Pelayaran Hongi atau Hongitochten adalah suatu bentuk pelayaran yang dilakukan oleh pemerintahan jaman
VOC Belanda yang bertujuan menjaga keberlangsungan monopoli rempah-rempah di Kepulauan Maluku dan
sekitarnya.
Dalam aturannya Pemerintah VOC membuat perjanjian dengan raja, patih, dan orang kaya pemimpin Negeri-
negeri agar mereka mengijinkan adanya pemusnahan tanaman Cengkeh serta Pala di wilayahnya. Mereka juga
diwajibkan menyediakan kora-kora serta pendayungnya untuk berlayar ke negeri atau pulau lain. Pelayaran
Hongi benar-benar membuat rakyat Kepulauan Maluku yang pada jaman dahulu kala sangat makmur menjadi
jatuh dalam kemelaratan.
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. VOC mengangkat
Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai sultan
semestinya adalah Pangeran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah
menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku.
Pangeran Nuku memimpin perlawanan rakyat Maluku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara
VOC). Sultan Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-
orang Gamrange dari Halmahera. Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan
gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah.
Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-
sama melawan VOC. Bahkan dalam perlawanan ini Inggris juga memberi dukungan terhadap Sultan
Nuku. Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung ambisi Nuku untuk lepas dari dominasi
Belanda. Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari
dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).