornelis Speelman, yang
kemudian juga menjadi Gubernur ) jenderal.
Desember 1666, armada VOC itu tiba di Makasar. Seperti yang diharapkan
pihak Belanda, kembalinya Arung Palakka ke kampung halamannya setelah menjalani
masa pengasingan seIama enam tahun telah mendorong rakyat Bugis di Bone dan
Soppeng untuk bangkil melakukan pemberontakan melawan kekuasaan Makasar.
Perang melawan Gowa ini meliputi pertempuran sengit di darat maupun di lautan yang
memakan waktu hampir satu tahun lamanya. Speelman berhasil menghancurkan armada
Makasar di dekat Bulung. sementara Arung Palakka memimpin serangan melalui
daratan yang sangat sulit. Akhirnya VOC dan sekutu-sekutu Bugisnya keluar sebagai
pemenang. Dan Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian Bungaya (18
November 1667). Namun, perjanjian ini pun pada awalnya terbukti tak berati. Namun
kini, Perjanjian Bungaya benar-benar dilaksanakan. Sehingga menimbulkan perubahan
besal terhadap politik Sulawesi Selatan. Bone dan negara-negar aBugis lainnya terbebas
dari belenggu kekuasaan Gowa. Benteng pihak Makasar di Ujung pandang diserahkan
kepada VOC, dan Speelman memberinya nama baru yang sesuai dengan nama tempat
kelahirannya, 'Rotterdam'. Kini kekuasaan Gowa runtuh, dan Bone muncul
menggantikan kedudukannya sebagai negara yang paling kuat di Sulawesi Selatan. Hak
kekuasaan Makasar atas daerah-daerah di sekitamya Minahasa, Bulung, dan
Sumbawa_terlepas, dan pedagang-pedagang Eropa selain VOC diusir. VOC sudah
membangun sebuah benteng di Menado (ujung timur laut Sulawesi) pada tahun 1658
untuk menanggulangi pengaruh Spanyol dan Ternate di sana. Setelah tahun 1677, VOC
juga menancapkan kekuasaannya di Gorontalo, Limboto, dan negara- negara kecil
Minahasa lainnya, serta Pulau Talaud dan Sangihe.
Di akhir abad XVII, VOC telah berhasil mengonsolidasikan kedudukannya di
Indonesia Timur. Pihak Belanda masih tetap menghadapi intrik-intrik dan perlawanan,
tapi tak ada lagi kekuatan besar di Indonesia yang menentang mereka. Ternate, 'Iidore,
dan Gowa sudah bukan lagi merupakan kekuatan-kekuatan militer yang besar. Tanaman
rempah-rempah yang tidak dapat diawasi VOC ditebangi, tak ada lagi penduduk yang
tinggal di Hoamoal sejumlah besar orang Bugis dan Makasar meninggalkan kampung
halaman mereka jumlah korban tewas di antara orang-orang Eropa sekutu-sekutu, dan
lawan-lawan mereka tidak diketahui. Semua ini terjadi semata-mata karena tujuan VOC
memonopoli rempah-rempah Maluku. Ironisnya, justru ketika penguasaan atas rempah-
rempah itu menjadi semakin pasti, makin lama rempah-rempah makin kurang berati
bagi keuntungan VOC. Oleh karena itu. sering sekali terjadi pembahan-perubahan besar
dalam kebijakan ketika pohon ditanam, kemudian ditebangi, sesudah itu ditanam lagi
dalam usaha mendapatkan jumIah yang tepat. Kedua. arti penting rempah-rempah
relatif ber kurang dalam perdagangan VOC. Lada meniadi unsur yang lebih besar pada
abad XVII; pada tahun 1700 tekstil merupakan barang dagangan yang paling penting;
kopi dan teh menjadi barangbarang perdagangan yang penting pada abad XVIII.
Dalam kenyataannya peperangan yang terjadi di Indonesia Timur bukan semata-
mata dilancarkan demi kepentingan perdagangan. VOC sedang dalam perjalanan
menjadi kekuasaan imperial. Baik keuntungan maupun kerugian sesungguhnya yang
tercakup dalam proses ini tidak jelas, akibat sistem akuntansi VOC, dan karena hal itu
hanya merupakan kepentingan nomor dua bagi para pendiri imperium dan para
petualang yang menetapkan kebijakan VOC di Indonesia, yang tampaknya memandang
keuntungan pribadi sebagai hal yang lebih penting VOC pada abad XVII mempunyai
dua pusat perhatian. Pertama, Maluku, tempat kekuasaannya kini menjadi relatif kokoh.
Kedua, Jawa, di mana terjadi peristiwa-peristiwa yang akan membuka jalan bagi politik
intervensi pihak Belanda.

Anda mungkin juga menyukai